Oleh :
Rizki Nurbaiti
NIM. P07220420026
i
PROPOSAL DESAIN INOVATIF STASE
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
Oleh :
Rizki Nurbaiti
NIM. P07220420026
ii
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat dan Rahmatnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini. Penulisan tugas ini
merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar profesi Ners Jurusan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Kaltim.
Penulis menyadari bahwa Desain Inovatif ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan keterbatasan pengalaman dan ilmu yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran dan masukan bahkan
kritikan yang membangun dari berbagai pihak. Semoga Desain Inovatif ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.
Mahasiswa,
Rizki Nurbaiti
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................................5
BAB II KAJIAN PUSTAKA...........................................................................................6
A. Tinjauan Pustaka Nyeri..........................................................................................6
B. Tinjauan Pustaka Progressive Muscle Relaxation................................................21
C. Kerangka Teori.....................................................................................................31
D. Mekanisme...........................................................................................................32
E. Manajemen...........................................................................................................35
BAB III STRATEGI PEMECAHAN MASALAH......................................................36
A. Rancangan Penelitian...........................................................................................36
B. Responden............................................................................................................36
C. Jenis Intervensi.....................................................................................................36
D. Tujuan..................................................................................................................36
E. Waktu...................................................................................................................36
F. Setting..................................................................................................................36
G. Media/Alat...........................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan rasa nyaman adalah suatu keadaan yang membuat
seseorang merasa nyaman, terlindung dari ancaman psikologis, bebas dari
rasa sakit terutama nyeri (Purwanto dalam Karendehi, 2015). Nyeri adalah
suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan terkait kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial,
atau yang di gambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut (Meliala &
Suryamiharja, 2007).
Nyeri yang dirasakan oleh individu dapat disebabkan oleh beberapa
kondisi seperti proses pembedahan, atau trauma yang dapat mengakibatkan
nyeri akut, atau nyeri kronis yang diakibatkan oleh beberapa kondisi penyakit
seperti kanker, nyeri pinggang bawah, migrain atau nyeri sendi. Meskipun
nyeri terjadi akibat penurunan kondisi kesehatan, namun dapat berdampak
pada disfungsi pola kesehatan fungsional, baik nyeri akut maupun nyeri kronis
(LeMone, Burke, & Bauldoff, 2016).
Keluhan adanya rasa nyeri atau sakit sering kali merupakan alasan
individu untuk mendapatkan perawatan medis. Berdasarkan American Pain
Society (APS) 50 juta warga Amerika lumpuh sebagian atau total karena
nyeri, dan 45% dari warga Amerika membutuhkan perawatan nyeri yang
persisten seumur hidup mereka. Kira-kira 50-80% pasien di rumah sakit
mengalami nyeri disamping keluhan lain yang menyebabkan pasien masuk
rumah sakit (Ivan, 2013). Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari Word
Health Organization (2015), jumlah pasien nyeri pembedahan meningkat dari
tahun ke tahun, pada tahun 2011 tercatat terdapat 140 juta pasien atau sekitar
1,9% di seluruh dunia, pada tahun 2012 terjadi peningkatan sebesar 148 juta
pasien atau sekitar 2,1%. Jumlah prevalensi nyeri secara keseluruhan belum
1
pernah di teliti di Indonesia, namun diperkirakan nyeri kanker dialami oleh
sekitar 12,7 juta orang atau sekitar 5% dari penduduk Indonesia (WHO, 2014).
Nyeri juga berfungsi sebagai salah satu mekanisme pertahanan tubuh
melalui peringatan ke otak mengenai adanya jaringan yang mungkin sedang
dalam keadaan bahaya. Nyeri sebenarnya merupakan salah satu signal bagi
individu mengenai adanya kerusakan dalam tubuh (Hadjam, 2011). Intensitas
nyeri seringkali menunjukan tingkat kerusakan atau cidera yang dialami
individu.
Selain cedera, nyeri juga dirasakan oleh individu yang melakukan
operasi. Operasi atau pembedahan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah pengobatan penyakit dengan jalan memotong, mengiris atau membuka
bagian tubuh yang sakit. Operasi patah tulang adalah tindakan pengobatan
yang berhubungan dengan pemeliharaan dan pemulihan sistem rangka dan
tulang. Sedangkan operasi tumor adalah tindakan pengobatan yang tujuan
utamanya adalah mengangkat pertumbuhan kanker abnormal yang
menginfeksi tubuh. Pasca operasi ada rasa nyeri yang seringkali ditimbulkan
akibat jahitan atau tindakan medis berkaitan dengan pemuliha/tindakan
operasi tersebut. Tindakan medis yang sering menimbulkan nyeri adalah
pembedahan. Nyeri biasanya dirasakan oleh pasien pasca operasi patah
tulang, operasi kanker, operasi tumor, operasi cesar, operasi usus buntu dan
lain sebagainya. Pasien pasca operasi seringkali dihadapkan pada
permasalahan adanya proses peradangan akut dan nyeri yang mengakibatkan
keterbatasan gerak. Setiap tindakan operasi atau pembedahan pasti akan
menimbulkan rasa nyeri yang berakibat memberikan rasa ketakutan pada
pasien untuk dapat bergerak atau mobilisasi yang dapat menurunkan kualitas
hidup, bahkan nyeri merupakan sumber frustasi (Potter dan Perry, 2006).
