D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Dea Nurainun (856736279)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan Moral di SD?
2. Bagaimana Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi PKn di SD?
3. Bagaimana Hubungan Interaktif Pengembangan Nilai dan Moral Dalam
PKn di SD?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bentuk pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan
Moral di SD.
2. Untuk mengetahui bentuk pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi
PKn di SD.
3. Untuk mengetahui hubungan interaktif pengembangan Nilai dan Moral
dalam PKn di SD.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
prinsip baik buruk sedangkan moralitas merupakan kualitas pertimbangan baik
buruk. Dengan demikian, hakekat dan makna moralitas bisa dilihat dari cara
individu yang memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan.
Dengan demikian, hasil pembentukan sikap karakter anak pun dapat dilihat
dari tiga aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral. Konsep
moral (moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarness),
pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective
taking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decision making),
dan pengetahuan diri (self knowledge). Sikap moral (moral feeling) mencakup
kata hati (conscience), rasa percaya diri (self esteem), empati (emphaty), cinta
kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati
(and huminity). Perilaku moral (moral behavior) mencakup kemampuan
(compalance), kemauan (will) dan kebiasaan (habbit).
Dalam latar kehidupan masyarakat, proses pendidikan nilai sudah
berlangsung dalam berlangsung dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai
bentuk tradisi. Tradisi ini dapat dilihat dari petatah-petitih adat, tradisi lisan turun-
temurun Dalam latar kehidupan masyarakat, proses pendidikan nilai sudah
PISnueu seperti "kakawihan" di tatar Pasundan dan "berbalas pantun" di tatar
Melayu Walaupun demikian patut dicatat bahwa dengan begitu pesatnya
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, seperti Siaran Radio, dan
tayangan TV dari berbagai saluran dengan jam tayang yang panjang dan daerah
Iturasi untuk menghasilkan dalamnya yang berbudaya. simbol-simbol, kesenian
saat ini unsur-unsur tradisional tersebut terasa mulai terpinggirkan dan malah
terkalahkan. Contohnya tradisi dongeng dan sejenisnya yang dulu biasa dilakukan
oleh orang tua terhadap anak atau cucunya semakin lama semakin seperti
dongeng, nasihat, jaringan internet yang menyuguhkan aneka ragam informasi
secara tergeser oleh film kartun atau sinetron dalam media massa tersebut. Di
situlak pendidikan nilai menghadapi tantangan konseptual, instrumental, das
operasional. Sebagai salah satu unsur kebudayaan (Kuncaraningrat: 1978)
kesenian pada dasarnya merupakan produk budaya masyarakat yang melukiskan
penghayatan tentang nilai yang berkembang dalam lingkungan masyarakar pada
4
masing-masing jamannya. Berkaitan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, proses
“indiginasi”, yakni pemanfaatan kebudayaan daerah untuk pembelajaran mata
pelajaran lain dengan tujuan untuk mendekatkan pelajaran itu dengan lingkungan
sekitar siswa menjadi sangat penting.
5
(3) secara eksplisit perlu memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan, perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, keragaman
potensi daerah dan lingkungan dan peningkatan potensi, kecerdasan dan minat
peserta didik.
6
Dilihat dari substansi dan prosesnya, menurut Lickona (1992: 53-62 yang perlu
dikembangkan dalam rangka pendidikan nilai tersebut adalah ni karakater yang
baik (good character) yang di dalamnya mengandung tiga dimensi nilai moral
sebagai berikut.
7
diidentikkan dengan Civic Education di Amerika Serikat, nuansa kurikulernya
masih kental dengan sifat indoktrinasi dengan sedikit aplikasi pendekatan yang
pengembangan civic virtue dan civic culture, sesungguhnya belum banyak
mendapat perhatian. Dalam kondisi belum berkembangnya paradigma civic
education untuk Indonesia, pada tahun 1975/1976 muncul mata pelajaran
Pendidikan Mforal Pancasila (PMP) yang visi dan misinya berorientasi pada value
inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Kondisi ini
bertahan sampai disempurnakannya Kurikulum PMP tahun 1975/1976 menjadi
Kurikulum PMP tahun 1984, dengan visi dan misi yang sama namun dengan
muatan baru Pedoman Pemahaman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4)
atau Eka Prasetya Pancakarsa, dengan 36 butir nilai Pancasila sebagai muatannya.
