Anda di halaman 1dari 132

PEMERINTAH DAERAH KOTA SUKABUMI

PEMERINTAH DAERAH

NASKAH AKADEMIK
KABUPATEN BOGOR

RANCANGAN PERATURAN DAERAH


KOTA SUKABUMI
TENTANG
PENANGGULANGAN KEMISKINAN

KERJASAMA ANTARA
PEMERINTAH DAERAH
KOTA SUKABUMI
DENGAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK
PARAHYANGAN
BANDUNG
SUKABUMI
TAHUN 2018
1

KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya
penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Sukabumi
tentang Penanggulangan Kemiskinan yang selanjutnya disebut Raperda.

Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya


mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUD) 1945 berikut Amandemennya. Sila kelima Pancasila
menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam
pengertian “negara”, termasuk di dalamnya daerah (dan Pemerintah Daerah).
Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan
bahwa ada warga masyarakat yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya
secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya,
masih ada warga masyarakat yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi
sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Pasal 34 ayat (1) UUUD 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk


memelihara fakir miskin dan anak terlantar yang dilaksanakan dalam bentuk
memberikan menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga masyarakat
yang miskin dan tidak mampu. Dalam menggulangi kemiskinan, diperlukan peran
masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi
keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial asing demi
terselenggaranya penanggulangan kemiskinan yang terarah, terpadu dan
berkelanjutan. Hal ini untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar
warganegara, serta untuk menghadapi tantangan dan perkembangan
kesejahteraan sosial di tingkat lokal, nasional dan global, sehingga
2

penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat memberikan keadilan sosial bagi


masyarakat untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat.

Berdasarkan hal tersebut, untuk memberikan landasan dan kepastian


hukum kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan penggulangan
kemiskinan di Kota Sukabumi yang diamanatkan oleh Pancasilan dan UUD 1945
tersebut, dan sekaligus the ultimate goal bernegara, perlu dibentuk Raperda
tentang Penggulangan Kemiskinan.

Sesuai ketentuan dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 67 dan
Pasal 69 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, serta Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Oleh karena itu, dalam
rangka penyusunan Raperda yang mengatur Penanggulangan kemiskinan, maka
disusun Naskah Akademik Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan.

Naskah Akademik ini terdiri dari Bab I Pendahuluan; Bab II Kajian Teoritis
dan Praktik Empiris; Bab III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan
Terkait; Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis; Bab V Jangkauan, Arah
Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah; dan Bab VI
Penutup yang memuat Kesimpulan dan Saran, serta pada Lampiran dimuat draft
Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan.

Naskah Akademik ini merupakan acuan dan pedoman dalam penyusunan


dan pembahasan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan.

Bandung, Maret 2018

TIM PENYUSUN
3

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
..............................................................................................................
DAFTAR ISI 3
........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN 5
..................................................................................................
1.1. Latar Belakang 5
.......................................................................................
1.2. Identifikasi Masalah ............................................................................... 10
1.3. Tujuan dan Kegunaan ............................................................................ 10
1.4. Metode Penelitian 10
...................................................................................
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS 13
...........................................................
2.1. Kemiskinan ............................................................................................ 13
2.2. Pengelompokan Kemiskinan 16
....................................................................
2.3. Faktor Kemisikinan ................................................................................. 17
2.3.1. Pemenuhan Kebutuhan dan Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar
Manusia ...................................................................................
17
2.3.2. Beban Kependudukan ............................................................... 33
2.3.3. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender ................................. 34
2.4. Diskursus Konsep Negara Hukum Kesejahteraan ...................................... 34
2.5. Program Nasional Penanggulangan Kemiskinan ........................................ 45
2.5.1. Umum………………………………...................................................... 45
2.5.2. Politik Hukum Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia……………. 48
2.6. Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan ........ 55
2.7. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah .......................................... 56
2.8. Asas-asas dalam Penyusunan Peraturan Daerah ....................................... 59
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT 61
............
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS 87
............................................
4.1. Landasan Filosofis .................................................................................. 87
4.2. Landasan Sosiologis ............................................................................... 88
4.3. Landasan Yuridis 88
....................................................................................
4

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI


MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH.....................................................
89
5

BAB VI PENUTUP 105


..........................................................................................................
6.1. Kesimpulan 105
............................................................................................
6.2. Saran 105
....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA 107
Lampiran Rancangan Peraturan Daerah Kota SukABUMi tentang Penanggulangan Kemiskinan
6

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Konsep negara hukum kesejahteraan (welfare state) merupakan derivasi


dari rechtsstaat dan rule of law. Pada dasarnya, negara hukum kesejahteraan
adalah negara, dimana pemerintah tidak hanya bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan ketertiban dan ketentraman masyarakat, akan tetapi juga
bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat, dan tidak ada satu pun aspek
kehidupan masyarakat yang lepas dari campur tangan pemerintah. Hans Kelsen
bahkan menyebutkan bahwa negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu
tatanan hukum nasional, dan negara sebagai badan hukum adalah suatu
personifikasi dari komunitas atau personifikasi dari tatanan hukum nasional yang
membentuk komunitas.

Konsep negara hukum kesejahteraan adalah bentuk konkrit dari peralihan


prinsip pembatasan peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat yang melahirkan dalil “ The least government is
the best government” dengan idiom “The state should interverne as little as
possible in people’s lives and businesses ” menjadi prinsip yang menghendaki
peran aktif negara dan pemerintah dalam kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat sebagai langkah untuk mewujudkan kepentingan (kesejahteraan)
umum, disamping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde).

Konsep negara hukum kesejahteraan merupakan tipe negara campuran


antara individualisme dengan kolektivisme serta antara kebebasan dengan ikatan,
sehingga merupakan sinergitas antara pandangan hidup monodualis yang
memandang manusia tidak hanya sebagai individu akan tetapi juga anggota dari
kolektivitas, atau pandangan bahwa manusia tidak hanya sebagai alat dari
kepentingan, melainkan juga untuk tujuan dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan
pengertian negara hukum kesejahteraan menurut Piet Thoenes yang menyatakan
bahwa : “The welfare state is a form of society characterized by a system of
7

democratic, government sponsored welfare placed on a new footing and offering


a guarantee of collective social care to its citizens, concurrently with the
maintenance of a capitalist system of production”.1

B. Arief Sidharta menyebutkan ciri-ciri dan asas-asas negara hukum


(kesejahteraan) yang berintikan: Pertama, pengakuan, penghormatan dan
perlindungan kepribadian manusia (identitas) yang mengimplikasikan asas
pengakuan dan perlindungan martabat dan kebebasan manusia, yang merupakan
asas fundamental negara hukum. Kedua, asas kepastian hukum yang
mengimplikasikan warga masyarakat harus bebas dari tindakan pemerintah dan
pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dan tindakan yang sewenang-wenang;
pemerintah dan para pejabatnya harus terikat dan tunduk pada aturan hukum
positif. Implementasinya menuntut dipenuhinya: (1) syarat legalitas dan
konstitusionalitas yang menuntut bahwa semua tindakan pemerintah dan para
pejabatnya harus bertumpu pada peraturan perundang-undangan dalam
kerangka konstitusi; (2) syarat UU menetapkan berbagai perangkat aturan
tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan; (3) ayarat
perundang-undangan hanya mengikat warga masyarakat setelah diundangkan
dan tidak memiliki daya berlaku surut (non-retroaktif); (4) asas peradilan bebas
yang menjamin objektivitas, imparsialitas, adil dan manusiawi; dan (5) asas
bahwa hakim atau pengadilan tindak boleh menolak mengadili perkara yang
dihadapkan kepadanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau tidak jelas (asas
non-liquet). Ketiga, asas persamaan (similia similibus), dimana pemerintah dan
para pejabatnya harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang
dan UU juga berlaku sama untuk semua orang. Keempat, asas demokrasi, yang
berkenaan dengan cara pengambilan putusan, dimana tiap warganegara memiliki
kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk mempengaruhi putusan dan
tindakan pemerintah, dengan menggunakan hak pilihnya (pasif dan aktif).

1 Dikutip dari DM Mustamin, Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Type-type Negara Modern, Yasm
Matutu, Ujung Pandang, 1977, hlm. 9-20
8

Kelima, asas pemerintah dan para pejabatnya mengemban fungsi melayani


rakyat, yang dijabarkan ke dalam seperangkat A.A.U.P.B. 2

Sedangkan P. De Haan mengemukakan empat unsur dan karakteristik


negara hukum kesejahteraan, yaitu: (1) Hukum dasar memberikan perlindungan
sosial secara khusus yang menjadi sumber hukum dari semua peraturan
perundang-undangan dalam urusan sosial; (2) Mewajibkan pemerintah untuk
mengadakan segala kebutuhan rakyat dalam berbagai hak yang benar-benar
nyata sesuai dengan cita-cita dalam UUD; (3) UU harus memacu atau
membangkitkan pengadaan jaminan sosial yang baru untuk mendorong
pemberdayaan hak-hak rakyat; (4) Dalam berbagai hak yang tidak bertentangan
dengan UUD, terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan parlemen. 3

Hal ini sesuai dengan pendapat Adam Smith, yang menyebutkan bahwa
fungsi negara adalah: (1) menjaga keamanan dan ketertiban sesuai dengan batas
wewenang yang ditetapkan oleh negara itu sendiri (security and order); (2)
melindungi setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan yang
dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya (justice enforcement); dan (3)
menyediakan sarana dan prasarana umum yang tidak dapat disediakan, dibangun
atau dipelihara sendiri oleh anggota masyarakat (public infrastructure
development).4

Sejarah ketatanegaraan Indonesia sudah sejak semula meletakkan


otonomi daerah sebagai salah satu sendi penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, bukan hanya untuk sekedar menjamin efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan atau menampung dan mengakomodasikan
kenyataan bahwa negara ini memiliki wilayah yang sangat luas yang terdiri dari
pulau-pulau besar dan kecil dengan penduduk yang demikian banyak. Namun hal
yang terpenting bahwa otonomi daerah merupakan dasar untuk memperlancar

2
Disarikan B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.
199-202
3
Dikutip dari Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah ,
Alumni, Bandung, 2004, hlm. 36-37
4
Dikutip dari Murtir Jeddawi, Op.Cit, hlm. 33-34
9

pelaksanaan demokrasi dan wahana untuk mewujudkan kesejahteraan umum,


disamping untuk menjaga keutuhan negara kesatuan.

Desentralisasi dilihat dari dimensi kepentingan pemerintah merupakan


wahana pendidikan politik, latihan kepemimpinan dan menciptakan stabilitas
politik. Sedangkan dari sisi pemerintah daerah, desentralisasi dimaksudkan untuk
mewujudkan kesempatan bagi masyarakat berpartisipasi dalam berbagai aktivitas
politik di tingkat lokal (political equality), meningkatkan kemampuan hak-hak dari
komunitasnya (local accountability) serta meningkatkan akselerasi pembangunan
sosial dan ekonomi di daerah (local responsiveness).5 Desentralisasi merupakan
konsep yang dianggap mampu mengatasi masalah pelayanan publik di berbagai
sektor. Dengan konsep desentralisasi, diharapkan akan terjadi efisiensi, efektivitas
dan pemerataan, yang bermuara pada terciptanya kesejahteraan rakyat.

Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan


pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan
demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan serta adanya hubungan
yang serasi antara pusat dan daerah. Keberhasilan otonomi daerah penting bagi
pemerintah daerah, karena implementasinya akan mengakibatkan:
(1) Efektivitas pelayanan publik; (2) Meningkatkan kualitas pelayanan publik; (3)
Biaya pelayanan yang murah karena berkurangnya inefisiensi; (4) Alokasi belanja
yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; (5) Meningkatkan
pertanggungjawaban publik; (6) Transparansi dan akuntabilitas publik;
(7) Profesionalisme kerja aparatur pemerintah daerah; (8) Memberikan
keleluasaan (diskresi) bagi para pengelola untuk mengoptimalkan pengelolaan
dana; (9) Terwujudnya pemerintahan yang bersih, berwibawa dan
bertanggungjawab.

Penanggulangan kemiskinan sebagai bagian dari pembangunan


kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa

5
Murtir Jeddawi, Memacu Investasi di Era Ekonomi Daerah, Kajian Beberapa Perda tentang Penanaman
Modal, UII Pres, Yogyakarta, 2005, hlm. 39-40
10

yang diamanatkan dalam UUD 1945 berikut perubahannya. Sila kelima Pancasila
menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam
pengertian “negara”, termasuk di dalamnya daerah (dan pemerintah daerah).
Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan
bahwa ada warga masyarakat yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya
secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya,
masih ada warga masyarakat yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi
sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Pasal 34 ayat (1) UUUD 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk


memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Bagi fakir miskin dan anak terlantar,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan rehabilitasi sosial, jaminan
sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial, sebagai perwujudan
pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan
dasar warga masyarakat yang miskin dan tidak mampu. Dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial, diperlukan peran masyarakat yang seluas-luasnya, baik
perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha,
lembaga kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan sosial
yang terarah, terpadu dan berkelanjutan. Hal ini untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan dasar warga negara, serta untuk menghadapi tantangan dan
perkembangan kesejahteraan sosial di tingkat lokal, nasional dan global, sehingga
penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat memberikan keadilan sosial bagi
masyarakat untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang


perlu diidentifikasi adalah :
11

1. Bagaimana konsep penanggulangan kemiskinan yang paling efektif, dikaitkan


dengan the ultimate goal bernegara, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial?

2. Bagaimana kedudukan peranserta masyarakat dan badan usaha dalam upaya


penanggulangan kemiskinan?

3. Apakah kewenangan di bidang kesejahteraan sosial yang dimiliki Pemerintah


Daerah Kota Sukabumi telah memadai dalam menjamin terpenuhinya hak atas
kebutuhan dasar masyarakat guna penanggulangan kemiskinan?

1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Penyusunan Naskah Akademik ini bertujuan untuk memperoleh gambaran


yang jelas dari aspek hukum, mengenai kewajiban Pemerintah Daerah Kota
Sukabumi dalam penanggulangan kemiskinan guna terwujudnya kesejahteraan
sosial, bagaimana posisi masyarakat dalam upaya peningkatan penanggulangan
kemiskinan, dan apakah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah di
bidang kesejahteraan sosial sesuai dengan kewajiban yang merupakan amanat
Pembukaan UUD 1945.

Naskah akademik ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam


penyusunan dan pembahasan Raperda, sebagai penguatan dari aspek hukum
yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

1.4. METODE PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah diuraikan,


maka penelitian difokuskan pada pengkajian bahan-bahan hukum primer dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan, terutama mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dan
kejahteraan sosial. Untuk itu, metode pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu meneliti hukum
sebagai norma positif dengan menggunakan cara berpikir deduktif dan
berdasarkan pada kebenaran koheren dimana kebenaran dalam penelitian sudah
dinyatakan kredibel tanpa harus melalui proses pengujian atau verifikasi.
12

Disamping itu, dilakukan pula penelitian sosiologis dan historis agar penelitian
bernilai komprehensif, karena penelitian yang dilakukan memerlukan dukungan
data, sehingga harus dilakukan pendekatan kemasyarakatan.

Dipilihnya metode penelitian hukum normatif berdasarkan pertimbangan


bahwa tujuan penelitian adalah menggambarkan objek yang diteliti. Sebagai
pendukung, digunakan pendekatan sejarah hukum dan perbandingan hukum.
Digunakannya pendekatan ini, mengingat ketentuan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari latar belakang
sejarah. Disamping itu, penelitian ini tidak bisa terlepas dari sudut pandang
analisis hukum, artinya dielaborasi apa yang seharusnya diatur dalam produk
hukum daerah; serta ruang lingkup kebebasan bertindak secara mandiri oleh
Pemerintah Daerah.

Dengan dilakukannya analisis hukum, akan dapat diperoleh kepastian


terkandungnya elemen positivitas, koherensi dan keadilan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga tetap berada dalam koridor
kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan sejarah hukum penting dalam
penelitian ini karena dalam sejarah hukum dapat diketahui perkembangan sistem
hukum sebagai keseluruhan serta perkembangan institusi hukum dan kaidah
hukum individual tertentu dalam sistem hukum, sehingga diperoleh pemahaman
yang baik tentang hukum yang berlaku pada masa sekarang dan yang dibutuhkan
di masa depan.

Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, kemudian dianalisis sehingga


dapat ditemukan alasan yang rasional mengenai implikasi hukum dari
ketidakperdulian Pemerintah Daerah atas kewajiban mengupayakan
kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, berupa :

1. Sumber hukum formal, yaitu : peraturan perundang-undangan, hukum tidak


tertulis, yurisprudensi dan doktrin.

2. Sumber hukum materiil, yaitu : sumber hukum historis, sumber hukum


sosiologis, dan sumber hukum filosofis.
13

Data yang terkumpul, selanjutnya diolah melalui tahap pemeriksaan


(editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing) dan sistematisasi
berdasarkan pokok bahasan dan subpokok bahasan yang diidentifikasi dari
rumusan masalah. Dari hasil pengolahan data tersebut, dianalisis secara kualitatif
dan kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan, kemudian
diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
14

BAB II
KAJIAN TEORETIK DAN
PRAKTIK EMPIRIK

2.1. KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai


faktor yang saling berkaitan, seperti tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan,
akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi
lingkungan. Kondisi ini tidak hanya dialami di negara yang dikategorikan miskin
dan negara berkembang, tetapi dialami pula pada negara maju, atau dengan kata
lain masalah kemiskinan telah menjadi permasalahan global.

Sementara ini dalam Analisis Evaluasi Hukum Dalam Rangka


Penanggulangan Kemiskinan disebutkan bahwa kemiskinan merupakan masalah
yang kompleks dan bersifat multidimensional, dimana berkaitan dengan aspek
sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kompleksnya masalah kemiskinan
yang ada ini harus segera dituntaskan, pada dasarnya upaya penanggulangan
kemiskinan itu sendiri telah dilakukan oleh Pemerintah sejak kemerdekaan dengan
berbagai macam strategi penanggulangan kemiskinan. Amanat alinea keempat
Undang-Undang Dasar 1945 memberikn perhatian yang besar terhadap
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Penanggulangan kemiskinan
secara sinergis dan sistimatis harus dilakukan agar seluruh warganegara mampu
menikmati kehidupan yang layak dan bermartabat. Sejalan dengan dengan
tersebut, maka pada era Kabinet Kerja menetapkan penanggulangan kemiskinan
sebagai salah satu prioritas utama pembangunan. 6

Pengertian kemiskinan secara harfiah, berasal dari kata dasar miskin yang
artinya tidak berharta-benda (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang

6
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum Dan Ham, Analisis Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan,
Tahun 2016, hlm. 2
15

lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak


mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok sehingga kondisi
rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.

Dalam literature disebutkan bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai suatu


kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak
terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak
yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama
dengan anggota masyarakat lainnya.

Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan


sandang, pangan, dan papan. Akan tetapi, kemiskinan juga berarti akses yang
rendah dalam sumber daya dan asset produktif untuk memperoleh kebutuhan-
kebutuhan hidup, antara lain: ilmu pengetahuan, informasi, teknologi, dan
modal. Ahli lainnya menyebutkan bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami hanya
sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak
dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam
menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara
umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan
hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-
laki.

Badan Pusat Statistik mendefinisikan garis kemiskinan dari besarnya nilai


rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti
makanan dan nonmakanan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk tetap
berada pada kehidupan yang layak. Penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikatagorikan sebagai
penduduk miskin. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per
16

kapita per hari.7 konsumsi setara dengan 2.100 kalori per hari ditambah
kebutuhan pokok lainnya seperti sandang pangan, perumahan,
kesehatan.

Dalam literatur lain, kemisikinan dipaparkan sebagai ketidakmampuan


manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Dari paparan tersebut maka kemiskinan dapat
dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utama dari kemiskinan adalah:

a. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan


harian, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam
arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan
dasar.

b. Gambaran kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan,


dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, serta termasuk
pula pendidikan dan informasi.

