Anda di halaman 1dari 23

WORKSHEET

PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA

Nama : SITI SALMA HANIYYAH

NIM : 1908010178

Golongan : C2

Asprak : SELVI DAN AJENG

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2021
PERCOBAAN II
PENETAPAN WAKTU PENGAMBILAN CUPLIKAN DAN ASUMSI
MODEL KOMPARTEMEN

A. TUJUAN PRAKTIKUM
Pada praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu menentukan waktu
pengambilan cuplikan sampel cairan biologis dan menetapkan model kompartemen
suatu obat melalui kurva Cp vs waktu.
B. DASAR TEORI
Obat berada dalam suatu keadaan dinamik dalam tubuh. Dalam suatu sistem
biologik peristiwa-peristiwa yang dialami obat sering terjadi secara serentak dalam
menggambarkan sistem biologik yang kompleks tersebut, dibuat asumsi sederhana
mengenai pergerakan obat tersebut. Berbagai model matematik dapat dirancang untuk
meniru proses laju absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat (Shargel, 1985).
Penetapan waktu pengambilan sampel merupakan tahapan yang penting,
dimana harus diketahui setelah memahami cara analisa obat dalam tubuh.
Setelah memahami analisis obat dalam cairan tubuh dan dikuti dengan
perkiraan model kompartemen. Kedua factor ini sangat berhubungan sehingga
kesalahan waktu pengambilan cuplikan dapat menyebabkan kesalahan dalam
penentuan model kompartemen. (Shargel, L and Yu.,1998)
Frekuensi atau banyaknya pengambilan cuplikan, akan berhubungan dengan
asumsi model kompartemen. Jika kinetika obat mengikuti model dua kompartemen
terbuka, maka disarankan banyak pengambilan cuplikannya paling tidak 3 kali tiap
absorpsi, 3 kali sekitar puncak, 3 kali fase distribusi, dan 3 kali fase eliminasi. Hal ini
diperlukan untuk mendapatkan data kadar obat dalam darah vs waktu yang dibutuhkan
untuk mengetahui evaluasi parameter farmakokinetika obat. Pengambilan cuplikan
pada tahap distribusi tidak diperlukan, apabila kinetika obat mengikuti model satu
kompartemen terbuka. (Ritschell, W. A, 1980)

Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan dilakukan dengan


cuplikan hayati yaitu darah dan urine. Dalam penelitian farmakokinetika dapat pula
dikerjakan dengan cuplikan hayati lainnya seperti saliva. Pemilihan lama dan
banyaknya waktu pengambilan cuplikan darah dan urin, sesuai dengan parameter
farmakokinetika yang digunakan. cuplikan darah yang digunakan dalam pengambilan
cuplikan disarankan berlangsung selama 3 — 5 kali harga waktu paruh eliminasi obat
yang diuji. Dan 7 — 10 kali t1/2 obat. (Ritschell, W. A, 1980)
Waktu pengambilan cuplikan optimal perlu diperhatikan, karena dapat
mempengaruhi kesahihan penetapan asumsi model kompartemennya. Hal ini dapat
dikerjakan dengan penelitian pendahuluan atau orientasi.
(D. Argenio DZ.,1981).
Penetapan waktu sampling jika data parameter farmakokinetika belum ada:
1. Percobaan pendahuluan  cari senyawa derivatnya.
2. Waktu sampling dicari setelah pemberian secara intra vena.
3. Kadar obat dalam plasma sebaiknya dimonitor sampai 3 jam setelah
pemberian.
4. Pengambilan cuplikan 4-6 titik pada jam-jam pertama setelah
pemberian obat.

