Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Ny.P DENGAN G3P2A0 KETUBAN PECAH DINI (KPD)


DI RUANG BERSALIN RSUD BANGLI
TANGGAL 1 - 4 NOVEMBER 2021

OLEH :

NI KOMANG RINI PUSPA DEWI, S.Kep.

NIM. C1221016

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS


PADA PADA Ny.P DENGAN G3P2A0 KETUBAN PECAH DINI (KPD)
DI RUANG BERSALIN RSUD BANGLI

TANGGAL 1 – 4 NOVEMBER 2021

Diajukan Oleh :

Ni Komang Rini Puspa Dewi

Nim. C1221016

Telah Disahkan Sebagai Laporan Praktik

Stase Keperawatan Maternitas di Minggu Pertama

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

(Ni Ketut Ayuningsih,A.Md.Keb) (Ns. Komang Yogi Triana, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.An)
NIP.197902202005012008 NIK.13.12.0068

Mengetahui
STIKES Bina Usada Bali
Profesi Ners
Ketua

(Ns. Putu Artha Wijaya, S.Kep., M.Kep.)


NIK. 11.01.0045
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Anatomi Fisiologi Sistem Reproduksi
Anatomi
Anatomi sistem reproduksi menurut Winkjosastro (2016). Organ-organ
interna berfungsi untuk ovulasi, fertilisasi ovum, transportasi blastocyst,
implantasi, pertumbuhan fetus dan kelahiran terdiri dari : Uterus, Serviks uteri,
Corpus uteri, dan Ligamenta penyangga uterus.

Sumber : Winkjosastro (2016)

a. Uterus
Uterus merupakan organ muskular yang sebagian tertutup oleh peritoneum
atau serosa. Bentuk uterus menyerupai buah pir yang gepeng. Uterus wanita
nullipara panjang 6-8 cm, dibandingkan dengan 9-10 cm pada wanita
multipara. Berat uterus wanita yang pernah melahirkan antara 50-70 gram.
Sedangkan pada yang belum melahirkan beratnya 80gram atau lebih.
b. Serviks uteri
Bagian paling bawah uterus adalah serviks atau leher. Tempat perlekatan
serviks uteri dengan vagina, membagi serviks menjadi bagian supravagina
yang panjang dan bagian vagina yang lebih pendek. Panjang serviks sekitar
2,5 – 3 cm, 1 cm menonjol kedalam vagina pada wanita tidak hamil. Serviks
terutama disusun oleh jaringan ikat fibrosa serta sejumlah kecil serabut otot
dan jaringan elastic.
c. Corpus uteri
Merupakan organ yang mempunyai peranan besar dalam reproduksi wanita,
yaitu pada saat haid sampai melahirkan. Berbentuk seperti buah pir,
berongga dan berotot. Sebelum hamil beratnya sekitar 30-50 gram dengan
ukuran panjang 9 cm dan lebar 6 cm. Terdriri dari: paling luar lapisan serosa
atau peritoneum yang melekat pada ligamentum latum uteri di intraabdomen,
tengah lapisan muskular atau miometrium berupa otot polos tiga lapis (dari
luar ke dalam arah serabut otot longitudinal, anyaman dan sirkular), serta
dalam lapisan endometrium yang melapisi dinding cavum uteri, menebal dan
runtuh sesuai siklus haid akibat pengaruh hormon-hormon ovarium. Posisi
corpus intraabdomen mendatar dengan fleksi ke anterior, fundus uteri berada
di atas vesica urinaria. Proporsi ukuran corpus terhadap isthmus dan serviks
uterus bervariasi selama pertumbuhan dan perkembangan wanita.
d. Ligamenta penyangga uterus
Ligamenta latum uteri, ligamentum rotundum uteri, ligamentum cardinale,
ligamenum ovarii, ligamentum sacrouternia propium, ligamentum
infundibulopelvicum ligamentum vesicouterina, ligamentum rectouterina. e.
e. Vaskularisasi uterus
Terutama dari arteri uterina cabang arteri hypogastrica atau illiaca interna,
serta arteri ovarica cabang aorta abdominalis.
f. Salping atau Tuba Falopii
Tuba fallopii merupakan organ yang dikenal dengan istilah saluran telur.
Embriologik uterus dan tuba berasal dari ductus mulleri. Sepasang tuba kiri-
kanan, panjang 8-14 cm, berfungsi sebagai jalan transportasi ovum dari
ovarium sampai cavum uteri. Dinding tuba terdiri dari tiga lapisan: serosa,
muskular (longitudinal dan sirkular) serta mukosa dengan epitel bersilia.
Tuba falopii bukan merupakan saluran yang lurus, tetapi mempunyai bagian
yang lebar sehingga dibedakan menjadi bagian yaitu pars interstitialis, pars
isthmica, pars ampularis, serta pars infundibulum dengan fimbria, dengan
karakteristik silia dan ketebalan dinding yang berbeda-beda pada setiap
bagiannya. Pars isthmica (proksimal/isthmus) merupakan bagian dengan
lumen tersempit, terdapat sfingter uterotuba pengendali transfer gamet.
Tempat yang sering terjadi fertilisasi (bertemunya ovum dan sperma) adalah
daerah ampula atau infundibulum, dan pada hamil ektopik (patologik) sering
juga terjadi implantasi di dinding tuba bagian ini. Pars infundibulum (distal)
dilengkapi dengan fimbriae serta ostium tubae abdominale pada ujungnya,
melekat dengan permukaan ovarium. Fimbriae berfungsi “menangkap”
ovum yang keluar saat ovulasi dari permukaan ovarium, dan membawanya
ke dalam tuba.
g. Mesosalping
Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya mesenterium pada usus).
h. Ovarium
Ovarium merupakan organ berbentuk oval, terletak di dalam rongga
peritoneum, terdiri dari sepasang kiri-kanan, digantung ke uterus oleh
ligamentum ovarii proprium ke dinding panggul oleh ligamentum
infundibulo-pelvikum. Ovarium dilapisi mesovarium, sebagai jaringan ikat
dan jalan pembuluh darah ke saraf. Terdiri dari korteks dan mendula.
Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel primordial
menjadi folikel degraf, selanjutnya terjadi ovulasi. Ovarium juga mensintesis
dan menghsilkan sekresi hormon-hormon steroid yaitu esterogen dan
progesteron. Ovarium merupakan sumber hormonal wanita yang paling
utama, sehingga mempunyai dampak kewanitaan dalam pengatur proses
menstruasi.
Fisiologi air ketuban
Air ketuban (cairan amnion) diproduksi oleh sel (endotel) yang melapisi
kantung ketuban dan permukaan plasenta (ari-ari) dan peresapan cairan
(eksudasi) melewati membran kantung ketuban. Pada proposisi lebih besar, air
ketuban dihasilkan oleh kencing janin. Dalam keadaan sehat, janin akan minum
air ketuban dan mengeluarkan kembali dalam bentuk kencing, sehingga seolah-
olah terjadi suatu lingkaran atau siklus yang berulang. Bentuk, rupa, bau ketuban
tidak jauh beda dengan air kencing Dalam air ketuban juga dijumpai sel-sel
dalam rambut (lanugo) yang terlepas serta butiran lemak yang bisa melapisi
permukaan kulit bayi (verniks kaseosa) (Nugroho, 2010).
Pada suatu keadaan tertentu, air ketuban didapatkan dalam jumlah yang
lebih dari normal keadaan ini disebut polihidramnion atau kadang disebut
hidramnion. Volume air ketuban bervariasi menurut usia kehamilan, puncaknya
di umur kehamilan sekitar 33 minggu, volume air ketuban berkisar 1- 1,5 liter.
Pada kasus polihidromnion bisa sampai 3 liter, bahkan terjadi sebelum umur
kehamilan mencapai 22 minggu atau 5 bulan. Penyebab polihidromnion belum
dipastikan secara benar, salah satu yang dicurigai adanya proses infeksi. Dua per
tiga kasus polihidromnion tidak diketahui sebabnya. Polihidromnion
meningkatkan resiko kelahiran prematur dan resiko komplikasi persalinan.
Kemungkinan terjadi perdarahan pasca persalinan lebih tinggi dibanding dari
pada perlekatannya sebelum operasi dan terjadinya kematian janin didalam
kandungan. Kejadian bedah caesar juga lebih tinggi dibandingkan pada
kehamilan biasa karena lebih banyak yang tidak normal atau untuk kesejahteraan
janin (Nugroho, 2010).

