Anda di halaman 1dari 190

1

Bagian I. DASAR MEKANIKA FLUIDA


Mekanika Kontinum 2

BAB

1
Mekanika Kontinum

1.1 Pendahuluan

Tujuan utama dari bab ini adalah menurunkan persamaan-persamaan dasar yang
menjelaskan gerak dari sebuah ‘benda’ solid atau fluida dari prinsip-prinsip dasar fisika.
Dalam ilmu mekanika, gerak sebuah ‘benda kaku (rigid)’ dijelaskan atau diprediksikan
dengan menggunakan hukum Newton ke dua. Berbeda dengan ‘benda rigid’ di mana
tidak terdapat ‘gerakan relatif’ di antara bagian-bagian dari benda tersebut, ‘benda’ yang
akan dipelajari ini terdiri dari bagian-bagian yang dapat bergerak secara relatif.

‘Benda rigid’ ‘Benda yang akan dipelajari’

Di bawah ini adalah beberapa cara yang mungkin dipakai untuk mendapatkan
persamaan-persamaan yang menjelaskan gerak di ‘benda’ tersebut :
1. Dinamika molekuler (Molecular Dynamics):
Dalam metoda ini ‘benda’ dianggap terdiri dari molekul-molekul yang gerakannya
diatur oleh hukum Newton kedua. Metoda ini adalah metoda yang paling tepat
Mekanika Kontinum 3

untuk digunakan karena setiap benda terdiri dari molekul-molekul. Namun, metoda
ini sulit diterapkan karena alasan-alasan sebagai berikut

d 2 xi
Fi = mi
dt

x i (t o ), x i (t o ) kondisi awal

Untuk menyelesaikan persamaan di atas dibutuhkan kondisi awal dari molekul i.


Untuk sebuah molekul, diperlukan enam kondisi awal (tiga posisi awal dan tiga
kecepatan awal). Untuk menjelaskan gerak sebuah benda yang terdiri dari N
molekul, dibutuhkan 6N kondisi awal. Namun untuk satu mol gas, misalnya,
terdapat sekitar 1020 molekul. Jadi tidak mungkin kita mengetahui kondisi awal dari
molekul-molekul yang membentuk benda tersebut. Sehingga persamaan di atas
tidak dapat diintegrasikan. Kesimpulan : walaupun metoda ini merupakan metoda
yang paling tepat untuk memodelkan ‘benda’ yang akan dipelajari, namun metoda
ini sangat sulit untuk diterapkan.

2. Mekanika Statistik :
Metoda ini menggunakan prinsip-prinsip statistik dan teori kemungkinan untuk
mengatasi persoalan banyaknya kondisi awal yang perlu diketahui, seperti yang
dijelaskan di atas. Dalam metoda ini sifat-sifat ‘benda’ dijelaskan dengan
menggunakan f: ‘statistical distribution function’ yang didefinisikan sebagai berikut.
f = f ( x1 ,..., x n ; P1 ,..., Pn ; t ) Pi : momentum i

fdx1 ...dx n dP1 ...dPn = kemungkinan molekul-molekul dalam sistem mempunyai


koordinat dan momentum antara xi, Pi dan xi + dxi, Pi + dPi (kemungkinan molekul
satu mempunyai koordinat antara x1 dan x1 + dx1 dan momentum antara P1 dan P1 +
dP1, molekul dua mempunyai koordinat antara x2 dan x2 + dx2 dan momentum
antara P2 dan P2 + dP2, … dan seterusnya).
Mekanika Kontinum 4

Evolusi dari f sendiri dijelaskan dengan persamaan


df ( x1 ,..., x n ; P1 ,..., Pn ; t )
=0 (Teorema Louiville)
dt
Fungsi distribusi f dapat digunakan untuk menghitung nilai rata-rata seperti,
1
n = ∫ fdv , v = u =
n∫
fvdv .