Khusus mengenai keterkucilan sosial, biasanya dibedakan dari kemiskinan


karena mencakup masalah lain (tidak dibatasi pada bidang ekonomi), yaitu
politik dan moral.

c. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.


Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik
dan ekonomi di suatu negara/beberapa negara.

Dari berbagai sudut pandang tentang pengertian kemiskinan,


pada dasarnya bentuk kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi
tiga pengertian, yaitu :

a. Kemiskinan Absolut.

7
Badan Pusat Statistik, Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia, 2015
17

Seseorang dikategorikan termasuk ke dalam golongan miskin absolut apabila


hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimum, yaitu : pangan, sandang, kesehatan,
papan, dan pendidikan.

b. Kemiskinan Relative.

Seseorang yang tergolong miskin relative sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat
sekitarnya.

c. Kemiskinan Kultural.

Kemiskinan ini berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok


masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya
sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.

2.2. PENGELOMPOKAN KEMISKINAN

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kemiskinan dapat


dikelompokan dalam dua kategori, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif. Menurut Ketut8, kemiskinan dapat dipahami sebagai suatu kondisi yang
bersifat absolut (kemiskinan absolut), apabila kondisi seseorang atau suatu rumah
tangga diperbandingkan dengan suatu standar tertentu tanpa memperhitungkan
kondisi masyarakat secara umum. Dengan stardard ini maka, kemiskinan
konsumsi (garis kemiskinan) dihitung berdasarkan nilai uang yang dibutuhkan
untuk membayar jumlah kalori minimal yang dibutuhkan untuk hidup layak dan
kebutuhan non-makanan tertentu tanpa memperhitungkan tingkat konsumsi
seluruh penduduk. Di Indonesia, angka kemiskinan absolut dihitung
menggunakan garis kemiskinan, yaitu ukuran atau indikator kesejahteraan yang
menunjukkan kemampuan dayabeli yang sama dari tahun ke tahun. Kemiskinan
absolut ini paling sesuai untuk digunakan dalam pemantauan program
penanggulangan kemiskinan antar waktu. Sementara itu, untuk kemiskinan yang

8 Disarikan dari artikel Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif, http://www.ketut.web.id/2012/05/


kemiskinan-absolut-dan-kemiskinan.html
18

dipandang sebagai suatu kondisi bersifat relatif (kemiskinan relatif), apabila


kondisi seseorang atau suatu rumah tangga diperbandingkan dengan taraf hidup
masyarakat sekitarnya. Dengan strandard ini, kemiskinan dihitung berdasarkan
tingkat kemakmuran masyarakat secara umum, yang akan berubah antarwaktu
dan antartempat. Kemiskinan relatif ini sangat relevan khususnya apabila
Pemerintah dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya dan program
penanggulangan kemiskinan hanya difokuskan pada segmen termiskin tertentu,
misalnya pada 10% atau 20% termiskin dari populasi. Pada saat inilah pendekatan
kemiskinan relatif lebih tepat untuk digunakan.

Berbeda dengan tujuan dengan kemiskinan absolut yang digunakan untuk


evaluasi naik turunnya tingkat kemiskinan, pendekatan kemiskinan relatif
ditujukan sebagai dasar perhitungan atau pertimbangan dalam mendesain
program yang ditargetkan untuk membantu masyarakat miskin. Pada taraf yang
lebih luas tujuan segmentasi kemiskinan dalam pendekatan relatif adalah untuk
menyediakan informasi yang lebih akurat mengenai kondisi distribusi kemiskinan
saat ini agar dapat digunakan oleh program penargetan kemiskinan dalam
menyusun strategi dan jumlah target yang sesuai antara anggaran dan kebutuhan
tiap tingkatan masyarakat atau dapat juga dimanfaatkan untuk menyusun strategi
pembangunan pada setiap level pemerintahan, dari Pemerintah Pusat hingga
Pemerintah Daerah.

2.3. FAKTOR KEMISIKINAN

Permasalahan kemiskinan dapat dilihat dari: (1) aspek pemenuhan


kebutuhan dan kegagalan pemenuhan hak dasar manusia; (2) beban
kependudukan; dan (3) ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.

2.3.1. PEMENUHAN KEBUTUHAN DAN KEGAGALAN PEMENUHAN HAK


DASAR MANUSIA

a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Menurut Murray dalam Bherm (1996), kebutuhan adalah suatu


keadaan yang ditandai oleh perasaan kekurangan dan ingin diperoleh
sesuatu yang akan diwujudkan melalui suatu usaha atau tindakan, seperti
19

makanan, air, keamanan dan cinta yang merupakan hal yang penting untuk
bertahan hidup dan kesehatan. Sedangkan menurut King (1987) dan Potter
(2005) mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar manusia berfokus
pada tiga sistem yakni, sistem personal, interpersonal, dan sistem sosial.
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh
manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupuan
psikologis, yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan
dan kesehatan.9

Menurut Abraham Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi


kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hierarki,
mulai yang paling rendah (bersifat dasar) sampai yang paling tinggi.
Menurutnya, kebutuhan manusia menjadi lima tingkatan, yang termaksud
dalam gambar berikut :

Self-actualization needs

Self-esteem needs

Love and belonging needs

Safety and security needs


Physiological needs

1. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)

Kebutuhan fisiologis memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki Maslow.


Seorang yang beberapa kebutuhannya tidak terpenuhi secara umum
akan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan
fisiologisnya terlebih dahulu. Misalnya, seorang yang kekurangan

9
Disadur dari artikel Eka Sakti Wahyuningtyas, Memahami Kebutuhan Dasar Manusia,
http://ekasaktiwahyuningtyas.blogspot.com/2013/02/v-behaviorurldefaultvmlo.html
20

makanan, keselamatan, dan perhatian biasanya akan mencari makanan


terlebih dahulu dibandingkan mencari perhatian.

2. Kebutuhan Keselamatan dan Rasa Aman (Safety And Security Needs)

Ketika kebutuhan fisiologis telah terpenuhi maka akan muncul


kebutuhan akan keamanan, antara lain (a) aman dari kejahatan dan
agresi (physical security); (b) keselamatan kerja (security of
employment); (c) keamanan sumberdaya (security of revenues and
resources); (d) keamanan moral dan fisiologis (moral and physiological
security); (e) keamanan keluarga (familial security); (f) keamanan
kesehatan (security of health); dan (g) keamanan kekayaan pribadi dari
kejahatan (security of personal property against crime).

Berdasarkan kebutuhan keamanan maka dibuat aturan, undang-


undang, pengembangan kepercayaan, pembuatan sistem asuransi,
pensiun, dan sebagainya. Seperti halnya basic needs, dalam hal
kebutuhan keamanan ini terlalu lama dan/atau banyak tidak terpenuhi
maka pandangan seseorang mengenai dunianya bisa terpengaruh dan
pada gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah negatif.

3. Kebutuhan Rasa Cinta, Memiliki, dan Dimiliki (Love and Belonging


Needs)

Manusia biasanya membutuhkan rasa dimiliki dan diterima, baik dari


kelompok sosial yang luas maupun koneksi sosial yang kecil. Mereka
membutuhkan untuk mencintai dan dicintai oleh yang lainnya. Tidak
terpenuhinya kebutuhan ini maka orang akan menjadi rentan merasa
sendirian, gelisah, dan depresi. Kekurangan rasa cinta dan dimiliki juga
berhubungan dengan penyakit fisik seperti penyakit hati.

4. Kebutuhan Harga Diri (Self Esteem Need)


21

Semua manusia membutuhkan penghargaan, menghargai diri sendiri,


dan juga menghargai orang lain. Orang perlu melibatkan diri untuk
mendapatkan pengakuan dan mempunyai kegiatan atau kontribusi
kepada orang lain dan juga nilai diri, baik di dalam pekerjaan ataupun
hobi.

Terdapat dua tingkatan kebutuhan penghargaan/penghormatan.


Tingkatan yang lebih rendah terkait dengan unsur-unsur ketenaran,
rasa hormat dan kemuliaan. Tingkatan yang lebih tinggi mengikat pada
konsep kepercayaan diri, kompetensi, dan prestasi. Tingkatan yang
lebih rendah umumnya dianggap miskin. Hal ini tergantung orang lain
atau seseorang membutuhkan diyakinkan karena harga diri yang lebih
rendah. Orang dengan harga diri yang rendah membutuhkan
penghargaan dari orang lain. Namun, keyakinan, kompetensi, dan
prestasi hanya membutuhkan satu orang dan orang lain tidaklah
penting untuk kesuksesan sendiri.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self Actualization Needs)

Aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah manusia untuk


memanfaatkan kemampuan mereka yang unik dan berusaha menjadi
yang terbaik.

Lebih lanjut Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai berikut:

Self Actualization is the intrinsic growth of what is already in the


organism, or more accurately, of what the organism is. (Psychological
Review, 1949)

Selain menggambarkan apa yang dimaksud dengan aktualisasi diri


dalam teorinya, Maslow juga mengidentifikasi beberapa karakteristik
kunci dari aktualisasi diri seseorang, antara lain: (a) acceptance and
realism, yaitu mempunyai persepsi realistis dari diri mereka sendiri,
orang lain dan lingkungan di sekitar mereka; (b) problem-centering,
yaitu keprihatinan dengan pemecahan masalah di luar diri mereka,
termasuk membantu orang lain dan mencari solusi terhadap
22

permasalahan di lingkungan luar mereka. Orang-orang seperti ini sering


termotivasi oleh tangggung jawab pribadi dan etika; (c)
spontaneity, yaitu spontan dalam pikiran internal dan perilaku mereka
keluar. Mereka dapat menyesuaikan diri dengan aturan dan harapan
sosial, cenderung terbuka dan tidak konvensional; (d)
autonomy and solitude, yaitu karakteristik lain dari aktualisasi diri
seseorang adalah kebutuhan akan kebebasan dan privasi;
(e) continued freshness of appreciation, yaitu melihat dunia dengan
penghargaan, kekaguman yang berlangsung terus menerus. Bahkan,
pengalaman sederhana terus menjadi sumber inspirasi dan
kesenangan; dan (f) peak experiences, yaitu individu yang mencapai
aktualisasi diri sering memiliki apa yang dimaksud pengalaman puncak,
atau saat suka cita. Setelah semua pengalaman ini orang merasa
terinspirasi, diperkuat, diperbaharui atau ditransformasikan.

b. Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar

Dalam literatur nasional, kegagalan pemenuhan hak dasar terbagi


dalam 9 (sembilan) masalah, sebagai berikut:

1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan.

Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi


persyaratan gizi masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin.
Rendahnya kemampuan dayabeli merupakan persoalan utama bagi
masyarakat miskin. Sedangkan permasalahan stabilitas
ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau,
tidak terlepas dari ketergantungan yang tinggi terhadap makanan
pokok beras dan kurangnya upaya diversifikasi pangan. Sementara
itu permasalahan pada tingkat petani sebagai produsen, berkaitan
dengan belum efisiennya proses produksi pangan, serta rendahnya
harga jual yang diterima petani.

Berdasarkan beban persoalan yang dihadapi,


ketidakmampuan masyarakat dalam mencukupi kebutuhan
23

makanan minimum terutama dihadapi oleh masyarakat miskin yang


berada dibawah garis kemiskinan makanan. Sedangkan dalam
cakupan yang lebih tinggi, permasalahan ini juga dihadapi oleh
masyarakat miskin yang berada dibawah garis kemiskinan makanan
maupun non makanan. Bahkan berdasarkan data yang digunakan
MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk
di Indonesia masih berada dibawah asupan kalori sebanyak 2100
kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan
kecukupan kalori, disamping menjadi permasalahan masyarakat
miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya
yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan.

Permasalahan dalam penyediaan pangan yang menjadi


bagian dari ketahanan pangan, diantaranya menyangkut belum
efisiennya proses produksi oleh petani karena memiliki rata-rata luas
lahan garapan yang semakin menyempit (0,25 – 1 Ha), penanganan
pascapanen yang belum optimal dan, terbatasnya dalam
penggunaan sarana produksi, termasuk penggunaan bibit unggul.
Sementara itu anggapan masyarakat umum, bahwa beras sebagai
satu-satunya bahan pangan dan sumber protein telah
mengakibatkan kurangnya inisiatif dalam melakukan diversifikasi
konsumsi pangan, dan terjadinya peralihan dari makanan pokok non
beras menjadi beras. Hal ini tentunya akan sangat memberatkan
prospek ketahanan pangan lokal, dan akan terus mendorong
ketergantungan terhadap beras. Padahal masih banyak bahan
pangan lain yang juga memiliki kandungan karbohidrat dan protein
di samping beras, seperti jagung, sagu, ubi jalar, ubi kayu dan bahan
pangan lainnya yang memiliki kesesuaian untuk tumbuh secara
lokal, dan lebih mudah dalam proses produksinya jika dibanding
dengan menanam padi. Demikian pula dengan sistem ketahanan
pangan warga seperti lumbung pangan untuk mengatasi musim
paceklik, saat ini sudah mulai banyak ditinggalkan masyarakat, dan
belum secara merata mendapat dukungan dari pemerintah daerah.
24

Tindakan untuk melakukan impor pangan dalam rangka


memenuhi kebutuhan pangan menunjukkan bahwa produksi
pangan dalam negeri kurang mencukupi kebutuhan pangan.
Walaupun impor memang menjawab masalah ketidakcukupan
pangan dan menjaga stabilitas harga beras bagi konsumen, namun
apabila jumlahnya berlebihan dapat menimbulkan masalah terhadap
stabilitas harga gabah yang dijual petani. Terlebih lagi dengan
adanya praktek penyelundupan atau perdagangan yang tidak sehat,
seperti dumping dan impor pangan secara tidak terkendali sangat
merugikan petani sebagai produsen bahan pangan, karena akan
menjatuhkan harga jual produksi, terutama pada saat panen raya

2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan.

Masalah utama yang menyebabkan rendahnya derajat


kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses terhadap
layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan
dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan
kurangnya layanan kesehatan reproduksi.

Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat


telah meningkat, namun disparitas status kesehatan
antarmasyarakat, antarkawasan, dan antara perkotaan dan
perdesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan angka
kematian balita pada golongan termiskin adalah hampir empat kali
lebih tinggi dari golongan terkaya.

Pada umumnya tingkat kesehatan masyarakat miskin masih


rendah. Angka Kematian Bayi (AKB) pada kelompok berpendapatan
rendah masih selalu di atas AKB masyarakat berpendapatan tinggi.
Status kesehatan masyarakat miskin diperburuk dengan masih
tingginya penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis paru, dan
HIV/AIDS. Kerugian ekonomi yang dialami masyarakat miskin akibat
penyakit tuberkulosis paru sangat besar karena penderitanya tidak
dapat bekerja secara produktif. Kematian laki-laki dan perempuan
25

pencari nafkah yang disebabkan oleh penyakit tersebut berakibat


pada hilangnya pendapatan masyarakat miskin.

Masalah lainnya adalah rendahnya mutu layanan kesehatan


dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan,
kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan. Selain itu,
masalah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena
kendala biaya, jarak dan transportasi. Pemanfaatan rumah sakit
masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin
cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Demikian juga
persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya
didominasi oleh penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu
bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau sebagaian
masyarakat saja, yang sebagian besar diantaranya pegawai negeri
dan penduduk mampu. Rendahnya layanan kesehatan juga
disebabkan oleh mahalnya alat kontrasepsi yang disediakan oleh
swasta sehingga masyarakat miskin tidak mampu mendapatkan
layanan kesehatan reproduksi. Rendahnya mutu dan terbatasnya
ketersediaan layanan kesehatan reproduksi mengakibatkan
tingginya angka kematian ibu dan tingginya angka aborsi.

3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan.

Pembangunan pendidikan merupakan salah satu upaya


penting dalam penanggulangan kemiskinan. Berbagai upaya
pembangunan pendidikan yang dilakukan secara signifikan telah
memperbaiki tingkat pendidikan penduduk Indonesia. Hal tersebut
antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata lama sekolah
penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 7,1 tahun dan menurunnya
angka buta aksara. Angka partisipasi sekolah untuk semua kelompok
usia juga mengalami peningkatan secara berarti. Namun demikian,
pembangunan pendidikan ternyata belum sepenuhnya mampu
memberi pelayanan secara merata kepada seluruh lapisan
masyarakat. Masih terdapat kesenjangan yang cukup tinggi
26

antarkelompok masyarakat terutama antara penduduk kaya dan


penduduk miskin dan antara perdesaan dan perkotaan.

Keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses layanan


pendidikan dasar terutama disebabkan tingginya beban biaya
pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Meskipun
SPP untuk jenjang SD/MI telah secara resmi dihapuskan oleh
Pemerintah tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap harus
membayar iuran sekolah. Pengeluaran lain diluar iuran sekolah
seperti pembelian buku, alat tulis, seragam, uang transport, dan
uang saku menjadi faktor penghambat pula bagi masyarakat miskin
untuk menyekolahkan anaknya. Di samping itu, ketersediaan
fasilitas pendidikan untuk jenjang SMP/MTs ke atas di daerah
perdesaan, daerah terpencil dan kepulauan masih terbatas. Hal
tersebut menambah keengganan masyarakat miskin untuk
menyekolahkan anaknya karena bertambahnya biaya yang harus
dikeluarkan.

Terbatasnya akses keluarga miskin terhadap pendidikan


formal selayaknya dapat diatasi dengan penyediaan pelayanan
pendidikan nonformal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia
sekolah ke dunia kerja maupun sebagai bentuk pendidikan
sepanjang hayat dan diarahkan terutama untuk meningkatkan
kecakapan hidup serta kompetensi vokasional. Namun demikian
pendidikan nonformal yang memiliki fleksibilitas waktu
penyelenggaraan dan materi pembelajaran yang dapat disesuaikan
dengan kebutuhan peserta didik belum dapat diakses secara luas
oleh masyarakat miskin, baik karena aksesibilitasnya maupun
karena kualitasnya yang masih terbatas. Oleh sebab itu, akses
kualitas dan format pendidikan non formal perlu terus
dikembangkan untuk dapat memberi pelayanan pendidikan yang
berkualitas bagi masyarakat miskin.

4. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha.


27

Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan


terbatasnya kesempatan kerja, terbatasnya peluang
mengembangkan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset
usaha, perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja
terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh
migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Masyarakat miskin
dengan keterbatasan modal dan kurangnya keterampilan maupun
pengetahuan, hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak
dan terbatasnya peluang untuk mengembangkan usaha.
Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini seringkali
menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang beresiko
tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada
kepastian akan keberlanjutannya.

Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus


bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut
menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan
tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan.
Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan
yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem
kontrak yang sangat rentan terhadap kepastian hubungan kerja
yang berkelanjutan. Di sisi lain kesulitan ekonomi yang dihadapi
keluarga miskin seringkali memaksa anak dan perempuan untuk
bekerja. Pekerja perempuan, khususnya buruh migran perempuan
maupun pembantu rumahtangga dan pekerja anak menghadapi
resiko sangat tinggi untuk dieksploitasi secara berlebihan, tidak
menerima gaji atau digaji sangat murah, dan bahkan seringkali
diperlakukan secara tidak manusiawi.

Rendahnya posisi tawar masyarakat miskin diantaranya


disebabkan oleh ketidakmampuan pekerja untuk melakukan tawar-
menawar. Konflik perburuhan yang terjadi, seringkali dimenangkan
oleh pihak perusahaan dan merugikan para buruh. Pemerintah dan
28

Pemerintah Daerah sebagai pihak yang dapat menjadi mediasi dan


pembela kepentingan masyarakat, seringkali kurang responsif dan
peka untuk menindaklanjuti masalah perselisihan antara pekerja
dengan pemilik perusahaan. Dampak dari perselisihan tersebut
seringkali membuahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara
tidak adil, sehingga mengakibatkan munculnya sekelompok orang
miskin baru.

