Anda di halaman 1dari 37

ANALISIS JURNAL PENGARUH SELF HEALING TERHADAP

PENURUNAN SKALA NYERI PASIEN POT OPERASI STASE


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu Stase KMB (Keperawatan Medikal


Bedah)

Disusun Oleh:
Yati Wulandari 24191357
Fildzah Khalishatul K 24191358
Siti Sofiyani 24191359
Putri Rizki Hariani 24191360

PROGRAM PENDIDIKAN STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XXV


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2020
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORI....................................................................................4
I. Nyeri Luka Post Operasi...............................................................................4
II. Manajemen Nyeri........................................................................................13
III. Self Healing................................................................................................18
BAB III RUMUSAN MASALAH.........................................................................24
A. Empat Elemen Pertanyaan Klinis: PICO....................................................24
B. Metode dan Strategi Penelusuran Bukti......................................................24
C. Hasil Penelusuran Bukti..............................................................................25
D. Telaah Kritis................................................................................................26
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................31
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian
tubuh yang akan ditangani (R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 2008).
Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi
utama dilakukan di seluruh dunia, satu untuk setiap 25 orang hidup.
Penelitian di 56 negara dari 192 negara diperkirakan ada 234,2 juta
prosedur pembedahan dilakukan setiap tahun dan berpotensi menimbulkan
komplikasi dan kematian. Sedangkan di Indonesia terjadi peningkatan
pembedahan setiap tahunnya dimana pada tahun 2009 terdapat 46,87%
kasus pembedahan, tahun 2010 sebesar 53,22%, tahun 2011 sebesar
51,59%, dan tahun 2012 sebesar 53,68% (Potter & Perry, 2010).
Masalah yang timbul setelah post op adalah nyeri. nyeri pasca
bedah mungkin sekali disebabkan oleh luka operasi, tetapi kemungkinan
sebab lain harus dipertimbangkan. Sebaiknya pencegahan nyeri
direncanakan sebelum operasi agar penderita tidak terganggu pasca
bedah.Analgesik sebaiknya diberikan sebelum nyeri timbul dengan dosis
yang memadai. Dimensi kesadaran akan nyeri, pengalaman nyeri, dan
tingkah laku penderita sangat dipengaruhi oleh antisipasi dan harapan
penderita. Proses timbulnya keluhan nyeri terdapat rangsang nosisepsi
yang disebabkan noksa, setelah itu penderita menyadari adanya noksa,
baru kemudian mengalami sensasi nyeri dan akhirnya timbul reaksi
terhadap nyeri dalam bentuk sikap dan perilaku verbal maupun nonverbal
dalam menyampaikan apa yang dirasakannya (Sjamsuhidajat, 2013).
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi
tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu Intensitas bervariasi mulai
dari nyeri ringan sampai nyeri berat namun menurun sejalan dengan proses
penyembuhan (Astuti, 2016). Manajemen nyeri yang tepat haruslah
mencakup penanganan secara keseluruhan, tidak hanya terbatas pada

1
pendekatan farmakologi saja, karena nyeri juga dipengaruhi oleh emosi
dan tanggapan individu terhadap dirinya. Secara garis besar ada dua
manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan
manajemen non farmakologi (Pinandita, 2012). Manajemen nyeri non
farmakologi perlu dilakukan oleh perawat di ruang bedah ataupun di
ruangan perawatan bedah meskipun sering ditemui kendala beban kerja
yang tinggi. Intervensi manajemen nyeri nonfarmakologi hasil dari
beberapa banyak sekali yang bisa dilakukan terutama keluarga seperti
dengan memberikan pelukan, dukungan, distraksi dan lain-lain (Ilmiasih,
2013).
Penanganan nyeri yang bisa dilakukan pasien sendiri akan
meringankan beban kerja pertugas yang bisa dilakukan pasien secara
mandiri. Riset modern menemukan bahwa sistem tubuh manusia tidaklah
seperti yang dipercaya oleh para pakar pada era sebelumnya. Pada era
sebelumnya, diyakini bahwa jiwa dan tubuh senantiasa terpisah dan
memiliki mekanisme kerjanya sendiri-sendiri yang tidak memengaruhi
satu sama lain. Hari ini, dunia kedokteran menemukan bahwa sistem tubuh
manusia merupakan jaringan elemen-elemen yang membentuk kesatuan
integral, yang mekanisme kerjanya saling mempengaruhi.Sistem tubuh
yang seperti ini populer dengan sistem holistik (Ulwiya, 2014).
Self healing merupakan diantaranya yang bisa dilakukan dan tepat
untuk pasien nyeri.Self healing adalah metode penyembuhan penyakit
bukan dengan obat, melainkan dengan menyembuhkan dan mengeluarkan
perasaan dan emosi yang terpendam di dalam tubuh.Selain itu, self-
healing juga dapat dilakukan dengan hipnosis, terapi qolbu, atau
menenangkan pikiran. Self healing dilakukan oleh si penderita penyakit,
dan dibantu oleh terapi (Ulwiya, 2014). Self healing dengan sentuhan pada
diri sendiri.Self healing adalah rangkaian latihan praktis yang dikerjakan
secara mandiri sekitar 15-20 menit, dan sebaiknya dilakukan 2 kali dalam
sehari. Dalam latihan self healing, ada beberapa aspek yang dilibatkan
yakni napas stabil, gerak hanya untuk kesembuhan, sentuhan, dan
keheningan.Seseorang yang melakukannya agar dapat berhenti sejenak

2
dari segala rutinitasnya, sehingga bisa berinteraksi dengan diri sendiri. Self
healing bersifat universal, tidak mengacu agama manapun, praktis, dan
dipelajari secara masuk akal. Filosofinya bertumpu pada manusia sebagai
unit yang lengkap antara badan, batin, dan kemampuan individualnya
(Gunawan, 2015).
Pada awalnya self healing ini ditujukan sebagai tindakan preventif
atau pencegahan sebelum datangnya suatu penyakit.Namun demikian, saat
seseorang sakit, teknik self healing tetap bisa dilakukan sembari
melakukan pengobatan medis termasuk nyeri.Self healing dengan sentuhan
(touch healing) bukanlah prana, sugesti, tapi ini real. Walaupun seseorang
bahkan tidak sadar bahwa hal yang dilakukan sehari-hari adalah self
healing (Rachman, 2015).
Dengan demikian, menurut uraian singkat diatas maka kelompok
kami tertarik untuk menganalisa jurnal pengaruh sealf healing terhadap
penurunan skala nyeri pada pasien post operative, dan diaplikasikan
kepada pasien.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

I. Nyeri Luka Post Operasi


A. Pengertian
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan
perawatan kesehatan (Smeltzer, 2002). International Association for
The Study of Pain atau IASP mendefinisikan nyeri sebagai “suatu
sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi
kerusakan” (Potter & Perry, 2006).
B. Proses fisiologik nyeri
Price dan Wilson (2006) menjelaskan bahwa proses fisiologik
nyeri terjadi antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subyektif
nyeri. Terdapat empat proses tersendiri: transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi. Transduksi nyeri adalah proses rangsangan
yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor
nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari
tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medula
spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medula
spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui
jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi
transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi juga melibatkan
faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas
di reseptor nyeri aferen primer. Akhirnya, persepsi nyeri adalah
pengalaman subyektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh
aktivitas transmisi oleh saraf.

