Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN AKHIR

Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

BAB 2
KAJIAN TEORITIS

2.1. Penataan Wilayah dan Pemerintahan Daerah

2.1.1 Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah

Penataan daerah otonom atau penataan wilayah, sebenarnya merupakan hal yang
umum dilakukan dalam kaitannya dengan manajemen pemerintahan karena berkaitan
dengan rentang kendali.Rentang kendali ini berkaitan dengan kapasitas koordinasi dan
aksesibilitas dalam pelayanan publik. Dengan kondisi geografis yang beragam,
kemampuan koordinasi dan aksesibilitas pelayanan akan berbeda pula. Semakin luas
suatu daerah, akan semakin sulit rentang kendalinya. Demikian pula, semakin banyak
bagian dari suatu daerah, kapasitas koordinasi dan pelayanan akan semakin kecil.
Disinilah diperlukan adanya penataan wilayah, sebagai suatu mekanisme untuk
mengelola wilayah suatu daerah agar rentang kendali dan aksesibilitas pelayanan
publik dapat dinikmati secara merata.

Dimensi wilayah mempunyai arti penting dalam pembangunan karena setiap kegiatan
pembangunan pasti akan berlangsung dan membutuhkan sumberdaya yang berupa
lahan. Dalam dimensi spatial, lahan merupakan sumber daya lingkungan yang menjadi
ruang bagi berlangsungnya kegiatan dan juga pendukung struktural wadah kegiatan
regional.Karena sifat dan posisinya inilah maka perencanaan wilayah yang berdimensi
spatial dapat memainkan posisi strategis dalam menjembatani persoalan desentralisasi
dan otonomi daerah terutama yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan.

Pada masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini, implementasi kebijakan


pembentukan daerah baru atau pemekaran wilayah kerap menimbulkan masalah
krusial.Di antaranya adalah konflik horizontal antara masyarakat yang pro dan kontra,
tarik menarik kepentingan antara wilayah induk dengan calon wilayah baru, dan
munculnya problematika ketidakmampuan daerah baru hasil pemekaran dalam

2-1
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

menjalankan fungsi-fungsi pemerintahannya.Selain itu, hal yang menonjol dari


maraknya keinginan untuk membentuk daerah baru, dominannya pertimbangan
politik-subyektif elit ketimbang hasil kajian ilmiah-obyektif untuk peningkatan
efektifitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

Keputusan mengenai pembentukan daerah baru harus lebih cermat dan bijaksana
untuk melakukan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan kapasitas yang
dimiliki, sehingga dalam pelaksanaanya tidak tergesa-gesa dan cenderung bersifat
politis. Bila hal ini tidak diindahkan, maka hasil dari pemekaran tidak akan memberikan
dampak terhadap peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara makro
maupun mikro, tetapi cenderung akan membebani keuangan negara dan masyarakat
akibat adanya pemekaran karena social dan political cost pemekaran suatu wilayah
akan lebih besar jika dibandingkan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dampak pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah baru akan terasa
dalam jangka panjang, tetapi bila prosesnya hanya didasari oleh pertimbangan politis
tanpa memperhatikan kriteria-kriteria obyektif maka akan memberikan pengaruh yang
kecil dan parsial terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, aksesibilitas
pelayanan publik, dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Idealnya, pemekaran
wilayah terjadi bila penguatan kapasitas dan kapabilitas daerah dilakukan secara
bertahap, misalnya peningkatan kapasitas dalam pembangunan infrastruktur (jalan,
bangunan, pemerintahan, dan lain-lain), aktifitas ekonomi, serta fiskal daerah
sehingga sampai jangka waktu tertentu ketika daerah tersebut lepas dari daerah
induknya. Dengan demikian, daerah yang bersangkutan akan mandiri dengan
sendirinya dan tidak tergantung pada daerah.

2.1.2 Implikasi Politik Penataan Wilayah

Desentralisasi dalam arti pemencaran kekuasaan dapat dilakukan secara teritorial


melalui pembentukan daerah-daerah otonom.Desentralisasi teritorial ini dilakukan
sebagai upaya untuk mendekatkan jarak antara pemerintah dengan yang diperintah.
Pemerintahan di tingkat lokal diperlukan untuk efisiensi dan efektifitas dalam hal
keuangan, penegakan hukum, pendaftaran tanah, dan urusan-urusan lain yang akan
sulit dilakukan hanya oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemencaran kekuasaan
secara teritorial juga akan berkaitan dengan penentuan fungsi dan kewenangan apa
yang paling tepat untuk dilaksanakan oleh level Nasional, Provinsi, ataupun level

2-2
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Kota/Kabupaten. Dengan kata lain, desentralisasi teritorial akan diikuti oleh


desentralisasi kewenangan. Hal ini akan menentukan jumlah urusan yang dilaksanakan
oleh daerah otonom tersebut.

Dalam konsep negara kesatuan seperti yang diterapkan di Indonesia, desentralisasi


teritorial tidak menyebabkan terjadinya pengurangan wilayah negara meskipun terjadi
pemekaran, penggabungan ataupun penghapusan daerah otonom.Daerah-daerah
otonom yang berupa kabupaten/kota tetap menjadi bagian dari wilayah provinsi, dan
wilayah-wilayah provinsi tetap menjadi wilayah dari negara.Yang berbeda antara
negara (pusat), provinsi, kabupaten/kota hanyalah kewenangan atau otoritasnya yang
tercermin dari urusan dan fungsi yang menjadi kewenangannya.

Desentralisasi berimplikasi pada lokalisasi pembuatan kebijakan dimana setiap daerah


berwenang membuat kebijakannya sendiri.Implikasinya banyak permasalahan yang
tidak dapat dibatasi oleh wilayah administrasi ( territorial administrative) dan isu
teritorial (territorial issue), seperti pelayanan, pengelolaan sungai, pintu air, pendidikan
dan pariwisata.Suatu tempat wisata yang lokasinya berada di perbatasan antara dua
daerah otonom, seperti pantai atau pegunungan, seringkali menimbulkan konflik
dalam hal pemeliharaannya karena daerah yang satu merasa tidak mendapat
pendapatan dari obyek wisata itu sehingga menyerahkan pemeliharaannya pada
daerah yang mendapat pendapatan.Sementara daerah yang memperoleh pendapatan
dari obyek wisata itu justru menyerahkan pemeliharaannya pada daerah yang
wilayahnya menjadi lokasi obyek wisata itu.Untuk mengatasi kemungkinan ini, perlu
ditetapkan suatu mekanisme kerjasama antar daerah atau melalui penerapan
wewenang koordinasi pemerintah provinsi.

Implikasi politik yang harus dipertimbangkan dari kebijakan penataan daerah otonom
yang menyangkut pemekaran, penggabungan atau penghapusan daerah-daerah
otonom adalah kemungkinan terjadinya konflik antar daerah yang menyangkut batas-
batas teritorial yang ada kaitannya dengan wilayah potensi sumber daya alam.
Kepemilikan akan sumber daya alam yang potensial dapat memicu tuntutan untuk
membentuk daerah otonom baru.

Pembentukan atau pemekaran daerah otonom memang dapat menambah ruang politik
lokal bagi tumbuhnya partisipasi politik dan demokratisasi di tingkat lokal.Namun,
kebijakan ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan anggaran nasional maupun

2-3
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

provinsi untuk membiayai daerah baru tersebut.Pembiayaan di sini maksudnya adalah


alokasi Dana Perimbangan dan DAU yang harus diperhitungkan untuk daerah yang
bersangkutan.Penataan wilayah dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:

1. Pemekaran;
1. Penggabungan; dan
2. Re-groupping sub-sub wilayah dalam daerah yang bersangkutan.

Keputusan untuk memilih salah satu cara didasarkan pada outcomes yang ingin
dicapai, apakah efektifitas pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi, pemerataan
pembangunan, pemberdayaan masyarakat setempat dan lain-lain. Kemudian
ditentukan pula apa yang menjadi output dengan realisasi dapat dirasakan secara
konkrit, misalnya jika outcomesnya efektifitas pelayanan publik maka output nya
kemudahan akses masyarakat untuk dilayani. Atas dasar itu, disusun aktifitas-aktifitas
yang akan dilakukan dalam bentuk berbagai program atau kebijakan. Alternatif
pemekaran wilayah atau tidak, berada pada tahap ini, apakah pelayanan dapat lebih
efektif jika daerah dimekarkan atau bisa juga efektif dengan membentuk sub-sub
dinas ditingkat kecamatan dan/atau desa. Pertimbangan alternatif mana yang akan
diambil akan menentukan aparat pelaksananya dan anggaran yang dibutuhkan.
Dengan demikian, keputusan penataan daerah otonom harus disesuaikan dengan
kebutuhan dan potensi riil dengan berpedoman pada prinsip penyelenggaraan
pemerintahan yang efektif.

Dari sejumlah alternatif penataan daerah otonom, tampaknya alternatif penggabungan


wilayah kurang populer bahkan dianggap sebagai refleksi kegagalan pemerintah
setempat dalam mengemban fungsinya.Padahal penggabungan daerah dapat menjadi
solusi terbaik untuk daerah-daerah yang mempunyai wilayah geografis luas tapi
jumlah penduduknya sedikit atau bagi daerah-daerah yang kemampuan ekonominya
masih rendah.Tentu saja untuk penggabungan daerah-daerah ini ada syarat geografis
yang harus dipenuhi, yakni kedekatan jarak antar daerah.

Dengan demikian, dalam dimensi politik, penataan daerah otonom tidak sekedar
ditentukan oleh perhitungan kemampuan ekonomi daerah tersebut tapi juga implikasi
yang ditimbulkannya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pertanyaan
yang paling penting untuk dijawab dalam merumuskan kebijakan penataan daerah
otonom adalah apakah kebijakan itu dapat (1) mewujudkan distribusi pertumbuhan

2-4
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

ekonomi yang serasi dan merata antar daerah; (2) mewujudkan distribusi kewenangan
yang sesuai dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat lokal; (3) penciptaan ruang
politik bagi pemberdayaan dan partisipasi institusi-institusi politik lokal; serta (4)
mewujudkan distribusi layanan publik yang mudah dijangkau oleh masyarakat.

2.1.3 Dimensi Normatif Penataan Wilayah

Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari
satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat
pembangunan. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat menciptakan kemandirian
daerah. Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan
perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:

1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat;


2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
4. Percepatan pengelolaan potensi daerah;
5. Peningkatan keamanan dan ketertiban;

Pada dasarnya usaha pemekaran suatu daerah menjadi dua atau lebih tidak dilarang,
asalkan didukung oleh keinginan sebagian besar masyarakat dan memenuhi
persyaratan administratif, teknis dan fisik wilayah.Selain itu, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pembentukan daerah
pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Pengaturan pemekaran dan atau penggabungan daerah, dirumuskan dalam Peraturan


Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan,
dan Penggabungan Daerah. Dalam Lembar Penjelasan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2007 secara eksplisit dinyatakan bahwa seluruh persyaratan yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah dimaksudkan agar daerah yang baru dibentuk
dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam
rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak
mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang

2-5
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah,


sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud.Dengan demikian, dalam usulan
pembentukan harus dilengkapi dengan kajian daerah secara ilmiah.

Dalam mengkaji daerah calon wilayah pemekaran sekurang-kurangnya ada tiga


langkah pokok yang perlu dilalui yaitu 1) mengkaji tentang kondisi eksisting penataan
wilayah; 2) mengukur potensi wilayah pemekaran sesuai dengan indikator dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah; 3) menganalisis kelayakan pemekaran.

Dari sudut pandang yang berbeda, masyarakat yang menyetujui dan atau menolak
pemekaran suatu daerah, hendaknya secara sadar memiliki alasan rasional.Artinya,
tidak hanya asal menyetujui dan atau menolak tanpa kelengkapan informasi yang
memadai. Dari seluruh kasus pemekaran daerah, selalu akan ada masyarakat di
daerah setempat yang menolak. Suatu hal yang bersifat manusiawi.Namun, hal yang
perlu dihindari adalah alasan politik yang berlebihan sehingga melupakan aspek
rasional dan mementingkan politik sesaat semata.

Beberapa perspektif yang diharapkan akan memberikan perluasan wawasan dan cara
pandang guna melengkapi kita dalam menyikapi fenomena pemekaran daerah adalah
sebagai berikut:

1. Alasan Normatif.

Produk hukum yang dilandasi Undang-Undang otonomi daerah adalah wadah yang
paling terbuka bagi daerah untuk memiliki akses sebanyak mungkin dalam pemekaran
daerah.Dalam pandangan yang bersifat normatif tersebut, daerah punya hak otonom
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri.

Daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat sentuhan pembangunan (karena


jarak akses kebijakan yang mungkin dirasa terlalu jauh) akan mendapatkan suatu
peluang yang besar dalam mengembangkan dirinya. Kebijakan akan semakin dekat
dan peran masyarakat terhadap pembangunan semakin besar.

Namun demikian, pada sisi lain ternyata tidak semua daerah hasil pemekaran memiliki
kesempatan yang sama. Sebagian dari daerah otonom baru menjadi beban bagi
pemerintah pusat, katakanlah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih sedikit
daripada pembiayaan daerah), akibatnya mereka hanya mengharapkan Dana Alokasi

2-6
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Umum (DAU) yang masih banyak bergantung pada pemerintah pusat.Hal ini dilandasi
realita bahwa usaha-usaha daerah memacu PAD, terutama bagi daerah yang miskin
sumber daya alam, tidak terlalu signifikan.

Gejala ini mendapat fokus perhatian pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun


2004.Persyaratan pembentukan daerah otonom baru sudah lebih selektif dan makin
ketat, dengan mekanisme persyaratan administrasi, teknis dan fisik
kewilayahan.Pertimbangan lainnya yang perlu diperhatikan adalah daerah induk yang
ditinggalkan dapat menjadi lemah, akibat minimnya potensi sumber-sumber PAD yang
bisa dikembangkan.Demikianlah alasan normatif yang perlu dijadikan pegangan bagi
penggagas pembentukan daerah baru.

Alasan lain yang dikemukakan untuk melakukan pemekaran wilayah adalah aturan
hukum yang membolehkan pemekaran wilayah sepanjang syarat-syarat administratif
dan teknisnya dipenuhi. Alasan lain munculnya inisiatif pemekaran wilayah dari daerah
adalah terkait dengan rentang kendali pelayanan yang tidak merata dan jauh serta
peningkatan kualitas pelayanan publik, dan pembangunan ekonomi.

2. Alasan Kompetisi.

Dalam kacamata kompetisi, pemekaran daerah dapat diartikan sebagai strategi untuk
mendapatkan peluang dan akses yang baru dalam upaya mendapatkan dan mengelola
sumberdaya daerah. Artinya semua daerah punya hak yang sama berkompetisi dalam
mengembangkan daerahnya.

Namun demikian, makna kompetisi bisa saja berbalik menjadi ancaman bahkan
bencana, ketika daerah tidak mampu berkompetisi. Dengan adanya kebijakan otonomi
daerah, tanpa memandang daerah induk maupun daerah pemekaran akan melakukan
kompetisi yang sama.

Setiap daerah harus berjuang guna mendapatkan akses seluas-luasnya bagi transaksi
bermacam sumber daya yang dimiliki, baik yang menyangkut sumber daya alam
maupun sumber daya manusia. Pengelolaan sektor riil mulai dari bidang perdagangan,
jasa, pariwisata, transportasi, dan lain-lain akan ramai diperebutkan. Pemerintahan
baru pada awal persaingannya banyak yang tersandung oleh masa transisi politik di
daerah yang bersangkutan, sehingga perhatian terhadap pembangunan menjadi
kurang. Jika pemerintah baru tidak segera menata diri maka ancaman kebangkrutan
akan terjadi.

2-7
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

3. Perspektif Rasional.

Motivasi pemekaran satu wilayah yang paling baik adalah melalui perspektif rasional,
ketika isu pemekaran daerah ditinjau secara rasional, maka aspek politis, normatif, dan
lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu. Kebutuhan daerah untuk mekar atau tidak,
sepenuhnya dilandasi pertimbangan rasionalitas. Aspek logis yang harus dipenuhi
antara lain rasio antara daerah otonom baru dengan kondisi riil penduduk, harus jadi
titik tumpu utama.

Dengan memakai pertimbangan rasional, maka metode, strategi, kebijakan, kalkulasi


atau pertimbangan apapun dalam proses pemekaran akan terarah pada indikator-
indikator yang terukur secara akurat dan valid. Perspektif rasional adalah perspektif
yang paling ideal untuk diterapkan, namun justru ini adalah perspektif yang paling sulit
dikongkritkan.Kesulitan terutama datang (lebih tepatnya dihambat) oleh faktor politis
dan normatif.

Untuk alasan yang ketiga itulah, perspektif normatif perlu mencoba mengakomodasi
alasan rasional.Jalan tengahnya perlu ada suatu studi atau penelitian yang rasional
sesuai dengan tuntutan normatif dan atau perundang-undangan.

2.2. Kebijakan Publik dan Pemekaran Wilayah

Misi pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakat lokal melalui pelayanan


prima, pemberdayaan dan pembangunan yang bersifat partisipatif hanya dapat
dijalankan dan dicapai, jika pemerintah daerah memiliki kebijakan yang sistematis dan
strategis, serta organisasi birokrasinya dikelola secara efektif, efisien dan inovatif.

Salah satu kebijakan strategis untuk melaksanakan otonomi luas adalah dengan
menyusun suatu perencanaan pembangunan yang terpadu dan komprehensif dengan
melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan dan mempertimbangkan potensi serta
peluang yang ada di daerah bersangkutan, sehingga akan terwujud pembangunan
yang multi sektor.

Secara umum, kinerja pemerintahan dapat diukur dan ditentukan dari kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan dan diimplementasikan di daerah tersebut. Kebijakan
pemerintah/kebijakan publik adalah merupakan rumusan keputusan pemerintah yang
menjadi pedoman tingkah laku guna mengatasi masalah publik yang mempunyai
tujuan, rencana dan program yang akan dilaksanakan secara jelas.

2-8
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Menurut James E Anderson (1979) menyatakan:“Public policies are those policies


developed by governmental bodies and officials“, dari pernyataan tersebut dapat
dikatakan bahwa:

1. Kebijakan pemerintah selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan


yang berorientasi pada tujuan;
3. Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat
pemerintah;
4. Kebijakan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan
merupakan apa yang baru menjadi maksud atau pernyataan pemerintah untuk
melaksanakan sesuatu;
5. Kebijakan pemerintah itu bersifat positif dalam arti merupakan keputusan
pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan;
6. Kebijakan pemerintah dalam arti yang positif didasarkan atau selalu dilandaskan
pada peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (otoritatif).

Selanjutnya Eulau dan Prewitt dalam Jones (1985) mengatakan bahwa suatu kebijakan
dapat dikatakan sebagai kebijakan publik atau bukan dapat dilihat dari komponen
public policynya, yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Intentions, yaitu niat/tujuan sebenarnya dari sebuah tindakan;


7. Goals, yaitu tujuan/keadaan akhir yang hendak dicapai;
8. Plans or proposals, yaitu rencana atau usulan untuk mencapai tujuan;
9. Program, yaitu program yang disyahkan untuk mencapai tujuan kebijakan;
10. Decision or choices, yaitu keputusan atau pilihan atas tindakan-tindakan yang
diambil untuk mencapai tujuan, mengembangkan rencana, melaksanakan dan
mengevaluasi program;
11. Effect, yaitu dampak atau pengaruh yang dapat diukur.

Lebih lanjut Thomas R. Dye (1978) mendefinisikan kebijakan pemerintah sebagai:


“whatever government choose to do or not to do “. Dikatakan bahwa apabila
pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannya dan
kebijakan itu harus meliputi semua tindakan-tindakan pemerintah, jadi bukan semata-
mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja.

Setelah kebijakan dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah


mengimplementasikan kebijakan tersebut yang dijabarkan dalam produk-produk

2-9
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

hukum atau instruksi-instruksi lainnya yang bertujuan untuk mengatasi masalah-


masalah yang dihadapi.Secara sederhana, tujuan implementasi kebijakan adalah untuk
menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari
kegiatan pemerintah (Wibawa, 1990).

Keberhasilan implementasi kebijakan tidak terlepas dari proses perumusan kebijakan


yang kelak membuahkan isi kebijakan (content of policy) yang akomodatif serta
lingkungan kebijakan (Environment of policy) dimana kebijakan dimaksud
diimplementasikan (Grindle, 1980).

Konsep keberhasilan implementasi kebijakan dapat dibuat dengan asumsi : “Semakin


tinggi derajat kesesuaiannya maka semakin tinggi pula peluang keberhasilan kinerja
implementasi kebijakan untuk menghasilkan output yang telah digariskan”.

Jan Merse dalam Sunggono (1994) mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi
penyebab kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu:

- Informasi
- Isi kebijakan
- Dukungan
- Pembagian potensi

Selanjutnya Grindle mengatakan bahwa faktor yang harus diperhatikan dalam


mengimplementasikan kebijakan adalah aspek isi dari kebijakan itu sendiri ( content of
policy) yang akan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan politik serta aspek
konteks (contect of implementation) atau lingkungan implementasi dilakukan. Kedua
aspek tersebut dipahami Grindle sebagai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
berhasil tidaknya proses implementasi kebijakan.

Dalam kaitan dengan rencana pembentukan suatu daerah otonom, apapun yang
menjadi dasar kebijakan pembentukannya, tampaknya otonomi daerah yang
menyertainya haruslah otonomi yang membuat daerah dan masyarakatnya lebih
berdaya/berkemampuan, sehingga ketergantungan kepada pemerintah pusat menjadi
berkurang dan karenanya beban pusat berangsur-angsur menurun (Suryawikarta,
1995).

Dengan demikian, harus diupayakan bahwa melalui pembentukan daerah otonom baru
maka penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada

2-10
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

masyarakat akan lebih dapat ditingkatkan. Artinya, terkandung harapan adanya


efisiensi, sepanjang daerah otonom tersebut memiliki sumber-sumber keuangan untuk
membiayai urusan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya,
atau sepanjang daerah otonom tersebut efektif dalam menggali potensinya untuk
dijadikan sumber keuangan bagi pembiayaan kewenangannya. Selain itu hendaknya
diupayakan bahwa fungsi pemerintah daerah adalah sebagai “ front line management”
yang berorientasi pada pelayanan publik atas dasar potensi nyata yang ada di
daerahnya, serta meningkatkan pemberdayaan ( empowerment) dan bukan
ketergantungan masyarakat.

Persyaratan-persyaratan yang disampaikan di atas pada dasarnya dapat


dikelompokkan menjadi aspek-aspek pokok yang menjadi pertimbangan di dalam
pemekaran wilayah, yaitu:

1. Penduduk;
Jumlah penduduk dan kualitas penduduk merupakan variabel yang sangat penting
dipertimbangkan dalam pelayanan.Jumlah penduduk yang besar menuntut
cakupan pelayanan yang lebih besar pula. Sebaran dan kepadatan penduduk juga
akan memengaruhi keefektifan dan efisiensi pelayanan.
Kualitas penduduk secara individu, keluarga atau sebagai masyarakat juga
merupakan variabel penting, karena baik secara individu maupun berkelompok
mereka secara alamiah selalu memiliki keinginan untuk berkembang dan maju.
Motivasi-motivasi tersebut apabila dapat digali dengan baik, akan sangat
membantu mengoptimalkan pelayanan masyarakat dan pendayagunaan potensi
masyarakat.
2. Aktifitas dan Produktivitas;
Aktifitas dan produktivitas berkaitan dengan kondisi dan perkembangan
perekonomian, perdagangan, industri dan sosialnya serta pemanfaatannya.
Aktifitas dan produktivitas ini berkaitan dengan upaya pendayagunaan oleh
pemerintah daerah.
3. Interaksi antar penduduk dengan daerah sekitarnya;
Interaksi antar penduduk yang ada selama ini perlu menjadi pertimbangan apabila
suatu kelurahan akan dipecah atau digabungkan dalam suatu kabupaten.
Aktifitas penduduk dan pemerintah untuk Kalimantan Tengah sangat berkaitan erat

2-11
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

dengan daerah sekitarnya, yaitu Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Kondisi
ini akan berimplikasi pada pelayanan dan pendayagunaan di Kalimantan Tengah.
4. Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan;
Sumber daya alam antara lain mengenai penggunaan lahan, kondisi geografis,
infrastruktur jalan dan lain sebagainya.
5. Kesiapan Pemerintah;
Aspek kepemerintahan menempati posisi sentral dalam kajian ini, yaitu pada
ketersediaan sumber daya manusia, fasilitas pendukung yang ada di calon wilayah
pemekaran serta implikasi pada kebutuhan biaya rutin yang lebih besar dengan
adanya pemekaran wilayah secara internal. Uraian di atas dapat ditampilkan pada
Gambar 1 mengenai kerangka pikir.
Bertitik tolak dari pemikiran-pemikiran dasar tersebut, disusun prinsip-prinsip dasar
dalam pembentukan daerah otonom baru/pemekaran Kalimantan Tengah sebagai
berikut:
1. Pemekaran provinsi dilakukan dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan dengan cara memperpendek rentang kendali
(span of control);
12. Pemekaran provinsi berorientasi kepada upaya pencapaian efektifitas pelayanan
publik.
13. Pemekaran provinsi sebagai upaya merealisasikan dan menumbuhkan kehidupan
demokrasi di masyarakat (grassroot democracy);
14. Pemekaran provinsi diarahkan untuk mengoptimalkan penggalian, pemanfaatan,
dan pengelolaan berbagai potensi sumberdaya daerah sesuai kondisi obyektifnya.
15. Pemekaran provinsi diarahkan untuk terjadinya pemerataan dan keadilan
pembangunan (equity and prosperity);
16. Pemekaran provinsi dimaksudkan untuk terjadinya penatagunaan lahan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik (sustainable development);
17. Pemekaran provinsi dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pemberdayaan
masyarakat (empowerment);
18. Pemekaran provinsi bersifat akomodatif, aspiratif dan fasilitatif terhadap
problematika sosial politik yang berkembang di masyarakat.

