Anda di halaman 1dari 26

SICKLE CELL ACUTE CHEST SYNDROM

Rizky Nur Harun, Satriawan Abadi, Sahyuddin Saleh*


Divisi Intensive Care, Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

I. PENDAHULUAN
Penyakit sel sabit/Sickle Cell Disease (SCD) adalah penyakit turunan darah
autosomal resesif dengan gen hemoglobin sabit. Penyakit ini merupakan salah satu
penyakit kelainan darah yang diturunkan secara genetik dan paling sering terjadi di
seluruh dunia. Setiap tahunnya, di seluruh dunia diperkirakan sekitar 300.000 kasus SCD
ini yang berdampak pada konsepsi dan kelahiran. SCD disebabkan oleh karena adanya
mutasi gen β - globin menyebabkan produksi hemoglobin S (HbS) yang melakukan
polimerisasi dan deoksigenasi sel darah merah. Perubahan patofisiologi primer ini
memiliki beragam konsekuensi, termasuk produksi molekul inflamasi dan respons yang
mengarah pada vaso-oklusi pembuluh darah mikro yang merupakan manifestasi utama
dari SCD ini.1
SCD atau yang dikenal juga dengan nama anemia sel sabit merupakan anemia
yang terjadi akibat adanya kecacatan pada morfologi sel darah merah. Hal ini disebabkan
oleh adanya mutasi genetik pada rantai β-globin, dimana terjadi substitusi dari asam
amino glutamat menjadi valin. Adanya mutasi tersebut mengakibatkan bentuk dari sel
darah mirip seperti sabit. Kelainan genetik ini bersifat autosomal resesif dan dapat
diwariskan dalam keluarga.2
Bentuk sel darah merah yang menyerupai sabit dapat berbahaya dan mengancam
nyawa. Sel sabit dapat menyumbat pembuluh darah, terutama pembuluh darah kecil.
Akibatnya aliran darah dapat terhenti yang mengakibatkan terjadinya hipoksia dan
kerusakan jaringan hingga ancaman kematian. Apabila sumbatan terjadi di pembuluh
darah paru maka dapat terjadi yang disebut sebagai suatu sindrom dada akut/Acute Chest
Syndrome (ACS).3
Acute chest syndrome (ACS) merupakan suatu sindroma dada akut akibat
sumbatan pembuluh darah di paru yang ditandai dengan adanya gejala respirasi seperti
sesak napas, batuk, takipneu/dypsnue, hipoksia disertai dengan adanya infiltrat paru pada
temuan foto polos thorax serta adanya keluhan demam. Keadaan klinis sindroma ini dapat
bersifat ringan hingga berat yang menyebabkan kondisi hipoksia berat, gagal napas,

1
bahkan mengakibatkan kematian. ACS pada pasien dengan anemia sel sabit perlu
mendapat perhatian. Pencegahan, diagnosis dini, dan tataksana yang adekuat memegang
peranan penting pada penyakit ini.2,3
Oleh karena itu tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk membahas tentang
penyakit sel sabit dan hubungannya dengan acute chest syndrome.

II. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 20-25 juta
penduduk dunia menderita penyakit anemia sel sabit. Diperkirakan sekitar 12-15 juta
kasus di wilayah Afrika Sub-Sahara, 5-10 juta di negara India dan sisanya tersebar di
seluruh dunia, seperti di wilayah Timur Tengah dan dataran Mediterania. Setiap tahunnya
dilaporkan sebanyak 300.000-400.000 kasus bayi lahir dengan penyakit anemia sel sabit
di Afrika Sub-Sahara, terutama Nigeria dan Republik Kongo. Untuk kesintasan anemia
ini sangat dipengaruhi oleh diagnosis dan tatalaksana sedini mungkin. Pada negara maju
seperti di Inggris, Amerika Serikat dan Prancis angka kesintasan hingga usia dewasa
dapat mencapai 94 % sedangkan pada negara Afrika Sub-Sahara angka mortalitas 50-90
% pada 5 tahun pertama kehidupan.4

Informasi utama tentang penyakit sel sabit (SCD) ini dapat ditemukan pada
Jamaican Cohort Study of Sickle Cell Disease yang dimulai pada tahun 1973 dan
mengikuti semua individu SCD yang terdeteksi pada 100.000 persalinan konsekutif di
Kingston, Jamaika, dan di Amerika, kemudian dari Cooperative Study of Sickle Cell
Disease (CSSCD; 1978 – 1998) juga mengumpulkan data pertumbuhan, perkembangan,
komplikasi penyakit, studi klinis serta epidemiologi pada lebih dari 3.000 individu
dengan penyakit SCD. Usia dewasa dengan SCD pada negara berpendapatan tinggi
sekarang ini memiliki angka harapan hidup yang baik sampai usia 60 tahun dan rata - rata
ketahanan hidup 67 tahun telah dilaporkan pada pasien SCD di rumah sakit di London-
Inggris namun ketahanan hidup ini masih lebih rendah dari pada populasi umum di
London.2,4

Insidensi kelahiran dengan penyakit anemia sel sabit (sickle cell anemia/SCA) di
wilayah Afrika Sub-Sahara diperkirakan sekitar 23.000 individu pada tahun 2010 yang
merupakan 75 % kelahiran dari SCA di seluruh dunia. Pada kurun waktu 20 tahun
terakhir ada sekitar 40.000 kasus terkonfirmasi SCD yang teridentifikasi pada 76 juta bayi

2
baru lahir dengan lebih 1,1 juta bayi baru lahir memiliki genotip HbAS (heterozigot untuk
alel βS yang membawa sifat sel sabit) di negara Amerika.4

III. DEFINISI
Sickle Cell Disease/SCD adalah suatu kelompok penyakit kelainan darah yang
diturunkan dengan karakteristiknya adalah terdapat mutasi genetik pada sub-unit
hemoglobin B. SCD diturunkan sebagai sifat dominan autosomal; pasien heterozigot
memiliki sifat sel sabit (sickle cell trait/SCT) tetapi bukan SCD, sedangkan pasien yang
homozigot memiliki sifat anemia sel sabit tipe yang paling umum pada SCD yang dapat
menyebabkan anemia hemolitik kronis, keadaan episode nyeri yang tidak dapat diprediksi
yang dapat mengakibatkan kerusakan organ dan penurunan harapan hidup. 2,3
Anemia sel sabit karakteristiknya adalah HbS, mutasi dari gen yang mengkode
subunit beta-globin. Substitusi nukleotida tunggal ini menyebabkan eritrosit mengambil
bentuk sabit yang berbeda ketika tidak berikatan dengan oksigen. Sel sabit tidak dapat
melalui pembuluh darah yang sempit menyebabkan risiko terjadinya oklusi vaskuler yang
disebut sebagai krisis sel sabit. Manifestasi gejala yang pasti bergantung pada sistem
organ yang terdampak, namun secara umum gejala yang muncul berupa nyeri hingga
kerusakan organ. Kejadian yang mengancam nyawa sering terjadi diantaranya adalah
anemia hemolitik, stroke iskemik, cedera ginjal, kegagalan liver dan infeksi.5
Acute chest syndrome (ACS) atau sindrom dada akut adalah suatu sindrom
kerusakan paru dengan beragam etiologi yang pertama kali dideskripsikan di tahun 1970
pada pasien SCD dengan gejala demam, nyeri dada, peningkatan jumlah sel darah putih,
dan adanya infiltrat pulmoner. Mekanisme patogen dari ACS pada SCD sudah diteliti
lebih jauh dan sekarang ini didefinisikan sebagai perkembangan dari infiltrat pulmoner
yang melibatkan sekurang-kurangnya satu segmen paru komplit yang disertai dengan
keluhan demam, nyeri dada, takipneu, wheezing, atau batuk. Infiltrat pulmoner yang
muncul pada radiografi dada harus konsisten dengan konsolidasi alveolar dan bukan suatu
atelektasis. ACS dapat berdampak pada anak dan dewasa dengan tipe hemoglobinopati
sabit apapun, tetapi lebih sering pada individu dengan SCD homozigot (HbSS) atau
anemia sel sabit yang paling umum terjadi.6

