Anda di halaman 1dari 10

Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat

Universitas Tanjungpura Pontianak


Hal 651-660

EFEK SAMPING PENGGUNAAN DAUN SUNGKAI (Peronema canescens Jack)


SEBAGAI OBAT TRADISIONAL SUKU LEMBAK PADA MENCIT (Mus musculus)

SIDE EFFECK OF THE SUNGKAI´S LEAF (Peronema canescens Jack) IN


LEMBAK TRIBES TRADISIONAL MEDICINE OF MICE (Mus musculus)

Ariefa Primair Yani dan Ari Yoga Pratama


Prodi Pendidikan Biologi Jurusan P.MIPA FKIP Universitas Bengkulu.
Email : ariefapyani@yahoo.com

ABSTRACT
The aim of this research wastodeterminethe side effects of extract of Sungkai leaves
(Peronema canescens)to the development offetalmorphology of mice (Mus musculus).
Research methods to test teratogenity of Sungkai leaves extract, by dividing the 5 groups
of mice with 5 treatments and 5 replications.(P0) control,was treated with pure water, (P1)
dose of 0.1875 mg/gbb, (P2) dose of 0.375 mg/gbb, (P3) dose of 0.5625 mg/gbb, (P4)
dose of 0.75 mg/gbb. Data were analyzed by ANOVA. The results showed that extract of
Sungkai leaves (Peronema canescens) until dose 0.75 mg/gbb on the parent Mus
musculus in the period of organogenesis did not provide a statistically significant effect on
the growth and development of the fetalexternal of Mus musculus. The result showed that
until dosage 0.75 mg/gbb of extract of Sungkai leaves (Peronema canescens) declared
safe.

Keyword : Sungkai, mice , Lembak Etnis

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan, untuk mengetahui efek samping pemberian ekstrak daun P.
canescens terhadap perkembangan morfologi fetus M. Musculus. Metode penelitian
dengan melakukan uji teratogenitas ekstrak daun sungkai, dengan membagi 5 kelompok
mencit dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. (P0) kontrol, dengan diberi aquades, (P1)
dosis 0,1875 mg/gbb, (P2) dosis 0,375 mg/gbb, (P3) dosis 0,5625 mg/gbb, (P4) dosis
(0,75 mg/gbb). Data dianalisa dengan anova. Hasil penelitian menunjukan bahwa
pemberian ekstrak daun Sungkai (P.canescens) hingga 0,75 mg/gbb pada induk Mus
musculus pada periode organogenesis tidak memberikan pengaruh yang signifikan
secara statistik terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksternal fetus Mus musculus.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan ekstrak daun sungkai hingga dosis 0,75
mg/gbb dinyatakan aman.

Kata kunci : Sungkai, Mencit , Suku Lembak

1. PENDAHULUAN

Tanaman obat banyak tumbuh di Indonesia, salah satunya adalah tanaman


sungkai (P. canescens.Jack). Suku Dayak di Kalimantan Timur masih tetap
mempertahankan tradisi dengan memanfaatkan tumbuhan di sekitarnya untuk
pengobatan ataupun perawatan kesehatan misalnya tanaman sungkai (P. canescens.
139
Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat
Universitas Tanjungpura Pontianak
Hal 651-660