Menurut Mustawan (2008) nyeri merupakan keluhan yang paling
sering diungkapkan pasien dengan tindakan pembedahan atau operasi. Nyeri
tersebut biasa disebut dengan nyeri pasca operasi. Nyeri pasca operasi ini
harus segera ditindaklanjuti karena bisa menyebabkan komplikasi serta trauma
pada pasien. Pasien pasca operasi sering mengalami nyeri akibat
2
diskontinuitas jaringan atau luka operasi akibat insisi pembedahan serta akibat
posisi yang dipertahankan selama prosedur pasca operasi sendiri (Widya,
2010).
Respon nyeri jika dilihat dari faktor biologis mengaktifkan
nociceptors. Nociceptors merupakan serabut syaraf yang merangsang rasa
sakit. Setelah nociceptors dirangsang impuls rasa sakit dikirim ke otak sebagai
peringatan bahwa terjadi ancaman pada tubuh, rangsangan yang individu
terima mengaktifkan serabut saraf khusus untuk mengirim sinyal melalui
jaringan syaraf perifer melalui impuls sumsum tulang belakang ke otak, ketika
impuls aferen mencapai sumsum tulang belakang loop refleks terbentuk dalam
saluran untuk mengaktifkan otot-otot yang diperlukan untuk menggerakan
anggota badan menjauhi stimulus.
Pasien dalam merespon terhadap nyeri yang dialaminya dengan cara
berbeda-beda misalnya berteriak, meringis, menangis dan sebagainya, maka
perawat harus peka terhadap sensasi nyeri yang dialami oleh pasien (Asmadi;
Saifullah, 2015). Perawat dengan menggunakan pengetahuannya dapat
mengatasi masalah nyeri baik secara mandiri maupun kolaboratif dengan
menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan farmakologi dan pendekatan
non farmakologi (Saifullah, 2015). Terapi farmakologis seperti obat-obatan
analgetik atau pereda nyeri memiliki efek samping seperti depresi, sedasi,
mual muntah dan konstipasi, sedangkan terapi nonfarmakologi merupakan
pendekatan untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan teknik
manajemen nyeri meliputi stimulasi dan masase kutaneus, relaksasi otot
progresif, terapi es dan panas, distraksi, imajinasi terbimbing, teknik relaksasi
nafas dalam dan sebagainya (Smeltzer & Bare, 2002).
Pendekatan nyeri nonfarmakologis memiliki risiko atau efek samping
yang sangat rendah meskipun metode tersebut bukan untuk penggantian obat-
obatan, namun tindakan tersebut diperlukan atau sesuai untuk mempersingkat
episode nyeri (Smeltzer & Bare, 2002). Teknik pereda nyeri nonfarmakologi
dapat dilakukan perawat secara mandiri tanpa tergantung pada petugas medis
lain dimana dalam pelaksanaanya perawat dengan pertimbangan dan
3
keputusannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (Bagun &
Nur’aeni, 2013). Tujuan dari penatalaksanaan nyeri adalah untuk mengurangi
atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek
samping seminimal mungkin (Smelzer & Bare, 2002). Metode pengendalian
nyeri secara non farmakologi juga dapat digunakan seperti teknik relaksasi.
Relaksasi bertujuan untuk mengurangi kecemasan, menurunkan ketegangan
otot dan secara tidak langsung akan menghilangkan nyeri (Solehati & Rustina,
2015). Salah satu tekhnik relaksasi yang dapat dilakukan adalah Progressive
Muscle Relaxation (PMR). PMR merupakan tekhnik relaksasi sistematis dan
mendalam dengan tegang dan santai otot (Snyder & Lindquist, 2006 ; Meyer
et al., 2016).