4
Adapun proses terjadinya nyeri menurut Hartanti (2005) adalah
sebagai berikut: ketika bagian tubuh terluka oleh tekanan, potongan,
sayatan, dingin, atau kekurangan O2 pada sel, maka bagian tubuh yang
terluka akan mengeluarkan berbagai macam substansi yang normalnya
ada di intraseluler. Ketika substansi intraseluler dilepaskan ke ruang
ekstraseluler maka akan mengiritasi nosiseptor. Syaraf ini akan
terangsang dan bergerak sepanjang serabut syaraf atau neorotransmisi
yang akan menghasilkan substansi yang disebut dengan
neorotransmiter seperti prostaglandin dan epineprin, yang membawa
pesan nyeri dari medula spinalis ditransmisikan ke otak dan
dipersepsikan sebagai nyeri.
C. Transmisi Nyeri
Tamsuri (2007) menyatakan bahwa terdapat berbagai teori yang
berusaha menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan
rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang
kendali nyeri dianggap paling relevan.
a. Teori Spesivisitas (specivicity Theory)
Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke-17. Teori ini
didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang
secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat
menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikannya melalui
ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya
akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul
respons nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor
multidimensional dapat memengaruhi nyeri.
b. Teori Pola (Pattern Theory)
Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut
yang mampu menghantarkan rangsang dengan cepat; dan serabut
yang mampu menghantarkan dengan lambat. Kedua serabut saraf
tersebut bersinapsis pada mendula spinalis dan meneruskan
informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input

5
sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input
sensori nyeri.
c. Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory)
Pada tahun 1959, Melzack & Wall menjelaskan teori gerbang
kendali nyeri, yang menyatakan terdapat semacam “pintu
gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi
sinyal nyeri.
D. Jenis-jenis nyeri
Price dan Wilson (2006) mengklasifikasikan nyeri berdasarkan lokasi
atau sumbernya, antara lain:
a. Nyeri somatik superfisial (kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan
jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri
di kulit dapat berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi, atau
listrik. Apabila kulit hanya yang terlibat, nyeri sering dirasakan
sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti tebakar, tetapi
apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat
nyeri menjadi berdenyut.
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot,
tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-sturktur ini
memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri
sering tidak jelas. Nyeri dirasakan lebih difus daripada nyeri kulit
dan cenderung menyebar ke daerah di sekitarnya. Nyeri dari
berbagai struktur dalam berbeda. Nyeri akibat suatu cedera akut
pada sendi memiliki lokalisasi yang jelas dan biasanya dirasakan
sebagai rasa tertusuk, terbakar, atau berdenyut. Pada peradangan
kronik sendi (artritis), yang dirasakan adalah nyeri pegal-tumpul
yang disertai seperti tertusuk apabila sendi bergerak.
c. Nyeri visera
Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ
tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan

6
reseptor nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ -
organ berongga (lambung, kandung empedu, saluran empedu,
ureter, kandung kemih) dan di kapsul organ-organ padat (hati,
pankreas, ginjal). Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri
visera adalah peregangan atau distensi abnormal dinding atau
kapsul organ, iskemia, dan peradangan.
d. Nyeri alih
Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri yang berasal dari salah satu
daerah di tubuh tetapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri
visera sering dialihkan ke dermatom (daerah kulit) yang
dipersarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan viksus
yang nyeri tersebut. Apabila dialihkan ke permukaan tubuh, maka
nyeri visera umumnya terbatas di segmen dermatom tempat organ
visera tersebut berasal dari masa mudigah, tidak harus di tempat
organ tersebut berada pada masa dewasa.
e. Nyeri neuropati
Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang
merugikan dari sistem saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat (SSP)
yang menimbulkan perasaaan nyeri. Dengan demikian, lesi di
sistem saraf tepi (SST) atau sistem saraf pusat (SSP) dapat
menyebabkan gangguan atau hilangnya sensasi nyeri. Nyeri
neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih atau
seperti tersengat listrik. Pasien dengan nyeri neuropatik menderita
akibat instabilitas sistem saraf otonom (SSO). Dengan demikian
nyeri sering bertambah parah oleh stres emosi atau fisik (dingin,
kelelahan) dan mereda oleh relaksasi.
Adapun klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi menurut Potter dan Perry
(2006) adalah:
a. Nyeri Superfisial atau kutaneus
Nyeri yang diakibatkan dari stimulasi kulit. Nyeri ini berlangsung
sebentar dan terlokalisai. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi

7
yang tajam. Contoh penyebab dari nyeri ini adalah jarum suntik,
luka potong kecil atau laserasi.

b. Nyeri viseral dalam


Nyeri yang diakibatkan oleh stimulasi organ-organ internal. Nyeri
bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasi
bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama dari pada nyeri
superfisial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik tergantung
organ yang terlibat. Contoh penyebab dari nyeri viseral dalam
adalah sensasi pukul (crushing) misalnya angina pektoris dan
sensasi terbakar misalnya ulkus lambung.
c. Nyeri alih (referrend)
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena
banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Jalan masuk neuron
sensori dari organ yang terkena ke dalam segman medulla spinalis
sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan. Persepsi nyeri
pada daerah yang tidak terkena. Nyeri terasa di bagian tubuh yang
terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai
karakteristik. Contoh penyebab dari nyeri alih adalah nyeri akibat
infark miokard yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan
kiri, dan bahu kiri. Batu empedu yang mengalihkan rasa nyeri ke
selangkangan.
d. Radiasi
Sensasi nyeri meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh
yang lain. Nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah
atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat menjadi intermiten atau
konstan. Contoh nyeri punggung bagian bawah akibat diskus
intravertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang
tungkai dari iritasi saraf skiatik.
Adapun penggolongan nyeri berdasarkan durasinya menurut Price dan
Wilson (2006) adalah:
a. Nyeri akut

