Anda di halaman 1dari 2

Banjir di Jakarta Awal Tahun 2020

Kita sering melihat berita bahwa Kota Jakarta sering dilanda banjir.Pada awal 2020,Jakarta kembali
dilanda banjir.Dan memakan korban yg cukup banyak.Banjir yg terjadi diawal menyambut dekade baru
ini banyak memicu masyrakat untuk ikut berdonasi,membantu sesama bahkan mencari tahu apa sih
sebenarnya penyebab dan kronologis terjadinya banjir di ibu kota pada awal tahun 2020.

Eksploitasi air tanah yang berlebihan di Jakarta menyebabkan ibu kota negara ini terus tenggelam,
dengan rata rata-rata laju penurunan tanah sekitar 3-18 cm per tahun . Kondisi ini bertambah memburuk
di Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Tinggi permukaan tanah di wilayah ini 1,5 meter lebih
rendah dari permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Akibatnya aliran air dari hulu (Bogor
dan Depok) pun tidak dapat terbuang ke laut. Selain penurunan permukaan tanah, ada beberapa faktor lain
yang menyebabkan banjir Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Saluran dan tangkapan air
(waduk, sungai, kanal banjir, drainase dan ruang terbuka hijau) yang ada kapasitasnya kurang untuk
menampung volume air yang besar akibat curah hujan yang ekstrem. Aliran dan sempadan sungai
menyempit karena sebagian sungai di Jabodetabek mengalami pendangkalan. Beberapa daerah resapan
dan waduk juga kurang maksimal karena berubah fungsi.Selain itu saluran-saluran air yang ada tersumbat
sampah akibat manajemen sampah yang buruk. DKI Jakarta memproduksi sampah kurang lebih 7,500 ton
per hari atau 2,7 juta ton per tahun. Jumlah itu belum termasuk 300-400 ton sampah yang dibuang oleh
penduduk ke sungai terutama pada saat musim hujan.Genangan air juga disebabkan oleh isu lama, yaitu
tertutupnya permukaan tanah yang dilapis beton atau material yang menahan air untuk meresap dalam
tanah. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi, pembangunan infrastruktur yang massif serta urbanisasi
menyebabkan okupasi lahan semakin sempit. Menurut data Badan Pusat Statisik penduduk Jakarta terus
tumbuh, pada 2018 mencapai 10,46 juta jiwa. Hal ini menyebabkan lahan Jakarta terus berkurang. Pada
2014, sekitar 83% dari 674km2 wilayah Jakarta telah terpakai, menurut riset Mathias Garschagen dan
koleganya (2008) .

Hujan sangat lebat yang terjadi sejak Selasa (31/12/2019) sore hingga Rabu (1/1/2020) pagi menyebabkan
banjir cukup luas. Hingga Jumat pagi, sebanyak 30 orang meninggal dunia dan lebih dari 31.000 orang
mengungsi dari 158 kelurahan yang terdampak. Wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat tercatat sebagai
wilayah yang paling banyak kelurahan terdampaknya, yaitu sejumlah 65 dan 30 kelurahan. Curah hujan
ekstrem tertinggi terkonsentrasi di Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Pengukuran BMKG mencatat, curah
hujan tertinggi tercatat di beberapa tempat, yakni Bandara Halim Perdana kusuma sebesar 337mm/hari
TMII sebesar 335 mm/hari Kembangan sebesar 265 mm/hari Pulo Gadung 260 mm/hari Jatiasih 260
mm/hari Cikeas 246 mm/hari Tomang 226 mm/hari Sebaran curah hujan ekstrem tersebut, lanjut Herizal,
lebih tinggi dan lebih luas dibandingkan kejadian banjir Jakarta pada 2007 dan 2015. Bahkan, curah hujan
kali ini mencatatkan rekor curah hujan tertinggi sejak 1866. Curah hujan 377 mm/hari di Halim PK
merupakan rekor baru curah hujan tertinggi sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta dan sekitarnya
sejak pengukuran pertama kali dilakukan tahun 1866 pada zaman kolonial Belanda. Curah hujan ekstrem
menjadi penyebab paling dominan banjir yang terjadi di Jakarta. Semua pihak dan masyarakat diimbau
tetap waspada terhadap peluang curah hujan tinggi yang masih mungkin mengingat puncak musim hujan
diprakirakan akan terjadi pada bulan Februari hingga Maret.

Adapun upaya pemerintah untuk menanggulangi bencana banji 2020 ini Pemprov DKI Jakarta melakukan
pembangunan drainase vertikal. Hal ini dilakukan karena dataran-dataran tinggi seperti Puncak yang
dulunya merupakan kawasan hutan yang mampu menyerap hujan dengan baik, kini sudah tidak mampu
lagi menampung curah hujan yang amat besar.Di Puncak juga semakin bermunculan penginapan-
penginapan atau vila, serta tempat-tempat rekreasi. Begitu pula daerah-daerah yang menjadi kota satelit
Ibu Kota, permukiman semakin masif dibangun. Begitu pula dengan di DKI Jakarta, semakin padat
penduduk.Hal tersebut menjadikan tanah yang seharusnya mampu menyerap 73–97 persen air hujan, kini
menjadi terbalik, hanya menyerap 3–27 persen, sisanya sebanyak 73–97 persen mengalir ke tempat-
tempat lebih rendah.Sementara itu, dimensi drainase DKI Jakarta dirancang untuk menampung debit air
hujan maksimal untuk curah hujan 120 mm/hari. Padahal, hujan ekstrem pernah terjadi beberapa kali di
ibu kota ini. Selanjutnya pengerukan saluran, pembuatan waduk/situ/embung, serta kesiapan operasional
pompa, dan upaya lainnya dilakukan untuk penanggulangan banjir di pusat pemerintahan ini. Selanjutnya
sumur resapan dapat dibuat di setiap rumah. Sumur ini dapat menampung air hujan ini juga bisa
dihadirkan bersama-sama dengan warga setempat secara bergotong-royong. Dengan upaya ini, air hujan
dapat semakin mudah terserap sehingga dapat membantu meminimalkan risiko genangan ataupun banjir.
mengadakan program Gerebek Lumpur. Kegiatan pengerukan lumpur ini dilakukan secara masif di
waduk, danau, sungai/kali di lima wilayah kota administrasi Jakarta.Program ini dilakukan guna
membantu mengurangi proses pendangkalan sehingga meningkatkan kapasitas danau, waduk, dan
sungai/kali, terutama di saat hujan. Upaya ini dilakukan mulai dari skala mikro oleh satuan tugas, maupun
gotong-royong yang dilakukan warga.

Dan upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk menurunkan tingkat keparahan banjir yg akan
terjadi yaitu dengan membuang sampah di tempatnya, menanam pohon dan tumbuhan di sekitar rumah
,membuat lubang biopori dan sumur resapan,melapor permasalahan seputar banjir melalui
Qlue,mengunduh aplikasi pantau banjir.Kalau bukan kita yang mencegah,ya pasti kita juga yang akan
merasakan dampak dan korban bencana alam.

Nama:Dwi Aprina Simarmata

Kelas: X MIPA 1

Anda mungkin juga menyukai