2-12
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

INPUT
Aspirasi Masyarakat PEMERINTAH KALIMANTAN TENGAH
Kebijakan Pemerintah
Span of Control
Efektivitas& Efisiensi

PELAYANAN PUBLIK DAN PENDAYAGUNAAN

SUMBER ALAM /BUATAN/TEKNO-LOGI & BUDAYA


PENDUDUK

AKTIFITAS DAN PRODUKTIVITAS


Struktur Struktur
Kebutuhan dan Resiko Kondisi
Potensi Keberdayaan Potensi Pemanfaatan

PROSES
KAJIAN PEMEKARAN

Metode Kualitatif
Metode Kuantitatif
Penelaahan Wilayah

Penilaian
Kajian Pemekaran
Provinsi Kalimantan Tengah Analisis Calon Ibu
Kota Provinsi
Sesuai dengan kriteria kelayakan pemekaran wilayah (PP.78/2007):
a. Kependudukan;
b. Kemampuan Ekonomi;
c. Potensi Daerah; Rekomendasi
d. Kemampuan Keuangan;
e. Sosial Budaya;
f. Sosial Politik;
g. Luas Daerah;
h. Pertahanan;
i. Keamanan;
j. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat;
k. Rentang Kendali.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penyusunan Studi

2-13
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

2.3. Sentralisasi dan Desentralisasi

Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, diatur dalam konstitusi UUD 1945
pasal 18 yaitu :

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Setiap urusan yang telah diserahkan kepada suatu daerah, menghendaki adanya
pengurangan campur tangan pemerintah pusat, baik pada proses pengambilan
keputusan, maupun pada tahap pelaksanaannya. Pernyataan ini cukup beralasan,
karena sesuai dengan obsesi dari dua prinsip dasar sistem otonomi daerah, yakni demi
tercapainya efektifitas pemerintahan dan demi terlaksananya demokrasi dari bawah
(grass root democracy). Dengan kata lain mengandung makna pula bahwa semakin
banyak urusan yang diserahkan pada suatu daerah, maka akan semakin mendorong
tercapainya efektifitas pemerintahan dan terlaksananya demokratisasi di bawah.

Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut, kepada daerah perlu diakui haknya dan
diberikan kewenangan serta tanggungjawab untuk melaksanakan berbagai urusan
pemerintahan dan pembangunan menjadi urusan rumah tangganya atas inisiatif dan
prakarsa sendiri. Tindakan atau keputusan tersebut sangat dibutuhkan karena
berdasarkan Douglas Mc. Gregor ( dalam Koswara, 2000: 73 ) mengatakan bahwa :

…. Jika kita menekankan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang


lebih rendah, kita akan cenderung memperoleh keputusan-keputusan yang lebih baik.
Desentralisasi dan otonomi daerah tidak saja akan dapat memperbaiki kualitas dari
keputusan yang diambil, tetapi juga akan dapat memperbaiki kualitas pengambilan
keputusan itu sendiri. Kesimpulannya bahwa people tend to grow and develop more
rapidly and they are motivated more effectively , jika wewenang pengambilan
keputusan didesentralisasikan. Artinya orang cenderung untuk tumbuh dan
berkembang lebih cepat serta didorong untuk lebih efektif apabila wewenang untuk
mengambil keputusan diserahkan kepadanya.

Pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah berupa penyerahan urusan-urusan


tersebut harus diberikan secara penuh, yaitu harus disertai pula dengan penyerahan
sarana pendukungnya yang meliputi : Personil, Peralatan, dan Pembiayaan, atau yang

2-14
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

dikenal dengan istilah 3P. Tanpa itu, penyerahan urusan dalam rangka pemberian
otonomi kepada daerah hanya merupakan beban yang tidak akan mampu
dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Secara teknis dasar dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, diantaranya


pada Pasal 2 ayat 1 UU 32 tahun 2004 bahwa dalam era otonomi daerah wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan
daerah.

Dalam pembentukan daerah, dalam Pasal 4 ayat (1) “Pembentukan daerah


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan Undang-Undang.
Kemudian dalam Pasal (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah,
batas, ibu kota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan
pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian,
pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.

Dalam Undang-Undang ini tentang ketentuan minimal kabupaten dan kota maka
dalam Pasal 5 UU Nomor 32 tahun 2004 ayat (5) dijelaskan bahwa syarat fisik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten atau
kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk
kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibu kota,
sarana, dan prasarana pemerintahan.

Untuk mengoperasionalkan konsep otonomi daerah seperti yang dikehendaki oleh


Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tersebut, prinsip otonomi daerah yang
diterapkan di Indonesia adalah: “Otonomi nyata dan bertanggungjawab“. Berdasarkan
pandangan Kaho (1997 : 18), maksud dari prinsip tersebut adalah :

… pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan pada faktor-faktor,


perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu
mengurus rumah tangganya sendiri, serta dapat mempertanggungjawabkan otonomi
tersebut sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk melancarkan pembangunan nasional.

Dari berbagai ketentuan tersebut, jelas bahwa daerah-daerah di Indonesia mempunyai

2-15
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan, dengan tidak mengabaikan kewajiban
sebagai bagian dari wilayah negara kesatuan, terutama untuk menjaga persatuan dan
kesatuan wilayah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi otonomi daerah dalam konteks
Indonesia, mencakup empat pengertian pokok, yaitu:

1. Daerah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri;
19. Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri;
20. Daerah mempunyai kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri;
21. Daerah bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.

Untuk memperjelas pasal-pasal yang mengatur tentang kewenangan daerah tersebut,


Djohermansyah Djohan (1998 : 49-50), mengatakan:

… pada prinsipnya menggariskan bahwa semua urusan pemerintahan dapat diserahkan


kepada daerah, kecuali yang menyangkut urusan-urusan sebagai berikut : pertama
pertahanan keamanan, kedua, peradilan, ketiga, luar negeri, keempat, moneter,
kelima, sebagian urusan pemerintahan umum yang menjadi wewenang, tugas dan
kewajiban kepala wilayah, keenam, urusan pemerintahan lainnya yang secara nasional
lebih berdaya guna dan berhasil guna jika diurus oleh pemerintah pusat.

Hakekat lain dari konsep otonomi daerah, adalah mensyaratkan adanya pengakuan
terhadap pluralisme atau keanekaragaman masyarakat dan daerah, dengan
memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk mengatur diri sendiri
melalui local self government, dan melaksanakan model pembangunan yang sesuai
dengan kekhasan masing-masing daerah.

Selanjutnya Mohamad Hatta (dalam E.Koswara, 2000 : 75), mengemukakan bahwa:

…memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi


mendorong perkembangannya auto-activities artinya bertindak sendiri, melaksanakan
sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya
auto-activitiestercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan

2-16
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

yang dilaksanakan oleh rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri,
melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri.

Pelaksanaan otonomi daerah juga harus dibarengi dengan pelaksanaan desentralisasi


sebagai salah satu asas penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di daerah.Mengingat otonomi daerah dan desentralisasi bagaikan dua
sisi dari mata uang yang saling memberi makna satu dengan yang lainnya. Atau
dengan perkataan lain, bahwa pemberian otonomi kepada daerah berarti pemerintah
telah melakukan desentralisasi atau pendelegasian wewenang. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa ada atau tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh
seberapa luas wewenang yang telah didesentarlisasikan atau didelegasikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah dan penerapan azas desentralisasi
tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan sebutan daerah otonom yang oleh
Kaho (1997:14), diartikan sebagai: “daerah yang berhak dan berkewajiban untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”.

Berdasarkan E Koswara (2000 : 73), ada beberapa pertimbangan tentang perlunya


memberikan otonomi kepada daerah dalam rangka desentralisasi, yang ditinjau dari
beberapa sudut pandang:

Pertama, ditinjau dari segi politik, sebagai permainan kekuasaan, pemberian otonomi
kepada daerah dipandang perlu untuk mencegah bertumpuknya kekuasaan di satu
tangan yang akhirnya dapat menimbulkan pemerintahan tirani. Kedua, dari segi
demokrasi, pemberian otonomi kepada daerah dipandang perlu, dengan maksud
mengikutsertakan rakyat dalam kegiatan pemerintahan dan sekaligus mendidik rakyat
untuk menggunakan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ketiga, dari segi teknis organisatoris pemerintahan, pemberian otonomi daerah
dipandang sebagai cara untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang
dianggap lebih baik jika diurus oleh pemerintah setempat diserahkan kepada daerah.
Hal-hal yang lebih tepat berada di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintah
pusat.Keempat, dari segi manajemen, sebagai salah satu unsur administrasi, suatu
pelimpahan wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban bagi
penunaian suatu tugas merupakan hal yang wajar.Dalam beberapa hal, pemberian
otonomi daerah dipandang dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih cepat

2-17
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

dan luwes.Ia dapat memberikan dukungan yang lebih konstruktif dalam proses
pengambilan keputusan.

Dari berbagai penjelasan tersebut, Departemen Dalam Negeri bekerja sama Fisipol
Universitas Gajah Mada (1977 : 19) kemudian membuat ciri-ciri daerah otonom
sebagai berkut:

1. Adanya urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat untuk diatur


dan diurus sendiri dalam batas-batas wilayahnya (sering disebut urusan-urusan
otonom);
22. Adanya alat-alat perlengkapan atau aparat sendiri untuk mengatur serta mengurus
urusan-urusan yang diserahkan kepadanya;
23. Pengurusan dan pengaturan itu dilakukan atas inisiatif sendiri;
24. Untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tersebut perlu memiliki sumber
keuangan sendiri.

Dari berbagai konsep tentang implementasi kebijakan otonomi daerah yang


berhubungan dengan pelaksaan UU Nomor 32 tahun 2004 maka sedikitnya terdapat 3
(tiga) hal penting yang menjadi pokok perhatian, yaitu: Peranan Pemerintah Daerah,
Fasilitas Penunjang, dan Pelayanan Masyarakat.

Dalam kaitan dengan rencana pembentukan suatu daerah otonom, apapun yang
menjadi dasar legalitas pembentukannya, tampaknya otonomi daerah yang
menyertainya haruslah “otonomi yang membuat daerah dan masyarakatnya lebih
berdaya (mampu) sehingga ketergantungan kepada pemerintah pusat menjadi
berkurang dan karenanya beban pusat berangsur-angsur menurun”
(Suryawikarta,1995). Pelaksanaan otonomi daerah yang ditopang oleh political will
akan memberikan implikasi strategis dalam menajemen pembangunan dan pelayanan
umum kepada masyarakat.

