Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah
Keperawatan HIV-AIDS
Dosen Pembimbing: Rio Ady Erwansyah, S. Kep., Ners., M. Kep

Disusun Oleh:
Kelompok 3
1. Ainun Nurul Izzati (A2R19003) 8. Galih Rendi Areza (A2R19017)
2. Anita Dwi Sulistyaningty (A2R19006) 9. Guruh Aji Setyo U (A2R19018)
3. Arif Kurniawan (A2R19007) 10. Hesthin Fitriani (A2R19020)
4. Cindy Aulia Haryanti (A2R19009) 11. Irene Nindy (A2R19023)
5. Dyah Ayu Ningsih (A2R19013) 12. M Oka Triwangga (A2R19026)
6. Diyah Merina Saputri (A2R19116) 13. Noviana Dinta P (A2R19037)
7. Eripa Ayu Wulandari (A2R19014) 14. Rini Amanda P (A2R19043)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN TINGKAT 2A


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUTAMA ABDI HUSADA
TULUNGAGUNG
2021/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktunya.

Dalam menyusun makalah ini tidak terlepas mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu pada kesempatan ini,kami mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr.H Yitno, SKp, MPd sebagai ketua STIKes Hutama Abdi Husada
Tulungagung.
2. Rio Ady Erwansah, S.Kep, Ners, M.Kep sebagai dosen pengampu.
3. Rekan- rekan mahasiswa yang memberi dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan
makalah.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan bagi kami dan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun
demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Tulungagung,7 Juli 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I INTRODUCTION.................................................................................................1
A. RUMUSAN MASALAH...................................................................................3
B. TUJUAN.............................................................................................................3
BAB II KAJIAN TEORI...................................................................................................4
A. METODE PENELITIAN................................................................................4
B. PEMBAHASAN...............................................................................................4
BAB III PEMBAHASAN..................................................................................................9
A. DEFINISI HIV..................................................................................................9
B. PENULARAN HIV...........................................................................................9
C. PENGOBATAN HIV........................................................................................10
D. STIGMA............................................................................................................12
BAB IV KESIMPULAN...................................................................................................16
A. SARAN...............................................................................................................16
B. DAFTAR PUSTAKA........................................................................................17
KESIMPULAN..................................................................................................................18

ii
BAB I
INTRODUCTION

HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia. Menurut data
dari World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 940.000
orang meninggal karena HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV
pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang menjadi terinfeksi baru pada tahun 2017
secara global. Lebih dari 30% dari semua infeksi HIV baru secara global diperkirakan
terjadi di kalangan remaja usia 15 hingga 25 tahun.
Diikuti dengan anak-anak yang terinfeksi saat lahir tumbuh menjadi remaja
yang harus berurusan dengan status HIV positif mereka. Menggabungkan keduanya,
ada 5 juta remaja yang hidup dengan HIV (WHO, 2017). Pada tahun 2017, angka
kejadian Infeksi HIV dan AIDS baru pada remaja di ASIA dan Pasifik menunjukkan
bahwa terdapat 250.000 remaja yang menderita HIV dan AIDS. Infeksi HIV baru
telah mengalami penurunan sebesar 14% sejak tahun 2010. Ada penurunan 39%
orang meninggal karena HIV & AIDS (UNAIDS, 2017).
Menurut data Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
Kemenkes RI menyatakan bahwa jumlah kasusu HIV dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2017 mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kasus HIV di Indonesia pada tahun
2016 tercatat 41.250 kasus dan data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 48.300
kasus. Sedangkan kasus AIDS di Indonesia pada tahun 2016 tercatat 10.146 kasus dan
data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 9.280 kasus.
Presentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun
(69,2%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (16,7%), kelompok umur ≥50 tahun
(7,6%), kelompok umur 15-19 tahun sebesar 4%, dan umur <15 tahun sebesar 2,5%.
Kejadian HIV mengalami peningkatan sementara untuk kejadian AIDS mengalami
penurunan. Adanya penurunan tersebut bukan berarti HIV dan AIDS merupakan
penyakit yang tidak berbahaya lagi.
Mengingat dalam kasus ini berlaku Teori Ice Berg atau sering disebut juga
Teori Gunung Es, artinya bahwa angka-angka yang tersaji dari sumber adalah 25%
dari fakta yang ada dan 75% lainnya tersembunyi karena berbagai macam faktor
(Dirjen P2P Kemenkes RI, 2017).Daerah Istimewa Yogyakarta menempati urutan ke-
9 sebagai provinsi dengan penderita HIV dan AIDS terbanyak.