(Kaplan, S.A.,1973)
Pemilihan pengambilan pada darah dilakukan, karena darah merupakan tempat
yang paling cepat dicapai obat dan paling logis bagi penetapan kadar obat di dalam
tubuh. Paling logis karena darah yang mengambil obat dari tempat absorpsi,
mendistribusikan ke jaringan yang dituju, serta menghantarkan ke organ eliminasi.
Kedua, bagi kebanyakan obat, bentuk obat tak berubah merupakan senyawa yang
memiliki aktivitas farmakologik. Oleh karena itu, penetapan kadar pada cuplikan darah
akan memberikan suatu indikasi langsung berapa kadarnya yang mencapai sirkulasi
sistemik. Jika tidak ada metode penetapan kadar obat dalam darah yang tersedia, atau
jika level darah pada pemberian dosis normal sangat rendah, maka penetapan kadar
obat pada cuplikan urin merupakan alternatifnya.
Sebenarnya penggunaan cuplikan urin dapat lebih baik dari pada darah, karena
obat diekskresikan ke dalam urin secara sempurna dalam bentuk tak berubah. Karena
selain data urin mengukur langsung jumlah obat yang berada di dalam badan, juga
karena variabilitas clearance. Keterbatasan penggunaan cuplikan urin di antaranya
karena sulitnya pengosongan kandung kencing, kemungkinan terjadinya dekomposisi
obat selama penyimpanan, dan kemungkinan terhidrolisnya konjugat metabolit yang
tidak stabil dalam urin, sehingga dapat mempengaruhi jumlah total obat dalam bentuk
tak berubah yang dieksresikan pada waktu tak terhingga. Akibatnya dapat terjadi
kesalahan penafsiran terhadap harga ketersediaan hayati obat yang diteliti.
Pemilihan takaran dosis dan bentuk sediaan obat:
Pemilihan takaran dosis yang akan diberikan pada hewan uji melalui uji pra
klinik, dapat didasarkan pada data harga LD50 senyawa yang akan diuji. Perlu diingat
dalam mempergunakan data harga LD50 tersebut, yakni cara pemberian senyawa
selama penelitian toksisitas akutnya. Jika dalam penelitian toksisitas akut, senyawa
diberikan dalam bentuk larutan, maka takaran dosis yang dipilih memiliki batas
keamanan yang sesuai/ dipercaya. Sedang jika senyawa atau obat diberikan dalam
bentuk sediaan padat atau suspensi, serta telah diketahui memiliki harga LD50 yang
sangat tinggi, maka batas keamanan yang besar tidak diperlukan. (Kaplan, S.A.,1973)
Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari penyerapan, penyaluran dan
pengurangan obat. Deskripsi tentang penyaluran dan pengurangan obat sangat penting
untuk merubah permintaan dosis pada individu dan kelompok pasien. Pada fase
farmakokinetika, obat mengalami proses ADME yaitu absorpsi, distribusi,
biotransformasi (metabolisme) dan ekskresi yang berjalan secara stimulant langsung
atau tak langsung meliputi perjalanan suatu obat melintasi sel membrane (Shargel &
Yu, 1988).
Pengetahuan farmakokinetika berguna dalam berbagai bidang farmasi dan
kedokteran, seperti untuk bidang farmakologi. Pertama kali, dengan penelitian
farmakokinetika dapat dibantu diterangkan mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh,
khususnya untuk mengetahui senyawa yang mana yang sebenarnya bekerja dalam
tubuh; apakah senyawa asalnya, metabolitnya atau kedua-duanya. Jika efek obat dapat
dinilai secara kuantitatif, data kinetika obat dalam tubuh sangat penting artinya untuk
menentukan hubungan antara kadar/jumlah obat dalam tubuh dengan intensitas efek
yang ditimbulkannya.
Dengan demikian daerah kerja efektif obat (therapeutic window) dapat
ditentukan farmasetika, farmasi klinik, toksikologi dan kimia medisinal. Obat berada
dalam suatu keadaan dinamik dalam tubuh. Dalam suatu sistem biologik peristiwa-
peristiwa yang dialami obat sering terjadi secara serentak. Dalam menggambarkan
sistem biologik yang kompleks tersebut, dibuat penyederhanaan anggapan mengenai
pergerakan obat itu.
Model farmakokinetik berguna untuk :
1. Memperkirakan kadar obat dalam plasma, jaringan dan urine pada
berbagai pengaturan dosis
2. Menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap penderita secara
individual
3. Memperkirakan kemungkinan akumulasi obat dngan aktivitas
farmakologi atau metabolit – metabolit
4. Menghubungakan kemungkinan konsentrasi obat dengan aktivitas
farmakologik atau toksikologik
5. Menilai perubahan laju atau tingkat availabilitas antar formulasi
6. Menggambarkan perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi
absorbsi, distribusi dan eliminasi
(Shargel & Yu, 1988)

Pada model dua kompartemen, tubuh dianggap terdiri atas dua kompartemen
yaitu kompartemen sentral dan kompartemen perifer. Kompartemen sentral meliputi
darah dan berbagai jaringan yang banyak dialiri darah seperti jantung, paru, hati, ginjal
dan kelenjarkelenjar endokrin. Obat tersebar dan mencapai kesetimbangan dengan
cepat dalam kompartemen ini. Kompartemen perifer adalah berbagai jaringan yang
kurang dialiri darah misalnya otot, kulit, dan jaringan lemak sehingga obat lambat
masuk kedalamnya. Model dua kompartemen ini pada prinsipnya sama dengan model
satu kompartemen, bedanya terdapat dalam proses distribusi karena adanya
kompartemen perifer; eliminasi tetap dari kompartemen sentral (Oktavia, 2009).
Model Farmakokinetik merupakan suatu hubungan matematik yang
menggambarkan perubahan konsentrasi terhadap waktu dalam sistem yang
diperiksa.Metode analisis kompartemental digunakan untuk memperkirakan dan
menentukan secara kuantitatif apa yang terjadi terhadap obat sebagai fungsi waktu dari
saat diberikan sampai waktu dimana obat tersebut sudah tidak ada lagi di dalam tubuh.
Model merupakan suatu system yang terbuka jika obat dapat dieliminasi dari system
tersebut. (Mutschler,1991).
Parameter yang biasa digunakan dalam farmakokinetik :
1. Ka (kecepatan absorpsi)
2. Vd (volume distribusi)
3. Cl (clearance/klirens)
4. T1/2 eliminasi (waktu paruh eliminasi)
5. F el (fraksi eliminasi)

