Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Memeluk sebuah agama yang diyakini merupakan hak asasi setiap orang. Orang
bebas meyakini dan memilih agama apapun juga selama itu direstui oleh Negara. Para insan
pemeluk agama dapat beribadah atau mempraktekkan agamanya dengan leluasa secara
nyaman dan tanpa ada rasa kekhawatiran (Wikipedia, 2019,
Wikipedia.org/wiki/Kebebasan_beragama_di_Indonesia, diakses pada 7 Juni 2019). Konteks
keberagamaan di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah ikon ataupun simbol
keharmonisan antar pemeluk agama dimana setiap pemeluk agama dapat hidup
berdampingan secara guyub rukun. Namun dewasa ini perlu diakui dan disadari bahwa
hubungan antar pemeluk agama di Indonesia tidak selalu harmonis. Perbedaan ataupun ciri
khas yang terdapat pada agama-agama dipertentangkan bahkan dibentur-benturkan oleh
beberapa pihak dengan tujuan membenarkan salah satu agamanya. Misalnya saja dewasa ini
beberapa figur yang tampil sebagai debater agama kelas dunia baik dari kalangan Islami
ataupun Kristiani seperti: Christian Prince, Sam Shamoun, David Wood, Zakir Naik, Shabir
Ally, Muhammad Hijab, dan seterusnya.
Hal ini tentu mengakibatkan hubungan antar pemeluk agama menjadi tidak baik sebab
argumen yang digunakan oleh masing-masing debater memiliki potensi untuk menyerang
iman agama lain. Argumen demi argumen dibangun dengan asumsi dapat menjatuhkan lawan
dan menunjukkan agamanyalah yang paling benar atau haqq dan yang lainnya salah ataupun
bathil. Banyak orang tidak memahami bahwa tiap-tiap agama memiliki ajaran ataupun
doktrin yang tidak dapat dilihat dengan kaca mata agamanya. Ada penjelasan atau
latarbelakang yang perlu dipahami ataupun disadari oleh masing-masing orang dalam melihat
agama lain. Misalnya saja bagaimana seorong tokoh agama Islam seperti Habib Riziq Shihab
dengan sembrono dan menggebu-gebu mendiskreditkan iman Kristen tentang perkataannya
“Jika Tuhan punya anak siapa bidannya?”. Perkataan seperti ini adalah sebuah kebodohan
yang diungkapkan oleh seorang yang katanya adalah tokoh agama karena dalam pandangan
iman Kristen tidak sesederhana itu dalam memahami apa itu Anak Tunggal Allah.
Paper ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Agama. Ilmu
Perbandingan Agama pada dasarnya bukanlah sebuah ilmu untuk menunjukkan sebuah
agama itu benar dan yang lainnya salah, melainkan sebuah ilmu untuk melihat kekhasan
ajaran ataupun praktek agama pada tiap-tiap agama (Dewantara, 2019:6-7). Maka bukan
wilayah ilmu Perbandingan Agama untuk menjustisfikasi sebuah agama itu salah dan yang
lainnya adalah benar, berbeda dengan spirit para debater agama yang berusaha membenarkan
agamanya dan yang lainnya adalah salah.
Penulis meyakini bahwa untuk membangun kerukunan antar pemeluk agama tidaklah
benar saling membenturkan ajaran ataupun praktek keagamaan pada masing-masing agama.
Dialog antar pemeluk agama yang bermuatan membentur-benturkan isi dari sebuah agama
hanyalah akan memecah-belah rasa persaudaraan di antara umat manusia. Oleh sebab itu
dialog antar pemeluk agama seharusnya berorientasi pada usaha untuk membina rasa cinta
kasih persaudaraan sehingga ada sikap saling memahami antar pemeluk agama. Hal itu bisa
diwujudkan dengan atau melalui berbagai dialog iman ataupun dialog karya dimana
seseorang pada tiap-tiap agama dapat menyharingkan pengalaman imannya ataupun
bekerjasama untuk mengadakan aksi sosial. Kalaupun toh dialog antar pemeluk agama
diadakan terkait doktrin ataupun praktek keagamaan pada masing-masing agama, maka
hendaknya dialog itu dicari hal-hal yang terarah pada usaha untuk mencari kemiripan ataupun
titik temu antar pemeluk agama. Sedangkan unsur yang berbeda dalam agama-agama
hendaknya dipandang sebagai kekhasan pada masing-masing agama yang seyogyanya
dihormati oleh setiap pemeluk agama. Dalam mengerjakan tugas perkuliahan mata kuliah
Perbandingan Agama ini, penulis akan berusaha mencari dan membahas kemiripan diantara
agama besar, khususnya dalam hal ini adalah agama Katolik dan Islam dalam konteks budaya
dan bangsa Indonsesia.
BAB II