1
Jumlah kasus HIV dan AIDS di DIY pada tahun 2017 meningkat menjadi
2676 pada laki-laki dan 1261 pada perempuan, sedangkan yang sudah positif AIDS
adalah 985 pada laki-laki dan 490 pada perempuan. Kasus HIV paling banyak
ditemukan pada penduduk usia 20-29 tahun sebanyak 180 dan pada usia 15-19 tahun
sebanyak 27 orang, 7 diantaranya sudah masuk AIDS. Faktor risiko HIV dan AIDS
yang paling banyak ditemukan di DIY adalah heteroseksual sebanyak 48%, IDU’s
(Injecting Drug User’s) 12%, homoseks 6%, biseksual 1%, perinatal 3%, transfusi
7%, serta 23% lainnya tidak diketahui penyebabnya (Dinas Kesehatan DIY, 2017).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan DIY, sampai pada triwulan kedua tahun
2018, sudah ditemukan 315 penderita HIV baru dengan 39 di antaranya sudah masuk
ke AIDS. Pada tahun 2018 penderita HIV didominasi kalangan mahasiswa. Penderita
HIV dari kalangan mahasiswa sebanyak 739 dan kalangan swasta berada di angka
667. Penderita HIV rentang usia 20 - 29 berjumlah 1402 orang. Kabupaten dengan
jumlah penderita terbanyak yaitu Kota Yogyakarta, kedua di Kabupaten Sleman dan
ketiga di Kabupaten Bantul (Dinas Kesehatan DIY, 2018).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada
tanggal 1 November 2018 di Dinas Kabupaten Kota Yogyakarta dari tahun 2004-2018
jumlah penderita sebanyak 1133 dan sebanyak 263 sudah masuk AIDS. Angka
kejadian HIV sampai dengan tahun 2018 di Kota Yogyakarta pada remaja usia 15-19
tahun sebanyak 22 orang, sedangkan remaja usia 20-29 tahun sebanyak 386 orang.
Menurut survei BKKBN 56% remaja telah melakukan hubungan seks
pranikah. Penularan HIV dan AIDS di Indonesia masih tergolong tinggi, terutama di
usia produktif. Survei Litbang Kesehatan bekerjasama dengan UNESCO
menunjukkan sebanyak 5,6% remaja Indonesia sudah melakukan seks pranikah.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Inggit Rahayu, dkk menunjukkan bahwa
rendahnya pengetahuan HIV/AIDS dikalangan remaja mempengaruhi sikap remaja
pada perilaku seksual pranikah sehingga dapat meningkatkan kerentanan remaja
untuk tertular HIV/AIDS.
Semakin baik pengetahuan maka semakin kecil kemungkinan untuk
melakukan tindakan seksual pranikah. Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu
(Notoatmodjo, 2014). Menurut Teori Lawrence Green perilaku kesehatan seseorang
ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pendorong, dan faktor
penguat.
2
Faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah terjadinya perilaku
seseorang, termasuk pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai-
nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosio-demografi (Maulana, 2009). Dalam Teori
Lawrence Green perilaku kesehatan seseorang salah satunya dipengaruhi oleh faktor
pendorong yaitu faktor yang mendorong seseorang berperilaku beresiko tertular HIV.
Faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu pendidikan, pekerjaan, pengalaman,
usia, keyakinan, sosial budaya, dan paparan informasi (Notoatmodjo, 2010).

A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan HIV?
2. Bagaimana cara penularan HIV?
3. Bagaimana pengobatan HIV?
4. Bagaimana stigma masyarakat mengenai HIV?

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan HIV
2. Untuk mengetahui bagaimana cara penularan HIV
3. Untuk mengetahui bagaimana pengobatan HIV
4. Untuk mengetahui stigma masyarakat mengena HIV

3
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Metode Penelitian pada Jurnal Utama dan Jurnal Pembanding


Metode penelitian pada jurnal utama yang di diangkat, pada penelitian yang
dilakukan oleh Wira Daramatasia dan Mizam Ari Kurniyanti dari STIKES Widyagama
Husada dengan judul penelitian Hubungan Stigma Diri dengan Kepatuhan Minum Obat
ARV pada Orang dengan Hiv/Aids. Penelitian tersebut merupakan penelitian analitik
observasional dengan pendekatan Cross Sectional. Penelitian ini ditujukan untuk
mengetahui hubungan stigma diri dengan kepatuhan minum obat ARV pada ODHA di
kelompok dukungan sebaya Jombang Care Center Plus. Dalam penelitian tersebut
dibantu oleh 55 responden ODHA yang diambil dengan pendekatan Purposive
Sampling yang memenuhi krieria inklusi dan ekslusi.
Data sekunder didapatkan dari hasil studi pendahuluan mengenai jumlah
populasi yang terdata menderita HIV/AIDS yang dilakukan di KDS JCC Kabupaten
Jombang.Analisis data Menggunakan software SPSS versi 16 untuk memasukkan data
(entry data) dan diuji menggunakan uji somer’s.
Sedangkan Metode penelitian Pada jurnal pembanding yang dilakukan oleh
Setyo Adiningsih1, Mirna Widiyanti, Evi Iriani Natalia, dan Tri Wahyuni dari Balai
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Biomedis Papua dengan judul penelitian
CD4+ dan Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Terapi Antiretroviral pada Orang
dengan HIV/AIDS di Jayapura. Penelitian tersebut merupakan penelitian menggunakan
rancangan potong lintang dilakukan dari bulan Juni sampai September 2017.
Populasi penelitian adalah semua ODHA yang menjalani terapi ARV di
Jayapura sedangkan yang menjadi sampel adalah 85 responden yaitu pasien HIV yang
rutin mengambil obat ARV setiap bulan dan telah terapi ARV selama 12-24 bulan di
VCT RSUD Dok II Jayapura.