2. Deinisi Ketuban Pecah Dini


Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu
disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-
10 % perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini (Saifuddin,
2014).
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum
terjadi proses persalinan yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu
atau kurang waktu (Ida Ayu, 2010). KPD adalah pecahnya ketuban sebelum
waktu melahirkan yang terjadi pada saat akhir kehamilan maupun jauh
sebelumnya (Nugroho, 2010).
Ketuban pecah dinyatakan dini jika terjadi sebelum usia kehamilan 37
minggu. Suatu proses infeksi dan peradangan dimulai di ruangan yang berada
diantara amnion korion (Joseph, 2010). Dari beberapa definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum
waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh
sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia
kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih
dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.

3. Etiologi Ketuban Pecah Dini


Menurut Manuaba (2013), penyebab ketuban pecah dini antara lain :
a. Servik inkompeten (penipisan servikx) yaitu kelainan pada servik uteri
dimana kanalis servikalis selalu terbuka.
b. Multipara dan Grandemultipara
c. Ketegangan uterus yang berlebihan, misalnya pada kehamilan ganda dan
hidroamnion karena adanya peningkatan tekanan pada kulit ketuban di atas
ostium uteri internum pada servik atau peningkatan intra uterin secara
mendadak.
d. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik).
e. Kelainan letak janin dalam rahim, misalnya pada letak sunsang dan
letak lintang, karena tidak ada bagan terendah yang menutupi pintu
atas panggul yang dapat menghalangi tekanan terhadap membrane
bagian bawah. kemungkinan kesempitan panggul, perut gantung,
sepalopelvik, disproporsi.
f. Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
asenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan (Asrining dkk., 2013) mengenai
penyebab kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin bahwa kejadian KPD
mayoritas pada ibu multipara, usia ibu 20-35 tahun, umur kehamilan ≥37
minggu, pembesaran uterus normal dan letak janin preskep.

3. Manifestasi Klinis Ketuban Pecah Dini


Manifestasi klinik KPD menurut Mansjoer (2012) antara lain :
a. Keluar air ketuban berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau atau
kecoklatan, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak.
b. Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi
c. Janin mudah diraba
d. Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering
e. Inspekulo : tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan
air ketuban sudah kering.
f. Kecemasan ibu meningkat.
Menurut Manuaba (2013) manifestasi klinis ketuban pecah dini, antara lain :
a. Terjadi pembukaan prematur servik
b. Membran terkait dengan pembukaan terjadi :
1) Devaskularisasi
2) Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
3) Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban, makin berkurang
4) Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang
mengeluarkan enzim preteolitik dan kolagenase.

4. Patofisiologi Ketuban Pecah Dini


Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas pada
daerah tepi robekan selaput ketuban. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini
sangat erat kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena
penipisan oleh infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput
terdapat pada amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di
daerah lapisan retikuler atau trofoblas (Hidayat, 2010).
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertantu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban mengalami kelemahan. Perubahan
struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen
berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Pada daerah di sekitar
pecahnya selaput ketuban diidentifikasi sebagai suatu zona “restriced zone of
exteme altered morphologi (ZAM)” (Hakimi, 2010).
Penelitian oleh Malak dan Bell pada tahun 1994 menemukan adanya
sebuah area yang disebut dengan “high morphological change” pada selaput
ketuban di daerah sekitar serviks. Daerah ini merupakan 2 – 10% dari
keseluruhan permukaan selaput ketuban. Bell dan kawan-kawan kemudian lebih
lanjut menemukan bahwa area ini ditandai dengan adanya penigkatan MMP-9,
peningkatan apoptosis trofoblas, perbedaan ketebalan membran, dan
peningkatan myofibroblas (Hakimi, 2010).
Penelitian oleh (Asrining dkk., 2013), mendukung konsep paracervical
weak zone tersebut, menemukan bahwa selaput ketuban di daerah paraservikal
akan pecah dengan hanya diperlukan 20 -50% dari kekuatan yang dibutuhkan
untuk robekan di area selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian mendukung
konsep adanya perbedaan zona selaput ketuban, khususnya zona di sekitar
serviks yang secara signifikan lebih lemah dibandingkan dengan zona lainnya
seiring dengan terjadinya perubahan pada susunan biokimia dan histologi.
Paracervical weak zone ini telah muncul sebelum terjadinya pecah selaput
ketuban dan berperan sebagai initial breakpoint.
Apoptosis yang terjadi pada mekanisme terjadinya KPD dapat melalui
jalur intrinsik maupun ektrinsik, dan keduanya dapat menginduksi aktivasi dari
caspase. Jalur intrinsik dari apoptosis merupakan jalur yang dominan berperan
pada apoptosis selaput ketuban pada kehamilan aterm. Pada penelitian ini
dibuktikan bahwa terdapat perbedaan kadar yang signifikan pada Bcl-2, cleaved
caspase-3, cleaved caspase-9 pada daerah supraservikal, di mana protein-protein
tersebut merupakan protein yang berperan pada jalur intrinsik. Fas dan ligannya,
Fas-L yang menginisiasi apopsis jalur ekstrinsik juga ditemukan pada seluruh
sampel selaput ketuban tetapi ekspresinya tidak berbeda bermakna antara daerah
supraservikal dengan distal. Diduga jalur ekstrinsik tidak berperan banyak pada
remodeling selaput ketuban (Nugroho, 2010)
Degradasi dari jaringan kolagen matriks ektraselular dimediasi ole enzim
matriks metalloproteinase (MMP). Degradasi kolagen oleh MMP ini dihambat
oleh tissue inhibitor matrixmetyalloproteinase (TIMP). Pada saat menjelang
persalinan, terjadi ketidakseimbangan dalam interaksi antara matrix MMP dan
TIMP, penigkatan aktivitas kolagenase dan protease, penigkatan tekanan
intrauterine (Nugroho, 2010).
5. Pathway Ketuban Pecah Dini