8
Nyeri akut adalah nyeri yang mereda setelah intervensi atau
penyembuhan. Awitan nyeri akut biasanya mendadak dan
berkaitan dengan masalah spesifik yang memicu individu untuk
segera bertindak menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung singkat
(kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal atau
eksternal yang merangsang reseptor nyeri dihilangkan.
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlanjut walaupun pasien diberi
pengobatan atau pasien tampak sembuh dan nyeri tidak memiliki
makna bilogik. Nyeri kronik dapat berlangsung terus menerus,
akibat penyebab keganasan dan non keganasan, atau intermiten,
seperti pada nyeri kepala migren rekuren. Nyeri dapat menetap
selama 6 bulan atau lebih.
E. Faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri :
Tamsuri (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi tentang nyeri pada seorang individu meliputi:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Budaya
4. Pengetahuan tentang nyeri dan penyebabnya
5. Makna nyeri
6. Perhatian klien
7. Tingkat kecemasan
8. Tingkat stres
9. Tingkat energi
10. Pengalaman sebelumnya
11. Pola koping
12. Dukungan keluarga dan sosial
b. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Toleransi Nyeri
Tamsuri (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi toleransi nyeri pada seorang individu meliputi

9
1. Faktor-faktor yang meningkatkan toleransi terhadap nyeri adalah
sebagai berikut:
 Alkohol
 Obat-obatan
 Hipnosis
 Panas
 Gesekan/garukan
 Pengalihan perhatian
 Kepercayaan yang kuat
2. Faktor-faktor yang menurunkan toleransi terhadap nyeri antara
lain:
 Kelelahan
 Marah
 Kebosanan, depresi
 Kecemasan
 Nyeri kronis
 Sakit/penderitaan
F. Penilaian klinis nyeri
a. Pengkajian nyeri
Smeltzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa pengkajian nyeri
adalah:
1. Deskripsi verbal tentang nyeri
Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya
dan karenanya harus diminta menggambarkan dan membuat
tingkatnya. Informasi yang diperlukan harus menggambarkan
nyeri individual dalam beberapa cara sebagai berikut :
a) Intensitas nyeri
Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri
pada skala verbal (misalnya : tidak nyeri, sedikit nyeri,
nyeri hebat, atau sangat hebat. Atau 0 sampai 10, 0 =
tidak ada nyeri, 10 = nyeri sangat hebat).
b) Karakteristik nyeri

10
Termasuk letak nyeri (untuk area dimana nyeri pada
berbagai organ), durasi (menit, jam, hari, bulan dan
sebagainya), irama (misalnya: terus menerus, hilang
timbul, periode bertambah dan berkurangnya intensitas
atau keberadaan dari nyeri) dan kualitas (misalnya:
nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri seperti
digencet).
c) Faktor-faktor yang meredakan nyeri
Misalnya: gerakan, kurang bergerak, pengerahan
tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dan sebagainya) dan
apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi
nyerinya
d) Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari
Misalnya: tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi
dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja dan aktivitas-
aktivitas santai
e) Kekhawatiran individu tentang nyeri
Meliputi berbagai masalah yang luas, seperti beban
ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan
perubahan citra diri.
b. Skala nyeri
Potter & Perry (2006) menyatakan terdapat beberapa skala untuk
melakukan pengkajian keparahan nyeri yaitu :
1. Skala deskriptif
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan
nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsian verbal yang
disebut verbal descriptor scale (VDS) yaitu sebuah garis yang
terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai nyeri yang tidak
tertahnkan. Perawat menunjukkan klien skla tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang

11
dirasakan pasien. Perawat juga menanyakan seberapa jauh
nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa
paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan
klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsi nyeri. Skala
ini digambarkan sebagai berikut :

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri Nyeri Nyeri berat Nyeri yang tidak
ringan sedang tertahankan

Bagan 2.1 Alat Pengukur Nyeri VDS


2. Skala penilaian numerik
Skala penilaian numerik (numerical rating scales) digunakan
untuk mendeskripsikan nyeri. Klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. skala paling efektif digunakan untuk
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri maka
direkomendasikan patokan 10 cm, yang digambarkan sebagai
berikut :

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri Sangat nyeri

Bagan 2.2 Alat Pengukur Nyeri Numerik

Keterangan:
Skala 0 = tidak nyeri Skala 7 – 9 = nyeri berat
Skala 1 – 3 = nyeri ringan Skala 10 = nyeri tak tertahankan
Skala 1 – 3 = nyeri sedang

12
3. Skala Analog Visual
Skala analog visual atau disebut Visual Analog Scale (VAS)
tidak melabel subdivisi. VAS merupakan satu garis lurus, yang
mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan memiliki
alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini
memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukur keparahan
nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi
setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka. Skala VAS dapat digambarkan sebagai
berikut.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
Tidak nyeri Nyeri yang
tidak
tertahankan

Bagan 2.3 Alat Pengukur Nyeri Analog Visual (VAS)

II. Manajemen Nyeri


Terdapat 2 metode umum untuk terapi nyeri yaitu: metode farmakologi dan
metode non farmakologi. Price dan Wilson (2006) menyatakan bahwa metode
non farmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi 2
kelompok: terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif perilaku.
1. Terapi dan modalitas fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi
kulit (pijat atau masase, stimulasi saraf dengan listrik transkutis,
akupungtur, akupresur, aplikasi panas atau dingin).
a. Pijat atau masase

13
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan
adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan
jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai
titiktitik pemicu miofasial di seluruh tubuh. Untuk mengurangi
gesekan digunakan minyak atau losion. Pijat akan melemaskan
ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung
memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu
yang penuh perhatian, menghasilkan efek emosional yang positif.
b. Stimulus saraf dengan listrik melalui kulit
Terdiri dari suatu alat yang digerakkan oleh baterai yang mengirim
impuls listrik lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh.
Elektroda umumnya diletakkan di atas atau dekat dengan bagian yang
nyeri. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik (nyeri
pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia
perifer, dan artritis rematoid).
c. Akupuntur
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke
dalam berbagai “titik akupungtur (pemicu)” diseluruh tubuh untuk
meredakan nyeri. Akupuntur digunakan secara luas di Cina dan pernah
digunakan untuk melakukan bedah mayor tanpa pemakaian anestesik.
Pemakaian 1akupuntur memerlukan pelatihan khusus dan mulai
populer di Barat. Efektivitas metode ini mungkin dapat dijelaskan
dengan teori kontrol gerbang dan teori bahwa akupuntur merangsang
pelepasan opoid endogen (Price dan Wilson, 2005).
d. Akupresure
Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah
pemberian tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut dengan
akupresure). Akupresure memungkinkan alur energi yang terkongesti
untuk meningkatkan kondisi yang lebih sehat. Perawat ahli terapi
mempelajari alur energi atau meridian tubuh dan memberi tekanan
pada titik-titik tertentu di sepanjang alur. Misalnya, apabila klien