B. Pembahasan
1. Jurnal Utama
Pada Hasil penelitian yang dapat dibahas dalam makalah pada penelitian
yang dilakukan oleh Wira Daramatasia dan Mizam Ari Kurniyanti dari STIKES

4
Widyagama Husada dengan judul penelitian Hubungan Stigma Diri dengan
Kepatuhan Minum Obat Arv pada Orang dengan Hiv/Aids, meliputi :
a. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian tersebut terdiri dari jenis
kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, penghasilan dan lama
pengobatan. Pada tabel yang disajikan dalam jurnal penelitian tersebut
tercantum karakteristik responden ODHA di KDS JCC+ yang berpatisipasi
dalam penelitian ini.
Pada tabel pertama dalam jurnal penelitian tersebut dituliskan hasil
penelitian terhadap 55 ODHA di JCC+, berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan responden yang paling banyak dalam penelitian ini adalah laki-
laki yaitu berjumlah 34 orang (61,8%), rata-rata usia responden dengan
rentang usia 26 s.d 45 tahun sebanyak 43 orang (78,2%), tingkat pendidikan
terbanyak adalah SMA sebanyak 24 orang (43,6%), status pekerjaan paling
banyak adalah bekerja yaitu berjumlah 37 orang (67,3%), penghasilan
responden dalam penelitian ini yang paling banyak adalah berpenghasilan
rendah (dibawah Rp.1.000.000,00) yaitu sebanyak 25 orang (45,5%), status
pernikahan terbanyak berjumlah 26 orang (47,3 %), dan lama pengobatan
terapi ARV paling banyak direntang lebih dari 1 tahun sampai dengan 5 tahun
sejumlah 39 orang ( 70,9%).

b. Gambaran Karakteristik Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum


Obat ARV
Hasil penelitian yang dilakukan di KDS JCC+ didapatkan tingkat
kepatuhan minum obat ARV responden terbanyak pada kategori patuh tinggi
berjumlah 31 orang (56,4%). Sedangkan kategori patuh sedang berjumlah 24
orang (43,6
Pada tabel kedua dalam jurnal penelitian tersebut menggambarkan
ODHA yang berada di naungan KDS Jombang Care Center Plus masuk dalam
kategori patuh tinggi dalam mengonsumsi obat ARV. Adanya support sistem
yang baik dari keluarga dan teman-teman, lingkungan masyarakat, terutama
dari KDS JCC Plus yang memotivasi ODHA untuk lebih bersemangat untuk
patuh mengkonsumsi obat ARV.

5
Ketidakpatuhan minum obat ARV dapat terjadi karena beberapa faktor
diantaranya kurang motivasi dari orang sekitar, masalah keuangan, petugas
kesehatan yang kurang ramah dalam memberikan pelayanan, di PHK (putus
hubungan kerja) secara tidak adil(Erku et al., 2016).Kepatuhan ARV dapat
didukung dengan program penguatan pengetahuan ARV pada ODHA dan
pemantauan secara rutin kepatuhan minum obat ARV.(Logie et al., 2018)

c. Gambaran Karakteristik Responden Berdasarkan Perceived Stigma


Pada tabel ketiga dalam jurnal penelitian tersebut ditunjukkan
gambaran karakteristik responden berdasarkan perceived stigma diketahui
bahwa sebagian besar responden ODHA mengalami stigma yang cukup
sebanyak 41 (74,5%) responden , disusul dengan stigma yang baik 13 (23,6%)
responden dan stigma yang buruk 1 (1,8%) responden. Berger Scale
merupakan instrumen yang dirancang untuk mengukur perceived stigma pada
ODHA. Empat faktor (subskala) persepsi tentang stigma terkait HIV tersebut:
Personalized stigma, Disclosure, public attitudes, dan Negative self-image.
Personalized stigma yang menunjukan prevalensi paling banyak adalah
cukup 38 (69,1%) responden, baik 17 (30,9%) responden dan tidak ada ODHA
dengan personalized stigma yang buruk (0%). Hasil penelitian di JCC+ Kab
Jombang personalizes stigma mendapatkan hasil cukup hal ini ini dikarenakan
persepsi ODHA sebagian besar merasa bahwa dirinya tetap diterima
dimasyarakat maupun teman dan keluarganya.
Negative Perceived stigma menunjukan prevalensi paling banyak
dalam kategori cukup 37 (67,3%) responden , disusul baik 15 (27,3%)
responden, dan buruk 3 (5,5%) responden. Berdasarkan hasil data ada
beberapa ODHA persepsi negative perceived stigma yang masih dalam
kategori buruk (5,5%), ini disebabkan karena dari ODHA tersebut merasa
bahwa dirinya masih tidak bersih karena status HIV/AIDS pada dirinya
sehingga dia merasa bersalah dan malu terhadap dirinya.
Disclosure concerns menunjukan prevalensi paling banyak dalam
kategori cukup sebanyak 43 (78,2%) responden, disusul buruk sebanyak 12
(21,8%) responden , dan tidak ada responden (0%) dengan kategori yang baik.
Beberapa ODHA persepsi Disclosure masih dalam kategori buruk (21,8%),
gambaran ini menunjukan bahwa ODHA merasa dirinya masih merahasiakan
6
status HIV/AIDS kepada keluarganya karena ODHA merasa malu dan tidak
dianggap di keluarganya maupun masyarakat.
Public attitudes menunjukan prevalensi paling banyak dalam kategori
cukup sebanyak 32 (58,2%) responden , prevalensi baik 20 (36,4%), dan buruk
sebanyak 3 (5,5%) responden. Gambaran masih adanya persepsi ODHA yang
buruk dalam faktor Public attitudes (5,5%) yang merasa bahwa status
HIV/AIDS adalah penyakit yang tidak akan sembuh dan tidak ada obatnya
sehingga merasa tidak akan ada seseorang atau keluarga yang menerimanya.

