Anda di halaman 1dari 7

MODUL

Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam


Disajikan pada pertemuan ke-1
Dosen Pengampu

Dr. Ahmad Kosasih, M.A

Materi- 1
HAKIKAT MANUSIA
Learning Outcomes
Mengenal, memahami, menganalisis dan membuat kesimpulan materi konsepsi manusia
menurut al-Qur’an dan Hadits, kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi.

A. Keterangan Al Qur’an dan Hadits tentang Manusia


Manusia adalah makhluk paling sempurna penciptaannya dibanding dengan makhluk-
makhluk lainnya namun penuh dengan misteri. Dalam logika sederhana dapat dipahami bahwa
yang mengerti tentang penciptaan manusia adalah Sang Pencipta itu sendiri, yakni Allah s.w.t.
Dalam Al-Quran dijelaskan tentang penciptaan manusia, bahwa manusia itu diciptakan dari
unsur jasmani dan rohani (Q.S. 32:7–9). Jasmani manusia terdiri dari unsur-unsur kimia yang
sangat lengkap dengan komposisi yang sangat sempurna, namun jasmani adalah alat bagi rohani
untuk melaksanakan kehendaknya. Sedangkan rohani diidentikkan orang dengan jiwa, namun
hakikat rohani/jiwa tidak dapat diketahui secara pasti oleh manusia (Q.S.17:85), yang dapat
diketahui oleh manusia hanyalah gejala-gejalanya, yaitu berpikir, merasa, dan berkehendak.

Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan terbaik/ahsani taqwim


(Q.S.95:4), serta makhluk yang semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya
ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya
maupun alam semesta, serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit, dan bumi. Manusia
juga memiliki kelemahan dan keunggulan sehingga berpotensi untuk menjadi buruk atau baik
tergantung potensi mana yang ia pupuk dan kembangkan (Q.S.91:7-10). Kapasitas yang
dianugerahkan Sang Maha Pencipta kepada manusia begitu besar, baik dalam kemampuan
belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Ia memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah,
motivasi dan pendorong dalam banyak hal untuk menjalani kehidupan ke arah kesempurnaan
itu. Kodrat yang yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia disertai pula dengan bimbingan
(hidayah) Nya (Q.S.87:2-3) namun pada saat yang sama, mereka dituntut untuk menunaikan
kewajiban kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta.

B. Proses Penciptaan Manusia

Dalam logika sederhana, dapat dipahami bahwa yang mengerti tentang penciptaan
manusia adalah Sang Pencipta itu sendiri. Allah merupakan Sang Maha Pencipta, jadi Allah yang
lebih memahami tentang proses penciptaan manusia. Dalam al-quran dijelaskan tentang
penciptaan manusia, antara lain dalam Q.S al-Mukminun, 23:12, 13 dan 14. Ayat tersebut
menjelaskan tentang asal penciptaan manusia dari “sulalatin min thin” (saripati tanah). Kata
sulalatin dapat diartikan dengan hasil akhir dari sesuatu yang disarikan, sedangkan thin berarti
tanah.
Disamping itu, di dalam al-Quran terdapat pula beberapa istilah yang mengungkapkan
tentang asal kejadian manusia antara lain sebagai berikut:
1. Turaab (‫ب‬ ٍ ‫ َرا‬2ُ‫ )ت‬yaitu tanah subur sebagaimana disebutkan dalam surat Al Kahfi
[18]:37.
2. Tiin, yaitu tanah liat (‫)ط ْي ٍن‬ ِ sebagaimana firman Allah dalam surat As-Sajadah [32]:7.
3. Tiinul Laazib (‫ب‬ ٍ ‫)ط ْي ٍن اَل ِز‬
ِ yaitu tanah liat dan kuat yang pekat sebagaimana disebut
dalam surat Ash-Shaffaat [37]:11.
4. Shalshalun (‫ار‬ ِ ‫ا ِل َك ْالفَ َّخ‬22‫ص‬
َ ‫)ص ْل‬
َ yaitu tanah kering seperti tembikar surat Al-Rahman
[55]:14. Citra di ayat ini menunjukkan bahwa manusia dimodelkan.
5. Shalshalin min Hamain Masnuun (‫صا ٍل ِم ْن َح َما ٍء َم ْسنُوْ ٍن‬ َ ‫ص ْل‬
َ ) yaitu tanah liat kering dari
lumpur yang dicetak/dibentuk sebagaimana disebut dalam surat Al-Hijr [15]: 26.
6. Sulalatun min tiin (‫ )سُاللَ ٍة ِم ْن ِطي ٍْن‬yaitu dari sari pati tanah liat. Sulaalat berarti sesuatu
yang disarikan dari sesuatu yang lain sebagaimana disebutkan dalam surat Al-
Mukminun [23]:12.
7. Air (‫ا ِء‬222‫ )اَ ْل َم‬yang dianggap sebagai asal usul seluruh
kehidupan sebagaimana disebut dalam surat Al-Furqaan [25]:54. Penjelasan yang agak
rinci tentang penciptaan manusia terdapat dalam surat Al-Mukminun ayat 12-14:
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.
Kemudian dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan pula bahwa proses
perubahan dari nuthfah ke ‘alaqah selama 40 hari, dari ‘alaqah ke mudghah selama 40
hari, dan dari mudghah ke ‘izham selama 40. Setelah itulah ditiupkan ruh ke dalamnya
sehingga menjadi makhluk sempurna yang dinamai dengan janin.