PEMBAHASAN

Kekristenan dan Islam merupakan agama besar di dunia yang mana pemeluk dari
kedua agama ini sangatlah besar. Situs Adherent.com menyatakan bahwa jumlah pemeluk
Kekristenan di dunia dari segala denominasi/mazhab berjumlah sekitar 2,1 miliar jiwa dan
pemeluk Islam dari segala denominasi/mazhab berjumlah sekitar 1,5 miliar jiwa (adherents,
2005, https://www.adherents.com/Religion_By_Adherents.html, diakses pada 7 Juni 2019).
Negara Indonesia sendiri yang notabene adalah sebuah negara yang lahir dari rahim
multikulturaisme telah mengukir sejarah bahwa perjuangan didirikannya bangsa ini
melibatkan banyak orang dari latarbelakang budaya, suku, dan agama yang berbeda. Adapun
para pejuang beriman itu berasal dari umat Kristiani, Islam, Hindhu, Budha, dan orang-orang
aliran kepercayaan. Puncaknya dimana dasar Negara yang adalah Pancasila merupakan
kesepakatan bersama dari para founding fathers dan rakyat Indonesia (Dewantara, 2017:59-
77). Maka daripada itulah setiap warga Negara Indonesia perlu menyadari diri siapa mereka
sebagai orang yang hidup di bumi Indonesia ini dan hendaknya setiap pemeluk agama terus
mengusahakan kerukunan hidup melalui sikap menghormati dan laku sosial yang didasari
cinta kasih pada sesama.
Dewasa ini hubungan antara pemeluk agama di Indonesia kuranglah harmonis,
terutama secara khusus pemeluk agama Kristen (Katolik & Protestan) dengan pemeluk
agama Islam. Hal itu nampak dari maraknya sikap maupun tindakan intoleransi yang terjadi
di dunia maya ataupun beberapa tempat di dunia nyata. Orang tidak segan-segan mencaci
maki, menghina, dan mengklaim agama saudaranya sesat, salah ataupun korup bahkan
mengejek saudaranya kafir. Tidak jarang juga terjadi usaha-usaha untuk membatasi
kebebasan orang lain dalam mempraktekkan agamanya seperti penutupan atau pelarangan
didirikannya rumah ibadah tertentu, kendatipun sudah ada IMB (Izin Pendirian Bangunan)
dari pemerintah yang telah memenuhi kualifikasi persyaratan didirikannya sebuah bangunan.
Penulis melihat bahwa salah satu penyebab terjadinya ketidakharmonisan ini adalah
dikarenakan mudahnya orang melalui teknologi modern kontemporer berinteraksi dengan
yang lain. Sebut saja melalui media Youtube, Facebook, Skype, dan lain sebagainya orang
dapat dengan mudah memberi komentar negatif pada agama orang lain. Argumen dibangun
untuk menyerang agama orang lain tidak benar ataupun sesat. Hal inilah yang pada akhirnya
memicu perdebatan dan sikap kurang menghormati kepercayaan orang lain. Oleh sebab itu
dialog yang demikian bukanlah dialog yang sehat bagi relasi hidup antar pemeluk agama,
terkhusus dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Dialog antar pemeluk agama yang bermuatan membentur-benturkan perbedaan agama
tiada pernah akan membuahkan hubungan yang baik antar pemeluk agama. Perlu setiap orang
menyadari bahwa perbedaan hendaknya dipandang sebagai kekhasan yang ada pada agama-
agama yang seharusnya dihormati oleh setiap orang. Dialog terkait dogma atau aqidah
maupun praktek keagamaan hendaknya terarah pada titik-titik dimana ada kesepahaman atau
kemiripan antar agama yang berbeda. Selama ini terlalu sering fokus dialog anatar agama
hanya ditujukan pada perbedaannya dan bukan pada kemiripannya. Penulis dalam hal ini
akan membahas terkait beberapa titik temu yang terdapat diantara iman Kristiani dan Islam.

