Anda di halaman 1dari 18

PEMBELAJARAN PKN DI SD

KARAKTERISTIK PKN SEBAGAI PENDIDIKAN


NILAI DAN MORAL

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Dea Nurainun (856736279)

Nopi Prianti (856753118)

Dosen Pengampuh : Nurmalia Dewi, S.Pd, M.Pd

BI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS TERBUKA PALEMBANG

TAHUN PELAJARAN 2020/2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006


“Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya yang menjadi warga negara Indonesia
yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD
1945”. Hubungan interaktif proses pengembangan nilai dan moral dengan proses
pendidikan di sekolah harus dilihat dalam paradigma pendidikan nilai secara
konseptual dan operasional. Konsep-konsep “values education, moral education,
education for virtues” yang secara teoritik, oleh Lickona (1992) diperkenalkan
sebagai program dan proses pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan Moral di SD?
2. Bagaimana Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi PKn di SD?
3. Bagaimana Hubungan Interaktif Pengembangan Nilai dan Moral Dalam
PKn di SD?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bentuk pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan
Moral di SD.
2. Untuk mengetahui bentuk pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi
PKn di SD.
3. Untuk mengetahui hubungan interaktif pengembangan Nilai dan Moral
dalam PKn di SD.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan Moral di SD


1. Pengertian nilai
Menurut Djahiri (1999), adalah harga makna, isi dan pesan, semangat, atau
jiwa yang tersirat dan tersurat dalam fakta, konsep dan teori, sehingga bermakna
secara fungsional. Disini, nilai difungsikan untuk mengarahkan, mengendalikan
dan menentukan kelakuan seseorang, karena nilai dijadikan standar perilaku.
Sedangkan menurut Dictionary dalam winatapura (1989), nilai adalah harga atau
kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap memiliki nilai apabila sesuatu tersebut
secara intrinsik memang berharga.
Dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, nilai Pancasila merupakan
standar hidup bangsa yang berideologi Pancasila. Nilai ini sudah pernah dikemas
dan disosialisasikan dan diajarkan disosialisasikan disekolah – sekolah
sebagaimana telah dibahas.
Nilai Pancasila yang digali dari bumi Indonesia sendiri merupakan pandangan
hidup/panutan hidup bangsa Indonesia. Kemudian, ditingkatkan kembali menjadi
Dasar Negara yang secara yuridis formal ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
1945, yaitu sehari setelah Indonesia merdeka. Secara spesifik, nilai Pancasila telah
tercermin dalam norma seperti norma agama, kesusilaan, kesopanan, kebiasaan,
serta norma hukum.
2. Pengertian moral
Menurut Suseno (1998) adalah ukuran baik buruk seseorang, baik sebagai pribadi
maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan
moral adalah pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral baik dan
manusiawi.
Sedangkan menurut Ouska dan Whellan (1997), moral adalah prinsip baik
buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang. Walaupun moral itu
berada di dalam diri individu, tetapi moral berada dalam suatu sistem yang
berwujud aturan. Moral dan moralitas ada sedikit perbedaan, karena moral adalah

3
prinsip baik buruk sedangkan moralitas merupakan kualitas pertimbangan baik
buruk. Dengan demikian, hakekat dan makna moralitas bisa dilihat dari cara
individu yang memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan.
Dengan demikian, hasil pembentukan sikap karakter anak pun dapat dilihat
dari tiga aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral. Konsep
moral (moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarness),
pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective
taking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decision making),
dan pengetahuan diri (self knowledge). Sikap moral (moral feeling) mencakup
kata hati (conscience), rasa percaya diri (self esteem), empati (emphaty), cinta
kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati
(and huminity). Perilaku moral (moral behavior) mencakup kemampuan
(compalance), kemauan (will) dan kebiasaan (habbit).
Dalam latar kehidupan masyarakat, proses pendidikan nilai sudah
berlangsung dalam berlangsung dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai
bentuk tradisi. Tradisi ini dapat dilihat dari petatah-petitih adat, tradisi lisan turun-
temurun Dalam latar kehidupan masyarakat, proses pendidikan nilai sudah
PISnueu seperti "kakawihan" di tatar Pasundan dan "berbalas pantun" di tatar
Melayu Walaupun demikian patut dicatat bahwa dengan begitu pesatnya
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, seperti Siaran Radio, dan
tayangan TV dari berbagai saluran dengan jam tayang yang panjang dan daerah
Iturasi untuk menghasilkan dalamnya yang berbudaya. simbol-simbol, kesenian
saat ini unsur-unsur tradisional tersebut terasa mulai terpinggirkan dan malah
terkalahkan. Contohnya tradisi dongeng dan sejenisnya yang dulu biasa dilakukan
oleh orang tua terhadap anak atau cucunya semakin lama semakin seperti
dongeng, nasihat, jaringan internet yang menyuguhkan aneka ragam informasi
secara tergeser oleh film kartun atau sinetron dalam media massa tersebut. Di
situlak pendidikan nilai menghadapi tantangan konseptual, instrumental, das
operasional. Sebagai salah satu unsur kebudayaan (Kuncaraningrat: 1978)
kesenian pada dasarnya merupakan produk budaya masyarakat yang melukiskan
penghayatan tentang nilai yang berkembang dalam lingkungan masyarakar pada