IV. PATOFISIOLOGI
Anemia sel sabit terjadi akibat mutasi dari genetik pada rantai β-globin. Pada
mutasi tersebut terjadi perubahan asam amino glutamat menjadi valin. Normalnya, sel

3
darah merah yang sehat setelah deoksigenasi akan terjadi perubahan formasi agar dapat
mengikat karbon dioksida dan kembali ke bentuk awal setelah karbon monoksida
dilepaskan. Akan tetapi, pada sel darah merah dengan hemoglobin yang cacat yakni
(HbS), ketika
terjadi

deoksigenasi akan mengalami proses polimerisasi dan menjadi kaku seperti sabit. Proses
polimerisasi juga menyebabkan peningkatan dari viskositas dan solubilitas dari darah
sehingga dapat mempengaruhi aliran darah serta integritas pada dinding pembuluh darah.7

Gambar 1. Patofisiologi Anemia Sel Sabit.2

Anemia sel sabit adalah bentuk paling umum dan bertanggung jawab pada 70 %
kasus SCD pada pasien etnis di wilayah Afrika. Anemia sel sabit disebabkan oleh
homozigot alel beta-S (βS) yang berlokasi pada kromosom 11p15.5 yang berbeda dari alel
tipe β karena polimorfisme nukleotida tunggal dbSNP Rs334 di mana GTG digantikan
GAG pada kodon keenam dari gen β-globin. Hal ini mengarah pada penggantian residu
asam glutamat hidrofilik (Glu) dengan residu valine hidrofobik (Val) pada posisi keenam
rantai β-globin, menyebabkan mutasi tetramer hemoglobin (α2βs2) pada eritrosit individu
dengan anemia sel sabit. Turunan homozigot dari mutasi β S (HbSS) atau turunan bersama

4
dari βS dengan mutasi lain seperti βC (HbSC), βD (HbSD), βO (HbSO), βE (HbSE), atau β-
thalassemia allel (HbS/β-thal0 atau HbS/β-thal+) mengarah pada bentuk lain SCD melalui
mekanisme molekuler dan seluler multipel yang saling terkait. Penelitian telah
menemukan tiga proses patobiologis mayor dari SCD ini yakni; polimerisasi HbS, vaso-
oklusi, dan disfungsi endotel yang dimediasi hemolisis yang menyebabkan munculnya
gambaran klinis serta penelitian terbaru menunjukkan adanya mekanisme keempat yaitu
inflamasi steril.2,7

a. Polimerisasi Hemoglobin
Kurangnya konsentrasi oksigen HbS intra-eritrosit pada jaringan dengan
permintaan oksigen yang tinggi menyebabkan paparan sifat hidrofobik pada
tertramer HbS individu yang kekurangan oksigen (kondisi-T). Hal ini
menyebabkan rantai βS-globin pada tetramer berbeda yang kekurangan oksigen
berikatan satu dengan lainnya untuk menyembunyikan sifat hidrofobik yang
kemudian menginisiasi nukleasi pada polimer HbS. Polimer HbS ini tumbuh cepat
membentuk serat panjang yang meningkatkan kekakuan seluler dan distorsi
membran eritrosit yang mengarah pada pembentukan eritrosit sabit, stress,
kegagalan energi seluler, dehidrasi, gangguan perubahan bentuk dan hemolisis
yang prematur. Laju polimerisasi proporsional terhadap konsentrasi HbS intra-
eritrosit berbanding terbalik terhadap konsentrasi Hb fetul (HbF) yang kemudian
menggantikan HbS dan mengganggu polimerisasi HbS. Turunan bersamaan
dengan faktor genetik khusus atau mutasi seperti adanya turunan dari HbF atau α-
thalassemia atau βC-allel di samping βS dapat memodulasi keparahan penyakit
ini.2,7
b. Vaso - Oklusi
Vaso-oklusi atau oklusi pembuluh darah yang mengarah pada iskemia adalah
patofisiologi yang bertanggung jawab terhadap krisis vaso-oklusif (vaso-occlusive
crisis/VOC) akut sistemik yang membutuhkan perawatan medis darurat pada
pasien SCD. Studi pencitraan intravital yang dilakukan pada binatang tikus
transgenik SCD dan studi in vitro terjadi peningkatan perlekatan eritrosit dengan
sel inflamasi dan endotel vaskuler serta terjadi aktivasi hemostasis. Peningkatan
viskositas plasma yang terjadi sebagai hasil dari hemolisis kronis dan penurunan
deformabilitas eritrosit sabit karena polimerisasi Hb serta dehidrasi ini
berkontribusi terhadap gangguan aliran darah melalui kapiler, venula post-kapiler

5
jaringan dengan permintaan oksigen yang tinggi. Eritrosit sabit yang dibentuk
dengan tidak baik dapat secara mekanis menjadi terasing pada mikrosirkulasi dan
menyebabkan vaso-oklusi.7
c. Disfungsi Endotel
Pengaruh kronis dari anemia hemolisis dan kejadian episodik vaso-oklusif
menyebabkan perkembangan progresif terhadap komplikasi organ. HbS yang
berisi eritrosit dengan polimer Hb intraseluler kurang dapat dideformasi dan
menjadi terjebak pada mikrosirkulasi menyebabkan vaso-oklusi episodik dan
berkelanjutan. Selain itu, eritrosit yang berisi polimer dipengaruhi oleh hemolisis
intravaskuler dan ekstravaskuler, menyebabkan anemia kronis dengan rentang Hb
dari 6-11 g/dl. Proses hemolisis intravaskuler secara langsung merusak pembuluh
darah dan menyebabkan anemia menghasilkan stress tambahan pada sistem
kardiovaskuler yang secara kronik meningkatkan cardiac output, dilatasi ruang
ventrikel dan stress di dinding ventrikel.6,7

Gambar 2. Disfungsi Endotel Pada SCD.7

d. Inflamasi Steril
Vaso-oklusi berkontribusi terhadap terjadinya cedera reperfusi-iskemia yang
bersamaan dengan pelepasan erythrocyte damage-associated molecular patterns
(eDAMPs) yang akan menyebabkan progresi dari inflamasi steril pada SCD.

