Anda di halaman 1dari 17

Referat

Faktor Resiko ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders)

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Jiwa Aceh
Banda Aceh

Oleh:
Cut Rahil Rahmatillah
1907101030053

Pembimbing:
dr. Subhan Rio Pamungkas, Sp.KJ (K)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Faktor
Resiko ADHD”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW
yang telah membawa umat manusia ke masa yang menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Rumah Sakit Jiwa Aceh.
Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada dr. Subhan
Rio Pamungkas, Sp.KJ (K) yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis
dalam penulisan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi para
pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya dan
ilmu kedokteran jiwa khususnya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk referat ini.

Banda Aceh, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 7
2.1 Faktor Genetik ..................................................................... 7
2.2 Faktor Lingkungan ............................................................... 7
2.3 Faktor Neuroanatomi ........................................................... 9
BAB III KESIMPULAN.......................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan perhatian termasuk salah satu masalah yang sering dialami anak usia
sekolah akhir-akhir ini. Gejala gangguan perhatian yang timbul bisa mulai ringan hingga
berat. Meskipun ringan dan tidak tergolong berat sebenarnya gangguan perhatian tersebut
dapat beresiko menimbulkan masalah di masa mendatang. Gangguan perhatian sendiri
bukan merupakan penyakit tetapi merupakan gejala atau suatu manifestasi penyimpangan
perkembangan anak.
ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders) merupakan suatu bentuk
gangguan perhatian berupa ketidakmampuan untuk memusatkan perhatiannya pada
sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang perhatiannya sangat singkat waktunya
dibandingkan anak lain yang seusia, Kelainan ini dapat mengganggu perkembangan anak
dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun komunikasi. (1)
Beberapa terminologi untuk menggambarkan attention deficit hyperactivity
disorder (ADHD) meliputi: gangguan impuls hiperkinetik, disfungsi otak minimal,
hiperaktif, gangguan defisit perhatian. Selain itu, karakteristik inti ADHD adalah
kurangnya perhatian, impulsif, dan hiperaktif. (2)
Perkiraan prevalensi ADHD berkisar dari 5,9 hingga 7,1% pada anak-anak dan
5% pada orang dewasa. Sebanyak 2 – 9,5% pada anak usia sekolah. Kejadian ADHD di
Amerika Serikat 6,8% pada anak-anak AS berusia 3-17 tahun. 5,8% pada anak-anak
berusia 6 hingga 17 tahun di Spayol. Di Inggris angka kejadian ADHD kurang dari 1%
dan Swedia 2,1% - 8%. sedangkan di Jerman, ADHD telah dilaporkan dengan prevalensi
4,8%. Menurut penelitian dikatakan bahwa prevalensi ADHD pada Negara berkembang
sebesar 3 – 11% dan cenderung menurun pada saat remaja dan dewasa. Angka kejadian
di Indonesia masih belum pasti, meskipun tampaknya cukup banyak terjadi. Perbedaan
angka prevalensi ini dipengaruhi oleh perbedaan budaya, dan kriteria diagnostic. (3,4)
ADHD sering dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah, terdapat
kecenderungan keluhan ini akan berkurang setelah usia sekolah dasar. ADHD adalah 3-
5 kali lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Beberapa studi
melaporkan rasio kejadian setinggi 5: 1 Meskipun tak jarang beberapa manifestasi klinis

1
tersebut dijumpai pada remaja atau orang dewasa.
(1,5,6)