Jumlah parameter yang diperlukan untuk menggambarkan model bergantung


pada kerumitan proses dan rute pemberian obat. Dalam penelitian, terdapat suatu
batasan pada jumlah data yang mungkin diperoleh. Bila jumlah parameter yang dinilai
bertambah maka ketelitian penghitungan akan lebih sulit. Agar parametermenjadi
sahih, jumlah titik-titik data seharusnya selalu melebihi jumlah parameter dalam model.
(Shargel & Yu, 1988).
Model 1 kompartemen
Tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen tempat obat menyebar dengan seketika
dan merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Model ini terlalu disederhanakan
sehingga untuk kebanyakan obat kurang tepat.
Model 2 kompartemen
Tubuh dianggap terdiri atas kompartemen sentral dan perifer. Kompartemen
sentral terdiri dari darah dan berbagai jaringan yang banyak dialiri darah seperti
jantung, hati ginjal dan kelenjar-kelenjar endokrin. Obat tersebar dan mencapai
kesetimbangan dengan cepat. Komponen perifer adalah berbagai jaringan yang kurang
dialiri darah misalnya otot, kulit, dan jaringan lemak, sehingga obat lambat masuk ke
dalamnya. Model ini prinsipnya sama dengan model 1 kompartemen, bedanya hanya
dalam proses distribusi karena adanya kompartemen perifer; eliminasi tetap dari
kompartemen sentral. Model ini cocok untuk banyak obat.

Model 3 kompartemen
Kompartemen perifer dibagi atas kompartemen perifer yang dangkal
(kompartemen 2) dan kompartemen perifer yang dalam (kompartemen 3). Untuk
perhitungan regimen dosis klinik, biasanya digunakan model 1 kompartemen untuk
pemberian peroral dan kompartemen 2 untuk pemberian intravena. Pada pemberian
bolus intravena, biasanya fase distribusi terlihat jelas (menandakan 2 kompartemen),
sedangkan pada pemberian oral, fase distribusinya sering tertutup oleh fase absorpsi.
Dalam model kompartemen terbuka, tubuh diasumsikan sebagai kompartemen terbuka,
seluruh kompartemen badan dianggap sebagai kompartemen sentral. Dalam hal ini
kompartemen sentral didefinisikan sebagai jumlah seluruh bagian tubuh (organ dan
jaringan atau bagian lainnya) dimana kadar obat segera berada dalam kesetimbangan
dengan yang ada dalam plasma/darah.
Macam – macam model kompartemen yaitu :
1. Mammilary
Merupakan model kompartemen yang paling banyak digunakan dalam
penentuan farmakokinetika obat.Model mammilary ini membagi kompartemen menjadi
2, yaitu kompartemen satu terbuka dan kompartemen dua terbuka.Pada kompartemen
satu terbuka, obat langsung diabsorbsi dan dieliminasi dari kompartemen
sentral.Kompartemen sentral dianggap mewakili plasma dan jaringan yang perfusi
darahnya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan obat, contohnya hati dan
ginjal.Ketika obat dengan dosis intravena diberikan, obat langsung masuk secara cepat
dalam kompartemen sentral.
Pada kompartemen dua terbuka, obat dapat bergerak diantara kompartemen
sentral atau kompartemen plasma menuju kompartemen jaringan atau perifer.
Meskipun kompartemen jaringan tidak mewakili jaringan yang spesifik, akan tetapi
terjadi keseimbangan kadar obat di semua jaringan tubuh. Pada model ini, jumlah obat
di dalam darah merupakan penjumlahan konsentrasi obat di dalam plasma dan di dalam
jaringan.Dengan mengetahui parameter kinetik dari dua kompartemen ini, maka kita
dpat menentukan jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh dan yang dieliminasi dari
tubuh.

a. Kompartemen satu terbuka


Pemberian Intravaskular

Keterangan ; perfusi terjadi sangat cepat, seperti tanpa proses distribusi karena
tidak dapat diamati sebab terlalu cepat.

Pemberian Ekstravaskular (melalui saluran cerna)

Keterangan; sebelum masuk kompartemen sentral, obat harus mengalami


absorbsi. Perfusi juga cepat, sehingga eliminasi terjadi pada kompartemen sentral.

b. Kompartemen dua terbuka


Pemberian Intravaskular
Keterangan; tidak ada absorbsi, tetapi ada eliminasi.

Pemberian Ekstravaskular (melalui saluran cerna)

Keterangan; obat mengalami absorbsi, distribusi dan eliminasi.