Jack) suku verbenaceae yang pada bagian daun muda digunakan sebagai obat pilek,
demam, obat cacingan (ringworms), dijadikan campuran mandian wanita setelah bersalin
dan sebagai obat kumur pencegah sakit gigi. Sebagian masyarakat di Sumatera Selatan
dan Lampung memanfaatkan daun sungkai (P. canescens. Jack) sebagai obat malaria
dan obat demam (Harmida, 2011). Di Malaysia, digunakan dalam hal yang sama namun
juga sering digunakan untuk menghilangkan infeksi kurap (Wiart, 2006).
Dari daun sungkai telah diisolasikan Peronemin oleh Kitagawa, et al (1994) yang
merupakan golongan dari jenis senyawa kimia diterpenoid. Dimana senyawa terpenoid
sebelumnya merupakan senyawa yang mempunyai efek antimikroba. (Ningsih, et al.
2012). Sarah, et al (2012) telah meneliti bahwa buah andaliman (Zanthoxylum
acanthopodium DC.) yang mengandung jenis senyawa kimia seperti terpenoid dan steroid
dapat menyebabkan malformasi pada pertulangan wajah (kraniofacial) fetus mencit yang
meliputi pengecilan ukuran mata (microphthalmia), dan hidrosefalus.
Penelitian mengenai tumbuh-tumbuhan dan kandungan senyawa metabolit
sekunder telah banyak dilakukan. Tumbuhan yang dimanfaatkan bagi kehidupan manusia
banyak mengandung senyawa aktif terutama metabolit primer yang dalam tumbuhan
kemudian diproses lebih lanjut sehingga menghasilkan senyawa yang disebut dengan
senyawa metabolit sekunder. Senyawa metabolit sekunder merupakan komponen aktif
dalam tumbuhan yang banyak dimanfaatkan dibidang kedokteran atau farmakologi dan
pertanian. Diterpenoid tipe clerodane, dinamakan peronemin telah diisolasi dari daun P.
canescens (Verbenaceae), salah satu tanaman obat Indonesia yang dikumpulkan di
daerah Bengkulu, Pulau Sumatera, Indonesia (Kitagawa, et al. 1994). Senyawa
diterpenoid merupakan senyawa yang mempunyai 20 atom karbon dan dibangun oleh 4
unit isopren. senyawa ini mempunyai bioaktifitas yang cukup luas yaitu sebagai hormon
pertumbuhan tanaman, podolakton inhibitor pertumbuhan tanaman, antifeedant serangga,
inhibitor tumor, senyawa pemanis, anti fouling dan anti karsinogen. Senyawa diterpenoid
dapat berbentuk asiklik, bisiklik, trisiklik dan tetrasiklik dan tatanama yang digunakan lebih
banyak adalah nama trivial (Lenny. 2005).

Rebusan daun sungkai merupakan salah satu tanaman obat yang telah lama
digunakan oleh Suku Lembak Bengkulu untuk mengobati malaria, demam tinggi dan
untuk menjaga kesehatan (Yani, 2013). Hasil penelitian Yani, dkk, 2014, ekstrak daun
sungkai dapat menurunkan panas 11%, dan menambah kesehatan sebesar 32%.
Sedangkan ekstrak daun sungkai dapat menghambat pertumbuhan plasmodium sebesar
15% (Martono dan Yani, 2015). Dengan banyaknya digunakan daun sungkai sebagai
obat, maka perlu diuji keamananya dalam penggunaanya.

140
Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat
Universitas Tanjungpura Pontianak
Hal 651-660

Pengujian bahan obat yang ditujukan untuk penggunaan pada manusia, perlu
diteliti dengan menyertakan subjek manusia sebagai subyek penelitian akhir (final test
tube). Relawan manusia secara etis boleh diikutsertakan jika bahan yang akan diuji telah
lolos pengujian di laboratorium secara tuntas, dilanjutkan dengan menggunakan hewan
percobaan untuk kelayakan dan keamanannya. Berbagai hewan kecil memiliki
karakteristik tertentu yang relatif serupa dengan manusia, sementara hewan lainnya
mempunyai kesamaan dengan aspek fisiologis metabolis manusia. Tikus putih sering
digunakan dalam menilai mutu protein, toksisitas, karsinogenik, dan kandungan pestisida
dari suatu produk bahan pangan hasil pertanian (Ridwan, 2013).

Mencit M. Musculus merupakan hewan pengerat yang sangat mudah


berkembangbiak, dan mudah dalam pemeliharaannya.. Hal ini sangat menguntungkan
dalam eksperimen/riset, karena mencit dapat berkembang biak sepanjang tahun. Mencit
adalah salah satu dari beberapa spesies mamalia yang urutan genomnya dapat
dideterminasi dan secara teknis tidak mengalami perubahan genetik dari setiap
perkembangan generasinya. Sehingga mencit dapat dikategorikan bersyarat sebagai
hewan eksperimen (Guénet, et al. 2012).
Embriogenesis merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan embrio. Tahap
perkembangan mamalia (termasuk manusia) diawali dengan peristiwa fertilisasi yakni
pertemuan/peleburan sel sperma dengan sel ovum. Fertilisasi ini selanjutnya akan
menghasilkan sel individu baru yang disebut dengan zygote dan akan melakukan
pertumbuhan dan perkembangan menuju embrio. Organogenesis yaitu proses
pembentukan organ-organ tubuh pada makhluk hidup (manusia dan hewan). Tahapan
embriogenesis dan organogenesis dalam perkembangannya selalu sejalan, salah satunya
perkembangan organ-organ anggota tubuh. (Maryunani, 2010). Teratogenesis adalah
pembentukan cacat bawaan atau perkembangan embrio yang abnormal, dan kelainan ini
merupakan penyebab utama morbiditas serta mortilitas pada bayi baru lahir. Hal ini terjadi
karena zat kimia, radiasi ion, virus, dan kekurangan gizi (Bailey, 2005).

