Anda di halaman 1dari 4

BAB VII

KEPASTIAN DAN KEBENARAN ILMIAH

Dalam telaah-telaah mengenai Filsafat Ilmu Pengetahuan kita menemukan banyak masalah dan
pemecahannya. Masalah-masalah itu antara lain, kepastian, kebarangkalian, kesesatan dalam ilmu-ilmu empiris
dan ilmu eksakta, dan lain-lain. Suatu masalah pokok yang harus dicerap adalah kebenaran dan kepastian.
Pengetahuan selalu mengandung kebenaran dalam arti bahwa apa yang kita klaim sebagai isi pengetahuan kita
haruslah benar. Kita temukan beberapa teori mengenai kebenaran:

i. Kebenaran sebagai persesuaian (the correspondent theory of truth).


Pendasar teori ini adalah Aristoteles. Menurutnya, mengatakan sesuatu yang ada sebagai tidak ada, atau
yang tidak ada sebagai ada adalah salah. Dan sebaliknya mengatakan hal yang ada sebagai ada, dan yang tidak
ada sebagai tidak ada, adalah benar. Dengan ini muncul kebenaran sebagai persesuaian antara apa yang
dikatakan atau dipikirkan dengan kenyataan. Apa yang dinyatakan berhubungan dengan kenyataan yang
diungkapkan dalam pernyataan itu (correspondent). Dengan kata lain, kebenaran adalah kesesuaian antara S dan
O, apa yang diketahui S dengan realitas sebagaimana adanya (kebenaran empiris yan didukung oleh fakta).
Beberapa pokok penting yang perlu diketahui tentang hal ini adalah: a) teori ini sangat didukung oleh
empirisme, dan oleh karena itu teori ini sangat menghargai pengamatan dan pengujian empiris. Ia lebih
menekankan cara kerja pengetahuan aposteriori; b) teori ini juga menegaskas dualitas antara S dan O, pengenal
dan yang dikenal. Di sana obyek terasa penting bagi pengetahuan manusia. Subyek atau akalbudi hanya
mengolah apa yang diberikan obyek; c) Teori ini juga menekankan bukti bagi kebenaran suatu pengetahuan.
Namun bukti ini bukannya hasil akal budi, atau hasil imaginasi akal budi, tetapi apa yang disodorkan obyek
melalui pancaindera.
Persoalan ialah bahwa semua proposisi atau hipotese yang tidak didukung oleh bukti empiris tidak
akan dianggap benar. Misalnya, Tuhan adalah mahabijaksana dan dia hadir dalam sejarah manusia. Ini
pernyataan yang tidak benar. Maka ini tidak dilihat sebagai pengetahuan. Ini hanya dianggap sebagai keyakinan
atau juga ideologi. Unsur-unsur anggapan seperti ini sudah nampak sejak Heraklitus, Aristoteles, Aquinas dan
terutama didukung oleh para pemikir Inggris (Empirisme).

ii. Kebenaran sebagai Keteguhan (the coherent theory of truth).


Pandangan ini dudukung oleh Pythagoras, Parmenides, Spinoza, Hegel. Teori ini dianut oleh kaum
rasionalis. Kebenaran tidak lagi ditemukan dalam kesesuaian dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara
proposisi baru dengan proposisi lama atau yang sudah ada. Maka suatu pengetahuan atau proposisi dianggap
benar kalau sejalan dengan pengetahuan atau proposisi sebelumnya. Matematika dan ilmu pasti sangat cocok
dengan teori kebenaran ini. Misalnya, Semua manusia mati; Sokrates adalah manusia; Maka Sokrates pasti mati.
Penekanan pada pengetahuan apriori-rasional dan deduktif. Di sini pengenal dan subyek lebih dipentingkan
daripada obyek.

iii. Teori Pragmatis tentang Kebenaran (the pragmatic theory of truth).


Teori ini dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce dan William James. Kebenaran memiliki arti yang
sama dengan kegunaan. Suatu ide benar adalah ide yang bisa memungkinkan seseorang melakukan sesuatu
secara paling berhasil dan tepat guna. Ide yang benar pasti juga memiliki konsekuensi praktis pada tindakan
tertentu (J. Dewey). Kebenaran yang ditemukan di sini adalah menyangkut “know-how”, kalau manusia berhasil
menciptakan sesuatu.

iv. Teori Kebenaran Performatif (Performative theory of truth).