Nilai-nilai seperti n dan v ≡ u adalah nilai makroskopik atau nilai yang dapat diukur
secara langsung. Persamaan-persamaan makroskopik didapatkan dari persamaan
Louiville (mengambil ‘moment’ dari persamaan diatas) yaitu dengan mengalikan
persamaan Liouiville dengan vn (n = 0, 1, 2) kemudian mengintegrasikan hasilnya.
Namun, karena f merupakan fungsi dari seluruh molekul yang ada dalam sistem,
persamaan yang didapat sangatlah kompleks dan sulit untuk diintegrasikan.

Namun, untuk kasus ‘low density gas’ di mana interaksi antara molekul-molekul
dapat diabaikan sehingga f = f ( x, v) (f hanya fungsi dari koordinat dan kecepatan
dari sebuah molekul), persamaan yang didapat menjadi lebih sederhana. Persamaan
yang didapat disebut ‘persamaan Boltzmann’. Namun, sekali lagi persamaan ini
hanya dapat diterapkan untuk kasus ‘low density gas’.

3. Mekanika Kontinum (Continuum Mechanics)


Metoda ini adalah metoda yang akan kita pergunakan. Dalam metoda ini struktur
molekul dari zat atau ‘benda’ diabaikan dan ‘benda’ dianggap sebagai suatu
kesatuan yang kontinyu yang bagian-bagiannya dapat bergerak secara relatif.

Yang dimaksud dengan kontinyu disini adalah benda tersebut merupakan suatu
kesatuan apabila dilihat secara makroskopik. Contohnya adalah sebuah papan tulis
atau sekumpulan gas. Kita ketahui bahwa papan tulis yang dibuat dari kayu,
misalnya, terbentuk dari kumpulan molekul-molekul yang terpisah-pisah (diskrit).
Namun, mata kita tidak melihat kenyataan tersebut. Apa yang kita lihat adalah
suatu kesatuan yang kontinyu. Demikian pula dengan sekumpulan gas. Gas
tentunya terdiri dari molekul-molekul yang terpisah-pisah, namun kita tidak
merasakan hal tersebut. Udara yang sekarang ada disekitar kita, misalnya, “terasa”
Mekanika Kontinum 5

seperti sesuatu yang kontinyu. Dengan kata lain kita tidak merasakan benturan-
benturan setiap molekul secara terpisah-pisah.

Model continuum tidak dapat diterapkan apabila ukuran dari bagian ‘benda’ yang
dipelajari hampir sama dengan dimensi karakteristik dari molekul-molekul ‘benda’
tersebut. Dimensi karakteristik yang biasa dipakai dalam gas adalah ‘mean free
path’ (Λ ) . Λ adalah jarak rata-rata yang dilalui sebuah molekul sebelum
1
bertumbukan dengan molekul lainya. Λ ≈ . Jika tekanan gas sangat rendah,
ρ
seperti di atmosfer bagian atas, Λ dapat saja sebanding dengan gas yang dipelajari
dan model kontinum tidak dapat digunakan.

1.2 Kinematika

Seperti dijelaskan di atas, model kontinum mengangap ‘benda’ sebagai sesuatu yang
kontinyu. Benda kontinum biasanya dianggap terdiri dari bagian-bagian yang disebut
‘material element’. Ukuran elemen-elemen ini sangat kecil, dari sudut pandang
makroskopik, tetapi didalamnya terdapat banyak sekali molekul sehingga walaupun
kecil elemen-elemen tersebut adalah sebuah kontinum.