4
masing-masing jamannya. Berkaitan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, proses
“indiginasi”, yakni pemanfaatan kebudayaan daerah untuk pembelajaran mata
pelajaran lain dengan tujuan untuk mendekatkan pelajaran itu dengan lingkungan
sekitar siswa menjadi sangat penting.

Sebagai prinsip pendidikan ditegaskan serta hal-hal sebagai berikut:

1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan


serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik
dengan sistem terbuka dan multimakna.
3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat.
4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajaran.
5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta pengendalian mutu
layanan pendidikan (Pasal 4)

Bagaimana Pkn sebagai Mata Pelajaran yang Memiliki Misi adalah


Pendidikan Nilai dan Moral? Khusus mengenai pendidikan nilai dalam
Penjelasan Pasal 37 Undang- undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003,
tentang Sistem Pendidikan Nasional secara khusus tidak menyebutkan, namun
secara implisit, antara lain tercakup dalam muatan pendidikan kewarganegaraan,
yang secara substantif dan pedagogis mempunyai misi mengembangkan peserta
didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air.
Hal itu juga ditopang oleh rumusan landasan kurikulum, yang dalam Pasal 36 ayat

5
(3) secara eksplisit perlu memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan, perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, keragaman
potensi daerah dan lingkungan dan peningkatan potensi, kecerdasan dan minat
peserta didik.

Melihat keadaan seperti itu dirasakan perlunya upaya pendidikan pa moral


yang dilakukan secara menyeluruh dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Pendidikan nilai merupakn suatu kebutuhan sosiokultural yang jelas dan


mendesak bagi kelangsungan kehidupan yang berkeadaban.
2. Pewarisan nilai antar generasi dan dalam satu generasi merupakan wahana
sosiopsikologis dan selalu menjadi tugas dari proses peradaban.
3. Peranan sekolah sebagai wahana psikopedagogis dan sosiopedagogis yang
berfungsi scbagai pendidik moral menjadi semakin penting, pada saat
dimana hanya sebagian kecil anak yang mendapat pendidikan moral dari
orang tuanya dan peranan lembaga keagamaan semakin kecil.
4. Dalam setiap masyarakat terdapat landasan etika umum, yang bersifat
universal melintasi batas ruang dan waktu, sekalipun dalam masyarakat
pluralistik yang mengandung banyak potensi terjadinya konflik nilai.
5. Demokrasi mempunyai kebutuhan khusus akan pendidikan moral karena
inti dari demokrasi adalah pemerintahan yang berakar dari rakyat,
dilakukan olch wakil pembawa amanah rakyat, dan komitmen
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
6. Pertanyaan yang selalu dihadapi baik individu maupun masyarakat adalah
pertanyaan moral.
7. Terdapat dukungan yang mendasar dan luas bagi pendidikan nilai di
sekolah.
8. Komitmen yang kuat terhadap pendidikan moral sangatlah esensial untuk
menarik dan membina guru-guru yang berkeadaban dan profesional.
9. Pendidikan nilai adalah pekerjaan yang dapat dan harus dilakukan sebagai
suatu keniscayaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
serta bermasyarakat global.

