Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK 14
MODUL 4 SKENARIO 1
“ Anakku kejang berulang”

Pembimbing : dr. Ika Dyah Kurniati, M.si.Med

Disusun Oleh :
Kelompok 10 Blok 14

Pertemuan I
Moderator : Indria Zulfani Mutiaraning T. (H2A019119)
Sekretaris : Elmathiana Delstiene H. N. (H2A019120)
Pertemuan II
Moderator : Hernandy Zulfan R. (H2A019032)

Sekretaris : Muhammad Fath Faiz (H2A019117)


Anggota:
1. Hernandy Zulfan R. (H2A019032)
2. Muthia Aulia Permatasari (H2A019102)
3. Raysha Riezky Filasani D. (H2A019103)
4. Tsabita Nabilah (H2A019104)
5. Sevilsa Putri Shafania (H2A019105)
6. Muhammad Fath Faiz (H2A019117)
7. Alya Yasmin Adhi (H2A019118)
8. Indria Zulfani Mutiaraning T. (H2A019119)
9. Elmathiana Delstiene H. N. (H2A019120)

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
Skenario 1. Anakku kejang berulang

By Nora usia 3 hari dibawa ibunya Ny Jasmin 25 tahun ke IGD Rumah Sakit dengan keluhan
kejang sejak 20 menit yang lalu,. Kejang berulang 3 kali dalam 20 menit dengan durasi 5
menit setiap kali kejang. Kejang kelojotan dengan mata menghadap atas. Setelah kejang
pasien tetap sadar dan menangis. Kejang tidak disertai demam sebelumnya. Riwayat anak
lahir dari secara normal di dukun bayi dengan BBL 3000 gram, langsung menangis. Riwayat
ibu pasien pertama kali menstruasi pada usia 12 tahun , dengan lama haid 7 hari. Ibu pasien
baru 1 tahun menikah dengan suami pertamanya. Ibu juga mengaku tidak pernah melakukan
suntik imunisasi TT. Hasil Pemeriksaan fisik Tanda-tanda vital : HR : 178x/m RR : 38x/m T :
36,4 o C. Terdapat pus di umbilical berbau (+). Dokter IGD memberikan pertolongan
pertama pada By. Nora dan melakukan rawat inap

STEP 1: Identifikasi Istilah

1. Kejang: sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan tiba – tiba yang
merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam otak. Jika gangguan
aktivitas listrik ini terbatas pada area otak tertentu , maka dapat menimbulkan kejang
yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik terjadi di seluruh area otak
maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat umum.
2. Imunisasi TT: vaksin yang berbentuk cairan yang kemudian dimasukan ke suntikan
untuk meningkatkan kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus.
Vaksin tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan kemudian
dimurnikan. Kemasan vaksin dalam 1 vial vaksin TT berisi 10 dosis dan setiap 1 box
vaksin terdiri dari 10 vial.
3. Pus: suatu cairan hasil proses peradangan yang terbentuk dari sel-sel leukosit. Pus
merupakan suatu campuran neutrofil dan bakteri (yang hidup, dalam proses mati, dan
yang mati), debris seluler, dan gelembung minyak. Infeksi bakteri sering
menyebabkan konsentrasi netrofil lebih tinggi di dalam jaringan dan banyak dari sel
ini mati serta membebaskan enzim-enzim hidrolisis.
4. BBL: bayi baru lahir merupakan bayi yang lahir dari usia kehamilan >37-42 minggu
dengan bb 2500-4000 gram.

STEP 2: Identifikasi Masalah

1. Apa tujuan dberikannya imunisasi TT?


2. Apa saja yang dapat meneybabkan kejang pada bayi baru lahir?
3. Mengapa ditemukan pus pada umbilical?
4. Apa kemungkinan diagnosis skenario di atas?
5. Bagaimana tatalaksana awal yang diberikan pada pasien tersebut?
6. Pandangan islam menurut scenario di atas?