2.1. Spirit 100% Katolik 100% Indonsesia dan Hubbul Wathon minal Iman ala NU

Agama Kristen Katolik merupakan agama yang inkulturasi dalam menerapkan


ajarannya di segala bangsa termasuk di Indonesia. Iman Kristen tidak pernah anti terhadap
budaya asli dimana iman akan Kristus itu disebarkan, kecuali beberapa budaya yang memang
bertentangan dengan iman Kristen. Seorang uskup agung Katolik pribumi bernama Albertus
Soegijapranata (1896-1963) pernah mencetuskan sebuah slogan “100% Katolik, 100%
Indonesia” kepada umat Katolik di Indonesia”. Melalui slogan tersebut Soegija ingin
menunjukkan sikap simpati pada agenda perjuangan nasional. Bagi Soegija, kekristenan itu
tidak boleh menggerus nasionalisme melainkan justru harus direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari dalam suatu interaksi kebangsaan (Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik, 2018,
https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/100-katolik-100-indonesia, diakses pada 10
Juni 2019).
Islam sendiri juga demikian dalam konteks penyebarannya di Indonesia menggunakan
budaya sebagai dakwah dan merangkul budaya. Dalam konteks perjuangan melawan penjajah
tokoh pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari mencetuskan
konsep “Hubbul Wathon minal Iman” yang berarti nasionalisme bagian dari iman. Melalui
organisasi NU inilah Islam merangkul budaya dalam merealisasikan imannya. Para Ulama
NU sendiri mencetuskan konsep Islam Nusantara dimana Islam menyatu dengan
nasionalisme dan nasionalisme diberi spirit dengan Islam. (Feri Agus Setyawan, 2019,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190228174359-20-373567/said-aqil-islam-
nusantara-bukan-mazhab-aliran=atau-sekte, diakses pada 10 Juni 2019).
Pada dasarnya kedua agama ini memiliki kesamaan dalam menerapkan ajaran atau
praktek keagamaan melalui budaya. Keduanya tidak anti terhadap budaya asli dari
masyarakat Indonesia, justru budaya digunakan sebagai sarana ataupun implementasi dari apa
yang diimani. Melalui budaya kedua agama ini tidak mengubah isi ataupun pesan dari agama
masing-masing, sebab secara esensi baik Katolik maupun Islam dalam konteks Indonesia
tetaplah mewartakan ajaran dari akar namun dengan pendekatan yang paling mudah diterima
oleh masyarakat atau manusia Indonesia.

2.2. Hukum Kasih dan Hablum minallah wa Hablum Minannas

Iman Kristen memiliki ajaran tentang hukum kasih dimana setiap orang yang beriman
kristiani memiliki kewajiban untuk menjalin hubungan cinta kasih dengan Allah dan sesama.
Hubungan dengan Allah dan sesama ini juga dilambangkan dengan kayu salib. Salib dengan
palang kayu terarah keatas (vertikal) melambangkan bahwa orang beriman hendaknya
mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, dan akal budi. Sedangkan palang kayu
yang mengarah ke samping (horizontal) melambangkan bahwa orang yang mencintai Tuhan
juga harus merealisasikan cintanya kepada sesama sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri
(Mrk. 12:30-31). Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul Yohanes bahwa
“barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya (1 Yoh. 4:18-20). Ajaran
kasih Yesus lebih radikal lagi, yakni bahwa mengasihi itu tidak hanya mengasihi orang yang
mengasihi kita saja melainkan juga yang membenci dan menganiaya kita, kasih juga tidak
bagi kelompok yang sama saja tapi juga kepada mereka yang berbeda warna (bdk. Mat. 5:44;
Luk. 6:27-28).
Dalam iman Islam ada ajaran tentang hablum minallah wa hablum minannas. Hablum
minallah dimaknai sebagai kewajiban orang beriman Islam untuk menjaga hubungan dengan
Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan
hablum minannas dimaknai sebagai kewajiban orang beriman Islam untuk menjaga hubungan
baik dalam kehidupan dengan sesama (Zulman, 2009,
https://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=713:zulmanagustus&catid=41:top-
headlines&Itemid=158, diakses pada 10 Juni 2019). Hukum kasih dalam iman Kristen dan
ajaran hablum minallah wa hablum minannas dalam iman Islam pada hakikatnya memiliki
kesamaan, yakni dimana keduanya menekankan pentingnya orang beriman senantiasa
membangun hubungan dengan Tuhan dan sesama. Tentu realisasinya berbeda berdasarkan
ajaran masing-masing namun arahnya mengandung esensi yang sama.
2.3. Terminologi Iman Kristen dan Islam di Timur Tengah