Sumber : Prawirohardjo (2010)


6. Klasifikasi Ketuban Pecah Dini
Menurut Joseph (2010), KPD diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu,
KPD preterm dan KPD aterm :
a. KPD Aterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecahnya ketuban yang terbukti dengan
vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fem atau IGFBP -1(+) pada usia <37
minggu sebelum onset persalinan. KPD sangat preterm adalah pecahnya
ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai <34 minggu, sedangkan
KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara 34 sampai < 37 minggu.
b. KPD Aterm
Ketuban pecah dini aterm adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yag
terbukti dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+ )
pada usia kehamilan ≥37 minggu.

7. Gejala Klinis Ketuban Pecah Dini


Gejala klinis yang bias terjadi adalah keluarnya cairan ketuban
merembes melalui vagina, aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau
amoniak, berwarna pucat, cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena
uterus diproduksi sampai kelahiran mendatang. Tetapi, bila duduk atau berdiri,
kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau
“menyumbat” kebocoran untuk sementara. Sementara itu, demam, bercak vagina
yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah capat merupakan
tanda-tanda infeksi yang terjadi (Hakimi, 2010).

8. Komplikasi Ketuban Pecah Dini


Adapun pengaruh KPD terhadap ibu dan janin menurut (Sarwono, 2010) yaitu :
a. Prognosis Ibu
Komplikasi yang dapat disebabkan KPD pada ibu yaitu infeksi intrapartal/
dalam persalinan, infeksi puerperalis/ masa nifas, dry labour/ partus lama,
perdarahan post partum, meningkatnya tindakan operatif obstetric
(khususnya SC), morbiditas dan mortalitas maternal.
b. Prognosis Janin
Komplikasi yang dapat disebabkan KPD pada janin itu yaitu prematuritas
(sindrom distes pernapasan, hipotermia, masalah pemberian makanan
neonatal), retinopati premturit, perdarahan intraventrikular, enterecolitis
necroticing, ganggguan otak dan risiko cerebral palsy, hiperbilirubinemia,
anemia, sepsis, prolaps funiculli/ penurunan tali pusat, hipoksia dan asfiksia
sekunder pusat, prolaps uteri, persalinan lama, skor APGAR rendah,
ensefalopati, cerebral palsy, perdarahan intrakranial, gagal ginjal, distres
pernapasan), dan oligohidromnion (sindrom deformitas janin, hipoplasia
paru, deformitas ekstremitas dan pertumbuhan janin terhambat), morbiditas
dan mortalitas perinatal (Sarwono, 2010).

9. Pemeriksaan Penunjang Ketuban Pecah Dini


Diagnosis ketuban pecah dini tidak sulit ditegakkan dengan keterangan
terjadi pengeluaran cairan mendadak disertai bau yang khas. Selain keterangan
yang disampaikan pasien dapat dilakukan beberapa pemeriksaan yang
menetapkan bahwa cairan yang keluar adalah air ketuban, diantaranya tes
ferning dan nitrazine tes. Langkah pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
ketuban pecah dini dapat dilakukan :
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa: warna, konsentrasi, bau
dan pH-nya.
2) Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air ketuban, urine
atau sekret vagina
3) Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah
warna, tetap kuning.
4) Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi
biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7-7,5 ,
darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu.
5) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada objek dan
biarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun
pakis (Saminem, 2010).
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit.
Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion (Hakimi,
2010).
10. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini
a. Penatalaksanaan Medis
Menurut Manuaba (2013) dalam buku ajar patologi obstetrik, kasus KPD
yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan
insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan
menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau
menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS,
dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu
pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan
memperjelek prognosis janin. Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur
kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera
dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur
kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin
kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada
kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu
yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih
biasanya paru- paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan
sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan
mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung
berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode
laten (Manuaba, 2013).
1) Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu).
Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi
KPD keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan
peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara
pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent =
L, P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang
L.P-nya. Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi
persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan
akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah.bila
dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda
persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan
bedah caesar (Manuaba, 2013).
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada
ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus
namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada
pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan.
Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah
diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih
dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya
berlangsung lebih dari 6 jam. Beberapa penulis menyarankan bersikap
aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam
dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya.
Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek
sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat
dikurangi (Manuaba, 2013).
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat
ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan
berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik
dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his
terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his
kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika
> 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan
servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria
(Manuaba, 2013).
2) Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu).
Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang
bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat
koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi
Penderita perlu dirawat di rumah sakit,ditidurkan dalam posisi
trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk
mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37
minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga
tujuan menunda proses persalinan (Manuaba, 2013).
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian
kortikosteroid pada penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar
tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau melakukan
pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka
segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan
(Manuaba, 2013).
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai
berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat
menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan.
Komplikasikomplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani
uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi
intoksikasi. Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan
dengan tindakan bedan sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang
cukup bulan, tidakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-
mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik
yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll
(Manuaba, 2013).
Selain komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan
aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan
komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang
ketat. Sehingga dikatakan pengolahan konservatif adalah menunggu
dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin
(Manuaba, 2013).
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap
hari, pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam,
pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat
diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam. Pemberian
kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti
dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health
telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD
pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion.
Sedian terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24
jam atau dexametason 4 dosis masingmasing 6 mg tiap 12 jam
(Manuaba, 2013).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Manajemen terapi pada ketuban pecah dini menurut Manuaba (2013) :
1) Konservatif
a) Rawat rumah sakit dengan tirah baring.
b) Tidak ada tanda-tanda infeksi dan gawat janin.
c) Umur kehamilan < 37 minggu.
d) Antibiotik profilaksis dengan amoksisilin 3 x 500 mg selama 5 hari.
e) Memberikan tokolitik bila ada kontraksi uterus dan memberikan
kortikosteroid untuk mematangkan fungsi paru janin.
f) Jangan melakukan periksan dalam vagina kecuali ada tanda-tanda
persalinan.
g) Melakukan terminasi kehamilan bila ada tanda-tanda infeksi atau
gawat janin.
h) Bila dalam 3 x 24 jam tidak ada pelepasan air dan tidak ada kontraksi
uterus maka lakukan mobilisasi bertahap. Apabila pelepasan air
berlangsung terus, lakukan terminasi kehamilan.
2) Aktif
a) Bila didapatkan infeksi berat maka berikan antibiotik dosis tinggi.
Bila ditemukan tanda tanda inpartu, infeksi dan gawat janin maka
lakukan terminasi kehamilan.
b) Induksi atau akselerasi persalinan.
c) Lakukan seksiosesaria bila induksi atau akselerasi persalinan
mengalami kegagalan.
d) Lakukan seksio histerektomi bila tanda-tanda infeksi uterus berat
ditemukan. Hal-hal yang harus diperhatikan saat terjadi pecah
ketuban
Yang harus segera dilakukan :
a) Pakai pembalut tipe keluar banyak atau handuk yang bersih.
b) Tenangkan diri Jangan bergerak terlalu banyak pada saat ini. Ambil
nafas dan tenangkan diri.
Yang tidak boleh dilakukan :
a) Tidak boleh berendam dalam bath tub, karena bayi ada resiko
terinfeksi kuman.
b) Jangan bergerak mondar-mandir atau berlari ke sana kemari, karena
air ketuban akan terus keluar. Berbaringlah dengan pinggang diganjal
supaya lebih tinggi.