Tumbuhan sungkai yang telah diteliti sebelumnya sebagai tumbuhan berkhasiat


obat, belum dilakukan penelitian mengenai efek teratogenik yang ditimbulkan. Untuk
melihat kemungkinan efek teratogenik ekstrak sungkai P. Canescens maka dilakukan
penelitian dengan cara menguji pengaruhnya terhadap pertumbuhan fetus mencit (Mus
musculus) pada masa organogenesis. Hal ini didasari bahwa meskipun obat yang
berasal dari tumbuhan dipercaya memiliki efek samping yang kecil, akan tetapi
bahan-bahan kimia yang terkandung di dalamnya dapat juga mempengaruhi kondisi
fetus.
141
Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat
Universitas Tanjungpura Pontianak
Hal 651-660

Dari uraian diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh
pemberian ekstrak daun P. canescens terhadap perkembangan morfologi fetus M.
musculus.

2. METODE PENELITIAN
Bahan dan alat
Mencit (Mus musculus L) Swiss Webster, berumur 10-12 minggu, dengan berat
badan berkisar 26-31g, jumlah 25 ekor betina dan10 ekor jantan. Kandang mencit
dirangkai dengan menggunakan nampan plastik yang diberi sekam padi sebagai alas
dan ditutup dengan ram kawat hingga sedemikian rupa. Pakan dan air diberikan secara
ad libitum (jumlah pakan yang selalu tersedia). Ekstrak daun sungkai, alkohol 70%,
aquades, dan pisau bedah.

Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan
5 perlakuan dan 5 ulangan. Pengelompokan hewan uji berdasarkan rumus Federer : (n-1)
(t-1) ≥ 15, dimana (t) merupakan jumlah ulangan untuk setiap perlakuan dan (n) adalah
jumlah perlakuan (Hanafiah, 2003). Dalam penelitian ini, masing-masing perlakuan terdiri
dari 5 ekor mencit bunting, yaitu (P0) kontrol yang hanya diberikan Akuadest, (P1) , (P2) ,
(P3) dan (P4).

Prosedur Penelitian
Penyiapan dan perawatan hewan uji Mencit (Mus musculus L) Swiss Webster
dibeli dari peternakan mencit, berumur 10-12 minggu, dengan berat badan berkisar 26-
31g, dengan jumlah 30 ekor betina dan10 ekor jantan, kemudian mengawinkan Induk
betina, percampuran dilakukan pada sore hari. Kemudian keesokan harinya vagina
mencit betina diperiksa, jika terdapat sumbat vagina ini menandakan telah terjadi
kopulasi dan hari itu ditetapkan sebagai usia kebuntingan (UK) 0 hari.
Pembuatan ekstrak daun P. canescens yang digunakan dalam keadaan basah,
setelah dikeringkan dihasilkan simplisia. Simplisia tersebut kemudian direndam dalam
pelarut alkohol 96% selama 10 hari. Proses perendaman ini disebut dengan proses
maserasi. Setelah 10 hari, dilakukan pemekatan dengan vacum evaporator untuk
memperoleh larutan ekstrak yang pekat. Setelah dipekatkan, larutan ekstrak
menghasilkan ekstrak dalam bentuk pasta. Berdasarkan Yani (2013) bahwa kebiasaan
masyarakat suku Lembak untuk penggunaan daun muda P. canescens sebagai obat
142
Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat
Universitas Tanjungpura Pontianak
Hal 651-660

penurun panas adalah segenggam tangan orang dewasa. Jika diasumsikan berat basah
segenggam daun P. canescens adalah 30 g, berat tubuh rata-rata orang dewasa adalah
50 kg dan berat mencit yang akan digunakan berumur ± 8 minggu rata-rata 30 g. Hal ini
dijadikan dasar konversi dosis ekstrak daun muda sungkai P. Canescens terhadap
mencit dewasa.