Dalam konteks manajemen pembangunan sistem otonomi daerah mengandung 2


(dua) makna (Suprayogi, 1995 : 8) :

Pertama, daerah akan semakin meningkatkan kinerja pelayanan yang diberikan


pemerintah daerah kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan, dalam pelayanan publik
akan mendekatkan institusi pelayanan dengan masyarat yang dilayani. Efisiensi
pelayanan publik dapat dicapai karena (1) pemerintah daerah lebih mengetahui
keadaan daerahnya; (2) dalam menghadapi masalah perencanaan dan pelaksanaan

2-18
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

pembangunan dapat diatasi dengan lebih cepat, karena pengambilan keputusan lebih
bersandar pada inisiatif pimpinan daerah sesuai dengan akala prioritas.

Kedua, sebagai upaya lebih memberdayakan pemerintah daerah dalam meningkatkan


kinerja didaerah masing-masing secara umum, desentralisasi dipakai sebagai metode :
(1) penyebaran personil, fasilitas fisik dan pelayanan; (2) redistribusi fungsi-fungsi atau
kekuasaan pemerintah (wolfers, 1985 :3). Perubahan struktur menjadi hal penting
karena kemampuan sebuah institusi dan manajemen untuk beradaptasi dengan
perubahan akan sangat tergantung pada struktur dan perubahan perilaku performance
dengan perubahan akan sangat cepat, bermutu, efisien dan berkeadilan. Hal tersebut
mendorong terbentuknya institusi pelayanan publik yang lebih otonom dan lebih
adaptif agar kualitas dan kecepatan pelayanan tidak lagi mendapat kendala dari
struktur dan mekanisme birokrasi panjang.

Diyakini bahwa melalui otonomi pada daerah otonom kabupaten/kota maka


penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat
akan lebih dapat dapat ditingkatkan. Dikemukakan oleh McRae (1995) bahwa ukuran
kegiatan pemerintah dari waktu ke waktu diperkirakan akan semakin berkurang.
Karena itu pemerintah pusat perlu melakukan dekonsentrasi dalam proses demokrasi
secara bertahap dilakukan dengan cara menyerahkan sebagian urusan pemerintahan
pada badan-badan pemerintahan otonom tingkat lokal yang nantinya sebagian urusan
tersebut disarahkan untuk diselenggarakan oleh masyarakat. Bentuk kedua,
pemerintah pusat menyerahkan urusan atau sub urusan tertentu langsung untuk
diselenggarakan oleh masyarakat dengan pengawasan dan pengendalian pemerintah.

Apabila pemerintah pusat yang mewakili lembaga negara bangsa tidak mau secara
sukarela dan berkesinambungan melakukan desentralisasi, ada kemungkinan
masyarakat akan mencari alternatif jalan keluar yang lain. Seperti dikatakan oleh
Dorodjatun Kuntjoro Jakti dalam kata pengantar buku tulisan Paul Kennedy (1995)
bahwa :

“…masyarakat mulai berpaling, kalau tidak ke lembaga-lembaga “subnasional” maka ke


lembaga-lembaga “tradisonal” untuk menghadapi berbagai permasalahan yang datang
dari proses perubahan Akibat selanjutnya, terjadilah proses relokasi baik dari
kekuasaan maupun otoritas ke lembaga-lembaga subnasional atau transnasional
tersebut”

2-19
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Menghadapi kecenderungan semacam itu, pemerintah pusat di Indonesia beberapa


waktu yang lalu telah mengambil antisipasi yang tepat dengan cara lebih banyak
melakukan desentralisasi urusan pemerintah pada Kabupaten/Kota.

Berkenaan dengan hal ini Maddlick (1971:39) mengemukakan 5 (lima) hal yang dapat
diurus atau dipelihara oleh pemerintah daerah yaitu:

1. Komunikasi dengan dan melibatkan masyarakat setempat dan pimpinan untuk


mempertemukan masalah-masalah sosial perorangan yang muncul dari perubahan
teknologi dan kekacauan masyarakat;
25. Inisiatif, semangat dan konsentrasi, daya untuk mengadaptasikan untuk
mempertemukan kebijaksanaan nasional serta membuat rencana-rencana
pembangunan menjadi lebih realistis bagi masyarakat setempat dan lebih cocok
dengan kebutuhan setempat serta keadaan setempat;
26. Koordinasi dan perencanaan komprehensif untuk mengintegrasikan berbagai
aktifitas yang saling terkait pada kebijaksanaan daerah dan keputusan-keputusan
lanjutan;
27. Profesionalisme untuk meningkatkan efisiensi teknis dan saran serta pelaksanaan
kebijaksanaan dan memadukannya;
28. Akuntabiltas dari pemilihan yang representatif dan akuntabilitas dari para pejabat
dapat meningkatkan kejujuran dan sensitifitas masyarakat.

Dari sudut pandang yang lain, relokasi kekuasan maupun kewenangan dari lembaga
nasional kepada lembaga-lembaga subnasional berarti menunjukan adanya
desentralisasi. Agar desentralisasi dapat berjalan dengan baik dan memberi manfaat
bagi kehidupan masyarakat luas, maka lembaga subnasional tersebut harus mampu
melaksanakan kekuasaan dan wewenang yang diberikan serta di
pertanggungjawabkan hasil-hasilnya. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia, lembaga-lembaga subnasional tersebut tidak lain adalah Pemerintah
Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pelaksana dari kekuasaan dan
kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah otonom.

Disisi lain, dengan terbentuknya daerah otonom yang memilki otonomi daerah (yaitu
dicerminkan oleh adanya pemerintah daerah, yang terdiri atas kepala daerah dan
DPRD) dapat diupayakan bahwa fungsi pemerintah daerah adalah sebagai “front-line

2-20
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

management” yang berorientasi pada pelayanan (empowerment) masyarakat dan


bukan ketergantungan (dependent) masyarakat terhadap pemerintah.

Tujuan politis, dalam konteks pemerintahan, melalui desentralisasi dibentuk daerah-


daerah otonom yang diberi keleluasaan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Di sini nampak bahwa tujuan pembentukan daerah otonom bersifat
politik karena kepada daerah otonom bersangkutan diberi kewenangan untuk
membuat aturan hukum sendiri, memungut pajak dan retribusi sendiri sepanjang
masih dalam batas-batas yuridiksinya serta masih sejalan dengan kebijaksanaan
nasional. Tujuannya sangat jelas yaitu dalam rangka pendemokrasian kehidupan
masyarakat, karena rakyat dilibatkan secara langsung maupun tidak langsung dalam
proses pemerintahan setempat. Mereka menentukan sendiri berbagai hal yang kiranya
dapat diselenggarakan berkaitan dengan kepentingan masyarakat setempat.

Tujuan ekonomis, dalam arti pembentukan daerah otonom dapat membuat proses
bernegara menjadi lebih efektif dan efisien. Tujuan ini sangat cocok untuk negara
Indonesia yang wilayahnya terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan serta
masyarakatnya terdiri dari banyak etnis. Melalui desentralisasi yang dilanjutkan dengan
pembentukan daerah otonom, berarti masyarakat setempat diberi kekuasaan dan
wewenang untuk menyelesaikan masalah setempat dengan cara setempat oleh orang
setempat. Hal semacam ini akan membuat kemungkinan terjadi keadaan yang lebih
baik secara cepat, tepat dan hemat.

Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan terjadi keadaan yang sebaliknya.


Pembentukan daerah otonom justru menciptakan birokrasi yang lebih panjang serta
lebih mahal sehingga menciptakan kondisi ekonomi biaya tinggi. Kondisi semacam itu
dapat dihindari apabila pemerintah pusat sebagai pemegang mandat kekuasaan rakyat
tidak menjalankan politik “desentralisasi setengah hati”, atau ”dilepas kepalanya
dipegang ekornya”. Ini berarti secara formal telah dilakukan penyerahan berbagai
urusan pemerintah kepada suatu daerah otonom, tetapi secara materil pemerintah
pusat masih terlampau banyak campur tangan sehingga daerah tidak mempunyai
kebebasan untuk mengembangkan kreatifitasnya. Politik desentralisasi setengah hati
dapat pula berarti urusannya diserahkan tetapi sumber pembiayaan, peralatan serta
personilnya dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah pusat.

2-21
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Tujuan administratif, maksudnya bahwa melalui pembentukan daerah otonom,


pembangunan dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan merata karena adanya
pembagian tugas yang lebih tersebar. Dalam hal ini daerah otonom melalui
pemerintah daerahnya dapat berperan sebagai promotor pembangunan sosial dan
ekonomi. Internasional Union of Local Authorities (IULA,1997) misalnya
mengumpulkan berbagai tulisan yang menganalisis peranan tersebut.

Tujuan pembentukan daerah otonom yang ke empat mencakup aspek sosial budaya.
Maksud dari pernyataan ini yaitu bahwa dengan terbentuknya daerah otonom yang
merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum, maka keanekaragaman kehidupan
sosial dan kebudayaan dari masyarakat setempat akan tetap terpelihara dan
berkembang sejalan dengan kemajuan jaman.

2.4. Pembentukan Daerah Otonom

J. Piry (dalam The Liang Gie, 1969 : 133-144) mengemukakan 3 (tiga) kriteria yang
perlu diperhatikan di dalam pengembangan wilayah Indonesia, yaitu: pertama, fakta-
fakta objektif, yang mencakup:

1) Daerah, terdiri dari luas, keadaan geografis, wilayah administratif di masa lampau,
status daerah (swapradja atau bukan), perhubungan dalam daerah dan antar daerah,
dan banyaknya Kabupaten/Kota dalam suatu provinsi;

2) Penduduk, mencakup banyaknya, kesukubangsaan (entitas) dan banyaknya jiwa


tiap-tiap suku, agama, dan tingkat kebudayaan serta kecerdasan penduduk;

3) Ekonomi mencakup mata pencaharian rakyat, kemungkinan ekonominya di


kemudian hari, hasil-hasil daerah, peranan daerah dalam impor dan ekspor, dan
hubungan ekonomi antar daerah;

4) Keuangan, mencakup pokok-pokok penghasilan daerah dan sumber-sumber lain


yang dapat memperkuat kas daerah. Kedua, fakta-fakta subjektif, terdiri dari: (1)
sejarah; (2) agama dan adat istiadat; dan (3) kepentingan bersama. Ketiga, fakta-fakta
psikologis, yaitu fakta-fakta politik yang meninjau pembagian wilayah secara politis
dengan memperhatikan luasnya dukungan dan situasi politik untuk membentuk
provinsi dan kabupaten/kota.

Dipertegas kembali oleh Sadu Wasistiono (STPDN, 1994 dan 1995) membuat variabel
dan indikator pembentukan Kabupaten/Kota sebagai berikut:

2-22
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Pertama, variabel kemampuan ekonomi, terdiri dari: 1) Sub variabel kemampuan


ekonomi masyarakat, meliputi: a. mata pencaharian penduduk; untuk daerah otonom
bercirikan perkotaan, maka >75% penduduknya bergerak di sektor sekunder dan
tersier. Sedangkan untuk daerah otonom bukan perkotaan, maka penduduk yang
bermata pencaharian sekunder dan tersier <25%; b. pendapatan perkapita penduduk;
minimal sama dengan pendapatan perkapita penduduk nasional; c. PDRB, terutama
untuk melihat sektor yang dapat diunggulkan sekaligus menggambarkan potensi obyek
dan subyek pajak daerah; d. Jumlah dan jenis lembaga perekonomian masyarakat,
seperti pasar, bank, perusahaan dan lain sebagainya yang menggambarkan dinamika
ekonomi wilayah. Tolok ukurnya adalah fasilitas umum perkotaan dari Direktorat Cipta
Karya Departemen Pekerjaan Umum. 2) Sub variabel kemampuan ekonomi pemerintah
daerah, dengan indikator, mencakup: a. Pajak dan retribusi daerah yang sudah
dipungut di wilayah itu dan sebagian hasilnya diserahkan kepada daerah; b. Jumlah
badan usaha milik pemerintah yang nantinya akan menjadi badan usaha milik daerah;
c. Potensi PADS yang dipungut di wilayah itu dibandingkan dengan APBD.

Kedua, variabel jumlah penduduk, diperluas pengertiannya menjadi variabel


kependudukan, meliputi indikator-indikator; 1) Jumlah penduduk termasuk tingkat
pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya. Untuk daerah otonom perkotaan, jumlah
penduduk minimalnya dapat menggunakan tolok ukur penduduk kota berdasarkan
ukuran besarnya kota atau mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Nomor 32 Tahun 2004; 2) Kepadatan Penduduk. Untuk daerah otonom perkotaan
menggunakan tolok ukur minimal 60 orang perhektar; 3) Komposisi penduduk
berdasarkan jenis kelamin dan umur, untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat
ketergantungan serta perhitungan kebutuhan fasilitas umum.