Penyebab pasti ADHD ini belum diketahui, namun pada penelitian dikatakan ada
hubungan erat antara genetic dan lingkungan dari penderita. Pajanan toksik prenatal oleh
ibu saat hamil seperti tembakau dan alcohol serta riwayat BBLR, cedera mekanis prenatal
pada system saraf janin, serta riwayat lahir prematur juga diduga dapat meningkatkan
risiko kejadian ADHD pada anak, meskipun belum diketahui apakah gejala ADHD akan
ada sampai anak menjadi dewasa. (2,7,8)
Gejala ADHD dapat berupa tidak bisa fokus (kurang perhatian), menjadi sangat
aktif (hiperaktif), tidak bisa mengendalikan perilaku (impulsif). Tampilan lainnya pada
anak dengan hiperaktif terjadi disorganisasi afektif, penurunan kontrol diri. Mereka
biasanya bertindak kurang sopan, dan suka menyela pembicaraan serta mencampuri
urusan orang lain. Sering kurang memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering
tidak tuntas dalam mengerjakan sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang
membutuhkan daya konsentrasi tinggi, tidak menghiraukan mainan atau sesuatu
miliknya, mudah marah, sulit bergaul dan sering tidak disukai teman sebayanya. (1,9)
Sekitar 50-60% penderita ADHD didapatkan sedikitnya satu gangguan perilaku
penyerta lainnya. Gangguan perilaku tersebut adalah gangguan belajar, restless-legs
syndrome, ophthalmic convergence insufficiency, depresi, gangguan kecemasan,
kepribadian antisosia, substance abuse, gangguan konduksi dan perilaku obsesif-
kompulsif. (1)
Menurut DSM-5 dikatakan bahwa gejala ADHD seperti hiperaktif-impulsif
muncul sebelum usia 12 tahun. Namun gejala dapat berkurang atau bahkan menghilang
setelah masa kanak-kanak, tetapi setidaknya sekitar 15-20% anak-anak dengan ADHD
mempertahankan diagnosis lengkap hingga dewasa. Sebanyak 65% dari anak-anak ini
akan memiliki ADHD atau gejala sisa ADHD sebagai orang dewasa. Tingkat prevalensi
pada orang dewasa diperkirakan 2-7%. (10)

2
Diagnosis ADHD hanya dapat dilakukan oleh psikiater spesialis, dokter anak.
Berikut kriteria diagnostiknya: (11)
- Berkurangnya perhatian dan aktivitas yang berlebihan.
- Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini diberhentikannya tugas dan
ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum selesai tuntas. SEring beralih dari satu
kegiatan ke kegiatan lainnya.
- Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam
situasi yang menuntut keadaan relative tenang. Misalkan anak itu berlompat-
lompat dan berlari pada situasi yang mengharuskan ia untuk duduk.
- Terdapat gambaran penyerta seperti kecerobohan dalam hubungan social,
terlampau cepat menjawab pertanyaan yang belum lengkap diucapkan orang lain.
- Ganggaun belajar serta kekakuan motoric.
Anak-anak dengan ADHD juga berkinerja buruk pada tugas-tugas yang
membutuhkan penghambatan respon motorik, pengorganisasian informasi kognitif,
perencanaan, pemecahan masalah yang kompleks, dan pembelajaran dan penarikan
kembali materi verbal. Contoh-contoh tes yang mengukur fungsi-fungsi ini adalah
Conner’s Rating Scale, Tes Stroop, Tes Penyortiran Kartu Wisconsin, Tes Rey-
Osterrieth, Tes Kecerdasan Wechsler. (10)
Gangguan kecemasan, gangguan bipolar, depresi, gangguan dysthymic,
hipertiroidisme dan tirotoksikosis, gangguan stres pascatrauma, gangguan tidur-bangun
sering menjadi diagnosis banding dari ADHD. (8)
Tatalaksana ADHD terdiri dari farmakologis dan nonfarmakologis. Obat lini
pertama yang digunakan adalah stimulan yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk mengobati ADHD pada anak-anak dan remaja. Stimulan
(methylphenidate dan amfetamin) meningkatkan kadar norepinefrin dan dopamin dengan
memfasilitasi pelepasan mereka di korteks prefrontal. Methylphenidate mengikat
transporter dopamin dan memblokir pengambilan kembali dopamin dari celah sinaptik,
sedangkan amfetamin meningkatkan ketersediaan norepinefrin dan dopamin di celah
sinaptik. Efek samping stimulan yang umum termasuk penekanan nafsu makan, sakit
perut, insomnia, dan sakit kepala. Efek samping stimulan yang kurang umum termasuk
tics, emosi labil, mudah marah, dan peningkatan detak jantung dan tekanan darah. (12,13)