d. Hubungan antara Perceived Stigma dengan Kepatuhan Minum Obat


ARV pada ODHA
Pada tabel keempat dalam jurnal penelitian tersebut menunjukkan hasil
uji statistik sommer’s diperoleh hasil dengan nilai  = 0,024 (> 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan/
bermakna antara Perceived stigma dengan Kepatuhan minum Obat ARV pada
ODHA di JCC+ Kab Jombang. Dari total sampel (n) sebanyak 55 responden,
Kepatuhan minum Obat ARV dan Perceived stigma memiliki nilai korelasi (r)
sebesar 0,276 menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan
korelasi yang lemah secara statistik.

2. Jurnal pembanding
Sedangkan Hasil penelitian pada jurnal pembanding yang dilakukan oleh
Setyo Adiningsih1, Mirna Widiyanti, Evi Iriani Natalia, dan Tri Wahyuni dari
Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Biomedis Papua dengan judul
penelitian CD4+ dan Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Terapi
Antiretroviral pada Orang dengan HIV/AIDS di Jayapura. Dalam penelitian ini
yang dapat di jadikan pembahas adalah mayoritas responden mengalami
peningkatan jumlah CD4+ selama terapi ARV dan memiliki tingkat kepatuhan
pengobatan yang baik. Sebagian besar responden yang menjalani terapi ARV lini
pertama mengalami peningkatan jumlah CD4+, namun ada 18 (22,2%) di
antaranya mengalami penurunan jumlah CD4+ .
Ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan jumlah CD4+
dimana perempuan mengalami imunodefisiensi dalam penelitian ini. Responden

7
perempuan berisiko mengalami imunodefisiensi 3 kali lebih tinggi dibandingkan
responden laki-laki.Infeksi HIV dan AIDS pada perempuan dapat menimbulkan
permasalahan yang berkaitan dengan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.Masalah
fisik yang dialami dapat berupa perubahan berat dan bentuk badan, mudah lelah,
ketidakstabilan hormon dan gangguan reproduksi. Masih adanya stigma atau
diskriminasi merupakan salah satu bentuk permasalahan sosial yang dialami
ODHA. Selain itu, permasalahan spiritual muncul ketika ODHA belum dapat
menerima kenyataan tentang statusnya dan memiliki anggapan Tuhan tidak adil
sehingga ODHA menjalani kualitas hidup yang rendah. Kumpulan dari
permasalahan ini dapat menimbulkan masalah psikologis berupa rasa cemas,
depresi dan stres. Lubis dkk menyatakan ada hubungan antara stigma, depresi,
kelelahan dengan kualitas hidup ODHA.
Hampir semua responden pernah mengalami efek samping ARV pada
minggu pertama memulai terapi, namun sejalan waktu sistem tubuh mereka telah
mampu beradaptasi terhadap pengaruh ARV hingga kondisi stabil.Efek samping
yang pernah dialami diantaranya rasa mual, muntah, sakit kepala, insomnia, mimpi
buruk, dan mengantuk.Kehadiran efek samping dari terapi ARV ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Safira dkk.Dalam penelitian ini tidak ada hubungan
yang signifikan antara kepemilikan asuransi kesehatan terhadap jumlah CD4+
responden selama terapi ARV. Namun, ada hubungan yang signifikan antara
pengalaman stigma dengan jumlah CD4+ responden selama terapi antiretroviral.
Berdasarkan nilai OR, pengalaman stigma merupakan faktor protektif untuk
kejadian imunodefisiensi, dimana responden yang tidak pernah mengalami stigma
memiliki 0,09 risiko mengalami imunodefisiensi. Mayoritas responden selalu
mendapat konseling kepatuhan ARV, sehingga pengetahuan responden tentang
HIV dan terapi ARV membuat mereka patuh dalam mengonsumsi obat.