Ketiga, variabel luas wilayah, yang diperluas menjadi variabel kewilayahan yang
meliputi indikator: 1) Luas wilayah dalam satuan km 2 atau hektar; 2) Bentuk geografi
dan topografi wilayah (dataran-pegunungan, daratan kepulauan dsb); 3) Sarana dan
prasarana komunikasi dan perhubungan yang memungkinkan daerah tersebut secara
nyata menjadi suatu kesatuan daerah teritorial yang utuh. Indikator ini dapat diukur
antara lain dari tingkat kepadatan telepon dibandingkan jumlah penduduk, nisbah
pemilikan kendaraan pribadi dan angkutan umum dibandingkan dengan jumlah
penduduk; 4) Rentang kendali antara satuan pemerintah dengan satuan pemerintah
yang lainnya yang lebih rendah tingkatannya.

2-23
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Keempat, variabel pertahanan dan keamanan, yang dijabarkan dalam indikator-


indikator :

1. Kedudukan daerah dalam sistem pertahanan keamanan nasional;


29. Potensi dan integritas gangguan keamanan yang sekiranya dapat membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa;
30. Potensi dan intensitas gangguan kriminalitas yang dapat menjurus ke arah
gangguan keamanan.

Kelima, variabel lainnya yang dapat meliputi dua variabel yaitu: 1. Sub variabel situasi,
kondisi dan potensi yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, yang
meliputi indikator: a) aparatur daerah dilihat dari jumlah dan kuantitasnya; b)
peralatan pemerintah dilihat dari jumlah dan kualitasnya; c) organisasi sosial dan
organisasi politik dilihat dari jumlah dan jenisnya; d) organisasi profesi dilihat dari
jumlah dan jenisnya; 2. Sub variabel situasi, kondisi dan potensi yang memungkinkan
daerah melaksanakan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa, yang
meliputi indikator-indikator a) tingkat kesadaran politik masyarakat yang antara lain
dilihat dari tingkat partisipasi pada saat pemilu serta persentase penduduk yang telah
mengikuti penataran P4; b) potensi dan intensitas konflik-konflik politik yang sekiranya
dapat menimbulkan ketidakstabilan politik.

2.5. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang


Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah

Sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 dikemukakan bahwa pembentukan daerah


meliputi:

1. Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian


daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah
atau lebih;
31. Pembentukan daerah dapat berupa pembentukan daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota;
32. Pembentukan daerah provinsi dapat berupa:
a) pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih;
b) penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah
provinsi yang berbeda; dan
c) penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.

2-24
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

33. Pembentukan daerah kabupaten/kota dapat berupa:


a) pemekaran dari 1 (satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau
lebih;
b) penggabungan beberapa kecamatan yang bersandingan pada wilayah
kabupaten/kota yang berbeda; dan
c) penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu) kabupaten/kota.

Sebagaimana dijelaskan pada pasal 3 dikemukakan bahwa daerah yang dibentuk


dapat dimekarkan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan
pemerintahan 10 (sepuluh) tahun bagi provinsi dan 7 (tujuh) tahun bagi kabupaten
dan kota.

Pada pasal 4 pembentukan daerah dilakukan berupa:

1. Pembentukan daerah provinsi berupa pemekaran provinsi dan penggabungan


beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda
harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan;
2. Pembentukan daerah kabupaten/kota berupa pemekaran kabupaten/kota dan
penggabungan beberapa kecamatan yang bersandingan pada wilayah
kabupaten/kota yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan
fisik kewilayahan.

Syarat didalam pembentukan daerah sesuai pasal 5 dijelaskan beberapa syarat,


diantaranya:

1. Syarat administratif pembentukan daerah provinsi meliputi:


a) Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan
wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi
berdasarkan hasil rapat paripurna;
b) Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama
bupati/walikota calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon
provinsi;
c) Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon
provinsi berdasarkan hasil rapat paripurna;
d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan
e) Rekomendasi menteri.
2. Syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi:

2-25
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

a) Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan pembentukan


calon kabupaten/kota;
b) Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon
kabupaten/kota;
c) Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon
kabupaten/kota;
d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota
dan;
e) Rekomendasi menteri.
3. Keputusan DPRD kabupaten/kotadiproses berdasarkan aspirasi sebagian besar
masyarakat setempat;
4. Keputusan DPRD provinsi berdasarkan aspirasisebagian besar masyarakat
setempat yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan
menjadi cakupan wilayah calon provinsi.

Syarat teknis sesuai pasal 6 didalam pembentukan daerah meliputi:

1. Syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan
keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendalipenyelenggaraan
pemerintahan daerah;
5. Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru
apabila calondaerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh
indikator dan perolehannilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan
ekonomi, faktor potensi daerah danfaktor kemampuan keuangan dengan kategori
sangat mampu atau mampu.

Syarat fisik kewilayahan sesuai pasal 7 didalam pembentukan daerah meliputi:


cakupan wilayah, lokasicalon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.

Cakupan wilayah didalam pembentukan daerah sesuai pasal 8 antara lain;

1. Pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota;


6. Pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan; dan
7. Pembentukan kota paling sedikit 4 (empat) kecamatan.

Cakupan wilayah di provinsi pada Pasal 9 dalam pembentukan daerah meliputi:

2-26
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

1. Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon


provinsi;
2. Peta wilayah dilengkapi dengan daftar namakabupaten/kota dan kecamatan yang
menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama
wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara
tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi;
3. Peta wilayah dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga
teknis dan dikoordinasikan oleh menteri.

Lokasi calon ibu kota dalam pembentukan daerah sesuai pasal 12 antara lain:

1. Lokasi calon ibukota ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan DPRD
provinsi untuk ibukota provinsi, dengan keputusan bupati dan keputusan DPRD
kabupaten untuk ibukota kabupaten;
2. Penetapan dilakukan hanya untuk satu lokasi ibukota;
3. Penetapan lokasi ibukota dilakukan setelah adanyakajian daerah terhadap aspek
tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letakgeografis,
kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya;
4. Pembentukan kota yang cakupan wilayahnya merupakan ibukota kabupaten, maka
ibukota kabupaten tersebut harus dipindahkan ke lokasi lain secara bertahap paling
lama 5 (lima) tahun sejak dibentuknya kota.

2.6. Peranan Pemerintah Daerah

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah


daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Pemerintah Daerah adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri dari
Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah. Pemerintah daerah dapat
berupa Pemerintah Daerah Provinsi (Pemprov), yang terdiri atas gubernur dan
perangkat daerah, yang meliputi sekretariat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis
daerah. Selain itu pemerintah daerah dapat berupa pemerintah daerah kabupaten
yang terdiri atas bupatidan perangkat daerah, yang meliputi sekretariat daerah, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

2-27
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

2.6.1 Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

Aparatur pemerintah daerah menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan


tugas pembantuan.Yang dimaksud dengan asas desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat atau sebagai
perangkat pemerintah pusat di daerah.Dekonsentrasi merupakan pelimpahan tugas
dan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan dari daerah ke
desa. Dalam prakteknya penyelenggaraan proses desentralisasi secara utuh dan bulat
yang dilaksanakan di daerah kabupaten atau kota. Selain itu juga ada asas tugas
pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah provinsi.

Sebenarnya, masalah desentralisasi pada akhirnya akan bermuara pada masalah


perimbangan keuangan yang merupakan sumber penggerak roda pemerintahan
daerah. Prinsip otonomi dan kesatuan bangsa serta implikasinya bagi pemerataan
pembangunan harus merupakan dasar pertimbangan bagi penyusunan bagi
perimbangan keuangan dan pembagian wewenang.Prinsip otonomi memberi
wewenang kepada daerah untuk mengurus daerahnya dengan mengandalkan
sebagian besar pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah dari sumber
keuangannya sendiri, di samping hak untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah
pusat.

Masing-masing daerah mempunyai potensi yang berbeda-beda, baik sumberdaya


alamnya maupun tingkat kecerdasan sumberdaya manusianya, sehingga
mengakibatkan daerah yang kaya bertambah kaya dan sebaliknya daerah miskin
menjadi lebih miskin atau dapat disimpulkan bahwa masalah perimbangan keuangan
pusat-daerah merupakan masalah yang syarat dengan muatan ketatanegaraan, politik,
sosial budaya, ekonomi, dan administrasi negara secara keseluruhan.

Dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Pemerintah Daerah dan Undang-


Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
diharapkan akan memecahkan permasalahan perimbangan pusat-daerah. Walaupun
beberapa pihak masih belum puas, karena masih ada tuntutan yang menyebutkan
bahwa formula alokasi daerah otonom tersebut belum mencerminkan keuangan yang

2-28
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

lebih menjamin efisiensi dan keadilan serta belum memperhatikan implikasi kebijakan
yang akan ditimbulkan.

Prinsip pemberian otonomi menyelenggarakan pemerintah daerah menurut Undang-


undang Nomor 32 tahun 2004 adalah :

1. Kewenangan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab bagi daerah


kota/kabupaten. Untuk daerah kota/kabupaten kewenangan yang luas memiliki
makna sebagai keleluasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintahan kecuali beberapa bidang
yang diurus pusat. Kewenangan itu dimiliki kabupaten dan kota secara utuh dan
bulat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan
evaluasi. Otonomi yang nyata artinya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah dibidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serat tumbuh,hidup dan berkembang di daerah tersebut. Otonomi yang
bertanggung jawab adalah berupa perwujudan tanggung jawab sebagai
konsekuensi pemberian hakdan kewenangan kepada daerah dalam bentuk tugas
dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam rangka pencapaian tujuan
pemberian otonomi, yaitu berupa peningkatan pelayanan kehidupan demokrasi,
keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat
dan daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
34. Otonomi yang terbatas untuk daerah provinsi yakni provinsi hanya sebagai
pengawas kota dan kabupaten di bawahnya tidak turut campur tangan.

2.6.2 Otonomi daerah

1) Pengertian Otonomi Daerah

Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dimaksud


dengan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku.

Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai


batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2-29
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Berdasarkan uraian diatas dalam hal ini pemerintah daerah memperoleh keuntungan
besar dengan pelaksanaan otonomi daerah karena ada perhatian pemerintah pusat
untuk menetapkan ruang lingkup kekuasaanya menjadi kewenangan daerah.Dengan
ketetapan ini daerah diperbolehkan untuk menetapkan keputusan-keputusan sendiri
serta berusaha memperkuat kemampuannya agar dapat menjalankan kewenangannya
agar lebih efektif.

2) Prinsip-Prinsip Pemberian Otonomi Daerah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan
dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.Dengan
memperhatikan pengalaman penyelenggaraan pemerintah daerah di masa lampau
yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan
penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka
pemberian kewenangan otonomi kepada daerah didasarkan kepada asas desentralisasi
dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Menurut (UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah :167) ”, prinsip-
prinsip pemberian otonomi daerah adalah prinsip otonomi seluas-luasnya, prinsip
otonomi nyata dan prinsip otonomi yang bertanggungjawab”.

Prinsip-prinsip otonomi dapat diuraikan sebagai berikut :

 Prinsip otonomi seluas - luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah
yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

 Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
nyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah.

 Prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam


penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi.

3) Tujuan Otonomi Daerah

Dalam pelaksanaan otonomi daerah ditujukan untuk memungkinkan daerah yang

2-30
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagaimana


dijelaskan dalam (UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah : 167), yaitu:
pemerintah daerah tingkat kabupaten diberi kewenangan yang luas dalam
menyelenggarakan semua urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi kecuali kewenangan dibidang politik luar
negeri, pertahanan, peradilan, moneter, fiskal, agama, dan kewenangan lain yang
ditetapkan peraturan pemerintah.