Namun demikian visi dan misinya masih kental dengan value inculcation, yang
pada dasarnya merupakan improvisasi dari unavoidable indoctrination. Yang perlu
dicatat, adalah dengan berubahnya Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) menjadi
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) baik menurut Kurikulum tahun 1975/1976
maupun Kurikulum tahun 1984, pengembangan civic virtue dan civic culture
dalam praksis demokrasi, yang seyogyanya menjadi jati diri PKN, berubah
menjadi pendidikan prilaku moral, yang dalam kenyataannya lepas dari konteks
pendidikan cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi. Hal ini terjadi, seperti juga pada
perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975, antara lain karena belum
berkembangnya paradigma civic education yang melandasi dan memandu
pengembangan kurikulumnya.
8
PPK bertujuan untuk menanamkan sikap dan perilaku dalam kehidupan schari-
hari yang didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila.
9
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2001
"Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak
dan kewajibannya w menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter y diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945." Selanjutnya digariskan
dengn tegas bahwa PKn bertujuan " agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut”.
10
dasar dan menengah, memurut Permendiknas NO. 22 Tahun 2006 secara umum
meliputi substansi kurikuler yang di dalamnya mengandung:
11
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di cra globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional
dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.
12
pendidikan nilai khususnya pendidikan nilai moral. Tujuannya adalah agar peserta
didik menjadi melek etika, dan mampu berperilaku baik di dalam masyarakat.
Dalam konteks itu dunia pendidikan diharapkan semakin mampu mewujudkan
tujuan utama pendidikan, yakni mengembangkan individu yang "cerdas dan baik".
Lebih jauh juga Lickona (1992-6-7) melihat bahwa para pemikir dan
pembangun demokrasi, sebagai paradigma kehidupan di dunia Barat,
berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan aspek yang esensial bagi
perkembangan dan berhasilnya kehidupan demokrasi. Hal itu sangatlah beralasan,
karena demokrasi pada dasarnya merupakan suatu sistem pemerintahan dari, oleh
dan untuk rakyat. Sesungguhnyalah rakyat yang harus bertanggung jawab untuk
menjamin tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang bebas dan adil. Dalam
konteks itu setiap individu warga negara seyogianya mengerti dan memiliki
komitmen terhadap fondasi moral berlaku, partisipasi dalam kehidhupan
maryarakat, dan peduli terhakap perlunya kebaikan bagi umum. Berpijak dengan
penuh kesadaran pada pemikiran tersebut, sejak dini sekolah diharapkan mampu
mengambil peran yang aktif dalam merancang dan melaksanakan pendidikan nilai
moral yang bersumber dari kebajikan dan keadaban demokrasi. Dengan kata lain
pendidikan nilai dalam dunia barat adalah pendidikan nilai yang bertolak dari dan
bermuara pada nilai-nilai sosial-kultural demokrasi.
13
verbal anak (children verbal attitudes) terhadap berbagai aturan permainan,
perilaku schari-hari, mencuri, dan membohong. la mengidentifikasi bahwa ada
dua tingkat perkembangan moral pada anak usia antara 6-12 tahun yakni
heteronomi dan autonomi. Pada tingkatan heteronomi segala aturan oleh anak
dipandang sebagai hal yang datang dari luar jadi bersifat eksternal dan dianggap
sakral karena aturan itu merupakan hasil pemikiran orang dewasa.
1. Usia 0-2 tahun: Pada usia ini aturan dirasakan sebagai hal yang tidat 1.
bersifat memaksa
2. Usia 2-8 tahun: Pada usia aturan disikapi sebagai hal yang bersifat
sakat dan diterima tanpa pemikiran
3. Usia 8-12 tahun: Pada usia ini aturan diterima sebagai hasil
kesepakatan.