B. KONSEP ADAPTASI (Ibu Hamil, Bersalin, Postpartum)


BERSALIN
1. Adaptasi Fisiologis
a. Adaptasi janin :
1) Denyut jantung janin
Pemantauan djj memberi informasi yang dapat dipercaya dan dapat
digunakan untuk memprediksi keadaan janin yang berkaitan dengan
oksigenasi,djj rata-rata pada aterm adalah 140 denyut/menit,batas
normalnya adalah 110 sampai 160 denyut/menit. Pada kehamilan yang
lebih muda djj lebih tinggi dengan nilai rata-rata 160 denyut/menit.
2) Sirkulasi darah janin
Sirkulasi darah janin dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
adalah posisi ibu, kontraksi uterus, tekanan darah dan aliran darah tali
pusat, kebanyakan apabila janin yang sehat mampu mengompensasi stres
ini, biasanya aliran darah tali pusat tidak terganggu oleh kontraksi uterus
atau posisi janin.
3) Pernafasan dan gerakan janin
Pada waktu persalinan pervaginam 7 sampai 42 ml air ketuban diperas
keluar dari paru-paru, tekanan oksigen janin menurun, tekanan
karbondioksida arteri meningkat, gerakan janin masih sama seperti masa
kehamilan tetapi akan menurun setelah ketuban pecah.
b. Adaptasi ibu :
1) Perubahan kardiovaskuler
Perawat dapat mengantisipasi perubahan tekanan darah. Ada beberapa
faktor yang mengubah tekanan darah ibu. Aliran darah, yang menurun
pada arteri uterus akibat kontraksi, diarahkan kembali ke pembuluh darah
perifer. Timbul tahanan perifer, tekanan darah meningkat, dan frekuensi
denyut nadi melambat. Pada tahap pertama persalinan, kontraksi uterus
meningkatkan tekanan sistolik sampai sekitar 10 mmHg. Oleh karena itu
pemeriksan tekanan darah diantara kontraksi memberi data yang lebih
akurat. Pada tahap kedua, kontraksi dapat mengingkatkan tekanan
sistolik sampai 30 mmHg dan tekanan diastolik sampai 25 mmHg. Akan
tetapi, baik tekanan sistolik maupun diastolik akan tetap sedikit
meningkat diantara kontraksi. Wanita yang memang memiliki risiko
hipertensi kini resikonya meningkat untuk mengalami komplikasi,
seperti perdarahan otak. Wanita harus tahu bahwa ia tidak boleh
melakukan manuver Valsava (menahan nafas dan menegangkan otot
abdomen) untuk mendorong selama tahap kedua. Aktivitas ini
meningkatkan tekanan intratoraks, mengurangi aliran balik vena, dan
meningkatkan tekanan vena. Curah jantung dan tekanan darah
meningkat, sedangkan nadi melambat untuk sementara. Selama wanita
melakukan manuver Valsava, janin dapat mengalami hipoksia. Proses ini
pulih kembali saat wanita menarik nafas. Hipotensi supine terjadi saat
vena kava asenden dan aorta desenden tertekan. Ibu memiliki resiko
lebih tinggi untuk mengalami hipotensi supine, jika pembesaran uterus
berlebihan akibat kehamilan kembar, hidramnion, obesitas , atau
dehidrasi dan hipovolemia. Selain itu, rasa cemas dan nyeri serta
penggunaan analgesik dan anestetik dapat menyebabkan hipotensi. Sel
darah putih (SDP) meningkat, seringkali sampai = 25.000/mm3.
Meskipun mekanisme yang menyebabkan jumlah SDP meningkat masih
belum diketahui, tetapi diduga hal itu terjadi akibat stres fisik atau emosi
atau trauma jaringan. Persalinan sangat melelahkan. Melakukan latihan
fisik saja dapat meningkatkan jumlah SDP. Terjadi beberapa perubahan
pembuluh darah perifer, kemungkinan sebagai respons terhadap dilatasi
serviks atau kompresi pembuluh darah ibu oleh janin yang melalui jalan
lahir. Pipi menjadi merah, kaki panas atau dingin, dan terjadi prolaps
hemoroid.
2) Perubahan pernafasan
Sistem pernafasan juga beradaptasi. Peningkatan aktivitas fisik dan
peningkatan pemakaian oksigen terlihat dari peningkatan frekuensi
pernafasan. Hiperventilasi dapat menyebabkan alkalosis respiratorik (pH
meningkat), hipoksia dan hipokapnea (karbon dioksida menurun). Pada
tahap kedua persalinan, jika wanita tidak diberi obat-obatan, maka ia
akan mengonsumsi oksigen hampir dua kali lipat. Kecemasan juga
meningkatkan pemakaian oksigen.
3) Perubahan pada sistem perkemihan
Pada trimester kedua, kandung kemih menjadi organ abdomen. Apabila
terisi, kandung kemih dapat teraba diatas simfisis pubis. Selama
persalinan, wanita dapat menglami kesulitan untunk berkemih secara
spontan akibat berbagai alasan., edema jaringan akibat tekanan bagian
presentasi, rasa tidak  nyaman, sedasi dan rasa malu. Proteinuria +1
dapat dikatakan normal dan hasil ini merupakan respons rusaknya
jaringan otot akibat kerja fisik selama persalinan.
4) Perubahan integument
Adaptasi sistem integumen jelas terlihat khususnya pada daya
distensibilitas daerah introitus vagina (muara vagina). Tingkat
distensibilitas ini berbeda-beda pada setiap individu. Meskipun daerah
itu dapat meregang, namun dapat terjadi robekan-robekan kecil pada
kulit sekitar introitus vagina seklipun tidak dilakukan episiotomi atau
tidak terjadi laserasi.
5) Perubahan musculoskeletal
Sistem muskuloskletal mengalami stres selama persalinan. Diaforesis,
keletihan, proteinuria (+1), dan kemungkinan peningkatan suhu
menyertai peningkatan aktivitas otot yang menyolok. Nyeri punggung
dan nyeri sendi (tidak berkaitan dengan posisi janin) terjadi sebagai
akibat semakin renggangnya sendi pada masa aterm. Proses persalinan
itu sendiri dan gerakan jari-jari kaki dapat menimbulkan kram tungkai.
6) Perubahan neurologi
Sistem neurologi menunjukkan bahwa timbul stres dan rasa tidak
nyaman selama persalinan. Perubahan sensoris terjadi saat wanita masuk
ke tahap pertama persalinan dan saat masuk ke setiap tahap berikutnya.
Mula-mula ia mungkin mearasa euforia. Euforia membuat wanita
menjadi serius dan kemudian mengalami amnesia diantara traksi selama
tahap kedua. Akhirnya, wanita merasa sangat senang atau merasa letih
setelah melahirkan. Endorfin endogen (senyawa mirip morfin yang
diproduksi tubuh secara alami) meningkatkan ambang nyeri dan
menimbulkan sedasi. Selain itu, anestesia fisiologis jaringan perineum,
yang ditimbulkan tekanan bagian presentasi, menurunkan persepsi nyeri.
7) Perubahan pencernaan
Persalinan mempengaruhi sistem saluran cerna wanita. Bibir dan mulut
dapat menjadi kering akibat wanita bernafas melalui mulut, dehidrasi,
dan sebagai respons emosi terhadap persalianan. Selama persalinan,
motilitas dan absorpsi saluran cerna menurun dan waktu pengosongan
lambung menjadi lambat. Wanita seringkali merasa mual dan
memuntahkan makanan yang belum dicerna setelah bersalin. Mual dan
sendawa juga terjadi sebagai respons refleks terhadap dilatasi serviks
lengkap. Ibu dapat mengalami diare pada awal persalinan. Perawat dapat
meraba tinja tinja yang keras atau tertahan pada rektum.
8) Perubahan endokrin
Sistem endokrin aktif selama persalinan. Awitan persalinan dapat
diakibatkan oleh penurunan kadar progesteron dan peningkatan kadar
estrogen, prostaglandin dan oksitosin. Metabolisme meningkat dan kadar
glukosa darah dapat menurun akibat proses persalinan ((Winkjosastro,
2016).
Kala I : Kala Pembukaan Serviks
a. Kontraksi uterus sedang terjadi setiap 2,5-5 menit dan berlangsung 30-45
detik.
b. Pembukaan serviks kira-kira 4-7 cm
c. Terdapat “bloody show” dalam jumlah yang sedang
d. Bayi turun 1-2 cm di bawah spina iliaca
Kala II : Kala Pengeluaran
a. Terjadi kontraksi setiap 1,5-2 menit dan berlangsung 60-90 detik
b. Dilatasi serviks penuh (10cm) dan penonjolan 100%
c. Rata-rata kecepatan turunnya janin adalah 1 cm/jam untuk nulipara,
sedangkan untuk multipara 2 cm atau lebih per satu jam
d. Peningkatan penumpukan perdarahan di vagina
e. Membrane mungkin rupture pada saat ini, terutama bila masih utuh
f. Peningkatan pengeluaran cairan amnion selama kontraksi
g. Crowning terjadi, caput tampak tepat sebelum kelahiran pada presentasi
vertex
h. Tekanan darah dapat meningkat 5-10 mmhg diantara kontraksi
i. Keinginan defekasi involunter pada kontraksi disertasi tekanan intra
abdomen dan tekanan uterus
j. Peningkatan frekuensi pernafasan
k. Peningkatan produksi keringat, terlihat pada bibir atas.
l. Adanya mual dan muntah
Kala III ; Kala Uri (Kala Pengeluaran Plasenta)
a. Pengeluaran darah yang berwarna hitam dari vagina, terjadi saat plasenta
lepas dari endometrium, biasanya dalam 15 menit setelah melahirkan bayi.
b. Kontraksi uterus kuat, terjadi 5-7 menit setelah bayi lahir
c. Perluasan episiotomy dan laserasi jalan lahir  jika ada
d. Tekanan darah meningkat saat curah jantung meningkat, kemudian kembali
ke tingkat normal dengan cepat
e. Hipertensi dapat terjadi sebagai respon terhadap analgesic dan anastesi
f. Frekuensi nadi melambat sebagi respon terhadap perubahan curah jantung
g. Dapat mengeluh tremor pada kaki, dan jari menggigil
h. Klien terlihat letih
Kala IV ; Pengawasan Hingga Satu Jam Setelah Plasenta Lahir
a. Fundus keras, berkontraksi, pada garis tengah dan terletak setinggi umbilicus
b. Klien tampak kelelahan dan keletihan dan mengantuk
c. Nadi biasanya lambat karena hiversensitifitas vagal.
d. Tekanan darah bervariasi, mungkin lebih kecil terhadap respon
analgesia/analgetik atau meningkat pada respon pemberian oksitoksin atau
hipertensiakarena kehamilan
e. Merasa haus, lapar atau mual
f. Kemungkinan terdapat hemoroid
g. Pada awalnya suhu tubuh meningkat sedikit (pengerahan tenaga, dehidrasi)
(Prawirohardjo, 2014).

