Anda di halaman 1dari 47

MARKAS BESAR

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MILIK


MILIKDINAS
DINAS
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

BAHAN AJAR (HANJAR)


PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN
untuk

PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI


KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN

untuk

PELATIHAN SISWA DIKTUKBA POLRI

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

2021
IDENTITAS BUKU

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN

Penyusun:

Tim Pokja Lemdiklat Polri T.A. 2021

Editor:

1. Kombes Pol Drs. Agus Salim.


2. Kombes Pol Jemmy Rosdiantoro, S.St, M.K., S.H.
3. AKBP Henny Wuryandari, S.H.
4. AKBP Budi Eka Tariawan, S.H.
5. Penata I Adi Wulandari, S.T.
6. Bripka Andriyadi.

Hanjar Pendidikan Polri


Pendidikan Pembentukan Bintara Polri Kompetensi Khusus Perawat dan Bidan

Diterbitkan oleh:

Bagian Kurikulum Bahan Ajar Pendidikan dan Pembentukan


Biro Kurikulum
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri
Tahun 2021

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang menggandakan sebagian atau seluruh isi Bahan Ajar (Hanjar) Pendidikan
Polri ini, tanpa izin tertulis dari Kalemdiklat Polri.
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

DAFTAR ISI

Cover .................................................................................................................... i

Sambutan Kalemdiklat Polri ................................................................................ ii

Keputusan Kalemdiklat Polri ................................................................................ iv

Identitas Buku ...................................................................................................... v

Daftar Isi ............................................................................................................... vii

MODUL PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN

Pendahuluan ....................................................................................................... 1

Standar Kompetensi ............................................................................................. 2

Kompetensi Dasar ................................................................................................ 3

Materi Pelajaran ................................................................................................... 3

Metode Pembelajaran .......................................................................................... 4

Alat, Media, Bahan dan Sumber Belajar .............................................................. 4

Kegiatan Pembelajaran ........................................................................................ 5

Tagihan/Tugas ..................................................................................................... 6

Lembar Kegiatan .................................................................................................. 6

Bahan Bacaan ...................................................................................................... 7

POKOK BAHASAN 1

KONSEP TERKAIT ILMU KEPOLISIAN ............................................................ 7

1. Penelusuran Semantik Istilah Polisi, Kepolisian Dan Perpolisian ................ 7

2. Ilmu Kepolisian............................................................................................. 14

3. Kedudukan, Tujuan, Peran, Fungsi Dan Tugas Pokok Kepolisian ............... 19

4. Landasan Hukum Kepolisian ....................................................................... 22

POKOK BAHASAN 2

GAYA PEMOLISIAN, KULTUR DAN SUBKULTUR KEPOLISIAN ................... 23

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN vii


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

1. Gaya Pemolisian .......................................................................................... 23

2. Kultur Kepolisian .......................................................................................... 29

3. Subkultur Kepolisian .................................................................................... 31

POKOK BAHASAN 3

PARAMILITERISME DALAM PERPOLISIAN, KETERTIBAN UMUM DAN


ISSU OTONOMI DAERAH .................................................................................. 34

1. Perpolisian Militer......................................................................................... 34

2. Perpolisian Ketertiban Umum ...................................................................... 36

3. Perpolisian Dengan Isu Otonomi Daerah ..................................................... 39

Rangkuman .......................................................................................................... 42

Latihan ................................................................................................................. 43

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN viii


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN


HANJAR
10 JP (450 menit)

Pendahuluan
Perjalanan panjang perpolisian disimak dengan mata jernih dan
hati bening, maka selalu saja kita akan dibawa kembali kepada masa-
masa di mana drama kehidupan anak manusia mendorong para pakar
dan para pemerhati atau pengamat untuk berkesimpulan bahwa
Perpolisian ternyata telah sampai di persimpangan jalan. Pada saat
bersamaan, para pembentuk opini, dengan kata lain para petinggi
media, tidak ketinggalan dalam menyajikan potret tentang perpolisian
yang diyakini.
Sampai saat ini, media elektronik utamanya melalui berbagai mata
acara yang bekerjasama dengan Polri masih secara sensasional dalam
menyajikan romantika tugas kepolisian di dalam menyelesaikan segala
bentuk kejahatan. Akibatnya, semakin terpupuklah bentuk-bentuk salah
pengertian awal tentang perpolisian yang cenderung hanya tertuju pada
penegakan hukum (law enforcement) atau bahkan pada pembasmian
kejahatan (crime fighting). Dan semakin terbentuklah kesalah-pahaman
bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas kepolisian semata-mata diukur
melalui naik turunnya tingkat atau laju kejahatan (crime rate).
Dampak lebih jauh dari salah pengertian atau salah paham di atas
adalah semakin dirasakannya tekanan pada pihak Polisi untuk
menunjukkan performance yang sesuai dengan ukuran dimaksud. Demi
memuaskan ekspektasi berbagai pihak yang mengklaim diri mereka
sebagai wakil-wakil masyarakat tersebut Polisi acap kali terjebak di
dalam praktek atau tindak Kepolisian yang tidak patut (inappropriate)
dan bahkan ada pula yang melanggar hukum.
Kemitraan antara polisi dengan masyarakat membutuhkan
diantaranya evaluasi menyeluruh terhadap prinsip-prinsip dan praktik-
praktik perpolisian yang ada. Di sisi lain, kemitraan ini juga menuntut
masyarakat untuk tidak hanya berpangku tangan seraya bermimpi
tentang turunnya tingkat kejahatan. Di sini, masyarakat dituntut untuk
lebih aktif berpartisipasi dan berbagi responsibilitas bersama polisi di
dalam penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban, dan pelayanan bagi
masyarakat, dalam rangka pembangunan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Jalan yang semestinya ditempuh bersama oleh Polisi dan
masyarakat dengan bergandeng tangan ini memang tidak mudah. Bagi
masyarakat, kepercayaan terhadap polisi yang begitu rendah
merupakan salah satu faktor yang menentukan.
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas maka disusunlah Hanjar
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 1
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Pengantar Ilmu Kepolisian untuk memberikan pemahaman dan


menumbuhkan keyakinan kepada semua, tentang jalan panjang yang
telah dilalui dan jalan yang sebaiknya ditempuh di masa depan oleh
perpolisian.
Hanjar Pengantar Ilmu Kepolisian membahas tentang konsep Ilmu
kepolisian, ragam gaya perpolisian, paramiliterisme di dalam perpolisian
ketertiban umum dan issu otonomi daerah.

Standar kompetensi
Memahami pengantar ilmu kepolisian guna mendukung pelaksanaan
tugas Polri.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 2


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Kompetensi Dasar
1. Memahami konsep ilmu kepolisian.
Indikator Hasil Belajar:
a. Menjelaskan penelusuran semantik istilah polisi, kepolisian
dan perpolisian.
b. Menjelaskan ilmu kepolisian.
c. Menjelaskan kedudukan, tujuan, peran, fungsi dan tugas
pokok kepolisian.
d. Menjelaskan landasan hukum kepolisian.
2. Memahami gaya pemolisian, kultur dan subkultur kepolisian.
Indikator Hasil Belajar:
a. Menjelaskan gaya pemolisian.
b. Menjelaskan kultur kepolisian.
c. Menjelaskan subkultur kepolisian.
3. Memahami paramiliterisme dalam perpolisian, ketertiban umum dan
issu otonomi daerah.
Indikator Hasil Belajar:
a. Menjelaskan perpolisian militer.
b. Menjelaskan perpolisian ketertiban umum.
c. Menjelaskan perpolisian dengan isu otonomi daerah.

Materi Pelajaran
1. Pokok Bahasan 1
Konsep ilmu kepolisian.
Subpokok Bahasan:
a. Penelusuran semantik istilah polisi, kepolisian dan perpolisian.
b. Ilmu kepolisian.
c. Kedudukan, tujuan, peran, fungsi dan tugas pokok kepolisian.
d. Landasan hukum kepolisian.
2. Pokok Bahasan 2
Ragam gaya perpolisian.
Subpokok Bahasan:
a. Kultur perpolisian.
b. Gaya perpolisian.
c. Gaya pimpinan perpolisian.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 3


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

3. Pokok Bahasan 3
Paramiliterisme di dalam perpolisian ketertiban umum dan issu
otonomi daerah.
Subpokok Bahasan:
a. Perpolisian militer.
b. Perpolisian ketertiban umum.
c. Perpolisian dengan isu otonomi daerah.

Metode Pembelajaran
1. Metode Ceramah
Metode ini digunakan untuk menjelaskan tentang konsep Ilmu
kepolisian, ragam gaya perpolisian, paramiliterisme di dalam
perpolisian ketertiban umum dan issu otonomi daerah.
2. Metode Brainstorming
Metode ini digunakan pendidik untuk mengeksplor pendapat
peserta didik tentang materi yang disampaikan.
3. Metode Tanya Jawab
Metode ini digunakan untuk memberikan kesempatan peserta didik
untuk bertanya tentang materi yang belum dipahami.
4. Metode Penugasan
Metode ini digunakan untuk memberikan penugasan kepada
peserta didik berupa resume dari materi yang telah disampaikan.

Alat, Media, Bahan Dan Sumber Belajar


1. Alat/media:
a. White board.
b. Papan Flipchart.
c. Komputer/laptop.
d. LCD dan screen.
e. Laser point.
2. Bahan:
a. Alat tulis.
b. Kertas flipchart.
3. Sumber Belajar:
a. Hanjar Pengantar Ilmu Kepolisian.
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 4
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

b. Buku Ilmu Kepolisian karya Prof. Parsudi Suparlan.

Kegiatan Pembelajaran
1. Tahap Awal: 10 menit
Pendidik melaksanakan apersepsi:
a. Pendidik melaksanakan perkenalan.
b. Pendidik menggali pemahaman peserta yang berkaitan
dengan materi.
c. Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran.

2. Tahap Inti: 340 Menit


a. Pendidik menggali pemahaman materi tentang konsep Ilmu
kepolisian, gaya pemolisian, kultur dan subkultur kepolisian,
paramiliterisme dalam perpolisian ketertiban umum serta issu
otonomi daerah.
b. Peserta didik menyimak, memperhatikan dan mencatat hal-hal
yang dianggap penting.
c. Pendidik menyampaikan materi tentang konsep Ilmu
kepolisian, gaya pemolisian, kultur dan subkultur kepolisian,
paramiliterisme dalam perpolisian ketertiban umum serta issu
otonomi daerah.
d. Pendidik menggali pendapat tentang materi yang telah
disampaikan.
e. Peserta didik menanggapi materi yang disampaikan pendidik.
f. Pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
bertanya atau menanggapi materi.
g. Peserta didik menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
pendidik.
h. Pendidik menyimpulkan materi yang telah disampaikan.

3. Tahap Akhir: 10 menit


a. Pendidik melaksanakan penguatan materi.
b. Pendidik memberikan ulasan secara umum terkait dengan
penguasaan materi.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 5


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

c. Pendidik menyimpulkan materi dan evaluasi pembelajaran.


d. Pendidik menugaskan peserta didik untuk membuat resume.

4. Tes sumatif: 90 menit

Tagihan/Tugas
Peserta didik secara individu mengumpulkan hasil penugasan
pembuatan resume berupa tulisan tangan, satu hari setelah
dilaksanakan pembelajaran.

