Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana

a. Pengertian Korporasi

Secara etimologi tentang kata korporasi (Belanda: corporatie,


Inggris: corporation, Jerman: korporation) berasal dari kata
“corporatio” dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata
lain yang berakhir dengan “tio”, maka corporatio sebagai kata benda
(substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak
dipakai orang pada zaman Abad Pertengahan atau sesudah itu.
Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia: badan),
yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan
demikian, corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan,
dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang
diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan
9
manusia, yang terjadi menurut alam.

Oleh karena itu, dari definisi diatas dapat diartikan bahwa

“kematian” badan hukum ditentukan oleh hukum mengingat badan

hukum itu merupakan ciptaan hukum. Dalam artian sebuah

korporasi dapat dikatakan mempunyai sebuah “nyawa”, dimana

korporasi menjadi sesuatu yang dapat hidup ataupun mati oleh

suatu putusan hukum.

Sedangkan secara terminologi, korporasi adalah kumpulan

orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan

10
hukum maupun bukan badan hukum.

9
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Penerbit
Kencana Prenada Media Group, hlm. 23.
10 Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

12
Menurut Utrecht/Moh. Soleh Djindang tentang korporasi :

“Ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum


bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum
tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan
hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan
kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota
masing-masing.”11

A. Z. Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang

sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai

12
unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.

Sedangkan Rudi Prasetyo menyatakan :

“Kata korporasi sebutan yang lazim digunakan di kalangan


pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam
bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai
badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai
rechtpersoon, atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau
13
corporation.”

Sehingga dari beberapa pendapat ahli tersebut diatas dapat

dikatakan bahwa korporasi dianggap sebagai pribadi yang mampu

menjalankan segala tindakan hukum dengan harta kekayaan yang

timbul dari tindakan hukum tersebut. Korporasi yang

beranggotakan sekumpulan orang tersebut mempunyai tujuan yang

akan dicapai bersama antara anggota. Dapat diartikan pula

korporasi mempunyai hak dan kewajiban hukum sebagaimana

11 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. cit., hlm. 25


12 Ibid, hlm. 25
13 Ibid, hlm. 210

13
korporasi menjadi subyek hukum, yang mana hal itu terdapat pula

dalam subyek hukum manusia alamiah.

b. Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana

Subyek hukum pertama-tama adalah manusia. Badan


hukum dibandingkan dengan manusia, memperlihatan banyak
sifat-sifat yang khusus. Karena badan hukum tidak termasuk
kategori manusia, maka tidak dapat memperoleh semua hak-hak,
tidak dapat menjalankan semua kewajiban-kewajiban, tidak dapat
pula melakukan semua perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana
14
halnya pada manusia.

Badan hukum itu bukan makhluk hidup sebagaimana


halnya pada manusia. Badan hukum kehilangan daya berfikir,
15
kehendaknya, dan tidak mempunyai “centraal-bewustzijn” ,
karena itu ia tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum
sendiri. Ia harus bertindak dengan perantaraan orang-orang biasa
(natuurlijke personen), akan tetapi orang yang bertindak itu tidak
bertindak untuk dirinya, atau untuk dirinya saja, melainkan untuk
dan atas pertanggung-gugat badan hukum.16

Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa korporasi

merupakan sebuah pribadi buatan dengan manusia sebagai

pengendali dan yang menjalankan fungsi korporasi. Korporasi

tidak dapat bergerak sendiri karena korporasi hanyalah “benda

mati” yang digerakkan oleh manusia. Korporasi dikatakan sebagai

subyek tindak pidana maka korporasi dianggap mampu untuk

bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh korporasi itu

sendiri maupun jajaran pengurus dari sebuah korporasi.

14 Ali Rido, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 12.
15 Central bewustzijn merupakan kesadaran pusat.
16 Ali Rido, Op.Cit, hlm. 17.

14
Meskipun demikian, korporasi yang dianggap sebagai

subyek hukum pidana sebagaimana manusia, ketika melakukan

sebuah tindak pidana maka pengaturan pidana dan pemidanaannya

tentunya tetap berbeda dengan subyek hukum manusia.