6
Dilihat dari substansi dan prosesnya, menurut Lickona (1992: 53-62 yang perlu
dikembangkan dalam rangka pendidikan nilai tersebut adalah ni karakater yang
baik (good character) yang di dalamnya mengandung tiga dimensi nilai moral
sebagai berikut.

Dimensi Wawasan Moral

1. Wawasan Moral (Moral Knowing) yang mencakup:


2. Kesadaran moral (Moral awareness)

Wawasan nilai moral (Knowing moral values)

1. Kemampuan mengambil pandangan orang lain (Perspective taking).


2. Penalaran moral (Moral reasoning).
3. Mengambil keputusan (Decision-making).
4. Pemahamn diri sendiri (Self-knowledge).

Dimensi Perasaan Moral

1. Perasaan Moral (Moral Feeling) yang mencakup:


2. Kata hati atau nurani (Conscience).
3. Harapan dirisendiri (Self-esteem).
4. Merasakan diri orang lain (Empathy).
5. Cinta kebaikan (Loving the good).
6. Kontroldiri (Self-control).
7. Merasakan diri sendiri (Humility).

Dimensi Perilaku Moral

1. Perilaku Moral (Moral Action) yang mencakup:


2. Kompetensi (Competence).
3. Kemauan (Will).
4. Kebiasaan (Habit).

Jika dianalisis secara cermat, baik ide, instrumentasi, praksisnya,


walaupun namanya sudah menjadi Pendidikan Kewargaan Negara, yang dapat

7
diidentikkan dengan Civic Education di Amerika Serikat, nuansa kurikulernya
masih kental dengan sifat indoktrinasi dengan sedikit aplikasi pendekatan yang
pengembangan civic virtue dan civic culture, sesungguhnya belum banyak
mendapat perhatian. Dalam kondisi belum berkembangnya paradigma civic
education untuk Indonesia, pada tahun 1975/1976 muncul mata pelajaran
Pendidikan Mforal Pancasila (PMP) yang visi dan misinya berorientasi pada value
inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Kondisi ini
bertahan sampai disempurnakannya Kurikulum PMP tahun 1975/1976 menjadi
Kurikulum PMP tahun 1984, dengan visi dan misi yang sama namun dengan
muatan baru Pedoman Pemahaman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4)
atau Eka Prasetya Pancakarsa, dengan 36 butir nilai Pancasila sebagai muatannya.
Namun demikian visi dan misinya masih kental dengan value inculcation, yang
pada dasarnya merupakan improvisasi dari unavoidable indoctrination. Yang perlu
dicatat, adalah dengan berubahnya Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) menjadi
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) baik menurut Kurikulum tahun 1975/1976
maupun Kurikulum tahun 1984, pengembangan civic virtue dan civic culture
dalam praksis demokrasi, yang seyogyanya menjadi jati diri PKN, berubah
menjadi pendidikan prilaku moral, yang dalam kenyataannya lepas dari konteks
pendidikan cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi. Hal ini terjadi, seperti juga pada
perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975, antara lain karena belum
berkembangnya paradigma civic education yang melandasi dan memandu
pengembangan kurikulumnya.

Harus dikatakan bahwa Keadaan itu ternyata terus berlanjut sampai


berubahnya Kurikulum PMP 1984 menjadi Kurikulum Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKN) tahun 1994, yang walaupun namanya mencakup kajian
pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan sesuai dengan Undang-
Undang No 2 Tahun 1989, tetapi karakteristik kurikulernya sangat kental dengan
pendidikan moral Pancasila, yang didominasi olch proses value inculcation dan
knowledge dissemination. Hal tersebut dapat disimak dari profil kurikulum PPKn
1994, yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut (Depdikbud:1993). Di SD

8
PPK bertujuan untuk menanamkan sikap dan perilaku dalam kehidupan schari-
hari yang didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila.