Sebelum diberi perlakuan hewan percobaan P(0), P(1), P(2), P(3) dan P(4)
dikondisikan pada fase kebuntingan/kehamilan. Pengkondisian tersebut dengan cara
pengawinan dengan mencit jantan. Setelah umur kebuntingan 11 hari akan diberi
perlakuan yaitu pemberian ekstrak etanol daun P. canescens, pemberian ekstrak etanol
tersebut dengan metode gavage pada mencit yang sudah dikelompokan secara acak
berdasarkan dosis perkelompok. Setiap akan dilakukan gavage, berat badan mencit
ditimbang untuk mengetahui berapa dosis ekstrak etanol P. canescens yang harus
diberikan.

Tabel. Pemberian dosis pada uji teratogenitas ekstrak sungkai pada M. musculus

Jumlah
No Peralakuan Dosis ekstrak
Ulangan
1 (P01) diberi aquadest - 5
2 (P1) Diberi ekstrak Sungkai (P. 0,1875 mg/Kgbb 5
canescens) dosis 1
3 (P2) Diberi ekstrak Sungkai (P. 0,375 mg/Kgbb 5
canescens) dosis 2
4 (P3) Diberi ekstrak Sungkai (P. 0,5625 mg/Kgbb 5
canescens) dosis 3
5 (P4) Diberi ekstrak Sungkai (P. 0,75 mg/Kgbb 5
canescens) dosis 4

Pada hari ke-18 masa kebuntingan, hewan uji dibedah untuk diamati fetusnya.
Pembedahan diawali dengan dislokasi leher. Mencit yang dibedah harus dalam kondisi
mati. Pembedahan dilakukan dengan gunting bedah dengan posisi mencit telentang
dan pengguntingan dimulai dari bagian perut. Pembedahan diusahakan tidak
mengenai atau merusak bagian uterus..Jumlah implantasi dicatat yang terdiri dari
jumlah fetus yang hidup, jumlah fetus yang mati, dan jumlah fetus yang resorbsi.
Selanjutnya dilakukan pengamatan eksternal, fetus selanjutnya ditimbang untuk
mengetahui massanya. Pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan benang
mulai dari ujung hidung fetus mencit sampai dengan ujung ekor, kemudian panjang
benang yang diukur menggunakan mistar dan dicatat. Setelah pengukuran panjang
dilakukan pengamatan terhadap kemungkinan cacat atau abnormalitas organ eksternal

143
Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat
Universitas Tanjungpura Pontianak
Hal 651-660

fetus yang meliputi bagian kepala, kaki depan, kaki belakang maupun bagian ekor
(Setiawan, 2009).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Efek Ekstrak Daun Muda Sungkai terhadap Prosentase Fetus Hidup, Cacat,
dan Kematian pada Hari ke-18 Kebuntingan

Tabel. Presentase fetus hidup, mati, dan cacat

Jumlah Rerata Prosentase fetus (%)


No Perlakuan/dosis Induk
Hidup Cacat Mati
(ekor)
1. Kontrol 5 100 0 0
2. P 1(0,187 mg/Kgbb) 5 92,4 7,8 7,5
3. P 2(0,375 mg/Kgbb) 5 96,4 11,8 3,5
4. P 3(0,562 mg/Kgbb) 5 87,3 6,3 12,6
5. P 4(0,75 mg/Kgbb) 5 89,2 5,3 9,07

