Anda di halaman 1dari 12

PERANGKAT HUKUM DAN REGULASI BANK DAN INDUSTRI KEUANGAN

NON-BANK (IKNB) SYARIAH DI INDONESIA

Oleh: Hikmatul Aliyah

A. Pendahuluan

Perkembangan industri keuangan Syariah di Indonesia tidak dapat


dilepaskan aspek perangkat hukum dan regulasi. perangkat hukum dan
regulasi tersebut berperan penting dalam memberikan kejelasan status hukum
kelembagaan maupun infrastruktur penunjang, aturan-aturan serta sistem
pengawasan. Dibentuknya perangkat hukum dan regulasi tidak saja
mendorong perkembangan bank syariah akan tetapi diikuti juga dengan
berkembangnya lembaga keuangan syariah di luar struktur perbankan, antara
lain Asuransi Takaful, Pasar Modal Syariah, Pegadaian Syariah, dan Baitul
Maal wat Tamwil ( BMT) yang dikenal dengan istilah Industri Keuangan
Non-Bank (IKNB) Syariah.
Keberadaan lembaga keuangan syariah merupakan sistem keuangan
yang telah lama diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,
terutama umat Islam Indonesia. Jasa keuangan dan perbankan yang sesuai
dengan syariat Islam sangat dibutuhkan, khususnya berkaitan dengan
pelanggaran praktik riba, jauh dari kegiatan yang spekulatif yang serupa
dengan perjudian, ketidakjelasan, pelanggaran prinsip keadilan dalam
bertransaksi, serta keharusan penyaluran pembiayaan.
Dalam perkembangannya lembaga keuangan Syariah memiliki
perbedaan-perbedaan dengan lembaga keuangan konvensional yang
mengakibatkan perlu diciptakannya perangkat hukum dan regulasi yang lebih
khusus. Dalam rangka pengembangan produknya, lembaga keuangan Syariah
memiliki paradigma yang berbeda dengan paradigma yang ada dalam lembaga
keuangan konvensional, yang umumnya memakai satu jenis transaksi yaitu
pinjaman. Dalam lembaga keuangan syariah produk-produk harus
dikembangkan mengikuti karakter dan sifat produk syariah yang berbeda satu
sama lain sesuai dengan maksud pelakunya. Misalnya, karakter produk
murabahah pada bank syariah adalah jual beli barang. Bank bertindak sebagai
penjual dan nasabah sebagai pembeli (Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2016),
atau karakteristik produk tabungan atau deposito wadiah adalah titipan,
nasabah berlaku sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank untuk
memanfaatkan dana yang dititipkannya. Sementara, terkait pengelolaan
dananya, bank syariah yang bertindak sebagai pihak yang dititipi dana
tersebut[ CITATION Oto15 \l 1033 ] . Tentunya, aturan-aturan khusus juga
dibutuhkan dalam aktivitas-aktivitas keuangan pada IKNB Syariah.
Tulisan ini akan membahas bagaimanakah perkembangan perangkat
hukum dan regulasi mengenai perbankan Syariah dan Industri Keuangan Non-
Bank (IKNB) Syariah di Indonesia.

B. Definisi Bank Dan LKNB Syariah

Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-


Prinsip Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda
utama dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut
mengacu kepada syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan
Hadist. Definisi tersebut merupakan konsep dasar bank Syariah yang diakui
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara Industri Keuangan Non-Bank
(IKNB) Syariah adalah bidang kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas di
industri asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa
keuangan lainnya, yang dalam pelaksanaannya tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah.