8
3. Simpulan

Jurnal Utama Jurnal Pembanding


“Hubungan Stigma Diri dengan “CD4+ dan Faktor yang Memengaruhi
Kepatuhan Minum Obat ARV pada Kepatuhan Terapi Antiretroviral pada Orang
Orang dengan Hiv/Aids” dengan HIV/AIDS di Jayapura”

Hasil penelitian yang dilakukan di KDS Mayoritas responden mengalami


JCC+ didapatkan tingkat kepatuhan minum peningkatan jumlah CD4+ selama terapi
obat ARV responden terbanyak pada ARV dan memiliki tingkat kepatuhan
kategori patuh tinggi berjumlah 31 orang pengobatan yang baik.
(56,4%). Sedangkan kategori patuh sedang
berjumlah 24 orang (43,6%).

Masih adanya stigma atau diskriminasi


merupakan salah satu bentuk permasalahan
sosial yang dialami ODHA. Selain itu,
permasalahan spiritual muncul ketika ODHA
Gambaran karakteristik responden Hasil
belum dapat menerima kenyataan tentang
penelitian di JCC+ Kab Jombang
statusnya dan memiliki anggapan Tuhan tidak
personalizes stigma mendapatkan hasil
adil sehingga ODHA menjalani kualitas hidup
cukup hal ini dikarenakan persepsi ODHA
yang rendah. Kumpulan dari permasalahan ini
sebagian besar merasa bahwa dirinya tetap
dapat menimbulkan masalah psikologis berupa
diterima dimasyarakat maupun teman dan
rasa cemas, depresi dan stres. Lubis dkk
keluarganya.
menyatakan ada hubungan antara stigma,
depresi, kelelahan dengan kualitas hidup
ODHA.

Terdapat hubungan yang signifikan/


Dalam penelitian ini ada hubungan yang
bermakna antara Perceived stigma dengan
signifikan antara pengalaman stigma dengan
Kepatuhan minum Obat ARV pada ODHA
jumlah CD4+ responden selama terapi
di JCC+ Kab Jombang. Dari total sampel (n)
antiretroviral. Berdasarkan nilai OR,
sebanyak 55 responden, Kepatuhan minum
pengalaman stigma merupakan faktor protektif
Obat ARV dan Perceived stigma memiliki
untuk kejadian imunodefisiensi, dimana
nilai korelasi (r) sebesar 0,276 menunjukkan
responden yang tidak pernah mengalami
bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan
stigma memiliki 0,09 risiko mengalami
korelasi yang lemah secara statistik.
imunodefisiensi.

9
BAB III

PEMBAHASAN

1. Definisi
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) merupakan pathogen yang
menyerang system imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+
dipermukaannya seperti makrofag dan limfosit T. AIDS ( acquired Immunodeficiency
Syndrome ) merupakan suatu kondisi immunosupresif yang berkaitan erat dengan
berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologic
tertentu akibat infeksi HIV ( Kapita Selekta, 2014 ).
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah suatu retrovirus yang berarti
terdiri atas untai tunggal RNA virus yang masuk kedalam inti sel pejamu dan
ditranskripkan ke dalam DNA pejamu ketikan menginfeksi pejamu. AIDS ( acquired

10
Immunodeficiency Syndrome ) adalah suatu penyakit virus yang menyebabkan
kolapsnya system imun disebabkan oleh infeksi immunodefisiensi manusia (HIV),
dan bagi kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun setelah diagnosis (Corwin,
2009)
AIDS ( acquired Immunodeficiency Syndrome ) atau kumpulan berbagai
gejala penyakit akibat turunya kekebalan tubuh individu akibat HIV (Hasdianah dkk,
2014 ).

2. Penularan HIV
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh seperti
darah, semen, cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya seseorang tergantung pada
status imunitas, gizi, kesehatan umum dan usia serta jenis kelamin merupakan factor
risiko. Seseorang akan berisiko tinggi terinfeksi HIV bila tertukar darah dengan orang
yang terinfeksi, pemakaina jarum suntik yang bergantian terutama pada pengguna
narkoba, hubungan seksual ( Corwin, 2009 ).
Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh
seperti darah, cairan genetalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air mata,
dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat didalam air mata dan
keringat. Pria yang sudah disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan
dengan pria yang tidak disunat. Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan
melalui :
a. Ibu hamil
1. Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI)
2. Angka transmisi mencapai 20-50%
3. Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga
4. Laporan lain menyatakan risiko penularan melalui ASI adalah 11-29%
5. Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian pada duaa
kelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal kelahiran bayi
dan kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa waktu usia bayinya,
melaporkan bahwa angka penularan HIV pada bayi yang belum disusui adalah
14% ( yang diperoleh dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan
persalinan ), dan angka penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah
bayinya disusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibody HIV
dari ibunya selama 6-15 bulan.
11
b. Jarum suntik
1. Prevalensi 5-10%
2. Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena
penyalahgunaan obat
c. Transfuse darah
1. Risiko penularan sebesar 90%
2. Prevalensi 3-5%
d. Hubungan seksual
1. Prevalensi 70-80%
2. Kemungkinana tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim
3. Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini dengan
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan kondom,
maka penularan melalui jarum ini cenderung menurun dan digantikan oleh
penularan melalui jalur penasun ( penggunaan narkoba suntik) (Widoyono,
2011).

