Kelompok 3
Ahmad Akhyar
Rahmat Nugraha
Muhammad Ifdhal Nurdin
Tahun
2020/2021
Pendahuluan
Latar Belakang
Mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Hadis diharapkan dapat
mengetahui sikap dan tindakan umat islam terhadap Hadis serta usaha pembinaan dan
pemeliharaan pada setiap periode Hadis hingga pada akhirnya muncul kitab-kitab hasil
pembukuan secara sempurna yang dalam islam dikenal dengan istilah tadwin. Studi tentang
keberadaan Hadis ini selalu semakin menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan
analisis dan nalar berpikir manusia.
Studi Hadis tidak hanya dilakukan oleh kalangan muslim melainkan juga dilakukan
oleh kalangan orientalis. Bahkan, kajian studi Hadis dalam dunia islam semakin menguat
dilatar belakangi oleh upaya umat islam untuk membantah terhadap pendapat kalangan
orientalis tentang ketidak aslian Hadis.1 Goldziher misalnya, dia meragukan sebagian besar
orisinalitas Hadis yang bahkan diriwayatkan oleh ulama besar seperti imam Bukhori hal ini
dikarenakan jarak semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya
pembukuan Hadis sangat jauh, menurutnya sangat sulit menjaga orisinalitas Hadis tersebut.
Oleh karena itu, mengkaji sejarah berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta
yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalanan Hadis pada setiap
periode mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapi, antara satu periode
dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan
ciri-ciri khusus dari persoalan tersebut.
Diantara ulama tidak sependapat dalam penyusunan periodesasi pertumbuhan dan
perkembangan Hadis. Ada yang membaginya menjadi tiga periode yaitu masa Rasulullah,
masa sahabat, dan masa tabi’in. Begitu pula ada yang membaginya menjadi dua periode yaitu
masa prakodifikasi dan masa kodifikasi. Bahkan ada yang membaginya dengan spesifikasi
yang lebih jelas.
Terlepas dari itu kami akan mengemukakan sejarah perkembangan Hadis pada masa
prakodifikasi dan perkembangan Hadis pada masa kodifikasi.
1
A. Perkembangan Hadis Pada Masa Prakodifikasi
Sejarah perkembangan hadist pada masa prakodifikasi maksudnya adalah pada
masa sebelum pembukuan. mulai sejak zaman Rasullah SAW hingga ditetapkannya
pembukuan hadist secara resmi (kodifikasi). Masa ini penulis membagi menjadi tiga
periode yaitu masa Rasulullah SAW, masa sahabat dan masa Tabi’in. Adapun periode
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
2
Pada masa Rasulullah SAW sedikit sekali sahabat yang bisa menulis
sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah dengan
menghafal. Menurut Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan
kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka
dapat meriwayatkan Al-Qur’an, hadis, dan syair dengan baik. Seakan mereka
membaca dari sebuah buku.3
Perhatian sahabat terhadap hadis sangat tinggi, terutama diberbagai majelis
nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah islamiyah seperti di masjid,
halaqah ilmu, dan di berbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Rasulullah
menjadi pusat narasumber, referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para sahabat
menghadapi masalah, baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui
istri-istri Rasulullah dalam masalah keluarga dan kewanitaan, karena mereka
adalah orang-orang yang paling mengetahui keadaan Rasulullah dalam masalah
keluarga.
Hadis pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh para
sahabat dan tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi, karena
situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Secara memang Nabi melarang bagi
umum karena khawatir bercampur antara hadis dan Al-Qur’an. Banyak hadis
yang melarang para Sahabat untuk menulis hadis, diantara hadis yang melarang
penulisan hadis adalah:
3
b. Diperbolehkannya Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Larangan menulis hadis tidaklah umum kepada semua sahabat, ada sahabat
tertentu yang diberikan izin untuk menulis hadis. Nabi melarang menulis hadis
karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada kesempatan lain nabi
memperbolehkannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abd Allah Ibn Umar, dia
berkata: “Aku pernah menulis segala sesuatu yang ku dengar dari Rasulullah, aku
ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang Quraisy melarangku
melakukannya.” Mereka berkata: “Kamu hendak menulis (hadis) padahal
Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan
diri (Untuk tidak menulis hadis) hingga aku ceritakan kejadian itu kepada
Rasulullah. Beliau bersabda:
ب َف َوالَّ ِذ ْي َن ْف ِس ْي بِيَ ِد ِه َما َخَر َج َعيِّن اِاَّل َح ٌّق
ْ ُاُ ْكت
“Tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah keluar
dariku kecuali kebenaran”
Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan
seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadis dapat ditulis.