STEP 3:

1. Apa tujuan diberikannya imunisasi TT?


Program imunisasi merupakan salah satu program penting di sektor kesehatan.
Imunisasi adalah upaya memberikan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan
memasukkan kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan agar tubuh dapat
menghasilkan zat anti bodi untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang
menyerang tubuh. Program imunisasi ini bertujuan untuk menurunkan angka
kesakitan, kecacatan dan kematian dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Salah satu program imunisasi penting yang di anjurkan pemerintah adalah
imunisasi TT (Tetanus Toksoid) yang merupakan proses untuk membangun
kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus. Imunisasi TT ini bisa
diberikan pada ibu hamil trimester I sampai dengan trimester III. Pemberian Imunisasi
TT pada ibu hamil bertujuan mencegah kematian ibu dan bayi akibat infeksi tetanus.
Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) diberikan rutin saat pelayanan antenatal dengan
interval 4 minggu setelah penyuntikan pertama. Selama hamil pemberian imunisasi
TT diberikan sebanyak 2 kali untuk mencegah tetanus.
Kementrian Kesehatan RI.Imunisasi TT dapat diberikan pada ibu hamil dari trimester
1-3 untuk mencegah kematian ibu dan bayi. Diberikan antenatal 4 minggu setelah
suntikan pertama. Diberikan 2 kali. Tujuan diberikannya imunisasi Tetanus Toksoid
antara lain untuk melindungi bayi baru lahir dari Tetanus Neonatorum, melindungi
ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka, pencegahan penyakit pada ibu
hamil dan bayi kebal terhadap kuman Tetanus, serta untuk mengeliminasi penyakit
Tetanus pada bayi baru lahir. Menurut Depkes RI, adapun tempat pelayanan untuk
mendapatkan imunisasi TT yaitu :
a. Puskesmas
b. Puskesmas pembantu
c. Rumah sakit
d. Rumah bersalin
e. Polindes
Ibu hamil merupakan populasi yang rentan terhadap infeksi penyakit menular, oleh
karena itu program imunisasi ditujukan bagi kelompok ini. Salah satu penyakit
menular yang dapat berakibat fatal dan berkontribusi terhadap kematian ibu dan
kematian anak adalah Tetanus Maternal dan Neonatal. Imunisasi Tetanus Toksoid
(TT) merupakan pembentukan kekebalan tubuh untuk mencegah penyakit yang dapat
menyebabkan kematian pada ibu dan janin. Tujuan pemberian imunisasi TT pada ibu
hamil adalah untuk mencegah penyakit yang dapat
menyebabkan kematian ibu dan janin dan dapat mencegah penyakit tetanus. Imunisasi
TT minimum dilakukan 2 kali suntikan dengan selang waktu 4 minggu dengan dosis
0,5 ml yang disuntikkan dibawah lengan atas. Imunisasi TT yang diberikan
melindungi bayi baru lahir dari kemungkinan terkena infeksi pada tali pusatnya.
Infeksi tersebut bisa menyebabkan kejang pada bayi. Jika kejang tersebut berulang-
ulang, dapat membahayakan keselamatan jiwa dan
menimbulkan kerusakan otak bayi. Tetanus ini banyak di jumpai di kotoran
manusia,atau hewan dan besi besi yanh sudah berkarat dan memiliki toxic yang dapat
menyerang saraf pusat,Pemberian imunisasi pada saat ibu hamil ini membuat bayi
tersebut dapat menghindari penyakit tetanus selama beberapa minggu setelah lahir,
hal tersebut bisa terjadi karena adanya penyaluran molekul imunisasi secara langsung
dari ibu kr anak melalui plasenta.
2. Apa saja yang dapat menyebabkan kejang pada bayi baru lahir?
Beberapa penyabab yang dapat mengakibatkan kejang pada neonates adalah :
a. Asfiksia, Asfiksia perinatal menyebabkan terjadinya ensefalopati hipoksik-
iskemik dan merupakan masalah neurologis yang penting pada masa neonatal,
dan menimbulkan gejala sisa neurologis
b. Trauma dan perdarahan intracranial,
c. Infeksi, Pada bayi baru lahir infeksi dapat terjadi di dalam Rahim (TORCH),
selama persalinan, atau segera sesudah lahir (virus herpes simpleks, virus
Coxsackie, E. Colli, dan Streptococcus B)
d. Gangguan metabolic yang berhubungan dengan kejang pada neonatus adalah:
hipoglikemi dan hipokalsemia.
e. Gangguan elektrolit, Gangguan keseimbangan elektrolit terutama natrium
menyebabkan hyponatremia ataupun hipernatremia yang kedua-duanya
merupakan penyebab kejang.
Kejang bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari gangguan saraf pusat,
lokal atau sistemik. Kejang ini merupakan gejala gangguan syaraf dan tanda penting
akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang tersebut, yang dapat
mengakibatkan gejala sisa yang menetap di kemudian hari. Bila penyebab tersebut
diketahui harus segera di obati.
Pada kasus tetanus neonatorum awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat
periodik, dan dipicu oleh rangsangan- rangsangan sensoris (suara atau sentuhan).
Kemudian kejang akan terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus. Spasme
dan kejang berulang atau terus menerus yang terjadi akan mempengaruhi sistem saraf
simpatik sehingga terjadi vasokonstriksi pada saluran napas dan akan terjadi apneu
dan bayi menjadi sianosis. Hal ini merupakan penyebab kematian terbesar pada kasus
tetanus neonatorum.
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi pada
siku dan tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan
mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung tertarik
menyerupai busur panah (opisthotonos). Faktor genetic atau keturunan dimana harus
diketahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom
epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada katannya dengan factor
genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang.
3. Mengapa ditemukan pus pada umbilical?
Perawatan tali pusat adalah melakukan pengobatan dan pengikatan yang
menyebabkan pemisahan fisik dengan bayi. Kemudian, tali pusat dirawat dalam
keadaan bersih dan terhindar dari infeksi tali pusat. Perawatan tali pusat dimaksudkan
agar luka tali pusat tetap bersih serta tidak terkena air kencing, kotoran bayi, nanah,
dan kotoran lain. Hal ini dilakukan agar bayi terhindar dari infeksi. Berikut ini
beberapa tanda-tanda infeksi pada tali pusat yaitu ada pus atau nanah, berbau busuk,
dan kulit sekitar pusat kemerahan
Pus di umbilicus pada neonates dapat terjadi akibat adanya kuman yang masuk ke
dalam tubuh bayi melalui luka tali pusat pada saat pemotongan tali pusat ketika bayi
lahir ataupun pada saat perawatan tali pusat. Waktu yang digunakan untuk
pemotongan tali pusat tergantung dari pengalaman seorang penolong persalinan
tersebut. Pada bayi normal pemotongan ditunggu sampai denyut nadi tali pusat
terhenti. Pada scenario, Ny. Jasmin melahirkan dengan bantuan dukun bayi hal ini
dapat menjadi salah satu factor risiko terjadinya infeksi pada tali pusat akibat
kurangnya pengetahuan perawatan tali pusat yang bersih atau tidak memenuhi
persyaratan kesehatan.
4. Apa kemungkina diagnosis scenario di atas?
Dijelaskan di skenario Ny. Jasmin mengaku tidak pernah mendapatkan imunisasi TT
selama kehamilan, persalinan dibantu oleh dukun bersalin dan setelah By. Nora lahir
mengalami kejang kelojotan disertai pus di umbilicus. Dari hal tersebut kemungkinan
By. Nora mengalami Tetanus Neonatorum. Penyakit tetanus neonatorum adalah
penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang
disebabkan oleh Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan racun yang
menyerang sistem syaraf pusat. Tetanus Neonatorum adalah penyakit infeksi yang
terjadi melalui luka bekas irisan pada plasenta di umbilikal karena penggunaan alat
pemotong tali pusat yang tidak bersih sehingga memudahkan basil clostridium tetani
dengan waktu inkubasi 3-10 hari yang menyerang pada bayi umur di bawah 1
bulan.Dalam skenario disitu juga di ceritakan ibu belum pernah melakukan Imunisasi
TT dimana hal tersebut mrrupakan salah satu faktor penyebab tetus tadi mudah
menyerang karena belum terbentuknya imunitas yang sempurna pada bayi sehingga