Lembar Kegiatan
Peserta didik secara individu membuat resume dari materi yang telah
disampaikan.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 6


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Bahan Bacaan

POKOK BAHASAN 1
KONSEP TERKAIT ILMU KEPOLISIAN

1. Penelusuran Semantik Istilah Polisi, Kepolisian Dan


Perpolisian
Istilah “polisi” dalam kata Indonesia berakar dari kata Belanda
politie, akan tetapi oleh karena polisi modern berangkat dari konsep
yang berkembang di Inggris, maka dalam tulisan ini, pemahaman
kata ‘polisi’ maupun politie didekati melalui kata Inggris police.
Pentingnya untuk memahami makna semantik kata ‘polisi’ melalui
kata police juga didukung oleh fakta bahwa kebanyakan literatur
tentang ‘polisi’ di dunia memang diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Menyadari hal ini, kiranya dapat dipahami bila dalam menelusuri
makna semantik kata Indonesia polisi, kepolisian, dan perpolisian,
bahan ajar ini pun berangkat dari kata Inggris police. Dalam hal ini,
akan lebih baik jika penelusuran ini dilakukan melalui kamus dari
Bahasa Inggris ke Bahasa Inggris atau singkatnya kamus Inggris-
Inggris. Baru setelah itu ditafsirkan ke dalam pemahaman
Indonesia.
Menurut kamus Inggris-Inggris Collins Dictionary and
Thesaurus, police dapat berupa:
a. Kata benda (noun) yang bermakna:
1) Biasanya didahului dengan kata the: the police
organisasi kekuatan sipil (civil force) dari suatu negara,
atau negara bagian, atau wilayah otonom suatu negara,
yang berkenaan dengan pemeliharaan hukum dan
ketertiban (maintenance of law and order), (bandingkan
dengan polisi sebagai suatu organ).
2) Berfungsi sebagai jamak (plural), anggota organisasi
tersebut di atas secara keseluruhan.
b. Kata kerja (verb) transitif artinya kata kerja yang memerlukan
obyek to police, yang sepadan dengan kata ‘memolisi’ atau
‘mem-polisi’ serta bermakna:
1) Menegakkan hukum (to enforce the law), atau mengatur
(to regulate), atau mengendalikan (to control), atau
menjaga ketertiban (to keep in order), atau menjaga
kedamaian (to keep the peace), atau melayani (to serve),
atau melindungi (to protect), atau menjaga (to guard),
sebagai polisi atau organisasi resmi atau sah yang
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 7
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

sejenisnya, berikut kekuasaan dan wewenangnya.


2) Mengawasi (to watch), atau memonitor, atau
memperhatikan (to observe) sebagaimana layaknya
polisi tetapi bukan sebagai polisi sesungguhnya,
melainkan sekedar berperan seperti polisi.
Semuanya dilaksanakan terhadap suatu wilayah, atau
seseorang, atau sekelompok orang, atau suatu organisasi, atau
suatu masyarakat, atau suatu pekerjaan, atau pelaksanaan suatu
peraturan/ kesepakatan, atau suatu peristiwa, atau suatu proses,
atau sesuatu hal, dan lain sebagainya.
Kata ‘polisi’ sebagai individu, utamanya mereka dengan
golongan pangkat terendah yakni misalnya constable di Inggris dan
Australia atau dahulu tamtama di Indonesia, dipadankan dengan
kata Inggris policeman/policewoman. Dalam bahasa sehari-hari
‘polisi’ sebagai individu tersebut dipanggil dengan sebutan antara
lain:
a. Cop di Amerika.
b. Bobby atau peeler di Inggris.
c. Officer di negara yang berbahasa resmi Inggris pada
umumnya.
d. ‘Aparat’/‘petugas’ di Indonesia.
e. Sebutan lain yang seringkali dimaksudkan untuk
menggambarkan seseorang yang ditakuti atau tidak disukai.
Pada prakteknya di Indonesia, police, selain dipadankan
dengan kata ‘polisi’, ternyata (secara salah kaprah)
dipadankan/disamakan/dipertukarkan/dirancukan pula dengan kata
‘ke-polisi-an’. Padahal imbuhan yakni awalan dan akhiran ‘ke’–‘an’
biasanya dipakai untuk membentuk kata benda abstrak dari suatu
kata sifat atau dari suatu kata lain yang berfungsi sebagai kata sifat,
seperti misalnya ‘takut’ menjadi ‘ke-takut-an’ dan ‘kuat’ menjadi ‘ke-
kuat-an’. Kerancuan antara ‘polisi’ dengan ‘ke-polisi-an’ dapat
dilihat pada berbagai pengertian dari kata/istilah ‘polisi’ yang
dikenal selama ini, diantaranya sebagai:
a. Sain/studi, seperti pada police science atau police studies
(ilmu pengetahuan), berikut lembaga pendidikannya.
b. Peran.
c. Kekuasaan dan wewenang.
d. Pekerjaan atau tugas/fungsi.
e. Organisasi atau organ.
f. Individu atau petugas/pejabat yang melaksanakan
pekerjaan/tugas atau yang merupakan anggota dari organisasi
di atas.
Dari keenam pengertian di atas, hanya pada pengertian
terakhir, yakni ‘polisi’ sebagai ‘individu’, kerancuan maknawi antara

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 8


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

‘polisi’ dengan kata ‘ke-polisi-an’ tidak terlalu kentara atau


mengemuka. Contohnya kita jelas akan menyebut individu ‘polisi’,
atau seorang ‘polisi’, atau pak ‘polisi’; dan bukan individu ‘ke-polisi-
an’, atau seorang ‘ke-polisi-an’, atau pak ‘ke-polisi-an’.
Namun demikian, begitu kita menggunakan kata
petugas/pejabat, maka akan timbul kerancuan antara
petugas/pejabat ‘polisi’ dengan petugas/pejabat ‘ke-polisi-an’.
Demikian pula halnya penggunaan kelima pengertian lain yang juga
sering menimbulkan kerancuan, seperti :
a. Pengantar Ilmu ‘Polisi’ pantasnya disingkat PIP atau
Pengantar Ilmu Kepolisian (yang biasa dikenal sebagai PIK)
demikian pula Pendidikan Tinggi Ilmu ‘Polisi’ (semestinya
disingkat PTIP) atau Pendidikan Tinggi Ilmu ‘Ke-polisi-an’
(disingkat PTIK).
b. Peran ‘polisi’ atau peran ‘ke-polisi-an’.
c. Kekuasaan dan wewenang ‘polisi’ atau kekuasaan dan
wewenang ‘ke-polisi-an’.
d. Tugas/fungsi ‘polisi’ atau tugas/fungsi ‘ke-polisi-an’ (yang
disebut sebagai GASPOL).
e. ‘Ke-polisi-an’ Negara Remasyarakat Indonesia’ atau ‘Polisi’
Negara Remasyarakat Indonesia (keduanya dapat disingkat
POLRI).
Sebagai pembanding, kamus yang lain, yakni kamus Inggris-
Inggris Concise Oxford Dictionary, mendefinisikan kata ‘polisi’ atau
police sebagai:
“Kekuatan sipil atau civil force (dari) suatu negara atau state
(bisa diartikan pula sebagai negara bagian atau wilayah otonom
sebagai bagian dari suatu negara yang bertanggung-jawab atau
responsible untuk memelihara ketertiban umum atau maintaining
public order).”
Definisi di atas sekali lagi menunjukkan bahwa ‘polisi’:
a. Pertama-tama bersifat sipil atau civil, yakni berkenaan dengan
kehidupan sehari-hari warga negara yang tidak ada kaitannya
dengan, diantaranya, militer.
b. Merupakan suatu kekuatan atau angkatan atau force, yang
berarti mempunyai potensi untuk memakai kekerasan atau
paksaan secara fisik atau bahkan, bila perlu, dengan
menggunakan senjata.
c. Cenderung diartikan sebagai suatu organisasi (organ), yakni
dengan digunakannya kata civil force.
d. Peran atau role yang diambil pada umumnya adalah
memelihara ketertiban atau maintaining order.
Adapun David H. Bayley (1985) lebih menekankan pada
otoritas dalam memahami polisi. Oleh karena itu, ia mengartikan

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 9


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

polisi atau police sebagai:


“Orang-orang atau people yang memperoleh otoritas dari
suatu kelompok (besar sebagai induk dari people tadi) atau group
untuk mengatur atau regulate (bukan rule) hubungan interpersonal
di dalam kelompok tersebut dengan menerapkan kekuatan fisik/
physical force”.
Definisi David H. Bayley di atas mempunyai 6 (enam) bagian
penting, yakni:
a. Orang-orang, yang bisa tetapi tidak harus berarti organisasi.
b. Otoritas, inilah ciri terpenting dari polisi yang membedakannya
dengan organisasi lain.
c. Kelompok, yang dapat (tetapi tidak selalu) diartikan sebagai
masyarakat, wilayah otonom dari suatu negara, negara
bagian atau negara.
d. Mengatur yang tentunya dengan berpegang pada
ketentuan/aturan hukum (dalam arti luas) yang berlaku.
e. bersifat internal, inilah yang membedakannya dengan militer.
f. penggunaan kekuatan fisik, yang bisa berarti penggunaan
paksaan, kekerasan, bahkan senjata.
Definisi polisi yang diajukan oleh David H. Bayley tersebut
sama-sekali tidak menyebutkan peran yang umumnya atau
semestinya diambil atau dimainkan oleh polisi, sehingga membuka
lebar peluang bagi perdebatan tentang hal ini. Sementara itu,
sebelum sampai pada pemahamannya sekarang, kata polisi itu
sendiri, secara semantis, mempunyai sejarah yang cukup panjang.
Johann Heinrich Gottlob von Justi (1756) memaknakan polisi
sebagai:
“Segala hal yang dibutuhkan bagi pemeliharaan kehidupan sipil,
utamanya bagi kedisiplinan, ketertiban, maupun kesejahteraan
penduduk suatu kota, serta bagi pertumbuhan kaum petani,
pengrajin rumah tangga, atau buruh atau (kelas) peasantry”.
Di sisi lain, Joseph von Sonnenfels (1765) mengartikan polisi
sebagai:
“Sains/ilmu atau science yang mengajarkan kepada kita tentang
(cara) bagaimana menciptakan atau menyediakan keamanan
dalam negeri atau domestic security bagi suatu Negara”.
Patrick Colquhoun (1795) pertama-tama melihat polisi sebagai
suatu sistem yang meliputi lebih dari 1 (satu) spesialis police force.
Ia sendiri memahami polisi sebagai:
“Suatu sistem regulasi, inspeksi dan pengendalian yang diatur
/ditata/disusun dengan baik, mencakup seluruh masyarakat atau
social body, serta melibatkan berbagai lembaga/badan
pengarah/pengen-dali/pengatur/pemerintah atau governing agency,
apakah itu masyarakat maupun swasta”.
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 10
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Geheimrat Günter Heinrich von Berg (1809) bahkan


menempatkan polisi pada posisi yang begitu tinggi melalui
perannya sebagai pelindung kehidupan sipil utama dan
mengartikannya sebagai:
“Bukan saja salah satu cabang dari kekuasaan negara yang
bertanggung-jawab untuk mencegah terjadinya kerusakan di dalam
suatu negara, tetapi juga untuk memajukan keamanan dan
kesejahteraan seluruh penduduknya, kapan saja dan di mana saja
cabang lain dari kekuasaan negara tidak mampu
melaksanakannya”.
Melalui cara pandang yang berbeda, Wilhelm Abegg (1914)
bahkan mengaitkan polisi dengan kemajuan kebudayaan dan
menyatakan:
“Setiap pertimbangan/keputusan yang dilakukan/oleh dibuat polisi
harus merupakan bagian dari satu langkah ke depan dari kemajuan
kebudayaan”.
Sedangkan Egon Bittner (1974) menawarkan pemahaman kata
polisi melalui sudut pandang yang berbeda seraya memberikan
makna yang cukup luas kepadanya sebagai:
“Keseluruhan struktur/konstruksi dari regulasi formal serta
preskriptif/konservatif, yang mencakup banyak fungsi administratif
maupun penegakan hukum”.
L. Johnston (1992), dalam pada itu, meyakini bahwa kata polisi
sebenarnya diturunkan dari kata Yunani polis, yang, sampai dengan
akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20, masih dipahami sebagai:
“Fungsi sosial yang luas dari pemerintahan atau governance dari
suatu kota atau masyarakat (sebagai society)”.
Adapun kata Inggris policing pada mulanya memang
dipadankan dengan kata benda abstrak bentukan dari kata kerja,
yakni pemolisian. Kini policing diartikan pula sebagai per-polisi-an,
yakni “Segala hal-ihwal yang berkenaan dengan polisi”. Dalam hal
ini, Clifford Shearing memaknakan policing secara bebas sebagai:
“Serangkaian aktivitas atau bisnis (yang berkenaan) dengan
governing (seperti diartikan di atas)”.
Dalam artinya yang luas, policing atau perpolisian sebenarnya
berkaitan dengan apa yang disebut sebagai fungsi kontrol sosial
terhadap pihak lain. Dalam hal ini bisa dikatakan kita semua pernah
di suatu waktu dan di suatu tempat, dan bahkan mungkin masih
terus, berlaku sebagai polisi. Orang tua terhadap anak, guru
terhadap murid, pimpinan terhadap anak buah, mereka yang lebih
tua terhadap mereka yang lebih muda, laki-laki terhadap
perempuan, mayoritas terhadap minoritas, yang kaya terhadap
yang miskin, yang berpendidikan terhadap yang tidak sekolah,
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 11
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