Diantaranya korporasi tidak dapat dijatuhi pidana mati, pidana

seumur hidup, pidana penjara, dan pidana kurungan. Namun,

korporasi dapat dijatuhi pidana denda sebagai pidana pokok dan

pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu.

B. Tinjauan Umum Tentang Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu


mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang
dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam
17
Undang-undang.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum


pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk
mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain
itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus
memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait,
sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)
dalam melaksanakannya.18

Pertanggungjawaban pidana, selain menjadi bentuk penegakan

hukum, juga bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak

pidana, salah satunya dengan menerapkan pemidanaan. Hal tersebut untuk

menanggulangi bahkan mencegah terjadinya tindak pidana. Namun, disisi

17 Moeljatno, 2008, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit Rieneka Cipta, hlm. 41
18 Ibid, hlm. 23

15
lain juga diperlukan pembinaan kepada pelaku tindak pidana agar tidak

mengulangi perbuatannya. Sehingga akan terjadi keseimbangan antara

hukuman yang diberikan dan pemulihan diri pelaku.

Pertanggungjawaban pidana berarti bahwa setiap orang yang

melakukan perbuatan pidana, sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan, maka orang yang melakukan tindak pidana tersebut

harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan kesalahan

yang dilakukan. Artinya pelaku tindak pidana mempertanggungjawabkan

perbuatannya tersebut dengan pidana jika dirinya mempunyai kesalahan,

yang mana jika dilihat dari segi masyarakat perbuatannya merupakan

perbuatan yang melanggar suatu norma.

Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah


pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.
Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana
yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah
ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.19

Dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dapat

dimintai pertanggungjawaban atau tidak akan dilihat dari ada tidaknya

kesalahan dalam perbuatannya, apakah pelaku sadar atau tidak terhadap

perbuatan yang dilakukan, apakah pelaku mempunyai kehendak dari

dirinya untuk melakukan perbuatan tersebut, dan apakah pelaku mengerti

nilai-nilai dari perbuatan yang dilakukan.

C. Tinjauan Umum tentang Unsur Pertanggungjawaban Pidana

19 Ibid.

16
Pertanggungjawaban pidana erat kaitannya dengan sebuah tindak

pidana karena tanpa didahului oleh sebuah tindak pidana maka tidak ada

pertanggungjawaban untuk sebuah perbuatan yang dilakukan. Seseorang

yang melakukan tindak pidana dapat dipidana ketika seseorang tersebut

dianggap mampu untuk bertanggungjawab.

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak


termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya hanya
menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah
melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal
apakah dia dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan
atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang
mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana20.

Tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa

atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan

hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus

ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-

unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang

dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan

dipidanannya terdakwa maka terdakwa haruslah :

1. Melakukan perbuatan pidana

2. Mampu bertanggung jawab

3. Dengan kesengajaan atau kealpaan

4. Tidak adanya alasan pemaaf

20 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Penerbit Aksara
Baru, hlm. 75

17
Kemudian dari uraian diatas dapat dibedakan unsur-unsur

kesalahan, yaitu :

1. Kemampuan bertanggungjawab

2. Sengaja (dolus/opzet) dan lalai (culpa/alpa)

3. Tidak ada alasan pemaaf

D. Tinjauan Umum tentang Kesalahan

Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu


merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam
bahasa Latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin
mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan
seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Ada dua syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan
lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin
jahat/tercela (mens rea).21

Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa kesalahan secara

umum terbagi menjadi dua, yaitu kesalahan psikologis dan kesalahan

normatif. Kesalahan psikologis menitikberatkan pada sikap batin tertentu

dari pelaku tindak pidana dan hubungannya dengan perbuatan yang

dilakukan, yang mana pelaku tindak pidana dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sedangkan kesalahan normatif

menitikberatkan pada dapat dicelanya pelaku, yang dilihat dari segi

masyarakat seharusnya dia dapat berbuat lain yang tidak merugikan.

Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan

dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa

21 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 11


Tahun 1999, hlm. 27.