Masyarakat miskin juga mempunyai akses yang terbatas


untuk memulai dan mengembangkan usaha. Permasalahan yang
dihadapi antara lain sulitnya mengakses modal dengan suku bunga
rendah, hambatan untuk memperoleh ijin usaha, kurangnya
perlindungan terhadap kegiatan usaha, rendahnya kapasitas
kewirausahaan dan terbatasnya akses terhadap informasi, pasar,
bahan baku, serta sulitnya memanfaatkan bantuan teknis dan
teknologi. Ketersediaan modal dengan tingkat suku bunga pasar,
masih sulit diakses oleh pengusaha kecil dan mikro yang sebagian
besar masih lemah dalam kapasitas sumberdaya manusia.
Kenyataan ini tidak memberi pilihan lain untuk memperoleh modal
dengan cara meminjam dari rentenir dengan tingkat bunga yang
sangat tinggi. Masyarakat miskin juga menghadapi masalah
lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, terutama
perlindungan terhadap hak cipta industri tradisional, dan hilangnya
aset usaha akibat penggusuran.

5. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi.

Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah


terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak,
rendahnya mutu lingkungan permukiman dan lemahnya
perlindungan untuk mendapatkan dan menghuni perumahan yang
layak dan sehat. Di perkotaan, keluarga miskin sebagian besar
tinggal di perkampungan yang berada di balik gedung-gedung
pertokoan dan perkantoran, dalam petak-petak kecil, saling
29

berhimpit, tidak sehat dan seringkali dalam satu rumah ditinggali


lebih dari satu keluarga. Mereka tidak mampu membayar biaya awal
untuk mendapatkan perumahan sangat sederhana dengan harga
murah. Perumahan yang diperuntukkan bagi golongan
berpenghasilan rendah terletak jauh dari pusat kota tempat mereka
bekerja sehingga biaya transport akan sangat mengurangi
penghasilan mereka.

Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan,


pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering juga mengeluhkan
kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman
yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih
dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Hal ini terjadi pada masyarakat perkebunan yang tinggal di dataran
tinggi seperti perkebunan teh di Jawa. Mereka jauh dan terisiolasi
dari masyarakat umum. Sementara itu, bagi penduduk lokal yang
tinggal di pedalaman hutan, masalah perumahan dan permukiman
tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari masalah keutuhan
ekosistem dan budaya setempat.

6. Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih

Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan


oleh terbatasnya akses, terbatasnya penguasaan sumber air dan
menurunnya mutu sumber air. Keterbatasan akses terhadap air
bersih akan berakibat pada penurunan mutu kesehatan dan
penyebaran berbagai penyakit lain seperti diare. Akses terhadap air
bersih masih menjadi persoalan di banyak tempat dengan
kecenderungan akses rumah tangga di Jawa-Bali lebih baik
dibanding daerah lain.

Masyarakat miskin juga mengalami masalah dalam


mengakses sumber-sumber air yang diperlukan untuk usaha tani
dan menurunnya mutu air akibat pencemaran dan limbah industri.
Berkurangnya air waduk akibat penggundulan hutan dan
30

pendangkalan, serta menurunnya mutu saluran irigasi


mengakibatkan berkurangnya jangkauan irigasi. Masalah ini
membuat lahan tidak dapat diusahakan secara optimal, yang pada
gilirannya mengurangi pendapatan petani. Sedangkan untuk
masyarakat miskin di perkotaan yang tinggal di bantaran sungai,
masih banyak yang memanfaatkan air sungai dan sumur galian yang
sudah tercemar guna kebutuhan segala macam, seperti mandi,
memasak, mencuci, bahkan air minum hingga sampai untuk buang
hajat sekalipun.

7. Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah.

Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan


struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian
dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah
tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan
kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas
tanah pertanian. Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah petani gurem
dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di perdesaan.
Masalah tersebut bertambah buruk dengan struktur penguasaan
lahan yang timpang karena sebagian besar petani gurem tidak
secara formal menguasai lahan sebagai hak milik, dan kalaupun
mereka memiliki tanah, perlindungan terhadap hak mereka atas
tanah tersebut tidak cukup kuat karena tanah tersebut seringkali
tidak bersertifikat. Tingkat pendapatan rumah tangga petani
ditentukan oleh luas tanah pertanian yang secara nyata dikuasai.
Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor
penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan
sumberdaya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin.
Terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap tanah tergambar
dari timpangnya distribusi penguasaan dan pemilikan tanah oleh
rumah tangga petani, dimana mayoritas rumah tangga petani
masing-masing hanya memiliki tanah kurang dari satu hektar dan
31

adanya kecenderungan semakin kecilnya rata-rata luas penguasaan


tanah per rumah tangga pertanian.

Masalah pertanahan juga nampak dari semakin banyak dan


meluasnya sengketa agraria, termasuk sengketa masyarakat
dengan pemerintah, seperti mengenai penetapan kawasan
konservasi yang di dalamnya terdapat lahan pertanian, masyarakat
sekitar yang sudah mengusahakan secara turun-temurun. Sengketa
agraria di beberapa daerah terutama di Jawa dan Sumatera sering
dilatarbelakangi oleh konflik agraria yang terjadi pada masa kolonial
dan hingga kini tidak terselesaikan berdasarkan nilai dan rasa
keadilan masyarakat.

8. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam,


serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.

Kemiskinan mempunyai kaitan erat dengan masalah


sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Masyarakat miskin sangat
rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam
dan perubahan lingkungan. Masyarakat miskin yang tinggal di
daerah perdesaan, daerah pinggiran hutan, kawasan pesisir, dan
daerah pertambangan sangat tergantung pada sumberdaya alam
sebagai sumber penghasilan. Sedangkan masyarakat miskin di
perkotaan umumnya tinggal di lingkungan permukiman yang buruk
dan tidak sehat, misalnya di daerah rawan banjir dan daerah yang
tercemar. Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah
terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya alam
dan menurunnya mutu lingkungan hidup, baik sebagai sumber mata
pencaharian maupun sebagai penunjang kehidupan sehari-hari.

Masyarakat miskin seringkali terpinggirkan dalam


pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini terjadi
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh
perusahaan besar dan peralihan hutan menjadi kawasan lindung.
Sekitar 30 persen dari hutan produksi tetap hanya dikelola oleh
32

sekelompok perusahaan dan cenderung mengabaikan kehidupan


masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam hutan. Pengelolaan
kawasan lindung tanpa mempertimbangkan kehidupan masyarakat
yang tinggal di dalamnya akan menjauhkan akses masyarakat
terhadap sumberdaya dan justru menghambat tercapainya
pembangunan berkelanjutan. Masyarakat miskin yang tinggal di
sekitar daerah pertambangan tidak dapat merasakan manfaat
secara maksimal. Mereka hanya menjadi buruh pertambangan dan
bahkan banyak diantaranya tidak dapat menikmati hasil tambang
yang dikelola oleh investor, serta tidak adanya hak atas kepemilikan
terhadap areal pertambangan yang dikuasai oleh para pemilik modal
atas ijin dari negara.

Proses pemiskinan juga terjadi dengan menyempitnya dan


hilangnya sumber matapencaharian masyarakat miskin akibat
penurunan mutu lingkungan hidup terutama hutan, laut, dan daerah
pertambangan. Khusus mengenai hutan, luas hutan Indonesia terus
mengalami menyusut luasan. Penyusutan ini disebabkan oleh
penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan lain
seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman.
Dengan adanya kerusakan hutan maka berdampak pula bagi
masyarakat miskin berupa menyusutnya lahan yang menjadi sumber
penghidupan, dan terjadinya erosi dan tanah longsor yang
menyebabkan semakin berat beban yang mereka tanggung.

Sementara itu, masyarakat miskin yang tinggal di daerah


pesisir sebagai nelayan merasakan adanya penurunan tangkapan
yang sangat drastis. Hal ini disebabkan terdesaknya para nelayan
miskin oleh para pemodal besar dan pencurian ikan oleh nelayan
negara lain yang menggunakan perahu dan peralatan lebih modern
yang merambah kawasan pesisir. Nelayan miskin kebanyakan tidak
memiliki pemahaman dan ketrampilan dalam melakukan
penangkapan ikan yang cenderung berbuat merusak habitat yang
33

akibatnya juga mengurangi populasi ikan, serta kemampuan


prasarana/sarana, teknologi yang kurang mendukung untuk
memperoleh hasil yang memadai. Masyarakat miskin nelayan juga
menghadapai masalah kerusakan hutan bakau dan terumbu karang.
Hal ini berdampak pada rusaknya habitat tempat induk ikan mencari
makan dan bertelur. Hutan bakau menyusut menjadi setengah
dalam waktu belasan tahun. Terumbu karang saat ini dalam kondisi
rusak dan sangat kritis. Degradasi lingkungan wilayah pesisir
mengakibatkan menurunnya populasi ikan, serta meningkatnya
kesulitan nelayan dalam memperoleh ikan.

9. Lemahnya Jaminan Rasa Aman

Lemahnya jaminan rasa aman saat ini terjadi dalam bentuk


ancaman kekerasan dan non kekerasan. Ancaman kekerasan terjadi
dalam bentuk konflik horisontal antarpenduduk (didominasi oleh
faktor sosial) yang mengakibatkan terjadinya pengungsian.
Sementara ini, ancaman nonkekerasan, antara lain berupa
kerusakan lingkungan, perdagangan perempuan dan anak
(trafficking), krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular, dan
peredaran obat-obat terlarang yang menyebabkan hilangnya akses
masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Konflik yang terjadi di berbagai daerah telah menyebabkan


hilang atau rusaknya tempat tinggal, terhentinya kerja dan usaha
sehingga penghasilan keluarga hilang, menurunnya status
kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan
produktivitas, rusaknya infrastruktur ekonomi yang menyebabkan
langkanya ketersediaan bahan pangan, menurunnya akses terhadap
pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih, rusaknya
infrastruktur sosial dan hilangnya rasa aman, serta merebaknya rasa
amarah, putus asa dan trauma kolektif.

10. Lemahnya Partisipasi


34

Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan program


pembangunan dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah
lemahnya partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat miskin
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Berbagai kasus
penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara
sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan
kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam
pengambilan keputusan.

Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan


kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai
kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan
yang memungkinkan keterlibatan mereka. Secara formal sosialisasi
telah dilaksanakan, namun karena umumnya menggunakan sistem
perwakilan, sehingga banyak informasi yang diperlukan tidak sampai
ke masyarakat miskin.

2.3.2. BEBAN KEPENDUDUKAN

Beban masyarakat miskin makin berat akibat besarnya tanggungan


keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Berdasarkan hasil penelitian, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata
anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Dengan
beratnya beban rumahtangga, peluang anak dari keluarga miskin untuk
melanjutkan pendidikan menjadi terhambat dan seringkali mereka harus
bekerja untuk membantu membiayai kebutuhan keluarga.

2.3.3. KETIDAKSETARAAN DAN KETIDAKADILAN GENDER


35

Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang


berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan
laki-laki juga berbeda dari perempuan. Sumber dari permasalahan
kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki yang bekerja melalui
pendekatan, metodologi, dan paradigma pembangunan. Praktek
pemerintahan yang bersifat hegemoni dan patriarki, serta pengambilan
keputusan yang hirarkis telah meminggirkan perempuan secara sistematis
dalam beberapa kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif
gender. Angka yang menjadi basis pengambilan keputusan, penyusunan
program dan pembuatan kebijakan, tidak mampu mengungkap dinamika
kehidupan perempuan dan laki-laki. Data tersebut dikumpulkan secara
terpusat tanpa memperhatikan kontekstualitas dan tidak mampu
mengungkap dinamika kehidupan perempuan-laki-laki sehingga kebijakan,
program, dan lembaga yang dirancang menjadi netral gender dan
menimbulkan kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan.

Budaya patriarki mengakibatkan perempuan berada pada posisi


tawar yang lemah, sementara suara perempuan dalam memperjuangkan
kepentingannya tidak tersalurkan melalui mekanisme pengambilan
keputusan formal. Masalah keterwakilan suara dan kebutuhan perempuan
dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan publik
tersebut sangat penting karena produk kebijakan yang netral gender hanya
akan melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap
perempuan yang berakibat pada pemiskinan kaum perempuan.

2.4. DISKURSUS KONSEP NEGARA HUKUM KESEJAHTERAAN

Semula, pernyataan mengenai Indonesia sebagai negara hukum tidak


tersurat dalam UUD 1945. Pernyataan tersebut hanya terdapat dalam Penjelasan
UUD 1945 yang berbunyi : “Negara Indonesia berdasar atas hukum “ rechtsstaat”
tidak berdasarkan kekuasaan belaka “machtsstaat”. Hal tersebut menunjukkan
bahwa negara Indonesia didirikan dengan kesadaran penuh untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Muh. Yamin menyatakan bahwa
walaupun dalam UUD 1945 tidak ditegaskan dengan pasti bahwa RI merupakan
36

negara hukum, tetapi dari Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, khususnya
pada kalimat :”…… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ….”, merupakan bukti
bahwa RI ialah suatu negara hukum berkonstitusi yang dituliskan. 10

Kedudukan Penjelasan UUD 1945 dalam hukum ketatanegaraan Indonesia


bersifat kontroversial, bahkan beberapa pakar hukum tata negara seperti Sri
Soemantri dan Bagir Manan berpendapat bahwa Penjelasan UUD 1945 bukan
merupakan bagian dari UUD 1945, walaupun diakui merupakan dokumen
ketatanegaraan, sehingga Penjelasan UUD 1945 dapat dijadikan “suatu
keterangan” sepanjang tidak menyimpang dari esensi pasal-pasal yang diatur
dalam UUD 1945. Kontroversi mengenai Penjelasan UUD 1945 diakhiri pada
tanggal 10 Agustus 2002, dalam Amandemen Keempat UUD 1945, yang pada
Pasal II Aturan Tambahan menyatakan : “Dengan ditetapkannya perubahan UUD
ini, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal”.

Pernyataan mengenai negara Indonesia sebagai negara hukum dalam


konstitusi muncul dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan hasil
amandemen ketiga dan disahkan pada tanggal 10 November 2001. Demikian pula
pernyataan mengenai konsep pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi
(hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas),
terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Jelas terlihat bahwa bunyi Pasal 1 ayat
(2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengangkat kembali paham konstitusionalisme
yang didalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap supremasi
hukum dan konstitusi, pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem
konstitusional yang diatur dalam UUD, jaminan perlindungan hak asasi manusia
serta peradilan yang bebas dan mandiri yang menjamin keadilan bagi setiap
warganegara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk
terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah.

10
Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jambatan, Jakarta, Cet. Kedua, 1952, hlm.
68
37

Beberapa ketentuan dalam UUD 1945 hasil Amandemen yang menyebutkan


atau menyiratkan Indonesia sebagai negara hukum (kesejahteraan), yaitu :

1. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1


ayat 2).

2. Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3).

3. MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan UU. MPR berwenang mengubah dan
menetapkan UUD (Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 ayat 1).

4. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (Pasal 4 ayat 1).

5. Presiden berhak mengajukan UU kepada DPR. Presiden menetapkan PP untuk


menjalankan UU (Pasal 5 ayat 1 dan 2).

6. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat (Pasal 6A ayat 1).

7. Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain,


dengan ketentuan apabila perjanjian internasional tersebut menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan UU, harus dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat 1, 2 dan 3).

8. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan


MA. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat 1 dan 2).

9. NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai
pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur,
bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Pemerintahan daerah berhak
38

menetapkan perda dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi


dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7).

10. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang


bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI (Pasal 18B ayat 1 dan 2).

11. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan
membentuk UU. Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU (Pasal 19, 20, 21
dan 22).

12. Dalam hal kepentingan memaksa, presiden berhak menetapkan perpu yang
harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak
mendapat persetujuan, maka perpu harus dicabut (Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3).

13. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum (Pasal 22C
ayat 1, 2, 3 dan 4).

14. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya
ekonomi lainnya, yang berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah, serta
melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU otonomi daerah (Pasal 22D ayat
1, 2, 3 dan 4).

15. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan
adil setiap lima tahun sekali, untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan
wakil presiden serta DPRD (Pasal 22E ayat 1, 2, 3 dan 4).

16. Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan UU (Pasal 23A).

17. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,


dibentuk BPK yang bebas dan mandiri (Pasal 23E ayat 1, 2 dan 3).
39

18. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, peradilan tata usaha negara, dan MK (Pasal 24 ayat 1, 2 dan 3).

19. MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-


undangan di bawah UU terhadap UU, dan wewenang lainnya yang diberikan
oleh UU (Pasal 24A ayat 1, 2, 3, 4 dan 5).

20. KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung


dan mempunyai wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B ayat 1, 2, 3
dan 4).

21. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD
(Pasal 24C ayat 1, 2, 3, 4, 5 dan 6).

22. Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan


pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya (Pasal 27).

23. Setiap warganegara berhak atas :

a. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27);

b. kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan


lisan dan tulisan (Pasal 28);

c. hidup serta berhak mempertahankan penghidupan dan kehidupannya


(Pasal 28A);
40

d. membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang


sah. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 28B ayat 1 dan 2);

e. mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapat


pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia (Pasal 28C ayat 1 dan 2);

f. pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta


perlakuan yang sama di hadapan hukum; berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja; berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;
serta berhak atas status kewarganegaraan (Pasal 28D ayat 1, 2, 3 dan 4);

g. bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih


pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta
berhak kembali, dan bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat (Pasal 28E ayat 1, 2 dan 3);

h. berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi


dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28E);

i. perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta


benda, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi; berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain (Pasal 28G ayat 1 dan 2);

j. hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan


lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
41

kesehatan, jaminan sosial, dan mempunyai hak milik pribadi (Pasal 28H
ayat 1, 2, 3 dan 4).

24. Hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
(Pasal 28I ayat 1, 2, 3, 4 dan 5).

25. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 28J ayat 1
dan 2).

26. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR
apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-
kurangnya ¾ dari jumlah anggota MPR. Putusan untuk mengubah pasal-pasal
UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu
anggota dari seluruh anggota MPR. Khusus tentang bentuk NKRI tidak dapat
dilakukan perubahan (Pasal 37 ayat 1, 2, 3, 4 dan 5).

27. Seluruh peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD (Pasal I dan II
Aturan Peralihan).

Pernyataan mengenai negara Indonesia sebagai negara hukum tersebut


secara eksplisit mengisyaratkan bahwa hukum dalam negara Indonesia secara
normatif mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena dalam negara
hukum negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara, dan
penyelenggaraan pemerintahan negara dalam segala aspek harus berdasar atas
hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Pemerintah memperoleh
kekuasaan dari hukum dan menjalankan kekuasaan itu menurut hukum, di sisi
lain kekuasaan itu sendiri dibatasi oleh hukum. Dengan demikian dalam negara
hukum terkandung pengertian dianutnya supremasi hukum.
42

Walaupun sistem hukum yang berlaku di Indonesia berasal dari rumpun


civil law, tidak dapat diartikan bahwa pengertian konsepsi negara hukum dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 identik dengan rechtsstaat. Oemar Senoadji
menyebutkan bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia.

Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka
negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila 11.

Dalam kaitan itulah, menarik pendapat Sjachran Basah12 yang menyatakan


bahwa negara hukum Indonesia merupakan negara kemakmuran berdasarkan
hukum yang dilandasi Pancasila, baik sebagai dasar negara maupun sebagai
sumber dari segala sumber hukum dengan menolak absolutisme dalam segala
bentuknya. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara tercantum dalam Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004. Dalam penjelasan pasal
tersebut dinyatakan bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa
dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Berdasarkan sejarah perkembangan Pancasila, terdapat 3 (tiga) aliran


pemikiran mengenai Pancasila:

1. Aliran Legal-Yuridis

Aliran ini menempatkan Pancasila sebagai “sumber dari segala sumber


hukum”, karena itu Pancasila dianggap sebagai legitimasi yuridis dalam
berdirinya NKRI, baik pranata, sistem, maupun struktur kenegaraan.

Konteksnya adalah Pancasila sebagai dasar negara, sehingga Notonagoro


menyebutnya sebagai kaidah dasar negara (staats-fundamentaal norm).
Dengan demikian, seluruh norma dan rumusan hukum positif di Indonesia
dibuat berdasarkan kaidah dasar negara ini.