6
Heme (protoporfirin ferrous IX) dan bentuk teroksidasinya, hemin (protoporfirin
ferris IX), melepaskan oksidasi Hb yang poten agonis TLR4 berkontribusi
terhadap kondisi pro-inflamasi dan pro-koagulasi pada SCD, dimana
karakteristiknya adalah leukosit, platelet, sel endotel, faktor jaringan yang
teraktivasi, badai sitokin, deplesi nitrit oxide (NO), dan pembentukan reactive
oxygen species (ROS). Pada studi lain, heme menunjukkan dapat menyebabkan
terjadinya aktivasi endotel yang mengarah pada adhesi neutrofil dan vaso-oklusi
kulit venule, pembentukan ROS yang dimediasi NOX (nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate (NADPH) oxidase) yang pada uji coba terhadap binatang
menyebabkan kematian pada tikus dengan SCD yang semuanya ini bergantung
pada TLR4 endotel. Selain itu, heme menunjukkan dapat menyebabkan gangguan
sitoskeletal yang mengarah pada gangguan bersihan (clearance) bakteri,
fagositosis, dan migrasi monosit, makrofag dan neutrofil. Peranan ini
menunjukkan bahwa heme membantu kerentanan terhadap infeksi bakteri pada
SCD.8

Gambar 3. Patofisiologi Molekuler SCD.7

7
V. MANIFESTASI KLINIS
SCD karakteristiknya adalah manifestasi umum yang beragam diantaranya
dari nyeri akut sampai onset awal stroke, ulserasi pada kaki, dan risiko kematian
prematur akibat kegagalan multiorgan.2,4,6
a. Krisis Vaso-Oklusif ( Nyeri )
Pasien dengan SCD dapat mengalami nyeri intens di awal masa bayi, anak-
anak dan dewasa. Nyeri biasanya menjadi alasan mayor pasien dirawat di rumah
sakit dan memiliki efek negatif secara keseluruhan bagi kesehatan pasien yang
berhubungan dengan kualitas hidup. Nyeri adalah gejala cardinal dari SCD dan
karakteristiknya adalah tidak dapat diprediksi, bersifat episodik dan
dideskripsikan sebagai bentuk nyeri yang paling sangat menyiksa. Nyeri terjadi
karena stimulasi dari serat saraf nosiseptif yang disebabkan oleh adanya oklusi
mikrovaskuler, terjadi obstruksi mikrovaskuler oleh sel darah merah, sehingga
dapat membatasi aliran darah ke organ menyebabkan timbulnya iskemia, edema,
nyeri, nekrosis, hingga kerusakan organ. Onset nyeri ini bersifat spontan, biasanya
tanpa faktor presipitasi; namun ada juga pemicu yang telah diketahui yaitu infeksi,
demam, dehidrasi, asidosis, perubahan mendadak pada cuaca termasuk kecepatan
angin, dingin, hujan dan polusi udara serta pemulihan dari nyeri ini khasnya tidak
dapat diprediksi.2
1) Krisis Pulmoner dan Sindrom Kegagalan Multiorgan.
ACS adalah sindrom cedera paru yang dapat menjadi komplikasi saat
menjalani perawatan di rumah sakit dengan kondisi VOC akut. Hal ini
membawa risiko tinggi kegagalan respirasi (13% pasien membutuhkan
ventilasi mekanik untuk rata-rata 4-6 hari) dan mortalitas lebih dari 9%
pada dewasa dengan SCD. ACS juga berhubungan dengan perawatan di
rumah sakit yang berkepanjangan (dengan rata-rata 10 hari masa
perawatan), penurunan ketahanan hidup jangka panjang dan peningkatan
risiko berkembang menjadi penyakit paru kronis.9
2) Krisis Hematologis.
Anemia akut atau kronis pada SCD harus di investigasi secara baik karena
biasanya disebabkan karena penyakit berat yang telah ada sebelumnya.
Pemeriksaan harus diawali dengan pemeriksaan jumlah retikulosit untuk
menentukan anemia akut dari penurunan produksi sel darah merah atau
peningkatan kehilangan darah dari hemolisis atau perdarahan. Pada pasien

8
SCD krisis aplastik memiliki angka tertinggi dan harus dicurigai jika
jumlah retikulosit absolut yaitu < 100.000/μL.4,9
3) Krisis Hepatik.
Keterlibatan liver selama VCO akut adalah hal yang umum terjadi pada
SCD, tetapi terbatas pada peningkatan ringan sementara dari hasil tes
cedera liver dan konjugasi ringan seperti hiperbilirubinemia. Hasil
laboratorium abnormal tersebut disebabkan oleh proses vaso-oklusi yang
terjadi di sinusoidal dan cedera hepatoseluler derajat sedang. Sindrom
yang lebih buruk dapat berkembang pada beberapa pasien, akan tetapi
biasanya hanya pada penyakit dengan tipe HbSS; sindrom ini ditandai
dengan nyeri di kuadran kanan atas, hepatopati dan peningkatan lebih
besar pada marker cedera dan kolestasis. Kolestasis intrahepatik akut
adalah VOC liver yang esktrem dan ditandai dengan hiperbilirubinemia
direk yang berat.2,4,9
b. Anemia
Anemia simptomatik adalah gejala yang paling umum pada SCD dan lebih
umum pada anemia sel sabit (homozigot S), yang biasanya mengalami penurunan
hemoglobin terendah seringnya pada kondisi heterozigot ganda. Kondisi stabil
hemoglobin pada pasien asimptomatik bervariasi berdasarkan fenotip, dengan
rentang serendah 6.0-8.0 mg/dl untuk homozigot S dan untuk Sβo rentang 10-11.0
mg/dl pada bentuk heterozigot ganda SC dan Sβ+.2,5
c. Krisis Aplastik Akut
Penyebab paling sering dari kegagalan sumsum tulang yang didapat pada SCD
dan penyakit hemolitik lain adalah infeksi Parvovirus B19. Virus ini biasa
menginfeksi anak yang sehat, gejalanya ringan dan berhubungan dengan
manifestasi malaise, demam, dan terkadang ruam; virus berdampak pada
eritropoiesis dengan menginvasi progenitor sel darah merah pada sumsum tulang
dan menyebabkan kerusakan serta mencegah pembentukan sel darah merah yang
baru.2,6,7
d. Infeksi
SCD meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, terutama sepsis oleh karena
bakteri. Infeksi respirasi dipicu oleh ACS dengan tingginya risiko kematian.
Faktor risiko untuk infeksi adalah hiposplenia atau asplenia fungsional yang
terjadi pada menurunnya respons imun limpa pada usia yang sangat muda,

9
gangguan fiksasi komplemen, penurunan kapasitas oksidatif dari neutrofil yang
teraktivasi, disfungsi respons antibodi IgM dan IgG dan defek opsonisasi. Patogen
utama yang menjadi perhatian adalah Streptococcus Pneumoniae, walaupun
infeksi sistemik dan berat yang muncul dari Haemophilus Influenzae, Neisseria
Meningitides, dan Salmonellae dapat mengarah pada ostemolitis terutama
Salmonellae karena iskemia usus dan diseminasi flora normal di usus.7

e. Krisis Sekuestrasi Splenik ( Limpa )