Asumsi kontinum menganggap setiap titik dalam ruang yang dipelajari diduduki oleh
‘benda tersebut’. Sehingga terdapat ‘korespondensi satu-satu’ antara ruang dan benda
kontinum. Hal ini memungkinkan kita untuk menjelaskan harga dari sebuah variabel
dengan menggunakan dua sudut pandang yang berbeda. Contohnya misalkan kita
menyatakan kecepatan dari sebuah ‘material element’. Yang mempunyai kecepatan itu
adalah ‘material element’ tersebut. Tetapi karena setiap titik dalam ruang diduduki oleh
bagian dari benda kontinum, kita dapat meyatakan bahwa kecepatan dari ‘material
element’ tersebut adalah kecepatan pada sebuah titik dalam ruang yang diduduki oleh
‘materal element’ pada saat itu.
Hukum-hukum dasar fisika (seperti hukum Newton II) dituliskan untuk sebuah partikel
atau benda rigid yang seluruh elemen dari benda tersebut bergerak dengan kecepatan
Mekanika Kontinum 6

yang sama. Benda continuum yang akan kita pelajari adalah benda yang elemen-
elemennya atau bagian-bagiannya dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda (ada
gerakan relatif antarelemen-elemen di benda continuum). Oleh karena itu, kita harus
lebih berhati-hati dalam menerapkan persamaan-persamaan dasar fisika untuk benda
kontinum yang akan kita pelajari. Misalnya kita harus mengetahui apa artinya turunan
d
waktu ( ) dari sebuah benda yang bagian-bagiannya dapat bergerak dengan kecepatan
dt
yang berbeda. Hal-hal seperti itulah yang akan dibahas dalam bagian ini.

1.2.1 Sudut Pandang Lagrangian dan Eularian

Karena adanya ‘korespondensi satu-satu’ antara benda kontinum dan ruang, maka gerak
benda kontinum dapat dijelaskan sebagai berikut :

Benda kontinum, kita bayangkan, terdiri dari bagian-bagian kecil yang kita sebut
‘material element’. Material element ini kita beri label ζ. Karena adanya
korespondensi satu-satu maka ada ‘mapping’ χ yang menghubungkan setiap ‘material
element’ ζ dengan setiap titik x dalam ruang. Sehingga dapat kita nyatakan :
x = χ (ζ ) dan ζ = χ −1 ( x)
Artinya : titik x dalam ruang adalah titik yang diduduki oleh partikel ζ dan ζ adalah
material element yang berada di titik x dalam ruang.

Apabila kita perkenalkan sebuah sistem koordinat seperti di atas maka kita dapat
tuliskan persamaan di atas sebagai berikut :
x = χ (ζ ) , ζ = χ −1 ( x)
Mekanika Kontinum 7

Artinya : posisi x dalam ruang adalah posisi yang diduduki oleh partikel ζ dan ζ adalah
material element yang berada di posisi x dalam ruang.

Gerak dari benda kontinum adalah :


x = χ (ξ , t ) dan ξ = χ −1 ( x, t )

hubungan diatas menjelaskan dimana posisi ( x ) dari ξ pada waktu t atau ξ adalah

partikel/material element yang berada di posisi x pada waktu t.

Posisi awal dari partikel ξ ( ξ ) dapat pula kita gunakan untuk alternatif penulisan

persamaan di atas,
x = χ (ξ , t ) (2.1)

ξ = χ −1 ( x , t ) (2.2)
Persamaan (2.1) menjelaskan deformasi dari sebuah material element yang awalnya
berada di posisi ξ sedang (2.2) adalah menelusuri posisi awal dari material element

yang yang pada waktu t berada di posisi x .


−1
Asumsi : Dengan adanya χ maka kita asumsikan bahwa gerakan benda kontinum

adalah gerakan yang kontinyu dan “single valued” (material element tidak
dapat dipecah dan menempati 2 tempat yang berbeda juga 2 material element
berbeda tidak dapat menempati posisi yang sama).

Persamaan (2.1) dan (2.2) menjelaskan 2 sudut pandangan berbeda yang dapat kita
gunakan dalam mempelajari mekanika benda kontinum. Apabila kita gunakan (2.1) kita
mengikuti gerak dari sebuah material element yang kita beri label ξ . Sudut pandang ini

disebut sudut pandang Lagrangian. Sudut pandang seperti inilah yang digunakan
apabila kita menuliskan hukum Newton II untuk sebuah partikel/benda rigid (kita ikuti
gerakan dari partikel/benda rigid tersebut).