Secara konstitusional demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang Theistis


atau demokrasi vang ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pendidikan
nilai bagi Indonesia seyogyanya berpijak pada nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai
demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dan nilai sosial-kultural yang ber
Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konteks itu maka teori perkembangan moral dari
Piaget dan Kohlberg yang dapat diadaptasikan adalah terhadap nilai moral sosial-
kultural selain nilai yang berkenaan dengan keyakinan atau aqidah keagamaan
yang tidak selamanya dapat atau bolch dirasionalkan. Konsepsi pendidikan nilai
moral Piaget yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil
keputusan dan memecahkan masalah moral dalam kehidupan dapat diadaptasikan
dalam pendidikan nilai di Indonesia dalam konteks demokrasi konstitusional
Indonesia dan konteks sosial-kultural masyarakat Indonesia yang ber Bhinneka
Tunggal Ika termasuk dalam keyakinan agama. Konsepsi pendidikan nilai moral
Kohlberg yang menitikberatkan pada penalaran moral melalui pendekatan
klarifikasi nilai yang memberi kebebasan kepada individu peserta didik untuk
memilih posisi moral, dapat digunakan dalam konteks pembahasan nilai selain
nilai agidah sesuai dengan keyakinan agama masing-masing. Sedangkan teori
tingkatan dan tahapan perkembangan moral Kohlberg secara konseptual dapat
digunakan sebagai salah satu landasan bagi pengembangan paradigma penelitian
perkembangan moral bagi orang Indonesia. Kerangka konseptual komponen Good
Character dari Lickona yang membagi karakter menjadi wawasan moral, perasaan
moral, dan perilaku moral dapat dipakai untuk mengklasifikasi nilai moral dalam
pendidikan nilai di Indonesia dengan menambahkan ke dalam masing-masing
dimensi itu aspek nilai yang berkenaan dengan konteks keagamaan seperti
wawasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam dimensi Wawasan Moral, perasaan
mengabdi kepada Tuhan yang Maha Esa dalam dimensi Perasaan Moral, dan
perilaku moral kekhalifahan dalam dimensi Perilaku Moral.

B. Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi PKn di SD

9
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2001
"Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak
dan kewajibannya w menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter y diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945." Selanjutnya digariskan
dengn tegas bahwa PKn bertujuan " agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut”.

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi


Partisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak socara
kewarganegaraan.
2. Cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, anti-
korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hid
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi."

Dilihat dari rumusan tujuannya, tidak terdapat rumusan bahwa PKn


merupakan pendidikan nilai dan moral. Namun bila dikaji secara cermat dan
mendasar, pada setiap rumusan kualitas perilaku yang ingin dikembangkan
melekat sejumlah nilai dan mora. Marilah kita cermati satu persatu rumusan
kualitas perilaku yang terdapat dalam keempat rumusan tujuan di atas, yakni:
berpikir kritis, berpikir rasional, berpikir kreatif, partisipasi aktif dan bertanggung
jawab, bertindak cerdas, hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain, menggunakan
ICT untuk berinteraksi. Berpikir kritis adalah proses psikologis untuk memberikan
penilaian terhadap suatu objek atau fenomena dengan informasi yang akurat dan
otentik. Berpikir rasional, adalah proses psikologis untuk memahami sesuatu.
Dalam ruang hingkup mata pelajaran Pendifıkan Kewarganegaraan un pendidikan

10
dasar dan menengah, memurut Permendiknas NO. 22 Tahun 2006 secara umum
meliputi substansi kurikuler yang di dalamnya mengandung:

1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalan


perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indoneia
Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan dan
jaminan keadilan Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam
kehidupan Tata tertib di sekolah.
2. Norma yang berlaku di masyarakat Peraturan-peraturan daerah,
Norma-norma dalam kehidupan berbanga dan bernegara, Sistim hukum
dan peradilan nasional, dan Hukum
3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan
kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional nilai
dan moral sebagai berikut.
4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong-royong, Harga diri
sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisası, Kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi dir
Persamaan kedudukan warga negara peradilan internasonal Indonesia,
Hubungan dasar negara dengan konstitusi
5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi
6. Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan.
Pemerintahan dacrah dan otonomi,-Pemerintah pusat, Demokrasi dan
sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat
madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara,
Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan schari-hari, Pancasila
sebagai ideologi terbuka HAM, Pemajuan, penghormatan dan
perlindungan HAM Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan.