11 Oemar Senoajdji, Peradilan bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 24-58
12 Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Bakti, Bandung, 1992, hlm. 3
43

2. Aliran Humanistik

Aliran ini menempatkan Pancasila sebagai kerangka berfikir jatidiri, perilaku


dan sikap orang Indonesia, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas.
Aliran pemikiran ini tidak hanya menempatkan Pancasila sebagai legitimasi
yuridis atas berdirinya sebuah realitas politik NKRI. Isi Pancasila sudah berlaku
sebagai paradigma kemanusiaan dalam sejarah peradaban manusia, yang
menunjukkan paradigma way of life atau weltanschauung sebagai manusia
Indonesia.

3. Aliran yang menolak Pancasila

Dalam sejarah perkembangan Pancasila, terutama pada saat demokrasi


parlementer berdasarkan UUDS 1950, Pancasila pernah dijadikan lip service.
Atas dorongan partai politik dalam parlemen yang berjuang untuk
mendapatkan pengaruh yang besar, dasar Pancasila dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan diganti dengan dasar opoturnisme.

Lip service tentang Pancasila tampak pula pada usaha untuk mengganti
Pancasila dengan Panca Cinta. Selanjutnya terjadi pula penyelewengan setelah
Indonesia kembali pada UUD 1945, pada saat nasakom ditempatkan sebagai
dasar pemerintahan negara disamping Pancasila. Presiden Soekarno
sebetulnya mempunyai tujuan yang baik dengan menciptakan nasakom, yaitu
menghilangkan sistem free fight democracy dan menggantinya dengan dasar
kerjasama dan musyawarah diantara empat golongan yang berpengaruh
dalam masyarakat : golongan nasional, golongan agama, golongan komunis
dan golongan karyawan.13

Penolakan dan/atau respon negatif terhadap Pancasila atau kelompok yang


mempermasalahkan Pancasila akan selalu ada, namun sejarah telah
membuktikan bahwa rakyat Indonesia telah memilih Pancasila sebagai

13 Mohammad Hatta, Pancasila Jalan Lurus, Angkasa, Bandung, 1966, hlm. 14


44

philosophische grondslag, weltanschauung, 14 demokratisch beginsel dan


rechtsideologie NKRI.

Lebih lanjut dikatakan bahwa di dalam konsep negara hukum Pancasila,


pilar kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat mewujudkan hubungan integral
secara harmonis yang sifatnya konstitutif. Hubungan integralistik itu menjadi
sumber kewenangan utama pembentukan peraturan perundang-undangan. Pilar
kedaulatan hukum mengandung pemahaman bahwa kekuasaan tertinggi terletak
pada hukum, sebaliknya pilar kedaulatan rakyat mengandung pemahaman bahwa
kedaulatan dilaksanakan oleh rakyat menurut UUD.

Sejalan dengan pendapat Sjachran Basah, Sri Soemantri mengatakan


bahwa dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ditemukan
unsur-unsur15: Pertama, Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi
manusia (grondrechten) dan warganegara; Kedua, Adanya pembagian kekuasaan
(scheiding van machten); Ketiga, Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya,
pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis (wetmatigheid van het bestuur); dan Keempat, Adanya
kekuasaan kehakiman dan MA yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Sedangkan Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa negara hukum


Pancasila mempunyai elemen atau ciri-ciri: (1) Keserasian hubungan antara
pemerintah dan rakyat berdasarkan atas kerukunan; (2) Hubungan fungsional
yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; (3) Prinsip-prinsip
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir; dan (4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Konsep negara kesejahteraan dalam suatu negara dapat dilihat dari cara
mendistribusikan kekuasaan dan alat-alat negara dalam suatu sistem
pemerintahan negara yang diatur dalam konstitusinya, sebagai pranata peraturan

14 Soekarno, Lahirnya Pantja-Sila, Pidato di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan) pada sidang yang pertama pada tanggal 1 Juni 1945, yang selanjutnya
dibukukan oleh Penerbit Tridaja pada tahun 1947.
15 Sri Soemantri, Bunga Rampai ......, Op. Cit, hlm. 459
45

yang tertinggi (higher-order rules). Istilah “negara hukum kesejahteraan” secara


eksplisit tidak terdapat dalam UUD 1945, baik sebelum diamandemen maupun
setelah empat kali diamandemen.

Namun dari pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, dapat dilihat komitmen
mengenai Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan, sebagai berikut :

1. Melalui keikutsertaan pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang adil


makmur (civil society) sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 yang juga merupakan tujuan negara Indonesia dan cita
hukum negara RI (rechts-idee) yang didasarkan pada keadilan, kehasil-gunaan
(doelmatigheid) dan kepastian hukum, yaitu : melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (protectional function);
memajukan kesejahteraan umum (welfare function); mencerdaskan
kehidupan bangsa (educational function); dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
(peacefulness function).

2. Ikut sertanya pemerintah dalam berbagai bidang kehidupan rakyat, yang


diatur berdasarkan UU agar pemerintah tidak sewenang-wenang.

Berdasarkan komitmen Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan


yang diikrarkan dalam UUD 1945 sebagai asas dan kaidah hukum dasar
(Grundnorm), maka pemerintah dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan
fungsinya harus senantiasa mewujudkan ketenteraman dan ketertiban
masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan. Dalam hal inilah, peranan
peraturan perundang-undangan menjadi penting, dan harus dijadikan instrumen
pemberlakuan hukum karena sifat adil dari hukum itu sendiri ( ius quia iustum)
dan bukan merupakan hukum yang dipaksakan keberlakuannya (ius quia iussum).

Hukum harus dibangun dan ditegakkan menurut prinsip demokrasi, karena


prinsip hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari
kedaulatan rakyat atau demokrasi. S.E Finer menyebutkan berbagai asumsi
46

kedaulatan rakyat yang berkaitan dengan unsur-unsur negara hukum, yaitu16: (i)
Pemerintahan berkedaulatan rakyat adalah pemerintahan yang memiliki
kekuasaan terbatas atau dibatasi; (ii) Pemerintahan berkedaulatan rakyat adalah
pemerintahan yang mengakui kemajemukan masyarakat (pluralistik); dan (iii)
Pemerintahan berkedaulatan rakyat menolak adanya setiap upaya untuk
memutlakkan suatu pandangan atau pikiran mengenai masyarakat dan moral.

2.5. PROGRAM NASIONAL PENANGGULANGAN KEMISKINAN.

2.5.1. UMUM

Masalah Kemiskinan masih menjadi salah satu permasalahan utama


bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai salah satu
negara berkembang isu kemiskinan ini perlu dituntaskan. Upaya
penanggulangan kemiskinan terus dilakukan oleh Pemerintah, dan telah
dilaksanakan sejak tahun 1970-an hingga sekarang namun belum mampu
menuntaskan masalah kemiskinan. Badan Pusat Statistis merilis tingkat
kemiskinan nasional terbaru pada bulan Maret 2016 masih pada level
10,86% atau lebih dari 28 juta dari total penduduk, atau hanya turun
kurang dari 2% dari kondisi 5 tahun lalu yaitu pada Maret 2011 yang sudah
mencapai 12,49%. Isu kemiskinan ini erat kaitannya dengan persoalan
ketimpangan atau kesenjangan, baik ketimpangan tingkat kesejahteraan
(antar kelompok pendapatan) maupun ketimpangan antarwilayah.17

Saat ini persoalan kemiskinan sudah bersifat multidimensi atau


sangat kompleks, sehingga angka kemiskinan hanya dapat diturunkan
secara optimal apabila semua pihak termasuk masyarakat miskin itu sendiri
ikut terlibat dalam proses pembangunan dan pemanfaatan hasil
pembangunan. Pada era pemerintahan saat ini, kemauan politik (political
will) Pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan mulai berubah seiring
dicanangkannya Nawacita di dalam Rencana Pembangunan Jangka

16
Dikutip dari Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994,
hlm. 35
17
Sumber : BPS, Susenas dan Vivi Alatas (Perhitungan Bank Dunia, 2014)
47

Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Sembilan agenda (Nawa Cita)


merupakan rangkuman program-program yang tertuang dalam Visi-Misi
Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sembilan agenda
tersebut dijabarkan dalam strategi pembangunan yang digariskan dalam
RPJMN 2015-2019 yang terdiri dari empat bagian utama yakni: (1) norma
pembangunan; (2) tiga dimensi pembangunan; (3) kondisi perlu agar
pembangunan dapat berlangsung; serta (4) program-program quick wins.
Tiga dimensi pembangunan dan kondisi perlu dari strategi pembangunan
memuat sektor-sektor yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan RPJMN
2015-2019 yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah
2016. Dua dimensi yang paling berkaitan dengan penanggulangan
kemiskinan adalah dimensi Pembangunan Manusia dan dimensi
Pemerataan dan Kewilayahan.

Keterkaitan Nawa Cita dengan pembangunan pada dimensi


Pembangunan Manusia diprioritaskan pada sektor pendidikan dengan
melaksanakan Program Indonesia Pintar; sektor kesehatan dengan
melaksanakan Program Indonesia Sehat; perumahan rakyat;
melaksanakan revolusi karakter bangsa; memperteguh kebhinekaan dan
memperkuat restorasi sosial Indonesia; dan melaksanakan revolusi mental.
Program-program pembangunan dalam dimensi ini adalah penjabaran dari
cita kelima yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, cita
kedelapan yaitu melakukan revolusi kharakter bangsa, dan cita kesembilan
yaitu memperteguh kebhinekaan dan restorasi sosial Indonesia dari
Nawacita RPJMN 2015-2019.

Selain itu penanggulangan kemiskinan juga berkaitan dengan


dimensi Pembangunan, Pemerataan dan Kewilayahan dengan prioritas
pada upaya pemerataan antar kelompok pendapatan, pengurangan
kesenjangan pembangunan antarwilayah. Program-program
pembangunan dalam dimensi ini merupakan penjabaran dari Cita Ketiga
yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, Cita Kelima yaitu
48

meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, dan Cita Keenam yaitu


meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional.
Dalam dimensi ini penanggulangan kemiskinan bermaksud meminimalkan
kesenjangan pembangunan antar kelompok pendapatan dan antar daerah.

Dimensi pembangunan, nawacita dan penanggulangan kemiskinan


terkait secara implisit. Namun program penanggulangan kemiskinan dalam
RPJMN tidak disebutkan secara eksplisit. Hal ini menunjukan bahwa
penanggulangan kemiskinan adalah bagian dari target keseluruhan
program pembangunan di semua bidang yang tidak perlu disebutkan
tersirat. Adapun prioritas dimensi program unggulan dalam RPJMN 2015-
2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2016 adalah pembangunan
infrastruktur, meliputi kedaulatan pangan, ketenagalistrikan, industri, ilmu
pengetahuan dan teknologi, pariwisata, dan kemaritiman. Koordinasi
program penanggulangan kemiskinan sebagaimana dijalankan oleh
pemerintahan terdahulu tergantikan oleh pembangunan infrastruktur yang
ditujukan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.

Pada era pemerintahan presiden SBY-Boediono, untuk


meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan, pemerintah
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan penyempurnaan dari
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan. Perbaikan kebijakan terkait penanggulangan
kemiskinan telah dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K). Perbaikan-perbaikan tersebut mencakup
pengembangan Basis Data Terpadu sebagai upaya perbaikan menyasar
programprogram berbasis rumah tangga dan individu. Perbaikan juga
dilakukan pada desain program mekanisme distribusi dari
masing-masing program.

Menurut TNP2K tren penurunan angka kemiskinan terputus saat


Indonesia dihantam krisis keuangan Asia 1997-1998. Mulai awal tahun
2000, tren penurunan tingkat kemiskinan mulai kembali lagi namun dengan
49

penurunan yang melambat dibandingkan dengan periode pra krisis 1997-


1998. Perlambatan penurunan tingkat kemiskinan ini terus berlanjut hingga
awal dumulainya periode pemerintahan SBY-Boediono pada tahun 2009.

2.5.2. POLITIK HUKUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN


DI INDONESIA18

Kebijakan pembangunan suatu negara, termasuk dalam hal


penanggulangan kemiskinan tidak akan pernah bisa dilepaskan
dari dimensi politik dan dimensi hukum. Di Indonesia sebagai
konsekuensi dari pilihan untuk menjalankan pemerintahan
dengan sistem demokrasi, kedua dimensi diatas bahkan menjadi
prasyarat yang sangat menentukan keberhasilan maupun
kegagalan dari setiap kebijakan yang dikeluarkan. Bab ini akan
menguraikan politik hukum penanggulangan kemiskinan yang
terkandung dalam Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial,
sebagai Undang-Undang utama (terkait langsung) dengan bahasan
laporan, dan juga politik hukum Undang-Undang lain yang terkait
dengan penanggulang

1. Periode transisi tahun 2001-2004.

Secara makro tingkat kemiskinan Indonesia terus mengalami


penurunan meskipun penurunananya melambat. BPS merilis tingkat
kemiskinan nasional terbaru pada bulan Maret 2016 masih pada level
10,86% atau lebih 28 juta penduduk dari total penduduk, atau hanya
turun kurang dari 2% dari kondisi 5 tahun lalu yaitu Maret 2011 yang
sudah mencapai 12, 49%. Isu kemiskinan ini erat kaitannya dengan
persoalan ketimpangan atau kesenjangan, baik ketimpangan tingkat

18
Disadur dari Analisis Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan, Pusat Analisis dan
Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, Tahun 2016
50

kesejahteraan (antar kelompok pendapatan) maupun ketimpangan


antarwilayah.19

Dalam konteks upaya penanggulangan kemiskinan, pada periode


sebelum dan sesudah reformasi, adalah pada adanya instrumen untuk
mendukung prioritas pembangunan yang meliputi berbagai kebijakan,
baik berupa peraturan perundangundangan, peraturan pemerintah,
peraturan presiden, instruksi presiden maupun peraturan menteri
terkait sampai dengan peraturan daerah. Namun demikian, perbedaan
mendasar dari kebijakan pemerintah prareformasi dan pasca reformasi
adalah dalam hal pendekatan program. Upaya penanggulangan
kemiskinan di masa lalu cenderung bersifat project oriented dan
sektoral berdasarkan instruksi khusus dari presiden, misalnya melalui
Inpres Desa Tertinggal (IDT), sehingga sulit untuk mempertahankan
keberlanjutannya. Kebijakan pasca reformasi ditandai dengan
dikembangkannya pendekatan program secara nasional dan lintas
sektor dengan kerangka kebijakan dan graduasi yang lebih jelas melalui
pengembangan strategi khusus dan target kepada kelompok
masyarakat miskin.

Pendekatan program penanggulangan kemiskinan secara lintas


sektor ini sebenarnya telah dirintis sejak masa transisi pasca
reformasi dibawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid
(Gusdur), namun pada saat itu fokus utama pemerintahan masih
dibebani dengan konsolidasi dan normalisasi kondisi politik pasca
reformasi. Di Era Presiden Megawati Soekarnoputri, yaitu pada
akhir tahun 2001 menjadi salah satu tonggak perubahan
kebijakan penanggulangan kemiskinan nasional dengan
dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 124 Tahun 2001

19
Perbandingan Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Indonsia 1980-2014, BPS, Susenas dan Vivi Alatas
(Perhitungan Bank Dunia, 2014.
51

Tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan, yang kemudian


dilengkapi dengan Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2002.

Tugas awal dari KPK ini adalah untuk melakukan kajian-kajian


yang melibatkan berbagai pihak. Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS yang pada saat itu dijabat
oleh Kwik Kian Gie ditugaskan untuk melakukan penjabaran kebijakan
dalam rangka perencanaan program serta penentuan alokasi anggaran
yang diperlukan. Pada proses selanjutnya, kemudian dibentuk Tim
Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan (TKP3KPK) di bawah koordinasi
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, yang
menghasilkan Dokumen Sementara Strategi Penanggulangan
kemiskinan (Interim Poverty Reduction Strategy Papers) pada tahun
2002-2003. Dokumen tersebut memuat prinsip dan langkah yang harus
dilakukan dalam penyusunan Strategi Nasional Penganggulangan
Kemiskinan (SNPK)

Pada tahun 2003, proses finalisasi dokumen SNPK dilakukan oleh


Satuan Kerja Finalisasi SNPK dibawah koordinator Kementerian Negara
PPN/Bappenas sebagai Pokja Perencanaan Makro Penanggulangan
Kemiskinan. Dokumen SNPK menjadi acuan bagi upaya
pananggulangan kemiskinan yang secara tegas disebutkan bahwa:

“Cara pandang kemiskinan ini beranjak dari pendekatan


berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik
laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang
sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak
lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi
juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan
perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki
dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara
bermartabat.”
52

Secara politis, periode transisi ini sangat penting karena di dalam


dokumen SNPK juga telah disepakati bahwa kemiskinan adalah masalah
multidimensi yang merupakan tanggung jawab semua pihak, baik
pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil, lembaga penelitian, dan
perguruan tinggi, maupun lembaga kemasyarakatan. Oleh karena itu,
upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan semua pihak dalam
rangka perwujudan keadilan dan kesetaraan gender, percepatan
pembangunan perdesaan, perkotaan, kawasan pesisir, dan kawasan
khusus dan tertinggal.

2. Periode Konsolidasi dan Inisiasi By Name By Address Tahun


2005-2009

Pada tahun 2004, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan


telah dituangkan dalam Rencana Aksi Penanggulangan Kemiskinan
2005-2009 yang diintegrasikan dalam Dokumen RPJMN 2005-2009 di
era Kabinet Indonesia Bersatu presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
sehingga RKP setiap tahun juga menempatkan penanggulangan
kemiskinan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan. Sejalan
dengan diundangkannya sistem perencanaan pembangunan nasional,
secara khusus Sri Mulyani yang pada tahun 2005 menjabat sebagai
menteri PPN/Kepala Bappenas menegaskan komitmen politik KIB I di
dalam pidato pada Konferensi Nasional Penanggulangan Kemiskinan
dan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), yang
diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesra, di
Jakarta, pada tanggal 27 – 28 April 2005.

Prinsip utamanya menekankan bahwa Strategi Nasional


Penanggulangan Kemiskinan harus diintegrasikan dengan RPJMN 2005-
2009, dan RKP 2006. Di dalam dokumen RPJMN maupun RKP,
nomenklatur berbagai program penanggulangan kemiskinan dapat
diidentifikasi mulai dari tingkat urgensi penanggulangan kemiskinan di
dalam prioritas pembangunan nasional, kementerian/lembaga
53

pelaksana, nama program dan kegiatan, dan sasaran, serta alokasi


anggaran yang dibutuhkan.

Pada periode inilah penataan kelembagaan juga mulai


diupayakan, yaitu dengan pembentukan Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) melalui Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.
Secara bertahap, penataan kelembagaan tersebut juga dilakukan di
daerah dengan pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (TKPKD) yang dikoordinir oleh Departemen Dalam
Negeri .

3. Periode Klasterisasi Tahun 2010-2014

Berkat kepopuleran PNPM Mandiri, KIB berlanjut ke jilid II dan


cakupan PNPM Mandiri diperluas, menjadi 5 program PNPM Mandiri Inti
dan berbagai program dalam koridor PNPM Mandiri Penguatan. Pada
periode ini, presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 15
Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dengan
tujuan utama untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga
8 % sampai 10 % pada akhir tahun 2014. Kontrak politik yang
ditawarkan pada rezim ini adalah empat strategi dasar untuk
percepatan penanggulangan kemiskinan, yaitu: (i)
Menyempurnakan program erlindungan sosial; (ii) Peningkatan akses
masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar; (iii)
Pemberdayaan masyarakat, dan (iv) Pembangunan yang inklusif.

Secara operasional, strategi tersebut didukung dengan


instrumen penanggulangan kemiskinan yang dibagi berdasarkan empat
klaster, masing-masing, yaitu Klaster I - Program bantuan sosial
terpadu berbasis keluarga; Klaster II – Program Penanggulangan
Kemiskinan berbasis Pemberdayaan Masyarakat; Klaster III –
Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi
Mikro dan Kecil. Pada periode ini, basis data rumah tangga juga
mengalami pemutakhiran melalui PPLS 2011 inilah yang kemudian
54

menjadi penyempurna dikeluarkannya kebijakan Klaster IV-Program


Pro-Rakyat.

