Anda di halaman 1dari 8

Seminar Nasional “Membangun Peradaban Generasi Emas melalui Literasi”

Sebuah epilog pendek:

Membaca, Membaca, Membaca,


lalu Menulislah!

Marilah kita memulai epilog pendek perihal “Membaca, Membaca,


Membaca, lalu Menulislah!” dengan kutipan-kutipan di bawah ini.

“Membaca membuat manusia penuh, berdiskusi membuat manusia


siap, dan menulis membuat manusia cermat,” pesan William Francis Bacon,
filsuf abad XVI.

Gus tf Sakai, penerima SEA Write Award tahun 2004 dari Kerajaan
Thailand lewat karya Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, mengaku,
setiap hari 60 persen waktunya untuk membaca. Istilah ini mestilah dianggap
berada di antara tanda kutip: “membaca.” Yang ia maksud dengan membaca
tidak saja membaca buku-buku beragam kategori, tetapi juga membaca
fenomena masyarakat. Ketika dirinya tersugesti untuk menulis
pascamembaca, ia baru menulis.

Di sepanjang hampir seluruh jenjang pendidikan, kita diajari


membaca terutama untuk mencari informasi, bukan untuk memahami bahwa
membaca berpengaruh positif terhadap kreativitas. Kita banyak diajari “cara
ampuh untuk membaca”, bukan “keampuhan membaca”. (Jordan E. Ayan)

Dan kutipan-kutipan itu memang seharusnya diberdirikan (dijejer) begitu saja


tanpa harus dikomentari atau ditafsiri. Komentar dapat berlebihan, tafsir
memungkinkan melenceng. Nah, membiarkannya seperti apa adanya kutipan di
atas adalah membiarkan ruang merdeka bagi setiap orang, setiap pikiran, untuk
mengomentari dan menafsiri. Memerdekakan setiap individu!

******
Apa masih diperlukan definisi membaca, ketika sebagian besar dari kita
sudah memahami manfaat membaca. Membaca itu penting, sebagian besar kita
akan mengiyakannya. Membaca perlu ditanamkan kepada anak sejak dini, banyak
orang menyepakatinya. Membaca perlu dilatihkan, banyak orang yang sepakat.
Membaca perlu ditingkatkan, banyak orang mendukungnya. Membaca memang
penting!
Mengutip buku Quantum Reading: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk
Merangsang Munculnya Potensi Membaca, konon, orang yang rajin membaca
buku dapat terhindar dari kerusakan jaringan otak di masa tua. Ini menurut riset
mutakhir tentang otak. Bahkan, secara tegas, penelitian itu menyatakan bahwa