Dari penjelasan di atas dalam hal ini pemerintah daerah mempunyai tugas dan
kewajiban dalam mencapai tujuan otonomi daerah, yang berupa peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat serta memelihara hubungan yang serasi
antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sedangkan tujuan otonomi daerah yaitu untuk memacu pemerataan pembangunan


dan hasil-hasilnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, untuk memperkuat
persatuan bangsa dan kesatuan bangsa. Dari tujuan otonomi daerah di atas dapat
diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya adalah negara


kepulauan yang wilayahnya sangat luas untuk memperlancar pembangunan di
segala bidang tidak mungkin seluruhnya diurus oleh pemerintah pusat, sehingga
perlu dibentuk pemerintah daerah. Dengan adanya pembentukan pemerintah
daerah tersebut, masing-masing daerah diharapkan mampu melaksanakan
pembangunan secara merata di seluruh daerahnya;
35. Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat perubahan politik nasional yang sejalan
pergantian penguasa telah memicu perubahan-perubahan penting di suatu
pemerintahan, termasuk pemerintah daerah. Dengan adanya perubahan tersebut
diharapkan kesejahteraan rakyat di daerah dapat terwujud.
36. Untuk memperkuat persatuan bangsa dan kesatuan bangsa, pelaksanaan otonomi
daerah berdasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab yang berupa
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
wewenang kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul
oleh daerah. Dalam hal ini masing-masing daerah diharapkan mampu memelihara

2-31
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah sehingga
persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga.

2.6.3 Dasar dan Konsekuensi Pembentukan Daerah Otonom

Sejalan dengan pembentukan pemerintahan daerah maka kemudian muncul persoalan


mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ( Manan,
1994).Persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah muncul karena
pelaksanaan kewenangan, tugas dan tanggungjawab pemerintahan negara kemudian
tidak hanya dilakukan oleh pemerintahan pusat tetapi juga oleh pemerintahan
daerah.Pemerintahan daerah melaksanakan sebagian kewenangan, tugas maupun
tanggung jawab pemerintahan, yakni kewenangan, tugas maupun tanggung jawab
yang telah diserahkan kepada daerah atau yang diakui sebagai urusan daerah yang
bersangkutan. Sejalan dengan azas desentralisasi maka hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah seharusnya memiliki beberapa kondisi berikut: pertama, tidak
mengurangi hak-hak masyarakat daerah sebagai stakeholder dan salah satu pilar good
governance untuk turut terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah;
kedua, tidak mengurangi hak-hak daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa untuk
mengatur dan mengurus sesuatu yang dianggap penting oleh daerah; ketiga, bentuk
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antara daerah yang
satu dengan yang lain dapat berbeda-beda sesuai dengan keadaan khusus masing-
masing daerah, serta keempat, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah
dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di daerah.

Atas dasar kerangka sebagaimana dikemukakan di atas, pembentukan suatu daerah


otonom (kabupaten, kota maupun provinsi) beserta pemerintahnya memiliki implikasi
yang sangat luas dan mencakup berbagai dimensi. Tujuan utama pembentukan
daerah otonom yang baru adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat,
khususnya di daerah otonom yang bersangkutan, dan umumnya di seluruh negara.
Pembentukan suatu daerah otonom secara teoritis akan dapat meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, mempercepat pertumbuhan kehidupan berdemokrasi,
mempercepat pelaksanaan pembangunan ekonomi di daerah, mempercepat
pengelolaan potensi daerah, meningkatkan keamanan dan ketertiban, serta
meningkatkan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh
karena itu yang paling penting dipertanyakan dalam konteks pembentukan daerah

2-32
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

otonom baru (kabupaten, kota maupun provinsi) adalah apakah pembentukan daerah
otonom baru akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat,
mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan, mempercepat gerak roda
perekonomian daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta membuat
kehidupan masyarakat menjadi lebih baik?.Oleh karena itu sejalan dengan
pembentukan daerah otonom yang baru diperlukan pengkajian atau analisis atas
berbagai aspek yang diduga memiliki kontribusi terhadap jawaban pertanyaan-
pertanyaan tersebut.

Sejalan dengan itu dalam rangka pembentukan daerah otonom baru perlu dilakukan
pula upaya pemberdayaan (empowering) pemerintah dan masyarakat daerah.Hal ini
agar pelaksanaan azas desentralisasi sejalan dengan pembentukan daerah otonom
baru dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.Sejalan dengan kedudukan pemerintah
daerah selaku daerah otonom maka pemberdayaan pemerintah daerah tidak hanya
menyangkut organisasi beserta aparat yang mendukung ( capicity building)
masyarakatnya, serta kemampuan keuangannya, karena tanpa sumber keuangan yang
memadai maka daerah tidak mungkin dapat melaksanakan fungsinya dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat.

2.7. Landasan Hukum dan Operasional

Beberapa landasan hukum yang menjadi pertimbangan dalam Studi Kajian Pemekaran
Wilayah Provinsi Kotawaringin adalah:

1. Undang-Undang, antara lain:

a) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

b) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

c) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
2. Peraturan Pemerintah, antara lain :

a) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara


Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah;

2-33
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

b) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata


Ruang Wilayah Nasional (RTRWN);
c) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.

2.8. Konsep Pengembangan Wilayah

Dalam prosesnya pengembangan wilayah dikenal kaidah berupa fungsi seberapa


efektifnya kegiatan ekspor wilayah atau sektor basis di wilayah tersebut berkaitan
dengan mobilisasi kegiatan pemerintah serta masyarakat dalam mengambil bagian
kesempatan pembangunan yang muncul dan berlangsung dalam kerangka sistem tata
ruang.

Pengembangan wilayah sebagai upaya melakukan perubahan yang lebih baik dari
sebelumnya yang ditandai oleh membaiknya faktor-faktor produksi. Berikut merupakan
faktor faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu pengembangan wilayah yaitu:

1. Faktor-faktor produksi yaitu kesempatan kerja, investasi, dan teknologi yang


dipergunakan dalam proses produksi. Lebih lanjut, wujud dari membaiknya
ekonomi suatu wilayah diperlihatkan dengan membaiknya tingkat konsumsi
masyarakat, investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan
oleh suatu negara. Secara mudah, perekonomian wilayah yang meningkat dapat
diindikasikandengan meningkatnya pergerakan barang dan masyarakat antar
wilayah (Kusro Susilo).
37. Efisiensi, terkait dengan meningkatnya kemampuan teknologi/sistem dan kualitas
sumber daya manusia dalam pelaksanaan pembangunan (Dedi M Masykur Riyadi).
38. Partisipasi masyarakat, yang dapat menjamin keberhasilan suatu program
pemerintah di suatu wilayah (Dedi M Masykur Riyadi).
39. Hubungan dengan daerah sekitar atau dengan daerah lain.
40. Untuk wilayah kabupaten di Indonesia saat ini masih dapat dimekarkan menjadi
beberapa kabupaten yang baru, sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada
daerah dengan areal yang luas. Hasil pemekaran kabupaten ini dapat mengambil
kebijakan tersendiri dalam mengelola sumberdayanya.

Menurut Mochtar Lubis kekuasaan harus dijinakkan dengan berbagai perlembagaan


negara dan sistem perimbangan kekuasaan. Dengan adanya jaminan kebebasan
menyatakan pendapat serta harus ditunjang dengan kode etik, moral dan undang-

2-34
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

undang yang menjamin keterbukaan pemerintah dan masyarakat, keadilan hukum


yang merata bagi semua warga negara serta tidak adanya diskriminasi.

Berdasarkan konsep diatas dapat diindikasikan bahwa dalam suatu kebijakan


pembangunan harus juga mempertimbangkan pengaruh balik (akibat siklus) kebijakan
(Suwardjoko Warpani, 1984). Akibat siklus ini suatu kebijakan memberikan kesimpulan
adanya wilayah lemah dan wilayah terbelakang dalam perekonomian daerah.

Dalam kenyataan, suatu daerah tidak sepenuhnya berdiri sendiri, melainkan


berhubungan satu sama lain. Pasang surut perkembangan suatu daerah akan
mempengaruhi pasang surut daerah disekitarnya.

Daerah A Makin maju


sudah maju

Perbedaan pendapatan
Bantuan makin tajam

Proses siklis

Daerah B Makin tergantung


terbelakang daerah lain

Pendapatan naik

Tidak ada
proses siklis Konsumsi naik

Impor barang dari


Arus uang daerah maju

Gambar 2.2 Diagram Proses Siklis Dari Daerah Maju


Sumber : Suwardjoko Warpani, 1984

Skema berikut menunjukkan proses siklis yang terjadi karena pengaruh daerah maju
(A) kepada daerah yang kurang maju atau terbelakang (B). daerah A yang sudah maju
memberikan bantuan kepada daerah B yang belum maju sehingga pendapatan

2-35
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

masyarakat daerah B meningkat. Bagi daerah terbelakang, peningkatan pendapatan


cenderung habis untuk konsumsi daerahnya karena belum ada produksi daerah,
pemenuhan kebutuhan dilakukan melalui impor.

Kegiatan impor ini menyebabkan adanya arus uang kembali ke daerah A dan terjadilah
siklus balik. Bagi daerah B tidak terjadi proses siklis tersebut, karena produksi daerah
belum ada atau sangat rendah. Jika tidak ada perubahan kebijakan pembangunan
daerah B, maka daerah B selamanya akan tergantung kepada daerah lain karena
sifatnya yang konsumtif.

Keadaan sosial ekonomi yang berbeda dari setiap daerah akan membawa implikasi
bahwa cakupan campur tangan pemerintah untuk tiap daerah berbeda pula.
Perbedaan tingkat pembangunan antar daerah, mengakibatkan perbedaan tingkat
kesejahteraan antar daerah, karena kegiatan ekonomi akan menumpuk di tempat-
tempat dan daerah tertentu, sedangkan tempat-tempat atau daerah lainnya akan
semakin tertinggal (Lincolin, 2002:129).

Perpindahan modalpun cenderung menambah ketidakmerataan. Di daerah-daerah


yang sedang berkembang, permintaan barang dan jasa akan mendorong naiknya
investasi, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya daerah-
daerah yang kurang berkembang, permintaan akan investasi akan rendah karena
pendapatan masyarakat yang rendah. Semua perubahan untuk daerah-daerah yang
dirugikan akan timbul karena adanya ekspansi ekonomi dari suatu daerah yang disebut
backwash effects (Lincolin, 2002:129).

Disamping adanya pengaruh kurang menguntungkan bagi daerah lain, pengaruh yang
menguntungkan didapatkan daerah-daerah di sekitar di mana ekspansi ekonomi
terjadi, misalnya terjualnya hasil produksi daerah, adanya kesempatan kerja baru, dan
sebagainya. Pengaruh yang menguntungkan karena terjadinya ekspansi ekonomi ini
disebut spread effect (Lincolin, 2002:129).

Hirschman (1958) mengemukakan bahwa jika suatu daerah mengalami


perkembangan, maka perkembangan itu akan membawa pengaruh atau imbas ke
daerah lain. Menurut Hirschman, daerah di suatu negara dapat dibedakan menjadi
daerah kaya dan miskin. Jika kedua perbedaan antara kedua daerah tersebut semakin
menyempit berarti terjadi imbas yang baik karena terjadi proses penetesan ke bawah
(trickling down effect). Sedangkan jika perbedaan antara kedua daerah tersebut

2-36
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

semakin jauh berarti terjadi proses pengkutuban polarization effect (Lincolin,


2002:129).

Memperhatikan pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa apabila proses perekonomian


diserahkan kepada mekanisme pasar maka akan membawa akibat-akibat yang kurang
menguntungkan bagi daerah-daerah terbelakang maupun daerah-daerah maju dan
pada akhirnya justru dapat mengganggu kestabilan ekonomi negara secara
keseluruhan.

Akibat-akibat kurang menguntungkan bagi daerah-daerah miskin adalah (Lincolin,


2002:130).

1. Daerah-daerah miskin tersebut akan mengalami kesulitan dalam membangun


sektor industrinya dan dalam memperluas kesempatan kerja. Penduduk akan
berkembang lebih cepat, sehingga pendapatan per kapita penduduk akan semakin
rendah dan kemudian akan diikuti dengan semakin banyaknya pengangguran.
41. Daerah-daerah miskin tersebut akan sulit merubah struktur ekonominya yang
tradisional, sehingga senantiasa akan lebih mengarah ke pertanian, sedangkan
untuk membangun sektor industri dihadapi banyak kesulitan, seperti kurangnya
pengusaha yang kreatif dan kurangnya tenaga yang terampil.
42. Karena sempitnya kesempatan kerja di daerah miskin tersebut maka akan terjadi
perpindahan tenaga kerja ke daerah maju, terutama tenaga kerja yang masih
muda, yang berjiwa dinamis, dan yang mempunyai pendidikan yang lebih baik
sehingga yang tetap tinggal di daerah miskin hanya tenaga kerja yang
produktifitasnya rendah.

