Anda di halaman 1dari 10

TUGAS ESSAY

OLEH:

NURYANINGSIH (E1Q0210064)

Kelas 1 C (Pendidikan Fisika)


ALAM MALAKUT, ARASY, LAUHIL MAHFUZ, SIDROTIL MUNTAHA, DAN TUJUH
PETELA LANGIT BERDASARKAN DALIL/NASH DAN AL HADITS .

A. Alam Malakut
Tingkatan-tingkatan alam dalam dunia tasawuf yaitu alam mulk, Miotsal atau hayal,
dan alam barzakh, yang keseluruhannya ternyata akrab dengan manusia. Sementara alam
malakut yang lebih di kenal dengan alamnya para malaikat dan jin, merupakan suatu alam
yang tingkat kedekatannya dengan alam puncak lebih utama dari pada alam-alam
sebelumnya. Namun, alam malakut masih lebih rendah dari pada alam diatasnya, seperti
jabarrut dan al-a’yan al-Tsabitah,. Mulai alam miotsal sampai alam-alam di atasnya tidak
bisa di tangkap panca indra dasar atau fisik manusia karena sudah masuk wilayah alam
ghaib. Manusia dengan panca indra fisiknya hanya mampu mengobservasi secara fisik alam
syahadah mutlak, seperti alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan sebagian
dari dirinya sendiri.
Al-quran mengisyaratkan unsur kejadian manusia ada tiga, yaitu unsur badan atau
jasad, unsur nyawa (nafs), da unsur roh (ruh). Dalam Alquran, nyawa dan ruh berbeda.
Nyawa dimiliki tumbuh-tumbuhan dan binatang, tetapi unsur roh tidak dimiliki keduanya,
bahkan oleh seluruh makhluk Tuhan lainnya. Unsur roh inilah yang membuat para malaikat
dan seluruh makhluk lainnya sujud kepada manusia (Adam). Roh yang merupakan unsur
yang ketiga manusia ini menjadi potensi amat dasyat baginya untuk mengakses alam puncak
sekalipun. Unsur ketiga inilah yang disebut sebagai ciptaaan khusus (khalqon akhar) di
dalam Alquran.
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati (berasal) dari
tanah. Kemudian, kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
kami jadikan tulang belulang, lalu tulang-belulang itu kami bungkus dengan daging.
Kemudian, kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah,
pencipta Yang paling baik”.(QS al-mukmin [23]:12-14).
B. Arasy
Arsy di dalam kamus Alqur’an ‫ َ رش ْع‬adalah makhluk tertinggi, berupa singgasana
seperti kubah yang memiliki tiang-tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Pengertian ‘Arasy
ini yang diyakini oleh para manhaj Salaf, berdasarkan al-Qur'an dan hadits Muhammad,
sesuai dengan surah Thaha ayat 5, yang artinya :
“(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy”.
Arasy ialah satu sifat Allah yang wajib di imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan
kesucian-Nya. Di dalam Alqur’an, kata ‘Arasy itu disebut sebanyak 33 kali. Kata ‘Arasy
mempunyai banyak makna, tetapi pada umumnya yang dimaksudkan adalah singgasana atau
tahta Tuhan.
C. Lauhil Mahfuz
Lauh Mahfuzh adalah kitab tempat Allah menuliskan segala seluruh skenario/ catatan
kejadian di alam semesta. Lauh Mahfuzh disebut di dalam Al-Qur'an sebanyak 13 kali. Tidak
ada peristiwa yang tidak tercatat di Lauh Mahfuzh. Di penjuru semesta yang paling
tersembunyi sekalipun. Karena Lauh Mahfuzh adalah kitab induk yang merekam seluruh
benda dan peristiwa sejak alam semesta ini diciptakan.
Al Quran sering menyebutnya sebagai “kitab yang nyata”. Yakni, kitab yang memuat
seluruh kenyataan alam semesta. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang GAIB;
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan
dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan
tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam KITAB YANG NYATA (Lauh Mahfuzh)" [Qs. Al An’aam
(6): 59]
D. Sidrotil Muntaha
Sidrat al-Muntahā berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah adalah pohon Bidara,
sedangkan muntaha berfaedah tempat berkesudahan, sebagaimana kata ini dipakai dalam
ayat berikut:
“Kemudian akan diberi balasan untuknya dengan balasan yang paling sempurna, dan
bahwasanya untuk Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (An-Najm, 53:41-42) ”
Dengan demikian, secara bahasa Sidratul Muntaha berfaedah pohon Bidara tempat
berkesudahan. Dinamakan demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati semakin jauh lagi
oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di
bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya.
E. Tujuh Petela Langit
Allah ciptakan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi. Berdasarkan Surah At-Talaaq
di atas. Namun demikian, wakalah itu menyatakan bahawa terdapat tujuh bumi selain tujuh
langit. Bagaimana tujuh bumi dan tujuh langit? dan penulis wakalah berkenaan menyatakan
bahawa terdapat sebuah Hadith Rasulullah SAW yang menyatakan perkara sedemikian :
“Sunan Tirmidzi 3220: Telah bercerita Al Hasan dari Abu Hurairah, ia berkata; ketika
Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba
datang awan kepada mereka. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Apakah
kalian tahu apakah ini?” Kemudian mereka berkata; Allah dan rasulNya lebih tahu. Beliau
berkata: “Ini adalah awan, ini adalah mendung yang akan menyirami bumi, Allah tabaraka
wa ta’ala menggiringnya kepada suatu kaum yang tidak bersyukur kepadaNya dan tidak
berdoa kepadaNya.” Beliau bersabda: “Tahukah kalian apa yang ada di atas kalian?” mereka
berkata; Allah dan RasulNya lebih tahu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya itu adalah raqi’
(nama langit dunia) yaitu atap yang dijaga, serta gelombang yang tertahan.” Kemudian beliau
bersabda: “Tahukah engkau berapa jarak antara kalian dan langit tersebut?” mereka berkata;
Allah dan rasulNya lebih mengetahui”.
Beliau bersabda: “Sesungguhnya di atas hal itu terdapat dua langit, jarak diantara
keduanya adalah perjalanan lima ratus tahun.” Hingga beliau menyebutkan tujuh langit, jarak
antara setiap dua langit seperti jarak antara langit dan bumi. Kemudian beliau bersabda:
“Tahukah kalian apa di atas hal tersebut?” Mereka berkata; Allah dan RasulNya lebih
mengetahui. Beliau bersabda: “Sesungguhnya di atas hal tersebut terdapat ‘Arsy dan diantara
‘Arsy dan langit setelah itu adalah jarak antara dua langit.” Kemudian beliau bersabda:
“Tahukah kalian apa yang ada di bawah kalian?” Mereka berkata; Allah dan RasulNya lebih
tahu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya di bawah kalian adalah bumi.” Kemudian beliau
bersabda: “Tahukah kalian apa yang ada di bawah hal tersebtu?” mereka berkata; Allah dan
RasulNya lebih tahu.
Bumi di dalam dimensi yang tak mampu kita lihat dengan mata kasar. Ada manusia
seperti kita. Wujudnya haiwan seperti yang kita tahu. Sebenarnya, apa yang dimaksudkan
Baginda Rasulullah SAW itu, ialah jarak antara dimensi. Setiap dimensi berjarak 500 tahun.
Yang kita tahu, dan yang kita nampak pada mata kasar sekarang ini ialah tiga dimensi sahaja.
PROSES PENCIPTAAN MANUSIA BERDASARKAN NASH AL-QURAN DAN
HADITS