PMR telah direkomendasikan untuk mengurangi rasa nyeri (Sands,
2004) dengan komponen utama yaitu relaksasi otot sehingga sistem
parasimpatis akan mendominasi selama dan setelah pelaksanaan PMR, dengan
demikian akan menurunkan denyut jantung, laju pernapasan, dan tekanan
darah. Hal ini pula mempengaruhi susunan saraf somatik yang dalam serta
mempengaruhi saraf parasimpatis sehingga mengurangi kecemasan. Respon
relaksasi juga mengurangi nyeri dengan mengurangi permintaan oksigen
jaringan, menurunkan kadar bahan kimia seperti asam laktat dan melepaskan
endorfin (Akmes, 2014). Kaitan antara ketegangan otot, relaksasi dan sistem
saraf otonom, pada jalur ini neuromuskular aferen akan menginervasi
pembentukan retikular yang pada akhirnya akan diproyeksikan pada
hipotalamus (Conrad & Roth, 2007). Hipotalamus yang berhubungan dengan
sirkuit neural yang diyakini terjadi dikorteks serebral. Sirkuit ini akan ber-
interaksi dengan terminal akson sensori perifer dalam kornus dorsalis
dimedula spinalis untuk mengontrol neuron yang mentransmisikan sinyal
nyeri. Neuron ini akan menghasilkan opoid endogen yaitu enkepalin, endorfin,
dinorfin dan endomorfin. Endorfin yang dilepaskan akan bekerja sebagai
neurotransmiter berikatan dengan reseptor opoid sehingga akan menghambat
transmisi stimulus nyeri. Dengan demikian, PMR dapat menurunkan persepsi
nyeri (LeMone et al., 2016).
4
Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa Progressive Muscle
Relaxation dapat untuk mengurangi nyeri. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk melakukan intervensi Progressive Muscle Relaxation terhadap
intensitas nyeri pada pasien post operasi di Ruangan Gardenia RS PKT
Bontang.
B. Rumusan Masalah
Apakah Progressive Muscle Relaxation dapat menurunkan intensitas
nyeri pada pasien post operasi?
C. Tujuan
Untuk mengetahui Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap
Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
6
6
sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan ditutup (Andarmoyo, 2013)
d. Teori Pola (Pattern theory)
Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider (1989), teori ini
menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori
yang di rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan
akibat dari stimulasi reseptor yang menghasilkan pola dari impuls
saraf (Saifullah, 2015). Teori pola adalah rangsangan nyeri masuk
melalui akar ganglion dorsal medulla spinalis dan rangsangan aktifitas
sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respon yang merangsang bagian
yang lebih tinggi yaitu korteks serebri dan menimbulkan persepsi, lalu
otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi
oleh modalitas respon dari reaksi sel T (Margono, 2014).
e. Endogenous Opiat Theory
Teori ini dikembangkan oleh Avron Goldstein, ia mengemukakan
bahwa terdapat subtansi seperti opiet yang terjadi selama alami
didalam tubuh, subtansi ini disebut endorphine yang mempengaruhi
transmisi impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine
mempengaruhi transmisi impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri.
Endorphine kemungkinan bertindak sebagai neurotransmitter maupun
neuromodulator yang menghambat transmisi dari pesan nyeri
(Hidayat, 2014).
1. Fisiologi Nyeri
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri tersebar pada kulit dan mukosa dimana
reseptor nyeri memberikan respon jika adanya stimulasi atau rangsangan.
Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimia seperti histamine, bradikinin,
prostaglandin dan macam-macam asam yang terlepas apabila terdapat
kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigen. Stimulasi yang lain
dapat berupa termal, listrik, atau mekanis (Smeltzer & Bare, 2002).
7
Nyeri dapat dirasakan jika reseptor nyeri tersebut menginduksi
serabut saraf perifer aferen yaitu serabut A-delta dan serabut C. Serabut A-
delta memiliki myelin, mengimpulskan nyeri dengan cepat, sensasi yang
tajam, jelas melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri.
Serabut C tidak memiliki myelin, berukuran sangat kecil, menyampaikan
impuls yang terlokalisasi buruk, visceral dan terus-menerus (Potter &
Perry, 2005). Ketika serabut C dan A-delta menyampaikan rangsang dari
serabut saraf perifer maka akan melepaskan mediator biokimia yang aktif
terhadap respon nyeri, seperti : kalium dan prostaglandin yang keluar jika
ada jaringan yang rusak. Transmisi stimulus nyeri berlanjut di sepanjang
serabut saraf aferen sampai berakhir di bagian kornu dorsalis medulla
spinalis. Didalam kornu dorsalis, neurotransmitter seperti subtansi P
dilepaskan sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf
perifer ke saraf traktus spinolatamus. Selanjutnya informasi di sampaikan
dengan cepat ke pusat thalamus (Potter & Perry, 2005).