11
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di cra globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional
dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

C. Hubungan Interaktif pengembangan Nilai dan Moral dalam PKn di SD

Hubungan Interaktif Pengembangan Nilai dan Moral dalam Hubungan


interaktif proses pengembangan nilai dan moral dengan proes pendidikan di
sekolah harus dilihat dalam paradigma pendidikan nila secara konseptual dan
operasional. Konsep-konsep "values education, moral dan Moral dalam PKn SD
edacation, edhucation for virtues" yang secara teoritik, oleh Lickona (1992)
diperkenalkan sebagai program dan proses pendidikan yang tujuannya selain
mengembangkan pikiran, atau menurut Bloom untuk mengembangkan nilai dan
sikap. Seperti dikutip oleh Lickona (1992) Theodore Roosevelt (mantan Presiden
USA) dan Bill Honing (Superintendent of Public Instruction, California) memberi
landasan pentingnya pendidikan nilai di Amerika Roosevelt, mengatakan bahwa
"Mendidik orang, hanya tertuju pada pikirannya dan bukan moralnya, sama
dengan mendidikkan keburukan kepada masyarakat". Sementara itu, Honing
mengatakan bahwa "Bandul telah berayun kembali dari ide romantika yang
memandang bahwa semua nilai kemasyarakatan adalah ancaman. Tetapi para
pendidik telah Jama mengikuti masa kegilaan itu, yang pada akhirnya berujung
pada peserta didik ethically illiterate." Dua kutipan tersebut memberikan landasan
bahwa pendidik di dunia Barat mempunyai keyakinan bahwa pendidikan nilai,
etika, moral sangat penting sebagai salah satu wahana sosiopedagogis dalam
menjamin kelangsungan hidup masyarakat, bangsa, dan negara. Hal tersebut juga
tampaknya dipicu oleh kenyataan meningkatnya permasalahan moral dalam
masyarakat yang merentang dari sikap rakus dan jujur sampai pada aneka
kriminalitas dan perilaku merusak diri sendiri tidak seperti narkoba dan bunuh
diri. Scperti dikemukakan oleh Lickona (19922:4-5) kini semua negara bagian
Amerika Serikat dan semua unsur dalam masyarakat, publik dan privat sepakat
dan mendorong agar dunia persekolahan mengambil peran yang aktif dalam

12
pendidikan nilai khususnya pendidikan nilai moral. Tujuannya adalah agar peserta
didik menjadi melek etika, dan mampu berperilaku baik di dalam masyarakat.
Dalam konteks itu dunia pendidikan diharapkan semakin mampu mewujudkan
tujuan utama pendidikan, yakni mengembangkan individu yang "cerdas dan baik".

Lebih jauh juga Lickona (1992-6-7) melihat bahwa para pemikir dan
pembangun demokrasi, sebagai paradigma kehidupan di dunia Barat,
berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan aspek yang esensial bagi
perkembangan dan berhasilnya kehidupan demokrasi. Hal itu sangatlah beralasan,
karena demokrasi pada dasarnya merupakan suatu sistem pemerintahan dari, oleh
dan untuk rakyat. Sesungguhnyalah rakyat yang harus bertanggung jawab untuk
menjamin tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang bebas dan adil. Dalam
konteks itu setiap individu warga negara seyogianya mengerti dan memiliki
komitmen terhadap fondasi moral berlaku, partisipasi dalam kehidhupan
maryarakat, dan peduli terhakap perlunya kebaikan bagi umum. Berpijak dengan
penuh kesadaran pada pemikiran tersebut, sejak dini sekolah diharapkan mampu
mengambil peran yang aktif dalam merancang dan melaksanakan pendidikan nilai
moral yang bersumber dari kebajikan dan keadaban demokrasi. Dengan kata lain
pendidikan nilai dalam dunia barat adalah pendidikan nilai yang bertolak dari dan
bermuara pada nilai-nilai sosial-kultural demokrasi.

Sedangkan nilai yang bersumber dari agama bukanlah tanggung jawab


negara, karena memang dunia barat yang sekuler dengan tegas memisahkan
urusan agama sebagai urusan pribadi, bukan urusan publik. Pendidikan nilai di
dunia Barat secara konseptual berlandaskan pada teori perkembangan moral
Piaget dan Kohlberg. Kedua teori perkembangan moral tersebut secara singkat
dapat diintisarikan berikut ini (Winataputra, 1988: 17-25; SMDE We-site: 2002).
Jean Piaget pada masa hidupnya pernah menjadi Wakil Direktur "Institute of
Educational Science" dan sebagai Guru Besar (Profesor) Psikologi Eksperimental
pada university of Geneva. la dengan tekun melakukan penelitian mengenai
perkembangan struktur kognitif (cognitive structure) anak dan kajian moral (moral
judgement) anak selama 40 tahunan. Penelitiannya itu didasarkan pada sikap

