Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma and Injury Severity Score (TRISS)

2.1.1 Definisi Trauma and Injury Severity Score (TRISS)

Trauma and Injury Severity Score (TRISS) pertama kali dikembangkan pada

tahun 1987 dan direvisi berdasarkan data Major Trauma Outcome Study (MTOS)

AS pada tahun 1995. Dalam versi terbaru tahun 2010, koefisien TRISS

dimodifikasi berdasarkan data yang dikumpulkan dari National Trauma Data

Bank (NTDB) dan National Sample Project (NSP). Syarat evaluasi kualitatif untuk

perawatan trauma yaitu dengan mengevaluasi tingkat kelangsungan hidup.

TRISS paling banyak digunakan dalam membandingkan tingkat kelangsungan

hidup, artinya TRISS digunakan untuk membuktikan perkiraan kelangsungan

hidup atau tingkat mortalitas pada pasien trauma yang ditentukan dari skor

RTS, ISS, usia dan jenis trauma, dimana kisaran angka kelangsungan hidup dari

0 (kematian positif) hingga 1 (kelangsungan hidup positif). Sistem penilaian

trauma pada akhirnya fokus untuk mengurangi beberapa kematian yang dapat

dicegah (Kang et al., 2018 : 2)

Sistem penilaian TRISS menggunakan skor RTS (GCS, SBP dan RR),

ISS, usia pasien sebagai data pendukung (dibagi menjadi kurang dari 55 tahun

dan lebih dari 55 tahun) serta mekanisme trauma (tumpul maupun tajam) (C.

de A. Domingues, Nogueira, Settervall, & Sousa, 2015 : 136)

16
17

Trauma and Injury Severity Score (TRISS) sudah digunakan sebagai prediksi

dampak trauma selama 20 tahun terakhir hampir di seluruh dunia, serta

konsisten pada orang dewasa dan anak-anak. Identifikasi dampak yang tidak

diharapkan (seperti kematian pada pasien dengan kelangsungan hidup tinggi)

membutuhkan pelacakan lebih lanjut untuk menemukan kesalahan diagnostik

atau tatalaksana yang kurang adekuat. TRISS memiliki keterbatasan seperti ISS

dan GCS, memiliki banyak komponen perhitungan dan tidak ada informasi

yang berkaitan dengan penyakit penyerta (misalnya penyakit jantung, paru dan

sebagainya)(Salim, 2015 : 705-706). Adapun kelebihan dari TRISS yaitu

memiliki sensitivitas 95%, spesifisitas 96% dan akurasi 95% dalam mendeteksi

hasil pada pasien trauma. Studi yang dilakukan oleh Okasha membandingkan

sistem penilaian RTS, ISS dan TRISS, hal ini menunjukkan bahwa TRISS

memiliki sensitivitas, spesifisitas dan akurasi paling tinggi (95, 96, 95%)

sementara ISS paling rendah (68, 70, 68%) dan RTS mempunyai spesifisitas

94% dan akurasi 92% (A.S, Amr, & Walid, 2011 : 284)

2.1.2 Definisi Injury Severity Score (ISS)

Baker et.al (1974) memperkenalkan Injury Severity Score (ISS) sebagai

sistem penilaian yang lebih baik dalam menentukan tingkat keparahan dan

kemungkinan mortalitas pasien trauma (Samin & Civil, 1999 : 2). ISS

merupakan sistem penilaian anatomis yang sering digunakan dan

dikembangkan lebih lanjut dari Abbreviated Injury Scale (AIS). AIS diperkenalkan

pada tahun 1971 untuk mengukur tingkat keparahan cedera pada pasien trauma

dan telah diperbarui secara teratur (Rau et al., 2017 : 2). AIS menilai tingkat

keparahan cedera anatomis di setiap bagian tubuh, dengan skor keparahan dari
18

0 (tidak ada cedera) hingga 6 (cedera yang tidak dapat diselamatkan)(Salim,

2015 : 703).

2.1.3 Sistem Penilaian Anatomis

Tabel 2.1 Sistem Penilaian ISS

Skor Deskripsi
0 Tidak ada cedera
1 Cedera minor
2 Cedera sedang
3 Cedera serius, tidak mengancam nyawa
4 Cedera berat, survival expected
5 Cedera kritis, survival doubtful
6 Cedera fatal
(Sumber : Salim, 2015)

Injury Severity Score (ISS) mengidentifikasi semua cedera anatomi dari

pemeriksaan klinis, pemeriksaan imagery dan prosedur bedah atau otopsi pada

enam bagian tubuh yaitu :

1. Cedera kepala atau leher meliputi cedera pada otak atau tulang cervical,

fraktur tulang tengkorak atau tulang cervical dan asphyxia/suffocation.

2. Cedera wajah meliputi daerah mulut, telinga, hidung dan tulang wajah

3. Cedera dada meliputi semua lesi pada organ dalam dan cedera inhalasi.

Cedera dada juga termasuk bagian diafragma, tulang rusuk dan thoracic

spine.

4. Cedera abdomen atau panggul meliputi semua lesi pada organ dalam.

Luka pada tulang belakang lumbar termasuk dalam daerah perut atau

panggul.

5. Cedera ekstremitas termasuk sprains, fractures, dislocations dan amputations

6. Cedera eksternal termasuk laserasi, luka memar, lecet dan luka bakar

pada permukaan tubuh


19

ISS dikembangkan lebih lanjut dari Abbreviated Injury Scale (AIS). AIS

memiliki kode yang terdiri atas 7 angka yaitu meliputi : bagian tubuh yang

terluka, jenis struktur anatomi yang terluka, struktur anatomi spesifik, level

(tingkat) cedera dan skor keparahan cedera (Vincent & Hall, 2012 : 2). Adapun

contoh dari nilai ISS yang dikembangkan dari AIS, yaitu :

a. Cerebral subarachnoid haemorrhage

Kode AIS (140684.3) maka skor keparahan cederanya yaitu 3 (cedera

serius, tetapi tidak mengancam nyawa)

Dalam penelitian Tang et al (2014) ISS dikategorikan menjadi minor injury

(1 – 9), moderate injury (10 – 15), severe injury (16 – 24) dan extremely severe injury

(>25). ISS mudah digunakan dan dapat menjadi prediktor kelangsungan hidup

yang baik, terutama pada pasien dengan cedera multipel. Kesederhanaan

dengan menggunakan ISS membuatnya dapat diakses dan diterima oleh dokter,

ahli epidemiologi dan peneliti cedera. Sebagai bukti validitasnya, ISS telah

menjadi standar yang digunakan untuk penilaian trauma selama lebih dari 20

tahun (Samin & Civil, 1999 : 2). Namun dalam penggunaannya, pengumpulan

nilai terbatas dan hanya mengambil cedera paling serius di setiap bagian tubuh.