8
Stimulasi nyeri : zat kimia, listrik
kekurangak oksigen, trauma jaringan,
dan lain-lain
Merangsang
Dihantarkan Serabut Tipe Aα
Nosireseptor
dan Serabut Tipe C
(Reseptor Nyeri)
Medula Spinalis
Area Grisea
Sistem Aktivasi Sistem Aktivasi Periakueduktus
Retikuler Retikuler
Persepsi
Otak (Kortek Somatosensorik) Nyeri
Nyeri
9
2. Jenis Nyeri
Secara umum nyeri dibagi menjadi dua yaitu,
a. Nyeri Akut
Nyeri Akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa detik
hingga kurang dari 6 bulan biasanya dengan awitan tiba-tiba dan
umumnya berkaitan dengan cidera fisik. Nyeri akut mengindikasikan
bahwa kerusakan atau cidera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama
terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun
sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri ini umumnya terjadi
kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Salah satu
nyeri akut yang terjadi adalah nyeri pasca pembedahan (Meliala &
Suryamiharja, 2007).
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitakan
dengan penyebab atau cidera fisik. Nyeri kronis dapat tidak memiliki
awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati
karena biasanya nyeri ini sering tidak memberikan respon terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Strong, Unruh, Wright
& Baxter, 2002). Nyeri kronik ini juga sering di definisikan sebagai
nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih, meskipun enam
bulan merupakan suatu periode yang dapat berubah untuk membedakan
nyeri akut dan nyeri kronis (Potter & Perry, 2005).
13
2) Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari
reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks.
3) Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh
dari penyebab nyeri.
b. Nyeri Sentral.
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak
dan talamus.
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain nyeri
ini timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri.
14
sama di sepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari “tidak nyeri”
sampai “nyeri tidak tertahankan”. Perawat menunjukan klien skala
tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang
ia rasakan (Potter & Perry, 2006).
Deskriptif
15
5. Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
a. Usia
Usia mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri. Sebagai
contoh anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata
mengalami kesulitan dalam mengungkapkan secara verbal dan
mengekspresikan rasa nyarinya, sementara lansia mungkin tidak akan
melaporkan nyerinya dengan alasan nyeri merupakan sesuatu yang
harus mereka terima (Potter & Perry, 2006).
b. Jenis kelamin
Secara umum jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam merespon nyeri. Beberapa kebudayaan
mempengaruhi jenis kelamin misalnya ada yang menganggap bahwa
seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis
sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama (Andari, 2015)
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengruhi individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang ajarkan dan apa yang diterima
oleh kebudayaan mereka (Rahadhanie dalam Andari, 2015).
d. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat. Sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini
merupakan salah satu konsep yang perawat terapkan di berbagai terapi
untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi
terbimbing (guided imaginary) dan mesase, dengan memfokuskan
perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, misalnya
pengalihan pada distraksi (Fatmawati, 2011).
e. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri. Namun nyeri juga
16
dapat menimbulkan ansietas. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian
system limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang
khususnya ansietas (Wijarnoko, 2012).
f. Kelemahan
Kelemahan atau keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa
kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping (Fatmawati, 2011).
g. Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Apabila individu sejak
lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah
sembuh maka ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya jika
individu mengalami jenis nyeri yang sama berulang-ulang tetapi nyeri
tersebut dengan berhasil dihilangkan akan lebih mudah individu
tersebut menginterpretasikan sensasi nyeri (Rahadhanie dalam Andari,
2015).
h. Gaya koping
Gaya koping mempengaruhi individu dalam mengatasi nyeri. Sumber
koping individu diantaranya komunikasi dengan keluarga, atau
melakukan latihan atau menyanyi (Ekowati, 2012).
i. Dukungan keluarga dan social
Kehadiran dan sikap orang-orang terdekat sangat berpengaruh untuk
dapat memberikan dukungan, bantuan, perlindungan, dan
meminimalkan ketakutan akibat nyeri yang dirasakan (Widjanarko,
2012).
j. Makna nyeri
17
6. Manajemen Nyeri
a. Pendekatan farmakologi
Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk
menghilangkan nyeri dengan pemberian obat-obatan pereda nyeri
terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama
berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Metode yang paling umum
digunakan untuk mengatasi nyeri adalah analgesic (Strong, Unruh,
Wright & Baxter, 2002). Menurut Smeltzer & Bare (2002), ada tiga
jenis analgesik yakni:
1) Non-narkotik dan anti inflamasi nonsteroid (NSAID):
menghilangkan nyeri ringan dan sedang. NSAID dapat sangat
berguna bagi pasien yang rentan terhadap efek pendepresi
pernafasan.
2) Analgesik narkotik atau opiad: analgesik ini umumnya diresepkan
untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi.