13
verbal anak (children verbal attitudes) terhadap berbagai aturan permainan,
perilaku schari-hari, mencuri, dan membohong. la mengidentifikasi bahwa ada
dua tingkat perkembangan moral pada anak usia antara 6-12 tahun yakni
heteronomi dan autonomi. Pada tingkatan heteronomi segala aturan oleh anak
dipandang sebagai hal yang datang dari luar jadi bersifat eksternal dan dianggap
sakral karena aturan itu merupakan hasil pemikiran orang dewasa.

Secara teoritik nilai moral berkembang secara psikologis dalam individu


mengikuti perkembangan usia dan konteks sosial. Dalam kaitanya dengan usia,
Piaget merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan sebagai
berikut. Piaget membagi beberapa tahapan dalam dua domain yakni kesadaran
mengenai aturan dan pelaksanaan aturan.

Tahapan pada domain kesadaran mengenai aturan:

1. Usia 0-2 tahun: Pada usia ini aturan dirasakan sebagai hal yang tidat 1.
bersifat memaksa
2. Usia 2-8 tahun: Pada usia aturan disikapi sebagai hal yang bersifat
sakat dan diterima tanpa pemikiran
3. Usia 8-12 tahun: Pada usia ini aturan diterima sebagai hasil
kesepakatan.

Tahapan pada domain pelaksanaan aturan:

1. Usia 0-2 tahun: Pada usia ini aturan dilakukan sebagai hal yang hanya
bersifat motorik saja
2. Usia 2-6 tahun: Pada usia ini aturan dilakukan sebagai perilaku yang
Iebih ber orientasi diri sendiri
3. Usia 6-10 tahun: Pada usia ini aturan diterima sebagai perwujudan dari
kesepakatan.
4. Usia 10- 12 tahun: Pada usian ini aturan di terima sebagai ketentuan
yang dihimpun.

14
Bertolak dari teorinya itu Piaget menyimpulkan bahwa pendidikan sekolah
seyogyanya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil
keputusan (decision making skills) dan memecahkan masalah (problem solving)
dan membina perkembangan moral dengan cara menuntut Usia 10-12 tahun: Pada
usia ini aturan diterima sebagai ketentuan yang didik keadilan kepatutan
(fairness). Dengan kata lain, pendidikan nilai berdasarkan teori Piaget adalah
pendidikan nilai moral atau nila etis yang dikembangkan berdasarkan pendekatan
psikologi perkembangan moral kognitif. Di situlah pendidikan nilai
dititikberatkan pada pengembangan perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran
moral yang dicapai dalam konteks kehidupan Eund untuk mengembangkan
aturam berdasarkan USA, sejak tahun 1969 selama 18 tahun ia mengadakan
penelitian tentang perkembangan moral berlandaskan teori perkembangan kognitif
Piaget. la masyarakat. lain pihak, Lawrence Kohlberg. Professor pada Harvard
University, mengajukan postulat atau anggapan dasar bahwa anak membangun
cara Nernikir melalui pengalaman termasuk pengertian konsep moral seperti
Aoudilan, hak, persamaan, dan kesejahteraan manusia. Penelitian yang
dilakukannya memusatkan perhatian pada kelompok usia di atas usia yang diteliti
olch Piaget.

Dari penelitiannya itu Kohlberg merumuskan adanya tiga tingkat (level)


yang terdiri atas enam tahap (stage) perkembangan moral seperti berikut.