14
mengalami nyeri kepala, tekanan pada titik-titik hoku akan
menghilangkan rasa tidak nyaman. Ketika titik tekanan disentuh,
maka perawat merasa sensasi ringan atau denyutan di bawah jari-jari.
Mulamula nadi di beberapa titik akan terasa berbeda, tetapi karena
terus menerus dipegang, nadi tersebut kemudian menjadi seimbang.
Setelah titik-titik menjadi seimbang, perawat menggerakkan jari-jari
dengan lembut. Sesi akupresure yang lengkap membutuhkan waktu
kurang lebih satu jam.
e. Range-of- motion ( ROM ) exercise ( Pasif, dibantu, atau aktif )
Range-of-motion (ROM) dapat digunakan untuk melemaskan otot,
memperbaiki sirkulasi, dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan
kekakuan dan imobilitas.
f. Aplikasi panas
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama diketahui
sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot.
Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan
pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool,
sitz bath, berendam air panas) atau konversi (ultrasonografi, diatermi).
Nyeri akibat memar, spasme otot, dan artritis berespons baik terhadap
panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran
darah lokal, panas jangan digunakan cedera traumatik saat masih ada
edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas
mungkin meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk
inflamasi, seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang
menimbulkan nyeri lokal.
g. Aplikasi dingin
Aplikasi dingin lebih efektif untuk nyeri akut (misalnya, trauma akibat
luka bakar, tersayat, terkilir). Dingin dapat disalurkan dalam bentuk
berendam atau kompres air dingin, kantung es, aquamatic K pads dan
pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan
mengurangi perdarahan serta edema. Terapi dingin menimbulkan efek

15
analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga
impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit.

2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif perilaku bemanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan
yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini
mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan
biofeedback.
a. Relaksasi
Relaksasi adalah suatu usaha menurunkan nyeri atau menjaga agar
tidak terjadi nyeri yang lebih berat dengan menurunkan ketegangan
otot. Pada metode-metode yang menekankan relaksasi otot, fasilitator
meminta pasien untuk memfokuskan diri ke kelompok otot yang
berbeda dan secara voluntar mengontraksikan dan melemaskan
otototot tersebut secara berurutan. Cara lain untuk menginduksi
relaksasi adalah olahraga bernapas dalam, meditasi, dan mendengarkan
musikmusik yang menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan
mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stres emosi sehingga
memutuskan siklus nyeri-stres-nyeri, saat nyeri dan stres saling
memperkuat.
Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa klien dapat mengubah
persepsi kognitif dan motivasi afektif dengan melakukan relaksasi.
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan
stres. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika rasa
tidak nyaman atau nyeri, stres fisik, dan emosi pada nyeri. Teknik
relaksasi dapat digunakan saat individu dalam kondisi sehat atau sakit.
Relaksasi juga dapat menghilangkan nyeri kepala, nyeri persalinan,
antisipasi rangkaian nyeri akut (misalnya jarum suntik) dan gangguan
nyeri kronik. Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa dibutuhkan 5
sampai 10 sesi pelatihan sebelum klien dapat meminimalkan nyeri
dengan efektif. Pelatihan relaksasi dapat dilakukan untuk jangka waktu

16
yang terbatas dan biasanya tidak memilki efek samping. Supaya tekhik
relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka diperlukan partisipasi
individu dan kerjasama. Teknik relaksasi diajarkan hanya pada saat
klien sedang tidak merasakan rasa tidak nyaman yang akut hal ini
dikarenakan ketidakmampuan berkonsentrasi membuat latihan menjadi
tidak efektif. Perawat bertindak sebagai pelatih, mengarahkan klien
dengan perlahan melalui tahap-tahap latihan. Lingkungan harus bebas
dari keributan atau stimulus lain yang mengganggu. Klien dapat duduk
di kursi yang nyaman atau berbaring di tempat tidur.
Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, zen, teknik imajinasi, dan
latihan relaksasi progresif (kombinasi latihan pernafasan yang
terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot).
Teknik relaksasi relaksasi dapat dilaksanakan melalui relaksasi otot,
teknik nafas dalam dan imajinasi terbimbing (Hartanti, 2005)
b. Teknik-teknik pengalihan atau distraksi
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan
perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton
televisi, membaca buku, mendengarkan musik, dan melakukan
percakapan adalah contoh-contoh umum pengalihan (Price dan
Wilson, 2006).
c. Penciptaan khayalan dengan tuntunan atau imajinasi terbimbing
Penciptaan khayalan dengan tuntunan adalah suatu bentuk pengalihan
fasilitator yang mendorong pasien untuk memvisualisasikan atau
memikirkan pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk
mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Teknik ini sering dikombinasi
dengan relaksasi (Price dan Wilson, 2006).
d. Hipnosis
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada
bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri. Metode ini
juga bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun
perhatian pasien ke bayangan-bayangan yang paling konstruktif.
Intervensi pengalihan paling efektif apabila digunakan untuk nyeri

17
akut tetapi juga dapat efektif pada nyeri kronik. Kemampuan intervensi
pengalihan untuk meredakan nyeri didasarkan pada teori bahwa
apabila terdapat dua rangsang yang terpisah, fokus pada salah satu
akan menghilangkan fokus pada yang lain. Semakin besar rasa nyeri,
semakin komplek rangsangan pengalih yang harus diberikan (Price dan
Wilson, 2006).
e. Umpan-balik hayati atau Biofeedback
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada
kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter
fisiologik tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar
mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan
otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah, dan gelombang otak.
Alat umpan balik hayati mengubah parameter-parameter fisiologik
menjadi sinyal visual yang dilihat oleh pasien. Pasien mula-mula
dikenalkan kepada respons yang berkait dengan stres seperti
meningkatnya ketegangan otot, denyut jantung, atau tekanan darah dan
kemudian diajar bagaimana mengendalikan respons-respons ini
melalui citra visual, bernafas dalam atau olahraga relaksasi. Biasanya
diperlukan beberapa sesi sebelum pasien dapat belajar mengendalikan
respons mereka. Walaupun umpan balik hayati telah digunakan untuk
mengatasi berbagai masalah nyeri kronik, namun pemakaian metode
ini paling sering adalah untuk mengobati nyeri kepala (Price dan
Wilson, 2006).

