Anda di halaman 1dari 10

1.

Infeksi HIV dan AIDS


Acquired immunodeficienqt syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan gejala penyakit
infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HlV)
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen, dan sekret
vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV awalnya
dikenal dengan nama Lymphadenopathy associated virus (LAY) merupakan golongan
retrovirus dengan materi genetik ribonucleic acid (RNA) yang dapat diubah menjadi
deoxyribonucleic acid (DNA) untuk diintegrasikan ke dalam sel pejamu dan diprogram
membentuk gen virus. Virus ini cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang
mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T yang memegang peranan penting
dalam mengatur dan mempenahankan sistem kekebalan tubuh.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spektrum yang lebar,
mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal sampai pada geiala-gejala
yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Setelah diawali dengan infeksi akut, maka dapat
terjadi infeksi kronik asimptomatik selama beberapa tahun disertai repiikasi virus secara
lambat. Kemudian setelah terjadi penurunan sistem imun yang berat, maka terjadi berbagai
infeksi oportunistik dan dapat dikatakan pasien telah masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan
penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rara-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi
pertama, bahkan bisa lebih lama lagi.
Transmisi vertikal merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada bayi dan anak-anak di
Amerika Serikat. Transmisi HIV dari ibu kepada janin dapat terjadi intrauterin (5-10%), saat
persalinan (10-20%), dan pascapersalinan (5-20%). Kelainan yang dapat terjadi pada janin
adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus spontan
Tingkat infeksi HIV pada perempuan hamil di negara-negara Asia diperkirakan belum
melebihi 3-4%, tetapi epideminya berpotensi untuk terjadi lebih besar. Penelitian prevalensi
HIV pada ibu hamil di daerah miskin di Jakarta pada tahun 1999-2001 oleh Kharbiati
mendapatkan angka prevalensi sebesar 2,86 %.
Pada tahun 1999 The Institute of Medicine (IOM) telah merekomendasikan pemeriksaan HIV
untuk semua perempuan hamil sepengetahuan perempuan tersebut, disertai hak pasien untuk
menolak. Rekomendasi ini juga telah diadopsi oleh American Academy of Pediatrics,
American College of Obstetricians and Gynecologists, serta United States Public Health
Service (USPHS)
Antibodi virus mulai dapat dideteksi kira-kira 3 hingga 6 bulan sesudah infeksi. Pemeriksaan
konfirmasi menggunakan Western blot (WB) cukup mahal, sebagai penggantinya dapat
dengan melakukan 3 (tiga) pemeriksaan ELISA sebagai tes penyaring memakai reagen dan
teknik berbeda.
Telah banyak bukti menunjukkan bahwa keberadaan IMS meningkatkan kemudahan
seseorang terkena HIV, sehingga IMS dianggap sebagai kofaktor HIV. Oleh karena itu,
upaya pengendalian infeksi HIV dapat dilaksanakan dengan melakukan pengendalian IMS.

2. Infeksi Sitomegalovirus
Sitomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini berdasarkan struktur
dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini menyebabkan pembengkakan
sel yang karakteristik sehingga terlihat sel membesar (sitomegali) dan tampak sebagai
gambaran mata burung hantu. Di Amerika CMV merupakan penyebab utama infeksi
perinatal (diperkirakan 0,5-2% dari seluruh bayi neonatal). Yow dan Demmler (1992) dalam
pengamatannya selama 20 tahun atas morbiditas yang disebabkan CMV perinatal
menjelaskan bahwa dari 800.000 janin yang terinfeksi oleh CMV diperoleh 50.000 bersifat
simptomatis dengan kelainan retardasi mental, kebutaan, dan tuli sedangkan 120 ribu janin
yang bersifat asimptomatis mempunyai keluhan neurologic
Penularan/transmisi CMV ini berlangsung secara horisontal, venikal, dan hubungan seksual.
Transmisi horisontal terjadi melalui droplet infection dan kontak dengan air ludah dan air
seni. Sementara itu, transmisi vertikal adalah penularan proses infeksi maternal ke janin.
Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena transmisi transplasenta selama kehamilan
dan diperkirakan 0,5-2,5% dari populasi neonatal. Di masa peripartum infeksi CMV timbul
akibat pemaparan terhadap sekresi serviks yang telah terinfeksi melalui air susu ibu dan
tindakan transfusi darah. Dengan cara ini prevalensi diperkirakan 3-5%
Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut infeksi
primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis serta virus akan
menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke
dalam sel-sel dari berbagai macam jaringan. Proses ini disebut infeksi laten.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multiplikasi virus.
Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun karena infeksi
HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplan-resipien araupun penderita
dengan keganasan
Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit tertentu serta
keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik. Dapat diterangkan bahwa kedua keadaan
tersebut menekan respons sel limfosit T sehingga timbul stimulasi antigenik yang kronis.
Dengan demikian, terjadi reaktivasi virus dari periode laten disertai berbagai sindroma.
Epidemiologi
Di negara-negara maju sitomegalovirus (CMV) adalah penyebab infeksi kongenital yang
paling utama dengan angka kejadian 0,3-2% dari kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa 10-
15% bayi lahir yang terinfeksi secara kongenital adalah simptomatis yakni dengan
manifestasi klinik akibat terserangnya susunan saraf pusat dan berbagai organ lainnya
(multiple organ). Hal ini menyebabkan kematian perinatal 20-30% serta timbulnya cacat
neurologik berat lebih dari 90% pada kelahiran. Manifestasi klinik dapat berupa
hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi mental, gangguan psikomotor, ikterus, petechiae,
korioretinitis, dan kalsifikasi serebral
Sebanyak 10-15% bayi yang terinfeksi bersifat anpa gejala (asimptomatis) serta tampak
normal pada waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan memperoleh cacat neurologik seperti
retardasi mental atau gangguan pendengaran dan penglihatan diperki rakan 1-2 tahun
kemudian. Dengan alasan ini sebenarnya infeksi CMV adalah penyebab utama kerusakan
sistem susunan saraf pusat pada anak-anak.
Infeksi CMV pada Kebamilan
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan infeksi pada umur
kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius.
Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun endogenus. Infeksi
eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil dengan pola imunologik
seronegatif dan nonprimer bila ibu hamil dalam keadaan seropositif.
Infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya dalam keadaan paten.
Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang jauh lebih buruk pada janin
dibandingkan infeksi rekuren (reinfeksi)
Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologik maupun
virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi maternal primer dapat ditunjukkan
dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif (tampak adanya IgM dan IgG
anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan inter-val kira-kira 3 minggu. Dalam
metode serologik infeksi primer dapat pula ditentukan dengan Lozu IgG Auidity, yairu
antibodi klas IgG menunjukkan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama
kurang lebih 20 minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus infeksi
primer menunjukkan IgG aviditas rendah (Low Avidity 1gG) terhadap CMV
Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan uji
imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang mengikat antigen Pp 65,
suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo dalton) dari CMV di dalam sel
leukosit dalam darah ibu.
Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan kehamilan yang menunjukkan
infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20 minggu. Hal ini karena diperkirakan 70%
dari kasus menunjukkan janin tidak terinfeksi. Dengan demikian, diagnosis pranatal dapat
mencegah terminasi kehamilan yang ddak perlu terhadap janin yang sebenarnya tidak
terinfeksi sehingga kehamilan tersebut dapat berlangsung. Saat ini terminasi kehamilan
merupakan satu-satunya terapi intervensi karena pengobatan dengan antivirus (ganciclooir)
tidak memberi hasil yang efektif dan memuaskan.
Diagnosis pranatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi virus pada cairan
ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis dalam hubungan ini paling
baik dikerjakan pada umur kehamilan 21-23 minggu karena tiga hal berikut.
 Mencegah hasil negatif palsu sebab diuresis janin belum sempurna sebelum umur
kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal mengekskresi virus sitomegalo
melalui urin ke dalam cairan ketuban.
 Dibutuhkan waktu 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus dapat
ditemukan dalam cairan ketuban.
 Infeksi janin yang berat karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi maternal
terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.
Penelitian menunjukkan bahwa untuk diagnosis pranatal hasil amniosentesis lebih baik jika
dibandingkan dengan kordosentesis. Demikian pula halnya biopsi vili korialis dikatakan
ridak meningkatkan kemampuan mendiagnosis infeksi CMV intrauterin. Kedua prosedur ini
kordosentesis dan biopsi membawa risiko bagi janin, bahkan prosedur tersebut tidak
dianjurkan.
Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dari perawatan antenatal sangat membantu
dalam mengindentifikasi janin yang berisiko tinggi/diduga terinfeksi CMV. Klinisi harus
memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV intrauterin bila didapatkan hal-hai berikut ini
pada janin. Oligohidramnion, polihidrarnnion, hidrops nonimun, asites janin, gangguan
pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidrosefalus), kalsifikasi
intrakranial, hepatosplenomegali, dan kalsifikasi intrahepatik.
Terapi dan Konseling
Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada pengobatan infeksi
kongeniml. Dengan demikian, dalam konseling infeksi primer yang teriadi pada umur
kehamilan <20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis pranatal kemungkinan dapat
dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna mengobati infeksi CMV yang
serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita dengan Acquired Immunodeficienqt
Syndrone (AIDS) serta tindakan profilaksis untuk mencegah infeksi CMV setelah
transplantasi organ. Obat yang digunakan untuk anti CMV untuk saat ini adalah Ganciclovir,
Foscarnet, Cidofivir dan Valaciclovir, tetapi sampai saat ini belum dilakukan evaluasi di
samping obat tersebut dapat menimbulkan intoksikasi serta resistensi. Pengembangan vaksin
perlu dilakukan guna mencegah morbiditas dan mortalitas akibat infeksi kongenital
3. Toksoplasmosis Kongenital
Aspek Klinik dan Perilaku Biologik Toksoplasma Kongenital
Transmisi toksoplasma kongenital hanya teriadi bila infeksi toksoplasma akut terjadi selama
kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu selama kehamilan yang telah memiliki antibodi
antitoksoplasma karena sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir memperoleh infeksi
kongenital adalah sebesar 4-7/1000 ibu hamil. Risiko meningkat menjadi 50/1.000 ibu hamil
bila ibu tidak mempunyai antibodi spesifik
Keadaan parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal menyebabkan parasit dapat
mencapai plasenta. Selama invasi dan menetap di plasenta parasit berkembang biak serta
sebagian yang lain berhasil memperoleh akses ke sirkulasi janin. Telah diketahui adanya
korelasi antara isolasi toksoplasma di jaringan plasenta dan infeksi neonatus, artinya bahwa
hasil isolasi positif di jaringan plasenta menunjukkan terjadinya infeksi pada neonatus dan
sebaliknya hasil isolasi negatif menegaskan infeksi neonatus tidak ada.
Berdasarkan hasil pemeriksaaan otopsi neonatus yang meninggal dengan toksoplasmosis
kongenital ini disusun suatu konsep bahwa infeksi yang diperoleh janin dalam uterus terjadi
melalui aliran darah serta infeksi plasenta akibat toksoplasmosis merupakan tahapan penting
setelah fase infeksi maternal dan sebelum terinfeksinya janin.
Selanjutnya konsepsi ini berkembang lebih jauh dengan hasil-hasil penelitian sebagai berikut.
 Frekuensi infeksi toksoplasmosis kongenital sama dengan frekuensi infeksi plasenta
 Tiap-tiap kasus bergantung pada usia kehamilan saat terjadinya infeksi maternal serta
apakah ibu memperoleh pengobatan selama kehamilan
Diagnosis Pranatal
Menyadari besarnya dampak toksoplasmosis kongenital pada janin, bayi, serta anak-anak
disertai kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin pranatal pada ibu hamil, maka para
klinisi/obstetrikus memperkenalkan metode baru yang merupakan koreksi atas konsep dasar
pengobatan toksoplasmosis kongenital yang lampau. Konsep lama hanya bersifat empiris dan
berpedoman pada hasil uji serologik ibu hamil. Saat ini pemanfaatan tindakan kordosentesis
dan amniosintesis dengan panduan ultrasonografi guna memperoleh darah janin ataupun
cairan ketuban sebagai pendekatan diagnostik merupakan ciri para obstetrikus pada dekade
90-an. Selanjutnya segera dilakukan pemeriksaan spesifik dan rumir yang sifatnya
biomolekular atas komponen janin tersebut (darah atau cairan ketuban) dalam waktu relatif
singkat dengan ketepatan yang tinggi. Hasilnya sangat menentukan untuk pengobatan
selanju:nya. lJpaya ini dikenal dengan diagnostik pranatal
Bahkan, diagnostik pranatal dipandang lebih efektif untuk menghindari atau menekan risiko
toksoplasmosis kongenital karena upaya prevensi primer pada ibu hamil berupa nasihat
menghindari makanan/minuman yang kurang dimasak kurang berhasil. Oleh karena itu,
upaya diagnostik pranatal disebut sebagai prevensi sekunder.