18
pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai

22
kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa tanpa adanya

sebuah unsur kesalahan dalam perbuatan yang dilakukan seseorang maka

orang tersebut tidak dapat dipidana. Sehingga dapat dikatakan ada atau

tidaknya kesalahan menjadi faktor penting dalam penentuan tindak pidana

dan hukumannya. Hal ini menunjukkan bahwa unsur kesalahan merupakan

unsur yang fundamental dalam hukum pidana karena dalam hukum pidana

mengenal adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan.

Pengertian kesalahan sebagai pengertian hukum dapat diketahui dari

beberapa pendapat sarjana berikut ini23:

1. Mezger :
“Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar
untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.”
2. Simons :
“Sebagai dasar untuk pertanggungganjawab dalam hukum
pidana. Ia berupa keadaan fisik dari si pembuat dan hubungannya
terhadap perbuatannya dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan
fisik itu perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat.”
3. Van Hamel :
“Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian
psikologis, berhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan
terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan
adalah pertanggungan jawab dalam hukum.”
4. Pompe :
“Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi
luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya.
Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah
kesalahan.”

22 Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm. 156.
23 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. cit., hlm. 70-71

19
Kesalahan menentukan akibat dari perbuatan yang dilakukan, yaitu

penjatuhan pidana. Dari beberapa pendapat ahli diatas, kesalahan

mengandung unsur pencelaan, dimana pencelaan yang dimaksud adalah

pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Dapat dicela disini berarti

dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dan dapat dijatuhi pidana.

E. Tinjauan Umum tentang Kemampuan Bertanggungjawab

Dalam menjelaskan definisi kesalahan, keadaan batin seseorang

dianggap normal sehingga dianggap mampu untuk bertanggungjawab atas

perbuatan pidana yang dilakukan. Dengan hubungan batin dan perbuatan

yang dilarang ini tercapai, maka ada suatu tindak pidana yang hukuman

pidananya dapat dijatuhkan pada pelaku. Dari ucapn-ucapan para sarjana

kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan

24
bertanggungjawab harus ada :

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan


yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang
melawan hukum
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Adanya kehendak dan kemampuan untuk membedakan baik dan

buruknya suatu perbuatan menunjukkan adanya kesadaran dalam diri

pelaku untuk melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, pelaku

dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.

Namun, ada beberapa hal yang membuat pelaku tindak pidana

dikatakan tidak mampu bertanggungjawab atau tidak mempunyai

24 Moeljatno, Op. cit., hlm. 179

20
kemampuan untuk bertanggungjawab. Sebagai konsekuensinya maka

tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut

keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak

mempunyai kesalahan dan kalau melakukan tindak pidana25. Didalam

KUHP dijelaskan dalam Pasal 44 ayat (1) 26 dimana ketidakmampuan

tersebut disebabkan oleh keadaan batin pelaku yang sakit atau cacat dalam

pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit.

Menurut Van Hamel kemampuan bertanggungjawab adalah suatu

keadaan normalitas psikis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3

(tiga) kemampuan, yakni27:

a) Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat


perbuatannya sendiri
b) Mampu menyadari bahwa perbuatannya itu menurut
pandangan masyarakat tidak diperbolehkan
c) Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-
perbatannya itu.

Sedangkan menurut Roeslan Saleh, mampu bertanggungjawab

adalah mampu untuk menginsyafi sifat melawan perbuatan hukumnya dan

28
sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.

Kaitannya dengan kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai

subyek hukum pidana, sejatinya korporasi digerakkan oleh manusia alamiah

25 Moeljatno, Op. cit., hlm. 179


26 Bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP : Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana.
27Setiyono, 2004, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang, Penerbit Bayumedia Publishing, hlm. 104

28 Ibid, hlm. 105

21
yang bertindak sebagai wakil dari korporasi. Namun disini korporasi

menjadi subyek hukum yang sama dengan manusia sehingga korporasi

sendiri dianggap mampu untuk bertanggungjawab. Meskipun demikian hal

tersebut tidak terlepas dari pro dan kontra tentang kemampuan

bertanggungjawab korporasi, karena terdapat adagium universitas

delinquere non potest yang berarti badan hukum tidak dapat dipidana

dengan anggapan korporasi tidak mempunyai mens rea serta korporasi

bukan pribadi alamiah.