terjadilah kejang seperti pada skenario. Faktor risiko yang menyebabkan tetanus
neonatorum adalah persalinan yang tidak memenuhi standar kebersihan yaitu
perawatan tali pusat tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan pemberian imunisasi
Tetanus Toxoid pada ibu hamil tidak dilakukan. tidak lengkap atau tidak sesuai
dengan ketentuan program. Gejala atau tanda bayi mengalami tetanus neonatorum
adalah tanda radang atau kemerahan pada tali pusat, bau busuk dan bayi akan
mengalami kesulitan membuka mulut, kuduk terasa kaku, kejang pada otot wajah dan
badan, lengan kaku, sulit bernafas.
Tetanus neonatorum adalah tetanus pada bayi usia hari ke 3 sampai hari ke 28 setelah
lahir, tetanus ini ditandai dengan kontraksi otot tidak terkendali, trismus, bibir
mencucu,opistotonus (kekakuan pada ekstremitas dan abdomen). Tetanus ini sendiri
disebabkan oleh bakteri clostridium tetani yaitu kuman anaerob yang mengeluarkan
toksik/racun dan menyerang system saraf pusat. Penyebab TN di Indonesia
bermacam-macam yaitu karena pertolongan persalinan dan perawatan tali pusat yang
salah , alat pemotongan tali pusat dan luka karena insiden tidak bersih, selain itu
terdapat kegagalan pelayanan ANC pada ibu hamil dalam pelayanan imunisasi TT.
5. Bagaimana tatalaksana awal yang diberikan pada pasien tersebut
Prinsip utama dalam tata laksana kejang neonatus adalah mempertahankan ventilasi
dan perfusi yang adekuat; mencari dan memberikan tata laksana terhadap etiologi
kejang sesegera mungkin; tata laksana kejang, dengan mempertimbangkan manfaat
pemberantasan kejang dengan efek samping yang mungkin timbul dari pemberian
obat antikonvulsan. Kejang merupakan kegawatdaruratan maka dari ituharus tetap
memperhatikan ABCD (apakah airwaynay clear, apakah perlu oksigen nasal atau
masker atau intubasi sehingga hemostatisnya harus baik)
Jika belum ada hasil lab maka tindakan pertama yang dilakukan adalah menghentikan
kejang dengan antikonvulsan. Pada neonates diberikan Phenobarbital sebagai pilihan
utama dengan dosis awal 10-20 mg/kg sampai maksimal 40 mg/kg diberikan secara
IB selama 5 menit.
Tatalaksana medis utuk kejang, setelah hasil lab keluar:
- Larutan dextrose 10% (2 cc/kg IV) secara empiris keada neonates yang sedang
mengalami kejang (mengatasi hipoglikemia)
- Kalsium glukonat (200 mg/kg IV), jika dicurigai adanya hipokalsemia
- 0,2 ml/kg 2 ml Eq/kg Magnesium sulfat 50%
- Pada ketergantungan pyridoxine, berikan50 mgpyridoxinIV untuk terapi. Kejang
akan berhenti dalam beberapa menit.
- Antibiotika diberikan jika dicurigai adanya sepsis
- Obat anti kejang
6. Pandangan islam menurut scenario di atas?
Ari-ari atau plasenta merupakan satu rangkaian dengan tali pusar. Di masyarakat
setelah bayi lahir, ari-ari biasanya dikubur di dekat rumah dan diberi pencahayaan
lampu. Jika tujuan penggunaan lampu adalah supaya tidak dirusak atau dimakan
binatang boleh-boleh saja, tetapi jika ari-ari yang dikubur ditambahkan barang-barang
lain seperti pensil atau sisir, maka hukumnya jadi haram. Ini karena tindakan tersebut
termasuk dalam kategori tabdzir (membuang harta benda). Dalam Islam mengubur
ari-ari, disebutkan bahwa hukumnya adalah sunah. Hadis dari Aisyah, "Nabi
memerintahkan untuk mengubur tujuh potongan badan manusia; rambut, kuku, darah,
haid, gigi, gumpalan darah dan ari-ari”.
Pada QS Yunus :57 yang artinya "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
hikmah bagi orang-orang yang beriman”. Ayat diatas telah menjelaskan bahwasanya
setiap penyakit yang datang kepada manusia pasti disertai dengan
penyembuhnya/obatnya seperti halnya dengan penyakit tetanus toksoid karena yang
rentan terkena tetanus adalah calon ibu, ibu hamil, dan janin. Maka diwajibkan calon
pengantin untuk suntik tetanus toxoid dengantujuan agar terhindar dari penyakit
tersebut yang dapat terjadi pada masyarakat, dan disinilah bukti bahwasanya Allah
selalu memberikan jalan disetiap permasalahan.