C. Kepastian Hukum Bank Dan LKNB Syariah


Sejak bermulaianya industri perbankan dan kuangan Syariah di
Indonesia, aturan hukum yang memberikan pengaruh yang paling berarti bagi
tentang perbankan di Indonesia adalah Undang-undang No. 7 Tahun 1992
yang mengesahkan berlakunya dual banking system, yang terdiri dari
konvensional dan Syariah. Ketentuan ini juga mengatur bahwa Bank Umum
Konvensional dapat membukan Unit Usaha Syariah (UUS) yang dapat
memberikan pelayanan jasa keuangan berdasarkan prinsip syariah.
Ketentuan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang
memperjelas diperkenankannya aktivitas keuangan berdasarkan prinsip
Syariah terdapat dalam Pasal 1 angka (12), Pasal 6 huruf (m), dan Pasal 13
huruf (c). Adapun kelengkapan mengenai ketentuan tentang bagi hasil
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang
Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pada pasal 2 ayat 1 PP tersebut
menetapkan bahwa: ”prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan
syariat” (harus sesuai dengan syariat Islam). Selanjutnya dalam beberapa
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) telah mulai mengatur tentang bank
syariah walaupun tidak menggunakan istlah bank syariah akan tetapi
menggunakan istilah ” bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Pada momen ini
keseriusan berdirimya institusi perbankan Syariah di Indonesia ditandai
dengan Didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1
November 1991, Sebagai Bank Syariah Pertama Indonesia
Pada tanggal 10 Nopember 1998 telah diundangkan UU No. 10 Tahun
1998 yang merupakan amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan tersebut diatas. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 terdapat beberapa
perubahan dan penyempurnaan yang bersifat substansial dalam mendukung
perkembangan perbankan Syariah di Indonesia. Pokok-pokok penyempurnaan
hukum yang berkaitan dengan perkembangan perbankan syariah tersebut
mengatur peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah. Artinya, undang-undang ini membuka
kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan syariah, antara lain
melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh bank
konvensional. Dalam hal bank umum melakukan kegiatan usaha berdasarkan
syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja dan
kantor cabang khusus, yaitu Unit Usaha Syariah dan Kantor Cabang Syariah.
Sedangkan, BPR harus memilih kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
saja, atau berdasarkan sistem konvensional saja.
Pada Mei 2008, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang
No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau UU Sukuk
Negara (sovereign sukuk). Penerbitan sukuk memiliki tujuan yang yaitu untuk
membiayai anggaran negara, divesifikasi sumber pembiayaan, memperluas
basis investor, mengelola pembiayaan negara dan menjamin tertib
administrasi pengelolaan Barang Milik Negara. Diundangkannya UU No.
19/2008 semakin memperluas dan mempertkuat landasan hukum perbankan
Syariah dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Syariah di Indonesia.

Pada perkembangan selanjutnya, UU perbankan syari’ah No 10 Tahun


1998 mengalami amandemen dengan ditetapkannya UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang diharapkan lebih spesifik dan memacu
pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Berkaitan dengan UUS bank
konvensional, menurut UU ini, eksistensi UUS sebagai unit kerja atau devisi
dari bank konvensional tidaklah bersifat permanen, namun bersifat sementara.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 68 ayat 1 yang menyatakan: “Dalam hal Bank
Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling
sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15
(lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum
Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi
Bank Umum Syariah.” Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa
bank umum konvensional diwajibkan melakukan pemisahan (spin-off) UUS
yang dimilikinya menjadi Bank Umum Syariah apabila nilai asetnya telah
mencapai minimal 50 persen dari total nilai aset bank induknya atau telah
beroperasi selama 15 tahun semenjak berlakunya UU perbankan syariah ini.

D. Peningkatan wewenang Bank Indonesia Sebagai Regulator

Diakuinya Sistem Keuangan Syariah selain menuntut kepastian hukum


juga membutuhkan adanya regulasi yang sesuai dengan karakteristik keguatan
usahanya, sehingga Peran Bank Indonesia dalam menciptakan sistem regulasi.
Kebutuhan atas regulasi Syariah merupakan salah satu yang difasilitasi
melalui perubahan Kebijakan moneter yang diatur dalam UU Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi UU nomor 3 Tahun 2004.