3
Obat-obatan non-stimulan biasanya tidak dianggap sebagai agen lini pertama
dalam pengobatan ADHD karena responsnya yang kurang kuat daripada stimulan.
Namun, dalam keadaan tertentu, seseorang dapat mempertimbangkan memulai
pengobatan dengan obat non-stimulan tanpa percobaan stimulan terlebih dahulu,
misalnya, dengan komorbiditas, penyalahgunaan zat, kecemasan dan gangguan depresi,
dan preferensi orang tua. (13,14)
Tiga obat non-stimulan, atomoxetine, alpha agonists, dan buproprion untuk
pengobatan ADHD pada anak-anak dan remaja. Keadaan khusus ketika non-stimulan
dapat dipertimbangkan terlebih dahulu akan dibahas pada bagian komorbiditas. (13–15)
a. Atomoxetine adalah inhibitor reuptake norepinefrin presinaptik selektif.
Bertindak untuk meningkatkan kadar norepinefrin dan dopamin
ekstraseluler di korteks prefrontal tetapi memiliki efek terbatas pada
striatum. Efek samping atomoxetine umum termasuk sakit perut, muntah,
nafsu makan menurun, mengantuk, pusing, kelelahan, dan lekas marah.
b. Agonis adrenergik alfa-2, guanfacine, dan clonidine bekerja pada
adrenoreseptor alpha-2 presinaptik (alpha-2A, 2B dan 2C) di korteks
prefrontal untuk menghambat pelepasan norepinefrin dan menurunkan
regulasi sistem noradrenergik.   Efek samping clonidine dan guanfacine
biasanya ringan dan termasuk sedasi, kelelahan, sakit kepala, mulut kering,
sembelit, nyeri perut bagian atas, kebangkitan pada pertengahan tidur, lekas
marah, pusing, bradikardia, hipotensi ortostatik, dan penarikan hipertensi.
c. Bupropion adalah antidepresan atipikal dengan tindakan yang melibatkan
penghambatan norepinefrin dan reuptake dopamin. Bupropion dapat
dipertimbangkan jika stimulan dan percobaan atomoxetine gagal
memberikan kontrol yang memadai terhadap gejala ADHD atau
menyebabkan efek samping yang tidak dapat ditoleransi, atau pada pasien
dengan riwayat penyalahgunaan zat atau gangguan mood. Efek samping
yang terjadi mulut kering, mual, muntah, urtikaria dan ruam, sedasi,
sembelit dan lekas marah. Bupropion dapat menurunkan ambang kejang dan
dapat menyebabkan kejang pada dosis yang lebih tinggi.

4
NICE merekomendasikan penggunaan obat sebagai berikut: (15)
a. Methylphenidate untuk ADHD tanpa komorbiditas yang signifikan
b. Methylphenidate untuk ADHD dengan gangguan perilaku komorbid
c. Methylphenidate atau atomoxetine ketika ada gangguan kecemasan, dan
penyalahgunaan stimulan
d. Atomoxetine jika methylphenidate telah dicoba dan tidak efektif pada dosis
maksimum yang dapat ditoleransi, atau anak atau remaja tidak toleran
terhadap dosis rendah atau sedang
e. Dalam konsultasi dengan seorang spesialis, dexamfetamine dapat
dipertimbangkan pada anak-anak dan remaja yang ADHDnya tidak
responsif hingga dosis maksimum methylphenidate atau atomoxetine yang
dapat ditoleransi.
Disamping terapi farmakologis, dapat dilakukan psikoterapi juga dimana orang
tua dan guru dapat membantu anak-anak dan remaja dengan ADHD agar bisa menjaga
rutinitas dan jadwalnya, mengatur barang sehari-hari, menggunakan pekerjaan rumah dan
memberikan pujian atau penghargaan ketika aturan diikuti. Selain itu, terapis kesehatan
mental dapat membantu orang dewasa dengan ADHD mempelajari cara mengatur
hidupnya dengan alat-alat seperti menjaga rutinitas dan memecah tugas-tugas besar
menjadi tugas yang lebih mudah dikelola dan lebih kecil. (16)
Untuk membantu mengurangi risiko ADHD anak maka selama kehamilan,
hindari apa pun yang dapat membahayakan perkembangan janin. Tidak minum alkohol,
merokok, atau menggunakan narkoba. Hindari paparan racun lingkungan, seperti bifenil
poliklorinasi (PCB). Lindungi anak dari paparan polusi dan racun, termasuk asap rokok,
bahan kimia pertanian atau industri, dan cat timbal (ditemukan di beberapa bangunan
tua). Hindari paparan berlebihan terhadap TV dan video game dalam lima tahun pertama
kehidupan. Jika anak menderita ADHD, untuk membantu mengurangi masalah atau
komplikasi: Bersikaplah konsisten, tetapkan batas dan memiliki konsekuensi yang jelas
untuk perilaku anak. Susun rutinitas harian untuk anak dengan harapan yang jelas yang
mencakup hal-hal seperti waktu tidur, waktu pagi, waktu makan, tugas sederhana dan
TV. (9)