STEP 4: Skema

dx: kejang ec
tetanus
neonatorum

etiologi patofisiologi diagnosis komplikasi tatalaksana edukasi

pemotongan
clostridium
tali pusat
tetani
kurang steril

STEP 5: Sasaran Belajar

Tetanus Neonatorum

1. Definisi & Etiologi


2. Patogenesis
3. Diagnosis (Anamnesis dan pemeriksaan fisik, px penunjang)
4. Tatalaksana Awal (SKDI 3B), pencegahan imunisasi TT
5. Prognosis dan Komplikasi
6. Edukasi (Dokter keluarga)

STEP 6: Belajar Mandiri


STEP 7:

Tetanus Neonatorum

1. Definisi & Etiologi


Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia
0-28 hari) yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteria yang mengeluarkan
toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat.
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi neorutoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan
bakteri Clostridium tetani pada masa neonatal. Umumnya infeksi terjadi akibat proses
partus dan penanganan tali pusat yang kurang steril.
Penyakit ini khususnya terjadi pada bayi dengan ibu yang belum mendapatkan
imunisasi tetanus sebelumnya.
Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier berhasil mengisolasi bakteri Clostridium tetani
yang hidup bebas dan pada tahun 1889 Kitasato Shibasaburo berhasil mengisolasi
bakteri ini dari manusia. Vaksin tetanus (Tetanus toxoid) pertama kali pada tahun
1924 oleh P Descombey.
Tetanus disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh basil Gram-positif C tetani, yang
merupakan anaerob. Spora Clostridium tetani ditemukan di kotoran manusia dan
hewan, tanah, dan pupuk kandang. Faktor lingkungan, seperti banjir dan angin topan,
dapat meningkatkan jumlah spora Clostridium tetani di dalam tanah, yang berpotensi
meningkatkan risiko infeksi tetanus setelah bencana alam. Spora masuk ke dalam
tubuh melalui kontaminasi baik luka dalam maupun luka superfisial, dan dapat
mengubah dalam kondisi anaerob.

2. Patogenesis
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan memudahkan
spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan tetanospamin.
Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor
neuron. Kemudian bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel
neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya menyebabkan
gangguan sistim saraf pusat (SSP) dan sistim saraf perifer .Gangguan tersebut berupa
gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter
inhibisi, yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilepsi,
yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan
serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu .Ketegangan otot
dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan 6 leher. Pada saat
toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat
terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai timbul kejang.

