1. Zakat Penghasilan
Zakat penghasilan adalah masalah baru, tidak pernah ada dalam sepanjang
sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW. Penggagas zakat penghasilan adalah
Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah, yang diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia oleh Dr. KH. Didin Hafidhuddin.
Pendapatan pada hakikatnya merupakan uang yang dihasilkan dari usaha atau
pekerjaan seseorang. Menurut Al Qardhawi pekerjaan yang menghasilkan uang ada
dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung
kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh
dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang
doktor, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya. Yang
kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah,
perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan
tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa
gaji, upah, ataupun honorarium.
1. Ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta
untuk dikeluarkan zakatnya.
2. Berbagai pendapat ulama terdahulu, maupun sekarang. Sebagian
menggunakan istilah yang bersifat umum, yaitu al-amwaal. Sementara
sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah al-Maal al-
Mustafaad.
3. Dari sudut keadilan, penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang
dimiliki akan terasa sangat jelas. Para petani harus berzakat, apabila hasil
panen pertaniannya mencukupi nishab. Dan sangat adil, jika zakat ini pun
bersifat wajib pada penghasilan yang diperoleh para pekerja profesional
semacam dokter, dosen, konsultan hukum dan lain sebagainya.
4. Sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial manusia, kususnya bidang
ekonomi. Kegiatan ekonomi masyarakat dalam bentuk keahlian dan profesi
semakin berkembang dan bahkan menjadi ladang penghasilan utama sebagian
besar masyarakat. Karenanya, zakat profesi menjadi penting dan harus
diterapkan.
Secara prinsip yang menjadi objek zakat ini adalah upah kerja atau pendapatan
yang secara rutin diterima setiap bulan atau setiap selesainya suatu pekerjaan.
[CITATION Kha10 \l 1057 ]. Adapun dalam menentukan nishab, waktu, kadar dan cara
mengeluarkan zakat profesi, terdapat beberapa kemungkinan kesimpulan dalam
menentukan nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi. Hal ini tergantung
pada qiyas (analogi) yang dilakukan.
Pertama, jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nisahb, kadar dan
waktu mengeluarkannya mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan
zakat emas dan pera. Nisabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 persendan
waktu mengeluarkanya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok. Kedua,
jika dianalogikan pada zakat pertanian. maka nishabnya senilai 653 kg padi atau
gandum, kadar zakatnya sebesar 5 persen dan dikeluarkan pada setiap pendapatan gaji
atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Ketiga, jika dianalogikan pada zakat rikaz,
maka zakatnya sebesar 20 persen tanpa ada nisbah, dan dikeluarkan pada saat
menerimanya.
Berdasarkan pendapat yang penulis nukilkan dari buku Dr. KH. Didin
Hafidhuddin, M.Sc. maka sangat memungkinkan zakat profesi ini waktunya
disesuaikan dengan zakat pertanian: setiap musim panen atau dalam hal ini ketika
seseorang mendapat honor (gaji). Dan kadarnya disesuaikan dengan zakat
perdagangan atau sama dengan zakat emas dan perak, yaitu kadar zakatnya 2,5
persen. Jadi, setiap bulan seseorang harus mengeluarkan zakat profesi sebesar 2,5
persen dari besarnya gaji
2. Zakat Perusahaan,
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.
Namun harus diakui bahwa kewajiban zakat bagi perusahaan masih memiliki
dua pandangan yang berbeda di kalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini
disebabkan karena memang lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang
belum ada teks yang mewajibkannya sehingga ulama fiqh generasi pertama tidak
mewajibkan zakat. Tetapi umumnya ulama kontemporer yang mendalami masalah
zakat, mengkategorikan perusahaan sebagai wajib zakat.
Dalam kaitan ini Muktamar Internasional ke-1 tentang Zakat di Kuwait pada
tahun 1404 menetapkan kewajiban zakat terhadap saham. Karena itu, dari sudut
hukum, saham termasuk ke dalam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kewajiban
zakat ini akan lebih jelas dan gamblang, apabila dikaitkan dengan nash-nash yang
bersifat umum, seperti surah at-Taubah: 103 dan al-Baqarah: 267 yang mewajibkan
semua harta yang dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya. Adapun diputuskan juga
bahwa jika perusahaan telah mengeluarkan zakatnya sebelum deviden dibagikan
kepada para pemegang saham, maka para pemegang saham tidak perlu lagi
mengeluarkan zakatnya. Jika belum mengeluarkan, maka tentu para pemegang
sahamlah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya. Dan hal ini harus dituangkan
dalam peraturan perusahaan.