III. Self Healing


A. Pengertian Self Healing
Self-healing adalah fase yang diterapkan pada proses pemulihan
diri (umumnya dari gangguan psikologis, trauma, dll), didorong oleh dan
diarahkan oleh pasien, sering hanya dipandu oleh insting. Proses tersebut
menghadapi nasib campuran karena sifat amatir, meskipun motivasi diri
merupakan aset utama. Nilai penyembuhan diri terletak pada
kemampuannya untuk disesuaikan dengan pengalaman unik dan

18
persyaratan individu. Proses ini dapat membantu dan dipercepat dengan
teknik introspeksi seperti Meditasi yoga, dan kegiatan-kegiatan yang
bersifat relaksasi dan refleksi. Penyembuhan diri adalah fase akhir dari
Terapi Gestalt.
Penyembuhan diri dapat merujuk kepada otomatis, proses
homeostatik tubuh yang dikendalikan oleh mekanisme fisiologis yang
melekat dalam organisme. Ini telah diakui selama ratusan tahun, seperti
dalam pengamatan beberapa psikologi gestalt.
Dalam arti kiasan, penyembuhan diri sifat dapat dianggap berasal
dari sistem atau proses, yang oleh alam atau desain cenderung untuk
memperbaiki gangguan yang dibawa ke dalamnya. Seperti regenerasi kulit
setelah dipotong atau gesekan, atau anggota badan keseluruhan. Atau
(dalam arti yang lebih abstrak) pengaturan tulang patah sendiri seseorang,
karena sekali diatur, tulang akan tumbuh kembali ke dalam dirinya dan
menyembuhkan. Dalam setiap kasus, pihak yang dirugikan (tubuh hidup)
memperbaiki bagian yang rusak dengan sendirinya. Penyembuhan diri ini
memandang bahwa perkembangan seseorang tidak bisa dipisah-pisahkan
secara tersendiri melainkan adanya pengaruh organism dalam tubuh dan
kondisi psikis seseorang yang terkombinasikan menjadi mental-
organismik yang sehat dalam diri manusia secara utuh.

B. Proses Self-Healing
Penyembuhan diri dapat merujuk kepada otomatis, proses
homeostatik tubuh yang dikendalikan oleh mekanisme fisiologis yang
melekat dalam organisme. Dalam arti kiasan, penyembuhan diri sifat dapat
dianggap berasal dari sistem atau proses, yang oleh alam atau desain
cenderung untuk memperbaiki gangguan yang dibawa ke dalamnya.
Seperti regenerasi kulit setelah dipotong atau gesekan, atau anggota badan
keseluruhan. Atau (dalam arti yang lebih abstrak) pengaturan tulang patah
sendiri seseorang, karena sekali diatur, tulang akan tumbuh kembali ke
dalam dirinya dan menyembuhkan. Dalam setiap kasus, pihak yang
dirugikan (tubuh hidup) perbaikan bagian yang rusak dengan sendirinya.

19
Self-healing juga dapat dicapai melalui mekanisme psikologis yang
Sengaja diterapkan. Pendekatan ini dapat meningkatkan kondisi psikologis
dan fisik seseorang. Penelitian menegaskan bahwa hal ini dapat dicapai
melalui mekanisme banyak, termasuk relaksasi, latihan pernapasan, latihan
kebugaran, citra, meditasi. Dalam terapi self healing, ada beberapa tahapan
yang harus dilakukan oleh terapis:
1. Pasien dengan perawat menceritakan perasaannya terhadap nyeri yang
dialami. Pada tahapan ini pendekatan yang dilakukan masih berbasis
pasien/klien, yang bertujuan membantu pasie mulai merasa dirinya
lebih baik.
2. Menumbuhkan perasaaan frustasi dan fantasi. Pasien akan mulai
berhubungan dengan emosinya dan berangsur-angsur pasien akan
mulai mengungkapkan perasaannya atas nyeri yang dialami pasca
pembedahan. Sehingga, pasien akan mulai membelokkan pembicaraan
dan menunjukkan resistensinya. Tahapan ini bertujuan memunculkan
kesadaran pasien dan mengenali masalahnya.
3. Tahap selanjutnya pasien akan mengembangkan prespektifnya atau
pandangan yang berbeda terhadap dirinya dalam menghadapi nyeri.
Langkah ini akan merekontruksi dan menebalkan kisah yang lebih
dipermasalahkan pasien dan memperkuat prespektif mereka.
Jadi gambaran tahapan secara umum terapi self healing adalah, pasien
akan bergabung dengan terapis/perawat. Kesadaran pasien pada nyeri
meningkat, pasien mengembangkan prespektif dirinya terhadap nyeri,
pasien berhubungan dengan keyakinan yang merusak, dan pasien akan
berlatih merasakan serta mengevaluasi sikapnya. Self-healing juga dapat
dicapai melalui mekanisme psikologis yang Sengaja diterapkan.
Pendekatan ini dapat meningkatkan kondisi psikologis dan fisik
seseorang. Penelitian menegaskan bahwa hal ini dapat dicapai melalui
mekanisme banyak, termasuk relaksasi, latihan pernapasan, latihan
kebugaran, citra, meditasi.

20
C. Teori Dasar Self-Healing
Dikarenakan self-healing adalah perkembangan dari teori gestalt
maka ada beberapa konsep dasar yang harus dipahami agar terwujudnya
kesamaan pandanga dalam memahami teori ini. Teori dalam psikologi
gestalt sendiri adalah memperlihatkan bahwa manusia tidak mempersepsi
berbagai hal secara sendiri-sendiri. Namun mengorganisasikanya melalui
proses-proses perseptual menjadi keseluruhan yang bermakna.
Teori gestalt menganggap bahwa manusia tidak bisa terpisah
dengan berbagai aspek. Misalnya, aktualisasi diri, keadaan diri,
lingkungan, serta pengaruh yang saling berkaitan.
Ada beberapa kosep dasar dalam memahami teori gestalt yaitu :
1. Doktrin Holistik
Organisme manusia adalah satu kesatuan. Munculnya
kedokteran psikosomatik membuat hubungan dekat antara kegiatan
mental dan fisik semakin tampak jelas. Manusia secara utuh
melibatkan berkhayal, bermain, dan bekerja. Misalnya, tindakan
memberikan tanda pada pikiranya dan pikiran memberikan tanda
tentang apa yang ingin dilakukanya. Pendeknya, orang tidak memiliki
organisme kecuali organisme yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan
dengan kesamaan aturan yang sering keliru didikotomisasikan menjadi
kegiatan mental dan fisik.
Lingkungan tidak menciptakan individu-individu, dan individu
tidak menciptakan lingkungan. Sebaliknya, masing-masing hal itu
terjadi karena ada hubunganya dengan yang lain dan hubungan secara
keseluruhan. Salah satu tema konsisten pendekatan gestalt adalah
mencari pola keseluruhan dan bukan dikotomisasi yang keliru.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa manusia tidak bisa
terlepas dari pengaruh lingkungan dan faktor lain yang saling berkaitan
secara menyeluruh. Begitu pula dengan proses penyembuhan diri tidak

21
hanya terfokus pada satu hal, melainkan juga saling berkaitan antara
satu dengan yang lain.