5
Prognosisnya bervariasi karena gejala ADHD ada yang tetap sampai usia remaja
atau dewasa. Overaktivitas biasanya merupakan gejala pertama yang akan pulih,
sedangkan gejala atensi adalah gejala yang terakhir pulih. Sebagian besar pasien akan
mengalami remisi parsial dan rentan terhadap perilaku antisosial, penggunaan zat, serta
gangguan mood. Masalah belajar sering berlanjut hingga seumur hidup. (8)

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penyebab pasti dari ADHD sampai saat ini belum ditemukan. ADHD diduga
melibatkan multifaktorial seperti genetik, lingkungan dan neuroanatomis. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa bila orang tua mengalami ADHD, sebagian anak mereka
dijumpai mengalami gangguan tersebut.

2.1 Faktor Genetik (riwayat orang tua atau keluarga dengan ADHD)
Beberapa penelitian yang melaporkan predisposisi genetik berperan terhadap
kejadian ADHD dimana bila orang tua mengalami ADHD maka anak mereka memiliki
risiko yang lebih besar untuk mengalami ADHD. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
anak-anak dari orang tua dengan rujukan klinis, masa kecil, ADHD berisiko tinggi
memenuhi kriteria diagnostik untuk ADHD: 84% orang dewasa dengan ADHD yang
memiliki anak memiliki setidaknya satu anak dengan ADHD, dan 52% memiliki dua atau
lebih anak dengan ADHD. (7,10,13)
Ketika satu kembar memiliki ADHD, kemungkinan kembar yang lain memiliki
ADHD sekitar 60%. Risiko kembar monozigot lebih besar dari kembar dizizgot untuk
mengalami ADHD. Kelainan dalam beberapa struktur kromosom bisa menyebabkan
beberapa gangguan (mis., keterbelakangan mental). Namun, belum ada penelitian yang
menyatakan bahwa kelainan kromosom menyebabkan ADHD, tetapi ada beberapa
laporan bahwa kelainan tersebut menyebabkan hiperaktif dan kurang perhatian. (8,10)

2.2 Faktor Lingkungan


ADHD juga bergantung pada kondisi gen serta efek negative dari lingkungan, bila
hal ini terjadi bersamaan maka dapat dikatakan bahwa lingkungan penuh resiko.
Lingkungan yang dimaksud mencakup:
a. Lingkungan psikologis
Relasi dengan orang lain, berbagai kejadian dan penanganan yang
telah diberikan. Penelitian ini mengungkapkan enam faktor risiko dalam

7
lingkungan keluarga yang berkorelasi signifikan dengan gangguan mental masa
kanak-kanak: (10)
o perselisihan perkawinan yang parah,
o kelas sosial yang rendah,
o keluarga yang besar/anggota keluarga banyak,
o kriminalitas ayah,
o ibu yang mengalami gangguan mental,
o penempatan asuh.

b. Lingkungan fisik
Makanan, obat-obatan, paparan zat tertentu seperti bifenil poliklorinasi
(PCB). Paparan polusi dan racun, termasuk asap rokok, bahan kimia pertanian
atau industri, dan cat timbal.

