Anda di halaman 1dari 1

Sejak akhir Desember 2019, masyarakat dunia dikejutkan dengan hadirnya sebuah

wabah baru yang menyerang manusia di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Penyakit ini
disebabkan oleh virus corona (Covid-19) dan menimbulkan gejala utama berupa gangguan
pernapasan bahkan sampai menimbulkan kematian.
Kondisi ini membuat tatanan kehidupan manusia berubah secara drastis. Tatanan
ekonomi dunia menjadi aspek terbesar yang terkenas imbasnya karena manusia dilarang
untuk melakukan aktivitas ekonomi secara masif, seperti berkerumun, harus menjaga jarak,
memakai masker dan lainnya. Bahkan beberapa negara ada yang melakukan kebijakan untuk
menghentikan segala aktivitasnya untuk beberpa waktu yang cukup lama (lockdown). Tidak
hanya aspek ekonomi yang terkena imbas, aspek keagamaan pun harus menyesuaikan dengan
kondisi wabah pandemi. Umat beragama harus mengikuti protokol kesehatan, sehingga
beberapa ritual keagamaan yang dilakukan secara berjamaah di rumah
Wabah Corona yang terjadi dan menimpa umat beragama, memaksa masyarakat
untuk mengambil pilihan. Banyak tatanan ibadah yang berubah teknisnya. Misal ; shalat
berjamaah yang dalam aturannya merapatkan dan meluruskan shaf (barisan), dipaksa oleh
Covid-19 memakai masker dan harus menjaga jarak, dan memakai masker agar tidak
bersentuhan fisik secara langsung. Ibadah di Mesjid, Gereja, Wihara, Pura, Klenteng juga
diberi batas jarak antara satu jamaah dengan jamah yang lain, bahkan beberapa bulan awal
pandemi, umat beragama dilarang untuk ibadah di rumah ibadat. Mereka disarankan untuk
ibadah di rumah masing-masing.
Sebagai dampak dari perubahan situasi ini, masyarakat dan individu diharuskan untuk
dapat penyesuaian terhadap lingkungan di sekitarnya. Setiap hari data pasien Covid-19 terus
bertambah. Ada yang masih sembuh, masih dalam perawatan, juga meninggal. Kita bisa
menyaksikan setiap perkembangan ini di media digital. Di sini lah peran agama dapat
dimaksimalkan. Caranya adalah mengimbau penganutnya masing-masing agar taat pada para
ahli ilmu kesehatan, ahli keamanan publik, maupun pada otoritas yang berwenang menjaga
keamanan, kenyamanan dan keselamatan warganya. Para alim ulama, pastor, pendeta, biku,
sesepuh, memiliki andil yang sangat besar untuk mendidik dan memberikan teladan
bagaimana menjadi warga negara yang taat hukum demi kemaslahatan bersama.
Dalam situasi saat ini maka psikologi agama berperan sebagai pembangkit perasaan
dan kesadaran beragama serta pembinaan moral dan mental keagamaan manusia, apalagi di
masa pandemi sat ini banyak kondisi perilaku masyarakat yang berubah. Maka ada beberapa
peran psikologi agama yang dapat dimaksimalkan di masa pandemi saat ini yaitu: 1)
Menanamkan cara berpikir positif. Berpikir positif adalah berpikir yang mengarah pada hal-
hal yang bersifat baik entah itu terhadap diri sendiri, orang lain ataupun keadaan yang sedang
dihadapi. Seseorang yang memiliki pikiran positif akan selalu melihat setiap masalah apalagi
wabah dengan cara yang positif maka tidak mudah terpengaruh dengan berbagai tantangan
dan hambatan yang dihadapi. 2) Fungsi edukatif. Agama berfungsi untuk menyuruh perintah
Allah dan tidak melakukan larangan Allah guna mengarahkan bimbingan bagi penganutnya
agar terbiasa melakukan hal-hal yang baik menurut ajaran agama Allah. 3) Memupuk
solidaritas. Penganut agama secara psikologis memiliki kesamaan kesatuan iman dan
kepercayaan. Rasa kesatuan tersebut menimbulkan solidaritas baik secara individu maupun
secara berkelompok. Psikologi agama juga berperan sebagai pembinaan persaudaraan yang
kokoh yang dapat diwujudkan dalam sikap saling menghargai antar sesama manusia. Apalagi
dimasa pandemi saat ini, banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan, maka sudah
kewajiban kita untuk saling membantu satu sama lainnya.

Anda mungkin juga menyukai