1
membaca buku dapat membantu seseorang untuk menumbuhkan saraf-saraf baru
di otak.
Sebelumnya ada teori bahwa menumbuhkan saraf-saraf baru di otak hanya
berlangsung dari usia dini hingga tujuh tahun. Memang, ini benar. Namun, teori baru
mengatakan bahwa hingga akhir hayat, seorang manusia tetap masih mampu
menumbuhkan saraf baru dan membentuk jaringan saraf baru. Membaca, salah
satunya, bermanfaat untuk hal yang satu ini.
Jordan E. Ayan mengatakan, “Salah satu tujuan terpenting membaca adalah
mengobarkan gagasan dan upaya kreatif. Peristiwa membaca yang terbaik pada
hakikatnya adalah siklus hidup mengalirnya ide pengarang ke dalam diri kita, dan
pada gilirannya ide kita mengalir balik ke seluruh penjuru dunia dalam bentuk benda
yang kita hasilkan, pekerjaan yang kita lakukan, dan orang-orang yang terkait
dengan kita”.
Arthur Schopenhauer, seorang ahli filsafat Jerman, tahun 1851 menulis,
“Membaca setara dengan berpikir menggunakan pikiran orang lain, bukan pikiran
sendiri.” Melalui membaca, kita dapat menyelami pikiran dan pengalaman orang
lain, lalu menambahkan pikiran dan pengalaman orang lain tersebut ke dalam
pikiran dan pengalaman kita sendiri.
Beberapa manfaat membaca, menurut Jordan E. Ayan, di antaranya adalah:
1. membaca menambah kosakata dan pengetahuan akan tata bahasa dan
sintaksis. Yang lebih penting lagi, membaca memperkenalkan kita pada
banyak ragam ungkapan kreatif, dan dengan demikian mempertajam
kepekaan linguistik dan kemampuan menyatakan perasaan. Dengan
membaca, kita belajar mengenai metafora, implikasi, persuasi, sifat nada,
dan banyak unsur ekspresi lain yang semuanya penting bagi segala jenis
seniman, pelaku bisnis, dan penemu.
2. Banyak buku dan artikel yang mengajak kita untuk berinstropeksi dan
melontarkan pertanyaan serius mengenai nilai, perasaan, dan hubungan kita
dengan orang lain. Buku-buku tertentu langsung membantu kita menyelami
perasaan dan pemikiran yang paling dalam. Namun, bahkan koleksi novel
romantis, misteri, dan humor, secara tak langsung turut mengembanagkan
kecerdasan intrapersonal, mendesak kita untuk merenungkan kehidupan
dan mempertimbangkan kembali keputusan akan cita-cita hidup.
3. Membaca memicu imajinasi. Buku yang baik mengajak kita membayangkan
dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian, lokasi, dan
karakternya. Bayangan yang terkumpul dari tiap buku atau artikel tertentu
melekat dalam pikran, dan seiring berlalunya waktu, membangun sebuah
bentang jaringan ide dan perasaan yang menjadi dasar bagi ide kreatif.
Bayangan itu akhirnya menjadi dasar metafora yang kita tulis, gambar yang
kita buat, bahkan keputusan yang kita ambil.

******

2
Inilah realitas sehari-hari. Setiap hari, berapa juta eksemplar koran (surat
kabar) terbit? Lalu dalam hitungan beberapa hari (mingguan, dwimingguan, atau
bulanan), berapa tabloit, majalah terbit? Juga dalam setiap hari, minggu, bulan, atau
tahun, berapa ribu buku baru terbit dari berbagai negara di belahan dunia? Dan
melalui internet? Dapatkah kita membayangkan? Setiap saat, berseliweran
informasi yang dapat berupa pengetahuan, fakta, hasil penelitian, telaah
perkembangan politik, ulasan, liputan peristiwa, atau hal-hal keseharian, menjejali
kita.
Akankah semua itu akan kita biarkan lewat begitu saja. Inilah fakta, inilah
realitas. Setiap hari kita berhadapan dengan ratusan, ribuan, bahkan lebih,
informasi yang menuntut kita untuk meresponnya. Benarkah? Itu jika kita memang
tidak ingin dikatakan sebagai masyarakat yang paling terbelakang.
Begitu banyak bahan bacaan, lalu apa yang harus kita lakukan? Memilih,
pasti. Karena tidak memilih, berarti kita tidak mendapat bagian. Apakah tidak boleh
untuk tidak memilih? Tentu boleh.
Apa yang harus kita baca hari ini, tentulah kita yang paling tahu. Koran,
misalnya, yang pagi ini hadir di hadapan kita, dalam setengah jam waktu kita, kita
harus memilih. Dan kita akan membacanya dalam waktu itu. Dan informasi yang
hari ini kita butuhkan belum tentu sama dengan informasi yang kita butuhkan esok
atau lusa. Kita akan memilihnya berdasarkan prioritas dan tujuan yang kita inginkan.
Dan setiap bahan bacaan yang kita baca, juga membutuhkan teknik-teknik
(cara membaca) yang berbeda. Membaca grafik, tabel, bagan, peta akan berbeda
dengan membaca koran, surat, komputer, kata-kata sulit. Membaca koran, tentu
berbeda dengan membaca tabloit, majalah, dan buku atau kamus. Teknik-teknik
yang tepat perlu dikuasai untuk cepat menyerap informasi dan gagasan yang setiap
hari membanjiri kita. Membaca cepat saja tidak cukup. Yang diperlukan adalah
membaca cepat dan efektif.
Banyak orang yang belum pernah mendapatkan bimbingan khusus atau
pelatihan dalam membaca cepat, mempunyai kecepatan yang sama dalam
membaca. Apa pun tujuan dan apa pun jenis bacaannya, orang cenderung
membaca dengan kecepatan yang sama. Mestinya tidak begitu. Kecepatan
membaca harus fleksibel, adakalanya sangat cepat, adakalanya lambat atau
diperlambat.
Kapan dan di mana kita dapat membaca? Jawaban singkat: kapan saja dan
di mana saja! Kalau perlu ciptakan dan luangkan waktu membaca setiap hari.
Kalau mau banyak waktu untuk membaca, manfaatkan waktu-waktu ini, misalnya
ketika menunggu bus, menunggu keberangkatan pesawat terbang, menunggu
kereta api, menunggu kapal laut, di ruang tunggu dokter, menunggu giliran potong
rambut, menunggu telepon, sebelum pertunjukan mulai (pasti pertunjukan apa saja,
yang memungkinkan, dan tampaknya banyak yang memungkinkan), dalam
perjalanan di kendaraan (tentu tidak bagi sopir dan pengendaranya), atau
menunggu hidangan disajikan (di rumah atau di luar rumah).
Dalam keseharian dan rutinitas, kitalah yang paling paham akan waktu luang
yang kita punyai. Dan kita pulalah yang dapat mengelola waktu itu sebaik-baiknya.

