Anda di halaman 1dari 4

LOG BOOK FILARIASIS

KELOMPOK 2
1. EKA SUSANTI
2. ENGAT SHOFIA YULTHI
3. GHEA NUR SHABRINA
OLEH : 4. GUSTI AGUNG MIRAH M
5. GUSTI AYU KADE B.
6. HASNAWATI
7. HAYATI
8. HIDYA ANISA
NO
. ISI URAIAN
Lymphatic Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan
kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembekakan pada tangan, kaki, glandula
1. Definisi
mamae, dan scrotum. menimbulan kecacatan seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya (Kemenkes RI,
2014).
Pada tahun 2000, lebih dari 120 juta orang terinfeksi, dengan sekitar 40 juta cacat dan lumpuh oleh penyakit ini. Data WHO
menunjukkan filariasis menginfeksi penduduk di 83 negara, terutama darah tropis dan sub tropis. Di Indonesia, sampai tahun
2014 terdapat lebih dari 14 ribu orang menderita klinis kronis filariasis yang tersebar di semua provinsi. secara epidemiologi
lebih dari 120 juta penduduk indonesia berada di daerah yang beresiko tinggi tertular filariasis. sampai akhir tahun 2014
2. Epidemiologi terdapat 235 Kabupaten/kota endemis filariasis, dari total 511 Kbaupaten/Kota di Indonesia. pada tahun 2018, terdapaat 10.681
kasus filariasis yang tersebar di 34 Provinsi. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. hal ini karena
beberapa kasus dilaporkan meninggal dunia dan adanya perubahan diagnosis setelah dilakukan konfirmasi kasus klinis kronis
yang dilaporkan tahun sebelumnya. lima provinsi dengan kasus kronis filariasis terbanyak adalah Papua, Nusa Tenggara
Timur, Jawa Barat, Papua Barat, dan Aceh (WHO, 2019, Kemenkes RI, 2019).
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga species cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori
3. Etiologi
(Kemenkes RI, 2019).
4. Patogenensis Siklus hidup parasit filaria melalui 5 tingkat perkembangan larva, tiga pada hospes perantara yaitu nyamuk dan dua pada
manusia. Masing-masing tingkat perkembangan ditandai dengan adanya pertumbuhan dan pertukaran kulit. Cacing betina
dewasa dapat menghasilkan 50.000 mikrofilaria setiap hari. Apabila mikrofilaria termakan oleh nyamuk yang cocok, segera
menembus dinding lambung nyamuk dan berpindah melalui jaringan sehingga mencapai sel yang cocok untuk
perkembangannya. Seperti larva W.bancrofti, hanya akan berkembang pada otot dada nyamuk. Dalam waktu 12 hari, terbentuk
mikrofilaria yang halus dengan panjang 250 mm, kemudian berubah menjadi larva tingkat tiga yang infektif dengan panjang
1500 mm. Pada saat ini nyamuk menjadi infektif dan bila menggigit manusia, larva yang infektif akan menembus kulit di
tempat gigitan dan dengan cepat akan sampai ke saluran limfe, dalam beberapa bulan akan mengalami dua kali pergantian
kulit sebelum menjadi dewasa. Tidak ada multiplikasi cacing filaria pada manusia, sehingga banyaknya cacing dan beratnya
infeksi secara proporsional bergantung kepada banyaknya larva yang infektif. Keadaan ini biasanya terjadi dalam waktu yang
lama. Jadi kronisitas dan komplikasi elephantiasis pada lymphatic filariasis dan kebutaan pada onchocerciasis hanya terlihat
pada orang yang tinggal di daearah endemik dalam waktu yang lama. Larva yang infektif (larva tingkat tiga) dilepaskan
melalui proboscis (labela) nyamuk sewaktu menggigit manusia. Larva kemudian bermigrasi dalam saluran limfe dan kelenjar
limfe kemudian mereka akan tumbuh menjadi dewasa betina dan jantan. Mikrofilaria pertama sekali ditemukan di darah
perifer 6 bulan – 1 tahun setelah infeksi, dan jika tidak terjadi reinfeksi, mikrofilaremia ini dapat bertahan 5–10 tahun. Pejamu
perantara mendapatkan infeksi dengan menghisap darah yang mengandung mikrofilaria. Mikrofilaria akan melepaskan
sarungnya di dalam lambung nyamuk (Gambar 2). Larva akan bermigrasi ke otot-otot dada dan berkembang menjadi larva