2. Caternary
Model Caternary terdiri dari kompartemen-kompartemen bergabung satu
dengan yang lain menjadi satu deretan kompartemen. Perbedaannya dengan
mammilary yakni model Caternary terdiri dari satu atau lebih kompartemen
mengelilingi suatu kompartemen sentral, seperti satelit.
Gambar 2. Model Caternary

3. Fisiologik
Merupakan model farmakokinetika yang didasarkan atas data anatomik dan
fisiologik yang diketahui. Adapun perbedaan dengan model farmakokinetika yang lain;
a. Konsentrasi obat diperkirakan melalui ukuran jaringan, organ, aliran
darah dan melalui percobaan.
b. Aliran darah, ukuran jaringan dan perbandingan obat dalam jaringan
darah dapat berbeda sehubungan dengan kondisi patofisiologik, terutama terhadap
proses distribusi.
c. Dapat diterapkan pada beberapa spesies dan dengan beberapa data
obat pada manusia dapat diekstrapolasikan.
d. Jumlah kompartemen jaringan dalam model ini berbeda-beda
tergantung obatnya.
e. Jaringan atau organ yang tidak tembus obat  tidak masuk dalam
model ini, contohnya: otak, tulang-tulang dan bagian dari sistem saraf pusat.

Gambar 3. Model fisiologik


(Shargel &Andrew; 2005)

Model Non Kompartemen


Parameter farmakokinetik dapat diperkirakan dengan cara lain yaitu dengan
menggunakan model non kompartemen. Metode ini dikerjakan atas dasar perkiraan
luas daerah di bawah kurva kadar obat didalam darah melawan waktu.
Model non kompartemen ini semua prosesnya harus mengikuti kinetika orde
satu yang berarti farmakokinetiknya harus linier. AUC ini tidak hanya digunakan untuk
menghitung bioavaibilitas, tetapi dapat juga digunakan untuk menghitung klirens obat
yang sama dengan perbandingan obat ke dalam pembuluh darah dan AUC.(Gibaldi dan
Perrier, 1982)
Model non kompartemen ini antara lain dapat digunakan untuk memperkirakan
bioavaibilitas, klirens, volume distribusi dan fraksi obat yang berubah menjadi
metabolit berdasarkan data dosis tunggal dari obat dan metabolitnya. Pada pemberian
obat dosis tunggal, sample darah hanya diambil sampai waktu tertentu (t*) dan
konsentrasi tertentu (C*). Oleh karena itu pada perhitungan AUC dari t sampai t~
(AUCo) mengikuti 2 langkah, langkah yang pertama yaitu perhitungan AUC dari t
sampai t* dengan menggunakan metode trapezium, sedangkan langkah kedua yaitu
menghitung dari t* sampai t~.

Dengan persamaan sebagai berikut :


8. C . dt = C* .............(1)
t* K
Harga k = 2,303 × slope fase terminal kurva logaritma kadar lawan waktu.
Klirens merupakan sebagai fungsi dan kemampuan intrinsik yang dapat
memetabolisme suatu obat dari organ khusus seperti ginjal dan liver.
Kecepatan obat yang masuk melalui organ sama dengan hasil kali aliran darah
dengan konsentrasi darah di vena, sedangkan kecepatan obat yang meninggalkan organ
sama dengan hasil kali aliran darah dengan konsentrasi di vena. Perbedaan antara
kecepatan masuk dan kecepatan keluar obat disebut dengan kecepatan eliminasi, yaitu
dengan persamaan = Q (CA – CV).............(2)
(Gibaldi dan Perrier, 1982)

Profil Perkembangan Kadar Obat dalam Tubuh (Darah)