c. Lingkungan biologis
Perlu diketahui apakah ada komplikasi yang terjadi saat melahirkan
seperti: prematuritas, post date, hambatan persalinan, induksi persalinan, kelainan
letak (presentasi bayi), efek samping terapi, depresi sistem immun dan trauma
saat kelahiran normal. Perlu diketahui juga apakah ada riwayat BBLR. Terkait
riwayat BBLR, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan riwayat anak lahir
BBLR meningkatkan risiko kejadian ADHD. Hal ini kemungkinan berkaitan
dengan minimal brain disorders yang lebih banyak dijumpai pada anak BBLR
(dengan berat lahir kurang dari 2041 gram). (7)
Faktor risiko lain yang juga diduga dapat meningkatkan kejadian
ADHD adalah potensi paparan rahim terhadap infeksi virus. Karena infeksi virus
pada ibu dapat memengaruhi janin dan dapat berdampak buruk pada
perkembangan otak, infeksi virus dapat dikaitkan dengan psikopatologi di
kemudian hari. (7)
Salah satu faktor risiko yang dipelajari secara luas adalah ibu yang
merokok selama kehamilan. Dengan memaparkan janin pada nikotin, merokok

8
dapat merusak otak pada saat-saat kritis dalam proses perkembangan. Ibu yang
merokok mengalami peningkatan risiko perdarahan pascapartum, berat badan ibu
rendah, dan abruptio placentae. Janinnya berisiko mengalami berat lahir rendah
dan rokok juga dapat meningkatkan kadar karboksihemoglobin dalam darah ibu
dan janin, maka janin berisiko terkena hipoksia. Hal ini dapat menyebabkan
gangguan perilaku dan kognitif pada anak-anak dan ADHD. Pajanan nikotin
neonatal secara kronis menghasilkan toleransi terhadap obat dan peningkatan
dalam reseptor nikotinat otak. Karena reseptor nikotinat memodulasi aktivitas
dopaminergik dan disregulasi dopaminergik mungkin terlibat dalam patofisiologi
(10)
ADHD.
Para peneliti di Denmark melakukan studi kohort berbasis populasi
untuk menentukan hubungan paparan prenatal terhadap obat antiepilepsi dan
risiko ADHD pada keturunannya. Dari lebih dari 900.000 anak-anak, 580
diidentifikasi telah terpapar valproate selama kehamilan. Dari mereka, 49 (8,4%)
menderita ADHD. Di antara anak-anak yang tidak terpapar obat, sekitar 30.000
(3,2%) memiliki kelainan tersebut. Ini menunjukkan bahwa ibu menggunakan
valproate, tetapi tidak AED lain, selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan
risiko ADHD pada keturunannya.
Selanjutnya periode kanak-kanak harus dicermati gangguan saluran cerna
kronis, infeksi, trauma, terapi medikasi, keracunan, gangguan metabolik,
gangguan vaskuler, faktor kejiwaan, keganasan dan terjadinya kejang. Riwayat
kecelakaan hingga harus dirawat di rumah sakit,kekerasan secara fisik, verbal,
emosi atau merasa diterlantarkan. Trauma yang serius, menerima perlakuan kasar
atau merasa kehilangan sesuatu selama masa kanakkanak, tidak sadar diri atau
pingsan. (1)

2.3 Faktor Neuroanatomi


Pada penderita ADHD didapatkan volume otak yang lebih kecil dibandingkan
dengan anak yang seusianya. Pada pemeriksaan CT-scan atau MRI untuk menilai volume
otak ditemukan penurunan yang signifikan pada volume materi abu-abu di ganglia basal
kanan dan pengurangan volume globus pallidus kanan dan putamen pada anak-anak dan