2. Adaptasi Psikologis
a. Pada kala I
1) Fase aktif, klien akan tampak lebih serius, dan terhanyut pada proses
persalinan
2) Ketakutan pada klien tentang kemampuan mengendalikan pernafasan
dan atau melakukan tekhnik relaksasi.
b. Pada kala II
1) Klien gelisah, biasanya mengatakan “saya tidak tahan“
2) Dapat merasa kehilangan control/kebalikannya, klien terlibat mengeran
secara aktif
3) Setelah serviks membuka lengkap, janin akan segera keluar. His terjadi
tiap 2-3 menit, lamanya 60-90 detik. His sempurna dan efektif bila ada
koordinasi gelombang kontraksi sehingga kontraksi simetris dengan
dominasi di fundus uteri, mempunyai ampitudo 40-60 mmHg,
berlangsung 60-90 detik dengan jangka waktu 2-4 menit dan tonus uterus
saat relaksasi kurang dari 12 mmHg. Pada primigravida kala II
berlangsung kira-kira sau setengah jam dan pada multi gravida setengah
jam.
Tanda obyektif yang menunjukkan tahap kedua dimulai adalah sebagai
berikut :
a) Muncul keringat tiba-tiba diatas bibir
b) Adanya muntah Aliran darah ( show ) meningkat
c) Ekstremitas bergetar
d) Semakin gelisah Usaha ingin mengedan
Tanda-tanda ini seringkali muncul pada saat serviks berdilatasi
lengkap. Pemantauan yang kontinyu pada tahap kedua dan
mekanisme persalinan, respons fisiologis dan respons emosi ibu serta
respons janin terhadap stres.
c. Pada kala III
1) Ekspresi ibu ketika melihat bayinya yang baru lahir dengan tertawa,
berbicara dan kadang-kadang menangis
2) Klien juga terlihat kecewa ketika melihat bayinya yang baru lahir karena
ternyata tidak sesuai dengan harapannya, dan dapat juga ditunjukkan
dengan tidak adanya kontak mata dengan bayi, marah, berpaling dari
bayi dan kadang-kadang membuat komentar yang buruk.
3) Berlangsung 6-15 menit setelah janin dikeluarkan. Tahap ketiga
persalinan berlangsung sejak bayi lahir sampai plasenta lahir, tujuan
penanganan kala III adalah pelepasan dan pengeluaran plasenta yang
aman.
d. Pada kala IV
1) Reaksi emosional bervariasi, dan dapat berubah-rubah, misalnya eksitasi
atau kurangnya pendekatan, kurang minat karena kelelahan atau kecewa.
2) Dapat mengekspresikan masalah atau meminta maaf atas sikap dan
perilaku selama intrapartum atau saat kehilangan control.
3) Dapat mengekspresikan rasa takut mengenai kondisi bayi dan perawatan
segera pada neonatal.
4) Kala ini sangat penting untuk menilai perdarahan (maks 500 ml) dan
baik tidaknya kontraksi uterus. Hingga lahirnya uri sampai dengan 1-2
jam setelah uri lahir. Tanda kala IV adalah banyaknya darah yang keluar
(Nugroho, 2010).

C. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


1. Pengkajian
Data Subyektif
Dokumentasi pengkajian merupakan catatan hasil pengkajian yang
dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi dari pasien, membuat data dasar
tentang klien dan membuat catatan tentang respon kesehatan klien (Hidayat,
2010).
a. Identitas atau biodata klien
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor
register, dan diagnosa keperawatan.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti jantung,
hipertensi, DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau
abortus.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat pada saat sebelun inpartus didapatkan cairan ketuban
yang keluar pervagina secara spontan kemudian tidak diikuti
tanda-tanda persalinan.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga keluarga seperti
jantung, DM, HT, TBC, penyakit kelamin, abortus, yang
mungkin penyakit tersebut diturunkan kepada klien
4) Riwayat psikososial
Riwayat klien nifas biasanya cemas bagaimana cara merawat
bayinya, berat badan yang semakin meningkat dan membuat
harga diri rendah.
b. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat
Karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah dini, dan
cara pencegahan, penanganan, dan perawatan serta kurangnya mrnjaga
kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam perawatan
dirinya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari
keinginan untuk menyusui bayinya.
3) Pola aktifitas
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti biasanya,
terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak, cepat
lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas karena
mengalami kelemahan dan nyeri.
4) Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah
kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema
dari trigono, yang menimbulkan inveksi dari uretra sehingga sering
terjadi konstipasi karena penderita takut untuk melakukan buang air
besar (BAB).
5) Pola istirahat dan tidur
Pada klien intra partum terjadi perubahan pada pola istirahat dan tidur
karena adanya kontraksi uterus yang menyebabkan nyeri sebelum
persalinan.
6) Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga
dan orang lain.
7) Pola penagulangan stres
Biasanya klien sering merasa cemas dengan kehadiran anak.
8) Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada perut akibat kontraksi uterus
pada pola kognitif klien intrapartum G1 biasanya akan mengalami
kesulitan dalam hal melahirkan, karena belum pernah melahirkan
sebelumnya.
9) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih
menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep
diri antara lain dan body image dan ideal diri
10) Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau
atau fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses
persalinan dan nifas.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Biasanya pada saat menjelang persalinan dan sesudah persalinan klien
akan terganggu dalam hal ibadahnya karena harus bedres total setelah
partus sehingga aktifitas klien dibantu oleh keluarganya (Asrining, dkk.
2003).
Data obyektif
a. Pemeriksaan Umum, meliputi :
1) Kesadaran ibu
2) Berat bada sebelum hamil
3) Berat badan sekarang
4) Tinggi badan
5) Lingkar Lengan Atas (LILA)
b. Tanda-tanda Vital (TTV)
1) Tekanan darah
2) Nadi
3) Pernafasan
4) Suhu
c. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat
adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan
2) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, karena
adanya proses menerang yang salah.
3) Mata
Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva, dan
kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses
persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kuning.
4) Telinga
Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya,
adakah cairan yang keluar dari telinga.
5) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada pos partum kadang-kadang
kadang ditemukan pernapasan cuping hidung.
6) Dada
Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiperpigmentasi areola
mamae dan papila mamae.
7) Abdomen
Terdapat striae masih terasa nyeri. Fundus uteri 3 dibawah procesus
xifoideus..
8) Genitalia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat
pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam
kandungan menandakan adanya kelainan letak anak.
9) Anus
Terjadi tekanan pada anus sebagai tanda persalinan
10) Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk melihat kelainan-kelainan karena
membesarnya uterus, karena preeklamsia atau karena penyakit jantung
atau ginjal.
11) Muskuluskeletal
Pada klien partum biasanya terjadi keterbatasan gerak karena adanya
luka episiotomi.

PENGKAJIAN DASAR UTAMA YAITU :