Efek samping dari opiad ini dapat menyebabkan depresi
pernafasan, sedasi, konstipasi, mual muntah
3) Obat tambahan atau ajuvant (koanalgesik): ajuvant seperti
sedative, anti cemas, dan relaksan otot meningkatkan control nyeri
atau menghilangkan gejala lain terkait dengan nyeri seperti depresi
dan mual (Potter & Perry, 2006).
18
pereda nyeri nonfarmakologi memiliki resiko yang sangat rendah.
Meskipun tidakan tersebut bukan merupakan pengganti obat-obatan
(Smeltzer & Bare, 2002).
1) Masase dan Stimulasi Kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum.
Sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat
membuat pasien lebih nyaman (Smeltzer & Bare, 2002).
Sedangkan stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang
dilakukan selama 3-10 menit untuk menghilangkan nyeri, bekerja
dengan cara melepaskan endofrin, sehingga memblok transmisi
stimulus nyeri (Potter & Perry, 2006).
2) Teknik Relaksasi
Salah satunya ada teknik relaksasi nafas dalam merupakan
suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat
mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas
dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan
bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, selain dapat
menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi bernafas dalam juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi
darah. Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri
dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam sistem saraf
otonom (Fitriani, 2013).
3) Distraksi
Distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih
sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak (Smeltzer and
Bare, 2002).
4) Terapi Musik
Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan
mental dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme,
harmoni, bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga
19
tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental
(Eka, 2011). Perawat dapat menggunakan musik dengan kreatif di
berbagai situasi klinik, pasien umumnya lebih menyukai
melakukan suatu kegiatan memainkan alat musik, menyanyikan
lagu atau mendengarkan musik.
5) Hidroterapi Rendam Kaki Air Hangat
20
8) Terapi Al-Qur’an
Al-Quran berfungsi sebagai sistem perbaikan (service
system) baik yang bersifat fisik maupun psikis, yang dikenal
sebagai syifa’ yang berarti obat, penyembuh, dan penawar (Mirza,
2014). Salah satu terapi spiritual yang biasa dilakukan adalah
dengan mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al Quran atau
disebut dengan istilah murrotal. Lantunan ayat suci Al Quran
mampu memberikan efek relaksasi karena dapat mengaktifkan
hormone endorfin, meningkatkan perasaan rileks, mengalihkan
perhatian dari rasa takut, cemas, dan tegang, memperbaiki sistem
kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah, dan
memperlambat pernapasan (Sumaryani & Sari, 2015).
21
teknik relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan imajinasi dan sugesti.
Berdasarkan bahwa keyakinan bahwa tubuh manusia berespon pada
kecemasan dan kejadian yang merangsang pikiran dan ketegangan.
Saat melakukan relaksasi otot (Progresive Muscle Relaxation)
sendiri, individu akan diberikan kesempatan untuk mempelajari
bagaimana cara menegangkan sekelompok otot tertentu kemudian
melepaskan ketegangan itu. Bila dapat merasakan keduanya, klien mulai
membedakan sensasi pada saat otot dalam keadaan tegang dan rileks.
Progressive Muscle Relaxation adalah terapi relaksasi dengan
gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot tubuh yang
dilakukan secara berturut-turut satu bagian tubuh tertentu pada satu
waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik (Wahyuni, Nila
et al., 2015). Latihan ini dapat dilakukan secara mandiri sehingga
mempermudah seseorang untuk melakukan latihan tanpa perlu bantuan
dari orang lain dan dapat dilakukan dimana saja dalam posisi duduk
maupun tidur. bahwa relaksasi otot progresif merupakan suatu metode
untuk membantu menurunkan regangan sehingga otot tubuh menjadi
rileks (Ramdhani & Putra, 2009).
PMR merupakan terapi yang terfokus untuk mempertahankan
kondisi relaksasi yang dalam yang melibatkan kontraksi dan relaksasi
berbagai kelompok otot mulai dari kaki kearah atas atau dari kepala ke
arah bawah. Untuk meregangkan otot secara progressive, dimulai dengan
menegangkan kumpulan otot utama tubuh. Dengan cara ini maka akan
disadari dimana otot itu akan berada dan dalam hal ini akan
meningkatkan kesadaran terhadap respon otot tubuh (Syarif & Putra,
2014).