9
remaja dengan ADHD. Bagian – bagian otak tersebut berperan didalam pengaturan
aktivitas, perhatian dan emosi secara baik. Karena itu, gangguan yang terjadi pada
penderita ADHD diduga sebagai akibat dari terjadinya perubahan pada bagian – bagian
otak tersebut. (6,13)
Pemeriksaan magnetoencephalography (MEG) dan fungsional magnetic
resonance imaging (fMRI) didapatkan hipoaktivitas yang signifikan di daerah frontal
termasuk cingulate anterior, prefrontal dorsolateral, prefrontal inferior, dan korteks
orbitofrontal serta didaerah terkait seperti bagian dasar dari ganglia basalis, thalamus, dan
korteke parietal pada individu dengan ADHD. Pada pemeriksaan dengan positron
emission tomography (PET) ditemukan pengurangan aliran darah otak serta laju
metabolic are lobus frontal pada anak-anak ADHD. Data neuropsikologis cenderung
mendukung hipotesis bahwa korteks frontal atau daerah yang memproyeksikan ke
korteks frontal tidak berfungsi pada setidaknya beberapa anak dengan ADHD. (8,17)
Ada beberapa temuan neuropsikologis dalam ADHD peran struktur subkortikal.
Contohnya, cingulate cortex memengaruhi aspek-aspek motivasi perhatian dan dalam
pemilihan respons dan penghambatan. Sistem pengaktifan reticular batang otak mengatur
nada atensi dan gangguan filter nukleus thalamik retikuler. Selain itu, masalah perhatian
anak-anak dengan ADHD dapat berimplikasi pada distribusi yang lebih luas dari jaringan
saraf. Suatu sistem yang terutama melibatkan korteks prefrontal dan parietal kanan
diaktifkan selama perhatian yang berkelanjutan dan terarah di seluruh modalitas sensorik.
Lobulus parietal inferior dan konvergensi sensorik sulcus temporal superior memberikan
gambaran ruang ekstrapersonal dan memainkan peran penting dalam fokus dan memilih
stimulus target. (10,17)
Dalam pendekatan baru untuk menilai daerah otak yang terlibat dalam ADHD,
peneliti menggunakan pencitraan resonansi magnetik untuk menilai distribusi spasial lesi
pada anak-anak yang mengalami ADHD setelah cedera kepala tertutup. Dibandingkan
dengan anak-anak yang mengalami cedera kepala yang tidak mengalami ADHD, anak-
anak dengan ADHD memiliki lebih banyak lesi pada putamen kanan dan kecenderungan
untuk lebih banyak lesi pada nukleus kanan dan globus pallidus kanan. Sangat sedikit
yang diketahui tentang kapan kelainan otak terkait ADHD muncul. (17,18)

10
Untuk mengatasi masalah ini, Nopoulos et Al. menguji empat kelainan otak
yang diyakini terjadi sebelum kelahiran: anomali neural migrasi, agenesis corpus
callosum atau agenesis parsial, pembesaran cavum septi pellucidi, dan malformasi fossa
posterior. Anomali migrasi neural dan malformasi fossa posterior lebih banyak terjadi
pada pasien rawat inap dengan ADHD. Kedua kelainan ini jarang terjadi. Namun,
mengingat bahwa beberapa penelitian lain menunjukkan agenesis parsial dari corpus
callosum atau anomali dari cerebellar vermis (juga terbentuk sebelum kelahiran), jadi
masuk akal untuk menyimpulkan bahwa setidaknya beberapa anak dengan ADHD
memiliki onset awal kelainan otak yang sangat dini. (18)
Penelitian lain menyatakan adanya keterkaitan antara perubahan neurotransmitter
otak dengan kejadian ADHD. Mekanisme perhatian secara normal merupakan usaha
untuk memfokuskan pada satu rangsangan dengan cara memperkuat rangsangan tersebut
sekaligus mengabaikan rangsangan penganggu yang diterima. Didalam mekanisme
tersebut terdapat peranan beberapa neurotrasmiter seperti norepineprin yang akan
memperkuat rangsangan yang diinginkan dan dopamine yang akan menurunkan
rangsangan penganggu yang diterima. Peranan neurotramiter tersebut dalam pathogenesis
terjadinya ADHD sampai saat ini masih dalam penelitian. (6)
Pengaturan emosi melibatkan beberapa bagian otak terutama pada kortek
thalamus dan amigdala. Kegagalan untuk merespon impuls sesuai tingkatan emosi yang
sesuai menyebabkan seseorang bertindak impulsive dan agresif yang dapat berbahaya
bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya. (6)