Kekristenan maupun Islam merupakan dua agama yang lahir dari kawasan Timur
Tengah yang notabene identik dengan budaya Ibrani, Aram maupun Arab. Oleh sebab itulah
keduanya memiliki kebudayaan yang mirip baik dalam hal bahasa maupun secara tradisi.
Namun sebagian orang tidak tahu tentang hal ini, sebab banyak orang di Indonesia khususnya
berasumsi bahwa agama Kristen ataupun Katolik adalah agama barat. Anggapan demikian
tentu saja keliru sebab Kekristenan lahir juga dari kawasan Timur Tengah. Soal mengapa
sekarang Kekristenan lebih identik dengan budaya barat dalam mengungkapkan imannya itu
dikarenakan ada beberapa alasan, antara lain: 1) Iman Kristen disebarkan Para Rasul ke
seluruh dunia, khususnya Rasul Petrus dan Rasul Paulus mendirikan Tahta Suci di Roma
yang nantinya menjadi basis penginjilan ke seluruh dunia, 2) Indonesia merupakan Negara
yang mendapatkan penyebaran agama dari para penginjil barat, dan 3) Kekristenan bukan
soal budaya melainkan pesan keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus (Tay, 2018,
https//www.katolisitas.org/mengapa-rasul-petrus-datang-keroma, diakses pada 10 Juni 2019).
Budaya hanyalah sarana pengungkapan iman tetapi pesannya tetaplah sama. Inilah yang
menyebabkan mengapa Kekristenan di Indonesia saat ini identik dengan budaya barat.
Namun jika kita menengok realitas Kekristenan di wilayah Timur Tengah ternyata
ada sesuatu yang dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan Islam. Adapun kemiripan
tersebut setidaknya terlihat dari bahasa dalam bertutur kata yang salah satunya menggunakan
bahasa Arab. Dengan demikian ada beberapa istilah atau terminologi yang memang sama-
sama digunakan baik oleh umat Kristen maupun Islam, antara lain: Ketika berdoa orang
Kristen juga menyebutnya sholat, ketika menyanyikan sebuah lagu dari lirik puisi juga
dikatakan sebagai qosidah, sholawat juga digunakan oleh umat Kristen sebagai ungkapan
doa-doa dalam arti jamak, ketika mengucap syukur mengatakan Alhamdulillah, dan
seterusnya. Selain dari segi bahasa juga ada kemiripan dari segi tradisi seperti memakai baju
gamis, menggunakan peci, menggunakan hijab, menggunakan alat musik yang sama untuk
mengiringi lagu (gambus, kecapi, rebana), dan seterusnya. (bdk. Qurtuby, 2017,
https//www.dw.com/id/sejumlah-kesalahpahaman-tentang-bangsa-arab/a-40966480, diakses
pada 10 Juni 2019; lih. Prasetya, 2015, https:// kristenkoptik.blogspot.com/2015/12/?m-1,
diakses pada 10 Juni 2019). Bagi sebagian orang Indonesia hal ini dianggap bahwa
Kekristenan meniru budaya Islam tapi ternyata tidak, sebab Kekrsitenan sudah terlebih
dahulu ada setidaknya 7 abad sebelum Islam lahir. Banyak orang Arab telah menjadi Kristen
(Kis. 2:41). Maka dapat disimpulkan bahwa kedua agama ini memiliki kemiripan dalam hal
menggunakan budaya Timur Tengah untuk mengungkapkan imannya.

2.4. Ukuran Pencobaan dan Ditariknya Petunjuk Tuhan dalam Iman Kristen dan
Islam

Tuhan, baik dalam iman Kristen maupun iman Islam dipandang sebagai Tuhan yang
menguji umat-Nya. Setidaknya hal itu nampak dari pencobaan yang dialami oleh Ayub yang
notabene seorang tokoh beriman yang diimani baik oleh Kristen maupun oleh Islam. Ayub
diuji imannya oleh Tuhan melalui iblis (Ay. 1:12). Namun yang perlu diketahui dalam
pembahasan ini adalah sejauh mana Allah mencobai umat-Nya berdasarkan iman Kristen dan
Islam. Rasul Paulus yang merupakan Rasul besar dalam Kekristenan mengatakan terkait
ukuran pencobaan Allah kepada manusia sebagai berikut:
“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan biasa, yang tidak
melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan
membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai
Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat
menanggungnya” (1 Kor. 10:13).