Oleh karena itu, ISS kurang baik digunakan jika ada banyak cedera di satu sisi

tubuh misalnya luka tembak di abdomen (Salim, 2015 : 703)

2.1.4 Perhitungan Injury Severity Score (ISS)

Rumus perhitungan ISS :

ISS = (A)2 + (B)2 + (C)2


20

Rumus ISS diatas merupakan hasil penguadratan dari skor AIS yang

terdiri dari tiga bagian tubuh paling banyak terkena trauma, yakni :

A : kepala, leher, dan wajah

B : dinding dada dan abdomen

C : ekstremitas (termasuk panggul eksternal)

Contoh dari perhitungan ISS sebagai berikut :

Seorang perempuan berusia 65 tahun mengalami kecelakaan kendaraan bermotor

dan mendapatkan cedera sebagai berikut :

Jenis Cedera AIS-98 ISS


Cerebral Subarachnoid Haemorrhage 140684.3 3
Maxilla Fracture 250800.2 2
Rib Cage Fracture 2-3 rib fractures any location, 450222.3 3
with haemo-/pneumothorax
Femur Fracture – shaft 851814.3 3
Hasil Perhitungan ISS = 32 + 32 + 32 = 9 + 9 + 9 = 27

Skor ISS berkisar antara 1-75 dengan skor tertinggi adalah 75. Jika kita

mendapatkan nilai AIS 6, maka nilai ISS yang diperoleh yaitu 75. Semakin

tinggi nilai ISS, maka menunjukkan semakin serius trauma ini (Gaikwad et al.,

2018 : 2551). Untuk hasil ukur pada penilaian dengan menggunakan ISS, yakni

Trauma Mayor: hasil ≥ 15 maka angka mortalitas yang didapat sebesar 10%

(Baker, O’Neill, Haddon, & B.Long, 1974 : 188)


21

Tabel 2.2 Hubungan nilai ISS dengan angka mortalitas


Skor % Mortalitas
0-8 5%
9-15 8%
16-24 17%
25-40 64%
41-66 88%
75 100%
(Sumber : Salim, 2015)

Selain menggunakan rumus diatas ada cara lain yang dapat digunakan

dalam menghitung tingkat keparahan cedera (Injuy Severity Score) yakni

menggunakan sistem calculator (Boyd, Tolson, & Copes, 1987 : 372).

Perhitungan tingkat keparahan cedera dengan menggunakan calculator ini, yaitu

mengambil data keparahan pada seluruh area tubuh yang terkena trauma,

kemudian memasukan skor kedalam perhitungan dengan menggunakan kode

yang sudah ditetapkan serta mengkuadratkan skor pada setiap bagian tubuh

yang mengalami trauma. Berikut merupakan contoh gambar dari perhitungan

ISS dengan menggunakan calculator, gambar ini bersumber dari (Trauma.Org)

(Sumber : http://www.trauma.org/archive/scores/iss.html)

Gambar 2.1 Calculator Injury Severity Score (ISS)


22

2.1.5 Definisi Revised Trauma Score (RTS)

Revised Trauma Score (RTS) diperkenalkan oleh Champion et.al (1983),

sistem ini paling banyak digunakan sebagai sistem penilaian fisiologis cedera

pada skala ordinal (Salim, 2015 : 705). Ini menggabungkan 3 variabel : tingkat

kesadaran (GCS), tekanan darah sistolik (SBP), dan laju pernapasan (RR). Tiga

variabel dikategorikan ke dalam interval dan menghasilkan skor mulai dari 0

hingga 12 dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan status fisiologis yang

lebih baik (Alghnam, Alkelya, Al-Bedah, & Al-Enazi, 2014 : 293). Penilaian

RTS dikategorikan menjadi slight (11 – 12), moderate (8 – 10), severe (6 – 7), serious

(<6) (Jing-fen et al., 2006)

Revised Trauma Score (RTS) banyak digunakan oleh layanan darurat di

seluruh dunia. Ini diklasifikasikan sebagai penilaian fisiologis, karena

memperhitungkan parameter fungsi vital pasien. RTS dikembangkan lebih

lanjut dari skor trauma (TS), dibuat pada tahun 1981, tetapi tanpa penilaian

capillary refill dan respiratory effort karena variabelnya sulit untuk dianalisis dalam

praktik. RTS menilai tiga parameter, yaitu : evaluasi neurologis oleh Glasgow

Coma Scale (GCS); evaluasi hemodinamik dengan tekanan darah sistolik (SBP);

dan laju pernapasan (RR). Bergantung pada hasil masing-masing parameter,

nilai yang sesuai dalam skala RTS mampu mengevalusi morbiditas dan

mortalitas pasien trauma serta berdasarkan tingkat keparahaan cedera ini

diperlukan rekrutmen tim yang lebih terspesialisasi untuk meningkatkan

pendekatan pada pasien trauma (Alvarez et al., 2016 : 335)


23

2.1.6 Sistem Penilaian Fisiologis

Sistem penilaian fisiologis yaitu menggabungkan dari nilai glasgow coma

scale (GCS), tekanan darah sistolik (SBP) dan laju pernapasan (RR) (Salim, 2015

: 705)

A. Penilaian glasgow coma scale (GCS)

Glasgow coma scale (GCS) adalah ukuran keparahan fisiologis dari suatu

cedera berdasarkan tingkat kesadaran pada skala ordinal mulai dari skor 3

(deep coma) hingga 15 (normal). Ini diperoleh dengan menjumlahkan 3

skor individu yang sesuai yaitu respons membuka mata, respons verbal,

dan respons motorik (Alghnam et al., 2014 : 293). Perhitungan GCS

cepat, sederhana dan pengulangan perhitungan dapat menginformasikan

perkembangan atau perburukan pasien. Tetapi, penilaian GCS ini bersifat

subjektif pada beberapa kasus. Seperti, respons verbal pada pasien yang

terintubasi dan trakeostomi atau respons membuka mata pada pasien

dengan pembekakan berat di wajah tidak dapat dinilai, sehingga dapat

membatasi penggunaan dari penilaian GCS ini (Salim, 2015 : 704)

Tabel 2.3 Skor Penilaian GCS

Respon Membuka Mata


Kriteria Penilaian Skor
Membuka mata sebelum ada rangsangan Spontan 4
Membuka mata setelah ada rangsangan lisan atau Dengan Suara (verbal) 3
teriakan
Membuka mata setelah menekan ujung jari Dengan Tekanan 2
Tidak ada respon membuka mata Tidak Ada 1
Mata ditutup akibat faktor lokal Tidak dapat dinilai NT
24