Profil perkembangan kadar obat dalam darah dapat dibagi ke dalam tiga
kategori :
a. Profil kinetika, di mana obat dimasukkan sekaligus ke dalam sistem
peredaran
darah (misalnya cara injeksi intra-vena).
b. Profil kinetika,di mana obat diberikan secara infus.
c. Profil kinetika,di mana obat diberikan secara ekstravaskular (oral,
rektal, dan
lain-lain).
Untuk obat yang diberikan secara injeksi intravena, semua obat akan masuk
sekaligus ke dalam sistem peredaran darah,kemudian jumlah obat dalam darah akan
menurun karena obat mengalami proses distribusi dan eliminasi (metabolisme
danekskresi).
Untuk obat yang diberikan secara infus, kadar obat dalam darah akan naik
secara perlahan-lahan sesuai dengan kecepataninfus, dan akan naik terus sampai infus
dihentikan atau sampai suatu saat di mana kecepatan eliminasi sama dengan kecepatan
infus. Setelah infuse dihentikan, kadar obat akan turun kembaliseperti halnya setelah
pemberian secara injeksi intravena.
Pada pemberian obat secara ekstravaskular (oral, rektal, dan lain-lain), obat
akan masuk ke dalam sistem peredaran darah secara perlahan-lahan melalui suatu
proses absorpsi sampai eliminasi. (Cahyati,1985)
Pemilihan Lama Waktu dan Banyaknya Pengambilan Cuplikan Hayati
Jika cuplikan darah yang dipergunakan,pengambilan cuplikan dianjurkan
berlangsung 3-5 kali harga waktu paruh eliminasi obat yang diuji dan 7-10 kali waktu
paruh eliminasi obat jika cuplikan urin yang dipergunakan.
Frekuensi atau banyaknya pengambilan cuplikan, erat kaitannya dengan asumsi
model kompartemen. Jika kinetika obat mengikuti model dua kompartemen terbuka,
dianjurkan banyak pengambilan cuplikannya paling tidak 3 kali pada tiap absorpsi, 3
kali pada sekitar puncak,3 kali pada tahap distribusi, dan 3 kali pada tahap eliminasi.
Keadaan ini diperlukan untuk mendapatkan data kadar obat dalam darah lawan waktu
yang cukup untuk evaluasi parameter farmakokinetika obat. Pengambilan cuplikan
pada tahap distribusi tidak diperlukan, jika kinetika obat mengikuti model satu
kompartemen terbuka. Waktu pengambilan cuplikan yang optimal ini perlu
diperhatikan, karena akan menentukan kesahihan penetapan asumsi model
kompartemennya. (Cahyati, 1985)
Rancangan Aturan Dosis
Ada sejumlah factor yang harus dipertimbangkan dalam merancang aturan
dosis terapetik, antara lain :
1. Pertimbangan farmakokinatika yang umum dari obat, meliputi profil
absorbsi, distribusi, dan eliminasi pada penderita.
2. Pertimbangan fisiologi penderita, seperti umur, berat badan, jenis
kelamin, dan status nutrisi.
3. Kondisi patofisiologi, seperti tidak berfungsinya ginjal, penyakit hati,
kegagalan jantung kongestif, perlu dipertimbangkan karena dapat mempengaruhi profil
farmakokinetika normal obat.
4. “Exposure” penderita terhadap pengobatan lain atau factor lingkungan
yang mungkin juga dapat mengubah farmakokinetikayang umum.
5. Sasaran konsentrasi obat pada reseptor penderita yang meliputi
berbagai perubahan kepekaan reseptor terhadap obat.
Secara ideal aturan dosis yang baru hendaknya dihitung dengan menggunakan
parameter – parameter farmakokinetika yang didapat dari konsentrasi obat dalam
serum penderita. Dalam model yang pasti dianggap bahwa parameter rata – rata
populasi dapat digunakan secara langsung untuk menghitung aturan dosis penderita
tanpa suatu perubahan.Parameter seperti tetapan laju absorbs (Ka), factor
bioavailabilitas (F), volume distribusi (Vd) dan tetapan laju eliminasi (K) dianggap
tetap.
Dosis dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Keterangan :
D = dosis
= jarak waktu pemberian dosis
Vd = volume distribusi
T1/2 = waktu paruh eliminasi obat
F = fraksi obat yang terabsorbsi
(Shargel.2005:368)
Besarnya suatu dosis obat seringkali dikaitkan dengan frekuensi pemberian
obat. Bila dipilih suatu jarak waktu pemberian dosis yang sangat panjang, maka dosis
yang besar dapat menghasilkan kadar puncak dalam plasma di atas konsentrasi toksik

obat, walaupun Cav tetap sama. Pada umumnya, jarak waktu pemberian dosis untuk
sebagian besar ditentukan oleh waktu paruh eliminasi.
Penentuan Dosis dan Jarak Waktu Pemberian Dosis
Dosis dan jarak waktu pemberian dosis seharusnya diperhatikan dalam
perhitungan aturan dosis.Secara ideal, aturan dosis yang telah dihitung hendaknya
∞ ∞
mempertahankan konsentrasi obat dalam serum antaraCmaks dan Cmin . Untuk
∞ ∞
pemberian dosis ganda secara intravena, rasio Cmaks / Cmin dapat dinyatakan dengan :

yang disederhanakan menjadi :

Sehingga dapat dihitung suatu jarak maksimum pemberian dosis τ , yang dapat
∞ ∞
mempertahankan kadar serum berada dalam rentang Cmaks danCmin . Setelah jarak
waktu pemberian dosis dihitung, maka dosis dapat dihitung.
(Shargel.2005:372-373)

Langkah – langkah Penetapan Regimen Dosis Optimal

Untuk menetapkan regimen dosis yang optimal bagi seorang pasien dilakukan
langkah – langkah berikut :
1. Mula – mula ditentukan kadar target (Ctarget) yang biasanya merupakan
nilai tengah dari kisaran kadar terapi.
Ctarget = ½ (Cther,min + Cther,max)
2. Kemudian dihitung regimen dosis yang diharapkan akan mencapai
kadar target tersebut. Infus :

T dan DM dipilih sedemikian sehingga Css,max dan Css,min hasil perhitungan


akan berada dalam kisaran kadarterapi dan T tidak terlalu pendek untuk menjaga
kepatuhan pasien makan obat.