11
BAB III
KESIMPULAN

Salah satu bentuk gangguan perhatian pada anak ialah ADHD (Attention Deficit
Hyperactive Disorders) yang merupakan suatu bentuk gangguan perhatian dimana anak
tidak mampu untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi. Penyebab
pasti ADHD ini belum diketahui, namun pada penelitian dikatakan ada hubungan erat
antara genetic dan lingkungan serta sturuk neuroanatomi dari penderita. Gejala ADHD
dapat berupa tidak bisa fokus (kurang perhatian), menjadi sangat aktif (hiperaktif), tidak
bisa mengendalikan perilaku (impulsif). Tatalaksana ADHD terdiri dari farmakologis dan
nonfarmakologis. Obat lini pertama yang digunakan adalah stimulan yang disetujui oleh
Food and Drug Administration (FDA) adalah stimulan (methylphenidate dan amfetamin).
Disamping terapi farmakologis, dapat dilakukan psikoterapi juga dimana orang tua dan
guru dapat membantu anak-anak dan remaja dengan ADHD agar bisa menjaga rutinitas
dan jadwalnya, mengatur barang sehari-hari.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Judarwanto, Sp A DW. Deteksi Dini Adhd ( Attention Deficit Hyperactive


Disorders ). (021).
2. Afolabi OE. Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) in Children: A
Move towards Developmental Perspectives. Int J Sch Cogn Psychol. 2016;3(2).
3. Lola HM, Belete H, Gebeyehu A, Zerihun A, Yimer S, Leta K. Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD) among Children Aged 6 to 17 Years Old Living
in Girja District, Rural Ethiopia. Behav Neurol. 2019;2019.
4. Faraone S V. Epidemiology of Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Textb
Psychiatr Epidemiol Third Ed. 2015;449–69.
5. Ainusyifa AWi. Gambaran demografi, Klinis, Faktor Risiko, dan Terapi Pasien
Anak dengan ADHD di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Tahun 2010-2012. 2012;43.
6. Yanofiandi, Syarif I. Perubahan neuroanatomi sebagai penyebab adhd. Maj Kedokt
Andalas. 33(2):179–86. Available from: jurnalmka.fk.unand.ac.id
7. Adiputra IMS, Sutarga IM, Pinatih GNI. Faktor Risiko Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD) pada Anak di Denpasar. Public Heal Prev Med
Arch. 2015;3(1):35.
8. B.J. Sadock VAS& PR. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. 11th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. 2408 p.
9. Hoseini BL, Abbasi MA, Moghaddam HT, Khademi G, Saeidi M. Attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD) in children: A short review and literature. Int J
Pediatr. 2016;2(4):445–52.
10. Purper-Ouakil D, Lepagnol-Bestel AM, Grosbellet E, Gorwood P, Simonneau M.
Neurobiology of attention deficit/hyperactivity disorder. Medecine/Sciences.
2017;26(5):487–96.
11. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, DSM-5,
ICD-II. 2019.

13
12. Visser SN, Bitsko RH, Danielson ML, Ghandour RM, Blumberg SJ, Schieve LA,
et al. Treatment of attention deficit/hyperactivity disorder among children with
special health care needs. J Pediatr [Internet]. 2015;166(6):1423-1430.e2.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jpeds.2015.02.018
13. Shier AC, Reichenbacher T, Ghuman HS, Ghuman JK. Pharmacological
Treatment of Attention Deficit Hyperactivity Disorder in Children and
Adolescents: Clinical Strategies. J Cent Nerv Syst Dis. 2017;5:JCNSD.S6691.
14. Name B, Dosage A, Effects S, Patients A. Medications Used in the Treatment of
ADHD Approved by the US FDA Medications Used in the Treatment of ADHD
Approved by the US FDA.2019 :1–4.
15. Pharmacist PC, Psychiatrist C, Committee T. Guidelines for the Pharmacological
Management of Attention Deficit Hyperactivity Disorder ( ADHD ) in Children ,
Young People and Adults. 2019;
16. Miller M, Hinshaw SP. Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD). Encycl
Neurol Sci. 2014;320–2.
17. Rubia K. Cognitive neuroscience of attention deficit hyperactivity disorder
(ADHD) and its clinical translation. Front Hum Neurosci. 2018;12(March):1–23.
18. Stobernack T, De Vries SPW, Rodrigues Pereira R, Pelsser LM, Ter Braak CJF,
Aarts E, et al. Biomarker Research in ADHD: The Impact of Nutrition (BRAIN) -
Study protocol of an open-label trial to investigate the mechanisms underlying the
effects of a few-foods diet on ADHD symptoms in children. BMJ Open.
2019;9(11):1–9.

14

Anda mungkin juga menyukai