4. Zakat Obligasi
Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa obligasi adalah perjanjian tertulis dari
bank, perusahaan, atau pemerintah kepada pemegangnya untuk melunasi sejumlah
pinjaman dalam masa tertentu dengan bunga tertentu pula. Qaradhawi menjelaskan
perbedaan antara saham dan obligasi, sebagai berikut: Pertama, saham merupakan
bagian dari harta bank atau perusahaan, sedangkan obligasi merupakan pinjaman
kepada perusahaan, bank atau pemerintah. Kedua, saham memberikan keuntungan
sesuai dengan keuntungan perusahaan atau bank, yang besarnya tergantung pada
keberhasilan perusahaan atau bank itu, tetapi juga menanggung kerugiannya.
Sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu (bunga) atas pinjaman tanpa
bertambah atau berkurang.
Ketiga, pemilik saham berarti pemilik sebagian perusahaan dan bank itu sebesar
nilai sahamnya. Sedangkan pemilik obligasi berarti pemberi utang atau pinjaman
kepada perusahaan, bank atau pemerintah. Keempat, deviden saham hanya dibayar
dari keuntungan bersih perusahaan, sedangkan bunga obligasi dibayar setelah waktu
tertentu yang ditetapkan.
Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa jika obligasi itu dibebaskan dari
zakat, maka akibatnya orang lebih suka memanfaatkan obligasi dari pada saham.
Dengan demikian, orang akan terdorong untuk meninggalkan yang halal dan
melakukan yang haram. Dan juga bila ada harta haram, sedangkan pemiliknya tidak
diketahui, maka ia disalurkan kepada sedekah. Tetapi jika suatu obligasi hanya
tergantung pada bunga, maka obligasi itu bukan merupakan obyek atau sumber zakat.
Dari sisi perhitungan terhadap zakat tabungan ini, terdapat tiga metode yang
dapat digunakan. Pertama, dihitung dari saldo akhir. Jika saldo akhir melebihi batas
nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen. Sebagai contoh,
seseorang menabung pada tanggal 1 Januari 2013 sebesar Rp 25 juta. Kemudian
selama satu tahun (354 hari) hingga 20 Desember 2013, yang bersangkutan
melakukan aktivitas penyetoran maupun penarikan dana, sehingga saldo akhirnya
pada tanggal tersebut mencapai angka Rp 50 juta. Bila diasumsikan harga emas sama
dengan Rp 500 ribu/gram, maka nishabnya mencapai angka Rp 42,5 juta. Dengan
saldo yang ada, maka total zakat yang harus dikeluarkannya mencapai angka Rp 1,25
juta. Ini adalah pendapat yang paling umum dipakai.
Pendekatan kedua, dihitung dari nilai saldo terendah selama satu tahun. Jika
nilai saldo terendahnya melebihi nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5
persen. Sedangkan pendekatan ketiga, dihitung dari nilai saldo rata-rata setiap
bulannya. Ini juga berlaku untuk saving account. Munculnya pendekatan ini sebagai
antisipasi terhadap kemungkinan nasabah menarik dana tabungannya sebelum
mencapai haul karena tidak ingin mengeluarkan zakat dari dana yang disimpannya.
Dalam pendekatan ketiga ini, nasabah bisa meminta bank untuk membuatkan data
saldo rata-rata bulanan. Jika melebihi nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya
sebesar 2,5 persen. Dalam konteks Indonesia, metode perhitungan yang bisa
digunakan menurut hemat penulis adalah metode pertama atau metode ketiga.
Selanjutnya, hal yang juga sangat penting diketahui adalah terkait dengan
sumber dana tabungan. Jika sumber dana tabungan yang disetor berasal dari gaji yang
telah dikeluarkan zakat penghasilannya, maka pada akhir tahun yang sama, tidak
perlu dikeluarkan lagi zakat tabungannya. Namun, jika dana tersebut disimpan dalam
bentuk deposito syariah atau diinvestasikan kembali dalam produk-produk investasi
syariah lainnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah memenuhi syarat.
[ CITATION ElM13 \l 1057 ]