3. Diagnosis (Anamnesis dan pemeriksaan fisik, px penunjang)


Anamnesis :
1. Penolong persalinan apakah tenaga medis/paramedis/non medis/dukun bayi
2. Telah mendapat pelatihan atau belum
3. Alat yang dipakai memotong tali pusat
4. Ramuan apa yang dibubuhkan pada perawatan tali pusat
5. Status imunisasi TT ibu sebelum dan selama kehamilan
6. Sejak kapan bayi tidak dapat menetek (incubation period)
7. Berapa lama selang waktu antara gejala-gejala tidak dapat menetek dengan
gejala spasme pertama (period of onset)
Gejala klinis timbul setelah toksin mencapai susunan saraf. Masa inkubasi umumnya
berkisar antara 3-10 hari
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat ketika bayi
malas minum dan menangis yang terus menerus.
- Bayi sadar, terjadi spasme otot berulang
- Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut
(Trismus). Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut ke bawah,
sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mencucu
seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut bayi sehingga bayi tidak dapat menetek
- Terjadi kekakuan otot muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi agak
tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah (Risus Sardonicus)
- Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur panah
(Opisthotonus), bertumpu pada tumit dan belakang kepala atau ada sela antara
punggung bayi dengan alas saat bayi ditidurkan. Jika dibiarkan secara berterusan
tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur tulang vertebra
- Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut terba seperti perut
papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (thoraks) juga menjadi
kaku sehingga penderita merasakan kesulitan bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot
toraks berlangsung lebih dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru
- Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kekakuan yang
terus menerus dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak napas. Efek tetanospamin
dapat menyebabkan gangguan denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun
(bradikardia), atau meningkat (takikardia). Tetanospamin juga dapat menyebabkan
demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos juga dapat menyebabkan anak tidak
bisa buang air kecil (retensio urin)
- Tali pusat kotor dan berbau (infeksi)
Pemeriksaan Penunjang. Anamnesis dan gejala cukup khas sehingga sering tidak
diperlukan pemeriksaan penunjang kecuali dalam keadaan meragukan untuk membuat
diagnosis banding. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membedakan tetanus
neonatorum dengan sepsis neonatal/meningitis :
- Fungsi lumbal
- Pemeriksaan darah rutin, preparat darah hapus/kultur dan sensitivitas
Diagnosis Banding
Diagnosis banding terhadap tetanus neonatorum (TN) perlu mencakup
sejumlah kondisi medis yang dapat menyerupai salah satu atau lebih karakteristik
tetanus, seperti kejang pada neonatus. Secara umum, kejang pada neonatus dapat
disebabkan oleh anomali kongenital, trauma, anoksia, perdarahan intrakranial, serta
keadaan pasca persalinan (misalnya infeksi dan penyakit metabolik).
a) Anomali Kongenital
Kerusakan otak akibat penyakit kongenital maupun proses perinatal dapat
menimbulkan spastisitas maupun kejang tonik klonik. Bayi dengan kerusakan otak
umumnya mengalami penurunan kesadaran dan kejang mulai muncul di akhir 24 jam
pertama kehidupan. Sindrom kerusakan otak juga dapat menimbulkan lidah dan otot
sekitar rongga mulut yang lemas, refleks mengisap hilang, dan bayi tidak dapat
menelan sejak hari pertama pasca persalinan. Namun, manifestasi trismus tidak
ditemukan pada berbagai kondisi tersebut, sehingga dapat membedakannya dari TN.
b) Trauma
Kontusio serebri yang dapat terjadi akibat trauma sekunder pada persalinan sungsang
maupun penyulit obstetri lainnya biasanya lebih sering ditemukan pada bayi aterm
yang besar.
c) Infeksi
Infeksi neonatal yang juga perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding TN adalah
meningitis, yang biasanya berkaitan dengan septikemia. Bayi dengan meningitis
neonatal dapat tampak lemah, mengalami kejang, apneu episodik, tidak mau
menyusu, hipotermia atau hipotermia, dan distres pernapasan pada minggu pertama
kehidupan dan setelahnya. Berbeda dengan tetanus, manifestasi kejang pada kondisi
tersebut memiliki karakteristik fase tiap kejang lebih pendek, tidak secepat kejang
pada tetanus, dan lebih sering melibatkan sebagian sisi tubuh saja. Selain itu, pada TN
tidak ditemukan ubun-ubun membonjol sebagaimana ditemukan pada meningitis.
d) Penyakit Metabolik
Penyakit metabolik seperti hipoglikemia dan hipokalsemia sering terjadi pada bayi
dengan berat lahir rendah maupun bayi dengan ibu yang mengalami diabetes. Insidens
hipokalsemia neonatorum memiliki dua periode puncak, yakni pada 2-3 hari pertama
kehidupan (paling sering ditemukan pada bayi dengan berat lahir rendah dan trauma
obstetrik) dan pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua kehidupan. Tetani
akibat hipokalsemia dapat bermanifestasi seperti kejang dan laringospasme.
Perbedaan karakteristik tetani hipokalsemia dari tetanus adalah adanya tremor dan
fasikulasi otot serta tidak adanya trismus dan rigiditas otot umum pada tetani.

4. Tatalaksana Awal (SKDI 3B), pencegahan imunisasi TT


Medikamentosa
-Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan.
Berikan diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau dengan bolus IV setiap
3-6 jam (dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg per kali pemberian), maksimum 40 mg/kg/hari. -
Bila jalur tidak terpasang, pasang pipa lambung dan berikan diazepam melalui pipa
atau melalui rektum (dosis sama dengan IV?).
Bila perlu, beri tambahan dosis 10 mg/kg tiap 6 jam.
Bila frekuensi napas kurang dari 30 kali/menit dan tidak tersedia fasilitas tunjangan
napas dengan ventilator, obat dihentikan meskipun bayi masih mengalami spasme.
Bila bayi mengalami henti napas selama spasme atau sianosis sentral setelah spasme,
berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang, bila belum bernapas lakukan
resusitasi, bila tidak berhasil dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU.
Setelah 5-7 hari, dosis diazepam dapat dikurangi secara bertahap 5-10 mg/hari dan
diberikan melalui rute orogastrik.
- Pada kondisi tertentu, mungkin diperlukan vencuronium dengan ventilasi mekanik
untuk mengontrol spasme.

- Berikan bayi:
- Human tetanus immunoglobulin 500 U IM atau antitoksin tetanus (equine serum)
5000 U IM. Pada pemberian antitoksin tetanus, sebelumnya dilakukan tes kulit
Tetanus toksoid 0.5 mL IM pada tempat yang berbeda dengan pemberian antitoksin.
Pada hari yang sama? (Di literatur, imunisasi aktif dengan tetanus toksoid mungkin
perlu ditunda hingga 4-6 minggu setelah pemberian tetanus imunoglobulin)
- Lini 1:Metronidazol 30 mg/kg/hari dengan interval setiap enam jam (oral/parenteral)
selama 7-10 hari atau lini 2: Penisilin procain 100.000 U/kg IV dosis tunggal selama
7-10 hari. Jika hipersensitif terhadap penisilin, berikan tetrasiklin 50 mg/kg/hr (utk
anak> 8 th) Jika terdapat sepsis/ bronkopneuminia, berikan antibiotik yang sesuai Bila
terjadi kemerahan dan/atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal tali pusat. atau
keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau bau busuk dari area tali pusat, berikan
pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.