F. Tinjauan Umum tentang Kesengajaan dan Kelalaian

a. Tinjauan Umum tentang Kesengajaan

Tentang apa arti dari kesengajaan, tidak ada keterangan sama

sekali dalam KUHP Indonesia, lain halnya dengan Swiss di mana

dalam Pasal 18 KUHP Swiss dengan tugas memberikan pengertian

tentang kesengajaan yaitu, “barang siapa melakukan perbuatan

dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan

29
perbuatan itu dengan sengaja.”

Istilah sengaja berarti mengetahui dan menghendaki apa


yang dilakukan. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan,
dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu
“Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang
siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan
diketahui”30.

29 Moeljatno, Op. Cit., hlm. 164


30 Moeljatno, Op. Cit., hlm. 171

22
Artinya disini bahwa seseorang yang melakukan perbuatan

atau tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta mengetahui

tindakan tersebut dan/atau akibatnya. Ada sebuah kesadaran dalam

diri orang tersebut akan perbuatan yang dilakukan, baik perbuatan

tersebut benar atau salah.

Ilmu hukum pidana membedakan tiga macam bentuk

31
kesengajaan, yaitu :

1. Kesengajaan sebagai maksud / tujuan (opzet als oogmerk)


Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan
menghendaki (willen) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak
pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan
kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan tahu juga menghendaki
timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil).
2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)
Kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut
akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu
perbuatan tertentu. Apabila perbuatan tertentu yang disadarinya
pasti menimbulkan akibat yang tidak dituju itu dilakukan juga
maka disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij
mogelijkheidsbewustzijn) disebut juga dengan dolus eventualis
Kesengajaan sebagai kemungkinan adalah kesengajaan
untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat
lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari
perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan
perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk
melakukan perbuatan.

b. Tinjauan Umum tentang Kelalaian

Pada umumnya suatu tindak pidana diperlukan adanya

kesengajaan, tetapi disamping itu orang sudah dapat dijatuhi pidana

31 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta, Penerbit Rajagrafindo Persada,
hlm.
96

23
apabila kesalahan yang dilakukan berupa kealpaan. Keadaan alpa

berarti orang tersebut lalai atau teledor dalam melakukan perbuatan

tersebut.

Salah satu bentuk dari kesalahan adalah culpa, menurut

Wirjono Prodjodikoro arti kata dari culpa adalah :

“Kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan

hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si

pelaku tindak pidana yang tidak seperti kesengajaan, yaitu kurang

berhati-hati, sehingga akibat yang tidak di sengaja terjadi.”32

Terkait dengan pendapat yang diutarakan tersebut,

Moeljatno berkesimpulan bahwa kesengajaan berlainan jenis dari

kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan

bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, akan tetapi

bentuk dari kesengajaan berbeda dengan kealpaan.

Kesengajaan adalah mengenai sikap batin orang menentang

larangan. Sedangkan kealpaan adalah sikap kurang mengindahkan

larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang

objektif sehingga menimbulkan keadaan yang dilarang.33

Selanjutnya, dengan menguntip pendapat Van Hamel,


Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu
tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh

32 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Penerbit


Eresco Jakarta, hlm. 61
33 Moeljatno, Op. Cit., hlm. 199

24
hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana
34
diharuskan oleh hukum.

Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa terdapat

kelalaian pelaku tindak pidana yang tidak akan mengira akibat

yang dilarang akan timbul karena perbuatan yang dilakukannya,

dimana akibat yang ditimbulkan dapat mungkin berbahaya bagi

dirinya maupun orang lain. Pelaku tidak berhati-hati dalam

bertindak meskipun sadar akan akibat yang akan ditimbulkan.