E. Peran Bank Konvensioanal dan Peningkatan Badan Otoritatif

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 merupakan stimulus berdirinya


beberapa unit usaha syaraih dari bank konvensional, diantaranya Bank BRI
Syariah, BNI Syariah, Bank Danamun Syariah, Bank Syariah Mandiri dll.
Sentara ditetapkanya UU No. 21 Tahun 2008 berkaitan dengan pemisahan
(spin-off) UUS, telah mendorong beberapa UUS dari bank konvensional
untuk memisahkan diri, sehingga telah berdiri sabagai Bank Umum Syarah
seperti BRI Syariah, BNI Syariah, BNI Syariah dan tentunya bank Muamalat
yang sejak awal merupakan Bank dengan berdasarkan pada prinsip bagi hasil.

Perkembangan industri keuangan Syariah kemuadian diikuti dengan


berdirinya ASBISINDO (Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia) pada tahun
2006 yang merupakan wadah perkumpulan perbankan syariah yang ada di
wilayah Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara dan Kebumen.
Selanjutnya juga hadir sejumlah aktor lain dalam industri keuangan syariah
Indonesia termasuk MES (Masyarakat Ekonomi Syariah), IAEI (Ikatan Ahli
Ekonomi Islam), PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah), AASI
(Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia), dll. Para pemain ini telah
berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan keuangan syariah di
Indonesia. Akan tetapi, karena kurangnya visi dan koordinasi bersama, upaya-
upaya mereka sampai saat ini belum berpengaruh signifikan dalam membawa
industri ini lebih jauh.

F. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya


keresahan dari berbagai pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia.
Ada tiga hal yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan,
yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan
lintas sektoral industri jasa keuangan, dan amanat Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia. Beberapa permasalahan seperti krisis 1997-1998 dan
krisis ekonomi global tahun 2008 menunjukkan efektifitas bahwa dalam
melaksanakan tanggung jawab Bank Indonesia terutama sebagai pengatur dan
pengawas bank dinilai gagal. Kegagalan Bank Indonesia untuk menciptakan
stabilitas sektor keuangan dan sistem perbankan yang sehat, menimbulkan
perdebatan mengenai pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan.
Sejak krisis ekonomi tahun 1998, muncul pemikiran untuk memisahkan
pembinaan dan pengawasan bank dengan cara membentuk suatu lembaga
pengawas keuangan. Ide awal pembentukan ini adalah karena penilaian
kegagalan bank- bank sentral di sejumlah negara, termasuk di Indonesia,
mendorong dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut
OJK. Bank Sentral dianggap tidak mampu menciptakan stabilitas sektor
keuangan dan menciptakan perbankan yang sehat

Pemerintah dan DPR kemudian menyepakati untuk memisahkan


kewenangan kebijakan perbankan makro dan mikro, di mana bank sentral
menangani perbankan makro, sedangkan perbankan mikro diserahkan pada
suatu lembaga pengawas jasa keuangan (LPJK). Belum lagi LPJK terbentuk,
Pemerintah mengajukan RUU Perubahan UU tentang BI, yang setelah
disetujui oleh DPR menjadi UU No. 3 Tahun 2004. Berdasarkan UU tersebut,
LPJK (yang kemudian disebut OJK) dibentuk paling lambat tahun 2010.
Namun target waktu ini pun tidak dapat dipenuhi karena alotnya pembahasan
RUU tentang OJK antara Pemerintah, BI dan DPR. RUU OJK akhirnya
disetujui oleh DPR pada tanggal 27 Oktober 2011 dan kemudian menjadi UU
No. 21 Tahun 2011. .
Setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, maka sistem baru dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa
keuangan di Indonesia telah dimulai. OJK adalah lembaga yang independen
dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi untuk
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan pada sektor jasa keuangan.Pembentukan OJK
ini mengakibatkan kewenangan-kewenangan tersebut beralih dari BI dan
Bapepam-LK ke OJK. Sekarang ini, segala tugas, fungsi dan wewenang Bank
Indonesia dalam hal pengaturan dan pengawasan perbankan beralih ke OJK
termasuk kasus dan sengketa perbankan yang dalam penanganan Bank
Indonesia juga dialihkan ke OJK. Terlihat dalam ketentuan peralihan yang
termuat dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 menyebutkan bahwa :

1. Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang


pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
2. Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.