PMR merupakan tekhnik relaksasi sistematis dan mendalam
dengan tegang dan santai otot (Snyder & Lindquist, 2006 ; Meyer et al.,
2016). PMR telah direkomendasikan untuk mengurangi rasa nyeri
(Sands, 2004) dengan komponen utama yaitu relaksasi otot sehingga
sistem parasimpatis akan mendominasi selama dan setelah pelaksanaan
22
PMR, dengan demikian akan menurunkan denyut jantung, laju
pernapasan, dan tekanan darah. Hal ini pula mempengaruhi susunan saraf
somatik yang dalam serta mempengaruhi saraf parasimpatis sehingga
mengurangi kecemasan. Respon relaksasi juga mengurangi nyeri dengan
mengurangi permintaan oksigen jaringan, menurunkan kadar bahan
kimia seperti asam laktat dan melepaskan endorfin (Akmes, 2014).
Kaitan antara ketegangan otot, relaksasi dan sistem saraf otonom, pada
jalur ini neuromuskular aferen akan menginervasi pembentukan retikular
yang pada akhirnya akan diproyeksikan pada hipotalamus (Conrad &
Roth, 2007). Hipotalamus yang berhubungan dengan sirkuit neural yang
diyakini terjadi dikorteks serebral. Sirkuit ini akan berinteraksi dengan
terminal akson sensori perifer dalam kornus dorsalis dimedula spinalis
untuk mengontrol neuron yang mentransmisikan sinyal nyeri. Neuron ini
akan menghasilkan opoid endogen yaitu enkepalin, endorfin, dinorfin
dan endomorfin. Endorfin yang dilepaskan akan bekerja sebagai
neurotransmiter berikatan dengan reseptor opoid sehingga akan meng-
hambat transmisi stimulus nyeri. Dengan demikian, PMR dapat
menurunkan persepsi nyeri (LeMone et al., 2016)
Progressive Muscle Relaxation merupakan teknik relaksasi yang
sederhana dan efektif untuk mengurangi ketegangan otot, menurunkan
stres dan menurunkan tekanan darah (Kumutha 2014). Menurut Wahyuni
dkk (2015 hal-hal yang diperhatikan saat latihan relaksasi otot progresif
adalah:
a. Latihan ditempat yang tenang untuk membantu konsentrasi pada
kelompok otot
b. Melepaskan sepatu dan pakaian tebal yang dapat menggangu proses
latihan
c. Hindari makan, merokok dan minum-minuman keras sesaat sebelum
latihan
d. Latihan dilakukan dengan posisi duduk atau tidur dalam keadaan
yang paling nyaman
23
e. Jangan menegangkan otot secara berlebihan karena dapat melukai
/otot tersebut.
2. Tujuan
Tujuan dari Progressive Muscle Relaxation ini adalah:
a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri, tekanan darah tinggi,
frekuensi jantung, laju metabolik.
b. Mengurangi distritmia jantung.
c. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.
d. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.
e. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia
ringan, gagap ringan
4. Kontraindikasi
Untuk melakukan relaksasi otot progresif maka pasien dengan
gangguan otot, peningkatan tekanan intrakranial, dan penyakit arteri
koronaria yang berat seharusnya tidak diberikan (Wahyuni, Nila et al.,
2015).
5. Prosedur
24
Prosedur PMR terdiri dari 15 gerakan berturut-turut, yaitu
(Mashudi, 2011):
1) Gerakan pertama yaitu menggenggam tangan kiri sambil membuat
suatu kepalan. Pasien diminta membuat kepalan ini semakin kuat
sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi. Lepaskan
kepalan perlahan-lahan, sambil merasakan rileks selama ± 8 detik.
Lakukan gerakan 2 kali sehingga klien dapat membedakan
perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks yang dialami.
Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan. Gerakan ini
ditujukan untuk melatih otot tangan.
2) Gerakan kedua yaitu menekuk kedua lengan ke belakang pada
pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan
lengan bawah menegang, jari-jari menghadap ke langit-langit.
Lakukan penegangan otot ± 8 detik, kemudian relaksasikan dengan
perlahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan otot
dalam keadaan rileks yang dialami. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan ini untuk melatih otot tangan bagian belakang.
25
keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali. Gerakan ini untuk
melatih otot-otot bisep
Gambar 2.6
Melatih Otot Bahu
26
6) Gerakan keenam yaitu menutup keras-keras mata sehingga dapat
dirasakan ketegangan di sekitar mata dan otot-otot yang
mengendalikan gerakan mata. Selanjtunya lakukan penegangan
otot ± 8 detik, kemudian relaksasikan dengan perlahan lalu rasakan
perbedaan antara ketegangan otot dan otot dalam keadaan rileks.
Gerakan ini untuk mengendurkan otot-otot mata.
7) Gerakan ketujuh yaitu mengatupkan rahang, diikuti dengan
menggigit gigi-gigi sehingga ketegangan di sekitar otot-otot
rahang. Rasakan ketegangan otot-otot tersebut ± 8 detik, kemudian
relaksasikan dengan perlahan lalu rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan otot dalam keadaan rileks. Lakukan gerakan
ini 2 kali. Gerakan ini bertujuan untuk mengendurkan ketegangan
yang dialami oleh otot-otot rahang.