4. Periode Transformasi Tahun 2015-2019

Pada periode Transformasi tahun 2015-2019, secara yuridis,


landasan hukum pelaksanaan program penangulangan kemiskinan
tidak didasarkan pada dukungan peraturan perundang-undangan
spesifik, misalnya undang-undang, peraturan presiden, instruksi
presiden mengenai PNPM Mandiri, dan peraturan menteri. Acuan utama
yang digunakan adalah Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010
tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

Di dalam RPJMN 2015-2019, pada masa pemerintah Jokowi-JK


melakukan perubahan secara mayoritas, hamper dilakukan perubahan
secara berkala baik dengan strategi penanggulangan kemiskinan. Hal
ini dapat dilihat dimana di saat pemerintahan bapak SBY pendekataan
dialakukan dengan cluster, ada empat cluster program penanggulangan
kemiskinan, namun sekarang pendekatan melalui 3 strategi yaitu:

a. Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial yang komprehensif,


yang terdiri atas dua, yaitu: (1) Jaminan Sosial. Program BPJS dalam
skema BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan; dan (2) Skema
Bantuaan Sosial, yang mulai tahun 2017 sudah akan dimulai
mekanisme bantuan sosial non-tunai dengan ujcoba di 44 kota.

b. Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Dasar bagi Masyarakat


Miskin dan Rentan Pelayanan dasar ini termasuk insfrastruktur dan
pelayanan publik, sebagaimana juga diamanatkan melalui Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di dalam
Undang-Undang tersebut jelas diatur urusan wajib pemerintah
daerah terkait dengan pelayanan dasar, yaitu mencakup 6 aspek
utama: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan
ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman,
ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; serta sosial.
55

c. Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (P2B)/Sustainable


Livehoods Approach (SLA)

Pendekatan ini merupakan transformasi dari pendekatan CDD PNPM


Mandiri yang difokuskan untuk pengembangan ekonomi rumah
tangga miskin melalui perluasan akses pada pekerjaan dan usaha
ekonomi produktif (dimana PNPM Mandiri sebelumnya difokuskan
pada pengembangan infrastruktur dasar di tingkat masyarakat
(penanggulangan Kemiskinan di dalam Dokumen RPJMN 2015-
2019.

Dengan tiga program ini pemerintah akan merubah paradigma


yang baru dimana sebelumnya memiliki banyak program sehingga
susah untuk proses evaluasi keberhasilan dan kegagalannya. Seiring
dengan meningkatnya porsi transfer dana dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah, peluang Pemerintah Daerah semakin besar untuk
mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pendekatan
SLA yang didasarkan pada pembangunan Pentagonal Asset (5 aset
utama) livelihoods, yaitu: aset manusia, aset fisik, aset SDA, aset sosial
dan aset finansial. Selan itu, yang semula target utama adalah
komunitas, SLA ini mengedepankan pendekatan berbasis keluarga atau
rumah tangga pada wilayah-wilayah yang menjadi kantong kemiskinan
(bukan seluruh wilayah ala PNPM mandiri).

2.6. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENANGGULANGAN


KEMISKINAN
56

Dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan Daerah Kota Sukabumi


Tahun 2005 - 202520, disebutkan bahwa salah satu tantangan dalam
pembangunan di daerah khususnya di bidang ekonomi adalah kemiskinan. Oleh
karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas utama dalam
penanggulangan jangka panjang sehingga pada 20 tahun mendatang jumlah
penduduk miskin di Kota Sukabumi terus berkurang dan secara bertahap dapat
terpenuhi hak dasar rakyat miskin. Masalah kemiskinan sangat berkaitan dengan
ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup
layak, kebutuhan akan pangan, sandang, rumah, kesehatan, dan pendidikan
merupakan tantangan ke depan yang harus mendapatkan perhatian yang serius
dari pemerintah.

berdasarkan tantangan tersebut, arah pembangunan jangka panjang


Daerah tahun 2005-2025, khusunya yang berkenaan dengan penanggulangan
kemiskinan, antara lain sebagi berikut:

a. Pertumbuhan penduduk yang seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk


yang terkendali serta lebih terbukanya kesempatan kepada masyarakat miskin
untuk dapat meningkatkan kualitas dirinya;

b. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang berkesinambungan dan


berkualitas termasuk bagi penduduk miskin melalui peningkatan upaya
kesehatan, pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan, obat, perbekalan
kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan. Upaya
tersebut dilakukan dengan memperhatikan dinamika kependudukan,
epidemologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan Iptek,
dan globalisasi dengan semangat kemitraan, dan kerjasama lintas sektor;

c. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara bersama-sama dengan


titik berat pada pelayanan kesehatan ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut
dan masyarakat miskin. Di samping itu juga dilaksanakan dengan usaha
sanitasi, peningkatan kualitas gizi masyarakat dan pengendalian penyakit

20
Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (Rpjpd) Kota Sukabumi Tahun 2005 - 2025
57

menular, serta pengembangan peran institusi-institusi kesehatan


masyarakat sebagai pusat pemberdayaan untuk membentuk lingkungan
dan perilaku sehat serta peningkatan peran dan fungsi kaum perempuan
sebagai penggerak pembangunan di seluruh tingkat dan lapisan
masyarakat; dan

d. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan


sanitasi diarahkan pada peningkatan kualitas pengelola aset, pemenuhan
kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar dan penyelenggaraan
pelayanan yang berkualitas, kredibilitas, dan profesional, serta penyediaan
sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan
sanitasi bagi masyarakat miskin.

2.7. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah

Sebagaimana telah diuraikan, dalam menyelenggarakan urusan


Pemerintah yang menjadi kewenangan, Pemerintah Daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintah yang
menjadi urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, meliputi : politik luar negeri, pertahanan
dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.

Dengan melihat ruang lingkup kewenangan Daerah di atas, dapat


dipastikan, urusan membuat Peraturan Daerah termasuk dalam urusan otonomi
Daerah.

Dalam politik hukum, pelimpahan wewenang dibedakan menjadi 2 (dua)


macam, yaitu mandat dan delegasi21. Dalam pelimpahan wewenang secara
mandat, yang beralih hanya sebagian wewenang. Oleh sebab itu,
pertanggungjawaban tetap pada pemberi mandat.

21
Istilah dalam mandate (mandans = yang melimpahkan mandat, mandataris = yang mendapat mandat) istilah dalam
delegasi (delegans = yang melimpahkan delegasi, delegataris = yang mendapat delegasi)
58

Dalam pelimpahan wewenang secara delegasi, yang beralih adalah seluruh


wewenang dari delegans. Sehingga apabila ada penuntutan, maka yang
bertanggungjawab sepenuhnya adalah delegataris.

Menurut Muchsan, kewenangan diperoleh melalui 2 (dua) cara, yaitu;


kewenangan atributif dan kewenangan non atributif. Kewenangan yang bersifat
atributif (orisinal) yaitu kewenangan yang diberikan secara langsung oleh
peraturan perundang-undangan. Kewenangan atributif bersifat permanen atau
tetap ada selama undang-undang mengaturnya. Misalnya Presiden berhak
membuat Rancangan Undang-Undang. Kewenangan ini secara langsung diberikan
oleh peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Contoh
lain adalah Gubernur berhak membuat Peraturan Gubernur sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Keabsahan dari kewenangan ini
tidak perlu dipertanyakan atau diperdebatkan, karena sumbernya dari peraturan
perundang-undangan.

Terdapat 4 (empat) sistem pembagian kewenangan menurut Muhammad


Abud Musa’ad22, Pertama, sistem residu, yaitu secara umum telah ditentukan lebih
dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan
sisanya menjadi urusan rumah tangga Daerah. Sistem ini umumnya dianut oleh
negara-negara di daratan Eropa seperti Perancis, Belgia, dan Belanda. Kebaikan
sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru,
Pemerintah Daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang
dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari Pusat.

Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat


kemampuan Daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai
lapangan atau bidang. Akibatnya bidang atau tugas yang dirumuskan secara
umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi Daerah yang kapasitasnya besar, atau
sebaliknya terlalu luas bagi Daerah yang kemampuannya terbatas.

22
Muhammad Abud Musa’ad, Penguatan Otonomi Daerah di Balik Bayang-Bayang Ancaman
Disintegrasi, Penerbit ITB, 2002,hlm.28
59

Kedua, sistem material. Dalam sistem ini, tugas Pemerintah Daerah


ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Selain dari tugas yang telah
ditentukan, merupakan urusan Pemerintah Pusat. Sistem ini lebih banyak dianut
oleh negara-negara Anglo Saxon, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Cara ini
kurang begitu fleksibel, karena setiap perubahan tugas dan wewenang Daerah
baik yang bersifat pengurangan maupun penambahan, harus dilakukan melalui
prosedur yang lama dan berbelit-belit. Hal ini tentunya akan menghambat
kemajuan bagi Daerah yang mempunyai inisiatif/prakarsa, karena mereka harus
menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu
urusan menjadi terbengkalai, tidak diurus oleh Pemerintah Pusat dan tidak pula
oleh Pemerintah Daerah. Sistem ini pernah diatur oleh Negara Republik Indonesia
pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Staatblad
Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950.

Ketiga, sistem formal. Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam
urusan rumah tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan
undang-undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah
diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya. Jadi, urusan yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah yang
lebih tinggi tingkatnya, tidak boleh diatur dan diurus lagi oleh Daerah. Dengan
perkataan lain, urusan rumah tangga Daerah dibatasi oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatnya (hierarchische taakafbakening).

Keempat, sistem riil. Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan
kewenangan kepada Daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari Daerah maupun Pemerintah
Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian
tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan yang riil di
dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa
tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat dapat
diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan melihat kepada kemampuan dan
keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri, sebaliknya bilamana dipandang
60

perlu, suatu urusan dapat diserahkan kembali kepada Pemerintah Pusat atau
ditarik kembali dari Daerah. Sistem ini dianut oleh Negara Republik Indonesia pada
saat berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden
Nomor 6 Tahun 1956 (disempurnakan), Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960
(disempurnakan), dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.

2.8. ASAS-ASAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

Dalam rangka penyusunan Raperda tentang Penaggulangan Kemiskinan,


dengan mempertimbangkan permasalahan yang dihadapi serta berbagai teori
dan hukum positif yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan
kesejahteraan sosial, maka asas-asas yang melandasinya meliputi :

a. Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam
setiap kebijakan pemerintah daerah. Dalam hal ini, perlu adanya kepastian
hukum dalam penanggulangan kemiskinan di Kota Sukabumi.

b. Asas keterbukaan

Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan Daerah.

c. Asas proporsionalitas

Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara


hak dan kewajiban.

d. Asas akuntabilitas

Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Daerah harus dapat
61

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang


kedaulatan tertinggi negara.

e. Asas efisiensi berkeadilan

Yaitu asas yang mendasari penanggulangan kemiskinan dengan


mengedepankan efisiensi berkeadilan.

f. Asas efektivitas

Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah


ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.

g. Asas keadilan

Keadilan adalah keseimbangan antara distribusi kewenangan dan


pendanaannya.

h. Asas desentralisasi

Adalah penanggulangan kemiskinan di Kota Sukabumi dilaksanakan sesuai


dengan kewenangan daerah, serta mempertimbangkan potensi Daerah yang
dimiliki.
62

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Dalam pembentukan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan perlu


diperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan
perundang-undangan yang setara dengan undang-undang; peraturan
pemerintah; peraturan menteri; dan peraturan daerah; yang memiliki hubungan
dengan Raperda. Dengan menganalisis hubungan tersebut dapat dirancang pasal-
pasal di dalam Raperda.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan pembentukan


Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan, antara lain: (a) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; (b) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
(c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; (d)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (e)
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Upaya
Penanggulangan Fakir Miskin; (f) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012
Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial; DAN (g) Peraturan Presiden
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan;

A. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

Pembentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 didasarkan pada


kerangka pemikian bahwa pembangunan kesejahteraan sosial merupakan
perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila kelima
Pancasila menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
63

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan


kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini


menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan
dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara.
Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan
fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan
bermartabat.

Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak
terlantar. Bagi fakir miskin dan anak terlantar seperti yang dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah dan
pemerintah daerah memberikan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, dan perlindungan sosial sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban
negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga negara
yang miskin dan tidak mampu.

Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diperlukan peran


masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi
keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, maupun lembaga
kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang
terarah, terpadu, dan berkelanjutan.

Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara, serta untuk


menghadapi tantangan dan perkembangan kesejahteraan sosial di tingkat lokal,
nasional, dan global, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial sebagai penggantian Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang
diantaranya mengatur ketentuan mengenai penanggulangan kemiskinan.
64

Terkait dengan penyelesaian Penanggulangan Kemiskinan, Undang-


Undang Nomor 11 Tahun 2003 yang mengatur sebagai berikut :

1. Pasal 5 :

(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada :


a. perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok; dan/atau
d. masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki
kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki
kriteria masalah sosial:
a. kemiskinan;
b. ketelantaran;
c. kecacatan;
d. keterpencilan;
e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
f. korban bencana; dan/atau
g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

2. Pasal 19 :

Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan


kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok
dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai
sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
yang layak bagi kemanusiaan.
3. Pasal 20 :

Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk:


a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan
dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin;
b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan
keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;
c. mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial
yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh
kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar
dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; dan
d. memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan
rentan.

4. Pasal 21 :

Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk:


a. penyuluhan dan bimbingan sosial;
b. pelayanan sosial;
65

c. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;


d. penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar;
e. penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar;
f. penyediaan akses pelayanan perumahan dan permukiman;
dan/atau
g. penyediaan akses pelatihan, modal usaha, dan pemasaran hasil
usaha.

5. Pasal 24 :

(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab:


a. Pemerintah; dan
b. Pemerintah daerah.
(2) Tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh
Menteri.
(3) Tanggungjawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan:
a. untuk tingkatprovinsi oleh gubernur;
b. untuk tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota

6. Pasal 29 :

Tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam


menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:
a. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan dan belanja
daerah;
b. melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di
wilayahnya/ bersifat lokal, termasuk tugas pembantuan;
c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulant kepada
masyarakat yang
menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
d. memelihara taman makam pahlawan; dan
e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.

7. Pasal 30 :

Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan


kesejahteraan sosial meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
yang bersifat lokal selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional dan provinsi di bidang kesejahteraan sosial;
b. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di wilayahnya;
c. pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan
penyaluran bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya;
d. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
66

e. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan


kesetiakawanan sosial.

8. Pasal 31 :

Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan koordinasi dalam


perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.

B. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan pelaksanaan dari


perintah Pasal 22A UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diperluas tidak hanya mengatur
pembentukan undang-undang, tetapi mencakup pula peraturan perundang-
undangan lainnya, di luar UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat.

Pembentukan dan penetapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011


dilakukan berdasakan didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem
hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua
elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka
mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan


terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu antara lain: (a)
materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan
kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
67

(b) teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; (c) terdapat materi
baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan (d) penguraian materi
sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.

Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang
ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu antara lain :
(a) penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu
jenis peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah UUD;
(b) perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan yang tidak
hanya untuk program legislasi nasional dan program legislasi daerah, melainkan
juga perencanaan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan
perundang-undangan lainnya; (c) pengaturan mekanisme pembahasan
rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti
undang- undang; (d) pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan
dalam penyusunan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah
provinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota; (e) pengaturan
mengenai keikutsertaan perancang peraturan perundang-undangan, peneliti, dan
tenaga ahli dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan; (f) dan
penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik.

Secara umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat materi-


materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan
peraturan perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan
perundang-undangan; perencanaan peraturan perundang-undangan;
penyusunan peraturan perundang-undangan; teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang;
pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan
peraturan daerah kabupaten/kota; pengundangan peraturan perundang-
undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai
pembentukan keputusan presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.
68

Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan


penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada
dasarnya harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau
kondisi serta jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang
pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
seperti pembahasan rancangan peraturan pemerintah, rancangan peraturan
presiden, atau pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan lainnya
sesuai di luar undang-undang dan peraturan daerah.

Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik


penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya. Penyempurnaan
terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut
dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih
jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan peraturan
perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan di daerah.

Berkenaan dengan kebijakan penanggulangan kemisikinan, dalam


ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, diatur bahwa :

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah


Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa, Kota Sukabumi dapat


membentuk Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang hierakinya lebih tinggi.

C. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Faskir


Miskin.
69

Kerangka dasar penyusunan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011


adalah tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darahIndonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan


bangsa, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Negara berkewajiban
mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kondisi kefakiran dan kemiskinan
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Kewajiban negara dalam membebaskan dari kondisi tersebut dilakukan


melalui upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebutuhan
dasar. Upaya tersebut harus dilakukan oleh negara sebagai prioritas utama dalam
pembangunan nasional termasuk untuk mensejahterakan fakir miskin.

Landasan hukum bagi upaya mensejahterakan fakir miskin sampai saat ini
masih bersifat parsial yang tersebar di berbagai ketentuan peraturan perundang-
undangan, sehingga diperlukan adanya undang-undang yang secara khusus
mengatur fakir miskin.

Dengan adanya undang-undang yang secara khusus mengatur fakir miskin,


diharapkan memberikan pengaturan yang bersifat komprehensif dalam upaya
mensejahterakan fakir miskin yang lebih terencana, terarah, dan berkelanjutan.

Adapun materi pokok yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2011, antara lain hak dan tanggung jawab, penanganan fakir miskin, tugas dan
wewenang, sumber daya, koordinasi dan pengawasan, peran serta masyarakat,
dan ketentuan pidana. undang-undang ini diharapkan dapat memberikan keadilan
sosial bagi warga negara untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat.

Adapun klausul yang mengatur ketentuan mengenai penanggulangan


kemiskinan, sebagai berikut :

1. Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 3 :

Angka 1 :
70

Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai


sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata
pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau
keluarganya.

Angka 2 :

Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan


berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan
kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.

Angka 3 :

Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan,


kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.

2. Pasal 3 :

Fakir miskin berhak:


a. memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan;
b. memperoleh pelayanan kesehatan;
c. emperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya;
d. mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun,
mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya
sesuai dengan karakter budayanya;
e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun,
mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya;
f. memperoleh derajat kehidupan yang layak;
g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat;
h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan;
dan
i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.

3. Pasal 4 :

Fakir miskin bertanggung jawab:


a. menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat
merusak kesehatan, kehidupan sosial, dan ekonominya;
b. meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam
bermasyarakat;
c. memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf
kesejahteraan serta berpartisipasi dalam upaya penanganan
kemiskinan; dan
71

d. berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan bagi yang


mempunyai potensi.

4. Pasal 5 :

Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan


berkelanjutan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.

5. Pasal 6 :

Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:


a. perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok; dan/atau
d. masyarakat.

6. Pasal 7 :

(1) Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:


a. pengembangan potensi diri;
b. bantuan pangan dan sandang;
c. penyediaan pelayanan perumahan;
d. penyediaan pelayanan kesehatan;
e. penyediaan pelayanan pendidikan;
f. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;
g. bantuan hukum; dan/atau
h. pelayanan sosial.
(2) Penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui:
a. pemberdayaan kelembagaan masyarakat;
b. peningkatan kapasitas fakir miskin untuk
mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan
berusaha;
c. jaminan dan perlindungan sosial untuk memberikan rasa
aman bagi fakir miskin;
d. kemitraan dan kerja sama antarpemangku kepentingan;
dan/atau
e. koordinasi antara Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah.

7. Pasal 8 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (8) dan ayat (9):

Ayat (1):

Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk


melaksanakan penanganan fakir miskin.

Ayat (3):
72

Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi


lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kegiatan statistik untuk melakukan pendataan.

Ayat (4):

Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan


yang dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kegiatan statistik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).

Ayat (7):

Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)


dilaksanakan oleh potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang
ada di kecamatan, kelurahan atau desa.

Ayat (8):

Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7)


dilaporkan kepada Bupati/Walikota.

Ayat (9):

Bupati/Walikota menyampaikan hasil verifikasi dan validasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada gubernur untuk
diteruskan kepada Menteri.