Sedangkan dalam Al-Quran berbunyi demikian terkait ukuran pencobaan kepada


manusia: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Al-
Baqoroh 2:286a). Dari kedua pandangan Rasul Paulus dan Al-Quran tersebut dapat
disimpulkan bahwa ada unsur kemiripan dalam memandang ukuran pencobaan Tuhan pada
manusia, yakni keduanya senada bahwa Allah tidak akan memberi ujian pada manusia
melebihi kemampuan umat-Nya.
Kemudian terkait ditariknya petunjuk Tuhan dari umat-Nya dikatakan demikian oleh
Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika “Dan itulah sebabnya Allah
mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan mereka percaya akan dusta, supaya
dihukum semua orang yang tidak percaya akan kebenaran dan yang suka kejahatan” (2 Tes.
2:11-12). Dalam Al-Quran surah Ar-Ra’d 13:27 dikatakan demikian tentang ditariknya
petunjuk Tuhan dari umat-Nya “Dan orang-orang kafir berkata, Mengapa tidak diturunkan
kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?, Sesungguhnya Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk orang yang bertobat kepada-
Nya”. Pada intinya kalau dilihat alasan mengapa Allah mencabut petunjuk dari umat-Nya
atau dalam bahasa Rasul Paulus “mendatangkan kesesatan” dapat dilihat pada ayat
sebelumnya yakni dalam 2 Tesalonika 2:19-10, yakni akibat kebebalan manusia akan dosa
atau tidak mempercayai dan mencintai kebenaran. Allah mendatangkan kesesatan kepada
orang-orang yang bebal yang sudah tahu kebenaran namun tidak menghidupi kebenaran atau
melakukan kebenaran itu malah justru memilih berbuat dosa.
Sedangkan dalam bahasa Al-Quran ditariknya petunjuk Tuhan dikatakan sebagai
“menyesatkan siapa yang Dia kehendaki”. Allah menyesatkan siapapun manusia yang Dia
kehendaki, alasannya pun tidak jauh berbeda karena masih ada kemiripan dengan sabda
Rasul Paulus, yakni soal percaya atau tidak percaya, berdosa atau bertobat. Keduanya
memang tidak secara serta merta sama, namun memang memiliki kemiripan dimana Allah
menarik petunjuk cahaya-Nya dari manusia sehingga pada akhirnya manusia durhaka
dihukum.

2.5. Yesus sebagai Firman Allah dan Ilmu Kalam dalam Islam

Iman Kristen meyakini bahwa Yesus adalah Firman Allah yang satu dengan Allah dan
tak terpisahkan dengan Allah dan bahkan Ia sendiri adalah Allah. Firman itu telah
menjadikan alam semesta dan apa yang ada di dalamnya. Kemudian Firman yang manunggal
dengan Allah itu pada suatu waktu turun ke dunia sebagai manusia. Ia menjelma sebagai
manusia dan menjadi sama dengan manusia dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa, sebab
Ia kudus dan tiada pernah berdosa (bdk. Yoh. 1:1-14; lih. Flp. 2:7; Ibr. 4:15). Yesus sebagai
Firman Allah yang menjelma menjadi manusia tentunya memiliki dua sifat, yakni sebagai
Yang Ilahi nan kekal yang memiliki pre-eksistensi sebelum menjadi manusia dan sebagai
manusia. Sebagai manusia, Yesus dapat merasakan sakit, lapar, haus, dan dapat mati
sebagaimana dalam penyaliban-Nya. Namun kematian-Nya hanyalah secara fisik dan tidak
menyentuh keilahian-Nya. Rumusan iman Kristen secara Alkitabiah dalam Leonardo Winarto
(2011:98-99) dikatakan sebagai berikut:

“Nu’minu anna Rabbana wa Ilahana wa Mukhallishana Yasu’ Al-Masih, al-


Kalimat (Logos) al-mutajassad, huwa kaamil fii lahutihi, wa kaamil fii
nasutihi. Wa annahu ja’ala naasuutahu wahidaan ma’a lahutihi bi-ghayri
ikhtilaath wa laa imtizaj wa laa taghyiir. Wa an lahutih lam yanfashil ‘an
naasutihi wahidati laa tharfitu ‘ain”.
Artinya: “Kami percaya bahwa Yesus Kristus yang adalah Tuhan, Allah dan
Juruselamat kami, Firman yang menjadi manusia, sempurna dalam keilahian
dan sempurna dalam kemanusiaan. Dia membuat kemanusiaan-Nya menjadi
satu dengan keilahian-Nya tanpa percampuran dan perubahan. Dan bersamaan
dengan itu, antara keilahian dan kemanusiaan-Nya tidak terpisahkan dalam
kejapan mata sekalipun”.
Yesus sebagai Firman yang kekal memang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Ia
merupakan kausa prima, yakni penyebab yang tidak disebabkan. Namun keberadaan-Nya
sebagai sebagai manusia, Ia terbatas oleh ruang dan waktu dan dengan demikian dapat diraba
ataupun dilihat (1 Yoh. 1:1). Oleh sebab itulah mengenai hal ini Alkitab mengatakan:

“Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah
itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan
diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama
dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan
diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:6-8).
Kematian Yesus yang diartikan Alkitab bukanlah dalam keberadaan-Nya sebagai
Firman Allah yang manunggal dengan Allah, melainkan keberadaan-Nya pasca inkarnasi-
Nya sebagai manusia. Keyakinan iman Kristen ini memiliki paralelnya dengan ilmu kalam
dalam Islam. Walaupun tidak persis sama namun dapat menjadi sebuah perbandingan.
Kelompok Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) meyakini bahwa Al-Quran sebagai kalam
Allah itu kekal dan bukan makhluk. Selanjutnya teolog Islam merumuskan hubungan antara
kalam Allah dan Pribadi Allah adalah bahwa kalam merupakan sifat Allah yang qadim di
dalam Dzat (Esensi) Allah. Hal itu tampak dalam rumusan yang berbunyi “Ash-Shifat laysa
al-Dzat, wa laa hiya ghayruha.” Artinya: “Sifat tidak identik dengan Dzat, namun juga tidak
berbeda dari-Nya. Rumusan Ilmu Kalam Islam yang baru dirumuskan pada abad 9 ini
ternyata mirip dengan keyakinan Kristen. Alkitab menyaksikan bahwa Allah kekal bersama
Firman-Nya, tetapi serentak bahwa firman itu adalah Allah sendiri (bdk. Winarto, 2011:100;
lih. Yoh. 1:1).

Lebih lanjut dalam keyakinan Islam, Al-Quran sebagai kalam Allah itu memiliki dua
aspek keberadaan: pertama, kalam nafsi yang berarti bahwa hakikat Quran sebagai kalam
Allah melekat pada Dzat Allah dan yang kedua, kalam lafzi bahwa Quran bersifat temporal
yang dibatasi oleh ruang dan waktu sebagai buku/kertas ataupun media elektronik yang dapat
musnah atau rusak (Winarto, 2011:101). Dari keyakinan Muslim mengenai hakikat Al-Quran
yang memiliki dua aspek kalam nafsi dan kalam lafsi ini tidak jauh berbeda dengan
keyakinan Kristen dalam memandang hakikat Yesus Kristus. Kendatipun tidak persis sama,
setidaknya diantara keduanya meyakini bahwa Firman Allah itu bersifat kekal dan tidak
terbatas oleh ruang dan waktu. Selain itu keduanya juga meyakini bahwa Firman Allah itu
dapat rusak berkaitan dengan sifatnya yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Yesus pra
keberadaan-Nya sebelum menjelma menjadi manusia bersifat kekal tidak dapat merasa sakit,
lapar, haus ataupun tidak dapat mati. Sebaliknya dalam keberadaan-Nya sebagai manusia Ia
dapat merasakan sakit secara fisik, haus, lapar, dan bahkan mati. Demikian juga dengan Al-
Quran yang diyakini oleh Muslim Sunni tidak dapat hancur atau rusak dalam kesatuannya
dengan Dzat Allah, tetapi dapat rusak dalam keberadaannya sebagai buku atau media
elektronik. Terlepas dari keyakinan Kristen bahwa Yesus adalah Allah sendiri yang menjelma
menjadi manusia ataupun mengosongkan diri menjadi seorang hamba dan keyakinan Muslim
bahwa Al-Quran bukanlah Allah, namun keduanya sepakat dalam beberapa hal tentang
Firman Allah yang kekal dan berdiam dalam Diri Allah.