G. Tinjauan Umum tentang Teori Badan Hukum

1. Teori Fictie

Teori fiksi berpendapat, bahwa badan hukum semata-mata adalah

35
buatan negara saja. Teori ini dipelopori sarjana Jerman, Fridrich Carl

von Savigny (1779 – 1861), 36 tokoh utama aliran/mahzab sejarah pada

36
permulaan abad ke-19. Menurut Van Savigny bahwa hanya manusia

saja yang mempunyai kehendak. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan

hukum adalah suatu Abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit.

Jadi karena suatu abstraksi, maka menjadi suatu subjek dari hubungan

hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang

34 Moeljatno, Op. Cit., hlm. 201


35 R. Ali Ridho, 1977, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit Alumni, Jakarta, hlm.15
36 Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung

25
bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa

37
(wilsmacht).

Pada dasarnya menurut hukum alam hanya manusia yang dapat

disebut sebagai subyek hukum, mengingat manusia mempunyai akal

dan kehendak. Namun, disisi lain manusia menciptakan subyek hukum

lain, yang mana subyek hukum tersebut tidak memiliki wujud yang

nyata dan tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga

manusia yang menciptakan tersebut yang menjadi wakil-wakilnya.

2. Teori Organ

Teori organ mengatakan bahwa, badan hukum itu sama seperti

manusia yang juga mempunyai ”kepribadian” sebagaimana halnya

manusia dan keberadaan badan hukum di dalam pergaulan hidup

adalah suatu realita.38 Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto

von Gieke ( 1841 – 1921) pengikut aliran sejarah dan di negeri

Belanda dianut oleh L.G. Polano. Ajarannya disebut leer der volledige

39
realiteit, ajaran realitas sempurna.

Menurut von Gieke, badan hukum itu seperti manusia, menjadi

penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu “eine

leiblichgeistige lebensein heit”. Badan hukum itu menjadi suatu

“verbendpersoblich keit” yaitu suatu badan yang membentuk

kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan

37 Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 12
38 R. Ali Ridho, Op.Cit., hlm. 16
39 Ibid., hlm. 32

26
tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti

manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan seperti

mulutnya atau perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis diatas

kertas. Apa yang mereka (organen) putuskan, adalah kehendak dari

badan hukum. Dengan demikian menurut teori organ, badan hukum

bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum

bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan

hukum itu suatu organismen yang riil, yang hidup dan bekerja seperti

40
manusia biasa.

3. Teori Kekayaan Bersama

Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering (1818-1892),

sarjana Jerman pengikut aliran/mahzab sejarah tetapi kemudian keluar.

Pembela teori ini Marcel Planiol (Prancis) dan Molengraaff (Belanda),

kemudian diikuti pula oleh Star Busmaan, Krenenburg, Paul Scholten

dan Apeldoorn.41

Teori kekayaan bersama itu menganggap badan hukum sebagai

kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan

seluruh anggotanya. Menurut teori ini badan hukum bukan abstraksi dan

bukan organisme. Pada hakikatnya hak dan kewajiban badan hukum

adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Artinya badan hukum

40 Ibid., hlm. 32
41 Ibid., hlm. 34

27
ialah harta yang tidak dapat dibagi-bagi dari anggota-anggotanya

42
secara bersama-sama.

Mereka bertanggung jawab bersama-sama, harta kekayaan badan

itu adalah milik (eigendom) bersama-sama seluruh anggota. Para

anggota yang berhimpun adalah suatu kesatuan dan membentuk suatu

pribadi yang disebut badan hukum. Pada hakikatnya badan hukum itu

43
sesuatu yang abstrak.

H. Tinjauan Umum tentang Pertanggungjwaban Pidana Korporasi

Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem

44
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu :

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang

bertanggungjawab

2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawab

3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab

4. Korporasi dan pengurus sebagai pembuat dan yang

bertanggungjawab.

Tentang hal ini terdapat beberapa masalah yang perlu dikemukaan

dalam rangka fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana

korporasi. Pertama, penentuan kapan suatu korporasi dinyatakan sebagai

pelaku atau telah melakukan tindak pidana dan kapan suatu tindak pidana

telah dilakukan atas nama suatu korporasi merupakan hal yang harus

42 Ibid., hlm. 34
43 Ibid., hlm. 34
44 Setiyono, Op. Cit., hlm. 11

28
dirumuskan secara tegas.45 Kedua, kriteria-kriteria apa yang dapat

digunakan sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkn korporasi.

Sebab pertanggungjawaban dalam hukum pidana senantiasa dikaitkan

dengan masalah kesalahan, yaitu kemampuan bertanggungjawab,

kesengajaan atau kealpaan dan unsur ketiadaan alasan pemaaf. Ketiga,

pidana apakah yang lebih tepat untuk dikenakan terhadap korporasi.46

Secara teoritis terdapat tiga teori atau sistem pertanggungjawaban

pidana pada subjek hukum korporasi, yaitu :

1. Teori Identifikasi

Menurut doktrin ini, korporasi dapat melakukan sejumlah


delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat
berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai
korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak
sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban
47
korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.

Teori identifikasi pada dasarnya mengakui bahwa tindakan

dari anggota tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan

dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu

sendiri.48

Tindakan yang dilakukan individu pada dasarnya bukan


mewakili korporasi, tetapi dianggap sebagai tindakan korporasi itu
sendiri. Ketika individu melakukan suatu kesalahan, maka
kesalahan itu pada dasarnya adalah kesalahan korporasi. Jadi,
49
individu identik dengan korporasi.

45 Ibid., hlm. 99
46 Ibid., hlm. 100
47 Barda Nawawi Arief, 2002, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit
Raja Grafindo Persada, hlm. 154
48 Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 160
49 Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 162

29
Pada teori ini orang yang melakukan perbuatan yang

berkaitan dengan korporasi tersebut, meskipun bukan sebagai

pengganti dari korporasi maka hal itu dianggap sebagai perbuatan

yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri.

2. Teori Strict Liability

Strict Liability diartikan sebagai suatu perbuatan pidana


dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku
terhadap satu atau lebih dari actus reus. Strict Liability merupakan
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang
dalam hal ini si pelaku perbuatan pidana sudah dapat dipidana jika
ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang
telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat lebih jauh
sikap batin si pelaku.50

Dalam pengertian tersebut diatas, dalam perbuatan pidana


yang bersifat strict liability, hanya dibutuhkan dugaan atau
pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut
pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi, tidak dipersoalkan
adanya mens rea, karena unsur pokok strict liability adalah actus
reus (perbuatan), sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus
51
(perbuatan), bukan mens rea (kesalahan).

Penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan

ketentuan tertentu dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi

landasan penerapan strict liability, dpat dikemukakan patokan antara

lain52 :

1) Tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak


pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama

50 Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 163


51 Hanafi, 1997, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, Yogyakarta,
Penerbit Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, hlm. 63-64
52 Ibid, hlm. 77

30
mengenai kejahatan anti sosial atau yang
membahayakan sosial
2) Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum
yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang
diwajibkan hukum dan kepatutan
3) Perbuatan itu dilarang dengan keras oleh undang-
undang karena dikategorikan sebagai aktivitas atau
kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya
kepada kesehatan, keselamatan, dan moral public
4) Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan
dilakukan dengan cara tidak melakukan pencegahan
yang sangat wajar.

3. Teori Vicarious Liability

Vicarious liability adalah pertanggungjawaban pidana

seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain. Kedua pihak

tersebut harus mempunyai hubungan, seperti hubungan pekerjaan.

Singkatnya, pertanggungjawaban ini disebut sebagai

pertanggungjawaban pidana pengganti.

Pada teori ini, kesalahan menjadi syarat utama yang harus

dipenuhi agar seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat

dimintai pertanggungjawaban. Artinya harus dibuktikan dahulu

bahwa kesalahan telah benar-benar dilakukan, sehingga penjatuhan

pidana dapat diberikan pada pelaku.

Dalam vicarious liability, terdapat dua syarat penting yang

harus dipenuhi untuk dapat menerapkan suatu perbuatan pidana

53
berdasarkan teori ini, yaitu :

1) Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan


pekerjaan antara majikan dengan pekerja

53 Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 169-170

31
2) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pekerja
tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang
lingkup pekerjaanya.