Tabel di atas menunjukkan bahwa presentase fetus hidup untuk perlakuan kontrol
dan perlakuan P1, P2, P3, dan P4 terjadi pengurangan presentase fetus hidup dan untuk
presentase fetus cacat dan fetus yang mengalami kematian terlihat mulai timbul pada
perlakuan yang diberi ekstrak (P1, P2, P3, P4). Namun, presentase fetus hidup, fetus
cacat dan presentase fetus yang mengalami kematian antara perlakuan kontrol dan
perlakuan dengan ekstrak (P1, P2, P3, P4) tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna/tidak signifikan secara statistik berdasarkan uji ANOVA Satu Faktor (α > 5 %) .
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun muda Sungkai (P.canescens) tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap presentase fetus hidup, fetus cacat, dan
fetus yang mengalami kematian. Meskipun tidak signifikan secara statistik tetapi ekstrak
daun Sungkai (P.canescens) mempunyai kecenderungan bersifat embriotoksik (meracuni
embrio), yang ditunjukkan pada grafik 1 dimana pada perlakuan yang diberi ekstrak (P1,
P2, P3, P4) terlihat mulai timbul kecacatan dan kematian embrio meskipun masih dalam
presentase yang tergolong sedikit (<40%) (Bailey, 2005).
Beberapa fetus yang mengalami kecacatan dan kematian pada perlakuan yang
diberikan ekstrak daun muda Sungkai (P.canescens) seperti terlihat pada table di atas
menunjukkan bahwa kandungan terpenoid dalam Sungkai (P.canescens) diduga
memberikan pengaruh teratogen (kelainan bawaan) yang memunculkan efek
embriotoksik (meracuni embrio), dimana efek embriotoksik suatu zat dapat muncul jika
terakumulasi pada embrio yang secara genetika peka (Harewijn, et al. 2000).
Tidak signifikannya prosentase fetus hidup, fetus cacat, dan fetus yang mengalami
kematian antara perlakuan kontrol dan perlakuan ekstrak (P1, P2, P3, P4) dikarenakan
kandungan zat-zat teratogen seperti terpenoid pada Sungkai (P.canescens) diduga belum
144
Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat
Universitas Tanjungpura Pontianak
Hal 651-660

memberikan resiko teratogenik yang cukup fatal, dimana prosentase kecacatan dan
kematian masih dibawah 40% (Bailey, 2005), walaupun terpenoid sebelumnya
merupakan senyawa toksik kontak (Direct toxic) yang digunakan sebagai antimikroba dan
racun alami serangga (Harewijn, 2000).

P0 P1 P2 P3 P4

Gambar 1. Perbandingan morfologi fetus tikus kontrol, perlakuan 1, perlakuan 2,


perakuan 3, dan perlakuan 4.

Sedikitnya (< 40%) tingkat kecacatan pada fetus yang diberi perlakuan Sungkai
(P.canescens) pada induk seperti yang terlihat pada table 1 menjadi dugaan bahwa
senyawa diterpenoid didalam sungkai yang diperkirakan hanya menimbulkan efek toksik
yang rendah (Ningsih, et al.2012). Menurut Harewijn, et al (2000) bahwa sebagian
senyawa terpenoid yang dihasilkan oleh bahan alam memiliki toksisitas rendah terhadap
beberapa hewan vertebrata.
Beberapa kelainan yang muncul pada fetus yang diberikan perlakuan Sungkai
(P.canescens) paling banyak ditemukan adalah Hemoragi, dimana keluarnya darah dari
sistem kardiovaskuler disertai penimbunan dalam ruangan atau jaringan tubuh (Wilson
dalam Alfiandi, 2013). Kemungkinan terjadi karena ekstrak yang diberikan cukup
memberikan ketidakseimbangan osmotik dalam darah, dimana zat asing dalam ekstrak
diduga dapat mengubah tekanan osmosis. Ketidakseimbangan osmotik dapat disebabkan
gangguan tekanan dan viskositas cairan pada bagian embrio yang berbeda, antara
plasma darah dan ruang ekstra-kapiler atau antara cairan ekstra dan intra embrionik.
Perbedaan ini menyebabkan pembuluh darah pecah dan terjai hemoragi (Wilson dalam
Alfiandi, 2013).
Fetus mati kemungkinan disebabkan kematian sel-sel pada tahap akhir proliferasi
sehingga hanya sebagian sel yang dapat diperbaiki dan pada saat pembedahan proses
resorbsi oleh induk belum sempurna sehingga biasanya fetus yang mati ditemukan dalam
145
Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat
Universitas Tanjungpura Pontianak
Hal 651-660