8) Gerakan kedelapan yaitu bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya
sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut. Rasakan
ketegangan otot-otot sekitar mulut selama ± 8 detik, kemudian
relaksasikan dengan perlahan lalu rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan otot dalam keadaan rileks. Lakukan gerakan
ini 2 kali. Gerakan ini untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut.
Gambar 2.7
Melatih Otot-Otot Wajah
27
pmukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga pasien dapat
erasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung atas.
Lakukan penegangan otot ± 8 detik, kemudian relaksasikan
dengan perlahan lalu rasakan perbedaan antara ketegangan otot
dan otot dalam keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan ini ditujukan untuk merilekskan otot-otot leher bagian
belakang.
10) Gerakan kesepuluh yaitu dengan cara membawa kepala ke muka,
kemudian pasien diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya.
Sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian
muka. Selanjutnya lakukan penegangan otot-otot tersebut ± 8 detik,
kemudian relaksasikan dengan perlahan lalu rasakan perbedaan
antara ketegangan otot dan otot dalam keadaan rileks. Lakukan
gerakan ini 2 kali. Gerakan ini untuk melatih otot leher bagian
depan.
11) Gerakan kesebelas yaitu mengangkat tubuh dari sandaran kursi,
kemudian punggung dilengkungkan, lalu busungkan dada.
Lakukan penegangan otot ± 8 detik, kemudian rileks. Pada saat
rileks, letakkan tubuh kembali ke kursi, sambil membiarkan otot-
otot menjadi lemas. Rasakan ketegangan otot-otot punggung
selama ± 8 detik, kemudian relaksasikan dengan perlahan dan
rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan otot dalam keadaan
rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali. Gerakan ini untuk melatih otot-
otot punggung.
12) Gerakan kedua belas yaitu dengan menarik napas panjang untuk
mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya. Tahan
selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada
kemudian turun ke perut. Pada saat ketegangan dilepas, pasien
dapat bernapas normal dengan lega. Lakukan penegangan otot ± 8
detik, kemudian relaksasikan dengan perlahan lalu rasakan
perbedaan antara ketegangan otot dan otot dalam keadaan rileks.
28
Lakukan gerakan ini 2 kali. Gerakan ini dilakukan untuk
melemaskan otot-otot dada.
Gambar 2.8
Melatih Otot Punggung, Otot Leher dan Otot Dada
13) Gerakan ketiga belas yaitu dengan cara menarik kuat-kuat perut ke
dalam, kemudian tahan sampai perut menjadi kencang dan keras.
Selanjutnya lakukan penegangan otot-otot tersebut ± 8 detik,
kemudian relaksasikan dengan perlahan lalu rasakan perbedaan
antara ketegangan otot dan otot dalam keadaan rileks. Lakukan
gerakan ini 2 kali. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot-otot
perut.
14) Gerakan keempat belas yaitu meluruskan kedua belah telapak kaki
sehingga otot paha terasa tegang. Selanjutnya lakukan penegangan
otot-otot paha tersebut selama ± 8 detik, kemudian relaksasikan
secara dengan perlahan lalu rasakan perbedaan antara ketegangan
otot dan otot dalam keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot-otot paha.
29
15) Gerakan kelima belas yaitu meluruskan kedua belah telapak kaki
sehingga otot paha terasa tegang. Lanjutkan dengan gerakan
mengunci lutut, lakukan penegangan otot ± 8 detik, kemudian
relaksasikan dengan perlahan lalu rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan otot dalam keadaan rileks. Lakukan gerakan
ini 2 kali. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot-otot betis.
Gambar 2.9
Melatih Otot Bagian Bawah
C. Kerangka Teori
30
Respon adanya stimulasi NYERI 1. Nyeri akut
atau rangsangan
2. Nyeri Kronis
(histamine, bradikinin,
prostaglandin) apabila
terjadi kerusakan pada
jaringan atau akibat
kekurangan oksigen.
Bagan 2.2
Kerangka Teori
31
D. Mekanisme
1. Identifikasi Pertanyaan
a. Analisa PICOT
P (Problem and Patient) : Pasien Post Operasi
I (Intervention) : Progressive Muscle Relaxation
C (Comparation) : Tidak ada perbandingan
O (Outcame) : Penurunan Intensitas Nyeri
T (Time) : Dilakukan selama 1 kali dalam sehari
selama 2 hari
b. Pertanyaan Klinis
Apakah Intervensi Progressive Muscle Relaxation dapat
menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi?