3
Setiap orang, sama, dalam sehari memiliki waktu 24 jam. Namun, yang
membedakan pemanfaatan waktu dan apa yang diperoleh dari pemanfaatan waktu
itu. Orang bijak pernah berkata, orang yang paling sibuk adalah orang yang
mempunyai banyak waktu luang.
Jika waktu sudah tersedia, maka kemudahan mendapatkan bahan bacaan
juga perlu diperhatikan. Soedarso, penulis buku Speed Reading: Sistem
Membaca Cepat dan Efektif, memberikan tips kemudahan membaca adalah
menyediakan bahan bacaan di sembarang tempat, misalkan:
1. di kamar/ruang makan, untuk dibaca selagi makanan belum siap;
2. di kamar/ruang tidur, untuk dibaca sebelum tidur (atau manakala Anda
memang sedang sulit tidur, karena konon, membaca dapat mempercepat
proses mengantuk?);
3. di kamar/ruang tamu, untuk dibaca beberapa menit menunggu tamu datang;
4. di beranda belakang (rumah), untuk dibaca selagi bermalasan sore hari
(tapi, tentu tidak bermalasan untuk membuka dan membaca buku);
5. di dekat pesawat telepon, untuk dibaca sambil menunggu sambungan
telepon;
6. di kamar kerja, untuk dibaca selagi jenuh;
7. di dalam tas kantor, untuk dibaca sewaktu-waktu (dalam perjalanan,
istirahat, atau waktu santai yang lain);
8. di mobil, untuk dibaca kalau tidak pusing (dalam situasi tertentu);
9. di dalam saku (pasti buku saku), untuk dibaca pada waktu kapan saja dan di
mana saja.
Marissa Haque, dalam pengakuannya di sebuah acara (wawancara) di
televisi, mengatakan bahwa sudah saatnya menghiasi rumah tinggal dengan
berbagai buku. Tentu, tujuannya adalah penanaman sikap dan mental pada
keluarga dan utamanya pada anak. Bayangkan jika di hampir banyak tempat di
rumah kita ada buku yang diletakkan (ditata) sedemikian rupa. Pasti, akan muncul
perasaan bermacam: aneh, dongkol, lucu dan tidak asyik, dan seterusnya. Lalu,
perlahan, rasa penasaran mulai hadir, keingintahuan mulai muncul, atau sekadar
keisengan mulai menggoda. Selanjutnya, terserah kita!
Melalui ilustrasi di atas, masihkan kita bertanya, “Apakah kita punya waktu
untuk membaca?” Jika kita masih menjawabnya “tidak punya”, janganlah resah dan
apalagi gelisah. Teman dan pembela kita banyak jumlahnya. Di antara teman dan
pembela kita itu tentu akan mengatakan bahwa budaya kita adalah budaya tutur
bukan budaya baca. Namun, jika kita sudah berani menjawab pertanyaan di atas
dengan mengatakan “ada”, maka mulailah memegang keputusan jawaban itu.
Mengobrol dan menonton televisi bukanlah kegiatan yang jelek, namun jika
berlebihan itulah pekerjaan sia-sia. Sayangilah diri sendiri! Nah, sejak saat ini kita
akan mulai memanfaatkan waktu luang.
Bayangkanlah! Dan mari kita berandai-andai! (Tentu bagi kita yang punya
waktu untuk membaca, meskipun sangat sempit). Andaikata kecepatan membaca
kita 300 kata per menit untuk buku-buku bacaan ringan, misal novel, biografi, karier.
Dalam sehari kita menyediakan waktu 15 menit untuk membaca. (Bandingkan

4
dengan waktu kita untuk menonton televisi, mengobrol, atau jalan-jalan
sekadarnya). Tentu, sehari itu kita akan menyelesaikan bahan bacaan 4.500 kata.
Dalam seminggu, kita mampu membaca 31.500 kata. Sebulan (rata-rata kalikan 4)
kita telah membaca 126.000 kata. Kalikan 12 untuk menggenapi setahun, maka kita
telah mampu membaca secara total 1.512.000 kata.
Secara umum tebal buku adalah antara 60.000 dan 100.000 kata. Jika kita
ambil rata-rata ketebalan buku adalah 75.000 kata, maka dalam setahun kita telah
menghabiskan (membaca) sebanyak 20 buku! Berapa tahun kita telah meluangkan
waktu untuk membaca hanya dengan 15 menit sehari? Berapa jumlah buku yang
telah kita rampungkan? Hitung sendiri!
******
Alkisah, mengutip Quantum Writing (Hernowo, 2002), di dunia pemikiran
Islam modern dikenal seorang perempuan penulis yang tulisan-tulisannya bersifat
mempertanyakan atau menggugat banyak hal. Nama perempuan penulis itu adalah
Fatima Mernissi. Menulis bagi Mernissi sepertinya menjadi ajang terbaiknya untuk
menumpahkan apa saja yang mengganggu pikiran dan perasaannya. Dalam bab
Pendahuluan bukunya yang berjudul Pemberontakan Wanita!: Peran Intelektual
Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim (Mizan, 1999) ia memberinya judul “Menulis
Lebih Baik ketimbang Operasi Pengencangan Kulit Wajah”. Bab ini diawali dengan
tulisan:

“Usahakan menulis setiap hari. Niscaya, kulit Anda akan menjadi segar
kembali akibat kandungan manfaatnya yang luar biasa! Dari saat Anda
bangun, menulis meningkatkan aktivitas sel. Dengan coretan pertama di
atas kertas kosong, kantung di bawah mata Anda akan segera lengyap dan
kulit Anda akan terasa segar kembali”.

James W. Pennebaker, seorang psikolog, mengatakan bahwa menulis


tentang hal-hal yang negatif akan memberikan pelepasan emosional yang
membangkitkan rasa puas dan lega. Imbuhnya, orang-orang yang menuliskan
pikiran dan perasaan terdalam mereka tentang pengalaman traumatis menunjukkan
peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan dengan orang-orang yang
menuliskan masalah-masalah remeh-temeh. Kalimat-kalimat tersebut tidak muncul
begitu saja. Pennebaker melakukan penelitian selama lima belas tahun tentang
pengaruh upaya membuka diri terhadap kesehatan fisik. Hasilnya adalah sebuah
buku Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions yang membahas
bagaimana upaya mengungkapkan segala pengalaman yang tidak mengenakkan
dengan kata-kata bisa mempengaruhi pemikiran, perasaan, dan kesehatan tubuh
seseorang. Hasil temuannya:
“Menulis tentang pikiran dan perasaan terdalam tentang trauma yang
mereka alami menghasilkan suasana hati yang lebih baik, pandangan yang
lebih positif, dan kesehatan fisik yang lebih baik.

Dan akhirnya, Pennebaker merinci manfaat menulis adalah sebagai berikut:


1. menulis menjernihkan pikiran

5
2. menulis mengatasi trauma
3. menulis membantu mendapatkan dan mengingat informasi baru
4. menulis membantu memecahkan masalah
5. menulis-bebas membantu kita ketika kita terpaksa harus menulis.

******
Selanjutnya, bayangkan bahwa kita adalah seorang guru. Sekarang, kita
berhadapan dengan para siswa! Ketika kita mengatakan kepada siswa bahwa
menulis itu penting, tampaknya bukanlah keharusan! Atau jangan-jangan itu
hanyalah omongan yang akan sia-sia. Siswa bukanlah kumpulan manusia-manusia
yang mengiyakan setiap kata yang kita cecarkan pada otaknya. Mereka adalah
sekumpulan manusia yang memiliki daya simpul yang hebat dari fakta empiris yang
dialaminya. Bayangkan jika semua kita mengatakan bahwa sesuatu itu penting,
pastilah akan ada kelucuan yang luar biasa! Siswa akan sampai pada simpulan,
“lalu apa yang tidak penting?”
Kenapa kita masih sering mengukur mereka (orang yang berada di luar diri
kita) dengan ukuran kita, meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah! Mengapa tidak
kita memulai untuk tidak lagi (atau mengurangi) mengatakan bahwa ini itu penting
bagi siswa? Mestinya kita mulai membalik pertanyaan tersebut: Apa sih yang
penting bagi siswa? Inilah salah satu PR (pekerjaan rumah atau pekerjaan pikiran)
para pengajar (pendidik) yang tidak dapat dikatakan ringan! Luar biasa!
Learning is most effective when it’s fun ‘belajar akan berlangsung sangat
efektif jika berada dalam keadaan yang menyenangkan’. Inilah salah satu kuncinya.
Kata-kata ini dicetuskan oleh Peter Kline, penulis buku Everyday Genius. Kline
menambahkan, “Sekolah harus menjadi ajang kegiatan yang paling menyenangkan
di setiap kota”.
Dave Meier, penulis buku The Accelerated Learning Handbook, mengatakan
“Menyenangkan atau membuat suasana belajar dalam keadaan gembira bukan
berarti menciptakan suasana ribut dan hura-hura. Ini tidak ada hubungannya
dengan kesenangan yang sembrono dan kemeriahan yang dangkal. “Kegembiraan”
di sini berarti bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh, serta terciptanya makna,
pemahaman (penguasaan atas materi yang dipelajari), dan nilai yang
membahagiakan pada diri si pemelajar (siswa). Itu semua adalah kegembiraan
dalam melahirkan sesuatu yang baru. Dan penciptaan kegembiraan ini jauh lebih
penting ketimbang segala teknik atau metode atau medium yang mungkin dipilih
untuk digunakan”.
Dari rumusan di atas, Hernowo (penulis buku Menjadi Guru Yang Mau dan
Mampu Mengajar Secara Menyenangkan) merumuskan pembangun suasana
menyenangkan adalah:
1. bangkitnya minat
2. adanya keterlibatan
3. terciptanya makna
4. adanya pemahaman atau penguasaan materi
5. munculnya nilai yang membahagiakan.

6
******
Mari kita mencoba menjadi mereka (para siswa kita). Kita mencoba
mempelajari hobinya, cara berpakaiannya, pilihan bacaannya, tokoh idolanya, cita-
citanya, pandangan hidupnya, cara bersahabatnya, kebiasaannya, dan
kesenangannya. Jika sudah begitu, kita akan menemukan siapa yang kita hadapi
setiap hari. Kita akan menemukan betapa berwarnanya hidup mereka! Warna
mereka sendiri!
Dan, bayangkan! Suatu pagi, seorang guru (mungkin kita) menyapa mereka
lewat salah satu hobi di antara mereka! Suatu pagi, seorang guru (mungkin kita)
menyapa mereka lewat cara berpakaian di antara mereka! Suatu pagi, seorang
guru (mungkin kita) menyapa mereka lewat buku bacaan kesukaan di antara
mereka! Suatu pagi, seorang guru (mungkin kita) menyapa mereka lewat tokoh
idola di antara mereka! Suatu pagi, seorang guru (mungkin kita) menyapa mereka
lewat salah satu cita-cita di antara mereka! Suatu pagi, seorang guru (mungkin kita)
menyapa mereka lewat pandangan hidup di antara mereka! Suatu pagi, seorang
guru (mungkin kita) menyapa mereka lewat cara bersahabat di antara mereka!
Suatu pagi, seorang guru (mungkin kita) menyapa mereka lewat kebiasaan di
antara mereka! Suatu pagi, seorang guru (mungkin kita) menyapa mereka lewat
kesenangan lain di antara mereka!
Guru pun dapat memulai mengajar melewati itu semua!

******

Kalau para guru sudah berhasil berada di antara mereka (para siswanya),
tak ada yang sulit untuk melakukan sesuatu. Kunci itu sudah ditemukan, pintu pun
sudah terbuka, untuk memasuki tentu bukan pekerjaan yang teramat sulit.
Menemukan kunci dan membuka pintu-lah yang sulit. Kalau sudah demikian
keadaannya, kita tidak perlu lagi berbicara tentang kalimat dan paragraf! (Sesekali
kita memang masih boleh bermain-main dengan kata, frasa, klausa, kalimat, atau
paragraf. Tapi ingat, jangan hanya seiris itu saja!) Kenapa masih berpikir tentang
kalimat dan paragraf jika para siswa sudah mulai berbicara atau bahkan menulis
tentang hobinya, cara berpakaiannya, pilihan bacaannya, tokoh idolanya, cita-
citanya, pandangan hidupnya, cara bersahabatnya, kebiasaannya, dan
kesenangannya. Jika di antara mereka ada yang masih gagap untuk bercerita atau
menuliskan tentang semua itu, tampaknya kita tinggal menunggu waktu bahwa
sebentar lagi mereka akan lancar bercerita dan menulis!
Jika sudah begitu, apakah kita masih perlu berbicara tentang kalimat ini dan
itu atau paragraf ini dan paragraf itu? Bukankah itu malah akan mengiris-iris
keterampilan berbahasa menjadi beberapa irisan, dan ketika mereka (siswa) kita
minta menggabungkan irisan itu justru tidak menjadi bentuk yang kita inginkan!
Ironis, bukan?
*******

7
Saya memiliki keyakinan, banyak di antara kita yang menyetujui bahwa
membaca adalah satu hal, dan menulis adalah hal lain. Tapi, semoga juga, banyak
di antara kita yang menyepakati bahwa membaca adalah pintu menuju menulis.
Juga, ada di antara kita yang tidak dapat sepenuhnya membedakan
keduanya (membaca dan menulis) dalam keseharian. Pada saat seseorang
menulis, ia toh memerlukan bahan bacaan (membaca). Saat seseorang membaca,
pada saat yang sama sebenarnya ia sudah merangkai kata dan kalimat, untuk
kemudian dituliskan. Dan, beberapa di antara kita, malah, tidak penting
mengurutkan mana kegiatan yang lebih dulu di antara keduanya. Tetapi saya pun
memiliki keyakinan seperti judul tulisan ini: membaca untuk menulis.
Terakhir, selamat mencari dan menemukannya! Selebihnya, terima kasih
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam seminar nasional dengan
topik “Membangun Peradaban Generasi Emas melalui Literasi” kali ini. Apa pun
sumbangsih kita, insyaallah, akan bermanfaat bagi orang lain, dan terlebih bagi kita
sendiri. (Jack Parmin, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unesa)

*******

Anda mungkin juga menyukai