8. Pasal 9 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) :

Ayat (3) :

Lurah atau Kepala Desa atau nama lain yang sejenis wajib
menyampaikan pendaftaran atau perubahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Bupati/Walikota
melalui Camat.

Ayat (4):

Bupati/Walikota menyampaikan pendaftaran atau perubahan data


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Gubernur untuk
diteruskan kepada Menteri.

Ayat (5):

Dalam hal diperlukan, Bupati/Walikota dapat melakukan verifikasi


dan validasi terhadap pendaftaran danperubahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
73

9. Pasal 11 :

(1) Data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi yang
disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (9) dan Pasal 9 ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
dasar bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk
memberikan bantuan dan/atau pemberdayaan.
(3) Setiap orang dilarang memalsukan data fakir miskin baik yang
sudah diverifikasi dan divalidasi maupun yang telah ditetapkan
oleh Menteri.

10. Pasal 12 :

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab


mengembangkan potensi diri bagi perseorangan, keluarga,
kelompok, dan/atau masyarakat.
(2) Pengembangan potensi diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui bimbinganmental, spiritual, dan
keterampilan.

11. Pasal 13 :

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab


menyediakan bantuan pangan dan sandang yang layak.

12. Pasal 14 :

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab


menyediakan pelayanan perumahan.

13. Pasal 15 :

a. Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab


menyelenggarakan penyediaan pelayanan kesehatan, baik
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun
rehabilitatif.
b. Pembiayaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
sistem jaminan sosial nasional.

14. Pasal 16 :

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab memberi


bantuan biaya pendidikan atau beasiswa.

15. Pasal 17 :
74

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab


menyediakan akses kesempatan kerja dan berusaha, yang
dilakukan melalui upaya:
a. penyediaan informasi lapangan kerja;
b. pemberian fasilitas pelatihan dan keterampilan;
c. peningkatan akses terhadap pengembangan usaha mikro;
dan/atau
d. penyediaan fasilitas bantuan permodalan.

16. Pasal 18 :

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab


menyelenggarakan pelayanan sosial.
(2) Pelayanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. meningkatkan fungsi sosial, aksesibilitas terhadap pelayanan
sosial dasar, dan kualitas hidup;
b. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat
dalam pelayanan kesejahteraan sosial secara melembaga dan
berkelanjutan;
c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah
dan menangani masalah kemiskinan; dan
d. meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan
sosial.

17. Pasal 27

Penyaluran bantuan kepada fakir miskin diselenggarakan oleh


Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara komprehensif dan
terkoordinasi.

18. Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) :

Ayat (1) :

Dalam penyelenggaraan penanganan fakir miskin, Pemerintah


Daerah Kabupaten/Kota bertugas:
a. memfasilitasi, mengoordinasikan, dan menyosialisasikan
pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program penyelenggaraan
penanganan kemiskinan, dengan memperhatikan kebijakan
provinsi dan kebijakan nasional;
b. melaksanakan pemberdayaan pemangku kepentingan dalam
penanganan fakir miskin pada tingkat kabupaten/kota;
c. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap
kebijakan, strategi, serta program dalam penanganan fakir
miskin pada tingkat kabupaten/kota;
d. mengevaluasi kebijakan, strategi, dan program pada tingkat
kabupaten/kota;
e. menyediakan sarana dan prasarana bagi penanganan fakir
miskin;
75

f. mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam anggaran


pendapatan dan belanja daerah untuk menyelenggarakan
penanganan fakir miskin.

Ayat (2) :

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang menetapkan
kebijakan, strategi, dan program tingkat Kabupaten/Kota dalam
bentuk rencana penanganan fakir miskin di daerah dengan
berpedoman pada kebijakan, strategi, dan program nasional.

D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan


Daerah

Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut dari Alinea


Ketiga dan Keempat Pembukaan UUD Tahun 1945. Alinea Ketiga memuat
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan Alinea Keempat memuat
pernyataan bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk
adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang
bertanggungjawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh
bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selanjutnya Pasal 1 UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia


adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Konsekuensi logis sebagai
Negara kesatuan adalah dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagai
Pemerintah Nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional
tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD Tahun 1945
menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas
Pembantuan. Pemberian otonomi kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi,
76

dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan


dayasaing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam
sistem NKRI.

Pemberian otonomi kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara


kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan
negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh
karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab
akhir penyelenggaraan pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah
Pusat. Untuk itu pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu
kesatuan dengan pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat
dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi,
inovasi, dayasaing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut
di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional
secara keseluruhan.

Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai


otonomi berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan
kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan
hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang
lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya
maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan
kearifan lokal dan sebaliknya, Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik
dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan
kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara
kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan,
dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.

Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu


kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Daerah dan
77

DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan Pemerintahan yang


diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan
Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir
pemerintahan ada di tangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan
yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional, maka
Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh Menteri


Negara dan setiap Menteri bertanggungjawab atas Urusan Pemerintahan tertentu
dalam pemerintahan. Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung
jawab Menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
Konsekuensi Menteri sebagai Pembantu Presiden adalah kewajiban Menteri atas
nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian berkewajiban
membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman
bagi Daerah dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke
Daerah dan menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Presiden
melimpahkan kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian melakukan pembinaan dan
pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian melaksanakan
pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut
diharapkan mampu menciptakan harmonisasi antar Kementerian/Lembaga
Pemerintah Nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.

Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di Pusat yang terdiri atas


lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan pemerintahan
78

Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang diberi
mandat rakyat untuk melaksanakan

Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian


maka DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang
mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda,
anggaran dan pengawasan, sedangkan Kepala Daerah melaksanakan fungsi
pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan
Kepala Daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.

Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara


pemerintahan Daerah, maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas,
wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun
cukup diatur dalam undang-undang ini secara keseluruhan guna memudahkan
pengaturannya secara terintegrasi.

Sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, terdapat Urusan Pemerintahan


yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan
istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan
Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah
Provinsi, dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam
Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar dan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak terkait pelayanan dasar. Untuk Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar ditentukan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.

Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Daerah Provinsi dengan


Daerah Kabupaten/Kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya
akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.
Walaupun Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan
terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah
79

Kabupaten/Kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat


oleh Pemerintah Pusat.

Di samping urusan pemerintahan absolut dan Urusan Pemerintahan


Konkuren, dalam Undang-Undang ini dikenal adanya Urusan Pemerintahan
Umum. Urusan Pemerintahan Umum menjadi kewenangan Presiden sebagai
kepala pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, UUD 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi berdasarkan suku,
agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara,
serta memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan Urusan
Pemerintahan Umum di Daerah melimpahkan kepada Gubernur sebagai Kepala
Pemerintahan Provinsi dan kepada Bupati/Wali Kota sebagai Kepala Pemerintahan
Kabupaten/Kota.

Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan


Daerah, Kepala Daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah
membuat Perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan
Otonomi Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan
dari Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-
batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian Perda yang
ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki
peraturan perundang-undangan. Disamping itu Perda sebagai bagian dari sistem
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda.

Daerah melaksanakan Otonomi Daerah yang berasal dari kewenangan


Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat tanggung jawab
akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka konsekuensi
logisnya kewenangan untuk membatalkan Perda ada di tangan Presiden. Presiden
melimpahkan kewenangan pembatalan Perda Kabupaten/Kota kepada Gubernur
selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Untuk menghindari terjadinya
kesewenang-wenangan dalam pembatalan Perda, maka Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat mengajukan keberatan pembatalan Perda Kabupaten/Kota
80

yang dilakukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat kepada Menteri. Dari
sisi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, keputusan yang diambil oleh Menteri
bersifat final.

Dalam rangka menciptakan tertib administrasi pelaporan Perda, setiap


Perda yang akan diundangkan harus mendapatkan nomor register terlebih dahulu.
Perda Kabupaten/Kota mendapatkan nomor register dari Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat. Dengan adanya pemberian nomor register tersebut akan
terhimpun informasi mengenai keseluruhan Perda yang dibentuk oleh Daerah dan
sekaligus juga informasi Perda secara nasional.

Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa
tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang
bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di Daerah dalam
memajukan daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas Daerah untuk
meningkatkan dayasaing Daerah. Untuk itu perlu adanya kriteria yang obyektif yang
dapat dijadikan pegangan bagi Pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan yang
bersifat inovatif. Dengan cara tersebut inovasi akan terpacu dan berkembang tanpa
ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum.

Pada dasarnya perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditujukan


untuk mendorong lebih terciptanya dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan Daerah dalam menyejahterakan masyarakat, baik melalui peningkatan
pelayanan publik maupun melalui peningkatan dayasaing Daerah. Perubahan ini
bertujuan untuk memacu sinergi dalam berbagai aspek dalam penyelenggaraan
pemerintahan Daerah dengan Pemerintah Pusat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 melakukan pengaturan yang bersifat


afirmatif yang dimulai dari pemetaan Urusan Pemerintahan yang akan menjadi
prioritas Daerah dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan
tersebut akan tercipta sinergi Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian
yang Urusan Pemerintahannya didesentralisasikan ke Daerah. Sinergi Urusan
Pemerintahan akan melahirkan sinergi kelembagaan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah karena setiap Kementerian/Lembaga Pemerintah nonkementerian akan tahu
siapa pemangku kepentingan (stakeholder) dari Kementerian/Lembaga Pemerintah
81

Nonkementerian tersebut di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota secara nasional.


Sinergi Urusan Pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi
dalam perencanaan pembangunan antara Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian dengan Daerah untuk mencapai target Nasional. Manfaat
lanjutannya adalah akan tercipta penyaluran bantuan yang terarah dari
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian terhadap Daerah-Daerah yang
menjadi stakeholder utamanya untuk akselerasi realisasi target Nasional tersebut.

Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya
dukungan personel yang memadai, baik dalam jumlah maupun standar kompetensi
yang diperlukan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. Dengan cara tersebut, Pemerintah Daerah akan mempunyai
birokrasi karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.

Langkah berikutnya adalah adanya jaminan pelayanan publik yang disediakan


Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah wajib
membuat “Maklumat Pelayanan Publik”, sehingga masyarakat di Daerah tersebut
tahu jenis pelayanan publik yang disediakan, bagaimana mendapatkan aksesnya,
serta kejelasan dalam prosedur dan biaya untuk memperoleh pelayanan publik
tersebut serta adanya saluran keluhan manakala pelayanan publik yang didapat tidak
sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

Langkah akhir untuk memperkuat Otonomi Daerah adalah adanya


mekanisme pembinaan, pengawasan, pemberdayaan, serta sanksi yang jelas dan
tegas. Adanya pembinaan dan pengawasan serta sanksi yang tegas dan jelas
tersebut memerlukan adanya kejelasan tugas pembinaan, dan pengawasan dari
Kementerian yang melakukan pembinaan dan pengawasan umum serta
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang melaksanakan
pembinaan teknis. Sinergi antara pembinaan dan pengawasan umum dengan
pembinaan dan pengawasan teknis, akan memberdayakan Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan Daerah.

Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota,


diperlukan peran dan kewenangan yang jelas dan tegas dari Gubernur sebagai
82

Wakil Pemerintah Pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota.

Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang


berhubungan dengan Raperda tentang penanggulangan kemiskinan, sebagai
berikut :
1. Pasal 12 ayat (1) :

Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan


Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;
dan
f. sosial

2. Pasal 236 :

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas


Pembantuan, Daerah membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama kepala Daerah
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi
muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;
dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, huruf F Pembagian Urusan


Pemerintahan Bidang Sosial, Sub Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial,
yaitu:

a. Pemeliharaan anak-anak terlantar.


b. Pendataan dan Pengelolaan data fakir miskin cakupan Daerah
kabupaten/kota.

E. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang


Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
83

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 merupakan pelaksanaan dari


ketentuan Pasal 8, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 35 ayat (3), Pasal 45, dan
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009. Adapun kerangka pemikiran
pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa

Kesejahteraan sosial merupakan suatu kondisi yang harus diwujudkan bagi


seluruh warga negara di dalam pemenuhan kebutuhan material, spiritual, dan
sosial agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Hal ini merupakan salah satu amanat Pembukaan
UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan bahwa negara melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Namun pada kenyataannya permasalahan yang berkaitan dengan
kesejahteraan sosial cenderung meningkat baik kualitas maupun kuantitas. Masih
banyak warga negara belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya karena
kondisinya yang mengalami hambatan fungsi sosial, akibatnya mereka mengalami
kesulitan dalam mengakses sistem pelayanan sosial dan tidak dapat menikmati
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Selain itu penyelenggaraan kesejahteraan sosial juga mengalami


permasalahan sebagai akibat dari belum optimalnya dukungan sumber daya
manusia, peran masyarakat, dan dukungan pendanaan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, diperlukan adanya upaya terarah, terpadu, dan
berkelanjutan baik yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial, sehingga
diharapkan dapat mempercepat terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh
masyarakat.

Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, Pemerintah sangat


membutuhkan peran masyarakat, namun Pemerintah tetap perlu mengatur
tentang peran masyarakat tersebut khususnya mengenai pendaftaran lembaga
yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial dan izin bagi lembaga
84

kesejahteraan sosial asing. Pendaftaran dan perizinan tersebut dimaksudkan


sebagai upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang lebih profesional
dimasa mendatang.

Adapun ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012


yang berhubungan dengan Raperda tentang penanggulangan kemiskinan,
sebagai berikut terdapapat dalam Pasal 51, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk


berperan dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
(2) Peran masyarakat dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. organisasi keagamaan;
d. organisasi sosial kemasyarakatan;
e. lembaga swadaya masyarakat;
f. organisasi profesi;
g. badan usaha;
h. Lembaga Kesejahteran Sosial; dan
i. Lembaga Kesejahteraan Sosial Asing.
(3) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk
mendukung keberhasilan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

F. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan


Upaya Penanggulangan Fakir Miskin

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 merupakan pelaksanaan


ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011. Peraturan Pemerintah
ini dibentuk dengan kerangka pemikiran bahwa Fakir Miskin merupakan suatu
keadaan seseorang yang tidak dapat memenuhi Kebutuhan Dasar sebagai akibat
tidak mempunyai sumber mata pencaharian atau mempunyai sumber mata
pencaharian namun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Untuk dapat mengatasi hal tersebut diperlukan upaya penanganannya


secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan
kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi
kebutuhan dasar setiap warga negara.
85

Upaya penanganan fakir miskin merupakan salah satu amanat dari Pasal
34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara. Namun kenyataannya, jumlah masyarakat yang
tergolong fakir miskin sangat banyak dan tersebar di wilayah perdesaan,
perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, tertinggal/terpencil, atau perbatasan
antarnegara sesuai dengan kondisi demografis dan kondisi geografis wilayah
Indonesia. Kondisi tersebut merupakan salah satu yang menyebabkan fakir miskin
mengalami hambatan dan kesulitan dalam mengakses fasilitas bagi pemenuhan
kebutuhan dasarnya. Selain itu, kondisi pertumbuhan perekonomian Indonesia
belum mencapai pada taraf yang memungkinkan bagi fakir miskin untuk
mempunyai kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya secara mandiri.

Adapun ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013


yang berhubungan dengan Raperda tentang penanggulangan kemiskinan,
sebagai berikut :

1. Pasal 1 angka 2:

Penanganan Fakir Miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan


berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan
kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.

2. Pasal 41 ayat (1):

Bupati/walikota mengoordinasikan pelaksanaan Penanganan Fakir


Miskin pada tingkat kabupaten/kota.

G. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan


Penanggulangan Kemiskinan.

Pembentukan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 didasarkan pada


kerangka pemikiran bahwa kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang
mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang
sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan
86

memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak melalui pembangunan


inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang
bermartabat.

Dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan


langkah-langkah koordinasi secara terpadu lintas pelaku dalam penyiapan
perumusan dan penyelenggaraan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan diperlukan


upaya penajaman yang meliputi penetapan sasaran, perancangan dan
keterpaduan program, monitoring dan evaluasi, serta efektifitas anggaran, perlu
dilakukan penguatan kelembagaan di tingkat nasional dan daerah yang
menangani penanggulangan kemiskinan.

Adapun ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 yang


berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, sebagai berikut :

1. Pasal 1 angka 1 dan angka 2

Angka 1 :

Penanggulangan Kemiskinan adalah kebijakan dan program


pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara
sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan
masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam
rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.

Angka 2 :

Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang


dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, serta
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin
melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan
usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka
meningkatkan kegiatan ekonomi.

2. Pasal 2 ayat (2) :

Arah kebijakan penanggulangan kemiskinan daerah berpedoman


pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.

3. Pasal 15 :
87

Dalam upaya meningkatkan koordinasi penanggulangan


kemiskinan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota, dibentuk Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang selanjutnya disebut
TKPK.

4. Pasal 16 ayat (2) :

Di tingkat kabupaten/kota dibentuk TKPK Kabupaten/Kota, yang


berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Bupati/Walikota.

5. Pasal 17 :

TKPK Provinsi dan Kabupaten/Kota bertugas melakukan koordinasi


penanggulangan kemiskinan di daerah masing-masing sekaligus
mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan sesuai Keputusan Tim Nasional.
88

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN
YURIDIS

4.1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis pada prinsipnya memuat pandangan hidup, kesadaran


dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang terdapat dalam Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945. Peraturan daerah harus memuat norma-norma hukum
yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu idealnya
peraturan daerah dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu
masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan peraturan daerah dalam kenyataan.
Karena itu, cita-cita filosofis yang terkandung dalam peraturan daerah hendaklah
mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat Jawa Barat.

Dalam kaitannya dengan Raperda, maka landasan filosofis harus


mencerminkan :

a. Sila Kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
merupakan landasan filosofis Raperda, karena penyelenggaraan kesejahteraan
sosial antara lain dimaksudkan untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan,
yaitu melaksanakan pembangunan Daerah pada khususnya dan pembangunan
ekonomi nasional pada umumnya.
b. Pasal 18 ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 UUD 1945. Pasal 18 menyebutkan bahwa
NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur,
bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Pemerintahan
89

daerah berhak menetapkan perda dan peraturan-peraturan lain untuk


melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

4.2. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-


ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat, yang mendorong perlu
dibuatnya naskah akademik. Landasan sosiologis juga memuat analisis
kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauhmana tingkah laku sosial itu
sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum yang ingin dicapai.

Landasan sosiologis mensyaratkan setiap norma hukum yang dituangkan


dalam peraturan daerah harus mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat
sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum
masyarakat. Karena itu, dalam konsideran, harus dirumuskan dengan baik
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris, sehingga suatu gagasan
normatif yang dituangkan dalam peraturan daerah benar-benar didasarkan atas
kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian,
norma hukum yang tertuang dalam peraturan daerah kelak dapat dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah masyarakat hukum yang diaturnya.

4.3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-


undangan yang ada kaitannya dengan judul Raperda dan hukum positif.

Landasan yuridis atau normatif suatu peraturan atau kaidah merupakan


bagian dari suatu kaidah hukum tertentu yang di dalam kaidah-kaidah hukum
saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang
demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan hierarkhi kaidah hukum khusus yang
bertumpu pada kaidah hukum umum. Di dalamnya kaidah hukum khusus yang
lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi.
90

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN
PERATURAN DAERAH

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka jangkauan, arah


pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Raperda tentang Penggulangan
Kemiskinan, yang meliputi :

A. Dasar Pertimbangan dan Dasar Hukum Pembentukan Raperda

Dasar pertimbangan pembentukan Raperda tentang Penanggulangan


Kemiskinan adalah :

1. Dalam kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi, multi


sektor dengan beragam karakteristik yang harus segera diatasi karena
menyangku harkat dan martabat manusia, maka penanggulangan
kemiskinan perlu keterpaduan program diantara lembaga dan dunia usaha
serta melibatkan partisipasi masyarakat.

2. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan agar upaya penanggulangan


kemiskinan di Kota Sukabumi dapat berjalan optimal, efektif, efisien,
terprogram secara terpadu, terarah, dan berkelanjutan, maka, perlu
menetapkan Peraturan Daerah Kota Sukabumi tentang Penanggulangan
Kemiskinan.