32
2. Ekstraksi Data dan Critical Appraisal
Tabel 2.2 Ekstraksi Data dan Critical Appraisal
Sampel
(karakteristik, Desain/seleksi
No Penelitian Intervensi Hasil temuan/kesimpulan
ukuran, responden
setting)
1. Fitriani, Kadek - Literature Review Dengan intervensi Tinjauan liteatur dilakukan melalui penelusuran
(2019) Progressive Muscle hasil publikasi ilmiah pada rentang tahun 2007-
Relaxation 2017 menggunakan Pubmed, Google Scholar,
Pengaruh teknik dan Science Direct. Pada data base Pubmed
Progressive Muscle dengan measukkan kata kunci Progressive
Relaxation dalam Muscle Relaxation ditemukan 2.020 artikel dan
Menurunkan Nyeri diperoleh 1 artikel sebagai referensi. Dengan
google scholar ditemukan 16.900 artikel dan
dengan Science Direct ditemukan 27 artikel.
Dari beberapa artikel yang diperoleh
disimpulkan bahwa Progressive Muscle
Relaxation efektif menurunkan nyeri akut
maupun kronis
33
2. Aprina, Noven (2017) Sampel Rancangan penelitian Relaksasi Progresif Ada pengaruh rata-rata intensitas nyeri yang
berjumlah 20 Quasi Experiment dengan bermakna pada pasien post operasi BPH yang
Relaksasi Progresif responden desian penelitian One sudah dilakukan teknik relaksasi progresif.
terhadap Intensitas Group Post test dengan
Nyeri Post Operasi teknik pengambilan
BPH sampel menggunakan
teknik acciental sampling.
Hasil pengumpulan data
dengan lembar observasi.
3. Nur, Subyati (2013) Total Sampling Pra Experimental dengan Relaksasi Progresif Hasil uji statistik didapatkan sigifikansi sebesar
satu kelompok pretest- 0,045 <0,05 yang artinya teknik relaksasi
Teknik Relaksasi posttest design. Sampel berpengaruh terhadap intensitas nyeri pasca
Progresif Terhadap diambil secara total operasi fraktur femur.
Intensitas Nyeri Pada sampling yaitu pasien
Pasien Post Operasi fraktur pasaca operasi
Fraktur Femur tulang femur.
34
E. Manajemen
Penulis akan menjelaskan prosedur tindakan kepada responden
kemudian melakukan intervensi Progressive Muscle Relaxation:
1. Kiteria pasien
Inklusi
Pasien yang bersedia menjadi responden
Pasien Post Operasi
Pasien Kooperatif
Eksklusi
Pasien dengan komplikasi penyakit lain seperti CKD, Penyakit
Jantung, imobilisasi penuh
2. Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan intervensi Progressive Muscle Relaxation yaitu
mulai tanggal 22 April 2021 sampai dengan 24 April 2021
3. Teknik/Cara
Progressive Muscle Relaxation yaitu teknik relaksasi dengan gerakan
mengencangkan dan melemaskan otot-otot untuk memberikan perasaan
relaksasi secara fisik selama ± 15 menit sebanyak 1 kali sehari selama 2
hari, intervensi diberikan 7-8 jam setelah pasien diberikan analgetik.
Sebelum intervensi diberikan dilakukan intensitas nyeri, dan setelah
intervensi diberikan dilakukan kembali pengkajian intensitas nyeri
dengan lembar observasi yang menggunakan Numeric Rating Scale
(NRS).
35
BAB III
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
A. Rancangan penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian Quasy Experiment dan rancangan
penelitian yang digunakan adalah Pre Test And Post Test Without Control
Group. Pengkajian intensitas nyeri dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan
intervensi Progressive Muscle Relaxation diberikan.
B. Responden
Responden dalam penelitan ini yaitu pasien post operasi yang dirawat di ruang
Gardenia RS PKT bontang
C. Jenis Intervensi
Intervensi yang dilakukan yaitu Progressive Muscle Relaxation untuk
menurunkan nyeri pada pasien post operasi.
D. Tujuan
Tujuan dari intervensi yang dilakukan yaitu untuk mengetahui pengaruh
Progressive Muscle Relaxation terhadap intensitas nyeri pada psien post
operasi.
E. Waktu
Waktu pelaksanaan dari intervensi yang diberikan dari tanggal 22 April 2021
sampai dengan 24 April 2021
F. Setting
Individu pasien dengan Post Operasi diruang Gardenia
G. Media/Alat Yang Digunakan
Menggunakan lembar observasi Numeric Rating Scale yang berisikan
intensitas nyeri pasien sebelum dan setelah diberikan intervensi Progressive
Muscle Relaxation.
36