2.6. Kendurenan Arwah dalam Katolik dan Tahlilan Islam

Gereja Katolik meyakini adanya Api Penyucian yang merupakan tempat bagi orang
yang telah meninggal tetapi ia belum suci sepenuhnya. Di dalam Api Penyucian jiwa orang
yang telah meninggal disucikan karena surga hanya untuk orang yang sepenuhnya kudus. Api
Penyucian berbeda jauh dengan penyiksaan di Neraka. Neraka merupakan tempat penyiksaan
kekal bagi para malaikat yang memberontak dan melawan Allah serta tempat orang-orang
yang tidak bertobat karena menolak dan tidak mengakui Allah. Para malaikat dan orang-
orang yang jatuh ke dalam Neraka tidak akan dapat lagi diselamatkan karena itu adalah
tempat terakhir bagi mereka (Why. 14:11; 20:10).

Oleh sebab itulah maka dalam Gereja Katolik ada doa yang diperuntukkan untuk jiwa
atau arwah orang-orang yang telah meninggal. Doa yang dipanjatkan diharapkan dapat
membantu jiwa yang sedang berada di Api Penyucian sehingga orang yang telah meninggal
dapat segera mendapat rahmat kesucian dan masuk ke dalam surga. Praktek doa ini pun telah
ada pada masa Perjanjian Lama yang dilakukan oleh orang Israel pada masa Yudas Makabe
(bdk. 2 Makabe. 12:39-45; lih. Tuhanyesus.org, 2018, https:// tuhanyesus.org/kehidupan-
setelah-kematian-menurut-katolik, diakses pada 12 Juni 2019). Pada masyarakat Jawa ada
tradisi yang dinamakan kenduren yakni sebuah praktek doa untuk mendoakan roh orang yang
telah meninggal. Doa dilakukan pada hari ke 1, 3, 7, 100, tahun pertama, tahun kedua, dan
1000 hari. Gereja Katolik yang merupakan agama yang meyakini bahwa bermanfaat
mendoakan arwah orang yang telah meninggal menginkulturasikan praktek doanya melalui
tradisi kendurenan Jawa ini. Gereja Katolik tetap mempertahankan tradisi ini namun dengan
memaknai dan mempraktekkan kenduren sesuai ajaran Kristiani dalam bentuk perayaan Misa
ataupun ibadat. Sedangkan hari mendoakan pada waktu-waktu tertentu juga dimaknai secara
teologi kristiani (Anditi, 2014, mardiantitandiarrang.blogspot.com/2014/08/peringatan-hari-
ke-orang-yang-sudah.html?m=1, diakses pada 12 Juni 2019).
Dalam iman Islam sendiri khususnya warga nahdliyin (NU) juga melakukan praktek
kenduren mendoakan arwah orang yang telah meninggal dengan istilah tahlilan pada hari-hari
yang sama dengan Katolik, yakni pada hari ke 1, 3, 7, 100, tahun pertama, tahun kedua, dan
1000 hari. Fenomena berkumpul di rumah orang yang telah meninggal bukan hanya terjadi
pada masyarakat pra Islam di Indonesia saja, tetapi juga di berbagai belahan dunia, termasuk
di jazirah Arabia. Adapun sejarah tahlilan pada kalangan Muslim di Indonesia dimulai oleh
wali songo yang mengubah ritual kenduren yang lama menjadi ritual yang bernafaskan Islam
(Wikepedia, 2005, https:// id. Wikipedia.org/wiki/Tahlilan, diakses pada 12 Juni 2019).
Fenomena yang terjadi pada kalangan umat Kristen Katolik dan Muslim di Indonesia dalam
hal kendurenan atau tahlilan memang dimaknai secara berbeda seturut iman masing-masing.
Makna hari pelaksanaan yang sama pun dimaknai secara berbeda, yang mana satunya
dengan didasarkan pada ajaran kristiani dan satunya didasarkan pada ajaran islami. Namun
kendatipun demikian ada draft atau kerangka yang sama diantara keduanya, yakni mendokan
arwah orang yang telah meninggal dan mendoakannya pada waktu-waktu yang sama yang
telah ditentukan seturut tradisi Jawa.
BAB III