Fungsi utama dari limpa adalah membuang sel darah merah yang rusak
termasuk sel darah merah sabit yang menyebabkan hemolisis lebih jauh. Aliran
darah melalui limpa menurunkan ketegangan oksigen secara lambat dan
meningkatkan polimerisasi HbS. Sebagai hasil dari kapiler yang sempit di
vaskuler limpa, hipoksia lebih lanjut terjadi dengan polimerisasi sel darah merah
dan terjebaknya sel darah yang terdampak. Hal ini mengarah pada siklus hipoksia,
polimerisasi sel darah merah dan penurunan aliran darah yang menyebabkan
pembesaran limpa, untuk alasan yang tidak dapat dijelaskan, yang terjadi
mendadak setelah pengumpulan darah pada vaskuler menghasilkan syok dan
kegagalan sirkulasi. Peningkatan ukuran limpa yang cepat mengarah pada distensi
abdomen, kelemahan mendadak, peningkatan rasa haus, takikardia dan takipneu.
Krisis sekuestrasi limpa adalah kondisi darurat karena jika dibiarkan tidak
ditangani dapat mengarah kepada kematian dalam 1-2 jam karena kegagalan
sirkulasi.2,7

VI. HUBUNGAN SICKLE CELLS DISEASE DENGAN ACUTE CHEST


SYNDROM
ACS adalah penyebab tersering pasien dengan SCD yang dirawat di rumah
sakit yang dapat menjadi suatu kondisi krisis dengan sifat episode berulang yang
dapat menyebabkan penyakit pulmoner kronis. Penyakit ini menyebabkan sekitar 25
% kematian pada pasien dengan SCD. ACS merupakan penyakit unik pada SCD
tetapi dalam beberapa kasus ACS dapat muncul mirip dengan pneumonia bakterial
pada pasien tanpa SCD. ACS dapat memiliki gejala klinis yang berat dan progresifitas
yang cepat dari hipoksia ringan sampai kegagalan sistem respirasi hingga kematian.
Adanya hipoksia adalah prediktor kuat dari tingkat keparahan dan hasil (outcome)
penyakit ini.10

10
Gambar 4. Patogenesis Acute Chest Syndrom.6

ACS memiliki patogenesis yang bervariasi termasuk oklusi vaskuler


pulmoner oleh eritrosit sabit, infeksi, emboli lemak pada sumsum tulang, dan
infark paru. Hal ini biasanya diikuti dengan gejala yang sangat menyakitkan,
khususnya pada dewasa dan walaupun banyak proses patologi yang mendasarinya.
Penyebab spesifik bisa sulit ditemukan, infeksi karena bakteri seperti
Mycoplasma, Chlamydia, Legionella, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, dan virus sering terjadi pada anak-anak. Makrofag pulmoner sarat
lemak pada jalan napas karena emboli lemak dari sumsum tulang juga dapat
terjadi pada sebagian kasus. Terdapat inflamasi yang menyebar di sekeliling
embolus lemak, sering menyebabkan pasien mengalami gejala yang lebih berat
dari thromboemboli.3,10

a. Oklusi Vaskular Pulmoner


Oklusi vaskuler pulmoner dianggap menjadi penyebab primer atau jalur final
yang umum pada patogenesis ACS. Disfungsi endotel dari mikrovaskular
pulmoner dengan peningkatan ekspresi dari molekul adhesi vaskuler, peningkatan
platelet dan aktivasi koagulasi plasma serta gangguan metabolisme oksida nitrat
mengarah pada thromboemboli. Eritrosit yang sampai di paru telah berada dalam
kondisi kekurangan oksigen. Sebagai tambahan, dalam vaskulatur pulmoner,

11
berbagai kejadian yang memicu kekurangan oksigen tambahan pada hemoglobin
S (HbS) dapat mengarah pada polimerisasi hemoglobin dan membuat sel darah
merah menjadi berbentuk bulan sabit menyebabkan vaso-oklusi, iskemia, dan
kerusakan endotel.11
Hemoglobin S (HbS) adalah mutasi gen globin-β yang dapat menyebabkan
deformasi sel darah merah. Studi post-mortem pada pasien SCD menunjukkan
thrombosis pulmoner in situ, infark pulmoner dan nekrosis dinding alveolus.
Selain itu, pencitraan CT-Scan Thorax potongan tipis menunjukkan bahwa saat
ACS mendemonstrasikan oklusi mikrovaskuler pulmoner, studi nuklir dan
angiografi mendokumentasikan adanya defek perfusi.10,11
Interaksi antara eritrosit bulan sabit dan endotel mikrovaskuler atau matriks
endotel dimediasi melalui beragam protein adhesi. Protein adhesi yang bervariasi
pada retikulosit sabit termasuk integrin α4β1, CD36, CD47, phosphatidyl serine,
molekul adhesi sel basal, kelompok darah lutheran, dan glikan sulfat. Reseptor sel
endotel lainnya, seperti integrin αvβ3 dan P-selectin juga memiliki peranan
penting. Komponen matriks yang berpartisipasi pada adhesi yaitu fibronektin,
thrombospondin, faktor von Willebrand dan laminin.10,11
b. Infeksi Pulmoner
Pasien dengan SCD memiliki peningkatan kerentanan terhadap beberapa
infeksi. Kerentanan ini berhubungan dengan disfungsi splenik, penurunan
aktivitas serum opsonik, dan respons antibodi yang kurang baik terhadap
komponen polisakardia kapsul bakteri. Agen infeksi dapat berupa virus atau
bakteri.10
ACS dapat terjadi karena infeksi dan organisme infeksi teridentifikasi pada
38% kasus yang dilakukan investigasi mendetail termasuk pemeriksaan kultur
darah, sampel nasofaring untuk kultur virus, kultur sputum, dan sampel serum
untuk respons antibodi serta melalui bronkoskopi. Identifikasi dari infeksi
organisme spesifik jarang terjadi dengan investigasi standar saja. Etiologi infeksi
lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa dan menunjukkan
adanya variasi musiman pada anak-anak, menjadi tiga kali lebih besar pada musim
dingin. Organisme bakteri yang paling sering teridentifikasi pada orang dewasa
adalah Chlamydophila pneumoniae dan pada anak anak adalah Mycoplasma
pneumoniae dan virus yang paling sering adalah Respiratory syncytical virus
(RSV).9

