Anda di halaman 1dari 59

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi orbita biasanya diklasifikasikan sebagai selulitis preseptal

(lokasi infeksi melibatkan area di depan septum orbita) dan selulitis orbita

(lokasi infeksi melibatkan area di belakang septum orbita). Kriteria

Chandler yang ditetapkan pada tahun 1970 telah menjadi standar untuk

menjelaskan rentang klinis infeksi daerah orbita dan periorbita. Septum

orbita adalah suatu membran yang terletak pada tepi orbita hingga tarsus

palpebra dan dianggap sebagai penanda anatomis selulitis orbita. Secara

umum selulitis periorbita didefinisikan sebagai keradangan infeksius

purulen jaringan di sekitar mata (adneksa okuler dan jaringan orbita).1,2

Sedangkan selulitis orbita adalah infeksi aktif jaringan lunak orbita yang

terletak posterior dari septum orbita, termasuk lemak dan otot dalam

tulang orbital dan lebih sering mengenai anak anak. 1,2 Selulitis orbita

biasanya berasal dari penyebaran infeksi berdekatan yaitu sinus

paranasal.1

Lebih dari 90% kasus selulitis orbita maupun periorbita terjadi

akibat kasus sekunder karena infeksi sinus paranasal akut atau kronis

terutama di sinus ethmoid, sehingga faktor predisposisi terutama riwayat

penyakit sinus atau riwayat operasi di sinus harus ditanyakan dan

dilakukan pemeriksaan CT-scan sinus paranasal. 3 Pasien biasanya


2

datang dengan kelopak mata bengkak unilateral yang disertai dengan

mata merah atau tidak merah.4 Diagnosis yang cepat dan tepat sangat

penting karena ada potensi morbiditas dan mortalitas yang signifikan. 2

Faktor predisposisi selulitis orbita lainnya adalah trauma okuli, riwayat

operasi, dakriosistitis, sisa benda asing di mata dan periorbita, infeksi gigi

(odontogen), tumor orbita atau tumor intraokuler, serta endoftalmitis. 4

Seringkali manifestasi klinis kedua jenis infeksi ini mirip karena

terjadi secara berkelanjutan. Selulitis preseptal biasanya ringan dan tidak

menyebabkan komplikasi berat, sedangkan selulitis orbita dapat

menyebabkan hilangnya penglihatan hingga kematian. Selulitis orbita juga

dikaitkan dengan sejumlah komplikasi serius lainnya seperti meningitis,

sindroma apex orbita atau trombosis sinuskavernosus, dan sepsis. Oleh

karena itu, selulitis orbita berpotensi menjadi penyakit mematikan apabila

6
tidak tertangani dengan baik.

Manajemen pasien dengan infeksi orbita tergantung pada durasi

penyakit dan sejauh mana keterlibatan orbita. 7 Terapi medikamentosa

agresif harus diberikan sejak dini untuk mencegah infeksi berkembang

lebih lanjut, sementara terapi surgikal diindikasikan jika terdapat abses

atau adanya benda asing.5

1.2. Tujuan

Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk melaporkan

penatalaksanaan pada kasus selulitis preseptal dan kasus selulitis orbita.


3

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Kasus 1 : Selulitis Preseptal Sininstra

2.1.1 Identifikasi

Tn. MI, laki-laki usia 28 tahun, alamat di luar kota, datang ke IGD

RSMH Palembang pada tanggal 27 Maret 2020 dengan keluhan bengkak

pada kelopak bawah mata kiri. Nomor rekam medik: 11.68.536

2.1.2 Anamnesis (Autoanamnesis, 27 Maret 2020)

2.1.2.1 Keluhan Utama

Bengkak pada kelopak bawah mata kiri sejak 7 hari SMRS

2.1.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak ± 7 hari SMRS, pasien mengeluh bengkak pada kelopak

bawah mata kiri. Bengkak yang semula nampak seperti jerawat dirasakan

makin membesar dan nyeri. Bengkak menutupi mata kiri, kelopak mata

kemerahan, disertai mata berair (+) dan demam (+). Keluhan batuk (-),

hidung tersumbat (-). Pasien kemudian berobat ke RSMH.

2.1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat sinusitis disangkal

 Riwayat sakit gigi atau gigi berlubang disangkal


4

 Riwayat trauma disangkal

 Riwayat pemakaian kaca mata sebelumnya disangkal

 Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal

2.1.3 Pemeriksaan Fisik (27 Maret 2020)

2.1.3.1 Tanda-Tanda Vital

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88x/menit

Pernafasan : 22x/menit

Temperatur : 37,8°C

2.1.3.2 Status Generalis

Kepala/leher : dalam batas normal, tidak ada pembesaran KGB,

mata (lihat status oftalmologikus)

Toraks : paru dalam batas normal, suara jantung normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal


5

2.1.3.3 Status Oftalmologikus

OD OS

Foto Klinis

Visus 6/6 Belum dapat dinilai


Tekanan
18,5 mmHg Belum dapat dinilai
intraokuler
Kedudukan
Simetris
bola mata
0 0
Gerakan
0 0 Belum dapat dinilai
bola mata
0 0
Superior : Edema (+)
Palpebra Tenang Inferior : Edema (+), fluktuasi
(+), sekret (+)
Konjungtiva Tenang Sekret (+)
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm
Pupil
RAPD (-) RAPD (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen
posterior RFOD (+) RFOS (+)
FODS
Papil Bulat, batas tegas, warna
merah normal, c/d 0,3, a/v Belum dapat dinilai
Makula 2:3
Retina RF (+)
Kontur pembuluh darah baik
6

2.1.4. Pemeriksaan Penunjang

2.1.4.1. Hasil Laboratorium ( 28 Maret 2020)

Hb : 14,8 g/dL Na2+ : 138 mEq/L

Lekosit : 12.400/mm3 K+ : 4,8 mEq/L

Trombosit : 408.000/μL GDS : 117 mg/dL

Eritrosit : 4.950.000/mm3 HbsAg: non-reaktif

BUN/SK : 31 mg/dL / 0,63 mg/dL

2.1.5. Diagnosa Banding

- Selulitis preseptal okuli sininstra

Abses palpebra okulis sinistra

- Selulitis orbital okuli sinistra

Abses palpebra okulis sinistra

2.1.6. Diagnosis Kerja

Selulitis preseptal okuli sininstra

Abses palpebra okulis sinistra

2.1.7. Penatalaksanaan

1. Injeksi ampisilin 1 g/24 jam IV (5 hari)

2. Asam mefenamat 500 mg/8jam PO

3. Chloramphenicol EO/8 jam OS

4. Pro cek laboratorium


7

5. Pro insisi drainase abses palpebra OS dengan anasthesis

umum

6. Konsul anestesi untuk toleransi anestesi umum

2.1.8. Jawaban Konsul Anasthesi

Kesan : Acc operasi

Puasa 6 jam preop

2.1.9. Prognosis

1. Quo ad vitam : Bonam

2. Quo ad functionam : Bonam

3. Quo ad sanationam : Bonam

2.1.10. Laporan operasi

1. Operasi dimulai pukul 11.00 WIB.

2. Penderita dalam posisi terlentang dimeja operasi.

3. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik dengan menggunakan

povidon iodine pada mata kiri.

4. Lapangan operasi dipersempit dengan menggunakan doek steril

5. Dilakukan insisi pada lateral abses

6. Dilakukan irigasi aspirasi untuk mengeluarkan pus dan darah

7. Dilakukan pemasangan drain

8. Dilakukan injeksi gentamisin ke dalam luka abses


8

9. Luka operasi ditutup dengan kassa steril

10. Operasi selesai pukul 11.15 WIB.

2.1.11. Follow Up

2.1.11.1. Follow Up (31 Maret 2020)

Keluhan : Nyeri (-)

OD OS

Foto Klinis

Visus 6/6 6/9


Tekanan
18,6 mmHg 18,6 mmHg
intraokuler
Kedudukan
bola mata
Ortoforia
0 0 0 0
Gerakan
0 0 0 0
bola mata
0 0 0 0
Superior : Tenang
Palpebra Tenang Inferior : Edema (+), pus (+),
sekret (+), drain (+) baik
Konjungtiva Tenang Kemosis (+) temporoinferior
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm
Pupil
RAPD (-) RAPD (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen RFOD (+) RFOS (+)
9

posterior
FODS
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal, c/d 0,3, a/v merah normal, c/d 0,3, a/v
Makula 2:3 2:3
Retina RF (+) RF (+)
Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik

Diagnosis Kerja

Post insisi drainase OS a.i selulitis preseptal OS + abses palpebra

palpebra OS (H+2)

Penatalaksanaan

1. Amoxicillin 500 mg/8 jam PO

2. Asam mefenamat 500 mg/8jam PO

3. Chloramphenicol EO/8 jam OS

4. Acc rawat Jalan

5. Kontrol ulang 1 minggu

2.1.11.2. Follow Up (8 April 2020)

Keluhan : Nyeri (-)

OD OS
Foto Klinis
10

Visus 6/6 6/6


Tekanan
18,5 mmHg 18,3 mmHg
intraokuler
Kedudukan
bola mata
Ortoforia
0 0 0 0
Gerakan
0 0 0 0
bola mata
0 0 0 0
Superior : Tenang
Palpebra Tenang
Inferior : edema (+) minimal
Konjungtiva Tenang Tenang
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm
Pupil
RAPD (-) RAPD (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen
posterior RFOD (+) RFOS (+)
FODS
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal, c/d 0,3, a/v merah normal, c/d 0,3, a/v
Makula 2:3 2:3
Retina RF (+) RF (+)
Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik

Diagnosis Kerja

Post insisi drainase OS a.i selulitis preseptal OS + abses palpebra

palpebra OS (H+9)

Penatalaksanaan
11

1. Amoxicillin 500 mg/8 jam PO

2. Chloramphenicol EO/8 jam OS

2.2. Kasus 2 : Selulitis Orbital Sininstra

2.2.1 Identifikasi

Sdr. NF, laki-laki usia 15 tahun, alamat di dalam kota, dikonsulkan

dari bagian THT-KL pada tanggal 4 April 2020 dengan rhinosinusitis

dengan kecurigaan komplikasi ke orbita sinistra. Nomor rekam medik:

478671.

2.2.2. Anamnesis (Autoanamnesis, 4 April 2020)

2.2.2.1. Keluhan Utama

Kelopak mata kiri bengkak sejak ± 3 hari SMRS

2.2.2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengeluh kelopak mata kiri bengkak

disertai mata merah (+), nyeri (-), berair-air (-), kotoran mata (-),

pandangan kabur (-). Pasien juga mengeluh demam (+) tidak tinggi, pilek

(+) dan hidung tersumbat (+), mula muntah (-).

Sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengeluh kelopak mata kiri menjadi

semakin bengkak dan mata lebih menonjol, disertai sulit membuka mata

(+). Keluhan pandangan kabur (+), pandangan ganda (+), mata merah (+),

nyeri (+) saat menggerakkan mata, kotoran mata (-), mata berair – air (-),
12

demam (+). Pasien lalu berobat kedokter mata, diberikan 2 macam obat

dan disarankan kontrol ke dokter THT. Pasien kemudian berobat ke dokter

THT dan dirujuk ke RSMH untuk dirawat. Dari bagian THT, pasien

tersebut di konsulkan kebagian mata.

2.2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat rhinitis alergi (+) sejak umur 9 tahun

 Riwayat sakit gigi atau gigi berlubang disangkal

 Riwayat trauma disangkal

 Riwayat pemakaian kaca mata sebelumnya disangkal

 Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal

 Riwayat pengobatan

o Dari dokter spesialis mata

 Tobramycin 3mg + dexametason 1 mg ED 1 gtt/ 8 jam OS

 Carboxymethyl cellulose sodium ED 1 gtt / 8 jam OS

o Dari bagian THT

 Paracetamol 500 mg / 8 jam PO

 Inj. Metronodazole 500 mg / 8 jam (IV)

 Inj. Gentamicin 1 ampul / 8 jam (IV)

2.2.3. Pemeriksaan Fisik (4 April 2020)

2.2.3.1. Tanda-Tanda Vital

Kesadaran : Compos mentis


13

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 80x/menit

Pernafasan : 24x/menit

Temperatur : 37,5°C

2.2.3.2. Status Generalis

Kepala/leher : dalam batas normal, tidak ada pembesaran KGB,

mata (lihat status oftalmologikus)

Toraks : paru dalam batas normal, suara jantung normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal

2.2.3.3. Status Oftalmologikus

OD OS

Foto Klinis

Visus 6/6 6/60


Tekanan
18,5 mmHg 21,9 mmHg
intraokuler
Kedudukan Proptosis
bola mata Non axial displacement kearah superolateral
Gerakan 0 0 -2 -2
14

0 0 -2 -2
bola mata
0 0 -2 -2
Superior : Edema (+)
Palpebra Tenang
Inferior : Edema (+)
Kemosis (+)
Konjungtiva Tenang
Injeksi konjungtiva (+)
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm
Pupil
RAPD (-) RAPD (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen
posterior RFOD (+) RFOS (+)
FODS
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal, c/d 0,3, a/v merah normal, c/d 0,3, a/v
Makula 2:3 2:3
Retina RF (+) RF (+)
Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik

2.3. Pemeriksaan Penunjang

2.3.2. Hasil Laboratorium (3 April 2020)

Hb : 14,3 g/dL Na2+ : 142 mEq/L

Lekosit : 15.970/mm3 K+ : 4,0 mEq/L

Trombosit : 472.000/μL GDS : 115 mg/dL

Eritrosit : 4.950.000/mm3 HbsAg: non-reaktif


15

2.3.3. Hasil CT scan orbita (2 April 2020)

Kesimpulan:

- Proptosis ringan OS tampak peradangan dengan keterlibatan

m. rectus medialis OS

- Sinusitis ethmoidalis sinistra

- Deviasi septum nasi ke sinistra

2.4. Diagnosis Banding

- Selulitis orbita okuli sinistra ec. sinusitis ethmoidalis sinistra

- Proptosis okulis sinistra ec susp. presudotumor

2.5. Diagnosis Kerja

- Selulitis orbita okuli sinistra ec. sinusitis ethmoidalis sinistra

Diagnosis THT:
16

- Rhinosinusitis kronis dengan komplikasi orbita

2.6. Penatalaksanaan

- Tobramycin 3mg + dexametason 1 mg ED 1 gtt/ 8 jam OS

- Carboxymethyl cellulose sodium ED 1 gtt / 8 jam OS

- Timolol 0,5 % ED 1 gtt / 12 jam OS

- Injeksi Ampicilin 1 gr / 12 jam IV (4 hari) (H1)

- Injeksi Metilprednisolon 250 mg / 12 jam IV (H1)

- Rawat bersama dengan bagian THT

- Konsul gigi

Penatalaksanaan dari bagian THT :

- Paracetamol 500 mg / 8 jam PO

- Inj. Metronodazole 500 mg / 8 jam (IV) (H+2)

- Inj. Gentamicin 1 ampul / 8 jam (IV) (H+2)

2.7. Prognosis

a. Quo ad vitam : Bonam

b. Quo ad functionam : Bonam

c. Quo ad sanationam : Bonam

2.8. Follow Up

2.8.2. Follow Up (5 April 2020)


17

Keluhan : mata kiri lebih menonjol, pandangan kabur (+), pandangan

ganda (+), nyeri (+) berkurang

OD OS

Foto Klinis

Visus 6/6 6/30


Tekanan 19,6 mmHg
18,5 mmHg
intraokuler 1 macam obat
Kedudukan Proptosis
bola mata Non axial displacement kearah superolateral
0 0 -1 -1
Gerakan
0 0 -1 -1
bola mata
0 0 -2 -2
Superior : Edema (+)
Palpebra Tenang
Inferior : Edema (+)
Kemosis (+)
Konjungtiva Tenang
Injeksi konjungtiva (+)
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm
Pupil
RAPD (-) RAPD (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen
posterior RFOD (+) RFOS (+)
FODS
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal, c/d 0,3, a/v merah normal, c/d 0,3, a/v
18

Makula 2:3 2:3


Retina RF (+) RF (+)
Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik

Diagnosis

- Selulitis orbita okuli sinistra ec. sinusitis ethmoidalis sinistra


Diagnosis THT:

- Rhinosinusitis kronis dengan komplikasi orbita

Penatalaksanaan

- Tobramycin 3mg + dexametason 1 mg ED 1 gtt/ 8 jam OS

- Carboxymethyl cellulose sodium ED 1 gtt / 8 jam OS

- Timolol 0,5 % ED 1 gtt / 12 jam OS

- Injeksi Ampicilin 1 gr / 12 jam IV (4 hari) (H2)

- Injeksi Metilprednisolon 250 mg / 12 jam IV (H2)

Penatalaksanaan dari bagian THT :

- Paracetamol 500 mg / 8 jam PO

- Inj. Metronodazole 500 mg / 8 jam (IV) (H3)

- Inj. Gentamicin 1 ampul / 8 jam (IV) (H3)

Jawaban Konsul Gigi : Saran Ro panoramic

2.8.3. Follow Up (6 April 2020)

Keluhan : mata kiri menonjol (+) berkurang, penglihatan ganda (+),


19

OD OS

Foto Klinis

Visus 6/6 6/12


Tekanan 18,5 mmHg
18,5 mmHg
intraokuler 1 macam obat
Kedudukan Proptosis
bola mata Non axial displacement kearah superolateral
0 0 -1 -1
Gerakan
0 0 -1 -1
bola mata
0 0 -2 -2
Palpebra Tenang Tenang
Khemosis (+), arah jam 3-9
Konjungtiva Tenang
Injeksi konjungtiva (+)
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm
Pupil
RAPD (-) RAPD (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen
posterior RFOD (+) RFOS (+)
FODS
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal, c/d 0,3, a/v merah normal, c/d 0,3, a/v
Makula 2:3 2:3
Retina RF (+) RF (+)
Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik
20

Diagnosis

- Selulitis orbita okuli sinistra ec. sinusitis ethmoidalis sinistra dengan


perbaikan klinis
Diagnosis THT:

- Rhinosinusitis kronis dengan komplikasi orbita

Penatalaksanaan

- Tobramycin 3mg + dexametason 1 mg ED 1 gtt/ 8 jam OS

- Carboxymethyl cellulose sodium ED 1 gtt / 8 jam OS

- Timolol 0,5 % ED 1 gtt / 24 jam OS

- Injeksi Ampicilin 1 gr / 12 jam IV (4 hari) (H3)

- Injeksi Metilprednisolon 250 mg / 12 jam IV (H3)

Penatalaksanaan dari bagian THT :

- Inj. Metronodazole 500 mg / 8 jam (IV) (H+4)

- Inj. Gentamicin 1 ampul / 8 jam (IV) (H+4)

Hasil Pemeriksaan Ro Panoramic

Kesan :

- Tidak ditemukan kelainan pada gigi molar 2 rahang kiri atas

- Hanya ditemukan impaksi molar 3 rahang bawah kanan dan kiri

- Pro observasi
21

2.8.4. Follow Up (8 April 2020)

Keluhan : Penglihatan ganda (+) saat melihat kebawah

OD OS

Foto Klinis

Visus 6/6 6/6


Tekanan
18,5 mmHg 18,5 mmHg
intraokuler
Kedudukan
ortophoria
bola mata
0 0 0 0
Gerakan
0 0 0 0
bola mata
0 0 0 0
Palpebra Tenang Tenang
Konjungtiva Tenang Injeksi konjungtiva (+)
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm
Pupil
RAPD (-) RAPD (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen
posterior RFOD (+) RFOS (+)
FODS
22

Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna


merah normal, c/d 0,3, a/v merah normal, c/d 0,3, a/v
Makula 2:3 2:3
Retina RF (+) RF (+)
Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik

Diagnosis

- Selulitis orbita okuli sinistra ec. sinusitis ethmoidalis sinistra


dengan perbaikan klinis
Diagnosis THT:

- Rhinosinusitis kronis dengan komplikasi orbita

Penatalaksanaan

- Tobramycin 3mg + dexametason 1 mg ED 1 gtt/ 8 jam OS

- Carboxymethyl cellulose sodium ED 1 gtt / 8 jam OS

- Timolol 0,5 % ED 1 gtt / 24 jam OS

- Injeksi Metilprednisolon 125 mg / 12 jam IV (Tapp off 1)

Penatalaksanaan dari bagian THT :

- Inj. Metronodazole 500 mg / 8 jam (IV) (H6)

Inj. Gentamicin 1 ampul / 8 jam (IV) (H6)

2.8.5. Follow Up (10 April 2020)

Keluhan : Pandangan ganda (+) saat melihat ke bawah

OD OS
Foto Klinis
23

Visus 6/6 6/6


Tekanan
18,5 mmHg 18,5 mmHg
intraokuler
Kedudukan
Ortoforia
bola mata
0 0 0 0
Gerakan
0 0 0 0
bola mata
0 0 0 0
Palpebra Tenang Tenang
Konjungtiva Tenang Tenang
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm
Pupil
RAPD (-) RAPD (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen
posterior RFOD (+) RFOS (+)
FODS
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal, c/d 0,3, a/v merah normal, c/d 0,3, a/v
Makula 2:3 2:3
Retina RF (+) RF (+)
Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik

Diagnosis

- Selulitis orbita okuli sinistra ec. sinusitis ethmoidalis sinistra dengan


perbaikan klinis
Diagnosis THT:
24

- Rhinosinusitis kronis dengan komplikasi orbita

Penatalaksanaan

- Tobramycin 3mg + dexametason ED 1 mg 1 gtt/ 8 jam OS

- Carboxymethyl cellulose sodium ED 1 gtt / 8 jam OS

- Timolol 0,5% ED 1 gtt / 24 jam OS

- Metilprednisolon 125 mg/12 jam IV (tapp off 3)

Penatalaksanaan dari bagian THT :

- Inj. Metronodazole 500 mg / 8 jam (IV) (H8)

- Inj. Gentamicin 1 ampul / 8 jam (IV) (H8)

2.8.6. Follow Up (13 April 2020)

Keluhan : pandangan ganda (-)

OD OS

Foto Klinis

Visus 6/6 6/6


Tekanan
18,5 mmHg 18,5 mmHg
intraokuler
Kedudukan
Ortophoria
bola mata
0 0 0 0
Gerakan
0 0 0 0
bola mata
0 0 0 0
25

Palpebra Tenang Tenang


Konjungtiva Tenang Tenang
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm Bulat, sentral, RC (+), Ø 3 mm
Pupil
RAPD (-) RAPD (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen
posterior RFOD (+) RFOS (+)
FODS
Papil Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
merah normal, c/d 0,3, a/v merah normal, c/d 0,3, a/v
Makula 2:3 2:3
Retina RF (+) RF (+)
Kontur pembuluh darah baik Kontur pembuluh darah baik

Diagnosis

- Selulitis orbita okuli sinistra ec. sinusitis ethmoidalis sinistra


dengan perbaikan klinis
Diagnosis THT:

- Rhinosinusitis kronis dengan komplikasi orbita

Penatalaksanaan

- Carboxymethyl cellulose sodium ED 1 gtt / 8 jam OS

- Acc rawat jalan


26

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Orbita

Orbita berbentuk suatu rongga yang secara skematis digambarkan

sebagai piramida yang berkonvergensi ke arah posterior. Puncaknya

adalah foramen optikum, dan dasarnya menghadap ke anterior dan

terbuka disebut aditus orbitae. Sedangkan dinding-dindingnya meliputi

dinding medial, dinding lateral, dinding atas (atap orbita), dan dinding

bawah (dasar orbita). Orbita terletak di kanan dan kiri basis nasi (pangkal

hidung).4

Tulang-tulang yang membentuk orbita berjumlah 7 buah, yaitu

tulang frontal, tulang zigoma, tulang sphenoid, tulang maksila, tulang

etmoid, tulang nasal, dan tulang lakrimal. Antara dinding lateral (dinding

temporal) dengan atap orbita terdapat fissura orbitalis superior. Antara

dinding lateral dengan dasar orbita terdapat fissura orbitalis inferior.


27

Antara dinding medial dengan atap orbita terdapat foramen ethmoidalis

anterius dan posterius. Antara dinding medial dengan dasar orbita

terdapat fossa sacci lacrimalis.4

Di setiap rongga orbita, dinding lateral lateral dan medialnya

membentuk sudut 45°. Tulang frontalis, zygoma, serta maxilla membentuk

celah melingkar yang kokoh dan sedikit lebih kecil ukurannya dibanding

dasar piramida sehingga menyediakan perlindungan untuk bola mata.

Volume orbita manusia dewasa kira-kira 30 ml dan bola mata hanya

menempati sekitar seperlima bagian dari rongga tersebut (± 6 ml). Lemak

dan otot menempati bagian terbesarnya.5,8

Batas anterior rongga orbita adalah septum orbita yang berfungsi

sebagai pemisah antara palpebra dan orbita. Septum orbita ini

sebenarnya merupakan fascia bagian dari otot orbikularis yang terletak

pada tepi orbita dan tarsus serta berfungsi sebagai penghalang antara

kelopak mata dan orbita. Septum orbita memiliki lubang yang dilewati oleh

pembuluh darah dan nervus lakrimalis, arteri dan nervus supratroklearis,

pembuluh darah dan nervus supraorbitalis, nervus infratroklearis,

anastomosis antara vena angularis dan vena oftalmikus, serta muskulus

levator palpebrae superior. Septum orbita bagian superior bergabung

dengan tendon muskulus levator palpebrae superior dan tarsus superior,

sedangkan septum orbita bagian inferior bergabung dengan tarsus

inferior.5,8
28

Gambar 1. Anatomi orbita


Dikutip dari American Academy of Ophthalmology, Orbit, Eyelids and Lacrimal System in
Basic and Clinical Science Course. 2018-2019

Orbita berhubungan dengan sinus paranasalis. Lantai orbita yang

tipis dan dinding medial yang setipis kertas (lamina papyracea) mudah

rusak akibat trauma langsung pada bola mata, menyebabkan fraktur

blowout dengan herniasi isi orbita ke arah inferior ke dalam antrum sinus

maksilaris atau ke medial ke dalam sinus ethmoidalis. Infeksi yang terjadi

di dalam sinus ethmoidalis dapat menyebar ke dalam orbita dan infeksi di

yang terjadi di dalam sinus sphenoidalis dapat mengenai nervus optikus. 8

Gambar 2. Dinding medial orbita sinistra


29

Dikutip dari American Academy of Ophthalmology, Orbit, Eyelids and Lacrimal System in
Basic and Clinical Science Course. 2018-2019

3.2. Klasifikasi Selulitis Periorbita Menurut Chandler

Klasifikasi komplikasi orbita menurut Chandler terdiri dari: 9,10,11

a. Selulitis periorbita: peradangan pada palpebra yang ditandai dengan

edema pada palpebra;

b. Selulitis orbita: peradangan dan edema sudah meluas ke orbita,

ditandai dengan adanya proptosis, kemosis dan gangguan pergerakan

bola mata. Biasanya bisa meluas menjadi abses orbita dan kebutaan;

c. Abses periorbita (abses subperiosteal): pembentukan dan

pengumpulan pus antara periorbita dan dinding tulang orbita, yang

ditandai dengan proptosis dengan perubahan letak bola mata,

gangguan pergerakan bola mata dan penurunan visus. Terjadi pada

15–59% kasus selulitis orbita;

d. Abses orbita: terdapat pembentukan dan pengumpulan pus di orbita

ditandai dengan optalmoplegi, proptosis dan kehilangan penglihatan.

Terjadi pada 24% kasus selulitis orbita;

e. Trombosis sinus kavernosus: sudah terjadi perluasan infeksi ke sinus

kavernosus yang ditandai dengan proptosis, optalmoplegi, kehilangan

penglihatan disertai perluasan tanda infeksi ke mata yang sehat dan

tanda-tanda meningitis.
30

Gambar 3. Selulitis periorbita menurut Chandler


(Dikutip dari: Garrity J. Preseptal and orbital cellulitis. MSD Manual
Professional Edition. 2019)

3.3. Selulitis Preseptal

3.3.1. Definisi Selulitis Preseptal

Selulitis preseptal menurut definisi AAO adalah infeksi umum dari

kulit dan jaringan lunak di anterior dari septum orbita yang dicirikan

dengan eritema palpebra akut serta edema. Infeksi ini tidak melibatkan

bola mata. Nama lain selulitis preseptal yang digunakan oleh sebagian

klinisi adalah selulitis periorbita.5,9

3.3.2. Etiologi Selulitis Preseptal

Selulitis preseptal biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi

yang berasal dari infeksi saluran nafas atas terutama rhinosinusitis

maupun infeksi setelah trauma lokal. Sekitar 60% kasus selulitis preseptal

pada anak berasal dari sebaran rhinosinusitis, sedangkan pada penderita

dewasa lebih banyak berasal dari trauma lokal. Ethmoiditis akut adalah
31

jenis rhinosinusitis tersering yang menjadi penyebabnya. Infeksi yang

berasal dari sinus ethmoidalis sangat cepat berkembang, terutama karena

lamina papyracea adalah satu-satunya batas antara sinus ethmoidalis

dengan orbita. Lamina ini sangat tipis serta memiliki lubang alami yang

disebut lubang Zuckerkandl. Lubang ini memungkinkan lewatnya nervus

dan pembuluh darah.5,12,13

Gambar 4. Penderita dengan selulitis preseptal


Dikutip dari: Clinical Ophthalmology: A Aystemic Approach. 2016

Selulitis preseptal jarang menyebabkan komplikasi berat, namun

sebagian kasus dapat berkembang menjadi selulitis orbita. Selain melalui

septum orbita, selulitis preseptal dapat menyebar melalui sistem vena

fasialis yang tidak memiliki katup sehingga memungkinkan penyebaran

infeksi ke arah posterior membentuk abses subperiosteal hingga abses

orbita.9,12

3.3.3. Epidemiologi Selulitis Preseptal

Selulitis preseptal dapat terjadi pada berbagai usia, namun lebih

sering terjadi pada populasi pediatrik. Kira-kira 80% penderita selulitis


32

preseptal adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun, dengan mayoritas

berusia kurang dari 5 tahun. Penderita selulitis preseptal cenderung

berusia lebih muda dibanding penderita selulitis orbita. Tingginya insidensi

selulitis preseptal pada anak-anak disebabkan karena sistem kekebalan

tubuh yang belum berkembang baik, terutama kurangnya produksi IgG

pada balita sehingga lebih rentan terhadap infeksi bakteri Haemophilus

influenzae dan Streptococcus spp. Perkembangan vaksin menyebabkan

kasus selulitis preseptal yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae

berkurang.9,12,13

3.3.4. Patogenesis Selulitis Preseptal

Bakteri utama penyebab selulitis preseptal adalah Staphylococcus

aureus, Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus pyogenes.

Penyebab yang lebih jarang adalah Acinetobacter spp., Nocardia

brasiliensis, Bacillus anthracis, Pseudomonasa aeruginosa, Neisseria

gonorrhoeae, Proteus spp., Pasteurella multocida, Mycobacterium

tuberculosis, dan Trichophyton spp. Bakteremia dari Pseudomonas

aeruginosa terutama dijumpai pada penderita imunokompromi. Sebagian

peneliti juga mencatat infeksi jamur yang dapat menyebabkan selulitis,

terutama dari Mucorales dan Aspergillus spp.9-12

Selain berasal dari sebaran rhinosinusitis, selulitis preseptal juga

dapat berasal dari sebaran hematogen infeksi jaringan sekitar wajah dan
33

palpebra setelah trauma lokal (termasuk pasca bedah strabismus), gigitan

serangga, gigitan binatang, benda asing, maupun impetigo. 9,12

3.3.5. Faktor Risiko Selulitis Preseptal

Ada beberapa faktor risiko terjadinya selulitis preseptal berupa

riwayat lesi terdahulu pada palpebra seperti:9

a. Hordeolum

b. Kalazion

c. Gigitan serangga

d. Lesi akibat trauma

e. Lesi akibat prosedur pembedahan di dekat palpebra terdahulu

f. Lesi akibat operasi rongga mulut

g. Dakriosistitis

Infeksi saluran napas atas, khususnya sinusitis juga menjadi faktor

risiko terjadinya selulitis preseptal. Beberapa penyakit atau kondisi

sistemik juga dilaporkan menjadi faktor risiko terjadinya selulitis preseptal

adalah varisela, asma, polip nasal, dan netropenia.9

3.3.6. Diagnosis Selulitis Preseptal

Penderita selulitis preseptal biasanya datang berobat dengan

keluhan nyeri mata satu sisi, pembengkakan dan kemerahan pada

kelopak mata, penglihatan kabur, serta keluarnya cairan berlebihan dari

mata. Terdapat berbagai tanda selulitis preseptal termasuk eritema dan


34

edema yang terkadang sangat parah hingga penderita sulit membuka

mata spontan, hingga kemosis (pembengkakan konjungtiva) yang terjadi

pada selulitis preseptal berat. Penderita terkadang juga mengeluhkan

kelemahan badan dan demam (subfebris). Anamnesis lain yang juga

harus digali adalah riwayat sinusitis atau infeksi saluran napas atas,

trauma, riwayat pembedahan daerah orbita sebelumnya, riwayat infeksi

dari area dekat orbita atau gigitan serangga, hingga riwayat alergi.9,12

Pemeriksaan mata menyeluruh harus dilakukan untuk menegakkan

diagnosis selulitis preseptal ini. Palpebra dan adneksa okuler harus

diperiksa untuk tanda-tanda trauma lokal. Visus, gerak bola mata, maupun

tekanan intraokuler biasanya normal karena infeksi dan keradangan

hanya terjadi di superfisial dan anterior dari jaringan periokuler tanpa

melibatkan otot ekstraokuler. Ada kemungkinan dijumpai limfadenopati

servikal, mandibula, ataupun preaurikula. Terkadang pemeriksa juga

menjumpai konjungtivitis ataupun kemosis pada kasus selulitis preseptal

yang berat. Selain itu, harus diperiksa pula adanya defek pada pupil yang

mungkin mengesankan sebaran keradangan melewati septum hingga

kompresi nervus optikus.9,12

Penegakan diagnosis selulitis preseptal terutama didasarkan pada

pemeriksaan fisik (klinis) dengan dukungan temuan radiologis. Pada

banyak kasus, sulit membedakan secara klinis antara selulitis preseptal

dan selulitis orbita. Penggunaan modalitas radiologis CT scan orbita dan

sinus dapat membantu membedakan kedua kondisi tersebut serta dapat


35

menilai dari mana infeksi berasal. Indikasi pemeriksaan CT scan orbita

pada kecurigaan selulitis preseptal adalah: 9,12

a. Kecurigaan adanya abses, untuk memastikan keterlibatan intrakranial;

b. Adanya keterbatasan gerak bola mata atau nyeri saat menggerakkan

bola mata;

c. Adanya gejala neurologis pada pemeriksaan;

d. Kasus pada anak dengan klinis berat atau curiga adanya benda asing;

e. Edema palpebra parah disertai demam atau lekositosis tanpa

perbaikan setelah 24 jam pemberian antibiotik.

Hasil CT scan untuk selulitis preseptal akan menunjukkan

pembengkakan palpebra dan jaringan lunak preseptal yang berdekatan,

tidak adanya proptosis, tidak adanya jalinan lemak pada rongga orbita

atau obliterasi bidang lemak, dan tidak adanya keterlibatan muskulus

ekstraokuler atau tidak adanya keradangan orbita. Jika hasil CT scan

masih tidak jelas, maka penderita harus diterapi seperti terapi selulitis

orbita.9,12

Pemeriksaan ultrasonografi orbita dapat menjadi alat yang berguna

untuk membantu mendiagnosis keradangan orbita, meskipun memerlukan

operator yang berpengalaman dan alat khusus yang belum tentu tersedia

di sebagian besar pusat kesehatan. Ultrasonografi dilaporkan memiliki

sensitivitas yang lebih tinggi untuk mencari abses orbita, namun dianggap

memiliki resolusi yang lebih buruk pada apeks orbita dan tidak
36

memungkinkan visualisasi simultan jaringan sinus maupun jaringan

intrakranial di sekitarnya.9,12

Pemeriksaan MRI sekalipun lebih aman karena tidak mengandung

radiasi pengion, jarang dilakukan karena memerlukan waktu pengerjaan

yang lebih lama dibanding CT scan. Selain itu MRI sulit dilakukan pada

anak kecil tanpa bantuan sedasi maupun di luar jam kerja. MRI diffusion-

weighted dapat membantu diagnosis abses orbita. 9

3.3.7. Diagnosis Banding Selulitis Preseptal

Selain harus dibedakan dari selulitis orbita, selulitis preseptal

memiliki beberapa diagnosis banding, yakni:9,12

a. Dermatitis kontak alergi (misalnya reaksi alergi terhadap antibiotik

topikal)

b. Konjungtivitis bakterial maupun konjungtivitis viral (pink eye)

c. Hordeolum maupun kalazion

d. Evaluasi mata merah

e. Fistula karotid-kavernosa (carotid-cavernous fistula, CCF)

f. Dakrioadenitis

g. Dakriosistitis

h. Infeksi herpes simpleks atau varicella zoster yang melibatkan mata

3.3.8. Tatalaksana Selulitis Preseptal


37

Penanganan selulitis preseptal dibedakan berdasar tingkat

keparahan penyakit dan usia penderita. Terapi utama untuk selulitis

preseptal adalah antibiotik empiris yang dapat mencakup atau melawan

Staphylococcus aureus, Streptococcus spp., dan bakteri anaerob.

Penderita dewasa maupun anak berusia lebih dari satu tahun dengan

gejala ringan tanpa gejala sistemik dapat menjalani rawat jalan dengan

antibiotik oral. Penderita dengan kondisi selulitis preseptal yang lebih

berat (ada gejala sistemik) atau penderita berusia kurang dari satu tahun

atau penderita anak yang tidak sepenuhnya kooperatif saat pemeriksaan

harus menjalani rawat inap.9,12

Banyaknya kasus MRSA saat ini menjadikan beberapa antibiotik

spektrum luas seperti amoksisilin-asam klavulanat, sefpodoksim, maupun

sefdinir yang dulu banyak digunakan menjadi tidak lagi dianjurkan. Bila

penderita dicurigai terinfeksi MRSA (methicilin-resistant Staphylococcus

aureus), anjuran penggunaan antibiotiknya adalah dengan trimetoprim-

sulfametoksazol (TMP-SMX), klindamisin, maupun doksisiklin. Namun

demikian, TMP-SMX serta doksisiklin tidak mampu melawan

Streptococcus kelompok A dan doksisiklin tidak dianjurkan untuk anak-

anak di bawah usia delapan tahun, sehingga anjuran terkini adalah

klindamisin atau TMP-SMX ditambah dengan amoxicillin-clavulanic acid

atau cefpodoxime atau cefdinir selama lima hingga tujuh hari. Antibiotik ini

dapat diberikan lebih lama jika selulitis menetap. Anjuran untuk penderita

tanpa kekebalan terhadap H. Influenzae adalah antibiotik golongan beta-


38

laktam. Antibiotik oral empiris untuk selulitis preseptal pasien rawat jalan

adalah sebagai berikut:12 Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX),

Clindamycin ditambah dengan salah satu dari agen antibiotik seperti

Amoxicillin, Amoxicillin-clavulanic acid, Cefpodoxime, Cefdinir. Jika

penderita rawat jalan gagal membaik setelah 24 hingga 48 jam, penderita

harus dirawat inap dan diberikan antibiotik spektrum luas, dilakukan

pemeriksaan CT scan, serta dipertimbangkan untuk kemungkinan insisi

dan drainase.12

Pilihan terapi antibiotik untuk selulitis preseptal pasien rawat inap

adalah cefalosporin generasi ketiga (obat-obatan ini kurang sensitif

terhadap bakteri penghasil β-laktamase seperti S. aureus): Ceftriaxone,

cefotaxime, ceftazidime serta ampisilin / sulbaktam. 9

Untuk pasien rawat inap yang mengalami perbaikan dalam 48

hingga 72 jam, antibiotik injeksi dapat diganti dengan antibiotik oral dan

pasien bisa berobat jalan. Belum ada penelitian yang menunjukkan

adanya hubungan antara pemberian steroid dan kekambuhan maupun

komplikasi selulitis orbita, sehingga steroid tidak rutin diberikan. 12

Bila dijumpai adanya keterlibatan sinusitis, maka diperlukan

konsultasi ke dokter ahli THT untuk menindaklanjuti sinusitis tersebut.

Untuk pencegahan selulitis preseptal supaya tidak bertambah parah,

dapat diberikan terapi sebagai berikut:9

a. Antibiotik topikal dapat mencegah laserasi palpebra traumatik

menjadi terinfeksi dan menyebabkan selulitis;


39

b. Terapi yang adekuat untuk sinusitis bakterial dapat mencegah

penyebaran ke jaringan sekitar.

Jika terdapat abses terlokalisasi di ruang preseptal, harus dilakukan

insisi dan drainase. Selama prosedur tidak boleh membuka septum

orbital, karena ini dapat menyebarkan infeksi ke ruang posteptal dan

memperparah infeksi.

3.3.9. Komplikasi dan Prognosis Selulitis Preseptal

Jika selulitis preseptal dapat ditegakkan dan diobati sesegera

mungkin, prognosisnya untuk sembuh total tanpa komplikasi sangatlah

baik. Komplikasi berat jarang terjadi pada selulitis preseptal. Terdapat

penelitian yang melaporkan komplikasi selulitis preseptal berupa nekrosis

palpebra dan ambliopia yang dihubungkan dengan penyembuhan edema

periorbita yang lambat.9,12

3.4. Selulitis Orbita

3.4.1. Definisi Selulitis Orbita

Selulitis orbita menurut definisi AAO adalah infeksi umum dari kulit

dan jaringan lunak di posterior dari septum orbita yang dicirikan dengan

eritema palpebra akut serta edema. infeksi ini melibatkan isi orbita (otot

dan lemak yang terletak di dalam orbita), namun tidak melibatkan bola

mata. Selulitis orbita disebut juga selulitis postseptal. 5,10,14,15


40

3.4.2. Etiologi Selulitis Orbita

Penyebab utama selulitis orbita adalah rhinosinusitis bakterial,

namun terdapat penyebab potensial lain, yakni: 10,14, 15

a. Pembedahan oftalmik, termasuk pembedahan strabismus, blefaro-

plasti, keratotomi radial, serta operasi retina

b. Anestesi peribulbar

c. Inokulasi langsung dari trauma orbita dengan fraktur atau benda asing

d. Dakriosistitis

e. Infeksi geligi, telinga tengah, atau wajah

f. Mucocele terinfeksi yang mengerosi ke dalam orbita

g. Rhinosinusitis

Gambar 5. Penderita dengan selulitis orbita


(Dikutip dari: Harrington et al. Orbital cellulitis. Medscape. 2019)

3.4.3. Epidemiologi Selulitis Orbita

Selulitis orbita ini lebih sering terjadi pada anak-anak kecil

dibanding anak yang lebih besar ataupun dewasa. Rhinosinusitis terjadi

pada 86–98% kasus selulitis orbita. Sinusitis ethmoid dan pansinusitis


41

adalah bentuk rhinosinusitis yang paling sering menyebabkan selulitis

orbita. Peningkatan insidensi selulitis orbita terjadi pada saat musim

dingin, karena peningkatan insidensi sinusitis. Selulitis orbita juga dua kali

lebih banyak pada penderita laki-laki dibanding perempuan. Selulitis orbita

menyebabkan kebutaan pada 3–11% penderita dan kematian pada 1–2%

penderita. Sebanyak 7–9% mengalami komplikasi abses subperiosteal

maupun abses orbita.10,14,15

3.4.4. Patogenesis Selulitis Orbita

Bakteri utama penyebab selulitis orbita adalah Staphylococcus

aureus, Streptococcus anginosus, Streptococcus kelompok A

(Streptococcus pyogenes), dan Streptococcus pneumoniae. Penyebab

yang lebih jarang adalah Haemophilus influenzae, basil gram negatif

seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, Morganella, dan

Enterococcus serta berbagai bakteri anaerob seperti Eikenella corrodens,

Fusobacterium, dan Peptostreptococcus. Pada sebagian kasus, penyebab

selulitis orbita adalah polimikrobial yang sering merupakan kombinasi

bakteri aerob dan anaerob.10,14,15

Sebagian peneliti mencatat pula infeksi jamur yang dapat

menyebabkan selulitis, terutama dari Mucorales dan Aspergillus spp.

Infeksi jamur ini harus dicurigai pada penderita dengan imunokompromi.

Mucorales penyebab mucormycosis (zygomycosis) terutama mengenai

pasien dengan ketoasidosis diabetikum dan terkadang pada penderita


42

dengan asidosis renal. Infeksi Aspergillus pada orbita terjadi pada

penderita dengan netropenia berat maupun defisiensi imun lain termasuk

infeksi HIV.10,14,15,1

3.4.5. Diagnosis Selulitis Orbita

Penegakan diagnosis selulitis orbita haruslah dimulai dari

anamnesis yang baik serta pemeriksaan fisik untuk mencari temuan klinis

maupun komplikasinya yang berat. Penderita selulitis orbita biasanya

datang berobat dengan keluhan mata nyeri dan kelopak mata

membengkak serta kemerahan. Pada sebagian kasus selulitis orbita, tidak

dijumpai eritema namun terdapat edema dan inflamasi muskulus

ekstraokuler serta jaringan lemak di dalam orbita yang menyebabkan nyeri

saat bola mata digerakkan, proptosis, dan bahkan oftalmoplegia dengan

diplopia. Kemosis juga lebih sering dijumpai pada selulitis orbita dibanding

dengan selulitis preseptal.10,14,15

Penggunaan modalitas CT scan orbita dan sinus maupun MRI

dapat membantu menegakkan diagnosis selulitis orbita. MRI dianggap

lebih superior dibanding CT scan karena dapat menunjukkan keterlibatan

jaringan lunak dengan lebih baik namun tidak selalu tersedia dan mungkin

memerlukan sedasi untuk penderita anak. Bila terdapat kecurigaan

adanya trombosis sinus kavernosus, modalitas pencitraan juga harus

mencakup venografi (CT venografi atau MR venografi). Indikasi


43

pemeriksaan CT scan orbita pada kecurigaan selulitis orbita adalah

adanya:10,14,15

a. Proptosis;

b. Keterbatasan gerak bola mata;

c. Nyeri dengan pergerakan bola mata;

d. Pandangan ganda;

e. Penurunan visus;

f. Defek pupil aferen relatif;

g. Edema yang meluas melebihi batas palpebra;

h. Leukosit > 10.000 sel/μL

i. Tanda atau gejala keterlibatan sistem saraf pusat (SSP);

j. Kesulitan memeriksa penderita (biasanya pada penderita berusia

kurang dari satu tahun);

k. Penderita yang tidak mengalami perbaikan setelah 24–48 jam

pemberian antibiotik intravena awal;

l. Demam yang naik turun dan tidak membaik dalam 36 jam;

m. Kecurigaan adanya abses yang memerlukan drainase bedah.

Hasil CT scan untuk selulitis orbita akan menunjukkan keradangan

muskulus ekstraokuler, adanya jalinan lemak, dan pergeseran abnormal

bola mata ke anterior. Respons keradangan terberat pada orbita paling

sering nampak pada area yang bersebelahan langsung dengan sinus

ethmoidalis.10,14,15
44

Tabel 1. Perbandingan selulitis preseptal dan selulitis orbita


Tampilan Klinis Selulitis Preseptal Selulitis Orbita
Edema palpebra dengan/ tanpa
Ya Ya
eritema
Ya, bisa menyebabkan
Nyeri pada mata Bisa dijumpai
nyeri mata dalam
Nyeri saat menggerakkan mata Tidak Ya
Biasanya ada, namun
Proptosis Tidak
tidak terlalu nampak
Oftalmoplegia +/- diplopia Tidak Bisa dijumpai
Gangguan visus Tidak Bisa dijumpai
Kemosis Jarang dijumpai Bisa dijumpai
Demam Bisa dijumpai Biasanya ada
Lekositosis Bisa dijumpai Bisa dijumpai
(Dikutip dari: Gappy et al. Preseptal cellulitis. UpToDate. 2019)

Selulitis orbita sangat cepat menimbulkan komplikasi sehingga

diperlukan pengawasan ketat, dengan pemeriksaan visus dan refleks

cahaya pupil harian. Hilangnya refleks cahaya maupun adanya defek

mengindikasikan terlibatnya nervus optikus. Bila didapatkan kecurigaan

perburukan, harus segera dilakukan pemeriksaan CT scan orbita dan

sinus dengan kontras (atau pengulangan CT scan bila sebelumnya sudah

ada) untuk mendeteksi abses.10,14,15,18

3.4.6. Diagnosis Banding Selulitis Orbita

Diagnosis banding selulitis orbita meliputi penyakit infeksi dan non-

infeksi, yakni:10,14,15

a. Selulitis preseptal

b. Penyakit keradangan orbita idiopatik (pseudotumor orbita)


45

c. Trombosis sinus kavernosus

d. Infeksi herpes simpleks atau varicella zoster yang melibatkan mata

e. Tuberkulosis yang melibatkan orbita

f. Panophtalmitis

g. Tumor (neuroblastoma, rhabdomyosarkoma, retinoblastoma)

h. Skleritis posterior

i. Respons alergi

j. Konjungtivitis berat

k. Mucocele sinus

l. Penyakit Grave

3.4.7. Tatalaksana Selulitis Orbita

Selulitis orbita tanpa komplikasi dapat diterapi dengan antibiotik

saja. Regimen terapi yang digunakan biasanya bersifat empiris dan

diberikan hingga semua tanda selulitis orbita tertangani. Pemberian

antibiotik ini dilakukan setidaknya selama 2 minggu hingga 3 minggu.

Untuk penderita dengan sinusitis ethmoid berat dan kerusakan tulang

sinus, antibiotik diberikan setidaknya selama 4 minggu. 10,14,15

Pilihan antibiotik untuk selulitis orbital adalah antibiotik empiris yang

dapat mencakup atau melawan Staphylococcus aureus, Streptococcus

spp., dan bakteri anaerob (terutama bila dicurigai keterlibatan intrakranial).


46

Obat-obatan dengan penetrasi baik pada blood brain barrier juga lebih

disuka seperti agen antimikroba sensitif pada kuman Methicillin-Sensitif

Staphylococcus Aureus (MRSA). Obat-obat yang digunakan antara lain

golongan Cephalosporine generasi ketiga (Cefotaxime, Cefoperazone,

dan Ceftriaxone), antibiotik golongan ß-Laktam (Meropenem), kombinasi

Penisilin dan inhibitor enzim ß-Laktamase (Asam Klavulanat),

Metronidazole (untuk kuman anaerob) dan Golongan Glycopeptide

(Vankomycin) merupakan pilihan terapi pada kasus dengan kecurigan

MRSA. Pada kecurigaan perluasan ke intrakranial diberikan pula

metronidazole. Metronidazole tidak perlu diberikan bila regimen antibiotik

telah mengandung ampicillin-sulbactam atau piperacillin-tazobactam. Bila

terdapat riwayat alergi terhadap penicilin dan/atau cephalosporin, maka

regimen yang dapat diberikan adalah kombinasi vancomycin dan

fluoroquinolone (dengan atau tanpa metronidazole): 3, 6, 12

Penggunaan steroid sistemik pada infeksi orbital, bagaimanapun,

masih menjadi kontroversial. Namun dengan efek anti-inflamasinya,

steroid telah terbukti mengurangi banyak komplikasi infeksi. Laporan

terbaru menunjukkan bahwa penggunaan steroid untuk selulitis orbital

dapat mempercepat perbaikan klinis dan mengurangi lama tinggal di

rumah sakit tanpa efek samping yang signifikan.16,17

Penelitian sebelumnya oleh Pushker et al.7 dan Davies et al.8

menunjukkan pemberian steroid tanpa efek samping utama pada anak-

anak dan orang dewasa dan bahwa steroid mengurangi lamanya


47

perawatan di rumah sakit pada pasien dengan selulitis orbital yang telah

menerima antibiotik IV pada awalnya. Tidak ada kasus kekambuhan

penyakit pada pasien yang diobati dengan steroid.16,17,

Pembedahan hampir selalu diindikasikan untuk penderita dengan

keterlibatan intrakranial. Indikasi lain untuk pembedahan adalah

kegagalan respons terhadap terapi antibiotik, perburukan tajam

penglihatan atau perubahan pupil, ada tanda-tanda abses terutama abses

berukuran > 10 mm. Untuk pasien rawat inap yang mengalami perbaikan

dalam 48 hingga 72 jam, antibiotik injeksi dapat diganti dengan antibiotik

oral (dosis sama dengan selulitis preseptal). Bila dijumpai adanya

keterlibatan sinusitis, maka diperlukan konsultasi ke dokter ahli THT untuk

menindaklanjuti sinusitis tersebut. 10,14,15,19

3.4.8. Komplikasi dan Prognosis Selulitis Orbita

Hasil akhir dari selulitis orbita sepenuhnya bergantung pada ada

tidaknya komplikasi. Meskipun selulitis orbita lebih jarang dijumpai

dibanding selulitis preseptal, namun jauh lebih membahayakan karena

dapat mengancam penglihatan dan bahkan mengancam nyawa. Selulitis

orbita ini juga dapat menyebabkan abses subperiosteal, abses orbita,

hilangnya penglihatan, tromboflebitis sinus kavernosus, dan/atau abses

otak. Abses subperiosteal dan abses orbita merupakan komplikasi selulitis

orbita yang tersering. Komplikasi serius seperti trombosis sinus


48

cavernosus, perluasan ke intrakranial, oklusi arteri retina sentral, serta

hilangnya penglihatan dapat mengarah pada sekuelae. 10,14,20

Hilangnya penglihatan yang berhubungan dengan selulitis orbita

diduga berasal dari proses neuritis optik sebagai akibat dari inflamasi,

iskemia sebagai akibat dari tromboflebitis di sepanjang vena orbita,

maupun peningkatan tekanan intraokuler yang menyebabkan oklusi arteri

retina.10,14,20

BAB IV

DISKUSI

Kedua kasus ini adalah kasus selulitis preseptal dan selulitis orbita.

Pada anamnesis didapatkan penderita 1 adalah seorang laki-laki berusia

28 tahun, datang dengan keluhan kelopak bawah mata kiri bengkak sejak

7 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis diperoleh data

bengkak pada kelopak bawah mata kiri yang semula nampak seperti

jerawat makin membesar disertai sulir membuka mata, nyeri, kelopak

mata kemerahan, mata berair dan demam. Pada pemeriksaan oftalmologi


49

didapatkan palpebra inferior edema disertai fluktuasi yang menandakan

adanya abses, dan sekret pada konjungtiva. Berdasarkan anamnesis,

pasien dicurigai mengalami infeksi pada kelopak bawah mata kiri dan

didiagnosis selulitis preseptal disertai adanya abses pada palpebra mata

kiri. Infeksi di curigai berasal dari penyebaran infeksi pada kelopak mata.

Sebagian besar selulitis preseptal disebabkan oleh penyebaran lokal dari

sinusitis atau dakriosistitis yang berdekatan, infeksi mata luar, atau

setelah trauma pada kelopak mata.

Penderita 2 adalah seorang laki-laki berusia 15 tahun, dikonsulkan

dari bagian THT-KL dengan keluhan mata kiri bengkak sejak ± 3 hari

sebelum masuk rumah sakit, keluhan disertai sulit membuka mata, mata

merah, nyeri, dan pandangan kabur. Keluhan didahului demam namun

tidak tinggi, pilek dan hidung tersumbat. Keluhan mata berair disangkal,

kotoran mata disangkal, mual dan muntah disangkal. Pasien lalu berobat

kedokter mata, diberikan 2 macam obat dan disarankan kontrol ke dokter

THT. Pasien kemudian berobat ke dokter THT dan dirujuk ke RSMH untuk

dirawat. Pasien memiliki riwayat rhinitis alergi sejak umur 9 tahun, riwayat

sakit gigi atau gigi berlubang disangkal, riwayat trauma disangkal, riwayat

pemakaian kaca mata sebelumnya disangkal, Riwayat darah tinggi

disangkal, riwayat kencing manis disangkal, dan riwayat penyakit yang

sama dalam keluarga disangkal.


50

Dari riwayat anamnesis tersebut didapatkan informasi keluhan

pada mata didahului oleh gejala seperti flu. Pasien juga diketahui memiliki

riwayat sinusitis sejak umur 9 tahun.

Dari pemeriksaan oftalmologi didapatkan tajam penglihatan mata

kiri penderita adalah 5/60, peningkatan tekanan intra okuler 23,8 mmHg

dan terdapat protusio ringan dengan keterbatasan gerak ke segala arah.

Pada segmen anterior didapatkan injeksi konjungtiva dan khemosis pada

mata kiri, Pemeriksaan penunjang yang dilakukan didapatkan hasil

leukositosis dan dari pemeriksaan CT Scan sinus paranasal didapatkan

kesan proptosis ringan okuli sinistra disertai peradangan yang melibatkan

m. rectus medialis okuli sinistra dan sinusitis ethmoidalis sinistra. Dari

hasil pemeriksaan di atas maka pada kasus ini ditegakkan diagnosis kerja

selulitis orbita okuli sinistra et causa sinusitis ethmoidalis.

Selulitis preseptal adalah infeksi umum pada jaringan lunak kelopak

mata dan periorbital yang ditandai dengan eritema dan edema kelopak

mata akut. Berbeda dengan selulitis orbital dimana infeksi tersebut terjadi

pada jaringan lunak di belakang septum orbital. Selulitis preseptal lebih

sering terjadi dibandingkan selulitis orbital. Meskipun dianggap sebagai

penyakit yang kurang serius, tetapi dapat dikaitkan dengan komplikasi

berat seperti pembentukan abses, meningitis dan thrombosis sinus

kavernosa.

Menurut American Academy of Ophthalmology, penyebab paling

umum dari selulitis preseptal maupun orbital adalah infeksi bakteri. Infeksi
51

bakteri pada orbita atau jaringan lunak periorbital berasal dari 3 sumber

utama, yaitu: (1) penyebaran langsung dari sinusitis yang berdekatan,

dakriosistitis atau dakrioadenitis; (2) inokulasi langsung setelah trauma

atau infeksi kulit; dan (3) penyebaran hematologis dari fokus yang jauh

(misalnya, otitis media, pneumonia).

Orbita dipisahkan dari sinus ethmoid dan maksila oleh lempengan

tulang yang tipis yang disebut lamina papyracea, yang memiliki struktur

tipis dan memiliki beberapa defek. Infeksi dapat menyebar langsung

akibat penetrasi langsung melalui tulang tipis tersebut, atau dapat juga

melintasi langsung foramina ethmoid anterior dan posterior. 12 Kombinasi

dari tulang tipis, banyak foramen neurovaskular, dan beberapa defek

tulang yang terjadi secara alami memungkinkan mudahnya penyebaran

bahan-bahan infeksius yang berasal dari ruang ethmoidal dan ruang

subperiosteal medial sehingga lokasi yang paling sering terjadinya selulitis

dan abses subperiosteal sekunder akibat sinusitis akut adalah di

sepanjang dinding orbita medial. 11 Perluasan infeksi juga dapat

berkembang ke rongga intrakranial, menjadi meningitis, abses epidural

dan subdural, dan abses parenkim otak terutama dari lobus frontal. 11

Studi terbaru menunjukkan saat ini Staphylococcus species (S.

aureus, S. epidermidis dan S.pyogenes) merupakan kuman yang paling

sering sebagai penyebab selulitis orbita pada anak, 73% diantaranya

merupakan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), diikuti

oleh kuman Streptococcus species (Streptococcus pneumoniae)


52

Haemophilus influenzae, bakteri anaerobik (Prevotella, Porphyromonas,

Fusobacterium and Peptostreptococcus spp.). 15

Prinsip terapi dari selulitis baik preseptal maupun orbita adalah

pemberian antibiotik. Antibiotik broadspectrum dapat diberikan terlebih

dahulu, sampai hasil kultur keluar. Pada kedua kasus ini, pasien

mendapatkan antibiotik ampicilin intravena yang dapat mengatasi bakteri

gram positif serta negatif serta dan pada pasien kedua mendapatkan

metronidazole intravena (yang diberikan dari bagian THT) untuk

mengatasi bakteri anaerob. Pada kasus pertama terdapat abses pada

palpebra inferior sinistra sehingga diperlukan tindakan insisi drainase

abses.

Penggunaan kortikosteroid pada penderita selulitis preseptal

maupun selulitis orbita masih kontroversial. Belum semua pedoman

menyertakan penggunaan kortikosteroid dalam penatalaksanaan selulitis

preseptal maupun selulitis orbita. Penelitian oleh Davis et al. (2015)

menyimpulkan bahwa kortikosteroid dapat mengurangi edema dan migrasi

sel, mencegah peningkatan tekanan orbita dan penekanan terhadap

struktur di sekitarnya. Kortikosteroid juga menghambat proliferasi fibroblas

sehingga mencegah pembentukan jaringan parut. Penggunaan

kortikosteroid juga terbukti memperpendek terapi antibiotik parenteral dan

lama rawat inap.

Pada pasien kedua dengan selulitis orbita diberikan

metilprednisolon intravena selama 4 hari. Pada hari ke-3 perawatan,


53

perbaikan yang signifikan mulai terlihat, visus mata kiri maju menjadi 3/15,

kemosis mulai berkurang, dan gerak bola mata mulai menunjukkan

perbaikan namun pasien masih mengeluh penglihatan ganda. Pada hari

ke-4 perawatan di lakukan tappering off metylprednisolon. Pada hari ke 10

perawatan, visus mata kiri mencapai 6/6, khemosis (-), diplopia (-), dan

gerakan bola mata baik kesegala arah. Pasien diperbolehkan untuk rawat

jalan. Pada pasien ini juga diberikan timolol tetes mata untuk menurunkan

tekanan intra orbita akibat penekanan dari struktur di sekitarnya.

Selulitis orbita ini juga dapat menyebabkan abses subperiosteal,

abses orbita, hilangnya penglihatan, tromboflebitis sinus kavernosus,

dan/atau abses otak. Abses subperiosteal dan abses orbita merupakan

komplikasi selulitis orbita yang tersering. Pada pasien ini tidak ditemukan

tanda-tanda komplikasi.

Prognosis awal pada kedua penderita adalah quo ad vitam dubia

ad bonam karena tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada

tanda-tanda penyebaran infeksi di tempat lain khususnya serebri.

Sedangkan quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena hasil akhir

pasien dengan neuroretinitis umumnya mendapatkan visus yang baik.

Quo ad sanationam adalah dubia ad bonam karena prognosis untuk

sembuh total tanpa komplikasi sangat baik.


54

BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan dua kasus selulitis presaptal okuli sinistra dengan

abses palpebra okuli sinisntra dan selulitis orbita okuli sinistra e.c. sinusitis

etmoidalis.
55

Pada selulitis preseptal, infeksi di anterior bola mata, dibatasi oleh

septum orbita, dengan klinis pembengkakan kelopak mata, merah dan

nyeri, namun tidak ada oftalmoplegia. Dapat berkembang pada tahap awal

sinusitis ethmoid. Sedangkan pada selulitis orbita, infeksi telah melewati

septum orbita dan melibatkan jaringan lunak dari orbita, menyebabkan

penurunan visus, protusio, kemosis, oftalmoplegi dan diplopia.

Manajemen pasien dengan infeksi orbita tergantung pada durasi

penyakit dan sejauh mana keterlibatan sinus paranasal, sinus cavernosus,

meningen dan sistemik (sepsis). Terapi medikamentosa yang kuat dan

agresif harus diberikan sejak dini untuk mencegah infeksi berkembang

lebih lanjut.

Penggunaan kortikosteroid intravena dalam penatalaksanaan

selulitis orbital saat ini masih agak kontroversial, karena dapat menekan

sistem kekebalan tubuh dan mungkin dapat memperburuk proses

penyakit. Namun, respon antiinflamasinya dapat bermanfaat ketika

digunakan bersama dengan antibiotik yang tepat. Pengobatan dengan

kortikosteroid intravena telah terbukti mengurangi edema mukosa dan

kadar sitokin inflamasi dalam mukosa sinus pasien dengan sinusitis akut

maupun kronis.

Outcome dari terapi medikamentosa pada pasien infeksi orbita baik

itu selulitis preseptal maupun selulitis orbital tergantung pada durasi

penyakit dan keterlibatan orbita. Terapi medikamentosa yang adekuat dan


56

agresif harus diberikan pada tahap awal selulitis orbita, karena jika hal ini

tidak dilakukan, infeksi dapat berkembang menjadi abses orbita.


57

DAFTAR PUSTAKA

1. Kanski J, Brad Bowling. Clinical Ophthalmology: A Aystemic

Approach. 8th ed. Elsevier, editor. Sydney; 2016. 87–88 p.

2. Khurana A. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Age

International; 2007. 377–378, 384–386 p.

3. Ebright J, Pace M, Niazi A. Septic Thrombosis of The Cavernous

Sinuses. Arch Intern Med. 2001;161:2671–6.

4. Cantor LB, Rapuano CJ, A G. Orbits, Eyelids, and Lacrimal System.

Basic and Clinical Science Course. Section 7. In: American Academy

of Ophthalmology. San Franscisco, California; 2019. p. 42–4.

5. Mallika, Sujatha, Narayan S, Sinumol. Orbita and Preseptal Cellulitis.

Kerala J Ophthalmol. 2011;XXIII:10–4.

6. Faridah M, Azhany Y, Omar N, Ar R. Bilateral Orbita Cellulitis

Secondary to Furunculosis, A Case Series Report. Sch J Med.

2015;9(3):892–5.

7. Chaudhry I, Rashed W, Sheikh O. Diagnosis and Management of

Orbita Cellulitis. Common Eye Infect. 2013;7:123–43.

8. Riordan-Eva P, Jr. ETC. Vaughan & Asbury’s General

Ophthalmology. 18th ed. New York; 2018. 15–65 p.

9. Kwitko GM, Sobol AL, Hutcheson KA, Ing E, Law SK, Phillpotts BA.

Preceptal cellulitis. Medscape. Diperbarui 10 Desember 2018;


58

Diunduh 1 September 2019,

https://emedicine.medscape.com/article/1218009-overview#showall.

10. Gappy C, Archer SM, Barza M, Edwards MS, Trobe J, Durand ML et

al. Orbital cellulitis. UpToDate. Diperbarui 28 Januari 2019; Diunduh

26 September 2019, https://www.uptodate.com/contents/orbital-

cellulitis.

11. Garrity J. Preseptal and orbital cellulitis. MSD Manual Professional

Version. Diperbarui April 2019; Diunduh 27 September 2019,

https://www.msdmanuals.com/professional/eye-disorders/orbital-

diseases/preseptal-and-orbital-cellulitis# .

12. Gappy C, Archer SM, Barza M, Edwards MS, Trobe J, Durand ML et

al. Preseptal cellulitis. UpToDate. Diperbarui 30 Mei 2019; Diunduh

26 September 2019, https://www.uptodate.com/contents/preseptal-

cellulitis.

13. Khimani KS dan Yen KG. Chapter 1. The history of treating orbital

cellulitis. Dalam: Yen MT dan Johnson TE (editor). Orbital Cellulitis

and Periorbital Infections. Cham: Springer. e-book; 2018. DOI:

10.1007/978-3-319-62606-2. pp. 1-9.

14. Harrington JN, Ing E, Phillpotts BA, Talavera F. Orbital cellulitis.

Medscape. Diperbarui 29 Mei 2019; Diunduh 1 September 2019,

https://emedicine.medscape.com/article/1217858-overview#showall .
59

15. Danishyar A dan Sergent SR. Orbital cellulitis. StatPearls. Diperbarui

18 Juni 2019; Diunduh 1 September 2019,

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507901/?report=printable .

16. Chen Lana, Silverman Nora, et all. Intravenous Steroids With

Antibiotics on Admission for Children With Orbital Cellulitis.

Ophtalmic Plastic and Reconstructive Surgery. 2017;XX:1-4

17. Pushker Neelam, Tejwani K.L, et al. Role of Oral Corticosteroids in

Orbital Cellulitis. Am J Ophtahlmol. 2013;156:178-183

18. Hedge Raghuraj, Sundar Gangadhara. Orbital Cellulitis- A Review.

TNOA Journal of Ophthalmic Science and Research.

2018;55(3):211-219.

19. Elshafei AMK, Sayed MF, Abdallah RMA. Clinical profile and

outcomes of management of orbital cellulitis in Upper Egypt. Journal

of Ophthalmic Inflammation and Infection. 2017;8(7):1-6

20. Berdouk Sabrina, Pinto Narisha. Fatal orbital cellulitis with

intracranial complications: a case report. International Journal of

Emergency Medicine. 2018;51(11):1-8

21. Sudigdoadi Sunarjati. Mekanisme Timbulnya Resistensi Antibiotik

Pada Infeksi Bakteri. Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran. 2015. 1-14

22. Kapoor Garima, Saigal Saurabh, and Elongavan Ashok. Action and

resistance mechanisms of antibiotics: A guide for clinicians. Journal

of Anaesthesiology, Clinical Pharmacology. 2017;33(3):300-305.

Anda mungkin juga menyukai