Dengan adanya perkembangan pemikiran dari para ahli

menimbulkan berbagai doktrin baru yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Vicarious Liability

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious liability

adalah suatu konsep pertanggungjawaban seorang atas kesalahan

yang dilakukan oleh orang lain, seperti tindakan yang dilakukan

yang masih berada dalam lingkup pekerjaannya.54

Black’s Law Dictionary mendefinisikan vicarious liability

sebagai berikut: “Liability that a supervisor party (such as an

employer) bear for the action are conduct of sub-ordinate or

associate (such as employee) because of the relationship between

the two parties.”55

Pada penerapannya terhadap korporasi menjadikan korporasi

dimungkinkan untuk bertanggungjawab atas tindak pidana yang

dilakukan oleh pegawainya atau siapapun yang bertanggungjawab

atas korporasi tersebut. Sebelum itu setidaknya ada dua syarat utama

jika doktrin vicarious liability diterapkan, yaitu adanya suatu

hubungan, yang dimaksud adalahseperti hubungan

54
Barda Nawawi Arief, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 33

55 Black’s Law Dictionary, dikutip dari Mahrus Ali., Op.Cit., hlm.119

32
kerja antara majikan dan pekerjanya. Selanjutnya adalah tindak

pidana yang dilakukan harus terdapat didalam ruang lingkup

pekerjaan dari pekerjanya tersebut.

2. Identification Doctrine

Identification doctrine adalah doktrin yang menyatakan

bahwa perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara

langsung lewat orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan

perusahaan dan mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu

pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat

56
pertanggungjawaban pribadi.

Doktrin ini juga berpandangan bahwa korporasi dianggap

sebagai “directing mind” atau “alter ego”. Artinya, perbuatan

mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi.

Jika individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan

selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu

57
merupakan mens rea korporasi.

Doktrin ini dikembangkan dari pemikiran bagaimana sebuah

korporasi dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana. Korporasi

yang mempunyai susunan organisasi terstruktur, dimana dengan

demikian direksi atau pejabat tertinggi yang mempunyai kehendak

56
Sutan Remy Sjahdeni, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Penerbit Grafitipers,
Jakarta, hlm. 87

57 Dwija Priyatno., Op.Cit., hlm. 89

33
maka kehendak tersebut juga merupakan kehendak korporasi. Dan

mengenai kehendak tersebut terbatas pada susunan dari direksi itu

sendiri.

3. Strict Liability

Doktrin ini mengajarkan bahwa pertanggungjawaban

pidana dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana tanpa melihat

adanya kesalahan dalam diri pelaku. Konsep pertanggungjawaban

demikian yang biasa disebut pertanggungjawaban tanpa kesalahan

(liability without fault).

Roeslan Saleh menambahkan, dalam tindak pidana strict

liability yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari

pelaku (terdakwa), dan hal itu sudah cukup menuntut

pertanggungjawaban pidana daripadanya. Jadi, tidak dipersoalkan

adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus

reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus

58
(perbuatan) bukan mens rea (kesalahan).

Selanjutnya mengutip pendapat Romli Atmasasmita,

pembentuk undang-undang telah menetapkan bila aturan tentang

59
strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai berikut:

a. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat


b. Ancaman hukumannya adalah ringan

58
Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm. 21

59 Romli Atmasasmita, 2000, Perbandingan Hukum Pidana, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm.
78

34
c. Syarat adanya men rea akan menghambat adanya tujuan
perundang-undangan
d. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan
terhadap hak-hak orang lain
e. Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara
kasuistik tidak diperlukan.

4. Management Failure Model

Kejahatan ini diartikan sebagai suatu kesalahan dari

managemen (kebalikan dari kesalahan korporasi), karena The Law

Comission berpendapat bahwa orangorang yang berada di dalam

korporasilah yang melakukan kejahatan dan tindak pidana baru

yang ada di Inggris, yaitu kelalaian yang menyebabkan kematian

(killing by gross carelessness), tidak dapat diaplikasikan terhadap

60
korporasi.