12
c. Emboli Lemak
ACS dapat pula disebabkan oleh emboli lemak. Selama keadaan krisis yang
berlangsung, vaso-oklusi dalam tulang mengarah pada nekrosis sumsum tulang
dan pelepasan emboli lemak. Hal tersebut kemudian masuk ke dalam aliran darah
dan tersangkut di vaskulatur pulmoner menyebabkan hipoksia akut. Bukti dari
emboli lemak telah ditunjukkan pada studi autopsi dimana didapatkan makrofag
sarat lemak telah ditemukan pada cairan bronkoalveolus serta pada sputum yang
terinduksi.3,9
Embolisasi lemak berhubungan dengan krisis nyeri vaso-oklusi berat yang
melibatkan banyak tulang, terutama pelvis dan femur, yang menghasilkan infark
sumsum tulang. Enzim sekretori fosfolipase A2 juga mengkonversi fosfolipid
sumsum tulang menjadi asam lemak bebas yang menginisiasi respons inflamasi
dan cedera paru lebih lanjut. 3,9,10
d. Infark Mikrovaskular Pulmoner
Oklusi mikrovaskuler in situ dan infark pulmoner juga berhubungan dengan
ACS dan dapat disebabkan oleh hipoventilasi, menyebabkan atelektasis pulmoner,
hipoksia, dan intravaskuler pulmoner yang menjadi sabit (sickling). Infark
mikrovaskular pulmoner dapat menunjukkan gejala nyeri dada dan takipneu tetapi
tanpa adanya infiltrat baru pada foto thoraks. Kelompok pasien ini biasanya
berada pada kondisi hiperkoagulasi dan mengalami peningkatan risiko emboli
pulmoner, tetapi gambaran klinisnya dapat berbeda dari ACS. 10
e. Hipoventilasi/Atelektasis
Nyeri tulang berat dari infark iga dapat mengarah pada splinting dan
hipoventilasi regional pada area nyeri. Hipoventilasi alveolus juga dapat terjadi
karena narkosis opiat pada periode pasca operasi yang diikuti dengan anestesi
umum.10
f. Asma
Diagnosis asma sebelumnya telah menunjukkan hubungan dengan
peningkatan insidensi ACS pada anak-anak. Sebuah studi kohort yang dilakukan
pada 291 bayi diikuti oleh Cooperative Study of Sickle Cell Disease selama 20
tahun menemukan bahwa 8-16% asma dan yang memiliki asma hampir dua kali
lebih banyak episode ACS-nya (0-39 episode per pasien per tahun dibandingkan
dengan 0-20 episode per pasien per tahun, dengan p< 0,001). Mereka yang
memiliki SCD dan asma lebih muda saat presentasi ACS pertamanya dengan rata

13
rata umur 2-4 tahun. Bronkospasme dan wheezing adalah yang paling sering
terjadi dalam konteks ACS, dan dapat berkontribusi terhadap hipoksia lokal.12

VII. DIAGNOSIS
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis riwayat secara menyeluruh dan pemeriksaan fisik dibutuhkan untuk
semua pasien dengan SCD yang mengalami gejala dan tanda klinis ACS bersamaan
dengan pemeriksaan tanda vital termasuk saturasi oksigen. Pasien dengan bukti
adanya desaturasi oksigen harus diukur gas darah arterinya untuk mendapatkan
konfirmasi adanya hipoksia, karena oksimeter denyut dapat menjadi kurang akurat
jika terdapat anemia yang signifikan.6
Gejala respirasi yang paling sering terjadi pada usia dewasa dengan ACS adalah
batuk, nyeri dada, sesak napas. Nyeri dada dapat terjadi pleuritik dan memproduksi
batuk. Nyeri iga dan sternum, menggigil, wheezing, dan hemoptisis juga dapat
terjadi.10

b. Pemeriksaan Radiologis
Radiografi dada dibutuhkan pada semua kasus yang dicurigai ACS yang
mengalami gejala nyeri dada dan/atau demam. Studi Cooperative Study of Sickle Cell
Disease (CSSCD) menemukan bahwa anak usia muda dapat lebih sering memiliki
infiltrat di bagian lobus atas dan tengah paru, sedangkan dewasa lebih sering
melibatkan lobus bawah atau multipel dan adanya efusi pleura. Bronkoskopi dapat
digunakan untuk diagnosis, termasuk identifikasi agen bakterial dan virus, tetapi
teknik ini berhubungan dengan peningkatan risiko kebutuhan ventilasi mekanik.4,6
Prosedur diagnostik lain untuk ACS termasuk CT-scan, scanning ventilasi-perfusi,
dan teknik pencitraan angiografi untuk mengevaluasi emboli pulmoner, yang
menunjukkan dapat terjadi di paru karena vaso-oklusi in situ dari eritrosit sabit dan
juga disebabkan thrombosis arteri pulmoner pada ACS. Defek pengisian arteri
pulmoner diduga terjadi karena vaso-oklusi sel sabit. Walaupun perluasan dari oklusi
vaskuler teridentifikasi oleh CT-Scan thoraks menunjukkan hubungan dengan tingkat
keparahan klinis dan hipoksia, pemeriksaan ini tidak direkomendasikan secara rutin
karena adanya paparan radiasi yang tinggi dan angka kekambuhan pada ACS.6

14
Gambar 5. Penemuan radiologis dan patologis pada ACS. (a) CT-Scan thoraks dari
wanita 27 tahun dengan konsolidasi bilateral multifokal karena ACS. (b) Spesimen post-
mortem dari pasien yang meninggal saat episode krisis vaso-oklusif dan ACS
menunjukkan emboli sumsum tulang pada arteri pulmoner kecil.(c) Inklusi lipid pada
makrofag alveolus yang didapatkan dari induksi sputum pada pasien dengan ACS. 6

Gambar 6. Infiltrat Pada Foto Thorax dari Acute Chest Syndrome.3

15
Gambar 7. CT - Scan Thorax Pada Acute Chest Syndrome.6

c. Pemeriksaan Laboratorium
Hitung jumlah darah lengkap yaitu jumlah sel darah putih, jumlah hitung
retikulosit, dan kultur darah serta sputum direkomendasikan pada kasus yang
dicurigai sebagai ACS. Penurunan konsentrasi Hb dan jumlah pletelet sering terjadi
pada perkembangan ACS dan dapat menjadi marker keparahan penyakit. Jumlah
retikulosit dapat digunakan untuk menilai fungsi sumsum tulang adekuat dan
mengeksklusi aplasia sel darah merah karena infeksi eritrovirus B19. ACS
berhubungan dengan kondisi inflamasi sistemik, dengan rata-rata jumlah leukosit
23.000 sel/mm3. Pemeriksaan biokimia untuk C-reactive protein (CRP) dapat
bermanfaat dalam pemantauan kondisi inflamasi pasien ACS, terutama yang
mempunyai risiko sindrom kegagalan multiorgan, walaupun sensitivitas dan spesifitas
pemeriksaan ini dapat menurun karena adanya agen infeksius. Peningkatan
fosfolipase A2 sekretori sebagai mediator inflamasi yang poten dapat terjadi pada
awal gejala dari ACS, sebelum perubahan radiologis terdeteksi sehingga pemeriksaan
ini dapat memprediksi onset dari ACS. 6
Pemeriksaan golongan darah sebaiknya dilakukan pada semua pasien dengan
risiko terjadinya ACS oleh karena adanya potensi akan kebutuhan transfusi darurat
yang dimana bergantung pada kecurigaan klinis dan riwayat pasien, dapat dilakukan
pemeriksaan electrocardiografi (ECG) dan level dari troponin serum untuk
mengevaluasi adanya kerusakan miokardium, karena kegagalan multiorgan dapat
terjadi pada krisis nyeri vaso-oklusif. 5,10