Respon Verbal
Kriteria Penilaian Skor
Dapat menyebutkan nama, tempat dan tanggal Berorientasi 5
secara tepat
Tidak berorientasi, tetapi mampu berbicara secara Bingung 4
koheran
Penggunaan kata yang tidak tepat, kata-kata yang Kata-kata (Perkataan) 3
dipakai tidak dalam satu kalimat
Hanya erangan Suara / Bunyi 2
Tidak ada respons Tidak Ada 1
Faktor yang menganggu komunikasi Tidak dapat dinilai NT

Respon Motorik
Kriteria Penilaian Skor

Dapat melakukan 2 bagian yang diperintahkan Mengikuti Perintah 6


Mengalihkan tangan saat diberikan rangsangan Melokalisir 5
nyeri

Menghindar / menarik ekstremitas atau tubuh Fleksi Normal 4


menjauhi stimulus saat ada rangsangan nyeri
Satu atau keduanya posisi lengan fleksi di depan Fleksi Abnormal 3
dada dan kaki ekstensi saat diberikan rangsangan
nyeri
Satu atau keduanya lengan dan kaki ekstensi saat Ekstensien 2
diberikan rangsangan nyeri
Tidak ada pergerakan pada anggota tubuh Tidak Ada 1
Lumpuh atau faktor pembatas yang lain Tidak dapat dinilai NT
(Sumber : https://www.glasgowcomascale.org/)

B. Penilaian tekanan darah sistolik

Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan dinding arteri dengan

memompa darah dari jantung. Darah mengalir karena adanya perubahan

tekanan, dimana terjadi perpindahan dari area bertekanan tinggi ke area

bertekanan rendah. Tekanan darah sistemik atau arterial merupakan

indikator yang paling baik untuk kesehatan kardiovaskular (Potter &

Perry, 2010 : 201). Nilai tekanan darah dinyatakan dalam dua angka yaitu

angka tekanan darah sistolik dan diastolik. Tekanan darah sistolik


25

merupakan nilai tekanan darah saat fase kontraksi jantung, sedangkan

tekanan darah diastolik adalah tekanan darah saat fase relaksasi jantung.

Tekanan darah dikatakan optimal jika nilai sistolik sebesar 120 mmHg

dan 80 mmHg pada nilai diastolik. Nilai tekanan darah seseorang dalam

sehari bisa naik turun. Nilai tekanan darah lebih rendah saat kita tidur

dan bisa meningkat kembali saat kita bangun tidur, terengah-engah,

panik, bahagia atau saat beraktivitas fisik. Jadi, nilai tekanan darah

seseorang dapat naik dan turun dengan cepat tergantung pada aktivitas

dan emosi seseorang (Prasetyaningrum, 2014 : 6-7)

Tabel 2.4 Tekanan Darah Normal Rata – Rata

Tekanan Darah Normal Menurut Tekanan Sistolik/Tekanan


Usia Diastolik (mmHg)
Bayi baru lahir 40 (rerata)
1 bulan 85/54
1 tahun 95/65
6 tahun 105/65
10-13 tahun 110/65
14-17 tahun 120/75
Dewasa tengah 120/80
Lansia 140/90
(Sumber : Potter & Perry, 2010)

C. Penilaian respiratory rate (RR)

Ketahanan hidup manusia bergantung pada kemampuan oksigen (O2)

untuk mencapai sel tubuh dan karbon dioksida (CO2) untuk dikeluarkan

dari sel. Pernapasan adalah mekanisme tubuh untuk pertukaran gas

antara atmosfer, darah dan sel (Potter & Perry, 2010 : 195). Secara umum

terdapat tiga proses yang terjadi pada sistem pernapasan, yaitu : ventilasi,

difusi, dan transportasi. Ventilasi merupakan proses pergerakan udara

masuk ke dalam dan keluar paru-paru. Difusi yaitu proses pergerakan


26

gas-gas antara alveoli dan kapiler pulmonalis di dalam paru-paru serta

antara kapiler sistemik dan sel di seluruh tubuh. Transportasi adalah

proses pengangkutan O2 dan CO2 dari paru-paru menuju jaringan tubuh

dan sebaliknya (Astuti & Rahmat, 2010 : 19). Efisiensi pernapasan dinilai

dari tiga hal tersebut.

Pernapasan adalah tanda vital yang paling mudah diperiksa, tetapi

paling sering salah dalam pengukurannya. Penilaian yang akurat meliputi

pengamatan dan palpasi pergerakan dinding dada. Perubahan pola

pernapasan merupakan hal penting karena pernapasan berhubungan

dengan berbagai fungsi dalam sistem tubuh manusia. Setelah mengukur

denyut, segera ukur pernapasan dengan tangan tetap pada pergelangan

tagan klien. Pada saat kita melakukan pengukuran, jangan memberitahu

klien bahwa kita sedang mengkaji pernapasan (RR). Karena jika klien

sadar, maka ia dapat mengubah frekuensi dan kedalaman pernapasannya.

Saat mengkaji pernapasan klien, perhatikan pola dan frekuensi ventilasi,

pengaruh penyakit pada fungsi pernapasan, hubungan antara fungsi

pernapasan dan kardiovaskuler serta pengaruh terapi pada pernapasan.

Perhatikan inspirasi dan ekspirasi penuh saat menghitung frekuensi

ventilasi atau pernapasan. Frekuensi pernapasan bervariasi sesuai usia

(Potter & Perry, 2010 : 196-197)

Tabel 2.5 Kisaran Normal Frekuensi Pernapasan

Usia Frekuensi pernapasan


(x/menit)
0 – 3 bulan 35 - 55
3 – 6 bulan 30 – 45
6 – 12 bulan 25 – 40
1 – 3 tahun 20–30
27

3 – 6 tahun 20 – 25
6 – 12 tahun 14 – 22
> 12 tahun 12 – 18
(Sumber : Pal, Sarkar, & Chakraborty, 2018)

2.1.7 Perhitungan Revised Trauma Score (RTS)

Rumus perhitungan :

RTS : 0.9368 X Glasgow Coma Scale (GCS) + 0.7326 X Sistolic Blood Pressure

(SBP) + 0.2908 X Respiratory Rate (RR) = .....

Tabel 2.6 Revised Trauma Score (RTS)

Glasgow Coma Systolic Blood Respiratory Rate Score


Scale (GCS) Pressure (SBP) (RR)
13-15 >89 mmHg 10-29breaths/minute 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1-49 1-5 1
3 0 0 0
(Sumber : Ulya, 2017)

Tabel 2.7 Predicting Mortality with Revised Trauma Score (RTS)

Revised Trauma Score Mortality (%)


12 <1
10 12
8 33
6 37
4 66
2 70
0 >99
(Sumber : Salim, 2015)

Keterangan :

Hasil dari nilai RTS ≤ 11 berhubungan dengan tingkat mortalitas sebesar

30% dan harus segera dibawah ke pusat trauma. Berdasarkan dari tabel diatas,

dapat disimpulkan bahwa semakin rendah nilai atau skor RTS yang diperoleh

maka semakin berat cedera yang dialami (Salim, 2015 : 705).