Di pihak lain, daerah-daerah maju pada mulanya akan menikmati banyak keuntungan
dari ekspansi ekonominya, namun pada akhirnya akan mengalami kesulitan juga
(Lincolin 2002:130)antara lain:

1. Karena daerah tersebut harus menampung penduduk dari daerah-daerah miskin,


lama kelamaan daerah kaya tersebut akan menjadi terlalu padat (congested), yang
memaksa pemerintah setempat untuk memperbesar pengeluaran untuk
menciptakan sarana publik yang dibutuhkan masyarakat.
2. Daerah-daerah ini akan menghadapi masalah-masalah sosial sebagai akibat dari
perkembangannya, seperti masalah polusi, kerawanan keamanan dan sebagainya.

2-37
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Bagi negara secara keseluruhan, perbedaan tingkat perkembangan daerah akan


mengakibatkan perbedaan tingkat perkembangan daerah dan mengakibatkan
perbedaan tingkat kemakmuran dalam masyarakat. Keadaan seperti itu dapat
menimbulkan rasa ketidakpuasan antar daerah, yang tidak jarang akan mengarah
pada ketidakstabilan politik bagi negara. Bagi suatu negara, ketidakstabilan politik
akan sangat merugikan terutama dalam jangka panjang. Oleh karena itu pemerintah
perlu mengambil kebijakan tertentu yang dapat mendorong pembangunan daerah-
daerah miskin. (Lincoln, 2002:130).

Ketimpangan pembangunan pun terjadi karena daerah miskin tidak memiliki


kekuasaan untuk mengontrol sumber daya nya sehingga daerah miskin tersebut tetap
tidak berkembang walaupun diupayakan dengan pengadaan fasilitas sarana dan
prasarananya.

Dengan adanya kekuasaan tersebut pada daerah miskin/terbelakang dalam bentuk


otonomi daerah sebagai upaya merealisasikan pemekaran daerah, sesuai dengan
aspirasi masyarakat yang hidup di daerah miskin/terbelakang tersebut.

2.9. Kinerja Pengembangan Wilayah

Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik


kesejahteraan yang bersifat absolut yang dinikmati oleh setiap individu dan kelompok
masyarakat, maupun kesejahteraan yang bersifat relatif dalam arti pemerataan
kesejahteraan atau keadilan. Secara teoritis, kesejahteraan absolut dapat dipercepat
melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pertumbuhan ekonomi dapat dicapai
melalui efisiensi sebagaimana kaidah pareto-optimal (Richard W Tresch, 2002).
Sementara itu, kesejahteraan relatif atau keadilan dapat diakselerasi melalui
pendistribusian pendapatan yang lebih merata. Secara teoritis menganai optimalisasi
kesejahteraan ini telah dikembangkan oleh Bergson dan Samuelson yang terkenal
dengan Bergson-Samuelson Curve (Richard W. Tresch, 2002).

Untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah,


sebagai akselerator proses pembangunan tersebut, baik kebijakan yang bersifat
langsung dalam bidang ekonomi, maupun kebijakan yang bersifat tidak langsung
dalam bidang lainnya seperti bidang pemerintahan dan politik. Salah satu upaya untuk
mempercepat proses pencapaian tujuan pembangunan tersebut dalam bidang
pemerintahan dan politik adalah kebijakan pembagian kewenangan penyelenggaraan

2-38
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

pembangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang lazim


disebut sebagai kebijakan sentralisasi dan/atau desentralisasi. Kebijakan sentralisasi
lebih mengedepankan pendekatan efisiensi untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Dengan kata lain, kebijakan ini lebih menekankan kepada peningkatan kesejahteraan
absolut. Sementara itu kebijakan desentralisasi lebih memprioritaskan dimensi keadilan
atau kesejahteraan relatif (Baban Sobandi,2004).

Dalam konteks ini, kebijakan desentralisasi bertujuan agar semua potensi yang dimiliki
oleh daerah dapat bergerak dan dimanfaatkan menjadi suatu sinergi yang dinamis
dalam memberdayakan ekonomi masyarakat di daerah, sehingga tujuan peningkatan
kesejahteraan absolut dan kesejahteraan relatif dapat segera diwujudkan. Selain itu,
pemerintah daerah melalui berbagai instrumennya harus mampu menggiring semua
sumber daya yang ada menujupola produksi, alokasi dan distribusi yang lebih baik,
sehingga pada gilirannya daerah lebih mandiri dalam kesejahteraan masyarakat yang
lebih tinggi.

Ada beberapa indikator untuk melihat berhasil atau tidaknya kebijakan desentralisasi
tersebut, sekaligus sebagai indikator tercapai atau tidaknya suatu tujuan
pembangunan. Diantara indikator-indikator tersebut, indikator pada bidang ekonomi,
sosial, sarana dan prasarana dasar, serta keuangan daerah, merupakan indikator yang
sangat penting dan relevan untuk dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan dalam
jangka pendek, dan terutama dalam kaitannya dengan implementasi kebijakan
desentralisasi yang direspon oleh daerah dengan tuntutan pemekaran wilayah.

1. Dalam bidang ekonomi, ketercapaian tujuan pembangunan antara lain dapat


dilihat dari pendapatan nasional perkapita, pengurangan jumlah penduduk miskin,
dan tingkat pengangguran. Makin tinggi tingkat pendapatan perkapita
menunjukkan makin berhasil pembangunan yang dicapai. Sementara itu, makin
sedikit jumlah penduduk miskin maka makin berhasil pembangunan tersebut.
Dalam praktek perhitungan pendapatan perkapita di suatu daerah sering
direpresentasikan oleh Produk Domestik Regional Bruto perkapita. Pendapatan
regional adalah seluruh pendapatan yang diperoleh oleh penduduk suatu daerah
dalam satu tahun tertentu. Sedangkan pendapatan regional perkapita adalah
pendapatan regional dibagi jumlah penduduk.
2. Dalam bidang sosial, keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan dapat dilihat
antara lain dalam sektor pendidikan dan kesehatan. Keberhasilan pembangunan

2-39
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

dilihat dari indikator kinerja sektor pendidikan adalah adanya kesempatan bagi
masyarakat usia didik untuk mendapatkan pendidikan yang layak secara kualitas
dankuantitas. Dari sisi kualitas, indikator ini secara operasional dapat dilihat dari
rasio guru terhadap murid. Rasio ini secara teoritis berkorelasi positif dengan daya
serap murid terhadap materi ajaran yang diberikan. Artinya, makin tinggi rasio
guru terhadap murid, maka makin baik daya serap murid terhadap materi yang
diajarkan, sehingga makin tinggi kualitas pendidikan yang didapatkan. Indikator
kesehatan yang paling utama adalah pemerataan kesehatan bagi masyarakat.
Indikator ini dapat dilihat dari rasio tenaga kesehatan terhadap seluruh penduduk.
Makin tinggi rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk maka makin besar
peluang masyarakat secara umum untuk mendapatkan layanan kesehatan yang
makin baik.
3. Dalam bidang sarana dan prasarana dasar, keberhasilan pembangunan dapat
diukur dan dinilai dari ketersediaan dan kecukupan sarana dan prasarana yang
mempunyai peranan penting terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa indikator yang secara empirik dan teoritik mempunyai peran penting ini
antara lain adalah sarana dan prasarana perhubungan serta sarana dan prasarana
penerangan. Keberhasilan pada sektor perhubungan antara lain dapat dilihat
daripanjang jalan yang dimiliki oleh daerah. Hal ini didasari pemikiran, makin
panjang jalan yang dimiliki, maka makin tinggi akses masyarakat kepada berbagai
aktifitas kehidupan termasuk aktifitas perekonomian, sehingga mobilisasi
penduduk antar wilayah atau antarkota dan desa juga makin tinggi. Masih dalam
kaitannya dengan indikator untuk mengukur kinerja pembangunan pada bidang
sarana dan prasarana dasar, sektor listrik merupakan sektor yang penting dan
memberikan daya dongkrak yang besar terhadap aktifitas ekonomi masyarakat
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Atas dasar hal tersebut, rasio jumlah
pelanggan listrik terhadap keseluruhan rumah tangga dijadikan salah satu
indikator keberhasilan pembangunan.
4. Keuangan daerah merupakan salah satu indikator kinerja pembangunan yang
sangat penting dalam kaitannya dengan kebijakan pemekaran wilayah. Secara
langsung pemekaran wilayah berimplikasi kepada pembagian sumber sumber
keuangan. Dampak langsung dan sangat terasa oleh pemerintah daerah terutama
adalah pada sisi penerimaan, khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena
PAD merupakan sumber pendapatan yang objek penerimaannya berada di daerah

2-40
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

yang bersangkutan. Dengan kata lain, pemekaran wilayah berarti pembagian


sumber PAD antara daerah induk dengan daerah yang baru.

2.10. Pemekaran Wilayah

Pemekaran berasal dari kata-kata ‘mekar’ yang artinya yaitu berkembang menjadi
terbuka. Pemekaran yaitu proses menjadi bertambah besar (luas, banyak, lebar).
Pemekaran daerah yaitu suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah
otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru (Djoko
Harmantyo, 2007).

Pembentukan daerah otonom ditujukan untuk mengoptimalkan penyelenggaraan


pemerintahan dengan suatu lingkungan kerja yang ideal dalam berbagai dimensinya.
Daerah otonom yang memiliki otonomi luas dan utuh diperuntukkan guna menciptakan
pemerintahan daerah yang lebih mampu mengoptimalkan pelayanan publik dan
meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal dalam skala yang lebih luas. Oleh
karena itu, pemekaran daerah seharusnya didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan obyektif yang bertujuan untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Akan tetapi, tujuan pembentukan daerah otonom tidak dapat dilihat
semata-mata dari dimensi administrasi dalam arti untuk meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif, tetapi juga dari aspek
ekonomi, politik dan sosial budaya (Rasyid, 2003).

1. Dimensi Administratif

Kebutuhan desentralisasi dari perspektif administrasi adalah untuk membangun


hubungan wilayah pelayanan dengan membentuk organisasi pelaksana di wilayah
kerja atau daerah untuk sejumlah tugas-tugas. Pengorganisasian wilayah
didasarkan pada setiap aktifitas yang dilaksanakan dalam suatu wilayah sehingga
memerlukan area kerja sendiri. Wilayah-wilayah yang diberi status otonom atau
yang di desentralisasikan di yakini akan meningkatkan pelaksanaan administrasi
dan pelayanan kepada masyarakat, karena desentralisasi dapat memberikan
peluang pada penyesuaian administrasi dan pelayanan terhadap karakteristik
wilayah-wilayah yang bervariasi sebagai konsekuensi dan perbedaan-perbedaan
yang dibentuk geografi (Mutalib, 1987).

2-41
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Geografi dalam pengertian fisik menjadi dasar penentuan batas-batas administrasi.


Suatu wilayah geografis dengan wilayah yang relatif kecil adalah areal yang tepat
untuk (Mutalib, 1987):

1. Pelayanan lebih optimal, karena wilayah pelayanan relatif sempit;


2. Pemerintahan lebih responsif karena lebih dekat dengan komunitas yang
dilayani;
3. Partisipasi masyarakat lebih meluas karena akses masyarakat yang relatif
terbuka;
4. Konsolidasi masyarakat menjadi lebih mudah karena kedekatan institusi
dengan masyarakat;
5. Pengawasan menjadi lebih mudah karena wilayah pengawasan yang relatif
sempit.

2. Dimensi Ekonomi

Dimensi lain mendasarkan pada prinsip teknis, yaitu suatu daerah atau wilayah
bagi suatu fungsi pemerintahan ditentukan oleh lingkungan kerja (alam) ataupun
ekonomi seperti air, iklim, kondisi pantai, topografi dan lokasi sumber daya alam
serta distribusi industri. Sumber-sumber alam yang ada di daerah mungkin
memiliki persamaan secara administratif serta menyediakan suatu pola daerah
berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Walaupun daerah-daerah memiliki perbedaan secara
geografis dan administratif akan tetapi administrasi daerah dibuat selalu
berdasarkan pada letak geografisnya yaitu karakteristik-karakteristik serta hal-hal
lain yang berada di daerah itu sendiri.