3. Sampel darah harus diambil setelah tercapai keadaan mantap, yakni


setelah paling sedikit 4-5 x t 1/2 , jika obat diberikan tanpa dosis awal. Tetapi untuk
obat – obat yang toksik, sampel diambil setiap 2 x t1/2 dan dosisnya langsung
disesuaikan jika kadar yang dicapai lebih tinggi dari yang diharapkan.
4. Penyesuaian regimen dosis obat dilakukan berdasarkan respon klinik
pasien dan / atau kadar plasmanya. Hanya jika respons klinik tidak dapat dijadikan
pegangan, maka penyesuaian dosis ditentukan sepenuhnya oleh kadar plasma dengan
menggunakan perhitungan berikut :
kadar plasma target
Dosis baru = Dosis lama x
kadar plasma yang diukur
Dalam tubuh, obat berada dalam suatu keadaan dinamik. Dalam suatu sistem
biologik peristiwa – peristiwa yang dialami obat sering terjadi secara serentak. Dalam
menggambarkan sistem biologik yang kompleks tersebut, dibuat penyederhanaan
anggapan mengenai pergerakan obat tersebut. Suatu hipotesis atau model disusun
dengan menggunakan istilah matematik, yang memberi arti singkat dari pernyataan
hubungan kuantitatif. Berbagai model matematik dapat dirancang untuk meniru
proses laju absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat. Model matematik ini
memungkinkan pengembangan persamaan untuk menggambarkan konsentrasi obat
dalam tubuh sebagai fungsi waktu (Shargel dan Andrew, 2005).
Penetapan waktu pengambilan sampel merupakan tahap penting yang harus
diketahui setelah memahami cara analisa obat dalam cairan hayati dengan
menetapkan waktu pengambilan cuplikan. Setelah memahami analisis obat dalam
cairan hayati dan dikuti dengan perkiraan model kompartemen. Kedua faktor ini
saling terkait sehingga kesalahan waktu pengambilan cuplikan dapat menyebabkan
kesalahan dalam penentuan model kompartemen (Shargel, 1986).
Model Farmakokinetik merupakan suatu hubungan matematik yang
menggambarkan perubahan konsentrasi terhadap waktu dalam sistem yang diperiksa.
Metode analisis kompartemental digunakan untuk memperkirakan dan menentukan
secara kuantitatif apa yang terjadi terhadap obat sebagai fungsi waktu dari saat
diberikan sampai waktu dimana obat tersebut sudah tidak ada lagi di dalam
tubuh. Model-model kompartemen merupakan salah satu model farmakokinetik
dengan point-point sebagai berikut :
 Tubuh dinyatakan sebagai suatu susunan atau sistem dari
kompartemen kompartemen yang berhubungan secara timbal balik.
 Suatu kompartemen bukan suatu daerah fisiologis/anatomi yang nyata, tetapi
dianggap sebagai suatu jaringan yang memiliki perfusi dan afinitas obat yang sama.
 Obat didistribusikan secara merata dalam kompartemen.
 Pencampuran obat dalam kompartemen terjadi secara cepat dan
homogen.Tiap molekul mempunyai kemungkinan yang sama untuk meninggalkan
kompartemen.
 Obat keluar masuk secara dinamik.
 Tetapan laju reaksi digunakan untuk menyatakan semua laju obat masuk
dankeluar kompartemen.
 Model merupakan suatu sistem terbuka jika dapat dieliminasi dari sistem itu.
 Eliminasi selalu terjadi dari kompartemen sentral. (Hakim.2012)

Variabel dalam farmakokinetik terdapat dua macam, yaitu variabel tergantung


danvariabel bebas. Dalam praktek parameter farmakokinetik tidak ditentukan secara
langsung,tetapi ditentukan melalui percobaan dari sejumlah variabel tergantung dan
bebas, yang secara bersama dikenal sebagai data.