3. Pengobatan HIV
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada
adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang
dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat perkembangbiakan
virus. Obat-obatan yang termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine,
Stavudine. Obat infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang
muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk
pengobatan oportunistik yaitu
menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC,
dll (Hasdianah dkk, 2014).
Berikut penjelasan tentang Antiretroviral (ARV)
1. Pengertian Antiretroviral (ARV)
Antiretroviral (ARV) merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS untuk
mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik,
meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral
load) dalam darah sampai tidak terdeteksi (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2014).
2. Golongan Obat Antiretroviral (ARV)
12
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dalam Pedoman Nasional Tatalaksana
Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, obat
ARV terdiri atas tiga golongan utama, yaitu:
a. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor) NRTI bekerja dengan
menghambat enzim reverse transkriptase selama proses transkripsi RNA virus
pada DNA pejamu. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk
trifosfat, yang kemudian secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida.
Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi.
Jenis ARV yang termasuk golongan NRTI adalah sebagai berikut:
1) 3TC (lamivudine)
2) Abacavir (ABC)
3) AZT (ZDV, zidovudine)
4) d4T (stavudine)
5) ddI (didanosine)
6) Emtricitabine (FTC)
7) Tenofovir (TDF; analog nukleotida)
b. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
NNRTI bekerja dengan cara berikatan dengan enzim reverse transcriptase
sehingga dapat memperlambat kecepatan sintesis DNA HIV atau menghambat
replikasi (penggandaan) virus. Jenis ARV yang termasuk golongan NNRTI
adalah sebagai berikut:
1. Efavirenz (EFV)
2. Nevirapine (NVP)
c. PI (Protease Inhibitor)
PI bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA
dan poliprotein HIV, protease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi
sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan
perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan
tidak infeksius
terhadap sel. Jenis ARV yang termasuk golongan protease inhibitor adalah
sebagai
berikut:
1 Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
2 Saquinavir (SQV)
13
3 Indinavir (IDV)
4 Nelfinafir (NFV)

4. Stigma

Arti “stigma” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 2014,
yaitu ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh
lingkungannya. Sedangkan arti “sosial” yaitu berkenaan dengan masyarakat.

Jadi, arti “stigma sosial” adalah penolakan keberadaan seseorang atau


kelompok pada lingkungan tertentu karena sudah dianggap tercela. Apabila
seseorang sudah terkena stigma sosial, maka secara pribadi sudah sangat dirugikan.
Sangat sulit menghapus stigma yang telanjur melekat. Bahkan, dampak stempel
stigma sering berujung pada pengucilan di lingkungannya.

Contoh Efek Stigma Masyarakat Terhadap ODHA

Penelitian Maharani (2014) yang bertujuan  untuk mengetahui informasi


tentang stigma dan diskriminasi terhadap ODHA pada pelayanan kesehatan di
Kota Pekanbaru bahwa diskriminasi dalam bentuk dilecehkan secara lisan dengan
mengatakan penyakit HIV dengan nada lantang, pemberian makan dibawah pintu,
seprai tidak diganti-ganti dan sebagainya. Meskipun telah mendapat pelatihan,
masih ada petugas kesehatan yang merasa cemas ketika berhadpaan pasien ODHA
terutama di ruang rawat inap. Berikut penuturannya: “Yaaa pada saat menangani
pasien HIV/AIDS perasaan cemas pasti adalah., karena kita tidak tau pori-pori
tangan kita terluka.. tubuh kita terluka, sandal kita, mungkin pada saat operasi
kejatuhan cairan darah, ketuban pada saat section itu biasanya muncrat.. tetap
kita ada cemas dalam menanganinya”

Penuturan lainnya diungkap oleh ODHA yang berkunjung ke dokter gigi. Berikut
penuturannya: “Waktu saya pergi ke dokter gigi, jadi pas saya duduk dikursi
pelayanannya,, ibuk itu kan pegang status RM saya,, tanpa sengaja dia liat kode
nomornya saya,, langsung berubah ekspresinya terkejut melihat kode itu, (saya
liat sendiri ekspresinya berubah), dokter itu tiba-tiba menoleh kekamar belakang
membilang ke perawatnya, “heeehh kok nggak bilang itu pasien HIV (dengan

14
suara agak berisik), kemudian dokter itu balik lagi ,, dia pake sarung tangan ,
masker, kacamata, disuruhnya saya membuka mulut.. kemudian diliatnya.., Oh ini
nggak pa pa.. (padahal waktu itu gigi saya berlobang,, jadi niat mau dicabut biar
ga sakit lagi),, tapi nadanya ketus seperti mau marah marah,, padahal awalnya
ramah aja, bilang gini “liat giginya,, hhmmm nggak pa pa ini,,, Tapi kan buk
saya dirujuk tadi disini suruh cabut buk,”siapa bilang,”Nggak pa pa kok”, Kan
saya yang dokter gigi, bukan mereka… yaa sudah sana keluar”

      Dalam hal ini kita dapat belajar lebih jauh mengenai HIV AIDS  sehingga bisa
meningkatkan rasa empati kita mengenai penderita HIV/AIDS sehingga stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA bisa dihentikan.