Sekilas doktrin ini mirip dengan identification doctrine, akan

tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan signifikan dari kedua teori

ini. Identification doctrine sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,

mencari kesalahan dari individu yang identik dengan korporasi atau

beberapa orang yang mempunyai kendali atas korporasi, sedangkan

management failure model mencari kesalahan managemen. Kesalahan

managemen oleh The Law Comission didefenisikan sebagai kesalahan

untuk tidak menjamin keselamatan di dalam managemen atau

organisasi dari kegiatan korporasi (a failure to

60 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2005, Tanggungjawab Pidana


Korporasi dalam RUU KUHP, Penerbit ELSAM, Jakarta, hlm. 15

35
ensure safety in the management or organisation of the

61
corporations activities).

5. Aggregation Doctrine

Ajaran ini memungkinkan aggregasi atau kombinasi

kesalahan dari sejumlah orang untuk diatributkan kepada korporasi

sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Tindak

pidana yang dilakukan seseorang digabungkan dengan kesalahan

orang lain, atau dengan kata lain ia merupakan akumulasi

62
kesalahan atau kelalaian yang merupakan sikap kalbu.

Dengan demikian, teori agregasi ini sesungguhnya

mengabaikan realitas bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang

salah mungkin saja bukan berupa penyatuan dari apa yang telah

dilakukan oleh tiap-tiap orang, tetapi berupa fakta bahwa

perusahaan tidak memiliki kebijakan untuk dapat mencegah

seseorang dalam perusahaan itu untuk melakukan suatu perbuatan

63
yang secara kumulatif merupakan suatu tindak pidana.

6. Corporate Mens Rea Doctrine

Corporate mens rea doctrine memiliki ide dasar bahwa

doktrin lainnya tidak memperlihatkan realita dari kompleksnya

organisasi korporasi serta dinamika dari proses, struktur, tujuan,

61 Ibid., hlm. 16

62 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 119

63 Ibid., hlm. 110

36
kultur, dan hirarki dari organisasi, yang dikombinasikan dengan

64
etos yang mendorong suatu kejahatan. Doktrin ini mengajarkan

bahwa kesalahan dari suatu korporasi dapat diketahui dari praktek

dan kebijakan dari korporasi tersebut. Namun, terdapat kesulitan

dalam menentukan apakah praktek dan kebijakan yang dimaksud

dianggap cukup untuk untuk bersalah dan tidak ada bentuk

kesalahan yang dapat diidentifikasi dari kebijakan dan praktek

untuk memenuhi unsur kesalahan.

7. Reactive Corporate Fault

Doktrin ini menyatakan bahwa disaat actus reus dari suatu

tindak pidana telah terbukti dilakukan oleh dan atas nama korporasi,

pengadilan sepatutnya memiliki dasar untuk meminta korporasi

melakukan investigasi untuk mencari tahu siapakah individu yang

bertanggung jawab dan melakukan tindakan penegakan disiplin

terhadap individu tersebut serta melakukan koreksi atas kesalahan

yang ia lakukan. Apabila korporasi melakukan koreksi maka

korporasi tidak akan diminta pertanggungjawaban.

Pertanggungjawaban korporasi hanya dapat diminta jika korporasi

gagal untuk memenuhi perintah pengadilan. Kelalaian korporasi

adalah apabila korporasi gagal bertindak secara wajar sesuai

65
permintaan pengadilan terhadap perbuatan salah satu pegawainya.

64 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op.Cit., hlm. 16

65 Ibid., hlm. 12

37
Kelebihan dari doktrin ini adalah korporasi bisa lebih

memasuki struktur organisasinya, disisi lain dapat menghemat

tenaga, uang, dan waktu. Namun, kelemahan dari doktrin ini adalah

obyektivitas dari korporasi dimana memungkinkan adanya

tindakan manipulative terhadap hasil pemeriksaan yang dilakukan

oleh korporasi itu sendiri.

38

Anda mungkin juga menyukai