Anggapan tentang terlaksananya kebenaran dalam bahasa (ungkapan) manusia berasal dari Inggris
(Frank Ramsey, John Austin, dan Peter Strawson). Mereka melawan teori klasik bahwa benar dan salah adalah
ungkapan deskriptif. Suatu pernyataan dianggap benar kalau ia menciptakan realitas. Mis., dengan ini saya
mengangkat anda menjadi ketua kelas. Ungkapan or pernyataan ini menciptakan suatu realitas.

v. Teori Kebenaran Historis.


Ini pada umumnya diakui oleh kelompok post-modernis atau strukturalis dan post-strukturalis. Menurut
mereka kebenaran selalu bersifat historis dan selalu berpusat pada kebebasan batin setiap manusia, dan
bukannya ditentukan lebih dahulu atau oleh orang lain. Dalam diri setiap manusia dan kebudayaan terdapat
unsur kebenaran.

7.1. Sifat-Sifat Kebenaran Ilmiah


Kita tahu bahwa paling kurang ada dua macam kebenaran yaitu kebenaran empiris dan logis yang
kiranya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu terdapat tiga sifat dasar kebenaran ilmiah:
 Struktur kebenaran ilmiah bersifat rasional-logis (berdasarkan kesimpulan yang logis-rasional dari
premis-premis tertentu). Karena itu bersifat rasional, maka semua orang rasional dapat menggunakan akal
budinya secara baik dan memahami kebenaran ilmiah ini. Sebab itu ia bersifat universal. Sifat rasional
harus dibedakan dari ‘masuk akal’ (reasonableness). Sifat rasional berlaku untuk kebenaran ilmiah.
‘Masuk akal’ berlaku terutama bagi kebenaran tertentu yang berada di luar lingkup ilmu pengetahuan.
Misalnya, sikap marah atau menangis dapat masuk akal walau tidak rasional.
 Isi empiris: kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada (empiris).
 Sifat pragmatis mau menggabungkan dua sifat kebenaran di atas. Pernyataan itu logis dan empiris, maka
harus juga berguna dalam hidup manusia dalam memecahkan permasalahan.

7.2. Kepastian dan Kebenaran


Dalam diskusi tentang macam-macam teori kebenaran pertanyaan yang muncul ialah apakah kebenaran
ilmiah bersifat pasti atau sementara? Jawaban atas pertanyaan ini memunculkan dua pandangan berbeda, yaitu
pandangan kaum rasionalis yang menekankan kebenaran logis-rasional dan pandangan kaum empiris yang
menekankan kebenaran empiris. Karena itu kita harus berbicara tentang taraf-taraf kepastian (subyektivitas dan
obyektivitas).
Pemakaian istilah S dan O sudah dibicarakan, demikian pula pengetahuan yang dimengerti sebagai
kesadaran si subyek tentang obyek yang dikenalnya. Di sana terang terjadi pada pihak subyek (yang dapat
membedakan obyek dari dirinya) dan dari pihak obyek yang seolah membuka diri kepada S. Terang justru
terjadi dalam diri S (bdk. Kant dengan pengetahuan apriori-sintetis).
Dari sudut pengetahuan kita mengenal apa yang disebut evidensi dan kepastian. Dalam hubungan S dan
O, evidensi terletak pada pihak obyek. Sedangkan kepastian ada pada pihak subyek. Evidensi adalah terang atau
daya obyek yang menampakkan diri, sedangkan kepastian ialah keyakinan dalam diri subyek bahwa apa yang
dikenalnya sungguh adalah obyek yang ingin diketahuinya. Kepastian berkaitan dengan subyek (rasionalis).
Kaum rasionalis yakin bahwa kebenaran sebagai keteguhan bersifat pasti, karena kesimpulannya hanyalah
merupakan konsekuensi logis dari teori, pernyataan, atau hukum ilmiah lainnya. Sebab itu sejauh teori atau
hukum benar, kesimpulannya juga benar.

7.3. Taraf Kepastian Ilmu Empiris dan Ilmu Eksakta


Dalam kaitan dengan kepastian sering kita mengatakan bahwa sesuatu hanya dapat ditempatkan dalam
“barangkali” atau “mungkin.”Istilah ini digunakan para ilmuwan untuk menunjuk pada sesuatu yang dalam
gejala pengetahuan terletak pada pihak obyek. Untuk mengatasi kesulitan ini kita diperkenalkan dengan istilah
‘kepercayaan’ (credibility).
Kepercayaan adalah ciri khas hipotese ilmiah. Hipotese ini justru ada pada pihak subyek. Kepercayaan
hipotese bisa lemah, bisa kuat, tetapi ini tergantung pada mutu dan jumlah data empiris yang dapat diterangkan.
Bila data empiris ini dirumuskan dalam serangkaian pernyataan ilmiah P, maka kepercayaan p dari hipotese H
tertentu (p (H,P) dapat diberi nilai kuantitatif antara 0 dan 1. 0 berarti tidak ada kepercayaan (kalah atau hipotese
yang tidak bisa diperiksa secara empiris). Angka 1 adalah kuat.