16
VIII. TATALAKSANA

Secara umum tatalaksana pasien SCD dengan ACS bersifat suportif. Diagnosis
dini dan terapi suportif dapat mengurangi tingkat keparahan dan mencegah kematian.
Terapi yang dapat diberikan berupa;13

a. Oksigen
Saturasi O2 (SpO2) harus dipantau setidaknya 4 jam sekali dengan target
saturasi oksigen > 95% atau peningkatan 3% dari saturasi awal agar perburukan
dapat segera ditangani.14
b. Cairan Intravena
Pasien dengan ACS pada umumnya tidak dapat mempertahankan status
hidrasi adekuat secara oral sehingga perlu diberikan cairan intravena. Cairan
kristaloid dapat diberikan hingga pasien dapat minum sesuai kebutuhannya.
Pemberian cairan harus berdasarkan pertimbangan dari status hidrasi, kondisi
keseimbangan cairan, kondisi kardiopulmoner dari pasien. Monitoring cairan yang
masuk dan keluar dapat dilakukan setiap hari untuk mencegah kelebihan cairan
dan perkembangan menjadi edema pulmoner akut.10,12,14
c. Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri yang adekuat penting untuk mencegah terjadinya
hipoventilasi. Hipoventilasi ini berhubungan dengan terjadinya ACS. Pemberian
anti nyeri dapat diberikan sesuai rekomendasi WHO yaitu berdasarkan step
ladder. Penggunaan golongan obat opioid sebagai anti nyeri perlu mendapat
pengawasan agar tidak terjadi penggunaan yang berlebihan oleh sebab
penggunaan yang berlebihan juga dapat memicu terjadinya acute chest
syndrome.15
Manajemen nyeri biasanya membutuhkan analgesik opioid yang efek dari
pemberian ini dapat menyebabkan depresi sistem respirasi dengan risiko terjadi
hipoksia dan potensi percepatan vaso-oklusi pulmoner. Nyeri dada pleuritis karena
splinting dinding dada dapat menurunkan ventilasi serta dapat menjadi
predisposisi atelektasis. Blok saraf intercosta dengan anestesi lokal aksi-panjang
seperti bupivakain dapat menurunkan nyeri dinding dada dan splinting serta
memiliki keuntungan tambahan penurunan jumlah analgesik sistemik yang
dibutuhkan untuk kontrol nyeri, menurunkan konsekuensi risiko depresi respirasi,
hipoksia dan atelektasis. Prosedur ini dapat memungkinkan pereda nyeri jangka

17
panjang dan dapat diulang sesuai kebutuhan untuk mengontrol gejala. Penggunaan
analgesik terkontrol pasien (patient-controlled analgesia/PCA) membantu
meminimalkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi tetapi tetap dapat
memungkinkan kontrol nyeri yang adekuat.10,14,15

Gambar 8. Manajemen Akut Pada Sickle Cells Disease (SCD).14

d. Antibiotik
Antibiotik secara umum diberikan pada semua kasus ACS, walaupun beberapa
studi mengindikasikan bahwa terapi antibiotik mungkin tidak memperpendek
gejala klinis. Umumnya infeksi bakteri pada sindroma ini adalah merupakan
bakteri atipikal sehingga pasien dapat diberikan terapi seperti pada pneumonia
komunitas yang berat. Pilihan antibiotik diberikan untuk bakteri atipikal, seperti
Mycobacterium dan Chlamydia. Petunjuk epidemiologis merekomendasikan
penggunaan sefalosporin generasi ketiga dan keempat serta makrolid, tetapi
keputusan harus dibantu dengan prevalensi dari organisme endemis atau yang

18
dicurigai, dan harus dimodifikasi ketika hasil kultur tersedia. Regimen alternatif
termasuk kuinolon dan makrolid plus golongan beta-laktam.3,10,15
Tabel 1. Antibiotik Pada Acute Chest Syndrome.10

Rekomendasi Obat Obat (bila alergi penisilin)


Antibiotik

Co-amoxiclav 3x1-2gram/ IV Ceftriaxon 1x2gr/IV


plus plus
Clarithromycin 2x500mg/IV Clarithromycin
atau oral 2x500mg/IV atau oral

Alternatif Jika alergi


Ceftriaxon 1x2gr/IV Vancomycin 2x1gr/IV
plus plus
Clarithromycin 2x500mg/IV Clarithromycin
atau oral 2x500mg/IV atau oral

Tabel 2. Regimen Antibiotik Yang Direkomendasikan.10,15

Dewasa Dewasa (alergi penisilin)

Co-amoxiclav 1-2 gr 3x/hari Seftriakson 2g 1x/hari I.V. plus


I.V. plus klaritromisin 500 klaritromisin 500 mg 2x/hari
mg 2x/hari I.V./P.O. P.O./I.V.

Regimen alternatif Jika alergi penisilin:


Seftriakson 2 gr 1x/hari IV Vankomisin 1g 2x/hari I.V. plus
plus klaritromisin dosis 500 klaritromisin 500 mg 2x/hari
mg 2x/hari I.V./P.O P.O/I.V.

e. Transfusi Darah
Pasien dengan hipoksia ACS dapat membutuhkan transfusi tukar yang segera.
Pemberian tranfusi darah menunjukkan manfaat pada kasus yang mengancam
nyawa, dimana pada salah satu penelitian menunjukkan setelah pemberian tranfusi
terdapat perbaikan klinis melalui peningkatan oksigenasi secara cepat. Tranfusi
dapat berupa tranfusi biasa untuk menambah sel darah merah maupun exchange
tranfusion. Sebuah studi menemukan bahwa tekanan parsial rata-rata dari oksigen
arterial pada pasien yang bernapas dengan udara ruangan 63 mmHg sebelum
transfusi mengalami peningkatan menjadi rata-rata 71 mmHg setelah transfusi.
19
Sebagai tambahan, saturasi oksigen dapat meningkat dari 91% menjadi 94%
dengan transfusi dan tidak ada perbedaan yang ditemukan antara transfusi tukar
sel darah merah dan transfusi sederhana.16
Tranfusi sebaiknya dilakukan pada awal terapi karena kondisi gagal napas
dapat terjadi dengan cepat, dengan target dari hemoglobin yaitu 10-11 mg/dL.
Pada exchange tranfusion diperlukan sekitar 8 kantong sel darah merah dengan
target hemoglobin 10-11 mg/dL. Exchange tranfusion diberikan pada pasien
dengan klinis berat yang tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian tranfusi
biasa. Pada penelitian yang dilakukan oleh Simonson, dkk tranfusi darah dengan
hemoglobin ≥ 8 mg/dL menurunkan masa dari lama rawat pasien. Namun
exchange transfusion tidak menunjukkan adanya perbedaan terhadap lama rawat.17