2. Kontak Batas dan Kontak


Organisme dan lingkungan ada dalam hubungan mutualistik
satu sama lain. Batak kontaknya adalah batas antara organisme dan
lingkungan dan pada batas inilah terjadi peristiwa-peristiwa psikologis
terjadi. Kontak atau berhubungan dengan melibatkan kesadaran
sensorik dan perilaku motorik. Sistem sensorik organisme dilengkapi
dengan sarana orientasi, dengan sistem motorik yang memberikan
sarana manipulasi. Pada fungsi yang sehat, begitu sistem orientasi
telah melakukan fungsinya, maka organisme memanipulasi dirinya dan
lingkungan sedemikian rupa sehingga keseimbangan organisme
dipulihkan dan gestalt-nya tertutup.
Semua pikiran, perasaan, dan tindakan terjadi di batas kontak.
Pada fungsi yang sehat, orang memiliki ritme penarikan kontak yang
efektif atau sarana untuk menemui berbagai peristiwa psikologis di
batas kontak. Mengontak lingkungan mempresentasikan pembentukan
sebuah gestalt, sementara itu penarikan menutup sama sekali sebuah
gestalt atau memobilisasi sumber daya untuk memungkinkan
penutupan.
Dengan begitu ketika individu dihadapkan pada kondisi
tertentu, maka proses terjadinya peristiwa psikologis terletak pada
perilaku yang cenderung menerima atau menolak. Menerima berarti
individu memicu gestalt-nya atau bisa dikatan adanya dorongan untuk
melakukan sesuatu sebagai proses interplay antara keduanya. Menolak
berarti menutup semua kemungkinan munculnya sebuah tindakan
individu. Proses menerima dan menolak terjadi pada kontak batas
yaitu, antara individu dan kondisi tertentu. Kontaknya adalah individu
dan kondisi tertentu sebagai batasan bagi keduanya.

22
3. Homeostatis dan Keseimbangan
Homeostatis atau regulasi diri organismik adalah proses di mana
organisme memenuhi kebutuhanya dengan mengembalikan
keseimbangan ketika dihadapkan dengan tuntutan atau kebutuhan yang
menanggu keseimbanganya. Kesehatan merupakan operasi proses
homeostatis yang tepat, sementara sakit berarti bahwa untuk waktu
yang terlalu lama organisme tetap dalam keadaan diskuilibrium, tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhanya.
Meskipun psikologis dan fisiologis saling berkaitan, organisme
dapat dipersepsi memiliki kebutuhan kontak psikologis maupun
fisiologis pula. Salah satu contoh kebutuhan fisiologis adalah, agar
organisme dalam keadaan sehat yang baik, kandungan air dalam darah
harus dipertahankan pada tingkat tertentu, tidak terlalu rendah, dan
tidak terlalu berlebihan. Jika, misalnya, kandungan air dalam darah
terlalu rendah, individu akan merasa haus, dengan gejala mulut kering
dan kegelisahan dan ingin memulihkan keseimbangan itu dengan
minum.Proses homeostatik juga bekerja di mana beberapa kebutuhan
dialami secara simultan.
4. Self dan Self-Actualization
Self adalah sistem kontak di batas kontak pada suatu saat. Self ada
di mana terdapat batas-batas dari kontak dan kegiatanya adalah
membentuk berbagai figur dan latar. Self selalu mengintegrasikan
indra, koordinasi motorik, dan kebutuhan-kebutuhan organik. Self
adalah integrator atau seniman kehidupan dan meskipun self “hanyalah
sebuah faktor kecil dalam seluruh interaksi antara organism dan
lingkungan, self memainkan peran krusial, yaitu menemukan dan
menciptakan makna yang kita tumbuhkan”.

23
BAB III
RUMUSAN MASALAH

A. Empat Elemen Pertanyaan Klinis: PICO


P I C O
(Patient (Intervention) (Comparison) (Outcome)
,
Populat
ion,
Proble
m)
Populasi : Semua Dengan teknik self Tidak diberikan Terdapat penurunan
pasien post healing melibatkan terapi rileksasi intesintas nyeri pada
operatif periode 14 sentuhan yang maupun terapi pasien post operatif
Mei - 03 Juli 2018 dijelaskan dalam yang lain. sebelum dan
yang berjumlah 39. istilah "hands in sesudah dengan
Sampel : Semua motion"(Schommer perlakuan postest
pasien post & Larrimore, 2010) teknik self healing
operatif yang dengan Energi reiki
dirawat di RSUD dimana energi yang
Bangkinang dapat diakses dari
Kabupaten Kampar alam semesta dan
disalurkan ke dalam
tubuh eterik (tubuh
halus/sukma).

B. Metode dan Strategi Penelusuran Bukti


Langkah-langkah Penelusuran Bukti Sebagai Berikut :
1. Membuka internet
2. Ketik pada pencarian situs google chrome

24
3. Tunggu sampai muncul tampilan dari google chrome
4. Ketik keyword manajement keperawatan post op,juenal keperawatan
medical bedah

C. Hasil Penelusuran Bukti


1. Membuka Aplikasi Google.co.id

2. Ketik dalam Pencarian Google Cendikia

3. Hasil Penelusuran Bukti

25
Dari hasil penelusurn bukti di dapatkan hasil dengan judul jurnal
pengaruh self healing terhadap penurunan skala nyeri pasien post op di
RSUD Pemerintahan Daerah Tk II Kampar Kota Bangkinang. Penulis
jurnal yaitu Ahmad Redho, Yani Sofiani, Anwar Wardi Warongan
Program Studi Magister Keperawatan, Universitas Muhammadiyah
Jakarta, dengan kata kunci Self Healing, Skala Nyeri, Pasien Post Op,
dengan tahun terbit pada tahun 2019 dengan penerbit Journal of
Telenursing (JOTING) Volume 1, Nomor 1, Juni 2019.

D. Telaah Kritis
A. Validity
1. Judul
Judul dalam jurnal ini pengaruh self healing terhadap
penurunan skala nyeri pasien post op di RSUD Pemerintahan
Daerah Tk II Kampar Kota Bangkinang. Penulisan judul sudah
memenuhi kaidah penulisan secara lengkap yaitu sudah
mencantumkan tahun terbit, nama penulis, kata kunci dan penerbit.
Judul jurnal sudah sesuai menggambarkan secara isi yang hendak
diungkapkan dalam jurnal secara keseluruhan dan judul jurnal juga
cukup jelas menyangkut poin penting yang diutarakan. Judul

26
penelitian ini sudah mencakup 5W+1H (Who, What, Where,
When, Why, How) Arikunto, (2006).
2. Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan pre test-pos test design
yaitu memberikan pre test (pengamatan awal) terlebih dahulu
sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi,
kemudian dilakukan post test (pengamatan akhir). Tetapi menurut
Nursalam (2013) sebuah intervensi akan lebih akurat hasilnya
apabila di bagi kedalam dua kelompok yakni kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen, sehingga hasilnya lebih kuat apakah ada
pengaruh yang bermakna atau tidak.
3. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post
operatif yang dirawat di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar
dari 14 Mei 2018 sampai 03 Juli 2018 yang berjumlah 39
responden. Populasi sudah sesuai, karena yang memenuhi kriteria
yang ditetapkan. Pembagian populasi sudah meliputi populasi
target dan populasi terjangkau (Nursalam, 2013).
4. Sampel
Pada penelitian ini menggunakan uji paired t test atau
dependent sample T-test.
5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Dalam jurnal ini sudah menjelaskan kriteria inklusi dan
eksklusi yaitu: kriteria inklusi :
a. Pasien post operasi
b. Pasien dalam keadaan sadar
c. Pasien mengalami nyeri dengan skala ringan sampe
sedang
d. Pasien berumur 12- 65 tahun
e. Mampu berkomunikasi secara verbal
kriteria eksklusi :
a. Pasien tidak bersedia

27
b. Pasien dengan fraktur di ekstremitas.
c. Penentuan kriteria sampel sangat membantu peneliti
untuk mengurangi bias hasil penelitian, khususnya jika
terhadap variabel-variabel kontrol mempunyai pengaruh terhadap
variabel yang kita teliti (Nursalam, 2013).
6. Uji stasitik
Dalam jurnal untuk menguji pengaruh self healing terhadap
penurunan skala nyeri pasien post op di RSUD Pemerintahan
Daerah Tk II Kampar Kota Bangkinan menggunakan uji Mann-
Whitney pun memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan
pada penurunan skala nyeri antara kelompok intervensi dengan
kelompok kontrol (nilai p = 0,000 < 0.05.
B. Importance
1. Karakteristik Pasien
Karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin,
budaya, pengalaman nyeri dan pemberian medikasi Dalam
penelitian ini diperoleh bahwa sebagian besar didapatkan rata-
rata usia pasien post op adalah 40 -62 tahun dari 39 (100%)
responden dengan usia terendah 12 tahun dan yang tertinggi 62
tahun, sedangkan berdasarkan jenis kelamin responden yang
terbesar adalah perempuan 24 (36.1%) dan jenis kelamin
laki;laki sebanyak 15, dengan sebagian besar responden atau
sekitar 31 orang (79.5%) memiliki budaya melayu. dan dengan
rata-rata semua responden mempunyai pengalaman nyeri 39
(100%) dan responden yang mendapatkan medikasi analgetik
responden 39 (100%).
2. Nilai median
Hal ini menunjukkan berdasarkan nilai rata-rata nyeri
intervensi sebelum adalah 69,37 (SD=10,52), sedangkan skor
nyeri pada saat post test adalah 63,81 (SD=09,47), dimana
terdapat penurunan angka nyeri setelah diberikan intervensi

28
self healing dengan energi dengan nilai P value 0,000 < 0,05
diartikan mampu mengurangi tingkat nyeri pada pasien post op.
3. Nilai ρ
Pada penelitian ini menunjukkan ada pengaruh yang
signifikan antara Self healing dengan skala nyeri pada pasien
post op dengan p value <0.05. Disimpulkan self healing
dijadikan sebagai salah metode non medis untuk menurunkan
skala nyeri pada pasien post op. Maka Ho ditolak artinya ada
terdapat pengaruh yang signifikan pada perbedaan skala nyeri
sebelum dilakukan intervensi dengan setelah dilakukan
intervensi.
Penentuan hasil penelitian sudah sesuai dari uji statistik,
kemungkinan hasil uji signifikan/bermakna yaitu adanya
hubungan, perbedaan atau pengaruh antara sampel yang diteliti
pada taraf siginifikansi tertentu (Nursalam, 2013).
4. Hasil penelitian
Terdapat pengaruh yang signifikan terhadap skala nilai
sesudah diberikan teknik self healing sekitar 15-20 menit, dan
dilakukan 2 kali dalam sehari. Perbedaan hasil skala nyeri
setelah mendapatkan intervensi self healing terjadi penurunan
skala nyeri pada responden yang mendapatkan self healing
menurun secara bermakna sebesar 16.564 dengan p value 0,000
< 0.05. Hasil penelitian sudah di cantumkan terkait
penghitungan uji statistiknya dapat diketahui besar pengaruh
berdasarkan nilai p value nya.
C. Apllicability
1. Karakteristik Pasien
Pada penelitian ini adalah semua pasien post operatif yang
dirawat di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar selama dari
tanggal 14 mei 2018 sampai 03 juli 2018 yang berjumlah 39
responden. Sampel sesuai dengan kriteria inklusi : 1) Pasien
post operasi 2) Pasien dalam keadaan sadar 3) Pasien

29
mengalami nyeri dengan skala ringan sampe sedang 4) Pasien
berumur 12- 65 tahun 5) Mampu berkomunikasi secara verbal
serta kriteria eksklusi : 1) Pasien tidak bersedia 2) Pasien
dengan fraktur di ekstremitas.
2. Biaya
Penggunaan teknik self healing terhadap penurunan skala
nyeri pada pasien post op dapat diaplikasikan di rumah sakit
maupun di luar rumah sebagai teknik non farmakologi untuk
menurunkan skala nyeri yang mudah dilakukan sendiri tanpa
memerlukan biaya. Hanya saja dibutuhkan keterampilan dari
seorang terapis, agar prosedur terapi yang diberikan dapat
secara efektif memberikan perubahan skala nyeri bagi klien.
3. Keamanan
Penggunaan terapi relaksasi selft healing aman digunakan
dalam jangka waktu pendek ataupun jangka waktu lama karena
tidak menimbulkan efek samping pada pasien post op. Terapi
relaksasi self healing juga tidak membutuhkan pembedahan
ataupun tindakan medis lainnya.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Diskusi
Self healing adalah metode penyembuhan penyakit bukan dengan
obat, melainkan dengan menyembuhkan dan mengeluarkan perasaan
dan emosi yang terpendam di dalam tubuh.Selain itu, self-healing juga
dapat dilakukan dengan hipnosis, terapi qolbu, atau menenangkan
pikiran. Self healing dilakukan oleh si penderita penyakit, dan dibantu