Ayat dan hadis tersebut menjelaskan tentang asal sekaligus proses penciptaan manusia
dari “sulalatin min thin” (saripati tanah). Kata sulalatin dapat diartikan dengan hasil akhir dari
sesuatu yang disarikan, sedangkan thin berarti tanah. Pada tahap berikutnya saripati tanah
berproses menjadi nuthfah (air mani). Kata nuthfah berarti air yang telah bercampur (setelah
terjadi pembuahan antara spermatozoa dengan ovum). Posisi nuthfah ini berada pada tempat
yang terpelihara dan kokoh yaitu rahim.
Pada ayat 14 ini dijelaskan tentang tahapan reproduksi manusia setelah nuthfah.
Perubahan nuthfah secara berurut menjadi ‘alaqah, mudhghah, ‘izham, lahm dan
khalqan akhar (makhluk lain/manusia sempurna). ‘Alaqah memiliki dua pengertian,
pertama darah yang mengental sebagai kelanjutan dari nuthfah dan kedua sesuatu yang
menempel di dinding rahim. Pengertian pertama dipahami dari segi bentuk atau materi
perubahan setelah nutfah sedangkan yang kedua dari segi posisinya. Mudhghah berarti
segumpal daging yang merupakan proses penciptaan manusia sebagai kelanjutan dari
‘alaqah. Daging tersebut masih belum berbentuk sampai akhirnya diberi kerangka
dengan proses berikutnya yaitu ‘izham (tulang-belulang). Izham (tulang-belulang)
selanjutnya dibalut dengan lahm (daging atau otot). Pada fase ini sudah mulai
menampakkan bentuk bagian-bagian tubuh. Fase ini sampai pada pencapaian
kesempurnaan bentuk manusia yang disebut dengan khalqan akhar, berarti ciptaan baru
yang jauh berbeda dengan keadaan dan bentuk sebelumnya.