Seorang informan berusia remaja mengaku bahwa ia belum memberi tahu


statusnya sebagai ODHA kepada keluarga maupun lingkungan sosialnya. “Saya
belum open status, ada ketakutan tersendiri buat open status. Masalahnya saya
belum siap, saya masih mikir gitu entar kalau saya lagi nongkrong ya kan, jam
sembilan saya bilang mau minum obat dulu, obat apan nih, obat ARV, ya gimana
ya masih belum siap lah”, Al – ODHA di Jakarta.

Selain dari rasa takut, self stigma juga berupa internalisasi ODHA terhadap cap
negatif dari lingkungan sosialnya. ODHA menerima dan meyakini bahwa cap
negatif dari masyarakat terhadap dirinya memang merupakan sifat aslinya. “Mau
saya lakuin apa aja sedangkan orang-orang di lingkungan saya enggak percaya
sama saya maupun keluarga gitu. Akhirnya saya udah dicap emang lo mah nggak
bakalan berhenti lo percuma lo. Akhirnya timbul rasa putus asa,… ini karena apa
ya, image pikiran gitu ya. Oh ternyata orang nggak suka sama saya, enggak ada
dukungan apa pun”, Ha – ODHA di Jakarta.

Pada ODHA pecandu narkoba suntik di Jakarta hampir semua informan


mengalami self stigma berupa ketakutan untuk memulai pengobatan. Alasan
paling banyak adalah takut tidak bisa konsisten mengkonsumsi obat. Ketakutan
lainnya adalah penerimaan masyarakat tentang statusnya sebagai ODHA. Seorang
informan remaja mengatakan ia belum berniat membuka statusnya sebagai
ODHA, akibatnya adalah ia juga belum akan memulai melakukan pengobatan.
(Balatif, R. 2020)

15
Penyebab Adanya Stigma pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

1. Kesalahan Informasi tentang HIV/AIDS

HIV/AIDS bisa terjadi pada siapa saja. Namun, penyakit ini lebih rentan
terjadi pada orang yang melakukan seks tanpa kondom, menggunakan jarum suntik
yang tidak steril, dan anak yang memiliki ibu dengan status HIV positif (penularan
selama masa kehamilan, persalinan, dan menyusui). Jadi, kamu tidak perlu takut
saat berdekatan dengan ODHA karena HIV/AIDS tidak bisa menular udara,
termasuk melalui batuk, bersin, alat makan, toilet, jabatan tangan, dan duduk
sebelahan.

2. Kurangnya Informasi tentang Dampak Negatif Stigma pada ODHA

Stigma pada ODHA bukan sekadar pemberian label negatif, tapi berdampak
negatif pada kehidupan ODHA, keluarga, dan upaya pemerintah dalam mengatasi
HIV/AIDS. Berikut ini dampak negatif stigma dan perilaku diskriminatif pada
ODHA yang perlu diketahui:

 Melanggar hak asasi manusia. Di antaranya hak untuk bekerja, membangun


rumah tangga, mendapat akses pelayanan kesehatan dan kehidupan yang
layak.
 Menutup kesempatan bagi ODHA untuk mengembangkan diri, termasuk
untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan yang layak.
 Membuat ODHA mengasingkan diri. Yakni membuat ODHA
menyembunyikan status HIV positifnya dan mengasingkan diri dari
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
 Menghambat program pemerintah dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS
di masyarakat. Stigma membuat ODHA menyembunyikan status HIV
positifnya dan malu untuk memeriksa kesehatannya. Akibatnya, ia tidak
akan mendapat pengobatan dan perawatan yang bisa meningkatkan risiko
kematian ODHA dan penular

16
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dalam penulisan makalah ini kami akan menggunakan acuan jurnal penelitian
utama yang ditulis oleh Wira Daramatasia dan Mizam Ari Kurniyanti dari STIKES
Widyagama Husada dengan judul penelitian Hubungan Stigma Diri dengan Kepatuhan
Minum Obat ARV pada Orang dengan Hiv/Aids. Hal ini karena adanya kesamaan
pembahasan antara jurnal penelitian utama dengan makalah kami yang akan membahas
hubungan antara stigma masyarakat dengan kepatuhan dalam mengkonsumsi ARV.
Sedangkan untuk metode penelitian yang menurut kami lebih akurat untuk
dijadikan acuan adalah metode penelitian pada penelitian pada jurnal pembanding yang
dilakukan oleh Setyo Adiningsih1, Mirna Widiyanti, Evi Iriani Natalia, dan Tri
Wahyuni dengan judul penelitian CD4+ dan Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan

17
Terapi Antiretroviral pada Orang dengan HIV/AIDS di Jayapura. Penelitian tersebut
merupakan penelitian yang menggunakan metode rancangan potong lintang dilakukan
dari bulan Juni sampai September 2017. Hal ini karena pada metode penelitian jurnal
pembanding, penelitian di lakukan dalam jangka waktu yang cukup lama yakni selama
tiga bulan. Menurut kami penelitian yang dilakukan dengan waktu yang cukup lama
dapat memberikan hasil perkembangan yang lebih akurat mengenai pasien HIV/AIDS
terhadap kepatuhan dalam mengonsumsi ARV.
Perlu diketahui bahwa penyakit HIV/AIDS ini amat lah ganas dan susah untuk
di sembuhkan kembali, dan selanjutnya yang perlu kita ketahui penyakit ini bisa
menularkan melalui orang ke orang, melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah,
semen, cairan vagina, dan asi. Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus
beberapa obat yang ada adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat
antiretroviral adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna
menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang termasuk antiretroviral yaitu
AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat infeksi oportunistik adalah obat yang
digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan
tubuh.

Dan pada saat ini Stigma pada ODHA bukan sekadar pemberian label negatif,
tapi berdampak negatif pada kehidupan ODHA, keluarga, dan upaya pemerintah dalam
mengatasi HIV/AIDS. Hal ini dapat menutup kesempatan bagi ODHA untuk
mengembangkan diri, termasuk untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan yang
layak.Serta Membuat ODHA mengasingkan diri. Yakni membuat ODHA
menyembunyikan status HIV positifnya dan mengasingkan diri dari keluarga dan
masyarakat sekitarnya.

B. Saran
Perlu pemberian informasi HIV/AIDS yang lengkap kepada masyarakat untuk
memberikan pemahaman yang dapat mengubah persepsi individu dan masyarakat
termasuk keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat tentang ODHA. Selain itu, juga
diperlukan upaya penurunan stigma terhadap ODHA melalui penyuluhan oleh tenaga
kesehatan, sebagai contoh untuk meluruskan mitos dan penularan HIV/AIDS agar
tidak terjadi kekhawatiran dan ketakutan masyarakat terhadap ODHA.

18
DAFTAR PUSTAKA :

Al-Serouri, Anaam, Al-Iryani, Al Deram, dan Ramaroson. (2010). AIDS awareness and
attitude among Yemeni young people living in high-risk area. Eastern Mediterran Health
Journal, 16(3), 242-250. Diperoleh dari
http://applications.emro.who.int/emhj/V16/03/16_3_2010_0242_0250.pdf?ua=1

19
Dachlia, D. (2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual berisiko
terinfeksi pada pelaut/pekerja pelabuhan di Jakarta, Manado, dan Surabaya (Analisis Data
Survei Sirveilans Perilaku 1999) (Tesis, tidak dipublikasikan). Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok – Jawa Barat, Indonesia.

Dumatubun, A.E. (2003). Pengetahuan, perilaku seksual suku bangsa Marind-Anim. Jurnal
Antropologi Papua, 1(3), 32. Diperoleh dari http://papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/

Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L. (2010). Medical surgical-nursing patient-centered


collaborative care (6th Ed.). St. Louis, Missouri: Sounders Elsevier.

Irmanigrum, et al., (2007). Situasi perilaku berisiko dan prevalensi HIV di Tanah Papua
2006: Hasil STHP Tahun 2006 di Tanah Papua. Jakarta: Badan Pusat Statistik dan Direktur
Jenderal PP & PL DepKes RI

Margono, Y. (2010). Di Kota 175 penderita HIV/AIDS meninggal. Radar Sorong. Diakses 26
Maret 2011, dari http://www.facebook.com /note.php? note_id=277693111871.

Peltzer, K. (2000). Factors Affecting Condom Use Among South African University
Students. East African Medical Journal, 77(1), 46-52.

Papua, Elsham. (2010). Penderita HIV/AIDS di Papua Barat 1.589. Cahaya Papua. Diakses 2
Maret 2010, dari http://elshamnewsservice. blogspot.com/2010/04/penderita-hivaids-di-pa
pua-barat-1589.html.

P2PL, Ditjen. (2011). Laporan situasi perkembangan HIV&AIDS di Indonesia sampai


dengan Juni 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Sastroasmoro, S., Ismael, S. (2010). Dasar-dasar metodologi penelitian Klinis. Jakarta:
Sagung Seto.

Stine, G. J. (2011). AIDS update 2011. New York: McGrow-Hill.


UNAIDS. (2009). Annual report 2009. Diakses 28 April 2011, dari http://www.unaids.
org/en/me dia/unaids/contentassets/dataimport/pub/report/2010/2009_annual_report_en.pdf.

20
21

Anda mungkin juga menyukai