yang infektif dalam waktu 10–14 hari.
Respon imunologis terhadap infeksi parasit filaria ditandai dengan induksi respons tipe alergi, terlihat peningkatan jumlah
eosinofil pada darah tepi dan peningkatan IgE spesifik, IgG4 dan IL-4. Respons imunitas selular juga berkembang pada orang
yang tinggal di daerah endemik filariasis, sehingga keadaan ini berperan untuk menekan timbulnya gejala klinis pada sebagian
orang.
Manifestasi klinis filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah endemik dangan daerah endemik lainnya. Perbedaan ini
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan intensitas paparan terhadap vektor yang infektif diantara daerah endemik tersebut.
Asymptomatic amicrofilaremia, adalah suatu keadaan yang terjadi apabila seseorang yang terinfeksi mengandung cacing
dewasa, namun tidak ditemukan mikrofilaria di dalam darah, atau karena mikrofilaremia sangat rendah sehingga tidak
terdeteksi dengan prosedur laboratorium yang biasa. Asymptomatic microfilaremia, pasien mengandung mikrofilaremia yang
berat tetapi tanpa gejala sama sekali.
Manifestasi akut, berupa demam tinggi (demam filarial atau elefantoid), menggigil dan lesu, limfangitis dan limfadenitis
yang berlangsung 3-15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun. Pada banyak kasus, demam filarial tidak
menunjukkan mikrofilaremia. Limfangitis akan meluas ke daerah distal dari kelenjar yang terkena tempat cacing ini tinggal.
Limfadenitis dan limfangitis berkembang lebih sering di ekstremitas bawah dari pada atas. Selain pada tungkai, dapat
mengenai alat kelamin (tanda khas infeksi W.bancrofti) dan payudara.
Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran limfe terjadi beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari
episod akut. Gejala klinis bervariasi mulai dari ringan sampai berat yang diikuti dengan perjalanan penyakit obstruksi yang
kronik. Tanda klinis utama yaitu hydrocele, limfedema, elefantiasis dan chyluria, meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.
Manifestasi genital, di banyak daerah, gambaran kronis yang terjadi adalah hydrocele. Selain itu dapat dijumpai epididimitis
kronis, funikulitis, edem karena penebalan kulit skrotum, sedangkan pada perempuan bisa dijumpai limfedema vulva.
Limfedema dan elefantiasis ekstremitas, episod limfedema pada ekstremitas akan menyebabkan elefantiasis di daerah saluran
limfe yang terkena dalam waktu bertahun-tahun. Lebih sering terkena ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti, infeksi di daerah
paha dan ekstremitas bawah sama seringnya, berbeda dengan B.malayi yang hanya mengenai ekstremitas bawah saja
(Kemenkes RI, 2019).
5. Diagnosis
Anamnesis Sebagian besar filariasis merupakan asimtomatik. Gejala yang timbul biasanya berbeda-beda bergantung dari masing-masing
spesies filaria.
Filariasis Limfatik (Kaki Gajah)
Gejala khas pada filariasis limfatik atau kaki gajah adalah limfedema berat pada kaki yang diikuti dengan penebalan kulit dan
hilangnya fungsi dari area yang terkena. Gejala lain pada filariasis limfatik atau kaki gajah adalah:
Demam filarial: demam, rigor dan tremor yang bertahan selama 1 – 3 jam, muntah
Limfangitis dan limfadenitis: Nyeri dan eritema di kelenjar limfe yang terinfeksi
Limfedema: Pembengkakan pembuluh limfe, di satu ekstremitas dan atau pada ekstremitas bawah. Dapat disertai rasa
nyeri
Hidrokel: Pembengkakan skrotum, dapat didahului dengan funikulitis
Dermatolimfangiadenitis akut: Nyeri pada daerah yang terkena, demam, menggigil, nyeri kepala, dan muntah
Kiluria: Bocornya cairan limfe ke urine sehingga urine berwarna putih susu
Eosinofilia pulmoner tropis: Batuk, sesak napas, suara napas mengi, dan nyeri dada