PENUTUP

Perbandingan diantara kemiripan konsep dalam iman Katolik dan Islam ini bukanlah
usaha sinkretisme (mencampur adukkan kepercayaan), melainkan sebagai sebuah wacana
bahwa dalam agama-agama sekalipun ada unsur-unsur yang berbeda ternyata diketemukan
juga unsur-unsur yang mendekati kesepahaman. Paper ini juga merupakan sebuah tawaran
bagi para pendialog agama agar tidak selalu terfokus pada debat tentang perbedaan-
perbedaan dalam agama tapi juga pada apa yang sekiranya dapat dipandang sebagai hal yang
mendekati kesepahaman. Tentunya usaha demikian akan jauh lebih baik dalam membina
kerukunan hidup berbangsa dan bernegara daripada mempertentangkan perbedaan-perbedaan
dalam agama yang berpotensi mengakibatkan perpecahan. Dalam membina kerukunan dan
keharmonisan hidup antar umat beragama, khususnya di Indonesia perlu realisasi cinta kasih
dalam praktek hidup, yang mana salah satunya adalah sikap menghormati perbedaan yang
terdapat dalam agama-agama lain. Perbedaan yang terdapat dalam agama lain hendaknya
dipandang sebagai kekhasan dari masing-masing agama dan bukan sebagai sebuah batu
sandungan pada imannya. Penting kesadaran multikultural antar umat beragama guna
menciptakan kerukunan hidup, khususnya diantara umat Kristen dan Islam. Penulis berharap
titik temu antara iman Kristen dan Islam ini dapat menjadi pendorong bagi semakin
terwujudnya rasa menghormati dan persaudaraan satu sama lain dalam hal interaksi antar
umat berbeda faham.
DAFTAR PUSTAKA

Alkitab. 2010. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta: Bumi Restu, 1976

Dewantara, Agustinus. 2017. Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. Yogyakarta: Kanisius

Dewantara, Agustinus. 2019. Diktat Kuliah Ilmu Perbandingan Agama. Madiun: STKIP
Widya Yuwana Madiun
Winarto, Leonardo. 2011. Ketritunggalan dan Keesaaan Allah. Malang: Memra Publishing

Adherents. 2005. Major Religions of the World Ranked by Number of Adherents.


https://www.adherents.com/Religion_By_Adherents.html, diakses pada 7 Juni 2019

Anditi. 2014. Peringatan hari ke… orang yang sudah meninggal dalam Iman Katolik.
mardiantitandiarrang.blogspot.com/2014/08/peringatan-hari-ke-orang-yang-
sudah.html?m=1, diakses pada 12 Juni 2019
Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik, 2018, 100% Katolik 100% Indonesia”,
https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/100-katolik-100-indonesia, diakses
pada 10 Juni 2019
Prasetya, Yohanes. 2015. Meluruskan Persepsi Salah tentang Kristen Arab dari Saudara-
saudari Muslimin wal Muslimah di Indonesia, https://
kristenkoptik.blogspot.com/2015/12/?m-1, diakses pada 10 Juni 2019
Qurtuby, Sumanto. 2017. Sejumlah Kesalahpahaman Tentang Bangsa Arab.
https//www.dw.com/id/sejumlah-kesalahpahaman-tentang-bangsa-arab/a-40966480,
diakses pada 10 Juni 2019
Setyawan, Feri. 2019. Said Aqil: Islam Nusantara Bukan Mazhab, Aliran atau Sekte.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190228174359-20-373567/said-aqil-islam-
nusantara-bukan-mazhab-aliran=atau-sekte, diakses pada 10 Juni 2019
Tay, Stefanus. 2018. Mengapa Rasul Petrus Datang ke Roma,
https//www.katolisitas.org/mengapa-rasul-petrus-datang-keroma, diakses pada 10 Juni
2019
Tuhanyesus.org. 2018. 3 Kehidupan Setelah Kematian Menurut Katolik yang Wajib Anda
Ketahui. https:// tuhanyesus.org/kehidupan-setelah-kematian-menurut-katolik, diakses
pada 12 Juni 2019
Wikepedia. 2005. Tahlilan. https:// id. Wikipedia.org/wiki/Tahlilan, diakses pada 12 Juni
2019
Wikipedia, 2019, Kebebasan beragama di Indonesia, https://id .m.
Wikipedia.org/wiki/Kebebasan_beragama_di_Indonesia, diakses pada 7 Juni 2019
Zulman, 2009, hablum minallah wa hablum minannas,
https://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=713:zulmanagustus&catid=41:top-
headlines&Itemid=158, diakses pada 10 Juni 2019
Dewantara, Agustinus. “Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.” INA-Rxiv, 18 Sept. 2018. Web.

Anda mungkin juga menyukai