keadaan cacat. Fetus yang hidup mempunyai daya tahan paling tinggi terhadap zat asing
yang masuk. Fetus ini mampu mengadakan perbaikan kembali sel-sel yang rusak atau
mati dengan sel yang baru sehingga memungkinkan fetus untuk bertahan hidup.
Kematian intrauterus seperti resorbsi dan fetus mati kemungkinan dapat pula disebabkan
oleh adanya kontraksi otot uterus selama masa organogenesis akibat pemberian ekstrak
buah Sungkai (P.canescens) (Widyastuti, et al. 2006).
Berat dan panjang fetus perlakuan tampak pada Tabel di bawah, menunjukkan
bahwa sejalan dengan peningkatan dosis Sungkai (P.canescens) yang diberikan pada
induk selama periode organogenesis cenderung menyebabkan pertambahan berat badan
dan panjang fetus.

Tabel. Rata-rata berat dan panjang fetus tikus dari induk yang diberi sungkai
dengan dosis bervariasi

Rata-rata
Jumlah
No Perlakuan/dosis Induk
Berat fetus panjang fetus
(ekor)
(gr) ± SD (cm) ± SD
1. Kontrol 5 0,85±0,23 4,32±0,49
2. P 1(0,187 mg/Kgbb) 5 0,96±0,28 4,50±0,48
3. P 2(0,375 mg/Kgbb) 5 0,96±0,20 4,50±0,17
4. P 3(0,562 mg/Kgbb) 5 0,86±0,31 4,84±0,05
5. P 4(0,75 mg/Kgbb) 5 1,07±0,27 4,82±0,30

Hasil dengan uji ANOVA (lampiran 2) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan diantara keempat perlakuan. Dari data perlakuan dengan ekstrak P1, P2, P3,
dan P4 memiliki rata-rata berat dan panjang fetus yang tidak jauh berbeda dengan
kelompok kontrol dan hanya sedikit terjadi kenaikan berat dan panjang fetus. Kenaikan
berat badan dan panjang fetus dipengaruhi oleh hormone pertumbuhan, dimana hormon
pertumbuhan sangat penting untuk pertumbuhan embrio yang akan mempengaruhi
metabolisme protein, elektrolit, karbohidrat, dan lemak (Ganong dalam Widyastuti, 2006).
Sekresi hormon pertumbuhan dikontrol melalui hipotalamus dengan mensekresi Growth
Hormone-Releasing Hormone (GHRH) dan Growth Hormone-Inhibiting Hormone (GHIH)
ke dalam darah yang akan mempengaruhi sel somatotrof dalam memproduksi hormon
pertumbuhan. Kenaikan berat dan panjang pada fetus yang diberi perlakuan tersebut
kemungkinan karena kerja hipotalamus dalam mensekresi GHRH dan GHIH terganggu
oleh adanya terpenoid dalam ekstrak daun muda Sungkai (P.canescens) diduga
merupakan xenobiont (zat asing dalam tubuh) (Widyastuti, 2006).
Dilakukan pengukuran berat badan dan panjang fetus dikarenakan parameter ini
cukup sensitif jika dibandingkan dengan malformasi dan kematian. Penyusutan berat dan

146
Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat
Universitas Tanjungpura Pontianak
Hal 651-660

panjang badan merupakan bentuk teringan dari ekspresi teratogen sehingga mampu
menjadi indikator terjadinya hambatan pertumbuhan akibat gangguan terhadap proses-
proses yang mendasari pertumbuhan seperti pembelahan sel, metabolisme, dan sintesis
di dalam sel. Laju pertumbuhan dan perkembangan janin menentukan variasi ukuran
anakan, individu yang mengalami malformasi (kecacatan) umumnya lebih kecil
dibandingkan individu normal, sehingga hambatan pertumbuhan suatu organ
merefleksikan hambatan pertumbuhan secara umum..

4. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Dosis ekstrak


Sungkai (P.canescens) yang diberikan hingga 0,75 mg/Kgbb pada induk Mus musculus
pada periode organogenesis tidak memberikan efek samping yang signifikan secara
statistik terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksternal fetus Mus musculus. Sejauh
ini penggunaan daun sungkai sebagai obat dinyatakan aman.
Saran penelitian selanjutnya terhadap efek teratogenik Sungkai (P.canescens)
dengan menggunakan dosis yang lebih tinggi untuk melihat pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan eksternal dan terhadap osifikasi (internal) fetus Mencit
serta dapat dilanjutkan dengan pengujian teratogenik modern secara in vitro.