A. Pengertian Manusia
Berdasarkan definisi yang berbeda yang dikemukakan oleh para ahli tentang manusia.
Perbedaan tersebut, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda sesuai disiplin ilmu
yang diketahui para ahli. Definisi yang dihasilkan pun menurut Zulkabir, belum
menggambarkan wujud manusia secara utuh. Secara bahasa manusia berasal dari bahasa
Sansekerta dari kata “manu” atau bahasa latin “mens”, yang berarti berfikir, berakal, budi
atau makhluk yang berakal budi. Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau
sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok atau seorang individu. Manusia
adalah makhluk material dan makhluk spiritual. Dinamika manusia tidak tinggal diam karena
manusia sebagai dinamika selalu mengaktivisasikan dirinya.
Katakanlah: "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati". (tetapi) Amat sedikit kamu bersyukur”. (QS. Al Mulk:
23)
Dari ayat di atas dijelaskan mengenai bagaimana hakikat penciptaan manusia, Allah
menciptakan dan memberikannya anugerah fisik dan hati nurani. Alquran mengatakan bahwa
manusia adalah hasil ciptaan Allah dan anugerah yang diberikan kepada manusia sangatlah
banyak sekali. Berbicara mengenai proses penciptaan manusia, beberapa ilmuan menyatakan
bahwa manusia bukan berasal dari penciptaan melainkan proses alamiah dan revolusi. Untuk
itu islam memiliki kitab suci Alquran untuk menjelaskan bagaimana proses penciptaan
manusia mulai dari hanya setitik air yang hina hingga berkemabang secara kompleks
B. Proses penciptaan Manusia Dalam Al-Qur’an.
Sesungguhnya dalam penciptaan setiap makhluk yang hidup itu telah dibekali dengan
berbagai potensi yang memudahkan untuk berkembang setelah masa kelahirannya, seperti
halnya yang terjadi pada binatang ia juga memiliki potensi yang berupa naluri, nampak
begitu lahir ia langsung mempunyai naluri yang mampu dengan cepat untuk menemukan cara
menyusu, berlindung pada induknya dan cara makan. Berbeda dengan manusia, ia juga
memiliki naluri semacam ini bahkan lebih kuat. Apa yang dimiliki manusi tidak dimiliki oleh
binatang. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari sari pati tanah, maksudnya proses
kejadian manusia itu berasal dari sari pati tanah yang menghasilkan berbagai jenis makanan
yang kemudian dikonsumsi oleh manusia. Hal ini diterangkan dalam Al- Qur’an surat Al–
Mu’minun ayat 12-14 yang artinya :
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.
Ketika Allah akan menjadikan Adam, Allah berfirman kepada malaikat, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30 yang artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui".
Pengetahuan manusia tentang manusianya itu sendiri masih sangat kurang dan sedikit,
apa lagi tentang planet-planet, tentang bumi, dan ruang angkasa yang sangat begitu luas.
Manusia tidak akan mampu menjangkau kekuasaan Allah swt. Memang pengetahuan
sekarang jauh lebih canggih dan maju jika di bandingkan dengan abad-abad yang lalu. Pada
ayat Alquran sūrah al-Mu‟minūn [23]: 12-16, Allah swt menyebutkan secara garis besar
semua tahap yang ditempuh oleh anak manusia sejak sebelum menjadi nuṭfah, bahkan sejak
masih menjadi tanah dan air, sampai pada saat kelak dia di bangkitkan dihari kiamat nanti.39
Cobalah kita renungkan dan bayangkan bagaimana cara Allah dapat mengolah sedemikian
rupa, sehingga dari setetes air lebih halus dari ujung rambut dan najis bisa berubah menjadi
manusia dengan sebaik-baiknya bentuk.
Tahap pertama penciptaan manusia adalah dia berasal dari saripati tanah. Kemudian
setelah itu, dari sari pati air yang hina, yaitu nuṭfah yang diserap dari sekujur tubuh. Ia
menetap dalam keadaan yang seperti itu selama 40 hari. Kemudian, Allah swt mengubah
nuṭfah itu menjadi segumpal darah, yaitu potongan darah berwarna hitam. Potongan darah itu
menetap disana dalam keadaan seperti itu selama 40 hari pula. Kemudian potongan darah itu
Allah jadikan mu gah, yaitu segumpal daging selama 40 hari. Pada tahapan itu ditentukan
anggota-anggota tubuhnya, rupanya, bentuknya, dan keadaan yang lain. Banyak orang yang
beselisih paham tentang organ mana yang lebih dulu diciptakan. Sebagian mereka
mengatakan, pertama kali adalah jantung, lainnya mengatakan, otak. Lainnya lagi, limpa.
Ada juga yang mengatakan tulang punggung. allāhu aʻlam.
Menurut Alquran proses penciptaan manusia melewati beberapa fase yaitu: 1) sulalah
min tin (saripati tanah), 2) mani (ovum dan seperma), 3) nuṭfah (zigot), 4) alaqah
(implantasi), 5) mu gah (embrio), 6) janin (fetus), 7) naf atu al-rū (pemberian ruh), 8) ṭifl
(neonatus/bayi). Namun demikian, ada reproduksi yang tidak memerlukan sperma, seperti
dalam proses penciptaan sā ibn Maryam. Maryam berkata: Ya Tuhanku, bagaimana mungkin
aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh laki-laki”, QS. Ali „Imrān:
47).
PROSES IJTIHAD ULAMA YANG MELAHIRKAN SEBUAH HUKUM FIQIH