Selain menggunakan rumus diatas ada cara lain yang dapat digunakan

dalam menghitung prognosis yaitu menggunakan sistem calculator (Boyd et.al,


28

1987 : 27). Dimana dalam perhitungan ini menggunakan calculator dan data yang

dimasukan yaitu skor dari RTS yang sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan. Berikut merupakan contoh gambar dari perhitungan RTS dengan

menggunakan calculator, gambar bersumber dari (Trauma.Org)

(Sumber : http://www.trauma.org/archive/scores/rts.html)

Gambar 2.2 Calculator Revised Trauma Score

2.1.8 Tujuan Trauma and Injury Severity Score

Trauma and Injury Severity Score (TRISS) digunakan untuk menilai tingkat

kelangsungan hidup atau mortalitas pasien pasca trauma karena prediksi tingkat

kelangsungan hidup pasca trauma adalah titik utama dalam penelitian tentang

trauma (Kang et al., 2018 : 2). Sistem penilaian TRISS ini juga digunakan untuk

memantau kualitas perawatan bagi pasien trauma, sehingga semakin baik

akurasinya dalam memperkirakan kelangsungan hidup maka semakin baik juga

kinerjanya dalam program peningkatan kualitas perawatan trauma (C. de

Domingues et al., 2017 : 2)

2.1.9 Manfaat Trauma and Injury Severity Score

a. TRISS dapat menentukan hasil probabilitas kelangsungan hidup pasien

yang mengalami trauma


29

b. TRISS adalah sistem penilaian yang sangat efektif dalam menghitung

faktor fisiologis pada pasien trauma

c. TRISS adalah alat prediktor yang paling kuat yang menggunakan

parameter fisiologis dan anatomi dalam menilai keparahan trauma

d. Untuk memperkirakan prognosis pasien

e. TRISS dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat mortalitas atau

dapat juga digunakan sebagai manajemen yang tepat dalam tindakan

perawatan sesuai dengan kelompok usia

(Yousefzadeh-Chabok et al., 2016 : 22), (C. de Domingues et al., 2017 :

12), (Jung et al., 2016 : 57)

2.1.10 Perhitungan Trauma and Injury Severity Score (TRISS)

Rumus perhitungannya :

1
𝑃𝑠 =
1 + 𝑒 −𝑏

b = B0 + B1 (RTS) + B2 (ISS)+B3 (age score)

Tabel 2.8 Koefisien b0-b3 TRISS

B Trauma Tumpul Trauma Tajam


B0 -0.4499 -2.5355
B1 0.8085 0.9934
B2 -0.0835 -0.0651
B3 -1.7430 -1.1360
(Sumber : Kang, 2018)

Keterangan :

a. Ps = Probabilitas kelangsungan hidup

b. e = 2,718282 (dasar logaritma Napierin)

c. Usia < 55 tahun ( usia = 0 )


30

d. Usia > 55 tahun ( usia = 1 )

e. b : nilai b yang diperoleh dari masing-masing individu berbeda,

dikarenakan masing-masing variabel memiliki nilai yang berbeda setiap

pasien.

Dalam menentukan probabilitas kelangsungan hidup dengan

menggunakan TRISS dibutuhkan pula hasil perhitungan dari skor RTS, ISS,

usia pasien (kurang dari 55 tahun atau lebih dari 55 tahun) dan mekanisme

cedera yang kemudian dimasukkan ke dalam rumus perhitungan TRISS

(Norouzi, Feizi, Vatankhah, & Pourshaikhian, 2013 : 32). Dimana kisaran

angka probabilitas kelangsungan hidup dari 0 (kematian positif) hingga 1

(kelangsungan hidup positif) (Kang et al., 2018 : 2)

Selain menggunakan rumus diatas ada cara lain yang dapat digunakan

untuk menghitung skor TRISS pada pasien trauma yakni menggunakan sistem

calculator (Trauma.Org). Di dalam calculator ini dimasukkan data yang berkaitan

dengan hasil ISS, RTS dan usia pasien. Setelah memasukan usia pasien, barulah

mendapatkan hasil dalam bentuk persentase nilai probabilitas kelangsungan

hidup yang dibagi menjadi dua skor yaitu skor pada trauma tumpul dan trauma

tajam. Untuk menentukan skor trauma tumpul atau tajam dengan melihat

mekanisme cedera yang dialami pasien. Dalam penelitian (Gunawan et al.,

2017) menilai tingkat mortalitas pada pasien politrauma dengan menggunakan

skor TRISS (0-100%). Hal ini sesuai dengan penelitian (Ranti et al., 2016) yang

menyatakan bahwa hasil akhir skor TRISS dalam bentuk persentase probability of

survival merupakan hal yang sangat praktis dalam melihat prognosis pasien.

Terdapat hubungan negatif yang bermakna antara TRISS dan mortalitas. Oleh

karena itu, semakin tinggi skor TRISS yang diperoleh maka semakin besar
31

peluang hidupnya. Berikut contoh gambar dari perhitungan TRISS dengan

menggunakan calculator, gambar bersumber dari (Trauma.Org)

(Sumber :http://www.trauma.org/archive/scores/triss.html)

Gambar 2.3 Calculator Trauma and Injury Severity Score

2.2 Prognosis

2.2.1 Definisi Prognosis

Prognosis yaitu melihat kondisi dan tingkat keparahan cedera pada

pasien yang membutuhkan rujukan ke pelayanan kesehatan subspesialistik

sesuai indikasi medis untuk meningkatkan survival rate pasien (Jain et al.,

2016)(Billeter et al., 2014). Perawatan pasien intra dan antar rumah sakit atau

rujukan merupakan aspek penting yang sering dilakukan untuk menjaga

kelangsungan perawatan medis pasien. Pasien trauma dirujuk ke pusat trauma

yang lebih tinggi karena berbagai alasan yaitu tingginya tingkat keparahan

cedera yang dialami pasien, kebutuhan pasien akan layanan bedah khusus dan

unit perawatan intensif (Rozenberg, Danish, Dombrovskiy, & Vogel, 2017).

Adapun keputusan melakukan rujukan diambil oleh dokter konsultan senior

setelah dilakukan diskusi menyeluruh dengan keluarga pasien tentang manfaat

dan risiko yang terlibat (Kulshrestha & Singh, 2016). Billeter et al (2014) juga

menjelaskan bahwa keputusan untuk memindahkan pasien ke rumah sakit level


32

I tergantung pada tingkat keparahan cedera dan kondisi komorbiditas pasien.