Melalui data dapat diperkirakan model farmakokinetik yang kemudian diuji


kebenarannya dan selanjutnya diperoleh parameter-parameter farmakokinetiknya.
Variabel bebas meliputi variabel internal dan variabel eksternal. Kedua variabel ini
secara langsung mempengaruhi parameter primer, yang terdiri dari Ka (kecepatan
absorpsi), Vd (volume distribusi) dan Cl (clearance). Parameter primer mempengaruhi
parameter sekunder dan parameter turunan. Parameter sekunder terdiri dari T½
(waktu paruh eliminasi) dan F. eliminasi. Parameter turunan terdiri dari AUC (Area
Under Curve), F oral dan Css (kadar obatdalam darah). Sehingga parameter primer,
parameter sekunder dan parameter turunan merupakan variabel tergantung.
(Mutschler,1991)
C. METODE PRAKTIKUM
ALAT
1. Syring injeksi
2. Tabung sentrifuge
3. Tabung reaksi 1 mL, 5 mL
4. Kuvet
5. Spektrofotometri UV/VIS

BAHAN

1. Natrium salisilat
2. Pereaksi TRINDER
3. Kalium oksalat
4. Hewan uji : kelinci

CARA KERJA

Penetapan waktu pencuplikan untuk studi kinetika salisilat (pemberian intravena dosis
tunggal)

1. Menimbang Kelinci, mencukur bulu sekitar vena marginalis telinga,


memasukkan ke dalam holder.
2. Membuat blanko dengan cara mengambil 0,45 ml darah dari vena marginalis
kelinci, menambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2% vortex selama 10 menit.
3. Menampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi
TRINDER, sentrifuge selama 15 menit, mengaambil supernatan kemudian
melakukan OT dan baca absorbasinya pada ƛ max.
4. Menginjeksi salisilat Kelinci secara intravena dengan dosis 150 mg/kg BB
pada vena marginalis.
5. Mengambil darah 0,45 ml dari vena marginalis telinga yang lain pada waktu
pencuplikan yang telah ditetapkan, menambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2%
vortex selama 10 menit.
6. Menampung plasma di tabung sentrifuge, menambahkan 5 ml pereaksi
TRINDER, mensentrifuge selama 15 menit, mengambil supernatan.
7. Melakukan operating time dan ukur absorbansi pada ƛ max.
8. Menetapkan kadar salisilat dengan persamaan kurva baku yang didapatkan
pada P-1 kemudian buat kurva log/ln Cp per satuan waktu dan tentukan model
kompartemen dari kurva yang dihasilkan.

D. PERHITUNGAN DOSIS DAN VOLUME PEMBERIAN OBAT


Perhitungan dosis dan Volume obat yang diberikan melalui rute IV:
BB Kelinci = 1,6 kg
Dosis Na Salisilat= 150 mg/kgBB
Larutan Stok 10%
Dosis Na Salisilat pada Kelinci : 1,6 kg x 150 mg/kgBB = 240 mg=0,24
gr
Volume Na Salisilat yang diinjeksikan : 0,24 gr/10 gr x 100 ml = 2,4 ml

E. HASIL PENGAMATAN
1. Panjang Gelombang Maksimum
Panjang gelombang maksimum yang didapatkan adalah 524 nm.
2. Operating Time
Operating time yang ditetapkan adalah 15 menit.
3. Absorbansi Blanko
Nilai absorbansi blanko didapatkan 0,094.
4. Kurva Baku Asam Salisilat
Persamaan Regresi Linear: y= 0,0016x + 0.07
5. Konsentrasi Obat dalam Darah pada waktu sampling
Hasil Absorbansi pada λ maksimum = 524 nm pada operating time 15 menit
Data absorbansi cuplikan darah pada kelinci yang mendapatkan Na Salisilat
dengan dosis 150 mg/kgBB

Waktu sampling Absorbnsi (A) Absorbansi Obat Cp (µg/mL)


(menitke-) dalam sampel
darah
0 0,442 0,348 173,75

5 0,305 0,211 88,125

10 0,302 0,208 86,25

30 0,276 0,182 70

45 0,259 0,165 59,375


60 0,250 0,156 53,75

90 0,232 0,138 42,5

120 0,230 0,136 41,25

Evaluasi data
a. Hitung kadar salisilat dengan persamaan kurva baku yang didapatkan!
b. Buat kurva log/ln Cp per satuan waktu pada kertas semilogaritma
c. Hitung tmaks, Cpmaks, AUC, Keliminasi, t ½, Vd, Cl

Hasil Evaluasi Data:


Absorbansi kurva baku = Absorbansi Larutan Standar - Absorbansi Blanko
 Waktu 0 = 0,442 - 0,094 = 0,348
 Waktu 5 = 0,305 - 0,094 = 0,211
 Waktu 10 = 0,302 - 0,094 = 0,208
 Waktu 30 = 0,276 - 0,094 = 0,182
 Waktu 45 = 0,259 - 0,094 = 0,165
 Waktu 60 = 0,250 - 0,094 = 0,156
 Waktu 90 = 0,232 - 0,094 = 0,138
 Waktu 120 = 0,230 - 0,094 = 0,136

a. Hitung kadar salisilat dengan persamaan kurva baku yang didapatkan!

