Anda di halaman 1dari 4

SOSIOLOGI KONFLIK

Disusun Oleh :

Baiq Peberwanti (E1S019013)

Dosen Pengampu :

Dr. Syafruddin, MS.

PEROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN SOSIOLOGI


JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS MATARAM
2020
TUGAS 1
1) Membuat Ringkasan Konflik social Perspektif George Simmel
2) Menurut George Simmel bahwa Konflik dapat terjadi dalam hubungan sosial yang
bersifat sekuder dan bersifat primer. Jelaskan dengan contoh kedua sifat konflik tersebut.
Jawaban
1. Ringkasan Konflik Sosial Perspektif George Simmel
Menurut Simmel (dalam Coser dan Rosenberg,1976: 174, Turner, 1974: 88) ”konflik dan
persatuan merupakan bentuk-bentuk interaksi yang saling berhubungan, artinya dalam struktur
sosial selalu terdapat gejala yang mencakup berbagai proses sosial yang bersifat asosiatif
(menggabungkan) dan proses yang bersifat disosiatif (menceraikan)”. Proses sosial asosiatif
mengarah pada nilai-nilai seperti keadilan, cinta kasih, kerukunan, dan solidaritas. Sebaliknya
proses sosial disosiatif mengarah pada nilai-nilai negatif atau asosial seperti kebencian,
permusuhan, pertentangan dan perpecahan. Dalam proses sosial disosiatif dan asosiatif,
Simmel dilandasi oleh postulat yang mengatakan bahwa dalam organisme secara menyeluruh
terdapat dorongan-dorongan untuk bersikap bermusuhan, yang menimbulkan kebutuhan untuk
membenci, berkelahi, dan dorongan ini bercampur dengan impuls untuk mencintai. Simmel
melihat pertikaian atau konflik sebagai pencerminan pertentangan kepentingan maupun naluri
permusuhan akan dapat dibatasi oleh hubungan yang didasari oleh naluri kasih sayang.
Membahas tentang permusuhan dan pertentangan dalam hubungan sosial yang intim,
Simmel (dalam Coser, 964: 60, 62 ) mengatakan bahwa hubungan sosial cenderung melibatkan
motivasi yang sama maupun berbeda, yaitu cinta (loving) dan benci (hating). Pada tataran ini
Simmel mengembangkan proposisi yang didasari oleh teori ambivalensi Freud untuk
memberikan penjelasan terhadap adanya keserentakan perasaan cinta dan benci pada banyak
kejadian konflik yang ditimbulkan dalam hubungan intim.
Simmel mengajukan beberapa proposisi (dalam Turner,1974: 136) yakni :
1. Semakin besar derajat keterlibatan emosional pihak-pihak yang berkonflik, konflik
semakin intens.
a. Semakin besar tingkat keintiman sebelumnya di antara pihak-pihak yang
berkonflik, maka lebih besar keterlibatan emosional.

b. Semakin besar tingkat kecemburuan sebelumnya antara pihak-pihak yang


berkonflik, maka lebih besar keterlibatan emosi.

2. Semakin besar derajat ingroupness dari orang-orang yang terlibat dalam konflik,
semakin tinggi mengintensifkan konflik.
3. Semakin banyak konflik yang dianggap oleh peserta melampaui tujuan individu dan
kepentingan, konflik semakin intens.

4. Semakin besar derajat keharmonisan antara pihak-pihak yang berkonflik, semakin


tinggi intens konflik.

Simmel dalam (Turner, 1974: 88) mengembangkan proposisi tentang fungsi konflik yakni:
1. Semakin intens permusuhan antar kelompok dan semakin sering konflik antar
kelompok, semakin sedikit kemungkinan batas kelompok akan lenyap.

2. Semakin intens konflik, dan kelompok kurang terintegrasi, semakin mungkin dispotik

sentralisasi kelompok konflik.