Pasien yang dirujuk memiliki usia lebih tua, trauma brain injury yang lebih parah,

dan memiliki skor GCS ≤7. Dalam jurnal lain juga memaparkan alasan

dilakukan rujukan karena pasien mengalami fraktur ekstremitas, cedera kepala

dan cedera jaringan lunak (Tang et al., 2014). Sedangkan penelitian oleh

Rozenberg et al (2017) menyatakan bahwa sebagian besar pasien yang dirujuk

mengalami cedera traumatis di otak, pelvis, femur dan tulang belakang. Pasien

yang mengalami cedera kepala dan orthopedi sering dilakukan rujukan ke pusat

trauma karena perlunya layanan bedah khusus bagi pasien yang tidak selalu

tersedia di rumah sakit lainnya (Rozenberg et al., 2017). Oleh karena itu, pasien

yang memiliki kondisi lebih buruk dilakukan rujukan ke rumah sakit yang

memiliki perawatan spesialis atau subspesialis untuk mendukung kebutuhan

dan memperbaiki kualitas perawatan pasien (Hernandez-Boussard, Davies,

McDonald, & Wang, 2017)

2.2.2 Prognosis pada pasien trauma

Beberapa pasien dengan cedera maksilofasial (MFI) minor jarang yang

menyebabkan kematian jika penanganan segera dilakukan. Namun, fraktur di

wajah dapat berakibat fatal dan mengancam jiwa jika mengenai bagian kepala,

lehar dan dada. Cedera jaringan lunak yang besar akan sulit ditangani dan

prognosisnya buruk. MFI membutuhkan penanganan multidisiplin yang

terkoordinasi karena lebih dari 50% pasien mengalami multipel trauma yang

lain. Sedangkan prognosis dari semua trauma dada bergantung pada cepat atau

tidaknya penegakan diagnosis dan penanganan. Kontusio paru berperan

penting pada kematian individu dan efek cedera yang serius. Dapat

diperkirakan bahwa 30-75% pasien dapat mengalami kontusio yang parah,


33

sedangkan angka kematian bisa mencapai 15-40%. Untuk prognosis pada

pasien dengan cedera abdominal sulit terdiagnosis dan biasanya ditemukan

pada survei sekunder serta tipe cedera ini membutuhkan stabilisasi

hemodinamik atau tindakan operasi segera jika tanda dan gejala syok berlanjut

selama FVR (Terry, 2013 : 321)

Hasil penelitian oleh Abri et.al, (2016) menunjukkan bahwa trauma

tumpul abdomen kebanyakan terjadi pada pria. Usia rata-rata adalah 34,15 ±

1,6 tahun. Mekanisme cedera yang paling banyak terjadi karena kecelakaan

mobil. Dalam studi ini, 87,3 kasus tidak memiliki kerusakan organ intra-

abdominal. Limpa dan hati merupakan organ yang paling banyak terkena

cedera. Dari semua pasien dengan trauma tumpul abdomen 79,5% sembuh

tanpa komplikasi dan morbiditas.

2.2.3 Manfaat Prognosis

a. Sebagai acuan dalam menentukan keputusan pemberian pengobatan yang

tepat

b. Penilaian prognosis bisa membantu dalam komunikasi antara tim medis,

pasien dan keluarga

c. Prognosis digunakan sebagai acuan dalam membaiknya suatu penyakit

karena dapat mendeteksi penyakit yang dialami lebih awal.

(Kulesza et al., 2015 : 9)


34

2.3 Cedera

2.3.1 Definisi Cedera

Cedera didefinisikan sebagai perpindahan energi yang terjadi dari

lingkungan ke tubuh manusia. Energi merupakan agen penyebab timbulnya

cedera fisik dan tipe energi yang dapat menimbulkan cedera adalah energi

mekanik, elektrik, panas, kimia serta energi radiasi. Energi mekanik adalah salah

satu jenis energi yang paling sering menyebabkan cedera. Proses tersalurnya

energi mekanik pada pasien trauma bisa melalui kecelakaan, jatuh, serangan

benda tumpul, penikaman, dan luka tembak. Cedera yang diakibatkan oleh

tekanan mekanik dapat dibedakan menjadi cedera tumpul dan penetratif.

Kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh dapat dikategorikan sebagai cedera

tumpul, sementara luka tembak dan luka tusuk merupakan contoh dari cedera

penetratif (Ulya, 2017 : 1)

Trauma didefinisikan sebagai sekelompok peristiwa yang tidak terduga

dan tidak diinginkan yang melibatkan berbagai kekerasan dan kecelakaan

sehingga mengakibatkan cedera pada korbannya. Peristiwa semacam ini

merupakan salah satu penyebab mortalitas, morbiditas dan kecacatan terbesar

di dunia (Razente et al., 2017 : 161)

2.3.2 Prevalensi Cedera

Menurut World Health Organization (2014) trauma adalah masalah

kesehatan bagi masyarakat global. Lebih dari 5 juta orang meninggal setiap

tahunnya akibat cedera. Hal ini menyumbang 9% dari kematian dunia dan 1,7

kali jumlah kematian yang diakibatkan dari gabungan HIV /AIDS, TBC dan

malaria. Sehingga jika dihitung setiap enam detik ada seseorang di dunia yang
35

meninggal karena cedera. Cedera yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas

menyumbang sekitar seperempat dari 5 juta kematian. Selain itu, lebih dari 90%

kematian akibat cedera terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Secara global kematian akibat cedera di kalangan laki – laki adalah dua kali lipat

dibandingkan dengan perempuan setiap tahunnya. Trauma adalah penyebab

utama kematian untuk usia 1 tahun hingga 44 tahun di Amerika Serikat. Setiap

tahun lebih dari 2,8 juta orang Amerika dirawat di rumah sakit akibat cedera

dan biaya yang dihabiskan sekitar 406 miliar (Haider et al., 2014 : 1061).

Penelitian telah menunjukkan bahwa 25-50% kematian terkait trauma dapat

dicegah (Karatas & Cam, 2018 : 1048)

Adapun prevalensi cedera di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar

(2018) angka kejadian cedera nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya

mulai dari tahun 2007 sebesar (7,5%) dilanjutkan tahun 2013 sebesar (8,2%)

dan tahun 2018 meningkat menjadi (9,2%). Sedangkan untuk Jawa Timur

sendiri angka kejadian cedera tahun 2018 sebesar (9,1%)(Kementerian

Kesehatan RI, 2018a : 247). Menurut hasil utama Riset Kesehatan Dasar

Provinsi Jawa Timur (2018) menunjukkan bahwa prevalensi kejadian cedera di

kota Malang pada tahun 2018 mengalami peningkatan menjadi (17, 2%) dari

tahun sebelumnya 2007 (8,9%) dan tahun 2013 (6,5%)(Kementerian Kesehatan

RI, 2018b : 69)