5. Prognosis dan Komplikasi


Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah :
• Hambatan pada jalan napas sehingga pada tetanus yang berat , terkadang
memerlukan bantuan ventilator.
• Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang
spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal
akut.
• Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang berkepanjangan.
Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter,
• pneumonia yang didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus.
• Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi akhir yang umum dari tetanus,
ditemukan pada 50% -70% dari kasus diotopsi.
• Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena
pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi
hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi.
Ada beberapa komplikasi yang dapat ditemui pada tetanus neonatorum antara lain:
a) Laringospasme yaitu spasme dari laring dan atau otot pernapasan
menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pada
kasus tetanus neonatorum.
b) Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot
berlebihan yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana pembentukan dan
kepadatan tulang masih belum sempurna
c) Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saaraf otonom yang dapat
menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat menyebabkan henti
jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab kematian neonatus yang sudah
distabilkan jalan napasnya.
d) Sepsis akibat infeksi nosokomial, infeksi sekunder (cth: Bronkopneumonia)
e) Pneumonia aspirasi, sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun
minuman yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung.
f) Komplikasi jangka panjang dapat ditemukan defisit neurologis pada sebagian
penderita tetanus neonatorum yang selamat. Gejala yang muncul dapat berupa
cerebral palsy, gangguan perkembangan intelektual maupun gangguan perilaku.
Prognosis
Tetanus neonatorum (TN) masih menjadi salah satu penyakit infeksi dengan
prognosis mortalitas yang tinggi, khususnya pada pasien yang tidak mendapat
penanganan medis. Apabila tidak mendapatkan penanganan medis yang adekuat,
80%-99% kasus TN akan berujung pada kematian.

6. Edukasi (Dokter keluarga)


 Memberikan penjelasan kepada ibu dan keluarga bayi terkait tetanus neonatorum
sehingga memerlukaj tindakan dan pengobatan khusus
 memberitahu kepada setiap ibu hamul harus memperolehbpeyanan ANC selama 4
kali dan imunisasi TT selama masa hamilnya
 menginformasikan melakukan persalinan di tenaga jesehatan yang terlatih dan
proses persalinan yang bersih dan berkualitas
 Menjaga lingkungan agar terhindar dari habitat yang kemungkinan terdapat
Clostridium Tetani

Edukasi dan promosi kesehatan pada tetanus meliputi himbauan untuk melakukan
imunisasi dasar dan imunisasi aktif wanita hamil dengan 2 dosis TT (tetanus toksoid),
edukasi cara perawatan luka yang benar, pelatihan teknik persalinan aseptik bagi
bidan atau tenaga penolong lainnya, serta cara perawatan tali pusat yang baik.
Masyarakat juga harus mendapatkan edukasi mengenai gejala dan tanda klinis awal
yang muncul pada pasien tetanus. Dengan begitu, pasien dapat lebih cepat dibawa ke
fasilitas kesehatan dan mendapatkan penanganan.

 Cakupan imunisasi rutin TT harus dipertahankan, setidaknya cakupan ibu hamil


mencapai minmal 80% dan diperkuat pada daerah dengan cakupan di bawah 80%
 kampanye imunisasi tambahan TT diperlukan di daerah-daerah terpencil, di mana
layanan imunisasi rutin tidak dapat diberikan dengan optimal
 Program imunisasi ulangan melalui BIAS DT dan Td harus tetap dilaksanakan
dengan baik dan ditingkatkan cakupannya.
 Program imunisasi ulangan melalui imunisasi TT Calon harus tetap dilaksanakan
dengan baik
 Perbaikan pencatatan pada Kartu imunisasi TT untuk Ibu untuk mempermudah
evaluasi status TT
 Peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan & di fasilitas kesehatan.
Persalinan oleh dukun masih tinggi, diperlukan peningkatan kemitraan bidan-
dukun dan edukasi agar masyarakat mau bersalin dengan tenaga kesehatan dan di
fasilitas kesehatan.
 kit persalinan bersih harus dijamin ketersediaannya untuk semua persalinan baik
di fasilitas kesehatan maupun di rumah (oleh tenaga kesehatan)
 Edukasi masyarakat dalam perawatan tali pusat bayi baru lahir agar tidak
menggunakan apapun, hanya dibersihkan dengan air & sabun dan dibiarkan
kering.
DAFTAR PUSTAKA:

1. Kanzul Ummal No. 18320 dan Al-Jami As-Shagir, As-Suyuthi dari Imam Hakim.
2. Nugeni s, Ristini, Profit tetanus neonatorum dalam rangka kebijakan eliminasi tetanus
maternal dan neonatal di kabupaten bangkalan provinsi jawa timur tahun 2012-2014.
buletin penelitian sistem kesehatan. april 2016.19(2)
3. Wine F, Madinah M. sikap ibu, dukungan suami dan Peran Tenaga Kesehatan
Berhubungan dengan Pelaksanaan Imunisasi TT Ibu hamil. Jurnal ilmiah kebidanan
indonesia. juni 2020. 10(2).
4. MH Roper, JH Vandelaar, FL Gasse. Maternal and Neonatal Tetanus. Lancet. 2008.
Feb 2;371(9610):385-6.
5. Suprapti.Asuhan Kebidanan Kegawat Daruratan Maternal Neonatal.Kemeskes
RI.2016
6. Roysida.Gambaran Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan imunidasi TT pada ibu
hamil.Jurnal Ilmiah Kesehatan UNUSA.2020
7. Kejang pada Neonatus.Permasalahan dalam diagnosis dan tatalaksana. Jurnal Sari
pediatri. 2017.
8. Guidelines for seizure Management. 2010
9. Rosmeri Br Bukit. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Terhadap Imunisasi
Tetanus Toksoid. Journal of Midwifery Science. Vol 2, No 2. Juli 2018
10. Pratiwi. Faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Imunisasi Tetanus Toksoid
pada Ibu Hamil di Puskesmas Tabongo Kecamatan Tabongo Kabupaten Gorontalo
Tahun 2013.
11. Gita O. Marola.Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Imunisasi Tetanus Toxoid di Desa
Wonua Jaya Wilayah Kerja Puskesmas Moramo Kabupaten Konawe Selatan Provinsi
Sulawesi Tenggara Tahun 2018.
12. Nirwana Ab. Kapita Selekta Kehamilan. Cetakan I Yogyakarta Nuha Med. 2011.
13. Sudarti, Fauziah A. Asuhan Kebidanan Neonatus Resiko Tinggi Dan Kegawat
Daruratan. Kedua. Jakarta: Medical Book; 2016)
14. (Maryunani A, Puspita E. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal Dan Neonatal. Cv.
Trans Info Media. Jakarta Timur; 2017
15. H Setyo. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tata laksana
Setyo Handryastuti.Sari Pediatri, Vol. 9, No. 2, Agustus 2007
16. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. 2012
17. Amboss. Chorioamnionitis, Neonatal Infection, and Omphalitis. 2019
18. Rustini.Profil Tetanus Neonatorum dalam Rangka kebijakan Eliminasi Tetanus
Maternal dan Neonatal di kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur,Tahun 2012-
2014.Jurnal kesehatan volume 19 Nomor 2.Tahun2016
19. Novita.Penyuluhaj tentang imunisasi TT Pada ibu Hamil di Desa Jorring Natabung
Kecamatan Padangsidampuan.Jurnal Pengabdian masyarakat.2021
20. Thwaites, L, dkk. Maternal and Neonatal Tetanus. 2015
21. Wibowo,T. Tetanus Neonatorum dalam bulletin jendela data dan informasi.
Kementrian Kesehatan RI. 2012
22. Jaya, H. Aditya, R. Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care Unit. 2018
23. Modul Fakultas Kedokteran Airlangga. Tetanus Neonatorum. Ilmu Kesehatan Anak.
2017.
24. Rahmanto, Danawan., Farhanah, Nur. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh pada
Kemantian Pasien Tetanus di RSUP dr. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. 2017.
25. Dina RA. Gambaran Epidemiologi Kasus Dan Keamatian Tetanus Neonatorum Di
Kabupaten Serang Tahun 2005-2008. 2009.
26. KEMENKES RI. Eliminasi Tetanus Material dan Neonatal. 2012.
27. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. 2009

Anda mungkin juga menyukai