 Nilai Cp

Y= 0,0016x + 0.07

 Menit ke-0
X = 0,348 – 0,07 = 173,75
0,0016
 Menit ke-5
X = 0,211 – 0,07 = 88,125
0,0016
 Menit ke-10
X = 0,208 – 0,07 = 86,25
0,0016
 Menit ke-30
X = 0,182 – 0,07 = 70
0,0016
 Menit ke-45
X = 0,165 – 0,07 = 59,375
0,0016
 Menit ke-60
X = 0,156 – 0,07 = 53,75
0,0016
 Menit ke-90
X = 0,138 – 0,07 = 42,5
0,0016
 Menit ke-120
X = 0,136 – 0,07 = 41,25
0,0016
b. Kurva log/ln Cp per satuan waktu

 Regresi Waktu sampling Vs Ln Cp

Waktu Sampling Vs Ln Cp
6 y = -0.0095x + 4.6641
R² = 0.7613
Axis Title

2 Series1
Linear (Series1)
0
0 50 100 150
Axis Title

Waktu
sampling
Ln Cp
(menit
ke-)
0 5.15761748
5 4.47875626
10 4.45725006
30 4.24849524
45 4.08387326
60 3.98434367
90 3.74950408
120 3.71965111

Persamaan Regresi Linear yang diperoleh dari regresi waktu sampling vs Ln


Cp adalah y = -0,0095x + 4,6641 dengan R² = 0,7613

c. Hitung tmaks, Cpmaks, AUC, Keliminasi, t ½, Vd, Cl

 t max = pada pemberian sediaan secara intravena maka Tmax adalah pada saat
pemberian pertama atau pada saat waktu t = 0
 K eliminasi = - slope = -(-0,0095) = 0,0095

 Co = anti ln A
= anti ln 4.6641
Co= 106,070 mg/L

 Cmax = Co x e-k.t
= 106,070 mg/L x e-0,0095(0)
= 106,070 x 1
Cmax = 106,070 mg/L

 AUC = Co
K
= 106,070 mg/L
0,0095
AUC = 11165, 263 mg menit/L

 T ½ eliminasi = 0,693
K
= 0,693
0,0095
T ½ eliminasi = 72,947 menit
 Vd = Div
Co
= 240 mg
106,070 mg/L
Vd = 2,262 L

 Cl = Div
AUC
= 240 mg
11165, 263 mg menit/L
Cl = 0,0214 L/menit
3. AUC = 𝐶𝑜
𝑘
4,773mg/𝐿
AUC = = 1193,25 mg menit/L
0,004/𝑚𝑒𝑛i𝑡

4. K eliminasi
K = -slope
K = - (-0,004)
K = 0,004/menit
5. T1/2 = 0,693
𝑘
0,693
T1/2 = = 173,25 menit
0,004/menit

6. Vd = 𝐷i𝑣
𝐶𝑜

Div = BB x dosis
Div = 1,6 kg x 150 mg/kgBB = 240 mg
240 𝑚g
Vd = = 50,282 L
4,773 mg/L

7. Cl = 𝐷i𝑣
𝐴𝑈𝐶
240 𝑚g
Cl = = 0,201 menit
1193,25 mg menit/L
MENJAWAB PERTANYAAN
Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan waktu
pengambilan sampel!

JAWAB:
1. Waktu paruh : harus mengetahui waktu paruh untuk mengukur berapa lama turunnya
kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi menjadi separuhnya.
2. Rute pemerian : karena perbedaan dari rute maka kita jangan sampai kehilangan
moment yang mana harusnya kita ambil tapi tidak mengambil sampel darah ketika ada
pada konsentrasi maksimum karena waktunya singkat-singkat dari satu titik ke titik
yang lain, atau kita sudah selesai

F. PEMBAHASAN
(Hubungkan hasil analisis data yang didapatkan dengan teori)
G. KESIMPULAN
…………………………………………
H. DAFTAR ACUAN
 Hakim, Lukman. 2012. Farmakokinetik Klinik. Yogyakarta: Bursa Ilmu.
 Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V, 88, Penerbit ITB, Bandung.
 Shargel, 1985, Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics, 3 th edition, 37-
38, 45-54, 323, the Mc Graw-Hill Companies Inc., Singapore
 Shargel, 1986, Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics, 5 th edition, 371-
399, the Mc Graw-Hill Companies Inc., Singapore
 Shargel, L. dan Andrew B.C.Y.U. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan, Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press.
 Ritschel WA Handbook of basic pharmacokinetics 2nd ed. Hamilton: Drus
Intelligence Publication, Inc, 1980; 230-232, 280
 Notari RE Biopharmaceutics and clinical pharmacokinetics -an introduction, 3rd
ed. New York: Marcel Dekker, Inc. 1980; 18-29
 Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi Edisi
Kelima. Institut Teknologi Bandung : Bandung
 Oktavia, RW., 2009, “Pengaruh Seduhan Teh Hijau (Camellia sinensis) Terhadap
Farmakokinetika Parasetamol Yang Diberikan Bersama Secara Oral Pada Kelinci
Jantan”,Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah: Surakarta.
 Shargel L, dkk. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga
University Press : Surabaya

Anda mungkin juga menyukai