Sedangkan (2.2) menjelaskan sesuatu yang sama dengan (2.1) tetapi dengan
menggunakan sudut pandang yang berbeda. Disini kita perhatikan sebuah titik dan
mengamati “material element” yang berada dititik tersebut pada waktu t. Untuk
Mekanika Kontinum 8

mengamati gerakan dari benda kontinum maka kita perlu mengamati seluruh titik dalam
ruang yang pada waktu tertentu diduduki oleh bagian-bagian berbeda dari benda
kontinum. Disini variabel yang independen adalah x dan t. Sudut pandang seperti ini
disebut sudut pandang Eulerian.

Dengan persamaan (2.1) dan (2.2) kita dapat menyatakan harga dari sebuah variabel F
dengan menggunakan 2 sudut pandang yang berbeda;
F(x,t) = F[x(ξ ,t)] = F(ξ ,t)

Artinya harga variabel F diposisi x pada waktu t adalah harga F dari partikel yang

berada di x pada waktu t.

Jadi kita dapat menyatakan harga F, yang sebenarnya merupakan sesuatu yang dimiliki
oleh partikel, adalah harga disuatu posisi pada ruang. Ini dimungkinkan karena adanya
korespondensi satu-satu yang merupakan konsekuensi dari asumsi bahwa “benda”
dianggap suatu yang kontinum.

1.2.2 Turunan Material

Sekarang kita akan lihat konsekuensi dari kesamaan antara 2 sudut pandang,
Lagrangian dan Eulerian, dalam mengevaluasi turunan waktu dari sebuah kuantitas
F (ξ , t ) . Turunan waktu dari F (ξ , t ) yang diobservasi oleh pengamat yang bergerak

bersama material element ξ adalah,

dF ∂ ∂
≡ F (ξ , t ) = F ⎡ x(ξ , t ), t ⎤⎦
dt ∂t ∂t ⎣ ξ kons tan

∂F 3 ∂F ⎛ ∂xi ⎞ ∂F
= +∑ ⎜ ⎟ = + ( u ⋅∇ ) F
∂t i =1 ∂xi ⎝ ∂t ⎠ξ ∂t

⎛ ∂x ⎞
Di mana u = ⎜ ⎟ (perubahan waktu dari koordinat partikel ξ ). Kuantitas F bisa
⎝ ∂t ⎠ ξ
merupakan skalar, vektor, atau tensor dengan orde yang lebih tinggi lainnya. Sekarang
kita akan menuliskan kembali hasil di atas yaitu,
Mekanika Kontinum 9

dF ∂F
= + (u ⋅ ∇ )F (2.3)
dt ∂t
Arti dari suku sebelah kiri telah dijelaskan di atas. Hukum-hukum dasar fisika biasanya
⎛d ⎞
dituliskan dengan menggunakan turunan yang mengikuti benda yang bergerak ⎜ F ⎟ .
⎝ dt ⎠

Karena kita dapat menggunakan sudut pandang lainnya (Eulerian) maka turunan
tersebut yang juga disebut “turunan material” atau “turunan substansial” dapat
dituliskan seperti dalam persamaan (2.3). Suku pertama disebelah kanan berarti
turunan waktu dari F di sebuah titik. Suku inilah mempunyai harga nol dalam kasus
Steady. Suku kedua di sebelah kanan menjelaskan perubahan waktu dari F yang
diakibatkan oleh pergerakan material element di daerah di mana terdapat ∇F .

1.2.3 Reynold Transport Theorem

Di subbagian ini, kita akan mempelajari cara untuk mengevaluasi turunan material dari
integral volume dari sebuah kuantitas F. Ini akan sangat berguna pada waktu kita
membahas dinamika benda kontinum nanti.