Syariat sebagai aturan yang diturunkan oleh Allah dijadikan sebagai patokan bertindak
dalam segala aspek kehidupan manusia sepanjang masa dan selalu ada hubungannya,
sehingga dibutuhkan kemampuan untuk menggali dan mengkaji kandungan yang terdapat
dalam al-Qur’an. Sementara itu, agar aturan yang dihasilkan dapat dilaksanakan dan
diamalkan dengan baik, maka perlu diadakan penyesuaian dengan kondisi dan situasi dimana
manusia itu berada, sehingga sesuai dengan tempat dan zaman. Hal ini selaras dengan tujuan
diturunkannya al-Qur’an sebagaimana firman Allah swt. QS al-jasiah /45: 18, yang artinya :
“Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari
agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau mengikuti keinginan orang-orang
yang tidak mengetahui”.
Oleh karena itu, usaha tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu
kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya yang harus dilakukan secara
maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap aktual dan dapat
dipertahankan dalam kehidupan praktis. Dengan ungkapan ulama semasa seperti, Dr. Ali
Jum‘ah, Jamaluddin ‘Atiyyah (Mesir), Yusuf al-Qardawi (Qatar), Dr. Abid al-Jabiri
(Maroko) sepakat bahwa, syariat Islam sejatinya dipahami sebagai sekumpulan nilai yang
memberikan perhatian bagi masalah-masalah kemanusiaan, demi kemaslahatan. Peranan
ijtihad akan terasa lebih jelas apabila dikaitkan dengan perkembangan dunia modern.
Secara gamblang dapat dikatakan bahwa apabila produk hukum/fikih beberapa abad
yang lalu diterapkan saat ini, tentu ada yang kurang relevan pada beberapa masalah yang
muncul, dan inilah para ulama serta cendekiawan muslim mulai bangkit untuk
mengkaji/menganalisis permasalahan fikih dalam berbagai bentuk di setiap Negara dalam
kondisinya. Islam membenarkan umatnya yang mempunyai kebolehan/kemampuan untuk
berijtihad sesuai dengan kondisi sosial dan tuntutan zamannya masing-masing, sebagai
implementasi atau penetapan aturan. Ijtihad sebagai sebuah pemikiran dalam pengembangan
hukum, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan tuntutan zaman yang berkembang dan
senentiasa berubah. Dengan perubahan inilah sehingga memerlukan ijtihad yang
menyesuaikan ajaran Islam dengan konteks zaman dan mesyarakat khususnya di Patani.
Akan tetapi, dalam masalah ijtihad ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu masalah
kondisi ajaran Islam. Ada ajaran Islam yang bersifat absolut ‫ مطلق‬dan universal ‫ ع__ام‬,di
samping itu ada ajaran Islam yang tidak bersifat absolut dan tidak universal, melainkan
bersifat kondisional, temporal, dan parsial. Ajaran yang bersifat Islam adalah keseluruhan
ajaran dasar yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah mutawatir. Tetapi ajaran yang dapat
diperbaharui atau dirumuskan ulang adalah ajaran yang tidak absolut, yakni yang bersifat
kontemporer.
Produk hukum akan sesuai dengan kondisi dan perkembangan umat yang diiringi
oleh permasalahan yang semakin konflik. Penemuan hukum inilah yang memerlukan usaha
yang sungguh-sungguh dan kerja keras dalam menghasilkan hukum yang baik. Oleh karena
itu, usaha menemukan hukum termasuk dalam kerangka ijtihad. Dengan ijtihad, para ulama
dan umat Islam dapat mengimbangi perkembangan zaman yang dihadapinya, termasuk
dalam masalah hukum Islam dengan jalan penemuan hukum. Pentingnya penggalian konsep
ijtihad dalam alQur’an sebagai penemuan hukum merupakan upaya untuk tetap
mengaktualisasikan nilai-nilai dan ajaran-ajaran al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat yang
semakin maju. Sehingga dengan demikian, syariat Islam tetap aktual dalam segala masa dan
segala tempat.
Karakteristik ajaran Islam yang sangat menonjol adalah bahwa ajaran Islam bersifat
universal dan dinamis. Universal ajaran Islam ini sangat sesuai dengan pemilik dan pembuat
ajaran tersebut yang kekuasaannya tidak terbatas. Di samping itu, hukum Islam mempunyai
sifat yang dinamis.Adapun yang dapat dijadikan indikator yang digunakan sebagai bukti
keluasan dan keluwesan ajaran Islam adalah:
1. Bahwa al-Qur’an tidak mematok secara kaku aturan-aturan dalam masalah yang
dihadapi manusia. Al-Qur’an telah menetapkan aturan rinci, seperti salat, zakat, puasa
dan haji. Namun dalam hal yang lain al-Qur’an hanya menetapkan secara global,
sehingga manusia dituntut untuk menginterpretasikan lebih rinci lagi, karena berkaitan
dengan kondisi sosial dan masyarakat pada setiap waktu dan tempat.
2. Bahwa konsekuensi logis yang timbul kemudian adalah nas}-nas} hukum yang
terkandung dalam al-Qur’an tidak hanya dipahami secara tekstual, tetapi juga secara
kontekstual. Menurut ulama fikih bahwa hampir semua ayat al-Qur’an bermakna ganda,
3. Bahwa al-Qur’an tidak hanya menetapkan hukum-hukum yang terbatas pada illat (sebab)
dan kemaslahatan sebagai dasar disyariatkannya. Akan tetapi, illat dan kemaslahatan
dapat dijadikan ukuran (dasar analogi) hukum suatu masalah yang tidak disinggung
secara transparan dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya memberikan dasar-dasar serta
prinsip-prinsip, ini harus dipahami bahwa hal ini memberikan wewenang kepada umat
manusia yang mempunyai kemampuan untuk mempergunakan pemahaman dalam
menginterpretasikan lebih jelas lagi.

Di antara kenyataan yang tidak dapat ditolak ialah kenyataan bahwa syariat Islam
telah mampu menampung dunia Islam secara keseluruhan, dengan wilayah yang saling
berjauhan, suku bangsa yang heterogen, kondisi, budaya yang berbeda dan persoalan
temporal yang selalu berganti. Kemampuan syariat Islam memahami hajat dari setiap
masyarakat yang berbeda di bawah hukumnya itu, tidak lain disebabkan di samping
kandungan yang terdapat di dalamnya, yaitu kuatnya sendi-sendi yang berdiri di atas prinsip
akal sebagai inti obyek hukumnya, penghargaan tinggi terhadap fitrah manusia,
keseimbangan antara jiwa dan materi, antara dunia dan akhirat, menegakkan keadilan di
antara sesama manusia, menyajikan hal yang menguntungkan dan kebaikan serta menolak
segala hal yang merugikan dan keburukan. Hal inilah yang diperkirakan dalam kesesuaian
penetapan hukum sehingga syariat Islam dapat menghadapi setiap permasalahan baru tanpa
kekerasan dan kezaliman.

Anda mungkin juga menyukai