Untuk dasar hukum pembentukan Raperda, harus mendasarkan diri


pada Lampiran II huruf B.4 angka 39 dan 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, yang menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah
adalah Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan
Daerah dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, serta peraturan
perundang-undangan yang memerintahkan secara langsung pembentukan
91

Peraturan Daerah. Dengan demikian, maka dasar hukum yang menjadi acuan
pembentukan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan, adalah :

1. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945;

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan;

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Upaya


Penanggulangan Fakir Miskin;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan


Kesejahteraan Sosial

8. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan


Penanggulangan Kemiskinan;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan


Kesejahteraan Sosial; dan

10. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Sukabumi Tahun 2005-2025.

B. Ketentuan Umum

Ketentuan umum dalam Raperda dapat meliputi pengertian, ruang


lingkup dan sasaran, asas, kebijakan, serta tujuan.

Pengertian

Dalam Penanggulangan Kemiskinan perlu diuraikan mengenai definisi


yang berisi berisi “pengertian” dan “akronim”, yang dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan
92

melaksanakan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah. Uraian definisi tersebut


disusun tidak terlalu banyak, dan perumusannya dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut :

a. Definisi yang dicantumkan dalam pasal hanya terminologi atau istilah yang
dipergunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal
berikutnya, sedangkan yang tidak berulang, dijadikan materi “penjelasan
pasal”.

b. Terminologi atau istilah yang hanya digunakan satu kali, namun terminologi
atau istilah tersebut diperlukan pengertiannya dalam suatu bab, bagian
atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu dimasukan definisi.

c. Mengingat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih


dari satu, maka masing-masing uraiannya dalam Raperda diberi nomor urut
dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan
tanda baca titik.

Adapun definisi yang digunakan dalam Raperda, antara lain :

1. Daerah Kota yang selanjutnya disebut Daerah adalah Kota Sukabumi.

2. Pemerintah Daerah adalah Walikota sebagai unsur penyelenggara


Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.

3. Wali Kota adalah Walikota Sukabumi.

4. Miskin adalah kondisi dimana seorang tidak mampu memenuhi hak-hak


dasar antara lain kebutuhan pangan, layanan kesehatan, layanan
pendidikan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi,
tanah, sumber daya alam, rasa aman, dan partisipasi.

5. Kemiskinan adalah suatu kondisi sosial ekonomi seseorang atau


sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

6. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami
istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
93

anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga.

7. Hak Dasar adalah Hak Masyarakat yang harus dilindungi oleh Pemerintah
Daerah dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat terutama hak ekonomi, sosial dan budaya.

8. Warga miskin adalah seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan dan atau hak-hak dasarnya.

9. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang langsung atau tidak langsung


mendapatkan manfaat atau dampak dari kebijakan program percepatan
penaggulangan kemiskinan.

10. Penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan program Pemerintah


Daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana dan bersinergi
dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.

11. Rumah Tangga Sasaran adalah rumah tangga yang termasuk dalam
katagori Miskin.

12. Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan


oleh Pemerintah Daerah, dunia usaha, serta masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial,
pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro, serta
program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.

13. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang selanjutnya


disingkat TKPKD adalah wadah koordinasi lintas sektor dan lintas
pemangku kepentingan untuk penanggulangan kemiskinan di Daerah.

14. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang selanjutnya disingkat


SPKD adalah dokumen strategi penanggulangan kemiskinan Kota
Sukabumi yang digunakan sebagai salah satu pedoman penyusunan
rancangan kebijakan pembangunan Daerah di bidang penanggulangan
kemiskinan dalam proses penyusunan RPJMD.
94

15. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD


adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Daerah yang dibahas
dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan
dengan peraturan daerah.

Ruang Lingkup dan Sasaran

Dalam Raperda mengatur klausul mengenai ruang lingkup


penanggulangan kemiskinan, yaitu (a) strategi penanggulangan kemiskinan;
(b) hak, kewajiban, dan tanggung jawab; (c) pendataan kemiskinan; (d) teknis
pelayanan terpadu; (e) program penanggulangan kemiskinan; (f) pelaksanaan
penaggulangan kemiskinan; (g) Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah (TKPKD); (h) pengawasan, monitoring, dan evaluasi; (i) pendanaan;
dan (j) peran serta masyarakat dan dunia usaha.

Sementara ini untuk sasaran penanggulangan kemiskinan dalam


Raperda adalah perorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang
meliputi: (a) penduduk miskin yang termasuk dalam basis data terpadu Tim
Nasional Penanggulangan dan Pengentasan Kemiskinan; dan (b) penduduk
miskin hasil verifikasi Pemerintah Daerah.

Asas

Dalam penanggulangan kemiskinan, Raperda mengamanatkan


dilakukan dengan berasaskan:

a. Kemanusiaan, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus


memberikan perlindungan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk secara
proporsional;

b. keadilan sosial, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus


memberikan keadilan secara proporsional bagi setiap masyarakat di Daerah
tanpa kecuali;
95

c. non diskriminasi, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus


dilakukan atas dasar persamaan tanpa membedakan asal, suku, agama,
ras, dan antargolongan;

d. kesejahteraan, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus


dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin;

e. kesetiakawanan, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus


dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang yang
membutuhkan pertolongan dengan empati dan kasih sayang; dan

f. pemberdayaan, yaitu bahwa dalam penanggulangan kemiskinan harus


dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan kapasitas sumber daya
manusia untuk meningkatkan kemandirian.

Kebijakan

Kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan, meliputi: (a)


penganggaran; (b) integrasi perencanaan; dan (c) penguatan kelembagaan.

Tujuan

Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan bertujuan untuk: (a)


melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan perbaikan
kualitas hidup masyarakat miskin; (b) mengembangkan potensi dan
memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam
pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan
masyarakat; (c) memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha
berskala mikro dan kecil; dan (d) mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi
dan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.

C. Strategi Penanggulangan Kemiskinan


96

Dalam Ketentuan ini diatur strategi penanggulangan kemiskinan di


Daerah, meliputi: (a) pendataan penduduk miskin secara akurat, dan terpadu;
(b) pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin; (c) peningkatan
kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin; (d) pengembangan dan
penjaminan keberlangsungan usaha mikro masyarakat miskin; (e) penguatan
kelembagaan penanggulangan kemiskinan; dan (f) peningkatan dan
pemanfaatan penggunaan teknologi informasi bagi kelembangan
penanggulangan kemiskinan.

D. Program Penanggulangan Kemiskinan

Dalam Ketentuan ini diatur kelompok program dan uraian program


penanggulangan kemiskinan. Kelompok program penanggulangan kemiskinan
terdiri atas: (a) kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga,
bertujuan untuk memenuhi hak dasar, mengurangi beban hidup, dan
memperbaiki kualitas hidup masyarakat miskin; (b) kelompok program
penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, bertujuan
untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok warga
miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-
prinsip pemberdayaan masyarakat; (c) kelompok program penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro, bertujuan untuk
memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha yang berskala
mikro; dan (d) kelompok program-program lainnya yang baik secara langsung
ataupun tidak langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat miskin.

Adapun uraian program dari masing-masing kelompok uraian program


penanggulangan kemiskinan, diuraikan sebagai berikut:

1. Program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, meliputi:

a. bantuan pangan dan sandang;

b. bantuan kesehatan;

c. bantuan pendidikan; dan


97

d. bantuan perbaikan sarana dan prasarana perumahan.

2. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat,


diklasifikasikan berdasarkan:

a. pembangunan infrastruktur pendukung sosial ekonomi di kelurahan;

b. peningkatan kapasitas bagi masyarakat miskin; dan

c. pinjaman modal bagi keluarga miskin, pelaku usaha mikro melalui


lembaga keuangan yang ditunjuk dengan syarat dan ketentuan yang
tidak memberatkan; dan

d. bantuan sosial bagi rumah tangga sangat miskin.

Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat


memiliki kriteria:

a. masyarakat terlibat langsung dalam proses kegiatan;

b. pengelolaan program dilaksanakan melalui dan oleh kelembagaan


masyarakat; dan

c. Pemerintah Daerah memberikan tenaga pendampingan.

3. Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha


ekonomi mikro, dilakukan dengan pemberian bantuan modal usaha yang
meliputi:

a. peningkatan permodalan bagi penduduk Miskin dalam program


pemberdayaan usaha ekonomi mikro;

b. perluasan akses program pinjaman modal murah oleh lembaga


keuangan/perbankan bagi warga miskin;

c. peningkatan pemberian pinjaman dana bergulir; dan

d. peningkatan sarana dan prasarana usaha.

4. Program penanggulangan kemiskinan lainnya, meliputi:

a. program peningkatan kesempatan atas pekerjaan dan penghidupan


yang layak bagi warga miskin;
98

b. program pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan


kesejahteraan hidup; dan

c. program pengembangan infrastruktur penunjang bagi Penanggulangan


Kemiskinan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Selanjutnya untuk mengatur tata cara dan persyaratan pelaksanaan


program penanggulangan kemiskinan, Raperda memberikan kewenangan
kepada Wali Kota untuk membentuk Peraturan Wali Kota.

E. Pelayanan terpadu kemiskinan

Dalam ketentuan ini diatur bahwa teknis pelayanan terpadu


penanggulangan kemiskinan dibentuk secara berjenjang di Daerah dan
kecamatan. Teknis pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan tingkat
Kota disebut Unit Pelaksana Teknis Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu Kota
Sukabumi, dan untuk tingkat kecamatan dibentuk dengan nama Pusat
Kesejahteraan Sosial Kecamatan Kecamatan.

Selanjutnya untuk mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai teknis


pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan Daerah, Raperda memberikan
kewenangan kepada Wali Kota untuk membentuk Peraturan Wali Kota.

F. Verifikasi dan Validasi Data Kemiskinan

Dalam bagian ini diatur hal-hal sebagai berikut:

a. Perangkat Daerah melakukan verifikasi dan validasi data warga miskin


Daerah secara periodik, terpadu dan partisipatif.

b. Verifikasi dan validasi data kemiskinan dilakukan secara langsung dari


tingkat kelurahan sampai tingkat Kota berdasarkan kreteria kemiskinan
yang berlaku secara nasional dan kriteria lokal.

c. Verifikasi dan Validasi data kemiskinan dilaksanakan sekurang-kurangnya


setiap 1 (satu) tahun.

d. Verifikasi dan Validasi data kemiskinan dilakukan oleh perangkat daerah


yang membidangi.
99

e. Hasil verifikasi dan validasi data kemiskinan, ditetapkan dengan Peraturan


Wali Kota.

f. Hasil verifikasi dan validasi data yang sudah ditetapkan dengan dengan
Peraturan Wali Kota ditempatkan/dikelola dalam sistem informasi
terpadu penanggulangan kemiskinan daerah serta dijadikan sebagai dasar
intervensi program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kota
Sukabumi; dan

g. memberikan kewenangan kepada Wali Kota untuk membentuk Peraturan


Wali Kota mengenai tata cara penentuan dan penetapan kriteria warga
miskin.

Kemudian dalam bagian ini juga diatur klausul mengenai:

a. Larangan kepada setiap orang memberikan keterangan data palsu


dan/atau memalsukan data kemiskinan;

b. Verifikasi dan validasi data kemiskinan harus dilaksanakan secara jujur,


adil, obyektif, transparan, dan akuntabel; dan

c. Pembebanan biaya verifikasi dan validasi kemiskinan pada APBD serta


sumber anggaran lain yang sah.

G. Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan

Dalam ketentuan ini diatur bahwa dalam penanggulangan kemiskinan


dilaksanakan secara bertahap, terpadu, konsisten dan keberlanjutan sesuai
skala prioritas dengan mempertimbangkan kemampuan sumber daya
Pemerintah Kota Sukabumi dan kebutuhan warga miskin. Penanggulangan
kemiskinan tersebut dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai kewenangan
melaksanakan tugas pokok dan fungsi penanggulangan kemiskinan, yang
dikoordinasikan oleh TKPKD Kota Sukabumi.

H. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Dalam ketentuan ini diatur hal-hal sebagai berikut:


100

a. Dalam upaya meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan,


dibentuk TKPKD;

b. TKPKD berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Wali Kota;

c. TKPKD terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, masyarakat, dunia usaha, dan
pemangku kepentingan lainnya;

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai TKPKD diatur dalam Peraturan Wali Kota.

I. Hak dan Kewajiban

1. Hak dan Kewajiban Masyarakat Miskin

Dalam klausul ini diatur bahwa setiap masyarakat miskin berhak


mendapatkan pemenuhan hak dasar dalam mendapatkan:

a. kecukupan pangan, sandang, dan papan;

b. pelayanan kesehatan sesuai ketentuan;

c. pelayanan pendidikan sesuai dengan ketentuan

d. ketrampilan berusaha, peluang pekerjaan, dan pengembangan usaha;

e. kemudahan untuk memperoleh kebutuhan air bersih dan sanitasi yang


baik;

f. lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

g. perlindungan sosial, rasa aman dari perlakuan atau ancaman dan tindak
kekerasan; dan

h. kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan


politik.

Selanjutkan diatur pula ketentuan kewajiban warga miskin dalam


mengusahakan peningkatan taraf kesejahteraannya untuk memenuhi hak-
hak dasar, serta berperan aktif dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Kemudian ketentuan mengenai kewajiban untuk menaati norma, etika dan
peraturan perundang undanga dalam memenuhi hak-hak dasar.

2. Kewajiban Pemerintah Daerah


101

Dalam klausul ini diatur hal-hal sebagai berikut:

a. Pemerintah Daerah wajib mengupayakan terpenuhinya hak-hak dasar


warga miskin serta menyusun strategi kebijakan penanggulangan
kemiskinan dan merealisasikan kegiatan penanggulangan kemiskinan.

b. Kewajiban Pemerintah Daerah dalam mengupayakan terpenuhinya


hak-hak dasar warga miskin serta menyusun strategi kebijakan
penanggulangan kemiskinan dan merealisasikan kegiatan
penanggulangan kemiskinan tersebut, disesuaikan dengan kemampuan
keuangan Daerah dan sumber daya yang dimiliki.

3. Kewajiban Masyarakat

Dalam klausul ini diatur kewajiban masyarakat untuk turut serta


bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak warga miskin, berpartisipasi
secara aktif dalam peningkatan kesejahteraa dan kepedulian terhadap
warga miskin dengan meningkatkan kepedulian sosial, dan pemberian
kewenangan kepada Wali Kota untuk pengatur lebih lanjut mengenai tata
cara menyalurkan kepedulian kepada warga miskin.

4. Kewajiban Dunia Usaha

Dalam klausul ini diatur kewajiban pengusaha dan/atau dunia usaha,


baik swasta, Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik dalam
penanggulangan kemiskinan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian
dan pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan dan/atau
pemanfaatan Program Kemitraan dan bina lingkungan untuk mendukung
program penanggulangan kemiskinan. Adapun tata cara dan mekanisme
penggunaan dan pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan
dan/atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan tersebut berpedoman
kapada ketentuan peraturan perundang-undangan.

J. Monitoring dan Evaluasi

Dalam klausul ini diatur bahwa Wali Kota melaksankan


pendampingan, pengawasan monitoring dan evaluasi terhadap upaya
102

penanggulangan kemiskinan di Daerah, yang tata caranya diatur lebih


lanjut dalam Peraturan Wali Kota.

K. Pendanaan

Klausula ini mengatur bahwa pendanaan bagi pelaksanaan program


penanggulangan kemiskinan, bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan


dan Belanja Negara

b. Dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Dana Program Kemitraan


dan Bina Lingkungan bagi Badan Usaha Milik Daerah;

c. Pertisipasi Masyarakat; dan /atau

d. sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat.

L. Peranserta Masyarakat dan Dunia Usaha

Dalam klausul ini diatur hal-hal sebagai berikut:

1. Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berperan aktif


dalam penanggulangan kemiskinan baik yang dilaksanakan Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dunia usaha maupun masyarakat
dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, monitoring dan
evaluasi.

2. Masyarakat meliputi perorangan, keluarga, kelompok, organisasi sosial,


yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, unsur
dunia usaha, dan organisasi kemasyarakatan.

3. Unsur dunia usaha, berperan aktif dalam penyediaan dana dan/atau barang
dan/atau jasa untuk penanggulangan kemiskinan sebagai perwujudan dari
tanggung jawab sosial perusahaan serta Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan bagi perusahaan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha
Milik Daerah.
103

4. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh masyarakat,


dunia usaha, wajib diselaraskan dengan strategi dan program
penanggulangan kemiskinan dan berkoordinasi dengan TKPKD.

M. Pengaduan Masyarakat

Dalam klausul ini diatur bahwa masyarakat dapat mengadukan terkait


pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Pengaduan masyarakat
tersebut disampaikan secara tertulis, SMS dan atau via aplikasi e-LAPOR
kepada TKPKD dan/atau SKPD yang membidangi, melalui kelurahan dan
kecamatan, dengan mencantumkan identitas diri dan permasalahan yang
jelas. TKPKD dan/atau SKPD harus memberikan jawaban atas pengaduan
tersebut, secara obyektif dan transparan.

N. Penyidikan

Dalam klausul ini diatur bahwa :

1. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah


diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang pelanggaran peraturan Daerah, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku

2. Penyidik tindak pidana di bidang pelanggaran peraturan Daerah adalah


pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah
yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan

3. Wewenang penyidik adalah: (1) menerima, mencari, mengumpulkan, dan


meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas; (2) meneliti,
mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak pidana; (3) meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi
atau Badan sehubungan dengan tindak pidana; (4) memeriksa buku-buku,
catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak
104

pidana; (5) melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti


pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; (6) meminta bantuan tenaga ahli
dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana; (7) menyuruh
berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang
dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e; (8)
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana; (9) memanggil
orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi; (10) menghentikan penyidikan; dan/atau (11) melakukan tindakan
lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut hukum
yang dapat dipertanggungjawabkan.

4. Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan dan


menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.

O. Ketentuan Pidana

Dalam klausul ini diatur ketentuan pidana atas pelanggaran atas


larangan memberikan keterangan data palsu dan/atau memalsukan data
kemiskinan, yang sanksinya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

P. Ketentuan Penutup

Ketentuan ini mengatur hal mengenai :

a. Jangka waktu pembentukan dan penetapan Peraturan Pelaksanaan


Peraturan Daerah; dan
b. Datum berlakunya Peraturan Daerah.
105
106

BAB VI
PENUTUP

6. 1. Kesimpulan

1. Pengaturan mengenai penanggulangan kemiskinan mutlak harus segera


ditetapkan, sebagai salah satu instrumen yang ditujukan untuk mewujudkan
kesejahteraan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

2. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk


memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Dalam pengertian “negara”,
termasuk di dalamnya pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten
dan kota. Hal ini jelas terlihat dari adanya kewajiban dan tanggungjawab
pemerintah dan pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 Tentang
Pelaksanaan Upaya Penanggulangan Fakir Miskin, serta Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

3. Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu bidang pembangunan


sosial yang sangat berkaitan erat dengan pencapaian Indeks Pembangunan
Manusia sebagaimana telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah Kota Sukabumi.

6. 2. Saran

1. Pengaturan Penanggulangan Kemisikinan, harus mengakomodasikan dan


diharmonisasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pemerintahan Daerah, kesejahteraan sosial, penagangan fakir miskis, serta
rencana nasional dan provinsi mengenai penanggulangan kemiskinan.