orang kota terhadap orang desa, misalnya, pada dasarnya pernah


melaksanakan fungsi tersebut.
Fungsi perpolisian, dengan demikian, memang tersebar dan
mempunyai implikasi yang luas. Kendati demikian, seberapapun
tersebar dan luasnya implikasi dari perpolisian, hanya ada
beberapa kata kunci yang membedakan polisi sebenarnya dan
‘bukan polisi’. Tepatnya, ada empat kata kunci, yang penulis sebut
sebagai Caturmatra, yang berkenaan dengan pemahaman polisi
dan perpolisian sejati, yakni:
a. Kekuasaan.
b. Otoritas.
c. Diskresi.
d. Akuntabilitas polisi.
Keempat matra tersebut semestinya dipelajari secara terpisah
dan tersendiri di dalam Mata Kuliah yang selama ini dikenal
sebagai Hukum Kepolisian. Kekuasaan sesungguhnya eksis atau
timbul manakala terjadi interaksi/hubungan/keterkaitan/relasi di
antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dengan kata lain kekuasaan pada
dasarnya bukan benda, melainkan suatu interaksi/
keterkaitan/hubungan/relasi. Kekuasaan bersifat personal, sosial,
serta sekaligus institusional. Dalam hubungannya dengan
perpolisian, maka kekuasaan adalah:
“Kekuatan/kapasitas/daya/kemampuan/kebisaan/kecakapan/
ketrampilan yang dimiliki oleh polisi, baik sebagai individu maupun
sebagai sebuah institusi-organisasi, untuk membuat kebijakan dan
keputusan serta untuk mengambil tindakan kepolisisan sebagai
bagian dari pelaksanaan tugasnya”.
Dalam kaitan ini, secara tidak langsung, bisa dikatakan
pelaksanaan tugas kepolisian merupakan pengejawantahan dari
peran perpolisian, baik sebagai penegak hukum, pemelihara
ketertiban, maupun pelayan atau pemberi pelayanan (tentunya juga
termasuk perlindungan dan pengayoman) kepada masyarakat,
dalam rangka membangun dan memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat (disingkat Kamtibmas).
Sementara itu, otoritas seringkali dipahami sebagai
kekuasaan dalam operasi. Benar adanya otoritas berjiwakan
kekuasaan. Oleh karena jiwa otoritas adalah kekuasaan, maka
dapat dikatakan bahwa otoritas sebenarnya adalah kekuasaaan
yang dinamis/aktif/operatif.
Lebih dari kekuasaan, otoritas mengandung makna
memaksakan kepatuhan dengan cara antara lain mengkontrol,
menilai, mempengaruhi, atau melarang tindakan pihak lain.
Karenanya, dalam rangkaian kata kekuasaan kepolisian tersirat
makna bahwa kekuasaan hanya akan menghantar polisi sampai

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 12


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

pada titik mampu berbuat. Adapun di dalam rangkaian kata otoritas


kepolisian, terkandung makna otoritas memungkinkan polisi untuk
memaksakan kepatuhan atau memaksakan kehendak pada pihak
lain, yaitu pihak bukan polisi atau pihak yang di polisi. Uraian ini
mengingatkan kita akan pemahaman kata polisi sebagaimana
diberikan oleh David H. Bayley (1985) sebagaimana telah
disebutkan di atas yang menekankan pada otoritas sebagai ciri
utama polisi.
Dalam pada itu, setidaknya dapat diidentifikasi 8 (delapan)
unsur yang dikandung oleh pengertian kata diskresi. Kedelapan
unsur tersebut meliputi unsur kemerdekaan, unsur otoritas, unsur
keputusan, unsur tindakan, unsur ketepatan, unsur pertimbangan,
unsur pilihan, dan unsur bijaksana, dengan segala makna turunan
mereka. Dengan memperhatikan kedelapan unsur tersebut,
diskresi bisa dirumuskan sebagai:
“Kemerdekaan dan/atau otoritas/kewenangan untuk membuat
keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap
tepat/sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang
dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala
pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan”.
Kata penghubung dan/atau dipakai di sini untuk menunjukkan
bahwa kemerdekaan sesungguhnya dibedakan dari/dapat berdiri
sendiri tanpa otoritas atau kewenangan. Akan tetapi, akan lebih
kokoh dan lengkap bila kemerdekaan bertindak dipadukan dengan
dan dikuatkan oleh otoritas. Sangat disayangkan, dalam kenyataan
sehari-hari, secara salah kaprah kata diskresi cenderung diartikan
antara lain sebagai:
a. Tindakan yang diambil itu sendiri, atau
b. Hasil/keluaran/output dari penerapan diskresi.
Padahal apabila diringkas menjadi satu frase yang sangat
singkat, maka esensi dari pengertian diskresi seharusnya adalah:
“Kemerdekaan dan/atau kewenangan untuk membuat keputusan
serta kemudian mengambil tindakan”.
Akuntabilitas atau accountability serta responsibilitas atau
responsibility sering disamakan maknanya dengan pertanggung-
jawaban. Padahal makna sebenarnya dari responsibilitas adalah:
“Kewajiban seseorang/sekelompok orang/badan hukum/ pimpinan
kolektif suatu organisasi untuk membuat kebijakan/keputusan
dan/atau mengambil tindakan/langkah (tertentu) yang belum
terjadi”.
Adapun akuntabilitas diartikan sebagai:
“Kewajiban seseorang/sekelompok orang/badan hukum/pimpinan
kolektif suatu organisasi untuk menjawab pertanyaan tentang
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 13
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

pembuatan kebijakan/keputusan dan/atau pengambilan


tindakan/langkah (tertentu) yang telah terjadi”.
Secara ringkas dengan demikian responsibilitas adalah
pertanggung-jawaban atas kebijakan/keputusan yang belum dibuat
dan/atau langkah/tindakan yang belum diambil, sedangkan
akuntabilitas adalah pertanggung jawaban atas
kebijakan/keputusan yang telah dibuat dan/ atau langkah/tindakan
yang telah diambil. Dalam hal ini, selain akuntabilitasnya terhadap
hukum dan terhadap organisasinya, seorang anggota polisi
pertama-tama sebenarnya harus mempunyai apa yang disebut
sebagai grass root accountability atau akuntabilitas akar rumput,
yakni akuntabilitas terhadap masyarakat yang dilayaninya.
Demikianlah uraian sekilas tentang Caturmatra perpolisian, yakni
kekuasaan, otoritas, diskresi dan akuntabilitas polisi. Dengan uraian
ini diharapkan para Taruna memperoleh gambaran awal mengenai
hal ini.

2. Ilmu Kepolisian
Ilmu Kepolisian atau Ilmu Pengetahuan Kepolisian? Ilmu
berarti pengetahuan (knowledge), atau pengetahuan yang
sistematik mengenai sesuatu seperti, Ilmu Al-Qur'an atau Ilmu
Filsafat. Ilmu pengetahuan (science), seperti, sosiologi, kriminilogi,
dan lain sebagainya. Pengetahuan atau ilmu berdasarkan pada
hukum-hukum logika yang tidak empirik, yang tidak memerlukan
pengujian kesahihannya secara empirik, dan tidak mengikuti
hukum-hukum alamiah tetapi mengikuti hukum-hukum keyakinan
atau supra alamiah serta logika.
Ilmu kepolisian adalah ilmu pengetahuan atau science maka
ilmu kepolisian harus mempunyai paradigma yang
membedakannya dari kriminologi, sosiologi, atau ilmu-ilmu
pengetahuan sosial lainnya, membedakannya dari matematika,
ilmu kimia, atau ilmu-ilmu pengetahuan alamiah lainnya. Ilmu
kepolisian adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan yang bercorak
antar bidang, sama dengan kriminologi atau ilmu Komunikasi.
Bidang ilmu pengetauan seperti ini hanya mungkin ada
berkembang secara mantap karena coraknya yang elektik, yaitu
mempunyai kemampuan untuk menggunakan dan mengambil alih
konsep-konsep, teori-teori, dan bahkan metode-metode yang
dipunyai oleh dan berasal dari berbagai bidang ilmu pengetahuan
atau ilmu untuk digunakan dalam kegiatan-kegiatan kajiannya,
serta mampu mengembangkan apa yang telah diambil alihnya
tersebut menjadi bagian dari serta membentuk paradigma-
paradigmanya, konsep-konsepnya, teori-teorinya, serta
metodologinya. Untuk itu maka penggunaan metode ilmiah yang
berlaku dalam ilmu pengetahuan sosial menjadi salah satu
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 14
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

persyaratan yang tidak dapat diabaikan. Mengapa ilmu


pengetahuan sosial itu penting? Karena fungsi-fungsi polisi itu ada
dalam masyarakat, sehingga berbagai kegiatan kepolisian
berkenaan dengan hubungan-hubungannya dengan masyarakat
serta segala aspeknya dapat di kaji dan dipahami dengan mengacu
pada berbagai paradigma, konsep- konsep, serta teori- teori yang
sudah baku yang ada dalam ilmu- ilmu pengetahuan sosial
tersebut.
Hal lain yang mendasar dan penting dalam pengembangan
ilmu adalah pengetahuan metode ilmiah, yang dapat dipacu dari
ilmu-ilmu pengetahuan sosial (bahan ajar Parsudi Suparlan 1995)
serta dapat dikembangkan secara selektif sesuai dengan kajian
kepolisian. Adanya metode ilmiah yang dijadikan pedoman teori-
teori ataupun dapat menjamin keunikan teori-teori yang kegiatan-
kegiatan kajian, akan menjamin kesahihan serta obyektivitas data
yang dihasilkan dari kajian-kajian yang dilakukan, menjamin ke-
unirversalan individualistik (bila ada) yang dihasilkan dari penelitian-
penelitian yang dilakukan.
Menurut Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D, Ilmu kepolisian adalah
sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-
masalah sosial dan isyu-isyu penting serta pengelolaan keteraturan
sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya
penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik
penyelidikan dan penyidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-
cara pencegahannya. Definisi tersebut perlu dijabarkan dan
seharusnya dapat dioperasionalkan dalam upaya pengembangan
kurikulum sesuai dengan fungsi polisi dalam masyarakat dan tugas-
tugasnya. Berikut ini adalah penjabarannya.
Sebuah bidang ilmu pengetahuan. Sebagai bidang ilmu
pengetahuan maka ilmu kepolisian mempunyai paradigma atau
sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup epistemology,
ontology, aksiologi, dan metodologi, yang mempersatukan adalah
eklektik. Sehingga berbagai bidang ilmu pengetahuan yang
mendukung dan menjadikannya sebagai ilmu kepolisian tertera
menjadi bagian dari ilmu kepolisian dan tidak seharusnya berdiri
sendiri sebagai sebuah bidang ilmu yang berbeda dari ilmu
kepolisian tetapi ada dalam cakupan bidang ilmu kepolisian.
Misalnya, mata kuliah yang berisikan teori-teori mengenai
“kebudayaan polisi” yang ada dalam ilmu kepolisian bukan lagi dan
tidak seharusnya disebut sebagai mata kuliah “antropologi
kepolisian” dan bukan “ilmu administrasi untuk polisi” atau “hukum
kepolisian”, bukan “ilmu hukum kepolisian” dan sebagainya.
Mempelajari masalah-masalah sosial dan isyu-isyu penting,
serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral masyarakat. Untuk
mampu menjalankan tugas sebagai pelayan keamanan bagi
masyarakatnya (sebagai pelayan keamanan dan bukannya pelayan
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 15
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

masyarakat), polisi harus mempunyai pengetahuan yang cukup


mengenai masyarakat pada umumnya dan masyarakat tempatnya
bertugas dan lebih khusus lagi adalah pengetahuan mengenai
berbagai masalah sosial yang teori-teorinya telah dikembangkan
oleh sosiologi, antropologi, ilmu politik, kriminologi, ilmu ekonomi,
dan psikologi sosial.
Menurut Prof. Dr. Rycko Amelza Dahniel Ilmu Kepolisian
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari fungsi dan
lembaga kepolisian dalam mengelola masalah-masalah sosial guna
mewujudkan keteraturan sosial (Dahniel, 2008). Beliau
menjelaskan bahwa Ilmu kepolisian merupakan sebuah bangunan
yang terdiri dari beberapa tiang utama penunjang ilmu kepolisian,
yaitu Hukum Kepolisian, Administrasi kepolsian, Sosiologi
kepolisian, Antropologi Kepolisian dan Teknologi kepolisian. Di
bealik tiang utama bangunan ilmu kepolisian tersebut terdapat akar
akar berbagai ilmu yang merupakan landasan Ilmu Kepolisian.

Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural


society) yang beraneka ragam suku bangsa dan kebudayaan serta
amat kompleks kehidupan sosial ekonomi, dan politiknya amat
rawan dengan berbagai masalah sosial yang dapat menjadi
ledakan-ledakan sosial yang mengganggu ketertiban dan
keteraturan sosial serta merugikan kehidupan ekonomi warga
masyarakat, baik secara lokal maupun secara nasional. Mengacu
pada pengetahuan tersebut di atas polisi dapat mengantisipasi
gejolak-gejolak yang ada dalam pengelolaan ketertiban dan
keteraturan sosial. Isyu-isyu penting yang ada dalam kehidupan
sosial yang bisa menjadi gejolak sosial dan politik adalah isyu-isyu
moral, seperti ketidakadilan, tuna susila, penghinaan keyakinan
keagamaan atau lainnya perlu dipelajari dan dipahami oleh polisi
agar berbagai isyu yang muncul tersebut dapat ditangani secara
lebih awal sebelum meledak menjadi gejolak sosial dan politik.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 16


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

a. Filsafat dan paradigma ilmu pengetahuan


Di depan telah disampaikan bahwa sebagai bidang ilmu
pengetahuan maka ilmu kepolisian mempunyai paradigma
atau sebuah sudut pandang ilmiah yang mencakup
epistemologi, ontologi, aksiologi, dan metodologi.
Epistemologi, adalah sebuah kajian filsafat dan/atau
kajian itu sendiri, yaitu sebuah teori mengenai hakekat
pengetahuan dari sesuatu bidang ilmu pengetahuan. Ontologi,
adalah kejelasan mengenai keberadaan sesuatu bidang ilmu
pengetahuan dalam kaitannya dengan bidang atau bidang-
bidang ilmu pengetahuan lainnya. Aksiologi adalah penjelasan
mengenai hakekat nilai-nilai dan penilaian mengenai sesuatu
bidang ilmu pengetahuan. Metodologi, adalah sebuah sistem
berisikan prinsip-prinsip, praktek-praktek, dan prosedur-
prosedur yang dipunyai oleh sesuatu bidang ilmu
pengetahuan.
Termasuk dalam pengertian metodologi adalah logika
yang dipunyai dan digunakan berkenaan dengan prinsip-
prinsip pengetahuan dan pembentukannya dalam sebuah
bidang ilmu pengetahuan. Potensi konflik dan berbagai
bentuk konflik, metode-metode penelitian dan analisanya dan
cara-cara pencegahannya. Seorang perwira polisi di lapangan
oleh karena itu harus mampu mendeteksi secara awal
berbagai gejala sosial yang dapat mengarah pada konflik
antar kelompok atau antar kampung, dan konflik antar
sukubangsa. Berdasarkan deteksi tersebut si perwira polisi di
lapangan dapat menyelidiki lebih lanjut berbagai kemungkinan
konflik yang akan terjadi dan dapat mencegah terjadinya
konflik yang saling menghancurlkan, melalui berbagai bentuk
negosisasi seseorang dengan teori-teori yang telah
dipelajarinya.
b. Filosofi bangunan ilmu kepolisian

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 17


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

c. Ilmu kepolisian sebagai bidang ilmu pengetahuan baru


1) Ilmu kepolisian sbg sebuah bidang Ilmu pengetahuan
(yang baru).
a) Memiliki hakekat keilmuan (the philosophy of
science);
b) Memiliki paradigma sendiri (paradigm);
c) Terdiri dari seperangkat pengetahuan (disciplines).
2) Lahirnya Ilmu kepolisian – jawaban kebutuhan umat
manusia.
a) Keniscayaan alamiah evolusi ilmu pengetahuan utk
memenuhi kebutuhan umat manusia;
b) Acuan dlm beradaptasi dng lingkungan;
c) Meningkatkan kualitas & peradaban umat manusia.
3) Ilmu kepolisian sbg landasan kurikulum pendidikan &
pengembangan profesi kepolisian.
4) Ilmu kepolisian merupakan ilmu yang universal, BUKAN
eksklusif.
d. Konsep ilmu kepolisian
1) Sebuah ilmu pengetahuan;
2) Fungsi kepolisian;
3) Lembaga kepolisian;
4) Masalah sosial;
5) Keteraturan sosial.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 18


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

e. Azas-azas ilmu kepolisian


1) Preventif;
2) Proaktif (AMDAK, AMDALL);
3) Progresif;
4) Empowerment-partnership;
5) Problem solving;
6) Kontekstual dan lokalitas;
7) Universal-komunal;
8) Meningkatkan kualitas hidup;
9) Menjaga peradaban dan kemanusiaan.
f. Isu-isu yang berkembang di masyarakat
Isu-isu yang berkembang di masyarakat yaitu moral,
ketidakadilan, tuna susila, penghinaan keyakinan agama,
organisasi, manajemen, administrasi, performance, dll.
Tugas polisi harus mempunyai pengetahuan yang cukup
mengenai masyarakat pada umumnya dan masyarakat
tempatnya bertugas dan yang lebih khusus lagi adalah
pengetahuan mengenai berbagai masalah sosial yang teori-
teorinya telah dikembangkan oleh sosiologi, antropologi, ilmu
politik, kriminologi, ilmu ekonomi dan psikologi sosial.

3. Kedudukan, Tujuan, Peran, Fungsi Dan Tugas Pokok


Kepolisian
a. Kedudukan Kepolisian
Kedudukan kepolisian menurut para ahli:
1) Montesqieu (Trias Politica):
a) Legislatif;
b) Eksekutif;
c) Yudikatif.
2) Vollen Hoven (Quarto Politica):
a) Bestuur (fungsi pemerintahan);
b) Regeling (fungsi perundang-undangan)
c) Rechspraak (fungsi kehakiman);
d) Politie (fungsi kepolisian).
3) Awaluddin Djamin:
a) Administrasi pemerintahan;
b) Administrasi pertahanan;
c) Administrasi hukum;
d) Administrasi kepolisian.
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 19
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Kedudukan Polri dalam negara (dalam pandangan administrasi):

b. Tujuan kepolisian
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 pasal 2
menyatakan bahwa Polri bertujuan untuk menjamin tertib dan
tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat
guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri,
terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara, dan
tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.
Kemudian pasal 4 dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta
terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
c. Peran kepolisian
1) Sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat;
2) Sebagai penegak hukum;
3) Sebagai pemberi perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 20


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

d. Fungsi kepolisian
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 pasal 3
menyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang penegakan hukum,
perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta pembimbingan
masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya
hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat guna
terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
menyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan, Menurut Komjen Pol. Prof. Dr. H. Rycko
Amelza Dahniel, M.Si. secara aksiologis tujuan hakiki dari
fungsi kepolisian sebagai penjaga peningkatan kualitas hidup
manusia (the guardian to enhance quality of life), penjaga
kemanusiaan (the guardian to humanism), dan penjaga
peradaban umat manusia (the guardian to civilitation).
Sementara itu, menurut P.M. Whisenand dan J.L. Cline
(1971) polisi beroperasi dalam 3 (tiga) kategori gungsional,
yakni:
1) Law enforcement atau penegakan hukum;
2) Order maintenance atau pemeliharaan ketertiban;
3) Government services pelayanan (fungsi pemerintahan
bagi/kepada masyarakat).
Ketiga kategori fungsi tersebut dirinci lagi menjadi:
1) Penumpasan/perlawanan terhadap kejahatan atau crime
fighting;
2) Penjagaan kedamaian/perdamaian atau peace keeping;
3) Bantuan/dukungan terhadap/bagi/kepada masyarakat/
komunitas atau community assistance;
e. Tugas pokok kepolisian
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 pasal 13
menyatakan bahwa Polri bertugas:
1) Selaku alat negara penegak hukum memelihara serta
meningkatkan tertib hukum;
2) Melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom dalam
memberi kan perlindungan dan pelayanan kepada
masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan
perundang-undangan;
3) Bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan
pertahanan keamanan negara lainnya membina
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 21
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

ketenteraman masyarakat dalam wilayah negara guna


mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat;
4) Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang
menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada point 1), 2) dan 3) di atas;
5) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa
tugas pokok Polri adalah:
1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2) Menegakkan hukum;
3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.

4. Landasan Hukum Kepolisian


a. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 30 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-undang Nomor 28 tahun 1997 tentang kepolisan
Negara Republik Indonesia (UU Lama).
c. Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisan
Negara Republik Indonesia (UU Baru).

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 22


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

POKOK BAHASAN 2
GAYA PEMOLISIAN, KULTUR DAN
SUBKULTUR KEPOLISIAN

1. Gaya Pemolisian
Gaya pemolisian atau policing style ini secara umum
menggambarkan atau merepresentasikan cara bagaimana
‘pekerjaan polisi’ (baca: tugas kepolisian) itu dilaksanakan. Secara
lebih spesifik, ‘gaya pemolisian’ mengejawantahkan atau
merealisasikan peran pemolisian. Karena antara gaya dan peran
pemolisian sejatinya terdapat hubungan yang sangat erat, bahkan
cenderung merupakan hubungan satu-satu, artinya, di suatu tempat
dan waktu tertentu, gaya pemolisian yang ada ditentukan oleh
peran pemolisian yang dominan dipraktekkan dan peran pemolisian
yang lain akan mendatangkan gaya pemolisian yang lain pula.
Gaya pemolisian juga menggambarkan dinamika proses
dialektika antara kekuasaan dan wewenang polisi dengan mereka
yang bukan polisi. Dapat dikatakan, gaya pemolisian merupakan
perwujudan negosiasi makna antara kedua belah pihak tentang
polisi, pemolisian, atau kepolisian di dalam suatu konteks tertentu.
Oleh karena gaya pemolisian mempunyai keterkaitan yang
secara spesifik sangat dekat dengan peran pemolisian, serta
secara umum cukup dekat dengan tugas kepolisian, maka gaya
pemolisian yang menonjol atau dipilih di suatu tempat dan waktu
(baca: konteks) tertentu juga akan saling mempengaruhi dengan
prioritas pelaksanaan tugas kepolisian sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan prioritas pelaksanaan tugas
kepolisian sehari-hari, kiranya dapat dimengerti pula bila gaya
pemolisian sesungguhnya secara umum menggambarkan situasi
keamanan dan ketertiban masyarakat atau kamtibmas yang ada.
Bahkan, gaya pemolisian juga dapat dipandang sebagai cermin dari
situasi dan kondisi penegakan hukum, ketertiban umum, maupun
pelayanan masyarakat (lihat pembahasan tentang peran polisi
dalam bab-bab sebelumnya).
Idealnya, gaya pemolisian merupakan perwujudan dari
jawaban atas kebutuhan masyarakat dalam pembangunan
kamtibmas pada umumnya, maupun penegakan hukum,
pemeliharaan ketertiban umum, dan pelayanan masyarakat, pada
khususnya.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 23


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

a. Gaya Pemolisian menurut James Q. Wilson, meliputi:


1) Watchman style atau gaya pengamat/ pemerhati/
pengawas, untuk membedakannya dengan security
guard atau penjaga keamanan
Watchman style atau gaya pengamat/pemerhati
/pengawas (dan bukan gaya penjaga keamanan) lebih
mengedepankan segala daya upaya yang berkenaan
dengan pemeliharaan ketertiban umum atau
maintenance of public order. Pada arah inilah, yakni
pengutamaan pemeliharaan ketertiban umum, baik
struktur organisasi, kebijakan, prioritas, alokasi sumber
daya dan lain-lain, ditujukan. Dalam hal ini tidak berarti
peran penegakan hukum atau pelayanan masyarakat
diabaikan sama-sekali, akan tetapi kedua peran tersebut
diposisikan di dalam kerangka pemeliharaan ketertiban
umum. Di sinilah penerapan diskresi polisi yang terbesar
terjadi.
2) Legalistic style atau gaya legalistik
Dengan legalistic style atau gaya pemolisian legalistik,
maka pelaksanakan penegakan hukum lebih
diutamakan, maksudnya adalah, pandangan atau
ukuran-ukuran atau peran sebagai penegak hukum dari
para petugas polisi di lapangan, pimpinan polisi, maupun
polisi sebagai organisasi, lebih dikedepankan. Dalam
kaitannya dengan diskresi polisi, akan kentara sekali
pelaksanaan tugas polisi akan condong ke penegakan
hukum, dan akan lebih mudah bagi polisi untuk
menganggap suatu insiden sebagai suatu tindak
pelanggaran hukum atau tindak kriminal yang harus
segera diikuti oleh proses hukum, daripada sekedar
tindakan yang mengganggu ketertiban umum yang
hanya membutuhkan suatu teguran atau peringatan.
Pada beberapa kasus ekstrim, pengadopsian gaya
legalistik ini bahkan menjadikan fokus pelaksanaan
tugas polisi semakin sempit dan menjadikan polisi bukan
lagi sebagai law enforcer, yakni penegak hukum,
melainkan seolah hanya sebagai crime fighter atau crime
buster, yakni pejuang/petarung pelawan kejahatan atau
pembasmi/penumpas kejahatan.
3) Service style atau gaya pelayanan (masyarakat)
Di dalam service style atau gaya pemolisian pelayanan
masyarakat terkandung makna bahwa polisi, baik
sebagai individu, fungsi/peran, atau organisasi, akan
pertama-tama mengedepankan pelayanan kepada
masyarakat. Dalam hal ini, polisi akan tetap menanggapi
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 24
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

segala tuntutan mengenai penegakan hukum dan


pemeliharaan ketertiban umum dengan seksama, akan
tetapi mereka tidak serta-merta menindak lanjuti dengan
penahanan atau pemberian sanksi formal.
Dengan kata lain polisi akan lebih sering terlibat atau ikut
campur di dalam berbagai peristiwa yang timbul di tengah
masyarakat (seperti persengketaan keluarga), akan tetapi
mereka tidak melakukannya secara formal. Dengan gaya
pemolisian ini pelaksanaan tugas kepolisian seringkali
dipandang sebagai produk yang siap dilempar ke pasar untuk
memenuhi demand yang muncul di tengah masyarakat. Ini
berarti akan dapat dirasakan betapa pengelolaan pemolisian
mendekati pengelolaan sebuah usaha atau bussiness
layaknya, dimana para jajaran pimpinan polisi dituntut untuk
tidak saja berpikiran, bersikap, berbicara, dan bertindak
sebagai seorang leader, akan tetapi juga sebagai seorang
manager.
b. Gaya Pemolisian menurut Nicholas Fyfe
Nicholas Fyfe membagi gaya pemolisian menjadi 3 tataran,
yaitu
1) Tataran menengah
Menurut pandangan Nicholas Fyfe, berbagai gaya
pemolisian sebagaimana dipikirkan oleh James Q.
Wilson di atas lebih sesuai bila dipahami pada tataran
menengah, yakni pada skala regional.
2) Tataran bawah
Pada tataran bawah, yakni skala lokal, Nicholas R. Fyfe
merujuk kepada pendapat Maureen Cain yang membagi
gaya pemolisian menjadi:
a) Gaya pemolisian perkotaan atau urban policing
style. Gaya pemolisian perkotaan lazim
mengemuka pada daerah, sudah barang tentu,
perkotaan. Tetapi lebih daripada itu, gaya
pemolisian ini acap kali dijumpai di daerah dengan
situasi demografi yang heterogen dan tidak stabil.
Di dalam gaya pemolisian ini, berbagai issue yang
berkenaan dengan pemolisian didefinisikan oleh
apa yang disebut sebagai kelompok kolega polisi
atau police colleague group itu sendiri. Di samping
itu, oleh karena adanya pemisahan atau separasi
antara rumah dan pekerjaan polisi, maka polisi
tidak terlalu sering menjadi bagian dari masyarakat
tempat bertugas. Pelaksanaan tugas kepolisianpun
cenderung terspesialisasi.
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 25
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

b) Gaya pemolisian pedesaan atau rural policing style.


Gaya pemolisian pedesaan tentu saja lebih
menonjol di daerah pedesaan. Akan tetapi yang
perlu digaris-bawahi adalah, gaya pemolisian ini
dapat dijumpai pada daerah dengan situasi
demografi yang homogen dan stabil.
Berbagai permasalahan pemolisian didefinisikan oleh
masyarakat itu sendiri ke dalam diri polisi, baik sebagai
individu maupun organisasi dipandang sebagai bagian
dari keseluruhan masyarakat. Hal ini dimungkinkan
karena pada umumnya polisi tinggal secara lokal di
tengah masyarakat di tempat ia bertugas.Polisi, banyak
terlibat di dalam kontak sehari-hari dengan masyarakat.
yang dalam pelaksanaan tugas kepolisianpun mereka
seringkali bergantung atau mendapat bantuan dari
masyarakat. Di sini polisi lebih berlaku sebagai petugas
serba-bisa dan bukan spesialis.
3) Tataran atas
Pada tataran atas, yakni skala nasional, Nicholas R. Fyfe
merujuk kepada pandangan David Bayley yang secara
umum membagi gaya pemolisian ke dalam:
a) Gaya pemolisian pemadam kebakaran atau
fireman/fire brigade. Gaya Pemolisian ini diwakili
oleh pelaksanaan tugas kepolisian di Amerika
Serikat. Dengan gaya ini polisi hanya memberikan
respon manakala diperlukan, persis seperti seorang
petugas pemadam kebakaran bereaksi terhadap
laporan adanya kebakaran. Aktivitas polisi, baik
sebagai individu maupun organisasi banyak
didominasi oleh urusan penegakan hukum. Gaya
pemolisian ini antara lain berhubungan dengan
budaya masyarakat yang non-statis di Amerika
Serikat.
b) Gaya pemolisian pak pos atau postman. Gaya
pemolisian ini diwakili oleh pelaksanaan tugas
kepolisian di Jepang. Melalui gaya ini para petugas
polisi di lapangan, dan jajaran pimpinannya,
memperhatikan dan menanggapi kebutuhan
masyarakat secara sungguh-sungguh. Merekapun
membangun dan memelihara hubungan baiknya
dengan masyarakat secara rinci, dan jika perlu
dilakukan dari rumah ke rumah, persis seperti apa
yang dilakukan oleh pak pos. Gaya pemolisian ini
tidak terlalu didominasi oleh urusan penegakan
hukum serta berkenaan dengan budaya
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 26
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

masyarakat yang statis.


c. Gaya Pemolisian menurut Egon Bittner
Egon Bittner berpendapat bahwa secara umum gaya
pemolisian terbagi menjadi:
1) Gaya pemolisian pengrajin atau careful craftsman.
Gaya pemolisian ini cenderung mencuat pada daerah
yang didominasi oleh peran polisi di dalam pemeliharaan
ketertiban (order maintenance) atau penjagaan
per/kedamaian (peace keeping).
Di dalam gaya ini, mandat hukum yang diterima oleh
polisi sebenarnya tidak terlalu jelas, mandat tersebut
lebih merupakan hasil hasta karya atau crafts yang
terbangun antara polisi dan masyarakat sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada. Menjadi bagian dari
masyarakat adalah kunci dari gaya ini.
2) Gaya pemolisian koboi aspal dan pengangkut
berseragam atau asphalt cowboy dan uniform carrier.
Gaya pemolisian ini banyak dijumpai di Amsterdam,
Belanda, utamanya di daerah ‘lampu merah’. Gaya
pemolisian ini menggambarkan polisi yang berperilaku
gagah dan pongah bagai koboi layaknya di jalanan aspal
daerah ‘lampu merah’. Sambil menunjukkan
kepiawaiannya dalam menggunakan senjata (baca:
kekerasan atau kekuasaaan) polisi di daerah tersebut
dengan lugasnya menciduki mereka yang dianggap
melanggar hukum untuk di proses di kantor polisi. Gaya
seperti inilah yang membuat mereka disebut sebagai
uniform carrier.
d. Gaya Pemolisian menurut Mike Brogden
1) Gaya pemolisian tinggi atau high policing, yakni yang
lebih mengedepankan aktivitas pengumpulan informasi
intelejen dan cenderung kepada order maintenace.
2) Gaya pemolisian rendah atau low policing, yang lebih
mengutamakan pekerjaan polisi di dalam penegakan
hukum dan pendefinisian hukum.
e. Gaya Pemolisian menurut J.W.E. Sheptycki
1) Gaya Pemolisian Teknokrat, merupakan gaya yang
disesuaikan dengan era teknologi informasi. Gaya ini
mengutamakan pengumpulan dan pengelolaan data
pemolisian, termasuk tindak kejahatan beserta para
pelakunya, yang dilaksanakan seefisien mungkin.
2) Gaya Pemolisian Diplomat, lebih mengedepankan
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 27
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

kebisaan polisi sebagai liaison officer atau petugas


penghubung yang menjembatani dunia polisi dan dunia
bukan polisi. Dengan kata lain gaya ini menekankan
pada pembangunan hubungan konstruktif antara
organisasi polisi secara internal dan antara polisi dengan
pihak bukan polisi secara eksternal.
3) Gaya Pemolisian Entrepreneur atau wirausaha adalah
gaya yang menitik beratkan pada pemahiran prosedur
dan teknik pemolisian yang terus berganti itu. Gaya ini
juga menjadikan pemolisian bagai suatu business
(lengkap dengan marketingnya), sehingga pimpinan
polisipun bertindak bagai manajer.
4) Gaya Pemolisian Enforcer atau penegak hukum
menonjolkan sisik klasil dan romantik dari polisi yang
dulu banyak dijumpai di dalam literatur dan yang sering
disalah artikan sebagai tugas inti dari polisi. Dengan
gaya ini maka dapat saja sering terdengar slogan “Hajar
Bléh!”.
Namun demikian, pada prakteknya, berbagai gaya
tersebut tidak begitu saja diterapkan secara kaku atau rigid.
Yang sebenarnya terjadi adalah semacam chameleoning atau
‘pem-bunglonan’ terhadap penerapan gaya tersebut.
Maksudnya adalah dari satu waktu ke waktu lain, dari satu
tempat ke tempat lain, dan dari satu kasus ke kasus lain, polisi
ternyata menerapkan gaya yang berbeda-beda disesuaikan
dengan konteksnya.
Bila bawahan punya gaya, maka pimpinan pemolisian
mempunyai karakter dalam memimpin. Menurut D.B. Moore (1994),
terdapat paling tidak 4 (empat) gaya yang diterapkan oleh para
pimpinan polisi dan polisi senior. Keempat gaya tersebut meliputi:
a. Gaya pimpinan pemolisian baron.
Gaya pemolisian baron banyak dijumpai di luar daerah
perkotaan, dengan kata lain di daerah pedesaan. Gaya ini
menampilkan pimpinan polisi bagai raja kecil dengan
akuntabilitas ke pemerintah pusat yang kecil.
b. Gaya pimpinan pemolisian boss.
Gaya pemolisian boss menjadikan pimpinan polisi bagai boss
suatu kesatuan atau organisasi berdaya gempur tinggi (mirip
boss ganster) yang siap melibas siapa saja dengan pola
reaktif dan fire brigadenya (catatan: pola fire brigade atau
pemadam kebakaran ini akan dibahas lebih dalam di dalam
bab yang lain nanti).

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 28


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

c. Gaya pimpinan pemolisian bobby.


Gaya pemolisian bobby bisa dikatakan gaya pimpinan yang
gandrung atau gemar akan segala sesuatu yang bersifat
tradisional. Jadi, ia enggan berubah dan tidak terlaku suka
ketidakpastian yang dihadirkan oleh perubahan.
d. Gaya pimpinan pemolisian birokrat.
Gaya pemolisian birokrat menggambarkan pimpinan polisi
yang bertindak bagai bagian dari sistem birokrasi
pemerintahan. Kadang kala kedekatannya dengan otoritas
politik terasa terlalu menyolok, akan tetapi di saat lain
kemauannya untuk melibatkan partisipasi dari perwakilan
masyarakat juga tidak jarang muncul.

2. Kultur Kepolisian
Istilah budaya (culture) pada mulanya populer dalam disiplin
ilmu antropologi. Kata culture berasal dari kata latin colere berarti
mengolah, mengerjakan, biasanya berkaitan dengan kegiatan
pengolahan tanah. Istilah culture berkembang menjadi segala daya
dan upaya manusia untuk mengubah alam (Koentjaraningrat,
1993).
Kata kultur memiliki banyak arti dan konotasi. Schein (1992)
menyarankan bahwa kultur harus digunakan untuk tingkat asumsi
dan keyakinan yang lebih dalam dirasakan bersama oleh para
anggota suatu organisasi yang bekerja tanpa disadari.
a. Teori dan konsep budaya budaya organisasi
Budaya organisasi memiliki dua tingkatan yang berbeda
dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanan menghadapi
perubahan. Pada tingkat yang kurang terlihat, budaya
berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut bersama oleh
kelompok dan cenderung tetap bertahan meskipun anggota
kelompok sudah berubah. Pada tingkatan selanjutnya, budaya
menggambarkan pola perilaku suatu organisasi sehingga
anggota baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti
perilaku teman kerjanya (Kotter & Heskett, 1992).
Atmosoeprapto (2000) menyimpulkan dari pendapat
Schein bahwa budaya organisasi memiliki pengertian sebagai
aturan main yang ada di dalam organisasi yang akan menjadi
pegangan dari sumber daya manusia dalam menjalankan
kewajiban dan nilai-nilai untuk berperilaku di dalam
organisasi/organisasi tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa
budaya organisasi adalah pola terpadu perilaku manusia di
dalam organisasi/organisasi termasuk pemikiran-pemikiran,
tindakan-tindakan, pembicaraan-pembicaraan yang dipelajari
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 29
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

dan diajarkan kepada generasi berikutnya.


Budaya organisasi menurut Tosi dkk. (1994) dalam
Munandar (2001) adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan
bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam
organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
Sedangkan Susanto (1997) memberikan definisi sebagai nilai-
nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk
menghadapi permasalah eksternal dan usaha penyesuaian
integrasi ke dalam organisasi sehingga masing-masing
anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan
bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.
Budaya organisasi banyak diyakini organisasi sebagai
budaya kerja yang berdampak besar terhadap kinerja
organisasi. Schein menyatakan budaya organisasi/organisasi
sebagai pola asumsi dasar yang telah dikemukakan oleh
suatu kelompok tertentu, ditemukan atau dikembangkan untuk
mempelajari cara mengatasi perilaku anggota organisasi
(Munandar, 2001). Beberapa definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan cara
berpikir, bekerja, berperilaku anggota organisasi dalam
melakukan pekerjaan mereka. Budaya organisasi umumnya
menekankan pada pentingnya nilai-nilai yang dianut bersama
dan ikatan kepercayaan serta pengaruhnya terhadap perilaku
anggota organisasi. Hal inilah yang membedakan satu
organisasi dengan organisasi yang lainnya. Budaya organisasi
mungkin kuat atau lemah, dan budaya yang kuat tidaklah
harus baik. Sebaliknya, budaya yang lemah mungkin dapat
diterima jika organisasi/organisasi tersebut berfungsi dengan
baik.
b. Budaya organisasi Polri (kultur Polri)
Sebagai sebuah Organiasasi Polri tentunya memiliki
Budaya Organisasi tersendiri yang merupakan cirikhasnya.
Dalam beberapa pendapat para Ahli bahwa setiap budaya
organisasi adalah positif. Karena budaya organisasi dijadikan
dan diyakini sebagai nilai nilai yang menjadi pedoman dan
dianut oleh anggotanya untuk mengembangkan dan
memajukan organisasinya.
Sebagai sebuah lembaga yang memiliki fungsi dan
peran memelihara Kamtibmas, menegak kan hukum,
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta
memiliki sifat organisasi yang dipengaruhi oleh Paramiliter,
beberapa perwujudan atau wujud budaya Organisasi Polri
yang dimiliki baik dalam bentuk sebagai organisasi maupun
individu bagian sebagai bagian dari otrganisasi antara lain
sebagai berikut:
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 30
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

1) Budaya dalam bentuk kelompok


Budaya Organisasi sebagai oraganisasi,
merupakan nilai nilai dan pedoman yang diajukan
pedoman dalam bersikap dalam pemngembangan dan
menjalankan sebagai organisasi. Budaya organisasi
tercermin dalam produk dan metode kerja sebuah
organisasi. Contoh budaya organisasi kepolisian
sebagai organisasi adalah, Gaya pemolisian yang
digunakan dalam menjalankan tugas kepolisian,
kebijakan Organisasi dalam melaksanakan tugas
Harkamtibmas, Mekanisme dan hierarki yang berlaku
dalam organisasi, standard operasional penanganan
terhadap suatu masalah yang dihadap dan sebagainya.
2) Budaya organisasi dalam bentuk individu
Budaya Organisasi dalam bentuk individu
merupakan nilai nilai atau norma norma yang dijadikan
pedoman dan dilaksanakan sebagai bagian organisasi
oleh setiap personil/individunya. Contoh dalam Polri
antara lain. Setiap bawahan yang bertemu dengan
atasan melakukan penghormatan, memiliki rasa
kewaspadaan yang tinggi jika melihat suatu peristiwa
atau keadaan yang dapat mengganggu keamanan dan
ketertiban, taat dan patuh terhadap perintah atasan,
memiliki kepedulian dan sikap siap menolong dalam hal
menjumpai, menemukan peristiwa yang dapat
membahayakan dan sebagainya.

3. Subkultur Kepolisian
Menurut David Jary dan Julia Jary (1991) di dalam Collins
Dictionary of Sociology, subkultur adalah:
“Segala sistem keyakinan atau belief, nilai, dan norma yang
dipunyai dan yang secara aktif dibangun dan dipelihara bersama
oleh sekelompok orang yang merupakan bagian dari kultur
tertentu”.
Dalam hal ini, kultur dimana sebuah subkultur merupakan
bagian dari kultur dominan. Hubungan antara suatu subkultur
dengan kultur dominan bisa dikatakan bersifat subordinasi dan
ketidakberdayaan relatif atau relative powerlessness. Artinya, kultur
dominan sangat berperan di dalam pembentukan suatu subkultur.
Sehingga dapat dikatakan, kultur dominan merupakan konteks di
dalam sebuah subkultur dibangun dan dipelihara oleh para pemilik,
penganut, atau pemakai subkultur dimaksud.
Hubungan kekuasaan atau power relation, dengan demikian,
merupakan dimensi yang signifikan di dalam kajian multi disipliner
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 31
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

tentang subkultur. Sebagaimana kultur dominan pada umumnya,


subkultur dapat dianggap sebagai hasil dari respon dan kreatifitas
kolektif dan karenanya ditentukan oleh atau fungsi dari transformasi
sejarah. Subkultur antara lain banyak ditelaah berkenan dengan
etnik, kelas sosial, remaja atau anak muda, pekerjaan atau profesi,
dan tentu saja polisi atau perpolisian.
Para teoris subkultural, termasuk antara lain Jerome Skolnick
(1966), secara sosiologis mengartikan subkultur perpolisian
sebagai:
“Suatu set atau serangkaian pemecahan masalah yang dipelajari,
dipahami, dikuasai, dikembang-kan, diterapkan dan dipertahankan
di dalam rutinitas pekerjaan atau pelaksanaan tugas kepolisian”.
Bila dipadukan dengan definisi subkultur sebelumnya di atas,
maka dapat dikatakan bahwa suatu set atau serangkaian
pemecahan masalah inilah yang kemudian akan tumbuh menjadi
sistem belief, nilai dan norma. Sedangkan polisi bisa dipandang
sebagai sekelompok orang yang merupakan bagian dari
masyarakat keseluruhan yang mempunyai kultur dominannya
sendiri.
Hanya saja, masyarakat keseluruhan hendaknya tidak disalah
artikan sebagai seluruh masyarakat, katakanlah, Indonesia
misalnya. Masyarakat keseluruhan di sini semestinya dimengerti
sebagai:
“Seluruh masyarakat di dalam mana polisi dan mereka yang bukan
polisi, yakni masyarakat, merupakan 2 (dua) bagian yang berbeda
namun tak terpisahkan”.
Jadi, istilah masyarakat keseluruhan seperti telah dibahas
sebelumnya dalam tulisan ini semestinya mengandung muatan
idiosinkrasi dan pluralitas.
Memperhatikan uraian di atas, sebagai contoh bila
masyarakat perkotaan di Semarang mempunyai kulturnya sendiri
yang berbeda, maka masyarakat kota Surabaya akan berbeda
subkultur para polisi yang bertugas di Semarang boleh jadi juga
berbeda dari subkultur para polisi yang ditempatkan di Surabaya.
Ketika seorang anggota polisi yang untuk beberapa waktu lamanya
bertugas di Semarang kemudian dialih tugaskan ke Surabaya, ia
dengan demikian harus kembali belajar dari awal, lalu memahami,
menguasai, mengembangkan dan menerapkan serangkaian
pemecahan masalah di dalam rutinitas pelaksanaan tugas
kepolisian yang khas Surabaya. Lambut laun, ia akhirnya akan
menjadi bagian dari sistem belief, nilai, dan norma yang tumbuh di
dalam kepolisian Surabaya.
Dinamika subkultur kepolisian yang bersifat lokal tersebut
sangat mungkin terjadi dan bahkan terus terjadi, walaupun secara
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 32
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

nasional ada pula subkultur perpolisian. Bahkan, dengan adanya


gelombang globalisasi yang menerpa setiap sudut dunia, kini juga
dapat diidentifikasi apa yang disebut sebagai subkultur kepolisian
transnasional.
Kalaupun anggota polisi Kota Semarang di atas tidak dimutasi
ke Surabaya, ia tetap saja menjadi bagian dari dinamika subkultur
kepolisian lokal masyarakat Kota Semarang sendiri, tentunya
berikut kultur dominan mereka, mengalami transformasi sejarah
sejalan dengan bergulirnya roda waktu. Singkatnya, dinamika
subkultur kepolisian berlangsung baik pada aras lokal, nasional,
maupun transnasional dan ini terjadi sesuai dengan konteks ruang,
dan waktunya.
Menurut R. Reiner (1985), dan ini juga sejalan dengan Jerome
skolnick (1966), subkultur kepolisian dapat disebut sebagai
personalitas kerja atau working personality perpolisian.
Disebut demikian karena subkultur sebenarnya dapat
dipandang secara praktis sebagai personalitas (kepribadian) yang
dikonstruksi melalui aktifitas bekerja. Dengan kata lain, subkultur
atau personalitas kerja pada dasarnya adalah suatu konstruksi.
Selanjutnya dikemukakan oleh R. Reiner, subkultur atau
personalitas kerja kepolisian ini dapat diringkas ke dalam 7 (tujuh)
karakteristik, yakni:
a. Misi — aksi — sinisisme — pesimisme.
b. Kecurigaan.
c. Isolasi/solidaritas.
d. Konservatisme.
e. Machismo.
f. Prejudice.
g. Pragmatisme.
Ketujuh karakteristik subkultur atau personalitas kerja
kepolisian di atas sudah lumayan aktual, akan tetapi belum cukup
‘konkrit’ untuk dapat dipahami secara lebih mudah. Pemahaman
subkultur atau personalitas kerja kepolisian yang lebih ‘konkrit’ atau
lebih nyata/solid/material inilah yang kemudian terealisasi sebagai
gaya pemolisian atau policing style.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 33


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

POKOK BAHASAN 3
PARAMILITERISME DALAM PERPOLISIAN, KETERTIBAN
UMUM DAN ISSU OTONOMI DAERAH

1. Perpolisian Militer
Istilah paramilitary policing sering dipadankan dan diterapkan
secara bergantian dengan istilah quasi-military policing. Keduanya
memiliki makna yang hampir serupa dengan sedikit perbedaan
pada penekanannya. Bila paramilitary policing mengandung makna
‘mirip militer’, maka quasi-military policing mempunyai makna
‘bukan militer’.
Paramilitary policing bisa diartikan sebagai gaya perpolisian
yang lebih bersifat militer. Perpolisian bergaya militer ini
mengandung makna adanya aplikasi dari pelatihan, perlengkapan,
filosofi dan organisasi (bahkan teknik) militer di dalam pelaksanaan
tugas polisi.
Paramilitary policing diantaranya ditandai oleh pendekatan
militeristik dan otoriter terhadap penegakan hukum. Seringkali
gaya dingin, keras dan tanpa pandang bulu bagaikan ‘tinju besi’
atau iron fist ini di-claim sebagai modal utama dalam menuju
profesionalisme polisi.
Kegandrungan polisi terhadap gaya militer ini antara lain
dipicu oleh:
a. Kebutuhan akan ketertiban dan disiplin internal.
b. Loyalitas total terhadap. Pimpinan.
c. Hirarki yang dapat menjamin konformitas personilnya.
d. Keseragaman sikap dan perilaku, pelatihan serta pendidikan.
e. Daya pukul.
f. Kesiap-siagaan.
Paramilitary policing bukanlah hasil dari perkembangan
filosofi, organisasi maupun teknik perpolisian mutakhir belakangan
ini. Berlawanan dengan dugaan banyak kalangan, paramilitary
policing justru mempunyai sejarah, walaupun terputus-putus tetapi,
cukup panjang.
Bahkan akar perpolisian dan kepolisian modern, yakni UU
Polisi Metropolitan Tahun 1829 di Inggris, sudah menyiratkan citra
militeristik sejak pertama kali diundangkan. Posisi Kepala Polisi
Metropolitan London pun sejak pertama kali ada pada tahun 1829
sampai tahun 1945 selalu dijabat oleh mantan anggota militer
senior.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 34


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Di banyak bagian dunia, paramilitary policing memang


kemudian menjadi model yang dominan selama dekade 70-an dan
80-an. Di Inggris, model tersebut cenderung diterapkan
sehubungan dengan kombinasi antara kebijakan law and order dari
pemerintahan konservatif serta kebutuhan untuk mengatasi konflik
yang tak berkesudahan di Irlandia Utara. Sedangkan di Australia,
perhatian lebih diberikan terhadap kebijakan paramilitary policing
dalam rangka mencapai tujuan ekonomi dan politik dari negara-
negara bagian yang ada, sekaligus memperjuangkan legitimasi
polisi di mata masyarakat.
Dalam dekade 90-an, paramilitary policing boleh-boleh saja
tidak lagi tampak dominan. Akan tetapi ini sama sekali tidak boleh
diartikan bahwa polisi betul-betul terbebas dari paramiliterisme.
Paramilitary policing serasa seolah tidak lagi menonjol karena
dari waktu ke waktu kita sudah semakin terbiasa dan terkondisikan
untuk menerimanya sebagai bagian dari keseharian polisi. Proses
pembiasaan dan pengkondisian ini terutama berlangsung melalui
media massa pada umumnya, serta media elektronik utamanya,
televisi pada khususnya.
Melalui liputan dramatis di layar kaca kita dapat menyaksikan
bagaimana polisi telah terlatih, terorganisasi, berpakaian dan
berperlengkapan ala pasukan militer yang siap sedia untuk
melancarkan serangan sekeras tinju besinya. Untuk itu, di Inggris
polisi bahkan sering dijuluki sebagai angkatan ketiga, yakni setara
dengan pasukan militer regular hanya saja minus senapan mesin
otomatis.
Kini, sungguhpun petugas polisi acap kali dipandang sebagai
warga sipil yang berseragam, penampilan, pelatihan, sistem
kepangkatan, kepatuhan dan loyalitas terhadap pimpinan serta sub-
kultur pekerjaan mereka masih saja mempertahankan
kedekatannya atau kemiripannya dengan militer, atau dengan kata
lain tetap saja bergaya paramiliter. Berdasarkan kajian empirik
terutama di negara-negara demokrasi barat, disadari bahwa gaya
perpolisian ini ternyata sangat bermasalah.
Misalnya saja dalam dekade pertama sejak pembentukan
polisi modern di London, Inggris seperti telah disebutkan di atas,
peringatan para pengamat akan dampak negatif dari paramilitary
policing sudah sering terdengar. Salah satu dari rangkaian
peringatan tersebut ditujukan kepada fakta bahwa polisi sebagai
suatu organisasi yang terlatih baik, berdisiplin tinggi, dan
bersenjata, pada dasarnya adalah bahaya laten yang sewaktu-
waktu dapat mengintimidasi masyarakat dan mengebiri semangat
kebangkitan masyarakat kala itu.
Kekhawatiran lain juga semakin mengemuka. Dalam hal ini
contohnya adalah kekhawatiran terhadap ekses-ekses buruk dari
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 35
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

paramilitary policing di negara-negara di mana polisi tidak


beroperasi melalui pemerintah lokal dan bekerja tanpa dukungan
persetujuan bersama atau by consent masyarakat setempat yang
dilayaninya. Kekhawatiran ini biasanya berkembang di negara-
negara di mana mandat polisi diperoleh dari pemerintah pusat,
seperti misalnya Indonesia ?.
Subkultur maskulinitas, yang merupakan bagian sentral dari
ikatan persaudaraan polisi guna memperkokoh paramilitary
policing, belakangan ini juga menjadi bulan-bulanan kritik para
pengamat perpolisian. Kritik pedas mengenai hal ini antara lain
dilontarkan terhadap institusionalisasi sexisme, penyemaian nilai-
nilai machismo, pengembangan unit-unit yang anggotanya
semuanya polisi laki-laki, serta sikap maskulinitas kelompok yang
cenderung agresif.
Tidak satupun organisasi kepolisian di negara-negara
demokrasi Barat yang merupakan bagian dari angkatan bersenjata.
En toch, tetap saja mereka harus berkutat dengan permasalahan
yang ditimbulkan oleh paramilitary policing.
Kini, dengan hasrat menggebu untuk berdikari sekaligus
menghapus warna paramiliterismenya, POLRI dipisahkan atau
barangkali memisahkan diri dari ABRI. Apakah dengan demikian
POLRI jadi mandiri? Apakah POLRI lalu bisa terbebas dari etos
paramiliterisme?
Jawab dari sepasang pertanyaan ini sungguh dirundung
mendung ketidakpastian. Mandiri: mungkin ya, tetapi bebas dari
paramiliterisme: tidak bisa dijamin.
Pada dasarnya, secara hitam-putih tidak dapat dikatakan
bahwa paramilitary policing ditentukan oleh bergabung atau
tidaknya organisasi kepolisian suatu negara dengan angkatan
bersenjatanya. Si ‘tinju besi’ Paramilitary policing lebih bergantung
pada, antara lain:
a. Filosofi.
b. Organisasi.
c. Kebijakan, peran atau fungsi.
d. Gaya atau tindakan militer.
Dipilih untuk membangun kepolisian dan perpolisian suatu
negara. Inilah yang semestinya menjadi sasaran atau titik berat
Polri bila mereka berkehendak untuk menjadi lebih sipil.

2. Perpolisian Ketertiban Umum


Sementara itu, public order policing atau perpolisian ketertiban
umum hendaknya tidak disalah artikan sebagai order maintenance
atau peace keeping. Bersama law enforcement serta service
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 36
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

provision, order maintenance atau peace keeping. Artinya


‘pemeliharaan ketertiban’ atau penjagaan perdamaian sebenarnya
merupakan 3 (tiga) komponen utama dari perpolisian yang dikenal
pada umumnya atau perpolisian rutin, dengan kata lain routine
policing.
Barangkali istilah yang lebih tepat digunakan untuk public
order policing adalah large crowd policing atau perpolisian yang
diterapkan terhadap kerumunan orang banyak yang mempunyai
potensi untuk mengakibatkan rusuh massa sehingga mengancam
keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Public order
policing ini dilaksanakan dalam rangka mengatasi, diantaranya:
a. Ketidak tertiban umum.
b. Demonstrasi politik.
c. Unjuk rasa yang disebabkan oleh konflik ketenaga-kerjaan.
Sejalan dengan arus globalisasi dan reformasi yang secara
bersamaan menerpa Indonesia tercinta, perpolisian ini kini tanpa
kita sadari sering hadir di ruang keluarga kita melalui media
elektronik yang kerap menayangkan benturan antara POLRI
dengan ribuan perusuh. Kajian yang lebih mendalam tentang
bagian perpolisian ini, yakni public order atau large crowd policing,
memang sangat diperlukan. Setidaknya ada dua alasan berkenaan
dengan hal ini:
a. Agar tidak timbul salah opini dikalangan masayarakat banyak,
bahwa policing atau perpolisian yang sebenarnya bermakna
luas itu, direduksi maknanya dan disamakan dengan public
order policing yang sebenarnya hanya merupakan salah satu
bagian dari sistem perpolisian.
b. Sebagai bagian dari perpolisian, public order policing
mempunyai karakterisitik/pakem/pendekatan/teknik tersendiri
yang semestinya tidak dicampur adukkan dengan bagian
perpolisian lainnya.
Oleh karena pelaksanaan public order policing cenderung
merupakan pengejawatahan dari paramilitary policing, maka mau
tidak mau nafas militerisme ditiupkan olehnya.
Penerapan paramilitary policing ini semakin terpupuk oleh
kewenangan yang dimiliki polisi untuk menggunakan paksaan
bahkan kekerasan dalam melaksanakan tugas public order policing
mereka.
Akan tetapi harus diingat bahwa diktum undang-undang yang
berkenaan dengan hal ini adalah bersifat sangat discretionary.
Artinya, diktum tersebut mempunyai rentang penafsiran yang
sangat luas, baik kadarnya dari penggunaan paksaan secukupnya
hingga penggunaan kekerasan yang mematikan maupun konteks
ruang dan waktunya.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 37


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Secara aktual, penafsiran diktum diatas berpulang pada


penerapan diskresi oleh para petugas polisi di lapangan. Pada titik
ekstrim, sangat mungkin terjadi paramilitary policing diidentikkan
dengan penggunaan kekerasan pada umumnya atau bahkan
kekerasan yang mematikan pada khususnya.
Oleh karena public order policing dianggap sebagai
penjelmaan dari paramilitary policing, maka akibat yang lebih parah
adalah giliran public order policing itu sendirilah yang disepadankan
dengan penggunaan kekerasan. Pada akhirnya, public order
policing yang semestinya hangat, fleksibel, konsultatif dan
menjanjikan itu mewujud jadi dingin, keras, tanpa pandang bulu dan
mematikan bagaikan baja sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya.
Berikut ini beberapa tonggak peristiwa dari perkembangan
pendekatan maupun teknologi yang yang dialami oleh public order
policing dari beberapa negara lain seperti Inggris, Amerika Serikat
maupun Australia yang diharapkan dapat digunakan sebagai
cermin public order policing di Indonesia:
a. Pendekatan dan teknik trudge and wedge atau pagar betis
yang ramai diterapkan hingga awal tahun 70-an.
b. Sejak sekitar tahun 1972, bersamaan dengan re-organisasi
polisi dan saling kerjasama antar unit organisasi dalam
menghadapi ketidaktertiban umum yang semakin massal,
diperkenalkan cara dorong dan ciduk/gusur atau push and
shove.
c. Sejak paruh akhir tahun 70-an, teknik pengendalian dan
pengalihan arus demonstrasi, yang kemudian disusul dengan
teknik penghentian dan pembubarannya, mulai mengemuka.
d. Mulai akhir tahun 70-an diperkenalkan teknik penguatan
bergradasi.
e. Sejak dekade 80-an hingga sekarang, teknologi perlengkapan
pengendalian kerusuhan seperti helm mutakhir, perisai yang
semakin pendek dan sesuai untuk pertempuran jarak dekat,
alat pemukul atau pentungan, mobil penyemprot air, gas air
mata, peluru karet, serta unit-unit yang lebih mobil, lengkap
dan terlatih, terus dikembangkan dan dipercanggih.
Seiring dengan perkembangan teknologi tersebut, juga
dikedepankan pendekatan sarung tangan beludru atau velvet glove
seperti public relation, community liaison, negosiasi, dan lain
sebagainya, sehingga diharapkan dampak buruk dari keras dan
dinginnya ‘tinju besi’ atau iron fist dari paramilitary policing dapat
dihilangkan atau setidaknya dapat direduksi.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 38


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

3. Perpolisian Dengan Isu Otonomi Daerah


Di dalam pembahasan tentang pemahaman lokal di atas telah
disebutkan tentang idiosinkrasi dan pluralitas perpolisian. Selain itu
telah pula disinggung desentralisasi organisasi kepolisian di dalam
uraian singkat tentang pemahaman demokratik. Tak ketinggalan,
telah pula dibahas tentang paramiliterisme.
Kesemuanya mau tidak mau akan menghantar kita kepada
topik otonomi daerah yang kini ramai diperbincangkan oleh segala
lapisan masyarakat di Indonesia, yang dampaknya juga akan
menyentuh perpolisian. Untuk itu, ada baiknya bila dikemukakan
konsep David H. Bayley tentang klasifikasi struktur polisi nasional di
berbagai negara di dunia.
Untuk memahami hal ini, Bayley menggunakan matrix 2 x 2
yang pada satu sisinya adalah tipologi berdasarkan kontrol politis
terhadap perpolisian, yakni apakah sentralisasi ataukah
desentralisasi. Sedangkan pada sisi yang lain adalah tipologi
berdasarkan keragaman organisasi polisi, yakni apakah
tunggal/seragam (berarti satu police force/service) ataukah
majemuk/beragam (berarti banyak police force/service).
Bayley dapat mengidentifikasi 3 (tiga) tipe struktur polisi
nasional. Yang pertama adalah struktur perpolisian di mana
ditemukan satu organisasi polisi yang tunggal dan seragam di
seluruh negeri, dan yang kontrol politis terhadapnya dilakukan
secara tersentralisasi. Beberapa contoh dalam hal ini adalah Israel,
Singapura, dan tentu saja negeri tercinta Indonesia.
Yang kedua adalah struktur perpolisian di mana terdapat
beragam organisasi kepolisian di segala penjuru negeri, yang
kontrol politis atasnya dilakukan juga secara tersentralisasi.
Di Perancis, misalnya, kontrol atas Police Nationale, yang
bertanggung jawab terhadap kota-kota dengan penduduk lebih dari
10.000 orang, serta atas Gendarmerie, yang ‘memolisi’ daerah
pedesaan, dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri di Ibu
Kotanya, yakni Paris. Demikian pula di Italia, baik Guardia di
Publica Sicurezza, yang terbagi ke dalam 90 satuan tingkat
propinsi, maupun Carabinieri, juga dikomandoi oleh Kementerian
Dalam Negeri di Roma.
Yang ketiga adalah struktur perpolisian di mana dijumpai
beragam organisasi kepolisian yang tersebar di seantero negeri,
dan yang kontrol politis terhadapnya dilakukan secara ter-
desentralisasi. Contoh terbaik dari struktur perpolisian ini adalah
Amerika Serikat, dengan lebih kurang 2.500 organisasi kepolisian
yang terpisah, serta Britania Raya, dengan kira-kira 52 organisasi
kepolisian. Di bawah ini dapat dilihat matrix klasifikasi struktur
perpolisian dimaksud.

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 39


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

KLASIFIKASI STRUKTUR PERPOLISIAN


Sentralisasi Kontrol Politis Desentralisasi Kontrol
Politis
Oraganisasi Indonesia
Tunggal/Seragam Irlandia
Israel
Polandia
Singapura 1
Sri Lanka
Organisasi Finlandia Amerika Serikat
Majemuk/Beragam Italia Australia
Perancis Belanda
Uni Sovyet (dulu) Belgia
Britania Raya
Canada
India
Jepang
2 Jerman barat 3
Swiss
Sumber: Bayley (1985)
Klasifikasi Bayley di atas sebenarnya mempunyai kelemahan
yang cukup berarti. Kelemahan dimaksud adalah terlalu
bertumpunya pada penetapan de jure dari struktur perpolisian
daripada relasi de facto antara polisi sebagai suatu institusi dengan
pemerintahan nasional suatu negara. Sebagai contoh, secara de-
jure terdapat 43 organisasi kepolisian di Inggris dan Wales (tidak
termasuk Skotlandia dan Irlandia Utara). Akan tetapi, secara de
facto eksistensi ‘virtual’ dari sebuah police force/service yang
bersifat nasional tidak dapat dinafikan. Dengan kata lain,
sentralisasi kontrol politis terhadap organisasi kepolisian di Inggris
dan Wales memang semakin kentara. Hal ini dibuktikan dengan,
pertama, terus berlangsungnya proses amalgamasi berbagai
organisasi kepolisian lokal oleh pemerintah pusat.
Sebuah penelitian di Inggris dan Wales menunjukkan bahwa
sejak tahun 1851 sampai dengan 1988, jumlah organisasi
kepolisian lokal telah jauh berkurang, yakni dari sekitar 250 menjadi
43 organisasi. Pada saat bersamaan, jumlah anggota polisi justru
meningkat drastis, yaitu dari hanya 20-an menjadi lebih dari
120.000 orang (Palmer, 1988). Bukti yang kedua adalah
dibentuknya suatu badan di tingkat pusat, yakni Pusat Pelaporan
Nasional atau National Reporting Centre, yang tugas utamanya
adalah meng-koordinasi operasi kepolisian antar organisasi
manakala ketidak-tertiban umum atau public disorder yang serius
terjadi. Ini dapat dianggap sebagai bukti tak tersangkalkan dari
diletakkannya kesemua organisasi kepolisian tersebut di bawah
kontrol dan administrasi pemerintah pusat di London.
Bila kita kembali ke matrix Bayley di atas, maka akan terlihat
bahwa, seiring dengan bergulirnya sang waktu, struktur perpolisian
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 40
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

di Inggris ternyata telah mengalami pergeseran dari kotak nomor 3


menuju kotak nomor 2. Perpolisian di inggris yang tadinya
terdesentralisasi itu, kini ternyata cenderung menjadi ter-
sentralisasi. Kita tidak tahu sampai di mana peringsutan ini akan
berlangsung. Yang jelas, tidak ada yang tidak berubah di dunia ini,
kecuali perubahan itu sendiri. Sesuai dengan perkembangan
zaman, tuntutan masyarakat, serta kebutuhan pemerintah itu
sendiri, perpolisian agaknya juga mengalami perubahan.
Sampai di sini, untuk kesekian kali, tentunya akan terbesit
tanya dalam pikiran: “Bagaimana halnya dengan perpolisian
Indonesia ?”. Merujuk kepada matrix Bayley pada halaman
sebelumnya, maka jelas Indonesia menempati kotak nomor 1.
Dalam pada itu, kumandang sangsakala penerapan otonomi
daerah telah terdengar, yang tadinya cuma sayup-sayup, kini jadi
lantang. Bersamaan dengan hal ini, desakan agar polisi tidak lagi
menjadi asing di negeri sendiri, ataupun berulah bagai mandor
terhadap anak bangsa, juga semakin mengemuka. Pendeknya
polisi kini dituntut untuk menjadi bagian dari ke-‘kita’-an masyarakat
lokal yang dilayaninya, bukan lagi menjadi bagian dari ke-‘mereka’-
an orang-orang lain nun jauh di sana. Akankah dengan demikian
perpolisian Indonesia akan akrab dengan idiosinkrasi dan
pluralitas? Wallahu ‘alam, dan hanya Tuhan yang mengetahui.
Kita memang tetap percaya pada kontrol politis yang bersifat
nasional atas perpolisian Indonesia, terutama bila persatuan
bangsa dan kelangsungan hidup bernegara menjadi taruhannya.
Akan tetapi, organisasi atau pelaksanaan tugas kepolisian polisi
yang tunggal, seragam, atau kaku, guna memenuhi kebutuhan
keluarga besar bangsa Indonesia yang begitu beragam dari satu
tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain, nanti dulu
!. Cobalah kita renungkan hal ini

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 41


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

Rangkuman
1. Menurut kamus Inggris-Inggris Collins Dictionary and Thesaurus,
police dapat berupa kata kerja (verb) transitif artinya kata kerja
yang memerlukan obyek to police, yang sepadan dengan kata
‘memolisi’ atau ‘mem-polisi’ dengan makna menegakkan hukum (to
enforce the law), atau mengatur (to regulate), atau mengendalikan
(to control), atau menjaga ketertiban (to keep in order), atau
menjaga kedamaian (to keep the peace), atau melayani (to serve),
atau melindungi (to protect), atau menjaga (to guard), sebagai polisi
atau organisasi resmi atau sah yang sejenisnya, berikut kekuasaan
dan wewenangnya.
2. Ilmu kepolisian adalah ilmu pengetahuan atau science maka ilmu
kepolisian harus mempunyai paradigma yang membedakannya dari
kriminologi, sosiologi, atau ilmu-ilmu pengetahuan sosial lainnya,
membedakannya dari matematika, ilmu kimia, atau ilmu-ilmu
pengetahuan alamiah lainnya. Ilmu kepolisian adalah sebuah
bidang ilmu pengetahuan yang bercorak antar bidang, sama
dengan kriminologi atau ilmu Komunikasi.
3. Pasal 4 dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan
bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
4. Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisan Negara
Republik Indonesia sebagai landasan hukum Polri sampai saat ini.
5. Dalam kaitannya dengan prioritas pelaksanaan tugas kepolisian
sehari-hari, kiranya dapat dimengerti pula bila gaya pemolisian
sesungguhnya secara umum menggambarkan situasi keamanan
dan ketertiban masyarakat atau kamtibmas yang ada. Bahkan,
gaya pemolisian juga dapat dipandang sebagai cermin dari situasi
dan kondisi penegakan hukum, ketertiban umum, maupun
pelayanan masyarakat.
6. Istilah budaya (culture) pada mulanya populer dalam disiplin ilmu
antropologi. Kata culture berasal dari kata latin colere berarti
mengolah, mengerjakan, biasanya berkaitan dengan kegiatan
pengolahan tanah. Istilah culture berkembang menjadi segala daya
dan upaya manusia untuk mengubah alam.
7. Subkultur adalah Segala sistem keyakinan atau belief, nilai, dan
norma yang dipunyai dan yang secara aktif dibangun dan dipelihara
bersama oleh sekelompok orang yang merupakan bagian dari
kultur tertentu.
PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 42
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

8. Paramilitary policing bisa diartikan sebagai gaya perpolisian yang


lebih bersifat militer. Perpolisian bergaya militer ini mengandung
makna adanya aplikasi dari pelatihan, perlengkapan, filosofi dan
organisasi (bahkan teknik) militer di dalam pelaksanaan tugas
polisi.
9. Public order policing dianggap sebagai penjelmaan dari paramilitary
policing, maka akibat yang lebih parah adalah giliran public order
policing itu sendirilah yang disepadankan dengan penggunaan
kekerasan. Pada akhirnya, public order policing yang semestinya
hangat, fleksibel, konsultatif dan menjanjikan itu mewujud jadi
dingin, keras, tanpa pandang bulu dan mematikan bagaikan baja.
10. Bayley dapat mengidentifikasi 3 (tiga) tipe struktur polisi nasional.
Yang pertama adalah struktur perpolisian di mana ditemukan satu
organisasi polisi yang tunggal dan seragam di seluruh negeri, dan
yang kontrol politis terhadapnya dilakukan secara tersentralisasi.
Yang kedua adalah struktur perpolisian di mana terdapat beragam
organisasi kepolisian di segala penjuru negeri, yang kontrol politis
atasnya dilakukan juga secara tersentralisasi. Yang ketiga adalah
struktur perpolisian di mana dijumpai beragam organisasi kepolisian
yang tersebar di seantero negeri, dan yang kontrol politis
terhadapnya dilakukan secara ter-desentralisasi.

Latihan
1. Jelaskan penelusuran semantik istilah polisi, kepolisian dan
perpolisian!
2. Jelaskan apa itu ilmu kepolisian!
3. Jelaskan kedudukan, tujuan, peran, fungsi dan tugas pokok
kepolisian
4. Sebutkan landasan hukum kepolisian!
5. Jelaskan kultur perpolisian!
6. Jelaskan gaya perpolisian!
7. Jelaskan gaya pimpinan perpolisian!
8. Jelaskan perpolisian militer!
9. Jelaskan perpolisian ketertiban umum!
10. Jelaskan perpolisian dengan isu otonomi daerah!

PENGANTAR ILMU KEPOLISIAN 43


PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI KOMPETENSI KHUSUS PERAWAT DAN BIDAN

Anda mungkin juga menyukai