1. Ruh dan nafs


Ruh adalah salah satu komponen penting yang menentukan ciri kemanusiaan
manusia. Allah meniupkan ruh tersebut setelah selesainya proses penciptaan fisik.
Dijelaskan dalam surat Shaad [38]:71-72, “Dan telah Aku tiupkan padanya ruh
(ciptaan)Ku”. Mengenai hakikat ruh merupakan misteri besar yang dihadapi oleh
manusia. Secara jelas dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa yang mengetahui hakikat ruh
hanyalah Allah SWT. Hal ini menjadi bukti tentang keterbatasan ilmu yang dimiliki
oleh manusia karena sampai saat ini masih belum ada dan bahkan tidak akan pernah
ada manusia yang mampu mengungkap hakikat ruh tersebut. Pernyataan ini
dikemukakan oleh Allah dalam Q.S. al-Isra’ [17]:85, “Dan mereka bertanya kepadamu
tentang ruh, katakanlah ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi
pengetahuan kecuali hanya sedikit”.
Kata nafsu yang biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari bahasa Indonesia
meskipun pinjaman dari kata Arab tidak sepenuhnya sama pengertiannya dengan kata
nafs yang banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Istilah al-nafs ( ُ‫ )النَ ْفس‬banyak disebutkan
dalam Al-quran, meskipun termasuk dalam wilayah abstrak yang sukar dipahami,
istilah tersebut mengandung pengertian yang sangat erat kaitannya dengan aspek fisik
manusia. Gejolak al-nafs dapat dirasakan menyebar keseluruh bagian tubuh manusia
karena tubuh manusia merupakan kumpulan dari bermilyar-milyar sel hidup yang
saling berhubungan. Al-nafs bekerja sesuai dengan bekerjanya sistem biologis manusia.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Az-Zumar [39]:42:
“Allah memegang nafs (jiwa) orang ketika matinya dan (memegang) jiwa
orang yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa orang yang
telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai
waktu yang ditentukan…”.
Dalam kenyataannya fisik dan jiwa (nafs) itu, keduanya dapat menjalin
interrelasi sebab-akibat. Kesedihan dapat menyebabkan mata mengeluarkan cairan,
kesengsaraan membuat badan kurus. Dikenal pula istilah psikosomatik, yaitu penyakit-
penyakit fisik yang disebabkan oleh masalah kejiwaan. Perpisahan antara al-nafs
dengan fisik disebut maut dan ini adalah peristiwa yang paling misterius dalam
kehidupan manusia sebelum ia menjumpai peristiwa-peristiwa lainnya di dunia yang
lain pula (Al-An’aam [6]:93). Karena itu, setiap kata yang terbentuk dari huruf yang
tiga (‫س‬-‫ف‬-‫ )ن‬sehingga terbentuk kata nafs di dalam bahasa Indonesia selalu
mengandung makna-makna yang ada hubungannya dengan kehidupan seperti kata
nafas, nafsu, nifas dan manfus.
2. Fitrah Manusia
Kata fitrah merupakan derivasi dari kata “fatara”, artinya ciptaan, suci dan
seimbang. Louis Ma’luf dalam kamus Al-Munjid (1980-120). Al-Qur’an menyebutkan
bahwa fitrah adalah sifat yang ada dalam setiap diri manusia. Fitrah tersebut adalah
sifat alami manusia, agama, sunnah. Sedangkan menurut Imam Al-Maraghi (1974:200)
fitrah adalah kondisi di mana Allah menciptakan manusia yang menghadapkan dirinya
kepada kebenaran dan kesiapan untuk menggunakan pikirannya. Dengan demikian arti
fitrah dari segi bahasa dapat diartikan sebagai kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi
awal manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada
kebenaran (hanif) (Surat Al-Rum [30]:30)
Kata fitrah dalam arti penciptaan tidak hanya dikaitkan dengan arti penciptaan
fisik, melainkan juga dalam arti rohaniah, yaitu sifat-sifat dasar manusia yang baik
karena fitrah itu disebutkan dalam konotasi nilai. Lahirnya fitrah sebagai nilai dasar
kabaikan manusia itu dapat dirujuk pada surat Al-A’raf [7]:172. Ayat tersebut
merupakan penjelasan dari fitrah yang berarti hanif (kecendrungan kepada kebaikan)
yang dimiliki manusia karena terjadi proses persaksian sebelum ia dikirim ke muka
bumi. Persaksian ini merupakan proses fitriah manusia yang selalu memiliki kebutuhan
terhadap agama (institusi yang menjelaskan tentang Tuhan), karena itu dalam
pandangan ini manusia di anggap sebagai makhluk relegius. Ayat di atas juga menjadi
dasar bahwa manusia memiliki potensi baik sejak awal kelahirannya. Ia bukan makhluk
amoral, tetapi memiliki potensi moral. Juga bukan makhluk yang kosong seperti kertas
putih sebagaimana yang dianut para pengikut teori tabula rasa. Pontensi fisik manusia
telah dijelaskan pada bagian yang lalu, sedangkan potensi rohaniah adalah akal (‘aql),
qalbu (qalb) dan nafsu (syahwat). Akal dalam pengertian bahasa Indonesia berarti
pikiran, atau rasio. Harun Nasution (1986) menyebut akal dalam arti asalnya (bahasa
Arab), yaitu menahan, dan orang berakal di zaman jahiliah yang dikenal dengan darah
panasnya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam
mengatasi masalah yang dihadapinya. Kata aqlun juga mengandung arti mengikat
karena dengan adanya akal itulah tindakan manusia bisa terkontrol/terkendali.
C. Tujuan Penciptaan Manusia

Tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT


(ibadah). Hal ini biasa dipahami dari surat Al-Dzariyat [51]:56, “Tidaklah Aku
menciptakan manusia melainkan supaya mereka menghambakan diri (mengabdi)
kepada Ku”. Namun sebagian ulama mengatakan bahwa tujuan hidup manusia
bukanlah untuk mengabdi melainkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
sebagaimana dipahami dari surat Al-Baqarah [2]:201. Manusia mengabdi kepada Allah
Swt adalah untuk mendapatkan keridhaanNya agar tercapai kebahagiaan hidupnya
dunia dan akhirat. Sedangkan inti dari pengabdian (ibadah) itu ialah kepatuhan dan
ketundukan atas segala hukum dan aturan Allah (syari’ah). Adapun semua tujuan-
tujuan kecil yang lain tunduk dan di dalam lingkaran tujuan tertinggi pengabdian
tersebut. Penciptaan manusia sebagai pengabdi dipahami dengan kepatuhan,
ketundukan dan pengabdiannya kepada Allah. Jadi, semua aktivitas hidup yang
dilakukan oleh seorang manusia yang dilandasi dengan sikap ketundukan jiwa terhadap
Sang Khalik merupakan ibadah. Bagaimana konsep ibadah di dalam Islam akan
dijelaskan pada tema Syari’ah.
Ibadah yang dilakukan manusia didasari oleh kebutuhan terhadap Allah SWT,
karena manusia diciptakan, diatur, dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu,
ibadah atau penyembahan harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, karena Allah
tidak membutuhkan sedikit pun kepada manusia termasuk ritual-ritual
penyembahannya. Keikhlasan manusia dalam melaksanakan ibadah merupakan nilai
tertinggi dalam pengabdian yang dilakukan. Tuntutan pelaksanaan ibadah dengan
ikhlas ini dijelaskan oleh Allah dalam Q.S. Al-Bayyinah [98]:5.
D. Tugas dan Fungsi Manusia sebagai Khalifah di Muka Bumi

Manusia memiliki peranan di muka bumi sebagai khalifah. Khalifah berarti


pemimpin, wakil, pengelola dan pemelihara. Tentang fungsi manusia sebagai khalifah
ini diungkapkan secara dramatis dalam bentuk sebuah dialog singkat antara Allah dan
para malaikat-Nya seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah [2]:30. Dialog yang
menyiratkan beberapa makna antara lain yaitu: (1) manusia adalah pengemban amanah
kekhalifahan di muka bumi, (2) manusia selain punya keunggulan juga memiliki sifat
lemah yang harus diisi dan diperbaiki yakni sering dipengaruhi hawa nafsunya dalam
bertindak untuk mencapai keinginannya sehingga terseret kepada perilaku negatif
seperti merusak dan bertumpahan darah. Namun Allah tetap menyerahkan amanah-
Nya kepada manusia bukan kepada malaikat sebagai makhluk yang suci. Sebab
manusia memiliki keunggulan yang tidak diberikan kepada malaikat yakni nafsu
(syahwat). Dengan adanya nafsu manusia memilki keinginan dan motivasi untuk maju
dan berkembang. Manusia juga memilki keunggulan atas hewan yakni kemampuan
berpikir (akal). Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa dalam diri manusia terdapat
potensi-potensi kemalaikatan dan juga potensi kehewanan. Justru di sinilah manusia
harus berjuang agar selalu memupuk potensi kemalaikatan yakni kesucian dan
menghindari akibat buruk dari potensi kehewanan yang cenderung tidak mengenal
aturan untuk memelihara dan mempertahankan harkat dan martabat dirinya sebagai
makhluk sempurna. Khalifah berarti wakil atau pemegang mandat Allah untuk
mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia
itu bersifat kreatif yang memungkinkan dirinya untuk mengolah serta mendayagunakan
apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya. Segala yang dihasilkan
manusia dalam konteks sebagai khalifah dilandasi dengan ketundukan dan ketaatan
kepada Allah SWT. Ketundukan dan ketaatan ini tidak lain adalah refleksi dari fungsi
penciptaan sebagai khalifah yang diberikan oleh Allah dan akan
dipertanggungjawabkan oleh manusia. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT Q.S.
Faathir [35]:39.
Peranan manusia sebagai khalifah juga dipahami sebagai makhluk yang bertugas
mengurus dan menjaga alam dengan baik agar terciptanya kehidupan yang baik bagi
semua makhluk Allah atau penyebar rahmat sebagaimana dijelaskan Allah dalam Q.S.
Al-Anbiya’ [21]:107. Adapaun tugas dan fungsi pokok (Tupoksi) kekhalifahan itu
terangkum dalam Lima–Me yakni memahami, menguasai, memanfaatkan, memelihara
dan melestarikan alam. Amanah kekhalifahan itu akan dipertanggungjawabkan di suatu
saat kepada Allah Swt.

Tugas-tugas:
1. Jelaskan pengertian manusia menurut Al-Quran!
2. Apa yang dimaksud dengan manusia diciptakan dari saripati tanah?
3. Sebutkanlah bunyi ayat yang menyatakan bahwa Allah yang meniupkan ruh manusia!
4. Jelaskanlah apa yang anda ketahui tentang fitrah manusia!
5. Jekaskanlah tugas dan fungsi pokok manusia sebagai khalifah Allah di bumi !

Buku sumber:
Depag RI. 1998. Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Toha Putra Semarang

Tim Dosen PAI UNP. 2017. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi Umum, Padang:
UNP Press

Anda mungkin juga menyukai