KALA I
a. Observasi Lokasi, Keteraturan, Intensitas, dan durasi kontraksi uterur.
b. Observasi adanya perdarahan yang hebat, jika tidak ada perdarahan,
lakukan pemeriksaan vagina steril untuk mengkaji status ketuban,
dilatasi dan penipisan serviks, bagian presentasi.
c. Observasi riwayat klien yaitu HPHT (Hari pertama haid terakhir) untuk
menentukan usia kehamilan ibu. Taksiran persalinan (rumus naegele :
tanggal HPHT ditambah 7 dan bulan kurangi.
d. Periksa tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi,pernapasan serta
tekanan darah untuk memandingkan dengan nilai sebelum kehamilan dan
pranatal.
e. Observasi edema perifer ada/tidak
f. Catat dan pantau irama jantung janin.
g. Ambil darah untuk pemeriksaan Hb dan Ht, serologi, dan golongan darah
etiologi dan faktor resiko.
h. Persalinan diduga dipicu oleh satu faktor berikut atau lebih, yang
berhubugan dengan iribilitasi miometrium.Pelepasan oksitosin oleh
pituitari posteriorStimulasi estrogen yang disebabkan oleh penurunan
progesteron Peningkatan kadar prostagladinibu dan kortisol
janin.Distensi uterus Peningkatan tekanan intrauteri Penuaan plasenta
Penekanan bagian presentasi terhadap serviks dan segmen uterus bawah.
KALA II
a. Pemeriksaan DJJ (secara kontinu atau setiap selesai kontraksi uterus dan
tanda-tanda vital ibu diantara kontraksi uterus (5-15) Lanjutkan
pengkajian station, presentasi,dan posisi janin.
b. Lihat apakah ibu merubah posisi (berbaring, duduk, jongkok) terhadap
status dan penurunan janin.
c. Observasi durasi kala satu dan tingkat keletihan
d. Saat ketuban telah pecah, catat waktu dan jumlah,warna,serta bau
cairan,juga catat DJJ kembali.
KALA III
a. Lihat adanya perdarahan yang hebat.
b. Palpasi uterus sebelum dan sesudah pengeluaran plasenta.
c. Lihat retensi fragmen plasenta dan pengeluaran secara manual atau
menggunakan alat.
d. Lihat adanya pucat dan sionosi, penurunan pengeluaran urin, dan
disorientasi.
e. Lihat adanya peningkatan nadi dan pernapasan, serta penurunan TD.
f. Lihat adanya sionosis, dyspnue, hipotensi, takikardi, syok, kegagalan
koagulasi (misal: ptekie, perdarahan dari lokasi tusukan vena), atoni
uterus,edema pulmonal, dan henti nafas.
g. Lihat adanya sakit kepala berat disertai mual dan muntah : gejala
stroke,bicara tidask jelas, deviasi mata, dan manifestasi SPP lain.
h. Lihat adanya inversi uterus (uterus tampak pada introirtus,atau dengan
inversi persial, nyeri dan perdarahan hebat).
i. Palpasi fundus dan lihat adanya tanda pelepasan plasenta yang meliputi :
1) Uterus yang keras dan berkontraksi.
2) Uterus berubah dari bentuk cakram menjadi bulat ketika plasenta
turun ke bagian bawah uterus.
3) Semburan darah gelap yang tiba-tiba dari vagina.
4) Tali pusat yang keluar dari vagina bertambah panjang saat plasenta
mendekati introitus.
5) Pemeriksaan vagina atau rektum menunjukkan vagina yang penuh,
atau selaput janin tampak pada introitus.
KALA IV
a. Lihat apakah ada tanda faktor resiko hemoragi postpartum (misal,
persalinan yang lama, multiparitas, bayi besar, pengeluaran plasenta
yang melekat secara manual, riwayat hemoragi postpartum sebelumnya,
manipulasi uteri berlebihan).
b. Observasi tinggi,posisi dan tonus fundus setiap 15 menit selama satu jam
pertama, kemudian setiap 30 menit selama satu jam, dan selanjutnya
setiap jam (sesuai prosedur yang berlaku di institusi)
c. Palpasi kandung kemih (kandung kemih yang penuh)teraba diatas
simpisis pubis, dapat mengubah posisi fundus dan mengganggu
kontraksi uterus.
d. Observasi tekanan darah (TD) bersamaan dengan pengkajian fundus
(hipotensi dapat terjadi karena hipovolemia akibat hemorogi.
e. Observasi frekuensi jantung bersamaan dengan pengkajian fundus
(volume sekuncup, curah jantung, yang meningkat selama kehamilan,
akan tetap meningkat dan bahkan dapat meningkat setelah melahirkan).
f. Observasi jumlah pembalut yang digunakan (untuk mendeteksi hemorogi
akibat atonia uteri atau laserasi vagina atau uterus.
g. Pantau kadar Hb dan Ht (membantu memperkirakan jumlah kehilangan
darah).

2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan terjadinya ketegangan otot rahim.
2. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
3. Ansietas berhubungan dengan persalinan prematur dan neonatus berpotensi
4. Risiko infeksi berhubungan dengan ketuban pecah dini.
3. Intervensi Keperawatan

N DIAGNOSA TUJUAN &


INTERVENSI RASIONAL
O KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 NIC LABEL MANAJEMEN NYERI 1. Untuk mengetahui tingkat dan lokasi
berhubungan dengan jam diharapkan nyeri yang dialami pasien nyeri yang dirasakan oleh pasien
1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
dapat berkurang dengan kriteria hasil :
terjadinya ketegangan yang meliputi lokasi, karakteristik, referensi, 2. Untuk mengurangi rasa nyeri pasien dan
NOC LABEL TINGKAT NYERI
durasi,kualitas, ointensitas atau beratnya meberikan edukasi
otot rahim. 1. Nyeri yang dilaporkan dipertahankan nyeri dan faktor pencetus.
3. Untuk meminimalkan nyeri yang
pada skala 2 ditingkatkan ke skala 4
- 2. Pastikan perawatan analgesic bagi pasien diakibatkan oleh faktor lain
2. Tidak bisa beristirahat dipertahankan dilakukan dengan pengetahuan yang ketet
4. Untuk meningkatkan prawatan diri pada
pada skala 2 ditingkatkan ke skala 4
3. Kurangi atau eliminasi faktor-faktor yang pasien secara mandiri
3. Ekspresi nyeri wajah dipertahankan pada dapat mencetuskan atu meningkatkan nyeri
5. Untuk mengontrol nyeri pasien
skala 2 ditingkatkan ke skala 4
4. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan
6. Untuk meningkatkan status kesehatan
NOC LABEL TINGKAT menangani nyerinya dengan tepat
pasien
KETIDAKNYAMANAN
5. Gunakan tindakan pengontrol nyeri sebelum
7. Untuk mengetahui sumber ketidak
1. Nyeri dipertahankan pada skala 2 nyeri bertambah berat
nyamanan pasien
ditingkatkan ke skala 4
NIC LABEL MANAJEMEN
8. Untuk meningkatkan rasa nyaman
2. Meringis dipertahankan pada skala 2 LINGKUNGAN: KENYAMANAN
pasien
ditingkatkan ke skala 4
1. Hindari gangguan yang tidak perlu dan
9. Untuk pemberian edukasi sesuai dengan
beroikan untuk waktu istirahat
penurunan nyeri pasien
2. Pertimbangkan sumber-sumber ketidak
10. Agar keluarga dapat membantu
nyamanan
meningkatkan rasa nyaman pasien
3. Ciptakan lingkungan yang t6enang dan
mendukung
4. Berikan sumber-sukmber edukasi yang
relapan dan nberguna mengenai manajemen
penyakit dann cidera
5. Tentukan tujuan pasien dan keluarga dalam
mengelola lingkungan dan kenyamana yang
optimal
2. Defisiensi Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 NIC LABEL PENGETAHUAN : PROSES 1. Untuk meningkatkan pengetahuan
pengetahuan jam diharapkan pasien dapat meningkatkan PENYAKIT pasien dan keluarga tentang penyakit
pengetahuannya pada penyakit yang
berhubungan dengan 1. Jelaskan tanda dan gejala yang umum dari yang dialami pasien
dihadapinya dengan kriteria hasil :
kurang informasi penyakit, sesuai kebutuhan 2. Untuk mencegah terjadinya kekecewaan
NOC LABEL PENGETAHUAN :
PROSES PENYAKIT 2. Hindari memberi harapan yang kosong pasien terhadap perawat
1. Tanda dan gejala penyakit 3. Edukasi pasien dan keluarga pasien 3. Agar pasien mengetahui bagaimaan
dipertahankan pada skala 3 mengenai tindakan untuk penanganan efeksamping penanganan
ditingkatkan ke skala 4 mencegah/meminimalkan efek samping dari penyakit.
penanganan dari penyakit, sesuai kebutuhan 4. Agar pasien dan keluarga pasien dapat
4. Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai melaporkan jika terjadi tanda dan gejala
tanda dan gejala yang yang harus di laporkan yang abnormal dan butuh penanganan
kepada petugas kesehatan , sesuai kebutuhan segera kepada tim kesehatan.
5. Perkuat informasi yang diberikan dengan Untuk mencegah terjadinya kesalahan
anggota tim kesehatan yang lainnya, sesuai
kebutuhan. pemberian informasi.

3. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 NIC LABEL PENGURANGAN 1. Untuk meningkatkan kenyamanan
dengan persalinan jam diharapkan pasien tidan merasa gelisah KECEMASAN
pasien dan pasien merasa tenang dan
prematur dan neonatus dan khawatir dengan keadaannya saat ini 1. Dorong keluarga untuk mendampingi klien
berpotensi dengan kriteria hasil : aman serta merasa dianggap
dengan cara yang tepat
NOC LABEL TINGKAT KECEMASAN 2. Untuk memudahkan membina
1. Perasaan gelisah dipertahankan pada 2. Gunakan pendekatan yang tenang dan
hubungan dengan pasien
skala 3 ditingkatkan ke skala 5 meyakinkan
3. Untuk meningkatkan kenyamana
2. Wajah tegang dipertahankan pada skala 3 3. Berikan objek yang menunjukan perasaan
pasien
ditingkatkan ke skala 5 nyaman
4. Untuk mengetahui permasalahan dan
NOC LABEL TANDA – TANDA VITAL 4. Dengarkan klien
1. Suhu tubuh, tingkat pernafasan, tekanan perasaan yang sedang dialami oleh
5. Jelaskan semua prosedur termasuk sensai
darah sistolik dan diastolik, denyut nadi pasien
yang akan dirasakan yang mungkin akan
dipertahankan pada skala 4 ditingkatkan 5. Untuk mencegah terjadinya penolakan
dialami klien selama prosedur dilakukan
ke skala 5 oleh pasien
NIC LABEL TERAPI RELAKSASI
1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa 6. Untuk meningkatkan kenyamanan
distraksi dengan lampu yang redup dan suhu yang dirasakan pasien pada lingkungan
lingkungan yang nyaman bagi klien 7. Agar pasien merasa nyaman dengan
2. Drong klien untuk mengambil posisi yang posisinya
nyaman 8. Untuk mengurangi rasa cemas dan
3. Terapkan relaksasi musik dan bernafas pada meningkatkan ketenangan pada pasien.
klien. 9. Untuk mengetahui apakah dapat
NIC LABEL MONITOR TTV menimbulkan terjadinya perubahan
1. Identifikasi kemungkinan penyebab
pada tanda – tanda vital
perubahan tanda – tanda vital
10. Untuk mengetahui rentang nilai tanda-
2. Monitor tekanan darah, nadi, suhu dan status
tanda vital pasien
pernafasan dengan tepat.

4. Risiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 NIC LABEL KONTROL INFEKSI 1. Untuk kengurangi resiko infeksi
berhubungan dengan jam diharapkan resiko infeksi pada pasien 1. Anjurkan pasien mengenai tehnik cuci 2. Agar antibiotic yang diberikan tidak
ketuban pecah dini. dapat diatasi dengan kriteria hasil : tangan dengan tepat terlambat diminum dan tidak resisten
NOC LABEL KEPARAHAN INFEKSI 2. Anjurkan pasien untuk minum antibiotic terhadap antibiotik
1. Kemerahan dipertahankan pada skala 2 yang diresepkan 3. Agar pasien dan keluarga mengetahui
ditingkatkan ke skala 4 3. Ajarkan pasien dan keluarga pasien tanda dan gejala saat terkena infeksi
2. Cairan yang berbau busuk dipertahankan mengenai tanda gejala infeksi 4. Agar pasien dan keluarga dapat
pada skala 2 ditingkatkan ke skala 4 4. Ajarkan pasien dan anggota keluarga meminimalkan infeksi
3. Nyeri dipertahankan pada skala 2 mengenai bagaimana menghindari infeksi 5. Untuk mengetahui keadaan luka pasien
ditingkatkan ke skala 4 NIC LABEL PERAWATAN LUKA 6. Untuk mengetahui apakah ada pelebaran
1. Monitor karakteristik luka, termasuk yang terjadi pada luka
drainase, warna, ukuran, dan bau 7. Untuk menghindarai infeksi tambahan
2. Ukur luas luka, yang sesuai pada luka akibat adanya benda asing
3. Singkirkan benda – benda yang tertanam yang tertanam pada luka
pada luka (serpihan) 8. Untuk menjaga kebersihan luka
4. Bersihkan dengan normal saline atau 9. Agar pasien dan keluarga dapat
pembersih yang tidak beracun, dengan tepat meminimalkan infeksi.
5. Ajarkan pasien dan keluaraga untuk
mengenal tanda dan gejala infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Asrining, S. H.. S. K. N., dkk. 2013. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta :
EGC

Bulechek. G. 2013. Nursing Intervensions Clasification (NIC). Edisi Keenam.


Elsivers. Singapura

Hidayat, A.A.A. 2010. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan edisi 2.


Jakarta:Salemba

Hakimi, 2010 : Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana


Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC

Ida Ayu, C. M. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta :
EGC

Joseph H. K. 2010. Catatan Kuliah: Ginekologi dan Obstetri (Obsgin). Suha


Medika : Yogyakarta

Kemenkes RI. 2014, 2015, 2016. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta

Manuaba, I.B.G. 2013. Buku Ajar Patologi Obstetri. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aesculapus.

Moorhead. S. 2013. Nursing Outcome Clasification (NOC). Edisi Kelima.


Elsivers. Singapura

NANDA International. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta : EGC

Nugroho. 2010. Ilmu Patologi Kebidanan. Jakarta : EGC.

Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.


Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Saifuddin, Abdul Bari. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta : P.T Bina Pustaka.

Saminem. 2010. Dokumentasi Asuhan Kebidanan Konsep dan Praktik. EGC.


Jakarta

Sarwono, Prawirohardjo. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Cetakan ke-2. Tridasa


Printer : Jakarta

Wiknjosastro, Hanifa. 2006. Letak Sungsang dalam Ilmu kebidanan edisi


keenam. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai