Anda di halaman 1dari 5

STRATEGI MEMBUMIKAN PANCASILA DI BUMI PERTIWI

Membumikan dan mengglobalkan ideology pancasila

BEBERAPA hari belakangan ini media massa dan media sosial ramai membahas isu yang
dilontarkan oleh pihak tertentu mengenai bahaya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu
tersebut segera mendapat respons publik secara luas karena muncul berbarengan dengan momen
peringatan Gerakan Tigapuluh September (Gestapu) PKI (30 September), Hari Kesaktian Pancasila
(1 Oktober) dan Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI) (5 Oktober). Terlepas dari siapa yang
melemparkan, apa latar belakang dan apa pula tujuannya, isu kebangkitan PKI memang sangat
sensitif bagi bangsa Indonesia. Sebab, isu tersebut menyentuh memori historis yang memilukan,
sekaligus menohok sistem ketahanan nasional Indonesia. Salah satu elemen penting dalam sistem
ketahanan nasional adalah ketahanan ideologi. Bagi Indonesia, ideologi yang dimaksudkan tentu
saja ideologi Pancasila. Suryosumarto (1997: 34) menyebutkan bahwa ketahanan nasional
mengandung prinsip dasar pengejawantahan Pancasila dalam segenap aspek kehidupan nasional.
Berbicara tentang ideologi Pancasila, suka tidak suka, kita juga harus merujuk pada pidato Ir
Soekarno dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Dalam pidato tersebut ia menegaskan bahwa Pancasila adalah satu-
satunya ideologi yang mampu menyatukan bangsa Indonesia. Selain itu, Pancasila dapat berperan
dalam perdamaian dunia karena menjadi ideologi penyeimbang antara sosialisme dan
kapitalisme. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Tantangan
berat Secara filosofis, ideologi Pancasila sudah mencapai titik finalnya.

Artinya, rumusan Pancasila yang ada sekarang paling ideal dan paling sesuai dengan kondisi
bangsa Indonesia yang multikultural dan berbhineka dalam hal Suku, Agama, Ras, dan
Antargolongan (SARA). Meski demikian, ideologi Pancasila tetap saja berada dalam tantangan yang
berat. Tantangan utama ketahanan ideologi Pancasila, bukan saja datang dari penyokong ideologi
yang bertentangan seperti komunisme, melainkan juga datang dari para pendukungnya sendiri yang
tak menghayati nilai-nilai Pancasila secara konsisten. Tantangan lainnya adalah semakin banyak
warga masyarakat yang terhanyut arus globalisasi sehingga cenderung menghayati gaya hidup
liberal seraya meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Harus diakui bahwa hingga sekarang nilai-nilai
filosofis Pancasila belum menjadi praktik hidup sehari-hari dari sebagian besar warga bangsa
Indonesia. Berkenaan dengan nilai ketuhanan (sila ke-1) misalnya, kita dapat menyaksikan bahwa
pada satu sisi semakin banyak warga merelativir, bahkan mengabaikan ajaran agamanya. Tetapi
pada sisi lain semakin banyak orang pula yang terpapar radikalisme agama. Sementara itu, semakin
banyak warga masyarakat yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan (sila ke-2). Hal ini tampak
dalam angka kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat. Juga, angka kriminalitas
pembunuhan dan aborsi yang cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Nilai persatuan yang
dikandung oleh sila ke-3 Pancasila juga kian memudar. Hal ini terbukti dari semakin meningkatnya
kasus konflik antar kelompok masyarakat. Juga, semakin maraknya ujaran kebencian yang
dilontarkan melalui berbagai akun media sosial. Nilai demokrasi Pancasila (sila ke-4) juga semakin
dilemahkan oleh semakin maraknya praktik politik uang dan politik identitas atau menjadikan etnis,
suku, budaya, agama atau yang lainnya sebagai alat politik. Sementara itu, nilai keadilan sosial (sila
ke-5) semakin tergerus oleh semakin maraknya praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh sejumlah
oknum pejabat publik, di pusat ataupun di daerah.
Membumikan Pancasila

Berhadapan dengan tantangan yang besar demikian, sudah semestinya seluruh warga bangsa
Indonesia tak boleh diam, berpangku tangan saja Sebaliknya, mereka harus berusaha untuk
semakin membumkan Pancasila melalui beberapa upaya nyata sebagai berikut. Pertama, seluruh
warga bangsa Indonesia harus meyakini bahwa kebhinekaan adalah sebuah realitas; hadiah dari
sang Maha Pencipta. Mereka harus memandang kebhinekaan sebagai kekuatan atau keunggulan,
bukan sebagai kelemahan atau kekurangan. Berkenaan dengan itu, pada satu sisi mereka harus
membangun soliditas dengan memperkuat relasi ke dalam kelompoknya sendiri. Namun, pada sisi
lain, mereka juga harus mengatasi kecenderungan primordialisme dengan membangun relasi ke
luar (dengan kelompok yang lain), dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai alat perekat
untuk mempertahankan integrasi dan kesatuan bangsa. Jika salah satu atau keduanya diabaikan,
maka secara perlahan namun pasti keutuhan dan ketahanan ideologi Pancasila akan melemah.
Kedua, seluruh warga bangsa Indonesia harus menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai filter untuk
menyaring segala hal yang masuk dari luar namun tak selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Sementara itu, mereka juga perlu bersikap terbuka terhadap nilai-nilai positif dari bangsa lain dan
belajar beradaptasi dengan dinamika dunia akibat arus globalisasi. Ketiga, seluruh warga bangsa
Indonesia juga perlu melalui berbagai cara memperkenalkan dan membuktikan kepada bangsa-
bangsa lain di dunia bahwa (1) Pancasila mengandung nilai-nilai universal; dan (2) Pancasila adalah
ideologi yang dapat diadopsi dan oleh bangsa-bangsa di dunia guna membangun dunia yang lebih
beradab, damai dan sejahtera. Artinya, Pancasila adalah sumbangan bangsa Indonesia bagi dunia,
demi terciptanya dunia yang lebih manusiawi.

Go global

Sebagai bagian dari masyarakat global, bangsa Indonesia seharusnya berbangga karena ideologi
yang dihayatinya mendapat pengakuan dari bangsa-bangsa lain. Ketika bertemu dengan Ketua
Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Megawati Soekarnoputri di kompleks Istana
Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (3/5/2018) misalnya, Imam Besar Al-Azhar Kairo, Mesir, Syekh
Ahmad Muhammad Ath-Thayeb memuji ideologi Pancasila. Menurut Ath-Thayeb, Ideologi Pancasila
terbukti mampu menjaga kerukunan dan mendukung keharmonisan antar warga masyarakat yang
berbeda suku dan agama. Karena itu Pancasila perlu diadopsi di negara lain yang mengalami
konflik akibat masalah ideologi. Sebelumnya, pada November 2010, dalam kuliah umumnya di
Universitas Indonesia, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama mengatakan Pancasila adalah
falsafah yang inklusif, dan Bhinneka Tunggal Ika - kesatuan dalam keragaman - adalah contoh
Indonesia untuk dunia. Dengan ideologi tersebut Indonesia akan memainkan peranan penting dalam
abad ke-21 (Tempo.co, 11/11/ 2010). Empat hari sebelumnya, Paus Benediktus XVI, dalam pidato
pembukaan Konferensi Kerukunan Antar Umat Beragama di Barcelona, Spanyol, menyebut
Pancasila sebagai ideologi yang relevan untuk masyarakat global dewasa ini (BBC News.com, 7/11/
2010). Jadi, kita semestinya berbangga dan bersyukur karena memiliki ideologi Pancasila.
Pengakuan para tokoh dunia seharusnya menjadi motivasi bagi kita untuk terus berjuang
memperkokoh ketahanan ideologi Pancasila. Bukan sebaliknya, mengacuhkan apalagi merongrong
ketahanan ideologi Pancasila. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari
Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link
https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di
ponsel.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Membumikan dan Mengglobalkan Ideologi
Pancasila", Klik untuk
baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/08/135948465/membumikan-dan-mengglobalkan-
ideologi-pancasila?page=all.

Editor : Heru Margianto

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:


Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Membumikan pancasila dan generasi milenial

Secara harfiah, memang tidak ada demograsfi khusus untuk menentukan kelompok generasi
milenial atau generasi Y. Namun, para pakar menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan
akhir. Penggolongan generasi Y terbentuk bagi mereka yang lahir pada 1980-1990, atau pada
awal 2000, dan seterusnya.

Generasi milenial saat ini memang sedang menjadi pusat perhatian semua kalangan, tidak
terkecuali Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam arahannya, Presiden Jokowi meminta agar
mempercepat upaya pembumian Pancasila kepada generasi milenial. Hal ini disampaikan
langsung kepada Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi pada
saat pelantikannya di Istana Negara, Jakarta, 5 Februari lalu.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, Pancasila hendaknya dijadikan


habitus (gugus insting yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak) bangsa untuk mengatasi
kekerasan, intoleransi, dan radikalisme. Fakta bahwa intoleransi masih terjadi, dan lingkaran
balas dendam yang dimulai dari paham-paham yang memaksakan kehendak dengan
menggunakan kekerasan dibiarkan terus berkembang tanpa ada upaya untuk menegakkan
hukum. Inilah yang menciptakan keretakan hidup berbangsa dan bernegara.

Lalu bagaimana cara membumikan pancasila sehingga menjadi habituasi di generasi


milenial? Pertama, tentu seharusnya kita telaah dari karakteristik generasi milenial ini. Secara
singkat karakteristik generasi milenial ini mencakup kreatif, percaya diri, dan terhubung
(connected).

Jika kita tinjau dari berbagai platform digital dan media sosial saat ini, bisa dilihat bagaimana
kreatifnya genarasi milenial dalam mengemas konten yang mereka suguhkan kepada pengikut
mereka di media sosial, baik itu dalam bentuk video, foto, suara, dan lain sebagainya. Hal ini
ajaibnya tidak sedikit konten yang mereka buat bisa menjadi konsumsi khalayak banyak bahkan
mancanegara.

Kedua, generasi mileniali sangat percaya diri dengan apa yang mereka yakini benar dan
menunjukannya di dunia nyata atau media sosial kepada pengikutnya di seluruh dunia dengan
menggunakan karakteristik ketiga yaitu terhubung. Berdasarkan laporan e-Marketer, pengguna
aktif smartphone di Indonesia tumbuh dari 55 juta orang pada 2015 menjadi 100 juta orang di
2018. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menjadi negara dengan pengguna
aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika. Pengguna
smartphone saat ini di Indonesia didominasi oleh usia produksi yang disebut sebagai generasi
milenial (15–35 tahun). Ini adalah salah satu kelebihan dan kekuatan terbesar generasi milenial
terkoneksi dengan manusia di seluruh dunia dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan
digital saat ini.

Dengan demikian salah satu cara yang dapat digunakan untuk melakukan pendekatan dan
sosialisasi nilai-nilai Pancasila ke generasi milenial adalah dengan menggunakan platform yang
mereka sering gunakan, yaitu media sosial. Instagram, Facebook, Twitter, hingga Tik-
tok menjadi jenis media sosial (medsos) populer saat ini yang bisa digunakan dalam
pendekatan dan pembumian nilai-nilai Pancasila. Caranya, dengan membuat konten positif
yang edukatif, informatif, dan menghibur, disesuaikan dengan segmen generasi milenial.
Pancasila dalam Konten Medsos
Salah satu tugas BPIP yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila adalah membantu Presiden dalam merumuskan arah
kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan
pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan
melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap
kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara,
kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen
masyarakat lainnya.

Dengan kata lain tugas BPIP dalam peran sertanya membumikan Pancasila sampai kepada
semua lapisan masyarakat. Oleh karena medsos sebagai salah satu wadah dalam
membumikan Pancasila yang mempunyai efek yang besar saat ini, tentunya harus diperhatikan
semua nilai yang terkandung dalam ke lima sila tersebut bisa tersampaikan dengan baik.

Nilai ketuhanan, yaitu mengamalkan ajaran agamanya secara berkeadaban, saling


menghormati satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari bahkan di dalam dunia maya. Nilai
kemanusiaan, yaitu dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengembangkan
persaudaraan berdasarkan nilai-nilai keadilan dan keadaban, juga harus tercermin dalam setiap
tindakan yang dilakukan baik di dunia nyata maupun dalam komunikasi digital.

Nilai persatuan, yaitu sikap kebangsaan yang saling menghormati perbedaan dan keberagaman
masyarakat dan bangsa Indonesia. Ini salah satu yang harus menjadi perhatian utama agar isu
SARA tidak kian mencuat dan membunuh persatuan bangsa secara perlahan dari dalam. Pada
dasarnya bangsa indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, justru keragaman ini adalah keuatan
bangsa.

Nilai kerakyatan yang berlandaskan permusyawaratan yang mampu mewujudkan


kesejahteraan sosial tidak mengenal sistem diktator mayoritas dan tirani minoritas. Nilai
kesejahteraan, yakni mengambil keputusan senantiasa dipimpin oleh nilai- nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, dan keadilan dalam semangat hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan untuk mewujudkan keadilan.

Terkandungnya nilai-nilai tersebut dalam konten medsos yang dikombinasikan dengan


pengemasan yang menarik akan dirasa jauh lebih mudah diterima oleh generasi milenial
dibandingkan dengan cara lama. Akan tetapi, pembumian Pancasila dengan cara konvensional
akan tetap dilakukan tentunya disesuaikan dengan segmentasi masyarakat. Pada generasi
milenial pun tidak selalu menggunakan pendekatan kekinian dengan menggunakan medsos,
karena terdapat generasi milenial yang pada pendekatannya lebih cocok secara filosofis.

Generasi milenial merupakan harapan dan kekuatan bangsa Indonesia saat ini dan di masa
yang akan datang. Dalam pembumian nilai-nilai Pancasila membutuhkan sentuhan lebih santai,
rileks, bersahabat sehingga untuk dilakukan pendekatan kepada lebih dari 120 juta generasi
milenial di Indonesia harus disesuaikan dengan kriteria tersebut.

Anda mungkin juga menyukai