2.3.3 Penyebab Cedera

Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional

injury), penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang

tidak bisa ditentukan (undeterminated intent). Penyebab cedera yang disengaja


36

meliputi bunuh diri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti dipukul

orangtua/suami/anak, penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-

lain. Sedangkan penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain : terbakar/

tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang binatang,

kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka

karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam,

radiasi, terbakar dan lainnya. Dan untuk penyebab yang tidak dapat ditentukan

(undeterminated intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan

kedalam kelompok penyebab yang disengaja atau tidak disengaja (Kementerian

Kesehatan RI, 2013a : 101)

Di antara mekanisme cedera, cedera akibat kecelakaan di jalan raya

adalah 1 dari 5 penyebab teratas yang mengakibatkan kehilangan nyawa pada

tahun 2013 (Park et al., 2016 : 515). Berdasarkan data Perhubungan Darat

Dalam Angka 2013 menyatakan bahwa kasus kecelakaan dari tahun 2009

sampai 2013 mengalami peningkatan yaitu dari 62.960 kasus menjadi 100.106

kasus pada tahun 2013. Dari 100.106 kasus ini, diantaranya jumlah jiwa yang

meninggal dunia sebanyak 26.416 jiwa, korban luka berat 26.438 jiwa, serta luka

ringan 110.448 jiwa (Kementerian Perhubungan RI, 2014 : 478)

Menurut World Health Organization (2015) cedera yang disebabkan karena

kecelakaan lalu lintas diperkirakan menjadi penyebab kematian kesembilan di

semua kelompok usia, dan diprediksi menjadi penyebab utama kematian

ketujuh pada tahun 2030 serta menyumbang lebih dari 1,2 juta kematian setiap

tahunnya. Hal ini didorong dengan meningkatnya jumlah kematian di jalan raya

pada negara berkembang dimana urbanisasi dan mobilisasi menyertai


37

pertumbuhan ekonomi yang cepat. Suatu kecelakaan dapat terjadi akibat dari

kumulatif beberapa faktor penyebab kecelakaan yaitu faktor manusia atau

sumber daya manusia, faktor sarana, faktor prasarana dan faktor lingkungan

(Saputra, 2017 : 184)

2.3.3.1 Proporsi Penyebab Cedera di Indonesia tahun 2013

Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, adapun prevalensi dan

proporsi penyebab cedera berdasarkan provinsi di Indonesia yaitu cedera yang

disebabkan oleh transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di wilayah

Bengkulu (56,4%) dan terendah di Papua (19,4%). Sedangkan untuk

transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan (10,1%)

dan terendah ditemukan di Papua (2,5%). Proporsi jatuh tertinggi ditemukan di

wilayah NTT (55,5%) dan terendah di Bengkulu (26,6%). Proporsi tertinggi

akibat terkena benda tajam/tumpul terjadi di Papua (29%) dan terendah di DI

Yogyakarta (4,7%). Untuk penyebab cedera karena gigitan hewan tertinggi

terjadi di DI Yogyakarta sebesar (2,6%) dan terendah terjadi di tiga provinsi

yaitu provinsi Lampung, Banten dan Kalimantan Selatan (0,1%). Dan yang

disebabkan karena keracunan sebagian besar tidak ditemukan kasusnya, tetapi

proporsi tertinggi terjadi di Jambi (0,10%) (Kementerian Kesehatan RI, 2013a :

101)

2.3.3.2 Proporsi Penyebab Cedera menurut Karakteristik tahun 2013

Adapun gambaran prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik

responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), laki-laki (10,1%),

pendidikan tamat SMP/MTS (9,1%), yang tidak bekerja atau bekerja sebagai
38

pegawai (8,4%), bertempat tinggal di perkotaan (8,7%) pada kuintil indeks

kepemilikan menengah atas (8,7%) (Kementerian Kesehatan RI, 2013a : 101)

Sedangkan untuk gambaran prevalensi cedera menurut karakteristik di

Jawa Timur yaitu kelompok umur 15-24 tahun sebesar (13,3%), laki-laki

(11,2%), pendidikan tingkat SD/MI (10,7%), tidak bekerja (10,1%) dan yang

tinggal di perkotaan mengalami cedera (9,8%) lebih tinggi dibandingkan yang

tinggal di pedesaan (Kementerian Kesehatan RI, 2013b : 177-184)

2.3.4 Proporsi Jenis Cedera

Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah

dialami dan dapat menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari. Seseorang

yang cedera bisa mengalami minimal 1 jenis (multiple injuries). Adapun contoh

jenis cedera yang terjadi yaitu luka lecet/memar, luka robek, patah tulang,

terkilir, geger otak dan lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2013a : 104)

Adapun bagian tubuh yang terkena cedera dapat lebih dari satu bagian

(multiple injury). Klasifikasi bagian tubuh yang terkena cedera menurut ICD-10,

dikelompokkan menjadi :

1. Kepala meliputi indera (mata, hidung, telinga, mulut) bagian muka dan

leher

2. Dada meliputi tubuh bagian depan dari atas pinggang sampai bawah

leher termasuk tulang dada

3. Punggung meliputi tubuh bagian belakang dari atas pinggang sampai

bawah leher termasuk tulang belakang


39

4. Perut meliputi tubuh dari bawah pinggang, bagian depan dan belakang,

termasuk alat kelamin dan organ dalam

5. Anggota gerak atas (meliputi lengan atas, lengan bawah, punggung

tangan, telapak dan jari tangan)

6. Anggota gerak bawah meliputi paha, betis, telapak dan jari kaki

(Kementerian Kesehatan RI, 2018a : 247)

2.3.4.1 Proporsi Jenis Cedera di Indonesia tahun 2013

Proporsi jenis cedera di Indonesia didominasi oleh luka lecet/memar

sebesar 70,9 persen dengan data terbanyak di wilayah Banten (76,2%) dan

terendah di Papua (59,4%). Jenis cedera terbanyak kedua di Indonesia adalah

terkilir, rata-rata sebesar 27,5 persen dan ditemukan terbanyak di wilayah

Kalimantan Selatan (39,3%). Sedangkan luka robek menduduki peringkat

ketiga jenis cedera terbanyak, jenis luka ini terbanyak ditemukan di Papua

sebesar (48,5%), jauh diatas angka yang dimiliki Indonesia yaitu 23,2 persen

dan terendah di wilayah DI Yogyakarta (14,6%). Jenis cedera lain dengan

proporsi kecil yaitu patah tulang sekitar 5,8 persen, anggota tubuh terputus

sekitar 0,3 persen, cedera mata sekitar 0,6 persen dan geger otak masing-masing

proporsinya di Indonesia 0,4 persen (Kementerian Kesehatan RI, 2013a : 104)