Dalam hal ini BI hanya memiliki kewenangan di bidang kebijakan


moneter saja, sedangkan Bapepam-LK lebur menjadi OJK dan tidak lagi di
bawah Kementerian Keuangan. OJK diharapkan dapat menjaga stabilitas sistem
keuangan untuk pencegahan dan penanganan krisis keuangan, meminimalisir
tindak kejahatan di sistem dan lembaga keuangan, tidak akan menjadi
kepanjangan tangan pemerintah, partai politik yang tengah berkuasa, atau pun
pihak-pihak lain yang berkepentingan.

G. Kedudukan Dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah


DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh MUI yang secara structural
berada di bawah MUI. Tugas DSN adalah menjalankan tugas MUI dalam
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi syariah, baik
yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah ataupun yang
lainnya. Pada prinsipnya, pembentukan DSN dimaksudkan oleh MUI sebagai
usaha untuk efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang
berhubungan dengan masalah ekonomi dan keuangan. Disamping itu, DSN
diharapkan dapat berperan sebagai pengawas, pengarah dan pendorong penerapan
nilai-nilai dan prinsip ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Oleh sebab itu,
DSN-MUI berperan secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat
Indonesia dibidang ekonomi dan keuangan.

DSN-MUI adalah satu-satunya lembaga yang diberi amanat oleh Undang-


Undang untuk menetapkan fatwa tentang ekonomi dam keuangan syariah. Selain
itu DSN-MUI merupakan organisasi yang didirikan untuk memberikan ketentuan
hukum Islam kepada LKS dalam menjalankan aktivitasnya. Bagi LKS ketentuan
hukum itu sangat penting dan menjadi dasar hukum utama dalam menjalankan
opersinya. Tanpa ada ketentuan hukum, termasuk aspek hukum Islam akan
menyulitkan LKS dalam menjalankan seluruh aktivitasnya.

Dengan demikian, pengakuan terhadap fatwa-fatwa DSN-MUI sebagai


satu-satunya panduan dalam menjalankan operasional LKS tidak terlepas dari
usaha untuk memperkecil perbedaan interpretasi syariah yang dapat berujung
pada perbedaan penetapanhukum terhadap suatu kasus yang berlaku. Hal ini perlu
karena domain penetapan hukum Islam (fiqh) dan karakter fiqh yang elastic
adalah luas dan sangat bergantung pada factor-faktor yang mempengaruhi
ketetapan hukum Islam.

1. Struktur dan keanggotaaan DSN-MUI adalah sebagai berikut:


Ketua DSN-MUI

Pengurus Pleno
37 Anggota

Sekretaris DSN-
Badan Pelaksana MUI

Pokja Perbankan dan Pokja Asuransi dan Pokja Pasar Modal dan
Pegadaian Bisnis Syariah Prog. Program

Salah satu tugas lembaga DSN-MUI adalah menggali,


mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam
(syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan paduan dalam kegiatan
dan urusan ekonomi pada umumnya dan khususnya terhadap urusan
dan kegiatan transaksi LKS, yaitu untuk menjalankan operasional LKS
dan mengawasi pelaksana dan implementasi fatwa.
DSN-MUI memiliki otoritas sebagai berikut:
1) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di
masing-masing Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar
tindakan hukum pihak kredit.
2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan atau
peraturan yang dikeluarkan oleh institusi yang berhak seperti
Kementrian Keuangan dan Bank Indosnesia.
3) Memberikan dukungan dan atau mencabut dan menyokong nama-
nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu
Lembaga Keuangan Syariah.
4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperluakan dalam pembahasan ekonomi syariah termasuk otoritas
moneter atau lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
5) Memberikan rekomendasi kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional.
6) Mengusulkan kepada institusi yang berhak untuk mengambil tindakan
apabila perintah tidak didengar.
H. Perkembangan Pasar Modal Syariah dan Sukuk