Diagnosis pranatal umumnya diiakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu (trimester II).
Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut.
 Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun amniosentesis
(aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan ultrasonografi.
 Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblas, ataupun
diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti isolasi parasit, ditunjukkan untuk
mendeteksi adanya parasit. Pemeriksaan dengan teknik P.C.R. guna mendeteksi D.N.A.
T. gondii pada darah janin atau cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada
darah janin guna mendeteksi antibodi IgM janin spesifik (anti toksoplasma).
 Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit (monosit dan
eosinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CD8. Daffos et al. (1988)
mengembangkan tindakan diagnosis pranatal untuk toksoplasmosis kongenital dengan
serial/berulang. Dikatakan prosedur ini relatif aman bila mulai dilakukan pada
umur.kehamilan 19 minggu dan seterusnya.
Diagnosis toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan ypng
menunjukkan adanya IgM janin spesifik (antitoksoplasma) dari darah janin. Ditemukan
parasit pada kultur ataupun inokulasi tikus dan D.N.A. dari T. gondii dengan P.C.R. darah
janin ataupun cairan ketuban.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan karena sangar menentukan agar rpaya diagnostik
pranatal menjadi aman, rerpercaya, dan efisien adalah sebagai berikut.
 Didahului oleh skrining serologik maternal/ibu hamii, hasilnya harus memenuhi kriteria
tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari 4 syarat di
bawah ini terpenuhi, akan dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.
 antibodi IgM+
 Serokonversi dengan interval waktu 2 sampai 3 minggu, perubahan dari seronegatif
menjadi seropositif IgM dan IgG.
 Titer IgG yang tinggi >1/1024 (ELISA)
 Aviditas IgG <200
 Keterampilan klinisi melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan tuntunan
ultrasonografi.
 Kecermatan dan keterampilan yang terlatih dalam menger.jakan pekerjaan rumit dan
khusus di laboratorium di antaranya meliputi kultur, inokulasi, teknik ELISA, dan P.C.R.
Terapi dan Pencegahan
Terapi diberikan terhadap 3 kelompok penderita berikure
 Kehamilan dengan infeksi akut
 Spiramisin
Spiramisin, suatu antibiotika macrolide dengan spektrum anribakterial: konsentrasi
tertentu yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan ataupun membunuh
organisme belum diketahui. Di jaringan obat ini ditemukan kadar,/konsentrasi yang
tinggi terutama pada plasenta tanpa melewatinya serta aktif membunuh takizoit
sehingga menekan transmisi transplasental. Spiramisin pada orang dewasa diberikan
2-4 g/hari per oral dibagi dalam 4 dosis untuk 3 minggu, diulangi setelah 2 minggu
sampai kehamilan aterm.
 Piremitamin
Piremitamin, adalah fenilpirimidin obat antimalaria, terbukti juga sebagai pengobatan
radikal pada hewan eksperimental yang dikenakan infeksi toksoplasmosis. Obat ini
bertahan lama dalam darah dengan waktu paruh plasma 100 jam (4-5 hari). Guna
menghindari efek akumulatif pada jaringan, pemberian obat dianjurkan setiap 3-4
hari. Piremitamin dan sulfadiazin bekerja sinergik menghasilkan khasiat 8 kali iebih
besar terhadap toksoplasma. Kedua obat ini bekerja memblokir jalur metabolisme
asam folat dan asam para aminobenzoat parasit karena menghambat ker;'a enzim
dihidrofolat reduktase dengan akibat terganggunya pertumbuhan stadium takizoit
parasit. Kombinasi kedua obat ini mengakibatkan efek toksisitas yang tinggi.
Sulfadiazin menimbulkan reaksi hematuria dan hipersensitivitas. Piremitamin
menyebabkan depresi sumsum tulang secara gradual dan reversibel dengan akibat
penunlnan platelet, leukopenia, dan anemia yang menyebabkan tendensi perdarahan.
Untuk mengantisipasi hal ini perlu pemeriksaan sel darah tepi dan platelet 2 kali
seminggu serta penggunaan asam folinik dalam bentuk kalsium leukovorin yang
mqnghambat efek depresi sumsum tulang dari piremitamin. Bersama asam folinik
ditambahkan pula ragi yang tidak akan merugikan pengobaun toksoplasmosis.
Dilaporkan pula piremitamin bersifat teratogenik. Thalhammer dan Kraubig
menganjurkan pemakaian obat ini dimulai trimester II setelah umur kehamilan 14
minggu guna menghindari efek teratogenik pada janin. Kombinasi piremitamin,
sulfadiazin, dan asam folinik sebagai penggunaan simultan diberikan selama 21 hari.
Dosis piremitamin diberikan sebesar 1 mg/kg/hari secara oral untuk 3-4 hari.
Sulfadiazin 50-100 mg/kg/hari/oral dibagi 2 dosis serta asam folinik 2 kali 5 mg
injeksi intramuskular tiap minggu selama pemakaian piremitamin. Klindamisin cukup
efektif terhadap takizoit, tetapi dapat menyebabkan kolitis ulseratif.
 Toksoplasma kon genital
Sulfadiazin dengan dosis 50 - 100 mg/kg/hari dan piremitamin 0,5 - 1 mg/kg diberikan
setiap 2 - 4 hari selama 20 hari. Disertakan juga injeksi intramuskular asam folinik 5 mg
setiap 2 - 4 hari untuk mengatasi efek toksik piremitamin terhadap multiplikasi sel.
Pengobatan dihentikan ketika anak berumur 1 tahun karena diharapkan imunitas
selulernya telah memadai untuk melawan penyakit pada masa tersebut.
 Penderita imunodefisiensi
Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak diobati. Pengobatan di
sini sama halnya dengan toksoplasmosis kongenital yaitu menggunakan piremitamin,
sulfadiazin, dan asam folinik dalam jangka panjang. Piremitamin dan sulfadtazin dapat
melalui barier otak.
Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan atas populasi yang berisiko
seperti ibu hamil dengan seronegatif.
Upaya tersebut adalah sebagai berikut
 Dianjurkan memakan semua sayur-sa),uran dan daging yang dimasak. Ookista mati dengan
pemanasan 90' C selama 30 detik, 80' C untuk 1 menit dan 70' C untuk 2 menit. Makanan
yang dibekukan bukan merupakan sumber kontaminasi.
 Skrining serologik pramarital yang dilan.iutkan skrining bulanan selama kehamilan bagi ibu
hamil dengan seronegatif.
Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan
makan daging kurang matang, adanya kucing yang terutama dipelihara sebagai binatang
kesayangan, adanya tikus dan burung sebagai hosper perantara yang merupakan binatang
buruan kucing, adanya sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memindahkan
ookista dari tinja kucing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan
ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah.
Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk T. gondii,
transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10
juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1 - 5 hari dan
dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang Panas dan lembab. Ookista mati pada suhu 45'- 55`
C, juga mati bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia, atau larutan iodium.
Transmisi melalui bentuk ookista. menunjukkan infeksi T gondii pada orang yang tidak senang
makan daging atau terjadi pada binatang herbivore
Untuk mencegah infeksi T gondii (terutama pada ibu hamil) harus dihindari makan daging
kurang matang yang mungkin mengandung kista jaringan dan meneian ookista marang yang
terdapat dalam tinja kucing. Kista jaringan dalam daging tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan
sampai 66o C atat diasap. Setelah memegang daging mentah (jagal, tukang masak), sebaiknya
tangan dicuci bersih dengan sabun. Makanan harus ditutup rapar supaya tidak dijamah lalat atau
lipas. Sayur-mayur sebagai lalap harus dicuci bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya
diberi makanan matang dan dicegah berburu tikus dan burung.
Pada prinsipnya penggunaaan vaksin belum dimulai untuk toksoplasmosis pada manusia. Akan
tetapi, menyadari bahaya toksoplasma terhadap individu-individu imunodefisiensi, ibu hamil,
dan meningkatnya kerugian ekonomis akibat toksoplasmosis pada hewan, maka pengembangan
vaksin mulai dipikirkan. Arouio (1994) melaksanakan idenya dalam srudi awal dengan model
tikus untuk pengembangan vaksin.
Prinsipnya adaiah menginduksi respons imun dalam usus karena infeksi dengan T. gondii utama
terjadi pada kelenjar getah bening mesenterik. Di sini tidak digunakan adjuvan tetapi fungsinya
diganti oleh immunostimulating comPldes (ISCOMS), yaitu suatu formulasi protein dalam
matriks yang terdiri atas lipid dan Quikl A (saponin yang dimurnikan). Kemudian ke dalamnya
ditumpangkan membrane antigen

Anda mungkin juga menyukai