7.4. Kepastian dalam ilmu-ilmu empiris


Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu manusia, mengajar tentang kepastian dalam dua arti, yaitu, a)
kepastian tentang explanans dari gejala-gejala yang diselidiki, terutama menyangkut kebenaran pernyataan dari
gejala-gejala itu; dan b) kepastian mengenai kesimpulan yang dapat ditarik dari suatu hukum yang berlaku.
Namun yang dicapai adalah satu ketakpercayaan (tidak pernah mencapai nilai 1). Bahkan walaupun hipotese
dan hukum sangat terpercaya, keduanya harus tetap terbuka untuk dibuktikan salah (keduanya bersifat
sementara). Jelas bahwa segala taraf kepastian konkrit dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas, dalam arti tak
pernah ada paksaan dalam akal agar sesuatu disetujui. Dengan menggunakan istilah evidensi dapat dikatakan
bahwa evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu bersifat nisbi, dan sebab itu perlu disetujui berdasarkan pilihan
bebas tanpa paksaan.

7.5. Kepastian dalam ilmu-ilmu eksakta


Dalam konteks penemuan (context of discovery), dalam usaha mencoba-coba, apa yang dikatakan
tentang ilmu-ilmu empiris juga berlaku untuk ilmu-ilmu pasti (di mana ilmu itu belum pasti). Namun dalam
konteks pembenaran (context of justification), dalam satu sistem matematika atau logika yang sudah jadi dan
berdiri sendiri, tidak ada lagi hipotese, melainkan hanya ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis (yang
terdiri dari dalil-dalil) yang semuanya bernilai 1. Semua dalil berlaku di mana-mana tanpa diragukan dalam
sistem itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan ilmu pasti.
Jelas bahwa kesementaraan hanya ada dalam penemuan ilmu-ilmu pasti. Namun kesesatan sementara
yang merupakan sifat kesementaraan ilmu-ilmu empiris tidak ada dalam ilmu-ilmu pasti. Lalu apakah kepastian
ilmu-ilmu pasti bersifat bebas, dalam arti bahwa setiap orang dapat dengan bebas masuk dalam sistem ilmu pasti
yang sama, dapat dikatakan bahwa kepastian itu bersifat bebas? Kalau dengan bebas seseorang masuk dalam
sistem tertentu, ia tidak bebas lagi untuk meragukan atau menolak hasil sistem ilmu bersangkutan. Ia bersifat
mutlak dan bahwa evidensi ilmu-ilmu itu juga bersifat mutlak.

7.6. Kepastian dan Falibilitas


7.6.1. Kepastian Kebenaran Ilmiah.
Setelah melihat faham-faham tentang kebenaran (logis-rasional, empiris, pragmatis, dan performatif)
persoalan adalah apakah kebenaran ilmiah bersifat pasti atau sementara? Kita temukan dua macam jawaban:
 Dari segi rasional: kepastian berkaitan dengan subyek. Kebenaran sebagai keteguhan bersifat pasti,
karena kesimpulannya hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan, teori atau hukum
ilmiah lainnya. Dan mereka pasti mengatakan bahwa kebenaran itu bersifat mutlak dan bukan hanya
sementara. Namun sebenarnya kebenaran ini juga masih bersifat sementara, sebab kebenaran sebagai
keteguhan dari suatu pernyataan sangat tergantung pada kebenaran teori atau pernyataan lain (suatu teori
selalu ada kemungkinan untuk dibuktikan salah).
 Dari segi empiris: ilmu pengetahuan tidak memiliki ambisi untuk menjadi seperti iman dalam agama.
Ilmu pengetahuan tak pernah akan memberikan formulasi final dan absolut tentang seluruh universum.
Ini disebut falibilisme, yang berarti ilmu harus kritis terhadap apa yang sudah ia temukan. Namun setiap
ilmu mengarahkan kita kepada kebenaran. Maka falibilisme di sini berarti suatu sikap yang beranggapan
bahwa kendati pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang paling baik yang dapat kita miliki dan
metodenya adalah satu-satunya yang dapat dipercayai, kita tidak boleh menganggap ilmu pengetahuan
pasti benar dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan selalu bisa salah. Lebih dari itu kita harus memahami
kesalahan ini secara lebih moderat sebagai tantangan yang terus menerus dalam mencari kebenaran
ilmiah yang baru.

7.6.2. Falibilisme dan Metode Ilmu Pengetahuan


Metode ilmu pengetahuan tidak menghasilkan pengetahuan yang absolut pasti dan universal,
melainkan pengetahuan yang dapat salah. Indikasi metodologis sebagai alasan falibilisme moderat ini nyata
dalam:
 Peneliti sendiri tak pernah merasa pasti dengan apa yang dicapainya sendiri. Inilah karakter dasar setiap
penelitian ilmiah (dimulai dengan keraguan). Pengetahuan ilmiah bisa menjadi kepercayaan ilmiah, tapi
kepercayaan ini tak pernah berakhir, melainkan selalu memunculkan keraguan baru.
 Fokus utama kegiatan ilmiah adalah verifikasi atas hipotese. Bagian yang terpenting adalah penalaran
induktif. Selalu saja terbuka kemungkinan bahwa contoh-contoh yang kita kemukakan tidak lengkap.
 Metode induksi selalu tidak lengkap. Karena itu kita hanya berani mengajukan hipotese berdasarkan fakta
terbatas yang ada, dengan harapan semua fakta lain akan mendukung hipotese ini. Dan selalu bisa
terbukti sebaliknya, yaitu ternyata hipotese kita salah karena fakta lain tidak mendukungnya.
 Setiap hipotese pada dasarnya tidak pasti sebab ia dirumuskan sebagai jawaban sementara atas problem.
Ia selalu terbuka untuk dikoreksi dan dievaluasi.
Jelas bahwa pengetahuan ilmiah tidak bebas dari kekeliruan atau selalu terbuka terhadap kritik dan
perbaikan. Bagi kaum empirisis tidak mungkin ada kepastian dan universalitas mutlak dalam pengetahuan
ilmiah. Falibilisme ilmiah menjadi doktrin utama bagi seorang ilmuwan.

7.6. 3. Falibilisme dan Obyek Ilmu Pengetahuan


Falibilitas pengetahuan ilmiah bisa disebabkan oleh metode ilmiah, tetapi juga terjadi karena obyek Ilmu
pengetahuan adalah riil dan berubah-ubah, karena obyek ilmu adalah alam. Justru karena itu pengetahuan ilmiah
kita tidak pernah mencapai kepastian mutlak. Karena alam selalu berkembang dan berada dalam proses
perubahan.

a). Realitas Obyek


Seorang ilmuwan yang baik adalah seorang realis yang tidak melihat konsep-konsep ilmiahnya semata-
mata sebagai hasil imaginasi tanpa hubungannya dengan dunia nyata, melainkan merupakan hasil dari
pemikiran tentang dunia nyata (real). Obyek ilmu pengetahuan disebut nyata atau real ini mengandung tiga arti.
Pertama, yang nyata berarti lepas dari pikiran manusia. Perhatian ilmuwan selalu terarah kepada sesuatu yang
berada di luar dirinya sendiri. Ia mau tahu tentang sesuatu yang belum pernah dipikirkan, tetapi dapat
disampaikan alam kepadanya. Berdasarkan alasan ini ia justru memberi perhatian kepada alam. Jelas, alamlah
yang mendorong ilmuwan untuk membuat penelitian. Fakta memunculkan rasa ingin tahu dan ia terdorong
untuk mencari penjelasan, hipotese atau teori. Sebagai implikasi, metode ilmu adalah salah satu cara menangkap
apa yang ingin disampaikan alam kepadanya. Metode ini hanya terarah kepada fakta yang real, terlepas dari
pengetahuan individual seorang ilmuwan. Sebab itu penelitian ilmiah bertugas meneliti alam dan melulu
bergantung pada realitas yang ia pelajari. Jelas, pemikiran bergantung pada realitas, tetapi realitas bebas dari
pemikiran atau menjadi ukuran dari pemikiran.
Kedua, walau dunia real bebas dari pemikiran manusia, realitas itu dapat dikatakan real jika ia dapat
dikenal. Obyek dari pengalaman harus dapat mempengaruhi ilmuwan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi
ilmuwan. Setiap realitas harus dapat dikenal. Kedua ciri ini memiliki implikasi penting dalam pemahaman ilmu
pengetahuan. Kalau realitas tidak lepas dari pemikiran kita, maka tidak perlu ada metode ilmiah. Tiap orang
dapat merenungkan pikirannya tanpa harus keluar dari dirinya dan berhadapan dengan realitas luar. Ia juga tidak
perlu mempelajari pemikiran ilmuwan lain. Juga tidak mungkin akan ada keraguan, pertanyaan, dan penelitian.
Sebab itu pengetahuan kita juga tidak perlu berkovergensi pada kebenaran. Sebaliknya kalau realitas tak dapat
dihubungi dan sebab itu tidak dikenal, maka penelitian ilmiah selalu berakhir dengan kegagalan (hanya rekaan-
rekaan imaginatif), juga tidak mungkin ada kritik atas pengetahuan, karena kritik justru mendasarkan diri pada
realitas yang menjadi kriterium yang mengukur pengetahuan.
Ketiga, realitas dalam ilmu pengetahuan adalah realitas publik yang menjadi perhatian banyak orang.
Yang real berarti yang punya dimensi sosial. Yang real di sini harus dibedakan dari ilusi. Yang real dari ilmu
pengetahuan adalah yang lepas dari apa yang dapat dipikirkan oleh individu dan yang menjadi bahan informasi
publik. Jelas, pengetahuan yang benar harus bereferensi pada realitas, menjadi obyek penelitian bersama dan
disetujui komunitas. Hal ini sungguh bertentangan dengan gagasan Descartes tentang kesadaran individual
sebagai pengujian terakhir atas kepastian ilmiah. Pelbagai hipotese hanyalah percobaan yang harus didukung
para ilmuwan, sebab obyek ilmu pengetahuan selalu bersifat umum atau intersubyektif. Kalau kebenaran
pengetahuan ilmiah tidak menjadi kenyataan publik, maka pengetahuan hanya merupakan pendapat pribadi yang
bisa dipercayai atau juga tidak dipercayai. Justru karena itu komunikasi dan bahasa berperan penting dalam ilmu
pengetahuan. Lewat bahasa para ilmuwan dapat saling membagi nformasi dan penemuan mereka; mereka dapat
saling berdiskusi dan berdebat, saling mendukung dan membantah. Dengan ini ilmu pengetahuan semakin
dimurnikan; juga lewat komunikasi ilmu dapat diteruskan kepada generasi lain.

b) Evolusi Obyek Pengetahuan Ilmiah


Kita temukan dua aspek pemahaman tentang evolusi obyek pengetahuan ilmiah:
 Obyek pengetahuan ilmiah selalu berubah-ubah sehingga pengetahuan yang telah dicapai bisa selalu
ditinjau kembali sekalipun sangat akurat.
 Obyek pengetahuan itu selalu berkembang kepada regularitas, dalam arti menjadi semakin mudah
dimengerti dan dikenal.
Maka lewat dua alasan ini pengetahuan kita selalu rentan terhadap kesalahan, tapi tetap ada harapan
tercapainya suatu pemahaman yang lebih baik tentang alam semesta asalkan penelitian selalu dibuat. Evolusi
dan perubahan ini tidak hanya terdapat pada alam, sebagai kenyataan dasar dari setiap realitas, tetapi juga
menyangkut pengetahuan manusia. Kalau penelitian berhenti akan muncul dua akibat fatal yakni, a) ilmu tidak
lagi menjelaskan realitas yang sesungguhnya karena realitas selalu berubah; b) ilmu pengetahuan memutuskan
hubungannya dengan realitas yang semakin lama semakin terbuka untuk diketahui.
Jelas bahwa dalam kebenaran empiris yang menjadi soal bukannya kepastian (rasional dan logis),
melainkan evidensi (adanya bukti). Memang dalam hal ini subyek dapat merasa pasti akan apa yang dikatanya
sebagai yang diketahui. Namun ini hanya terjadi apabila dia memiliki bukti-bukti yang nyata. Bagi ilmu empiris
(kebenaran empiris) kepastian dimengerti dalam dua arti, yakni, tentang pernyataan yang menjelaskan gejala-
gejala yang diselidiki, dan tentang kesimpulan yang ditarik sebagai suatu hukum yang berlaku umum. Kepastian
kebenaran dari dua pernyataan ini dicek dengan mengacu pada realitas.

Anda mungkin juga menyukai