5. DAFTAR PUSTAKA

[1]. Alfiandi, Venty. 2013. Uji Teratogenik Infusa Daun Pegagan (Centella asiatica [L.]
Urban) pada Mencit Betina (Mus musculus). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
2 (1): 1-15.
[2]. Bailey, J., Knight, A., dan Balcombe, J. 2005. The future of teratology research is in
vitro. Biogenic Amines 19 (2):97-145.
[3]. Guénet, J.L., Orth, A., dan Bonhomme, F. 2012. Origins and Phylogenetic
Relationships of the Laboratory Mouse. France: Elsevier Ltd.
[4]. Harrewijn, Paul., Oosten, A.M., Piron., P.G.M. 2001. Natural terpenoids as
messengers : a multidisciplinary study oftheir production, biologica1 functions,
and practical applications. Springer Science and Business Media Dordrecht:
Kluwer Academic Publisher.
[5]. Harmida., Sarno., dan Yuni, V.F. 2011. Studi Etnofitomedika di Desa Lawang Agung
Kecamatan Mulak Ulu Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian
Sains 14 (1, D): 14110.
[6]. Kitagawa, I., Simanjuntak, P., Hori, K., Nagami, N., Mahmud, T., Shibuya, H. and
Kobayashi, M. 1994. Indonesian Medical Plant. VII. Seven New Clerodane-Type
Diterpenoid, Peronemins A2, A3, B1, B2, B3, C1, and D1, from the Leaves of
Peronema canescens (Verbenaceae). Chem. Pharm. Bull., 42 (5): 1050-1055.
[7]. Lenny, Sovia. 2006. Senyawa Terpenoida dan Steroida. Medan: FMIPA Universitas
Sumatera Utara.

147
Prosiding Semirata2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat
Universitas Tanjungpura Pontianak
Hal 651-660

[8]. Maryunani, Anik. 2010. Biologi Reproduksi dalam Kebidanan. Jakarta: Trans Info
Media.
[9]. Martono, Agus, Yani Ariefa Primair dan Darmawan Rahmad, 2015. Potensial of
Extrack Young Leaf Sungkai as an Antiplasmodium. FKIP Unib Bengkulu.
Proseding Seminar Internasional Pendidikan.
[10]. Ningsih, A., Subehan., Djide, M.N. 2012. Potensi Antimikroba dan Analisis
Spektroskopi Isolat Aktif Ekstrak n-Heksan Daun Sungkai (Peronema
canescens.Jack) Terhadap Beberapa Mikroba Uji. Makassar: Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.
[11]. Ridwan, Endi. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian
Kesehatan. J Indon Med Assoc. 63 (3): 112-6.
[12]. Sarah, M., Sabri, E., dan Hutahean, S. 2012. Kelainan Perkembangan Kraniofacial
Fetus Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW Setelah Pemberian Ekstrak N-
Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.). Medan: FMIPA
Universitas Sumatera Utara.
[13]. Setiawan, Cahya. 2009. Efek Teratogenik Kombucha Pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus l.) Galur wistar. Surakarta: UNS. SKRIPSI..
[14]. Wiart, Christophe. 2006. Medicinal Plants of Asia and the Pacific. Boca Raton: CRC
Press Taylor & Francis Group.
[15]. Widyastuti, N., Widiyanti, T., dan Listyawati S. 2006. Efek Teratogenik Ekstrak Buah
Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus L.) Galur Winstar. Bioteknologi 3(2): 56-62.
[16]. Yani, Ariefa Primair. 2013. Kearifan Lokal Penggunaan Tumbuhan Obat Oleh Suku
Lembak Delapan Di Kabupaten Bengkulu Tengah. Lampung. FMIPA UNILA
Prosiding Semirata: .
[17]. Yani, Ariefa Primair dan Martono Agus, 2014. Examination of the Sungkai´s Young
Leaf Extrack Peronema canencens as an Antipiretic, Immunity, Antiplasmodium
and Teratogenity in Mice Mus muculus. Semarang. Undip. International Journal
of Science and Engeneering.

148

Anda mungkin juga menyukai