Karena menurut M Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh beberapa alasan
berikut:
1) Hadis disampaikan tidaklah selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis
2) Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-Qur’an
3) Meskipun Nabi mempunyai sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas
menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi
Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, ketetapan, dan hal-hal orang
yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan alat
sederhana.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan sikap para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah
bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang
bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu
benar-benar dari Nabi saw. hanyalah terhadap yang benar-benar telah
diparcayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam
periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan
periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang
menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi.
Hadits yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk
tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman
denda (diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan
larang melakukan hukum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh
orang kafir.
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin
Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits. Sebagian mant dari hadits tersebut
berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad
Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila
dibandingkan dengan ke tiga khalifah pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan
periwayatan hadits pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada
zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah
berbeda dengan situasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang
politik di kalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan antara
kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadits.
Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.
Dari urai di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan para khulafa al-
Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah sebagai berikut:
1. Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam
periwayatan hadits
2. Larangan memperbanyak hadits, terutama yang ditekankan oleh khalifah
‘Umar, tujuan pokoknya ialah agar periwayat bersikap selektif dalam
meriwayatakan hadits dan agar masyarakat tidak dipalingkan perhatiannya
dari al-Qur’an
3. Penghadiran saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadits
merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadits. Periwayat yang
dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban
mengajukan saksi atau sumpah
4. Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits yang
disampaikan oleh ketiga khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk
lisan. Hanya ‘Ali yang meriwayatkan hadits secara tulisan di samping secara
lisan.
Penutup
Kesimpulan
1. Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan,
perbuatan, dan pengakuan atau penetapan Rasulullah SAW. Sehingga apa yang
disampaikan oleh para sahabat dari apa yang mereka dengar, lihat, dan saksikan
merupakan pedoman. Rasullah adalah satu-satunya contoh bagi para sahabat, karena
Rasulullah memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan manusia
lainnya.
2. Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan
sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang harus dipegangi bagi
pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi SAW wafat, kendali
kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama
menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M)
kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat
35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam
sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga
dengan zaman sahabat besar.
3. Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadis .
Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti pada masa sahabat. Pada masa ini Al-
Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf dan sudah tidak menghawatirkan lagi. Selain
itu, pada akhir masa Al-Khulafa Al-Rasyidun para sahabat ahli hadis telah menyebar ke
beberapa wilayah sehingga mempermudah tabi’in untuk mempelajari hadis.
4. Pada masa ini terjadi kodifikasi hadis yang dimulai pada masa Umar bin Abd Aziz yang
menginterupsikan pada Muhammad bin syihab Al-zuhri karena dia dinilai paling mampu
dalam hadis. Sehingga pada masa lahir kodifikasi hadis secara resmi.
a. Hadis Pada Masa Awal Sampai Akhir Abad III H
Masa kodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis yaitu upaya
mudawwin hadis menyeleksi hadis secara ketat. Masa ini dimulai ketika
pemerintahan dipegang oleh dinasti bani ‘Abbasiyah khususnya pada masa Al-
Makmun.
b. Hadis Pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII
Masa seleksi di lanjutkan pengembangan dan penyempurnaan sistem
penyusunan kitab-kitab hadis. Masa ini disebut dengan masa pemeliharaan,
penerbitan, penambahan, dan penghimpunan. Maka muncul kitab Al-Muwattha’
karya imam Malik Ibn Anas.
c. Hadis Pada Masa Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang
Masa ini disebut dengan masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan,
dan pembahasan. Pada masa ini ulama berupaya mensyarahi kitab hadis yang sudah
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shobuni, Muhammad Ali. 2003, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an. Madinah: Daru Al-
Shobuni.
Fahmi, Akrom. 1999, Sunnah Qabla Tadwin. Jakarta: Gema Insani Press.
Idri. 2013, Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Ismail, M. Syuhudi. 1995, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits. Jakarta: Bulan Bintang.
Khon, Abdul Majid. 2012, Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Kaptein, H.L. Beck dan N.J.G. 1988, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosofi,
Teologi, Dan Mistik Tradisi Islam. Jakarta: INIS.
Mangunsuwito. 2011, Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing.
Jakarta: Widytama Pressindo.
Suparta, Munzier. 2011, Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.
Sumbulah, Umi. 2010, Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.
Soetari, H. Endang. 1997, Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.