Menurut data Riskesdas Dalam Angka Provinsi Jawa Timur (2013),

adapun proporsi jenis cedera berdasarkan kabupaten/kota di Jawa Timur yaitu

luka lecet/memar tertinggi di Tuban sebesar (80,4%), luka robek tertinggi di

wilayah Sampang sebesar (38,0%), patah tulang terbanyak di kota Mojokerto

(15,3%), terkilir/teregang terbanyak di daerah gresik dan bangkalan sebesar

(36,5%), anggota tubuh terputus tertinggi di kota Mojokerto (2,1%), cedera


40

mata tertinggi di Mojoketo sebesar (3,4%) dan geger otak terbanyak di

Lamongan dengan angka (2,6%). Sedangkan di kota Malang jenis cedera yang

terbanyak yaitu luka lecet/memar sebesar (76,0%) (Kementerian Kesehatan RI,

2013b : 188)

2.3.4.2 Proporsi Jenis Cedera menurut Karakteristik tahun 2013

Adapun proporsi jenis luka dengan tiga urutan tertinggi yaitu luka

lecet/memar, terkilir dan luka robek. Berdasarkan kelompok umur, proporsi

lecet/memar, luka robek, anggota tubuh yang terputus dan cedera mata

menunjukkan pola atau kecenderungan yang sama yaitu pada usia < 1 tahun

proporsinya rendah, kemudian meningkat di usia muda dan menurun di usia

lanjut. Sedangkan kecenderungan proporsi yang menggambarkan pola positif

yaitu semakin bertambah umur, proporsinya semakin tinggi ditunjukkan pada

jenis cedera patah tulang, sedangkan terkilir tinggi di usia <1 tahun selanjutnya

jumlahnya semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Kelompok umur

15 – 24 tahun mempunyai proporsi tertinggi untuk jenis cedera lecet/memar

sebesar (77,1%), luka robek pada umur 25-34 tahun (26,9%), patah tulang pada

umur 75 tahun keatas (10%), terkilir pada umur 65-74 tahun (43,2%), anggota

tubuh terputus pada usia produktif 25-54 tahun sekitar (0,4%), cedera mata

umur 35-64 tahun sekitar (0,8%), geger otak pada umur 65-74 tahun (0,9%)

dan jenis cedera lainnya pada umur 75 tahun keatas (3,8%) (Kementerian

Kesehatan RI, 2013a : 104)

Untuk proporsi jenis cedera menurut karakteristik di Jawa Timur tahun

2013, yaitu luka lecet/memar terbanyak pada kelompok umur 1 - 4 tahun

(77,9%) dan jenis kelamin laki-laki (68,2%). Luka robek terbanyak pada
41

kelompok umur 25-34 tahun (29,3%) dan jenis kelamin laki-laki (25,8%).

Untuk patah tulang terbanyak pada kelompok umur 65-74 tahun (9,8%) dan

jenis kelamin laki-laki (7,1%). Cedera akibat terkilir banyak pada kelompok

umur 75 tahun keatas (43,9%) dan banyak dialami oleh perempuan sebesar

(28,6%). Sedangkan anggota tubuh terputus akibat cedera banyak dialami oleh

kelompok umur 25-34 tahun (0,9%) dan banyak pada laki-laki (0,4%)

dibandingkan pada perempuan. Kasus cedera mata banyak pada kelompok

umur 55-64 tahun sebesar (1,5%) dan berjenis kelamin laki-laki (0,6%)

sedangkan untuk kasus geger otak banyak pada kelompok umur 55-64 tahun

sebesar (1,3%) (Kementerian Kesehatan RI, 2013b : 189)

2.3.5 Proporsi Tempat Terjadinya Cedera

Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa yang

mengakibatkan cedera terjadi. Hal ini bisa disebut juga dengan istilah TKP

(Tempat Kejadian Perkara). Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan

data tentang lokasi/tempat tanpa disertai keterangan aktivitas yang sedang

dilakukan responden pada saat kejadian cedera di lokasi tersebut. Keterangan

tempat seperti rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan

outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya

(Kementerian Kesehatan RI, 2013a : 107)

2.3.5.1 Proporsi Tempat Terjadinya Cedera di Indonesia tahun 2013

Secara nasional, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu (42,8%)

selanjutnya di rumah (36,5%), area pertanian (6,9%) dan sekolah (5,4%).

Provinsi dengan angka proporsi tertinggi yang mengalami cedera di rumah dan

sekitarnya adalah Lampung (44%) dan terendah di Bengkulu (23%). Adapun


42

untuk proporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Kalimantan Tengah

(8,2%) dan terendah di Sulawesi Barat (2,7%). Tempat kejadian cedera di jalan

raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang

lainnya. Provinsi yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan raya

yang melebihi angka nasional sebanyak 21 provinsi. Adapun provinsi dengan

kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Bengkulu (56%) dan terendah di

Papua (21,5%). Kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya

tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area

pertanian menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi angka nasional

yaitu (30,4%) terjadi di Papua dan terendah di DKI Jakarta (0,3%)

(Kementerian Kesehatan RI, 2013a : 107)

Sedangkan proporsi tempat terjadinya cedera di Jawa Timur tahun 2013

yaitu, cedera yang terjadi di rumah sebesar (36,3%), di sekolah (6,0%), tempat

olahraga (3,5%), di jalan raya (42,1%), tempat umum (2,3%), industri (2,1%), di

area pertanian (6,9%), dan lainnya (0,9%). Sedangkan proporsi cedera

berdasarkan tempat terjadinya cedera di kota Malang yaitu cedera yang terjadi

di rumah sebesar (33,3%), di sekolah (3,0%), tempat olahraga (5,3%), di jalan

raya (55,3%), tempat umum (2,3%), industri (0,6%), dan di area pertanian

(0,2%) (Kementerian Kesehatan RI, 2013b : 191)

2.3.5.2 Proporsi Tempat Terjadinya Cedera menurut Karakteristik tahun 2013


Berdasarkan kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan

proporsi yang tinggi terjadinya cedera pada kelompok umur balita dan lansia

(lanjut usia). Adapun tempat kejadian cedera di sekolah kebanyakan terjadi

pada kelompok umur 5-14 tahun, demikian juga dengan tempat kejadian cedera
43

di area olahraga. Kejadian cedera di jalan raya banyak terjadi pada umur

produktif dan tampak tinggi khususnya pada umur 15-24 tahun sebesar

(66,7%). Tempat umum dan industri menunjukkan pola yang sama yaitu

kebanyakan terjadi pada kelompok umur produktif, sedangkan di area

pertanian proporsi tertinggi pada umur 65-74 tahun sebesar (21,0%)

(Kementerian Kesehatan RI, 2013a : 107)

Berdasarkan jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas

lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, kecuali di rumah

dan sekolah. Adapun berdasarkan pendidikan yang menunjukkan pola negatif

yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi di

rumah, sekolah dan pertanian (Kementerian Kesehatan RI, 2013a : 107)

Berdasarkan status pekerjaan proporsi tertinggi tampak pada orang yang

tidak bekerja, demikian juga pada sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan

raya, tempat umum dan industri memperlihatkan proporsi tertinggi pada status

pegawai. Adapun untuk area pertanian tampak proporsi tertinggi pada status

pekerjaan sebagai buruh/petani (21,4%). Sedangkan berdasarkan tempat

tinggal, mayoritas kejadian cedera menunjukkan lebih tinggi pada perkotaan

dibandingkan pedesaan kecuali pada area pertanian (Kementerian Kesehatan

RI, 2013a : 107)

Adapun proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik provinsi

Jawa Timur tahun 2013 yaitu cedera yang terjadi di rumah terbanyak pada

kelompok umur balita dan lansia (lanjut usia). Sedangkan cedera yang terjadi di

sekolah dan tempat olahraga terbanyak pada kelompok umur 5-14 tahun.

