Anda di halaman 1dari 3

NAMA : SADDAM AMRULLAH

KELAS : 21MN3

MATKUL : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JUDUL : MEMAHAMI ALQURAN SEBAGAI INSPIRASI PERADABAN

A.CORAK PENAFSIRAN ALQURAN


Tafsir al-Qur’an merupakan usaha yang dilakukan oleh manusia sesuai kemampuan dan
kompetensinya dalam memahami makna kalam Allah. Pada masa Nabi yang notabene beliau
adalah mufasir tunggal, belum muncul keberagaman corak dalam penafsiran, karena sumber
penafsiran hanya satu yaitu Nabi. Hal ini berbeda dengan masa di mana umat Islam telah
menyebar di berbagai wilayah yang dibarengi dengan terjadinya perkembangan ilmu
pengetahuan dan berkembangnya berbagai aliran madhhab dan pemikiran. Perkembangan
ilmu pengetahuan serta lahirnya berbagai aliran madhhab juga memberikan dampak pada
keberagaman corak penafsiran al-Qur’an. Tulisan ini menelisik akar sejarah dan keberagaman
corak penafsiran. Hasil analisis literatur menunjukkan bahwa sejarah kemunculan dan
keberagaman corak penafsiran lahir bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
munculnya berbagai aliran madhhab dalam Islam. Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan
berbagai corak penafsiran seperti corak lughawi>, fiqhi>, falsafi>, su>fi>, ‘ilmi>, dan lain-lain.
Sedangkan lahirnya berbagai aliran madhhab memunculkan corak sunni>, shi>’i>, mu’tazili> dan
lain-lain sesuai dengan ideologi yang dianut oleh mufasir.

Kemunculan dan Keberagaman Corak Penafsiran al-Qur’an


al-Qur’an memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-
masing mufasir ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-
kultural di mana ia tinggal, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga berpengaruh baginya.
Di samping itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufasir untuk memahami al-Qur’an
sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga meskipun objek kajiannya tunggal (yaitu
teks al-Qur’an), namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh
karenanya, munculnya corak-corak penafsiran tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran
umat Islam.7 Keberagaman corak penafsiran merupakan hal positif yang menunjukkan akan
kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari al-Qur’an. Ini artinya al-Qur’an telah
memberikan andil yang cukup besar dan merestui bagi tumbuh suburnya pluralitas dalam
penafsiran itu sendiri. Karena hampir dalam setiap lini kehidupan, termasuk dalam pemikiran
fiqh, kalam, tasawuf, dan tafsi>r terdapat aliran atau madhhab yang bervariasi.8 Dalam
menyikapi keberagaman corak penafsiran di atas, menurut Abdul Mustaqim, ada beberapa
sikap yang bisa dan mesti diambil. Pertama: kritis dalam melihat produk-produk tafsir tersebut,
apakah ada hidden interest dibalik penafsirannya? Apakah ada penyimpangan dan apakah
penafsirannya didukung oleh argumentasi yang kuat? Kedua: jika memang argumen-argumen
tersebut kuat, maka kita harus menghormati pendapat tersebut, meskipun kita tidak harus
mengikuti.

B. DIALEGTIKA ALQURAN DAN BUDAYA MERUMUSKAN PARADIGMA ALQURAN


Berbicara proses dialektika al-Qur’an dengan realitas Arab berarti menelaah cara teks (al-
Qur’an) berdialog dengan konteks. Namun perlu diketahui, yang dimaksud dengan konteks di
sini bukan sekedar peristiwa yang melatarbelakangi munculnya satu teks, tetapi lebih tepatnya
adalah social-historis masyarakat Arab sebagai tempat turunnya al-Qur'an. Dengan kata lain, al-
Qur'an turun memberi respon terhadap kebudayaan tersebut dengan merekonstruksi dan
dekonstruksi atau al-Qur'an memberikan solusi terhadap problem sosial yang muncul pada saat
itu.(Sodiqin, 2008: 13) Dalam hal ini, turunnya al-Qur'an mengindikasikan ada proses hubungan
timbal balik (resiprokasi) antara wahyu dengan realitas. Artinya, terjadi dialogis antara ayat al-
Qur'an dengan setting sosial-kultural masyarakat Arab sebagai tempat turunnya wahyu. Hal ini
terlihat banyaknya adat istiadat Arab yang terekam dan berdialektis dengan al- Qur'an. Adat
istiadat tersebut meliputi berbagai bidang, baik pranata keagamaan, sosial, ekonomi, politik,
maupun hukum. Dalam beberapa ayatnya, al-Qur'an bersifat apresiatif terhadap budaya yang
ada dengan menegaskan keberlakuannya dan memberikan ketentuan-ketentuan baru di
dalamnya. Dalam hal ini, al-Qur'an menyempurnakan aturan-aturan yang sudah ada sehingga
masyarakat arab dapat melanjutkan kebiasaan tersebut.

Dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab ketika menafsirkan Surah al-Baqarah ayat 143
menyebutkan bahwa umat Islam dijadikan ummat pertengahan moderat dan teladan, sehingga
dengan demikian keberadaan umat Islam adalah dalam posisi pertengahan. Posisi pertengahan
menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan dan dapat dilihat oleh siapapun dalam
penjuru yang berbeda, hal ini mengantarkan manusia berlaku adil dan dapat menjadi teladan
bagi semua pihak. Selanjutnya disebutkan bahwa umat Islam akan menjadi saksi atas perbuatan
manusia dimana ungkapan “litakûnu” menggunakan fi’il mudhâri’ (kata kerja masa datang), hal
tersebut mengisyratkan akan adanya pergulatan pandangan dan pertarungan aneka “isme”.
Namun, pada akhirnya ummatan wasathan inilah yang akan dijadikan rujukan dan saksi tentang
kebenaran dan kekeliruan pandangan dan isme-isme itu.11 Banyaknya persoalan dalam
menemukan sintesa terbaik sebagai umat yang moderat tentu bukan persoalan mudah. Hal ini
dikarenakan sikap moderat tidak hanya ditujukan kepada lingkungan internal Islam, akan tetapi
juga dengan masyarakat di luar Islam. Melacak gambaran sikap moderat yang diajarkan oleh
Islam tentu harus merujuk kepada pegangan utama Islam yakni, Al-Qur’an dan Hadis Nabi
Muhammad saw. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana agar menjadi umat
moderat terhadap agama lain?. Tulisan ini agaknya berupaya menggambarkan Islam moderat
yang dijelaskan melalui dalil-dalil normatif melalui penafsiran para ulama modern Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/269691-moderatisme-islam-
dalam-konteks-keindone-19527712.pdf

https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/at/article/download/732/512

https://core.ac.uk/download/pdf/231325899.pdf

Anda mungkin juga menyukai