1. Usia 0-2 tahun: Pada usia ini aturan dilakukan sebagai hal yang hanya
bersifat motorik saja
2. Usia 2-6 tahun: Pada usia ini aturan dilakukan sebagai perilaku yang
Iebih ber orientasi diri sendiri
3. Usia 6-10 tahun: Pada usia ini aturan diterima sebagai perwujudan dari
kesepakatan.
4. Usia 10- 12 tahun: Pada usian ini aturan di terima sebagai ketentuan
yang dihimpun.
14
Bertolak dari teorinya itu Piaget menyimpulkan bahwa pendidikan sekolah
seyogyanya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil
keputusan (decision making skills) dan memecahkan masalah (problem solving)
dan membina perkembangan moral dengan cara menuntut Usia 10-12 tahun: Pada
usia ini aturan diterima sebagai ketentuan yang didik keadilan kepatutan
(fairness). Dengan kata lain, pendidikan nilai berdasarkan teori Piaget adalah
pendidikan nilai moral atau nila etis yang dikembangkan berdasarkan pendekatan
psikologi perkembangan moral kognitif. Di situlah pendidikan nilai
dititikberatkan pada pengembangan perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran
moral yang dicapai dalam konteks kehidupan Eund untuk mengembangkan
aturam berdasarkan USA, sejak tahun 1969 selama 18 tahun ia mengadakan
penelitian tentang perkembangan moral berlandaskan teori perkembangan kognitif
Piaget. la masyarakat. lain pihak, Lawrence Kohlberg. Professor pada Harvard
University, mengajukan postulat atau anggapan dasar bahwa anak membangun
cara Nernikir melalui pengalaman termasuk pengertian konsep moral seperti
Aoudilan, hak, persamaan, dan kesejahteraan manusia. Penelitian yang
dilakukannya memusatkan perhatian pada kelompok usia di atas usia yang diteliti
olch Piaget.
15
a. Tahap 3: Orientasi kesepakatan timbal balik. Ciri utama moralita
pada tahap ini adalah bahwa sesuatu hal dipandang baik dengan
pertimbangan untuk memenuhi anggapan orang lain baik atau baik
karena disepakati.
b. Tahap 4: Orientasi hukum ketertiban. Ciri utama moralitas pada
tahap ini adalah bahwa sesuatu hal yang baik itu adalah yang di
atur oleh hukum dalam masyarakat dan dikerjakan sebagai
pemenuhan kewajiban sesuai dengan norma hukum tersebut.
3. Tingkat III: Poskonvensional (Postconventional)
a. Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalistic. Ciri utama moralita
adalah bahwa sesuatu dinilai baik bila sesuai kesepakatan umum
dan diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran konsensual.
b. Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal. Ciri utama moralita pada
tahap ini adalah bahwa sesuatu dianggap baik bila telah menjadi
prinsip etika yang bersifat universal dari mana norma dan aturan
dijabarkan.
16
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Namun pendidikan PKn dalam Nilai dan Moral sama pentingnya dengan
penanaman akhlakul karimah sebagaimana ajaran agama islam yang sudah
mendidik Nilai dan Moral sejak dini bahkan sudah di atur dalam Al-Quran bahwa
dahulukan adab sebelum ilmu karena mau setinggi apapun ilmu kalian jika tidak
beradab itu tidak akan bernilai sama sekali, sama halnya dengan pembelajaran
PKn dalam hal Nilai dan Moral bahwasanya ini harus mempunyai moral yang
baik untuk negara Indonesia yang mengacu pada Pancasila.
17
DAFTAR PUSTAKA
Barr, R. D., Barth, J. L., Shermis, S. S. (1978) The Nature of the Social Studies,
Palm Spring : An ETS Pablication
Hartonian, H..M. (1992) The Social Studies and Project 2061 : An Opportunities
For Harmon, dalam Social Studies, 83;4:160-163
Licktona, T. (1991) Educating for Character: How our Schools can Teach
Respect and Responsibility, New York : Bantam Books
18