Untuk cedera yang terjadi di jalan raya terbanyak pada kelompok umur 15-24
44

tahun atau 25-34 tahun. Cedera pada tempat umum dan industri terbanyak

pada kelompok umur 25-34 tahun, sedangkan di area pertanian banyak pada

kelompok umur 55-64 tahun atau 65-74 tahun. Untuk jenis kelamin, proporsi

tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan

dengan perempuan, kecuali di rumah dan di sekolah. Berdasarkan tempat

tinggal, pada daerah perkotaan cedera banyak terjadi di tempat olahraga, jalan

raya, tempat umum dan industri, sedangkan untuk daerah pedesaan cedera

banyak terjadi di rumah, sekolah dan pertanian (Kementerian Kesehatan RI,

2013b : 192)

2.4 Sistem Penilaian TRISS dan mortalitas pasien trauma

Penelitian yang dilakukan oleh Orhon et al., (2014) yang berjudul,

“Comparison of trauma scores for predicting mortality and morbidity on trauma patients”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem penilaian trauma yang paling

akurat dan dapat diandalkan dalam menilai risiko morbiditas dan mortalitas

diantara pasien trauma. Penelitian ini adalah studi cross-sectional yang

berlangsung dari bulan November 2009 - Juli 2010. Dari 633 pasien trauma

sebanyak 378 pasien dirawat inap, sedangkan 255 pasien dipulangkan setelah

mendapat pengobatan pertama di IGD. Sebanyak 38 pasien rawat inap

dipindahkan ke ICU dan 20 pasien membutuhkan ventilasi mekanik serta 8

pasien yang meninggal dunia. Hasil skor maksimum untuk keempat sistem

penilaian ini yaitu ISS (41,0), NISS (48,0), RTS (7,84), dan TRISS (99,7). Semua

penilaian trauma diatas signifikan untuk menilai kematian dibandingkan dengan

pasien yang selamat (p=0,001). Lama rawat inap memiliki korelasi positif

dengan ISS (r = 0,36) dan NISS (R = 0,42). Sedangkan RTS dan TRISS
45

memiliki korelasi negatif dengan lama rawat inap (r = - 0,2 dan r = - 0,14)

artinya skor RTS dan TRISS lebih tinggi pada pasien yang dipulangkan dari

ruang IGD. Terlepas dari signifikan secara statistik, koefisien korelasi lemah

pada semua skor trauma untuk lama rawat inap. Pasien yang dirawat di ICU

memiliki skor ISS dan NISS yang lebih tinggi dan skor RTS dan TRISS lebih

rendah. Dari 38 pasien yang dirawat di ICU, 20 pasien memerlukan ventilasi

mekanis. Hasil menemukan bahwa skor trauma TRISS dapat memprediksi

kebutuhan ventilasi mekanik lebih baik daripada skor trauma lainnya. Sehingga

ada korelasi negatif yang kuat antara TRISS dan waktu ventilasi mekanis. Dapat

disimpulkan bahwa, skor trauma anatomis (NISS, ISS) memperkirakan lama

perawatan di rumah sakit dan kebutuhan ICU dengan lebih baik, sedangkan

TRISS menilai lama rawat inap di ruang ICU dan kebutuhan ventilasi mekanis

secara lebih baik dibandingkan skor trauma lainnya. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian yang akan dilakukan adalah memperoleh data dari hasil

rekam medik pasien dan ingin mengetahui prognosis pada pasien trauma yang

dihubungkan dengan penilaian TRISS

Penelitian yang dilakukan oleh (Jung et al., 2016) yang berjudul The Best

Prediction Model for Trauma Outcomes of the Current Korean Population : a Comparative

Study of Three Injury Severity Scoring Systems. Penelitian ini bertujuan menilai 3

perwakilan ISSS yaitu Injury Severity Score (ISS), Revised Trauma Score (RTS), dan

Trauma and Injury Severity Score (TRISS) dalam memprediksi hasil pengobatan

trauma serta menentukan sistem penilaian trauma terbaik untuk digunakan di

negara Korea. Data diperoleh dari rekam medik pasien yang berusia ≥15 tahun

yang menjalani perawatan pada bulan Januari 2010 – Desember 2014. Hanya

7120 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 6668 pasien (93,7%)
46

masuk rumah sakit akibat trauma tumpul dan 452 pasien (6,3%) akibat trauma

penetrasi. Mayoritas pasien adalah laki-laki sebanyak 4826 pasien atau 67,8%

dengan usia rata-rata pasien adalah 48,85±19,25 tahun. Jenis trauma yang

paling umum adalah trauma tumpul sebanyak 6668 pasien dan penyebab paling

umum adalah kecelakaan lalu lintas sebanyak 2679 atau 40,2%. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata dari ISS, RTS dan TRISS dalam

probabilitas kelangsungan hidup adalah 11,6 ± 10,4 dan 7,34 ± 1,53 dan 0,92 ±

0,19. Nilai AUCs untuk menilai kemampuan masing-masing sistem penilaian

trauma dari ISS, RTS dan TRISS yaitu 0,866, 0,894 dan 0,942. Kemampuan

menilai dari TRISS secara signifikan lebih besar daripada ISS (p<0,001) dan

RTS (p<0,001). Nilai cut off dari TRISS adalah 0,9082 dengan sensitivitas 81,9%

dan spesifisitas adalah 92% kematian diperkirakan dengan akurasi 91,2%.

Secara keseluruhan, TRISS memiliki hasil terbaik diantara sistem penilaian

trauma yang lainnya. Nilai prediktif positif adalah yang tertinggi sebesar 46,8%.

Secara umum, ketika nilai AUC dari analisis ROC adalah 0,9 atau lebih tinggi

maka metode ini dianggap sangat akurat. Dalam penelitian ini, AUC dari

TRISS adalah 0,92 hal ini menunjukkan bahwa metode TRISS sangat akurat

digunakan untuk menilai tingkat mortalitas pada pasien trauma dan itu secara

statistik lebih baik dibandingkan dengan ISS dan RTS.

Anda mungkin juga menyukai