2. Perlu dilakukan sosialisasi dan koordinasi kepada Pemerintah dan masyarakat


guna menjaring aspirasi yang mendukung perwujudan penanggulangan
kemiskinan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
107
108

DAFTAR PUSTAKA

A. Referensi

1. DM Mustamin, Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Type-type Negara


Modern, Yasm Matutu, Ujung Pandang, 1977

2. B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,


Bandung, 2000

3. Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan


Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004

4. Murtir Jeddawi, Memacu Investasi di Era Ekonomi Daerah, Kajian Beberapa


Perda tentang Penanaman Modal, UII Pres, Yogyakarta, 2005

5. Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif, http://www.ketut.web.id/2012/05/


kemiskinan-absolut-dan-kemiskinan.html

6. Eka Sakti Wahyuningtyas, Memahami Kebutuhan Dasar Manusia,


http://ekasaktiwahyuningtyas.blogspot.com/2013/02/vbehaviorurldefaultvmlo
.html

7. Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jambatan, Jakarta,


Cet. Kedua, 1952,

8. Oemar Senoajdji, Peradilan bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980,


hlm. 24-58

9. Sjachran Basah, Ilmu Negara, Citra Bakti, Bandung, 1992, hlm. 3

10. Mohammad Hatta, Pancasila Jalan Lurus, Angkasa, Bandung, 1966

11. Soekarno, Lahirnya Pantja-Sila, Pidato di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai


(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada sidang yang pertama
pada tanggal 1 Juni 1945, yang selanjutnya dibukukan oleh Penerbit Tridaja
pada tahun 1947

12. Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994
109

B. Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);

3. Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235);

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan


Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5294);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya


Penanggulangan Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5449);

8. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan


Penanggulangan Kemiskinan;
110
111

LAMPIRAN
112

RANCANGAN

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

NOMOR TAHUN 2018

TENTANG

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALI KOTA SUKABUMI,

Menimbang : a. bahwa kemiskinan merupakan masalah yang bersifat


multi dimensi, multi sektor dengan beragam
karakteristik yang harus segera diatasi karena
menyangku harkat dan martabat manusia, maka
penanggulangan kemiskinan perlu keterpaduan
program diantara lembaga dan dunia usaha serta
melibatkan partisipasi masyarakat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan agar upaya
penanggulangan kemiskinan di Kota Sukabumi dapat
berjalan optimal, efektif, efisien, terprogram secara
terpadu, terarah, dan berkelanjutan, maka, perlu
menetapkan Peraturan Daerah Kota Sukabumi
tentang Penanggulangan Kemiskinan
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Kota Kecil dalam
Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal
14 Agustus 1950) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 tentang
Pengubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun
1950 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 551);
113

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang


Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
4. Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5294);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Upaya Penanggulangan Fakir Miskin
melalui Pendekatan Wilayah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5449);
9. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan;
10. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 7 Tahun
2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah Kota Sukabumi Tahun 2005-2025 (Lembaran
Daerah Kota Sukabumi Tahun 2016 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Daerah Kota Sukabumi Nomor
12);

11. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 9 Tahun


2016 tentang Pembentukan Perangkat Daerah Kota
114

Sukabumi (Lembaran Daerah Kota Sukabumi Tahun


2016 Nomor 9);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA
SUKABUMI
dan
WALIKOTA SUKABUMI

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENANGGULANGAN


KEMISKINAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah Kota yang selanjutnya disebut Daerah adalah
Kota Sukabumi.
2. Pemerintah Daerah adalah Walikota sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
3. Wali Kota adalah Walikota Sukabumi.
4. Miskin adalah kondisi dimana seorang tidak mampu
memenuhi hak-hak dasar antara lain kebutuhan
pangan, layanan kesehatan, layanan pendidikan,
pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan
sanitasi, tanah, sumber daya alam, rasa aman, dan
partisipasi.
5. Kemiskinan adalah suatu kondisi sosial ekonomi
seseorang atau sekelompok orang yang tidak
terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

6. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat


yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan
anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
115

anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke


atas atau ke bawah sampai derajat ketiga.
7. Hak Dasar adalah Hak Masyarakat yang harus
dilindungi oleh Pemerintah Daerah dalam rangka
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat terutama hak ekonomi, sosial dan
budaya.
8. Warga miskin adalah seseorang atau kelompok orang
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dan atau
hak-hak dasarnya.
9. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang langsung
atau tidak langsung mendapatkan manfaat atau
dampak dari kebijakan program percepatan
penaggulangan kemiskinan.
10. Penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan
program Pemerintah Daerah yang dilakukan secara
sistematis, terencana dan bersinergi dengan dunia
usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin dalam rangka meningkatkan
derajat kesejahteraan rakyat.
11. Rumah Tangga Sasaran adalah rumah tangga yang
termasuk dalam katagori Miskin.
12. Program penanggulangan kemiskinan adalah
kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah,
dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan
sosial, pemberdayaan masyarakat,
pemberdayaan usaha ekonomi mikro, serta program
lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.
13. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
yang selanjutnya disingkat TKPKD adalah wadah
koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku
kepentingan untuk penanggulangan kemiskinan di
Daerah.
14. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang
selanjutnya disingkat SPKD adalah dokumen strategi
penanggulangan kemiskinan Kota Sukabumi yang
digunakan sebagai salah satu pedoman penyusunan
rancangan kebijakan pembangunan Daerah di bidang
penanggulangan kemiskinan dalam proses
penyusunan RPJMD.

15. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,


selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan Daerah yang dibahas dan
116

disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,


dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup dan Sasaran
Pasal 2
Ruang lingkup penanggulangan kemiskinan meliputi:
a. strategi penanggulangan Kemiskinan;
b. hak, kewajiban, dan tanggung jawab;
c. pendataan Kemiskinan;
d. teknis pelayanan terpadu;
e. program penanggulangan kemiskinan;
f. pelaksanaan penaggulangan kemiskinan;
g. TKPKD;
h. pengawasan, monitoring, dan evaluasi;
i. pendanaan; dan
j. peran serta masyarakat dan dunia usaha.

Pasal 3
Sasaran penanggulangan Kemiskinan adalah
perorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat
yang meliputi:
a. penduduk Miskin yang termasuk dalam basis data
terpadu Tim Nasional Penanggulangan dan
Pengentasan Kemiskinan; dan
b. penduduk Miskin hasil verifikasi Pemerintah Daerah.

Bagian Ketiga
Asas
Pasal 4
Penanggulangan Kemiskinan, dilaksanakan
berdasarkan asas:
a. kemanusiaan;
b. keadilan sosial;
c. non diskriminasi;
d. kesejahteraan;
e. kesetiakawanan; dan
f. pemberdayaan.

Bagian Keempat
117

Kebijakan
Pasal 5
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan meliputi:
a. penganggaran;
b. integrasi perencanaan; dan
c. penguatan kelembagaan.

Bagian Kelima
Tujuan
Pasal 6
Penanggulangan Kemiskinan, bertujuan untuk:
a. melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan
beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup
Masyarakat Miskin;
b. mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas
kelompok Masyarakat Miskin untuk terlibat dalam
pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
pemberdayaan masyarakat;
c. memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi
pelaku usaha berskala mikro dan kecil; dan
d. mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi dan
sosial untuk meningkatkan kesejahteraan
Masyarakat Miskin.

BAB II
STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Pasal 7
Strategi Penanggulangan Kemiskinan meliputi:
a. pendataan penduduk miskin secara akurat, dan
terpadu;
b. pengurangan beban pengeluaran Masyarakat Miskin;
c. peningkatan kemampuan dan pendapatan
Masyarakat Miskin;
d. pengembangan dan penjaminan keberlangsungan
usaha mikro Masyarakat Miskin;
e. penguatan kelembagaan Penanggulangan
Kemiskinan; dan
f. peningkatan dan pemanfaatan penggunaan teknologi
informasi bagi kelembangan penanggulangan
Kemiskinan.

BAB IV
118

PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN


Pasal 8
Program penanggulangan kemiskinan terdiri dari:
a. kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis
keluarga, bertujuan untuk memenuhi hak dasar,
mengurangi beban hidup, dan memperbaiki kualitas
hidup Masyarakat Miskin;
b. kelompok program Penanggulangan Kemiskinan
berbasis pemberdayaan masyarakat, bertujuan
untuk mengembangkan potensi dan memperkuat
kapasitas kelompok warga miskin untuk terlibat
dalam pembangunan yang didasarkan pada
prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat;
c. kelompok program Penanggulangan Kemiskinan
berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro,
bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan
ekonomi bagi pelaku usaha yang berskala mikro; dan
d. kelompok program-program lainnya yang baik secara
langsung ataupun tidak langsung dapat
meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan
Masyarakat Miskin.

Pasal 9
(1) Program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a,
meliputi:
e. bantuan pangan dan sandang;
f. bantuan kesehatan;
g. bantuan pendidikan; dan
h. bantuan perbaikan sarana dan prasarana
perumahan.
(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan program
bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam peraturan Wali Kota.

Pasal 10
(1) Program Penanggulangan Kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf b, dapat diklasifikasikan
berdasarkan:
a. pembangunan infrastruktur pendukung sosial
ekonomi di kelurahan;
b. peningkatan kapasitas bagi masyarakat miskin; dan
119

c. pinjaman modal bagi keluarga Miskin, pelaku usaha


mikro melalui lembaga keuangan yang ditunjuk
dengan syarat dan ketentuan yang tidak
memberatkan; dan
d. bantuan sosial bagi rumah tangga sangat Miskin.
(2) Program penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat memiliki kriteria:
a. masyarakat terlibat langsung dalam proses kegiatan;
b. pengelolaan program dilaksanakan melalui dan oleh
kelembagaan masyarakat; dan
c. Pemerintah Daerah memberikan tenaga
pendampingan.
(3) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan program
penanggulangan Kemiskinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan Wali Kota.

Pasal 11
(1) Program Penanggulangan Kemiskinan berbasis
pemberdayaan usaha ekonomi mikro sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, dilakukan dengan
pemberian bantuan modal usaha yang meliputi:
a. peningkatan permodalan bagi penduduk Miskin
dalam program pemberdayaan usaha ekonomi mikro;
b. perluasan akses program pinjaman modal murah
oleh lembaga keuangan/perbankan bagi warga
miskin;
c. peningkatan pemberian pinjaman dana bergulir; dan
d. peningkatan sarana dan prasarana usaha.
(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan program
Penanggulangan Kemiskinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan Wali Kota.

Pasal 12
(1) Program Penanggulangan Kemiskinan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d, meliputi:
a. program peningkatan kesempatan atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi warga miskin;
b. program pemberdayaan masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan hidup; dan
120

c. program pengembangan infrastruktur penunjang


bagi Penanggulangan Kemiskinan dan pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan program
penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota.

BAB V
PELAYANAN TERPADU KEMISKINAN
Pasal 13
(1) Teknis pelayanan terpadu Penanggulangan Kemiskinan
dibentuk secara berjenjang di Daerah dan kecamatan.
(2) Teknis pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan
tingkat Kota disebut Unit Pelaksana Teknis Sistem
Layanan dan Rujukan Terpadu atau disingkat UPT SLRT
Kota Sukabumi dan untuk Tingkat kecamatan dibentuk
dengan nama Pusat Kesejahteraan Sosial Kecamatan
atau PUSKESOS Kecamatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelayanan
terpadu penanggulangan Kemiskinan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan Wali Kota.

BAB VI
VERIFIKASI DAN VALIDASI DATA KEMISKINAN
Pasal 21
(2) Perangkat Daerah melakukan verifikasi dan validasi
data warga miskin Daerah secara periodik, terpadu dan
partisipatif.
(3) Verifikasi dan validasi data kemiskinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung dari
tingkat kelurahan sampai tingkat Kota berdasarkan
kreteria kemiskinan yang berlaku secara nasional dan
kriteria lokal.
(4) Verifikasi dan Validasi data sebagaimana dimaksud ayat
(1) pasal ini dilaksanakan sekurang-kurangnya setiap 1
(satu) tahun.
(5) Verifikasi dan Validasi data sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh perangkat daerah yang
membidangi.
(6) Hasil verifikasi dan validasi data sebagaimana ayat (2)
Pasal ini, akan ditetapkan kemudian oleh Peraturan
Kepala Daerah.
121

(7) Hasil verifikasi dan validasi data yang sudah ditetapkan


dengan Keputusan Kepala Daerah akan
ditempatkan/dikelola dalam sistem informasi
terpadu penanggulangan kemiskinan daerah serta
dijadikan sebagai dasar intervensi program dan
kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kota
Sukabumi
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan
dan penetapan kriteria warga miskin dan
pembentukan Tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), (3), dan (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Kepala Daerah

Pasal 22
(1) Setiap orang dilarang memberikan keterangan data
palsu dan/atau memalsukan data kemiskinan.
(2) Verifikasi dan validasi data kemiskinan harus
dilaksanakan secara jujur, adil, obyektif, transparan,
dan akuntabel.
(3) Biaya verifikasi dan validasi kemiskinan dibebankan
kepada APBD serta sumber anggaran lain yang sah.

BAB VII
PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Pasal 23
(1) Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara
bertahap, terpadu, konsisten dan keberlanjutan sesuai
skala prioritas dengan mempertimbangkan kemampuan
sumber daya Pemerintah Kota Sukabumi dan
kebutuhan warga miskin.
(2) Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan oleh SKPD
yang mempunyai kewenangan melaksanakan tugas
pokok dan fungsi penanggulangan kemiskinan.
(3) Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan
dikoordinasikan oleh TKPKD Kota Sukabumi
BAB VIII
TIM KOORDINASI
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH
Pasal 24
(1) Dalam upaya meningkatkan koordinasi
penanggulangan kemiskinan, dibentuk TKPKD.
(2) TKPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkedudukan di bawah dan tanggung jawab kepada
Wali Kota.
122

(3) TKPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (l) terdiri dari:


a. unsur Pemerintah Daerah;
b. masyarakat;
c. dunia usaha; dan
d. pemangku kepentingan lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai TKPKD diatur dalam
Peraturan Wali Kota.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Masyarakat Miskin
Pasal 25
Setiap Masyarakat Miskin berhak mendapatkan
pemenuhan hak dasar dalam mendapatkan:
a. kecukupan pangan, sandang, dan papan;
b. pelayanan kesehatan sesuai ketentuan;
c. pelayanan pendidikan sesuai dengan ketentuan
d. ketrampilan berusaha, peluang pekerjaan, dan
pengembangan usaha;
e. kemudahan untuk memperoleh kebutuhan air bersih
dan sanitasi yang baik;
f. lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
g. perlindungan sosial, rasa aman dari perlakuan atau
ancaman dan tindak kekerasan; dan
h. kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik.

Pasal 26
(1) Warga miskin wajib mengusahakan peningkatan taraf
kesejahteraannya untuk memenuhi hak-hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 serta berperan
aktif dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
(2) Dalam memenuhi hak-hak dasarnya masyarakat miskin
wajib menaati norma, etika dan peraturan
perundang undangan.

Bagian Kedua
123

Kewajiban Pemerintah Daerah


Pasal 27
(1) Pemerintah Daerah wajib:
a. mengupayakan terpenuhinya hak-hak dasar warga
miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dan
b. menyusun strategi kebijakan Penanggulangan
Kemiskinan dan merealisasikan kegiatan
penanggulangan kemiskinan.
(2) Kewajiban Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan kemampuan
keuangan Daerah dan sumber daya yang dimiliki.

Bagian Ketiga
Kewajiban Masyarakat
Pasal 28
(1) Masyarakat wajib secara aktif untuk:
a. turut serta bertanggung jawab terhadap pemenuhan
hak warga miskin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25;
b. berpartisipasi secara aktif dalam peningkatan
kesejahteraan dan kepedulian terhadap warga
miskin dengan meningkatkan kepedulian sosial.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyalurkan
kepedulian kepada warga miskin diatur dalam
Peraturan Kepala Daerah

Bagian Keempat
Kewajiban Dunia Usaha
Pasal 29
(1) Kewajiban pengusaha dan/atau dunia usaha, baik
swasta, Badan Usaha Milik Negara maupun Badan
Usaha Milik diwujudkan dalam bentuk pemberian dan
pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan
dan/atau pemanfaatan Program Kemitraan dan bina
lingkungan untuk mendukung program
penanggulangan kemiskinan.
124

(2) Tata cara dan mekanisme penggunaan dan pemanfaatan


dana tanggung jawab sosial perusahaan dan/atau
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan berpedoman
kapada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB IX
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 30
(1) Walikota melaksankan pendampingan, pengawasan
monitoring dan evaluasi terhadap upaya
penanggulangan kemiskinan di daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pendampingan, pengawasan, monitoring dan evaluasi
sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam Peraturan
Bupati.

BAB X
PENDANAAN
Pasal 31
Pendanaan bagi pelaksanaan program penanggulangan
kemiskinan, bersumber dari:
e. APBD Kota Sukabumi, dan atau APBN
f. Dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Dana
Program Kemitraan Dan Bina Lingkungan (PKBL) bagi
BUMD;
g. Pertisipasi Masyarakat; dan /atau
h. sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat.

BAB XI
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA
Pasal 32
(1) Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam penanggulangan
kemiskinan baik yang dilaksanakan Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota Sukabumi, dunia
usaha maupun masyarakat dari proses perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi.
125

(2) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


meliputi perorangan, keluarga, kelompok, organisasi
sosial, yayasan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, unsur dunia usaha, dan organisasi
kemasyarakatan.

Pasal 33
(1) Unsur dunia usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal
31 ayat (2), berperan aktif dalam penyediaan dana
dan/atau barang dan/atau jasa untuk penanggulangan
kemiskinan sebagai perwujudan dari tanggung jawab
sosial perusahaan serta Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan bagi perusahaan BUMN atau BUMD.
(2) Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan
oleh masyarakat, dunia usaha, wajib diselaraskan
dengan strategi dan program penanggulangan
kemiskinan dan berkoordinasi dengan TKPKD.

BAB XII
PENGADUAN MASYARAKAT
Pasal 34
(1) Masyarakat dapat mengadukan terkait pelaksanaan
program penanggulangan kemiskinan.
(2) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan secara tertulis, SMS dan atau via
aplikasi e-LAPOR kepada TKPKD dan atau SKPD yang
membidangi melalui kelurahan dan kecamatan, dengan
mencantumkan identitas diri dan permasalahan yang
jelas.
(3) TKPKD dan/atau SKPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus memberikan jawaban atas pengaduan
tersebut, secara obyektif dan transfaran.

BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 35
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai
Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana
di bidang pelanggaran peraturan Daerah ini,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang berlaku.
126

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah


pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak
pidana agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
mengenai orang pribadi atau Badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
dengan tindak pidana;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak
pidana;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan
bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-
dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap
bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa
sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak
pidana;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk
kelancaran penyidikan tindak pidana menurut
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
127

Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam


Undang-Undang.

BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1), dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Peraturan pelaksanaan peraturan Daerah ini ditetapkan
paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak peraturan
Daerah ini diundangkan.

Pasal 38
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan
peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam
lembaran
Daerah Kota Sukabumi.

Ditetapkan di Sukabumi
pada tanggal 27 2018

WALI KOTA SUKABUMI,


ACHMAD FAHMI
128

Diundangkan di Sukabumi
pada tanggal 27 Agustus 2018

Plt. SEKRETARIS
DAERAH
KOTA SUKABUMI,
SALEH MAKBULLAH

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2018 NOMOR

NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI PROVINSI


JAWA BARAT : 3/111/2018
129

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI
NOMOR TAHUN2018
TENTANG
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
I. UMUM
Kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang mendesak
dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang
sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban
dan memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak melalui
pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk
mewujudkan kehidupan yang bermartabat.
Dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan, maka
perlu dilakukan langkah-langkah koordinasi secara terpadu lintas
pelaku dalam penyiapan perumusan dan penyelenggaraan kebijakan
penanggulangan kemiskinan.
Untuk melakukan penanggulangan kemiskinan diperlukan
upaya penjaminan yang meliputi penetapan sasaran, perancangan
dan keterpaduan program, monitoring dan evaluasi, serta efektifitas
anggaran, perlu dilakukan penguatan kelembagaan yang menangani
penanggulangan kemiskinan.
Dengan telah diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 15
Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2010 tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan
Kabupaten/Kota, maka Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri tersebut merupakan landasan bagi Kota Sukabumi
dalam menangani penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka memberikan pedoman penanggulangan
kemiskinan di Kota Sukabumi, maka dipandang perlu membentuk
Peraturan Kota Sukabumi tentang Penanggulangan Kemiskinan di
Kota Sukabumi.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
130

Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
131

Pasal 24
Huruf a
Program pemberdayaan masyarakat semisal Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.

Anda mungkin juga menyukai