Sampai dengan 1990-an tabungan dan deposito masih menjadi pijakan


utama bagi industri keuangan Syariah. Namun dengan perkembangan perbankan
Syariah yang semakin meningkat, pertumbuhan kagiatan keuangan Syariah tidak
bisa hanya dilakukan oleh Industri perbankan saja.

Pada April 2008, 22 sukuk dam 3 sukuk korporasi diterbitkan. Pada


Agustus 2008 Sukuk Ritel di Indonesia (RS001) menggunakan akad perjanjian
ijaroh (sale and lease back), dengan imbal hasil 12%, dan bertenor tiga tahun.
SR-001 tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Akan tetapi akibat kindisi krisis,
dana yang terkumpul hanya sebesar 2.71 Triliyun Rupiah. Sampai ketika keadaan
stabil pada tahun 2009, perusahaan asuransi paling besar membeli sukuk
mencapai 50,7% senilai Rp 2,3 triliun dari total Rp 4,6 triliun. Kedua terbesar
adalah perbankan syariah senilai Rp 780 miliar atau 16,6%. Kemudian disusul
lembaga keuangan senilai Rp 724 miliar atau 15,4%. Dana pensiun senilai Rp 346
miliar atau 7,3%, reksadana Rp 198 miliar atau 4,2%. Dari kategori yayasan
mencapai Rp 158 miliar atau 3,3%. Perbankan konvensional senilai Rp 105 miliar
atau 2,2% dan individu senilai Rp 3 miliar atau 0,06%.

Sebagai bagian dari sistem pasar modal Indonesia, kegiatan di Pasar


modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah juga mengacu kepada Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal berikut peraturan
pelaksananaannya (Peraturan Bapepam-LK, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Bursa dan lain-lain). Bapepam-LK selaku regulator pasar modal di Indonesia,
memiliki beberapa peraturan khusus terkait pasar modal syariah, sebagai berikut:

1. Peraturan Nomor II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek


Syariah

2. Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah


3. Peraturan Nomor IX.A.14 tentang Akad-akad yang digunakan dalam
Penerbitan Efek Syariah

Pada Mei 2008 lalu, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang


No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau UU
Sukuk Negara (sovereign sukuk). Adapun Regulasi yang berhubungan dengan
pasar modal syariah Indonesia dikeluarkan oleh OJK dalam bentuk peraturan dan
pemerintah langsung dalam bentuk Undang-undang dan peraturan pendukungnya.
Khusus regulasi OJK, sampai dengan tahun 2018 terdapat 10 peraturan tentang
pasar modal Syariah.

Saham-saham yang masuk akan diseleksi oleh JII (Jakarta Islamic Index)
dengan beberapa syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan. Efek syariah yang
telah diterbitkan di pasar modal Indonesia meliputi saham syariah, sukuk (istilah
baru pengganti obligasi syariah), dan reksa dana syariah.

Selain itu terdapat sejumlah fatwa DSN-MUI yang menjadi salah satu
rujukan dalam mengembangkan pasar modal syariah Indonesia. Sampai dengan
saat ini, terdapat 17 fatwa DSN-MUI yang berhubungan dengan pasar modal
syariah. Tiga (3) fatwa DSN-MUI yang menjadi dasar pengembangan pasar
modal syariah adalah:

1. Fatwa DSN-MUI No: 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman


Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa dana Syariah.
2. Fatwa DSN-MUI No: 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan
Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal
3. Fatwa DSN-MUI No. 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip
Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar
Reguler Bursa Efek.
I. Sumbar Daya Manusia dan Hambatan Bank dan IKNB Syariah

Anda mungkin juga menyukai