1. Tingkat I: Prakonvensional (Preconventional)


a. Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Ciri moralita pada
tahap ini adalah apapun yang pada akhirnya mendapat pujian atau
dihadiahi adalah baik, dan apapun yang pada akhimya dikenai
hukuman adalah buruk.
b. Tahap 2: Orientasi instrumental nisbi. Ciri moralita pada tahap ini
adalah sescorang berbuat baik apabila orang lain berbuat baik
padanya, dan yang baik itu adalah sesuatu bila satu sama lain
berbuat hal yang sama
2. Tingkat II: Konvensional (Conventional)

15
a. Tahap 3: Orientasi kesepakatan timbal balik. Ciri utama moralita
pada tahap ini adalah bahwa sesuatu hal dipandang baik dengan
pertimbangan untuk memenuhi anggapan orang lain baik atau baik
karena disepakati.
b. Tahap 4: Orientasi hukum ketertiban. Ciri utama moralitas pada
tahap ini adalah bahwa sesuatu hal yang baik itu adalah yang di
atur oleh hukum dalam masyarakat dan dikerjakan sebagai
pemenuhan kewajiban sesuai dengan norma hukum tersebut.
3. Tingkat III: Poskonvensional (Postconventional)
a. Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalistic. Ciri utama moralita
adalah bahwa sesuatu dinilai baik bila sesuai kesepakatan umum
dan diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran konsensual.
b. Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal. Ciri utama moralita pada
tahap ini adalah bahwa sesuatu dianggap baik bila telah menjadi
prinsip etika yang bersifat universal dari mana norma dan aturan
dijabarkan.

Dengan teori itu Kohlberg menolak pendidikan nilai/karakter tradisional


yang berpijak pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan/keadaban (bag of
virtues) seperti kejujuran, budi baik, kesabaran, ketegaran yang menjadi landasan
prilaku moral. Oleh karena itu ditegaskannya bahwa tugas guru adalah
membelajarkan kebajikan itu melalui percontohan dan komunikasi langsung
keyakinan serta memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kebajikan itu
untuk memberinya penguatan.

16
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Jadi, menurut kelompok kami pada karakteristik PKn Sebagai Pendidikan


Nilai dan Moral sangat penting diberikan kepada peserta didik karena dapat
menjadikan dasar sikap moral yang harus dimiliki oleh anak-anak Indonesia untuk
menjadikan generasi bangsa yang berkualitas dan memiliki prilaku moral sejak
dini.

Pendidikan Nilai dan Moral pada pembelajaran PKn di SD sangatlah


penting untuk membentuk karakter peserta didik yang meranjak remaja agar
menjadi penerus gerasi bangsa yang berintegritas dan juga lebih baik untuk masa
depan. Pendidikan PKn dalam membentuk Moral dan Nilai bagi anak bangsa
sangat lah penting di saat krisis seperti tahun sekarang ini, generasi penerus
bangsa sangat di perlukan karena mereka lah yang dapat membela keadilan di
negeri ini, maka dari itu penanaman Pembelajaran PKn dalam bentuk nilai dan
moral amat sangat penting jika didalam diri mereka sudah tertanam nilai tersebut
maka Negara kita tercinta ini jauh dari pengkhianat bangsa dan mereka lah yang
akan memperjuangkan nasib-nasib bangsa.

Namun pendidikan PKn dalam Nilai dan Moral sama pentingnya dengan
penanaman akhlakul karimah sebagaimana ajaran agama islam yang sudah
mendidik Nilai dan Moral sejak dini bahkan sudah di atur dalam Al-Quran bahwa
dahulukan adab sebelum ilmu karena mau setinggi apapun ilmu kalian jika tidak
beradab itu tidak akan bernilai sama sekali, sama halnya dengan pembelajaran
PKn dalam hal Nilai dan Moral bahwasanya ini harus mempunyai moral yang
baik untuk negara Indonesia yang mengacu pada Pancasila.

Jadi itulah kesimpulan bagi kelompok kami, Terima Kasih

17
DAFTAR PUSTAKA

Barr, R. D., Barth, J. L., Shermis, S. S. (1978) The Nature of the Social Studies,
Palm Spring : An ETS Pablication

Capra, F. (1998) Titik Balik Peradaban : Sains, Masyarakat dan Kebangkitan


Kebudayaan, Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya

Daryono, M , Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraa,(Jakarta:


Rineka Cipta, 2008)

Hartonian, H..M. (1992) The Social Studies and Project 2061 : An Opportunities
For Harmon, dalam Social Studies, 83;4:160-163

Licktona, T. (1991) Educating for Character: How our Schools can Teach
Respect and Responsibility, New York : Bantam Books

Winataputra, U.S. (2001) Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai


Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi, (Disertasi), Bandung : PPs UPI

18

Anda mungkin juga menyukai