3. Semakin intens konflik, semakin besar solidaritas internal kelompok konflik.

a. Semakin intens konflik, dan semakin kecil kelompok konflik, semakin besar pula
kelompok mereka solidaritas internal

b. Semakin intens konflik dan semakin kecil kelompok konflik, semakin rendah
toleransi penyimpangan dan perbedaan pendapat di setiap kelompok.

c. Semakin intens konflik dan semakin sebuah kelompok mewakili posisi minoritas.
Secara sistim, semakin banyak solidaritas internal kelompok.

d. Semakin intens konflik dan semakin banyak orang terlibat dalam pertahanan diri
murni, semakin banyak solidaritas internal.

2. Menurut George Simmel bahwa Konflik dapat terjadi dalam hubungan sosial yang bersifat
sekuder dan bersifat primer. Jelaskan dengan contoh kedua sifat konflik tersebut.
a. Konflik terjadi dalam hubungan sosial yang bersifat primer
Simmel mengembangkan proposisi yang didasari oleh teori ambivalensi Freud
untuk memberikan penjelasan terhadap adanya keserentakan perasaan cinta dan benci
pada banyak kejadian konflik yang ditimbulkan dalam hubungan intim. Sehingga
simmel membentangkan proposisi bahwa intensitas konflik atau perasaan bermusuhan
lebih sering terjadi pada kelompok primer, karena semakin eratnya hubungan yang
didasarkan pada hubungan emosional total di antara mereka, maka semakin besar
kecenderungan untuk terciptanya rasa cinta maupun benci. Makin dekat hubungan,
makin besar investasi afektif, makin besar juga kecenderungan untuk menindas
daripada mengekspresikan perasaan bermusuhan.
 Contohnya : Kekerasan akan mudah terjadi apa bila masa lalu kelompok itu
mempunyai hubungan yang akrab dan intim seperti dalam hubungan duaan (dyad)
atau suami-isteri. Menurut Simmel bahwa dalam hubungan duaan (dyad) tidak
selalu disertai oleh perasaan-perasaan positif, hubungan yang sangat intim
seringkali membuat konflik itu menjadi parah, malah konflik yang kelihatannya
sepele bagi orang luar ditanggapi dengan emosional, keterbukaan mereka satu-
sama lain pada tingkat kepribadian yang sangat dalam membuat mereka mudah
saling menyerang yang berhubungan dengan masalah pribadi mereka.
b. Konflik terjadi dalam hubungan sosial yang bersifat sekunder
Menurut Simmel (dalam Coser, 1994: 62 ) dalam hubungan sekunder, perasaan
bermusuhan dapat diekspresikan secara relatif bebas, dan hal ini tidak terjadi dalam
hubungan primer, di mana keterlibatan emosional mereka secara terbuka dalam
mengeluarkan perasaan akan dapat membahayakan hubungan. Semakin tinggi tingkat
keterlibatan emosional dalam sebuah konflik, konflik itu cenderug keras. Dalam kasus-
kasus seperti ini perasaan bermusuhan cenderung terakumulasi dan dengan demikian
akan semakin menguat dan keras yang dapat membahayakan kelangsungan hubungan.
 Contohnya : Pada kelompok yang lebih kecil seperti keluarga menurut Simmel
bahwa terjadinya pertengkaran, ketidaksesuaian maupun kontroversi secara
organis berkaitan dengan unsur-unsur yang menjadi landasan persatuan kelompok,
dan secara sosiologis tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan struktur. Hal ini dapat
terjadi pada keluarga batih yang mengalami perpecahan karena perceraian, namun
kemudian dapat diatasi walau kadang-kadang sifatnya sementara. Hal ini menandai
bahwa dalam lingkungan yang terbatas seperti keluarga, pertentangan dan
permusuhan berarti berhentinya berhubungan, pengunduran diri atau
menghindarkan diri dari terjadinya hubungan (interaksi), atau terkadang dalam
keluarga dan kelompok-kelompok, mereka dapat hidup sebagai unit-unit yang
saling berdampingan, akan tetapi dengan sikap saling tidak mengacuhkan satu
sama-lain walaupun dalam keadaan damai yang bersifat semu (Simmel dalam
Coser dan Rosenberg,1976: 177).

Anda mungkin juga menyukai