Bagi para geografer hal-hal lain yang dimaksudkan diatas termasuk di dalamnya
sosial dan ekonomi, lahan batu bara atau daerah-daerah pertanian. Melalui pola-
pola pemukiman serta ciri-ciri komunikasi yang digunakan, ciri-ciri alam
berpengaruh terhadap sosial ekonomi dan juga dapat berpengaruh pada
pandangan masyarakat di wilayah itu (Smith, 1985). Dengan kata lain, dimensi
teknis pembentukan daerah otonom juga terkait dengan aspek-aspek ekonomi.
Menurut teori ini, daerah otonom tidaklah mungkin terbentuk jika daerah tidak
dapat memenuhi pelayanan minimal yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Ini
berarti pembentukan daerah otonom memerlukan persiapan yang sangat panjang
dan matang. Daerah otonom dinilai dari serangkaian parameter yang bersifat

2-42
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

sangat teknis. Suatu daerah baru dapat dikatakan mampu menyelenggarakan


kegiatan secara otonom, jika parameter-parameter ekonomis tersebut dapat
dipenuhi. 

Pertimbangan aspek ekonomi ini menjadi benar jika digunakan bagi daerah-daerah
yang memang berada dalam jalur atau arah perkembangan ekonomi, misalnya di
daerah industrialisasi dan perkotaan. Akan tetapi akan sangat bias jika digunakan
bagi daerah dengan karakteristik tradisional/pedalaman. Sudah dapat dipastikan
jika menggunakan  pendekatan ekonomi ini, maka pembentukan daerah otonom
tidaklah dimungkinkan di daerah-daerah pedalaman,  karena semua standar yang
ditetapkan sudah pasti tidak tercapai.

Secara singkat dapatlah disimpulkan bahwa parameter-parameter ekonomi dalam


pembentukan suatu daerah otonom hanya dapat digunakan pada daerah-daerah
yang sudah maju, memiliki sarana-prasarana yang sudah ditetapkan, dan
masyarakatnya cenderung homogen. Sedangkan bagi daerah–daerah yang masih
bersifat tradisional dan majemuk, parameter ekonomi tidak dapat dipergunakan.

3. Dimensi Politik

Kebutuhan akan pembentukan daerah otonom sejak awal sebenarnya tidak bisa
hanya didasarkan pada pertimbangan teknis semata, tetapi lebih merupakan  hasil
dari tarik menarik atau konflik politik antara daerah dengan pusat (Dahl, 1989).

Menurut Smith (1985), sesungguhnya pembentukan daerah otonom dalam


beberapa hal dapat dianalogikan dengan pembentukan suatu negara yang terikat
dengan identitas bangsa, meskipun dari sisi besaran dan kedalaman politik
keduanya tentulah berbeda. Daerah otonom tidaklah mungkin terbentuk jika tidak
ada hubungan antar masyarakat  dan wilayah tempat tinggalnya. Masyarakat dan
wilayahnya inilah yang memiliki besaran politik tertentu yang mendorong lahirnya
daerah otonom. Dari berbagai kasus pembentukan daerah otonom di berbagai
belahan dunia, dimensi politik ini merupakan unsur yang mendominasi
pembentukan sebagian besar daerah otonom. Bahkan untuk daerah otonom yang
dibentuk melalui inisiatif pemerintah pusat pun, dimensi politik selalu menjadi
pertimbangan utama dalam peta pembentukan daerah otonom.

Teori politik dalam pembentukan suatu daerah otonom, jika dicermati sebetulnya
mengacu pada teori masyarakat dan wilayah. Menurut teori ini kehadiran

2-43
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

masyarakat  di suatu wilayah erat kaitannya dengan rasa keamanan, ketentraman


dan kepastian adanya sumber-sumber yang menjamin kelangsungan kehidupan
dan reproduksi sosial mereka. Semakin lama ikatan antara masyarakat dan
wilayahnya menjadi sangat dalam, sehingga melahirkan identitas sosial khusus
kepada masyarakat.

4. Dimensi Sosial Budaya

Budaya dan etnik selalu membentuk bagian sosial dari suatu daerah yang khusus
berdasarkan sejarah yang dibentuk dari elemen-elemen yang saling berbeda dari
suatu kelompok etnik ke kelompok etnik yang lain (Urwin, 1982). aspek sosial
budaya mengasumsikan, jika suatu masyarakat terikat dengan suatu sistem
budaya tersendiri yang memberi perbedaan identitas budaya dengan masyarakat
lain, maka secara politis ikatan kesatuan masyarakat tersebut akan lebih kuat.
Aspek ini secara langsung terkait dengan persoalan etnisitas dan keagamaan.
Faktor ini sebetulnya terkait pula dengan faktor geografi, karena faktor etnisitas
tidak mungkin muncul dengan sendirinya. Pembentukan sebuah identitas etnis
merupakan proses yang sangat panjang terkait dengan faktor-faktor geografis dan
demografis secara langsung. Disamping itu seringkali suatu etnis atau masyarakat
tertentu lebih merupakan komunitas moral dan politik dari sekedar kelompok
masyarakat keturunan atapun bahasa. Faktor-faktor yang menekan secara politis
ataupun ekonomipun bisa kian mendorong dominasi etnik dari suatu komunitas
tertentu. Berdasarkan sejarah, agama, bahasa dan budaya tradisional suatu
komunitas membedakan atau membuat perbedaan antara bagian suatu
masyarakat yang satu terhadap masyarakat yang lainnya. Tak jarang, polarisasi
etnisitas mengarah sebagai upaya-upaya perebutan sumber daya suatu etnis
masyarakat tertentu dari komunitas besarnya. 

Pemerintahan daerah dalam perspektif sosial dipandang sebagai kelompok


terorganisir dalam batas-batas geografis tertentu, dan mengembangkan perasaan
kebersamaan di tengah perbedaan sosial ekonomi dengan corak tertentu dan
menjadi “sosial entity” (Mutalib, 1987). Wilayah dengan corak sosial dan budaya
itu membentuk suatu identitas tersendiri yang menimbulkan keragaman dalam
daerah otonom. Perasaan yang bersatu sebagai konsekuensi dan perasaan
kebersamaan yang terikat dengan kekuatan yang tidak hanya diantara mereka
sendiri tetapi juga antar pemerintah daerah dengan masyarakat daerah (Smith,

2-44
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

1985). Perasaan latar belakang dan otoritas daerah akan mempererat kesatuan
diantara penduduk daerah.

2.10.1 Urgensi Pemekaran Wilayah

Dalam konteks pemekaran yang lebih dikenal dengan pembentukan daerah otonom
baru, bahwa daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang
lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan
sumber sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam, dan pengelolaan bantuan
pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik (J. Kaloh, 2007:194).

Terdapat beberapa urgensi dari pembentukan dan pemekaran wilayah, yaitu (J Kaloh,
2007:195) mengemukakan:

1. Meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, sehingga kehidupan


masyarakat akan secara cepat terangkat dan terbebas dari kemiskinan dan
keterbelakangan seiring meningkatnya kesejahteraan;
43. Memperpendek rentang kendali (span of control) manajemen pemerintahan dan
pembangunan, sehingga fungsi manajemen pemerintahan akan lebih efektif,
efisien, dan terkendali;
44. Untuk proses pemberdayaan masyarakat dengan menumbuh kembangkan inisiatif,
kreatifitas, dan inovasi masyarakat dalam pembangunan;
45. Menumbuhkan dan mengembangkan proses pembelajaran berdemokrasi
masyarakat, dengan keterlibatan mereka dalam proses politik dan pembangunan;

Salah satu paradigma pokok Undang-Undang tentang Pemerintahan Dearah adalah


mendorong proses demokratisasi pada akarnya. Pada saat yang bersamaan, era
otonomi daerah ditandai oleh lahirnya banyak sekali unit unit pemerintahan baru mulai
dari level provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan kecamatan. Bahwa pembentukan
wilayah khususnya di tingkat kabupaten/kota memiliki korelasi positif dengan
peningkatan kehidupan demokrasi masyarakat lokal, karena ketika terjadinya
pemekaran wilayah maka jangkauan teritorial secara otomatis menjadi semakin
pendek, sementara jumlah penduduk yang harus dilayani pun semakin sedikit. Dengan
demikian unit pemerintahan semestinya lebih mampu memberikan pelayanan secara
prima, sedangkan masyarakat memiliki akses yang lebih mudah dan cepat terhadap
proses pengambilan keputusan baik politis maupun administratif di daerahnya.

2-45
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

2.10.2 Konsep Pemekaran Wilayah

Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan


dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:

1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat;


46. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
47. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
48. Percepatan pengelolaan potensi daerah;
49. Peningkatan keamanan dan ketertiban.

2.10.3 Persyaratan Pemekaran Wilayah

Berkaitan dengan penentuan kriteria, maka terdapat beberapa prinsip dasar yang
harus diperhatikan, yaitu (Arief Roesman Effendy, 2008).

1. Tidak mengutamakan pencapaian standar scoring untuk setiap indikator secara


matematis semata tapi tetap terukur secara teknokratis.
2. Untuk daerah kabupaten harus ada analisa kelayakan yang mendalam tentang
potensi ekonomi dan SDA oleh suatu lembaga independen yang terakreditasi
sebelum diusulkan untuk menjadi daerah persiapan. Sehingga pemekaran wilayah
akan benar-benar menciptakan tatanan pembangunan yang lebih baik.
3. Untuk daerah perkotaan harus ada analisa kelayakan secara mendalam tentang
sektor jasa dan pelayanan perkotaan yang kalau diproyeksikan akan menciptakan
tatanan pembangunan yang lebih baik di masa yang akan datang.
4. Persyaratan minimal jumlah penduduk tidak harus diperlakukan secara kaku
dengan hanya mempertimbangkan kondisi Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, tapi
juga memperhatikan aspek lain seperti letak geografis dan kantong-kantong
wilayah yang terisolasi (ekologis).

Oleh karena itu, dilatarbelakangi oleh proses teknis/administratif yang kurang jelas,
kurang lengkap, dan terlalu mengandalkan pada pendekatan teknis yang kompleks
(terlalu banyak indikator yang kurang menyentuh), dan kuantitatif namun dengan
rumusan simplistis dan mekanistis, maka persyaratan pembentukan daerah hanya
akan mencakup (Arief Roesman Effendy, 2008):

2-46
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

1. Persyaratan Teknis;
Persyaratan teknis meliputi faktor spesifik dari kategori faktor: a) kemampuan
administratif; b) aksesibilitas kepada pelayanan publik; c) kemampuan ekonomi
dan potensi penerimaan asli; d) sosial budaya, sosial politik; e) luas daerah dan
kondisi geografis dan; f) pertahanan/keamanan, serta faktor lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
2. Persyaratan administratif;
Persyaratan administratif meliputi:a) adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota; b)
bupati/walikota yang bersangkutan; c) persetujuan DPRD provinsi dan gubernur
serta; d) rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
3. Persyaratan fisik;

2-47
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

Pesyaratan fisik mencakup: a) ketersediaan prasarana perkantoran/fasilitas


pemerintahan; b) ibukota daerah pemekaran, dan ibukota daerah induk apabila
daerah yang dimekarkan merupakan kotaibukota daerah induk, serta; c)
menyangkut batas wilayah.

BAB 2...................................................................................................................13

Kajian Teoritis.........................................................................................................1

2.1. Penataan Wilayah dan Pemerintahan Daerah...............................................1

2.1.1 Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah......................1

2.1.2 Implikasi Politik Penataan Wilayah........................................................2

2.1.3 Dimensi Normatif Penataan Wilayah.....................................................5

2.2. Kebijakan Publik dan Pemekaran Wilayah....................................................8

2.3. Sentralisasi dan Desentralisasi...................................................................14

2.4. Pembentukan Daerah Otonom..................................................................22

2.5. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Pembentukan,


Penghapusan, dan Penggabungan Daerah...........................................................24

2.6. Peranan Pemerintah Daerah.....................................................................27

2.6.1 Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pemerintah Daerah............................28

2.6.2 Otonomi daerah................................................................................29

2.6.3 Dasar dan Konsekuensi Pembentukan Daerah Otonom........................32

2.7. Landasan Hukum dan Operasional.............................................................33

2.8. Konsep Pengembangan Wilayah................................................................34

2.9. Kinerja Pengembangan Wilayah................................................................38

2.10. Pemekaran Wilayah...............................................................................41

2.10.1 Urgensi Pemekaran Wilayah..................................................................45

2.10.2 Konsep Pemekaran Wilayah..................................................................46

2.10.3 Persyaratan Pemekaran Wilayah............................................................46

2-48
LAPORAN AKHIR
Studi Kajian Pemekaran Wilayah Provinsi Kotawaringin

2-49

Anda mungkin juga menyukai