Transfusi tukar darah memiliki tambahan manfaat dengan menurunkan jumlah


sel sabit yang bersirkulasi yang mencegah partisipasinya dalam kejadian vaso-
oklusif dan menurunkan efek penghilangan hemolisis tanpa peningkatan yang
tidak dapat diterima dalam viskositas darah. Transfusi tukar diindikasikan pada
pasien yang menunjukkan gejala penyakit berat dan pada pasien yang mengalami
penurunan kondisi. Transfusi tukar dapat dilakukan dengan prosedur manual atau
otomatis. Delapan unit packed red cells (PRC) biasanya cukup untuk transfusi
tukar penuh pada dewasa dan anak di bawah 50 kg, 40 ml/kgBB PRC dibutuhkan.
14,16,17

f. Kortikosteroid
Kortikosteroid telah digunakan untuk terapi ACS, tetapi tidak ada variabilitas
signifikan pada efikasinya. Kortikosteroid menunjukkan dapat menurunkan
lamanya perawatan di rumah sakit pada ACS, tetapi penggunaan kortikosteroid
berhubungan dengan angka perawatan di rumah sakit ulang yang lebih tinggi.
Oleh karena adanya bukti tersebut, penggunaan rutin dari kortikosteroid tidak
direkomendasikan karena efek sampingnya. Kortikosteroid dapat diberikan pada
ACS dengan asma akut.10,13,14
g. Terapi Modifikasi Penyakit
Hidroxyurea
Hidroxyurea ( HU ) adalah obat pertama yang diterima Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat untuk terapi SCD homozigot dan
satu-satunya terapi modifikasi penyakit yang didukung oleh bukti yang

20
jelas pada anak dan dewasa. Hidroxyurea adalah inhibitor reduktase
ribonukleosida difosfat digunakan sebagai terapi sitoreduktif untuk
penyakit myelo-priliferatif. Hidroxyurea meningkatkan produksi Hb fetal
(HbF; α2γ2) dan penurunan polimerisasi HbS intraseluler serta efeknya
masih didapatkan pada penggunaan jangka panjang tetapi dapat reversibel
saat obat dihentikan. Manfaat seluler sekunder dari hidroxyurea pada
pasien dengan SCD homozigot adalah penurunan leukosit, platelet, jumlah
retikulosit, perubahan pada seluler, respon inflamasi, ekspresi molekul
adhesi yang menurunkan adhesi seluler patologis serta inflamasi.12
Beberapa keuntungan dari penggunaan hidroksiurea adalah sebagai berikut
:12
 Potensi meningkatkan HbF
 Penurunan krisis nyeri sampai 50%
 Penurunan angka rawat di rumah sakit untuk nyeri dan ACS
 Penurunan jumlah transfusi
HU meningkatkan produksi HbF yang meningkatkan usia hidup eritrosit,
menurunkan jumlah hemolisis, dan menurunkan jumlah retikulosit dan
secara umum dapat ditoleransi dengan baik dengan sedikit efek samping
ireversibel. Karena efek langsung HU kepada sumsum tulang,
myelosupresi merupakan efek samping yang paling umum. Oleh karena
itu, pemantauan laboratorium, terutama setelah dimulainya terapi dan saat
penaikan dosis, penting dilakukan. Evaluasi dasar sebelum dimulainya
terapi HU harus dilakukan berupa anamnesis riwayat lengkap dan
pemeriksaan fisik, evaluasi laboratorium termasuk hitung darah lengkap,
jumlah HbF, pemeriksaan fungsi liver dan ginjal, dan tes kehamilan urin
jika diindikasikan. Walaupun HU tidak menunjukkan dapat menjadi
karsinogen, studi pada hewan mendemonstrasikan bahwa agen ini dapat
menjadi mutagen dan teratogen. HU harus dihentikan 3 sampai 6 bulan
sebelum konsepsi dicoba dan ibu harus tetap menghentikan terapi HU saat
menyusui. Efek samping lain dari HU termasuk perubahan pada kulit
(hiperpigmentasi, penggelapan kuku, penipisan rambut), mual, nyeri
kepala, dan peningkatan sedikit dari kreatinin karena HU dibersihkan
melalui ginjal.12

21
Respons klinis dari pengobatan bergantung pada dosis dari hidroxyurea.
Pada dosis maksimum yang dapat ditoleransi dengan baik pada individu
dengan SCD, dosis HU dapat ditingkatkan tiap 8 minggu jika tidak ada
sitopenia dan dibatasi dosisnya sampai dosis maksimum yang dapat
ditoleransi tercapai ( Maximum Tolerated Dose/MTD). MTD didefinsikan
sebagai 35 mg/kg/hari atau dosis dimana dua episode toksisitas obat
terjadi. Hitung darah lengkap dan jumlah retikulosit harus dievaluasi setiap
4 minggu saat peningkatan dosis dan 2 minggu setelah dosis
ditingkatkan.12
h. Bantuan Respirasi
Respiratory support jarang diperlukan pada kasus acute chest syndrome.
Hanya pasien yang terlambat didiagnosis atau terlambat mendapat terapi yang
memerlukan bantuan. Perburukan hipoksia, dypspneu berat, dan perburukan
hiperkapnue sehingga terjadi asidosis merupakan indikasi untuk diberikan bantuan
pernapasan. Pada kasus tertentu seperti lesi paru yang luas, adanya penyakit paru
sebelumnya, dan tidak tersedianya tranfusi darah juga merupakan indikasi untuk
pemberian bantuan pernapasan dini.18
Hipoksia yang memburuk yang menyebabkan asidosis respirasi (pH arterial
<7,35) adalah indikasi dari dimulainya terapi suportif respirasi lebih lanjut. Hal ini
dapat dilakukan pada perawatan kritis dengan pemantauan fisiologis yang lebih
baik. Pasien dengan faktor risiko progresi ACS termasuk keterlibatan pulmoner
yang lebih luas, penyakit respirasi yang sudah ada sebelumnya, dan pada pasien
yang darahnya tidak tersedia harus dipertimbangkan diberikan intervensi awal
dengan bantuan respirasi. 19
(1) Ventilasi Non-Invasif (NIV)
NIV diharapkan memiliki manfaat fisiologis pada pasien dengan ACS
karena meningkatkan tekanan rata-rata jalan napas, menyebabkan
peningkatan kapasitas residu fungsional dan penyesuaian (compliance)
paru. Kemudian, teknik ini dapat menurunkan kerja pernapasan.10,12
NIV secara signifikan memperbaiki oksigenasi, penurunan kerja
pernapasan dan penurunan denyut jantung tetapi tidak mempengaruhi
proporsi pasien yang mengalami hipoksia saat masa perawatannya dan
kebutuhan akan transfusi darah, penggunaan opioid dan lamanya waktu
rawat pasien di rumah sakit. Selain itu, NIV berhubungan dengan

22
ketidaknyamanan pasien yang lebih besar dibandingkan terapi
konvensional.10,14,19

(2) Ventilasi Invasif


Intubasi endotrakeal dan ventilasi akan dibutuhkan pada pasien dengan
perburukan kegagalan respirasi akut walaupun NIV maksimal atau bantuan
tekanan jalan napas positif berkelanjutan telah dilakukan, pasien dengan
penurunan tingkat kesadaran dan pada pasien yang tidak bisa memproteksi
jalan napasnya. Pada situasi tersebut, ventilasi standar proteksi paru harus
disediakan dengan target volume tidal 6 ml.kg, PaO2 8 kPa dan tekanan
jalan napas puncak kurang dari 30 cm H2O. Mayoritas pasien dapat
dimanajemen dengan ventilasi mekanik konvensional.18