30
oleh terapi (Ulwiya, 2014). Masalah yang timbul setelah post op
adalah nyeri. nyeri pasca bedah mungkin sekali disebabkan oleh luka
operasi.
Berdasarkan analisis jurnal, jurnal merekomendasikan pemberian
metode self healing yang dapat menurunkan tingkat skala nyeri pada
pasien post operasi dengan metode non farmakologi. Latihan ini dapat
diaplikasikan tidak hanya di rumah sakit, tetapi juga dapat
diaplikasikan dirumah. Terapi self healing dapat dilakukan dengan
sentuhan diri sendiri sekitar 15-20 menit.
Berdasarkan jurnal didapatkan hasil, setelah dilakukan terapi self
healing dapat menurunan skala nyeri pada pasien post operasi sebesar
16.564 dengan p value < 0.05.

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penelitian


yang dilakukan memberikan gambaran karakteristik pasien post op di
RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar yang terdiri dari 39 responen
sebagian besar berusia 36-45 tahun yaitu 17 orang (43.6%).Dengan jenis
kelamin sebagian besar perempuan yaitu 24 orang (61.5%) dan di
dominasi oleh pasien yang bekerja sebagai IRT yaitu 21 orang

31
(53.38%).Terdapat perbedaan yang bermakna penurunan tingkat nyeri
pasien post op sesudah pengaruh self healing pada kelompok intervensi
dengan rata-rata penurunan. Terdapat pengaruh self healing terhadap
penurunan tingkat nyeri pada pasien post op.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson. (2015). The Effects Of Healing Touch on Pain, Nausea and
Anxiety Following Bariatric Surgery: A Pilot Study. Diakses pad maret 2018.
http://www.explorejournal.com/article/S1550-8307(15)00032-4/fulltext.
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang : UPT Penerbit UM.
Astuti. (2016). Pengaruh Music Klasik terhadap Penurunan Tingkat Skala
Nyeri Pasien Post Operasi. Jurnal Ipteks Terapan, 10.

32
Budiman., Ardianty, S. (2017). Pengaruh Efektivitas Terapi Self Healing
Menggunakan Energi Reiki Terhadap Kecemasan Menghadapi Ujian Skripsi,
Jurnal Ilmiah Psikologi, 4 (1): 141-148
Gunawan . (2015). Sehat dengan Self Healing, Karena Tiap Orang adalah
Penyembuh Terbaik bagi Diri Sendiri. Diakses April
2018.https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-2808275/self-healing-karena-
tiap-orang-adalah-penyembuh-terbaik-bagi-diri-sendiri.
Ilmiasih, Reni. (2013). Promosi Manajemen Nyeri Nonfarmakologi oleh
Keluarga pada Pasien Post Op di Ruangan BCH RSUPN DR.CiptoMangun
Kusumo Jakarta. Jurnal Keperawatan, ISSN 2 08 6 -3 07.
Ishaq, I. (2007). Mengenal Usui Reiki I dan II Intensif, Jakarta: Delaprasta
Publishing.
Jess Feist and Gregory. 2015. Theories Of Personality. Terjemahan. Yudi
Santoso. Yogykarta: Pustaka.
Kastono, R. (2008). Struktur dan Fungsi Sistem Syaraf Manusia. Yrama
Widya: Bandung.
Lemone, P & Burke.M.K. (2008). Medical Surgical. New Jersey: Pearson
education Inc.
M. Black. (2009). Keperawatan Medical Bedah. Edisi 8, Buku 1. Elseivier
Marta. (2010). The Effectiveness of the Therapeutic Touch on Pain,
Depresion and Sleep in Patiens With Chronic Pain : Clinical Trial , Original
Artikel.
Mumpuni. (2014). Therapeutic Touch and Post-Operative Pain. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, 8 (6)
Pinandita (2012). Pengaruh Teknik Relaksasi Genggam Jari terhadap
Penururnan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Laparatomi.
Potter, P.A & Perry, A.G. (2005). Fundamental of Nurssing, (6thEd), St.
Mo : Mosby.
Potter &Perry. (2010). Fundamental of Nursing Buku 3 Edisi 7. Elseiver:
salemba medika.
Rachman. (2015). Ruang Perawatan Intensive Literature Review.Volume
1.

33
Saputra L. (2013). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang:
Binarupa Aksara
Schommer & Larrimore. (2010). Complementary & Alternative Therapies
in Nursing Seventh Edition Springer Publishing Company, LLC Copyright ©
2014.
Sjamsuhidajat. (2013). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC : Jakarta
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W.D. (2008). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC.
Smeltzer dan Bare. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah .Edisi
8.EGC: Jakarta.
Thomas. Sandy. F. P. (2013). Infeksi Luka Operasi ( ILO ) pada Pasien
Post Operasi Laparatomi. Jurnal Keperawatan Terapan , 1 (1): 14-24.
Ulwiya. (2014). Mengapa Self Healing. Di akses pada Juli 2018 melalui
http://aquariuslearning.co.id/mengapa-self-healing/.
Umbreit A. W. (2014). Complementary & Alternative Therapies in
Nursing Seventh Edition Springer Publishing Company, LLC Copyright © 2014.
Werdell & Weymouth. (2004). Review of Studies of Healing Touch.
Journal Of Nursing Scholarship, 2004. Sigma Theta International.
Wijaya, Suyatno. (2015). Majalah Peran Pembedahan pada Tumor Jinak
Payudara. Kedokteran Andalas, 38 (1). http://jurnalmka.fk.unand.ac.id.
Yuan-Yi, C., Lok-Hi, C., Chun-Chieh, H., Liu, K., Luo-Ping, G., & Pei-
Ning, W. (2012). Gender and Pain Upon Movement are Associated with the
Requirements for Postoperative Patient-Controlled iv Analgesia: a Prospective
Survey of 2,298 Chinese patients. Canadian Journal of Anesthesia, 49, 249-255.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11861342

34
35

Anda mungkin juga menyukai