Onchocerca volvulus
Gejala filariasis yang disebabkan oleh onchocerca volvulus  adalah kulit gatal dan ruam yang biasanya terkonsentrasi pada satu
ekstremitas. Selain itu, dapat ditemukan perubahan warna kulit, adanya nodul di bawah kulit, hilangnya elastisitas kulit,
gangguan penglihatan, dan pembengkakan kelanjar getah bening yang tidak nyeri.
Loa loa
Filariasis yang disebabkan oleh Loa loa dapat menimbulkan gejala berikut:
Pembengkakan Calabar: Pembengkakan non-pitting, tidak nyeri, di area subkutan dan dapat disertai rasa gatal,
biasanya ditemukan di ekstremitas dan dapat menyebabkan restriksi pergerakan sendi. Adanya cacing dewasa di mata:
kongesti di mata, gatal, dan fotofobia. Gatal, urtikaria, nyeri otot, nyeri sendi, rasa lelah

Pemeriksaan fisik filariasis meliputi pemeriksaan kelenjar getah bening umum, serta pemeriksaan testis dan tes transiluminasi
untuk menilai adanya hidrokel. Penting untuk memeriksa entry lesions infeksi pada lipatan kulit limfedema untuk mencegah
ADLA.
Pemeriksaan Fisik Limfedema dan Elephantiasis
Pemeriksaan fisik limfedema dan elephantiasis perlu dilakukan penilaian staging deformitas berdasarkan rekomendasi WHO:
Pemeriksaan 1. Stadium 1 : Limfedema bersifat reversibel semalam
Fisik 2. Stadium 2 : Limfedema ireversibel, kulit masih tampak normal
3. Stadium 3 : Limfedema ireversibel, terdapat penebalan lipatan dangkal pada kulit
4. Stadium 4 : Limfedema ireversibel disertai dengan benjolan dan cekungan pada kulit
5. Stadium 5 : Limfedema ireversibel dengan lipatan yang dalam (dasar lipatan dapat terlihat jika dipisahkan dengan jari)
6. Stadium 6 : Limfedema ireversibel dengan kaki tampak sangat besar dan berbenjol-benjol / mossy foot
7. Stadium 7 : Limfedema ireversibel yang menyebabkan kesulitan melakukan pekerjaan sehari-hari
Pemeriksaan 1. Diagnosis Parasitologi yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada
Laboratorium pemeriksaan sediaan darah tebal
2. Pemeriksaan Radiodiagnosis dengan ultrasonografi ( USG) pada skrotoum dan kelenjar getah bening inguinal akan
memberikan gambaran cacing yang bergerak- gerak.
3. Diagnosis Imunologi dengan menggunakan tekhnik ELISA dan immune chromatographic (ICT) menggunakan
antibodi monoklonal yang spesifik untuk mendeteksi antigen w. bancrofti.

Metode standar untuk mendiagnosis infeksi aktif adalah identifikasi mikrofilaria dalam apusan darah dengan pemeriksaan
mikroskopis. Mikrofilaria yang menyebabkan filariasis limfatik bersirkulasi dalam darah pada malam hari (disebut periodisitas
nokturnal). Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari bertepatan dengan munculnya mikrofilaria, dan apusan tebal
harus dibuat dan diwarnai dengan Giemsa atau hematoxylin dan eosin. Untuk meningkatkan sensitivitas, teknik konsentrasi
dapat digunakan.

Teknik serologi memberikan alternatif untuk deteksi mikroskopis mikrofilaria untuk diagnosis filariasis limfatik. Pasien
dengan infeksi filaria aktif biasanya memiliki peningkatan kadar IgG4 antifilaria dalam darah dan ini dapat dideteksi dengan
menggunakan tes rutin (CDC, 2021).
Pada kasus yang pernah dilaporkan, gambaran darah pada penderita filariasis antara lain mengalami anemia ditandai dengan
Interpretasi
penurunan kadar Hb, mengalami leukositosis (sel dominan neutrofil), kadang mengalami eosinofilia, dan mengalami
Hasil
trombositopenia. Gambaran sel darah merah lebih sering mengalami anemia normositik hipokromik dan terkadang makrositik
Laboratorium
hipokromik (Garg, et al, 2019)
Pengobatan filariasis adalah dietilkarbamasin (DEC), suatu derivat piperazin. Dietilkarbamasin (Hetrazan, Banocide,
Notezine, Filarizan) dengan cepat membunuh mikrofilaria dan sebagian cacing dewasa W.bancrofti dan B.malayi secara in
vivo. Dietilkarbamasin tidak aktif secara in vitro terhadap spesies Brugia. Dosis 6 mg/kgBB/oral selama 10-14 hari (dosis
kumulatif 72 mg/kgBB), dapat mengurangi mikrofilaria sampai 80-90% dalam beberapa hari. Kadar mikrofilaria akan
bertahan dalam jumlah sedikit lebih dari 6-12 bulan. Efek samping seperti demam, nyeri kepala, mialgia, muntah, lemah dan
6. Penatalaksanaan asma, biasanya disebabkan oleh karena destruksi mikrofilaria dan kadang-kadang oleh cacing dewasa, terutama pada infeksi
berat. Gejala ini berkembang dalam 2 hari pertama, kadang-kadang dalam 12 jam setelah pemberian obat dan bertahan 3-4
hari. Dietilkarbamasin tidak dianjurkan pada perempuan hamil. Obat lain yang juga aktif terhadap mikrofilaria adalah
ivermectin (Mectizan) dan albendazol. Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria, tetapi dapat diberikan dengan dosis
tunggal 400 g/kgBB. Bila ivermectin dosis tunggal digabung dengan DEC, menyebabkan hilangnya mikrofilaria lebih
cepat. Akhir-akhir ini diketahui bahwa albendazol 400mg dosis tunggal lebih efektif dari pada ivermectin.
Strategi Eliminasi Filariasis sesuai dengan lampiran Permenkes RI no.94 tahun 2014 adalah sebagai berikut :
1. Memutus rantai penularan filariais dengan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) filariasis di
kabupaten/kota endemis filariasis.
2. Mencegah dan membataasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis.
3. Pengendalian vektor secara terpadu.
4. Memperkuat surveilans, jejaring laboratorium, dan mengembangkan penelitian.
7. Pencegahan 5. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara, terutama dalam rangka memutus rantai penularan filariasis.

Selain itu dapat juga dilakukan upaya pencegahan lain, yaitu :


1. Menggunakan obat anti nyamuk
2. Menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri.
3. Menggunakan pakaian tertutup untuk mencegah tergigit nyamuk.
(Kemenkes RI, 2019).

Anda mungkin juga menyukai