IX. KOMPLIKASI
Acute chest syndrome dapat menimbulkan komplikasi berupa fibrosis paru dan
chronic sickle lung disease. Kejadian acute chest syndrome berulang dihubungkan
dengan luaran fungsi paru yang lebih buruk. Pencegahan terhadap infeksi dapat
dilakukan dengan pemberian antibiotik profilaksis dengan penisilin V dan pemberian
vaksinasi. Antibiotik penisilin V direkomendasikan pada semua pasien anemia sel
sabit. Vaksin pneumokokus dan influenza juga direkomendasikan pada semua pasien
anemia sel sabit. Untuk vaksin pneumokokkus dapat diulang setiap 5 tahun,
sedangkan vaksin influenza diulang setiap tahun. Pasien juga dianjurkan untuk hindari
merokok.3,10
Penggunaan hidroksicarbamida (Hidroksiurea/HU) secara signifikan
menurunkan kejadian ACS. Obat ini direkomendasikan pada pasien yang telah
mengalami ACS yang mengancam nyawa atau pada kasus yang berulang. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Nevitt dkk, tentang penggunaan hidroksicarbamida
terhadap anemia sel sabit didapatkan obat ini efektif pada penggunaan jangka pendek
dan tidak menunjukkan efek samping yang berat dan mengancam nyawa.20
Apabila hidroksicarbamida (hidroksiurea) tidak efektif mencegah rekurensi,
maka dapat dilakukan transfusi darah secara jangka panjang. Tranfusi darah berulang
dapat menyebabkan kelebihan zat besi sehingga perlu dipertimbangkan pemberian

23
khelasi besi sejak awal. Pada pasien yang akan melakukan operasi juga perlu
diberikan tranfusi darah sebelumnya untuk mencegah terjadinya ACS.16

X. RINGKASAN
Sindrom dada akut/Acute Chest Syndrome (ACS) adalah penyakit pulmoner unik
pada pasien dengan penyakit sel sabit/sickle cell disease (SCD) yang mengarah pada
sindrom distress respirasi akut dan kematian. ACS adalah penyebab utama kematian
pada pasien dewasa dengan SCD. SCD didefinisikan sebagai radiodensitas baru pada
radiografi dada disertai dengan demam dan atau gejala pernapasan. Penting untuk
mendeteksi dini kondisi ini dan terapi agresif untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitasnya. Kunci kesuksesan manajemen dari ACS adalah kesadaran, antisipasi
perkembangannya, terutama pada pasien risiko tinggi, dan intervensi tepat waktu
dengan terapi spesifik seperti oksigen dan transfusi darah. ACS pada orang dewasa
dengan SCD memerlukan manajemen yang cepat untuk mencegah kerusakan organ
yang luas dan perburukan klinis.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Dolatakhah R. Dastgiri S. 2020. Blood transfusions for treating acute chest syndrome in
people with sickle cell disease (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews
2020, Issue 1. Art. No.: CD007843.
2. Inusa, Baba P. Lewis L. Neeraj K. Et al.Sickle Cell Disease-Genetics, Pathophysiology,
Clinical Presentation and Treatment. Int. J. Neonatal Screen. 2019;5-20.
3. Yusuf, Bello J. Abdullah A. Mohammed T. Acute Chest Syndrome. Sub-Saharan
African Journal of Medicine/Vol 1/Issue 3/Jul-Sep 2014.
4. Kato, Gregory J. Frederic B. Clarice D. Sickle cell disease. Nature Reviews. Disease
Primers; 2018 Volume 4 Article Number 18010.
5. Monus, Taylor. Christopher M. H. Review Article; Current And Emerging Treatments
For Sickle Cell Disease. Journal of The American Academy of Physician Assistants.
Sept 2019; Volume 32, Number 9; 1-5.
6. Sysol, Justin R. Roberto M. Sickle Cell Disease and Acute Chest Syndrome:
Epidemiology, Diagnosis, Management, Outcomes. Hematologic Abnormalities and
Acute Lung Syndromes, Respiratory Medicine, Springer International Publishing
Switzerland.2017, 67-84.
7. Sundd, Prithu. Mark T. Enrico M. Pathophysiology of Sickle Cell Disease. Annu. Rev.
Pathol. Mech. Dis. 2019. 14:263–92.
8. Conran, Nicola. John D. Inflammation In Sickle Cell Disease. Clinical Hemorheology
and Microcirculation 68, Hematology Center, University Of Campinas.2018; 263–299.
9. Novelli, Enrico M. Mark T. Crises in Sickle Cell Disease; Contemporary Reviews in
Critical Care Medicine. CHEST 2016. 149(4):1082-1093.
10. Howard, Jo. Nicholas Hart. Marylin R-H. Et al. Guideline On The Management of
Acute Chest Syndrome In Sickle Cell Disease. Departemen of Haematology, British
Journal of Haematology. 2015; 169, 492–505.
11. Badamosi, NU. Camacho PE. Freire AX. Et al. Management of Sickle Cell Disease
Complications Beyond Acute Chest Syndrome. Journal of Blood Medicine, Centre For
Sickle Disease University of Tennessee Health Science Center, Memphis; Dove Press
Ltd. 2021:12; 101-114.

25
12. Kapoor, Sargam. Jane A. Lydia H. Review article. Advances In The Treatment of
Sickle Cell Disease. Mayo Clin Proc; Mayo Foundation for Medical Education and
Research 2018 : 1-15.
13. Meier, Emily R. Treatment Options for Sickle Cell Disease. Pediatr Clin N Am 65.
2018; 427–443.
14. Atoyebi, Wale. Sickle Cell Disease (SCD). Acute Pain Crisis: a Medical Emergency;
Wessex and Thames Valley Haemoglobinopathy Network. NHS. November 2020; 1-4.
15. Abboud, Miguel R. Standar Management of Sickle Cell Disease Complications.
Review article; Elsevier. 17 March 2020; 1-6.
16. Estcourt LJ. Kimber C. Trivella M. Et al. Preoperative Blood Transfusions for Sickle
Cell Disease (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews. 2020, Issue 7. Art.
No.: CD003149.
17. Simonson, Joseph L. Juliana A. Noah G. Hemoglobin Target and Transfusion Modality
for Adult Patients With Sickle Cell Disease Acute Chest Syndrome. Original Research;
Journal of Intensive Care Medicine; 1-7.2020.
18. Farkas, Josh. 2020. Sickle Cell Acute Chest Syndrome. The Internet Book of Critical
Care. https://emcrit.org/ibcc/sickle-chest.
19. Atoyebi, Wale. Acute Chest Syndrome in Patients With Sickle Cell Disease: Clinical
Guideline. Thames Valley Haematology Network. NHS 2019; 1-4.
20. Nevitt SJ. Jones AP. Howard J. Hydroxyurea (hydroxycarbamide) For Sickle Cell
Disease (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2017, Issue 4. Art. No :
CD002202.

26

Anda mungkin juga menyukai