Untuk generalitas, kita misalkan volume dapat berubah-ubah (V=V(t)) dan juga
permukaannya bergerak dengan kecepatan v . Jadi permasalahannya adalah
d
dt V∫( t )
F ( x, t ) dV = ?

d
Kita mulai dari definisi :
dt

d lim ⎧⎪ 1 ⎡ ⎤ ⎫⎪
dt V ∫( t ) ∆t → 0 ⎪ ∆t ⎢⎣V ( t∫+ ∆t )
F ( x , t ) dV = ⎨ ⎢ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t ) dV ⎥⎬
⎩ V (t ) ⎥⎦ ⎪⎭

d lim ⎧⎪ 1 ⎡ ⎤ ⎫⎪
dt V ∫( t ) ∆t → 0 ⎪ ∆t ⎢⎣V ( t∫+∆t )
F (t ) dV = ⎨ ⎢ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t + ∆t ) dV + ∫ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t ) dV ⎥⎬
⎩ V (t ) V (t ) V (t ) ⎥⎦ ⎪⎭
Mekanika Kontinum 10

Perhatikan 2 suku terakhir di sebelah kanan


lim [F (∆t + t ) − F (t )] dV = lim [F (∆t + t ) − F (t )] dV = ∂F
∆t → 0 V ( t ) ∫ ∆t ∫
V (t )
∆t → 0 ∆t ∫
V (t )
∂t
dV

Jadi
d lim 1 ∂F
∫ F (t ) dV =
dt V ( t ) ∆t → 0 ∆t ∫
V ( t + ∆t ) −V ( t )
F (t + ∆t ) dV + ∫
V (t )
∂t
dV

Di mana,

∫ F (t + ∆t ) dV ≡ ∫ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t + ∆t ) dV
V ( t + ∆t ) −V ( t ) V ( t + ∆t ) V (t )

adalah perubahan F yang disebabkan oleh perubahan volume

Untuk mengevaluasi integral ini (disebabkan oleh perubahan V), kita perhatikan sketsa
di atas. Gambar pertama adalah volume pada waktu t dan yang kedua pada waktu
(t + ∆t ) . Gambar yang paling kanan adalah kedua volume tersebut apabila kita

tumpukkan volume V(t) “di dalam” volume V (t + ∆t ) . Perbedaan antara kedua volume
tersebut adalah daerah yang bertitik-titik dan harga volume didaerah ini adalah


V ( t + ∆t ) −V ( t )
dV . Untuk mendapatkan volume di daerah ini, kita perhatikan bagian kecil

dari daerah tersebut dan ini digambarkan di bagian bawah dalam sketsa di atas. Dari
sketsa tersebut jelaslah bahwa volume daerah tersebut adalah (v ⋅ nˆ ∆t dS ) . Dengan
demikian maka,
Mekanika Kontinum 11

lim 1 lim
∆t → 0 ∆t ∫ F (t + ∆t ) dV = ∆t → 0 ∫ F (t + ∆t ) v ⋅ nˆ dS = ∫ F (t ) v ⋅ nˆ dS
V ( t + ∆t ) −V ( t ) S (t ) S (t )

Akhirnya kita gunakan integral-integral ini dan hasilnya adalah


d ∂F ( x, t ) 
∫ F ( x, t ) dV = ∫
dt V ( t ) V (t )
∂T
dV + ∫ F ( x, t ) v ⋅ n dS
S (t )
(2.4)

Persamaan terakhir dikenal dengan sebutan Reynolds Transport Theorem.

d
dV = ∫ (v ⋅ nˆ )dS = ∫ (∇.v )dV
dt V∫( t )
Contoh: F = 1 ⇒
S (t ) V (t )

Apabila V(t) sangat kecil V (t ) → δ V (t ) maka


1 d
(δV ) = ∇ ⋅ V
δV dt

1.2.4 Deformasi benda kontinum

Di subbagian berikut ini kita akan mempelajari deformasi dari sebuah benda kontinum.
Benda kontinum adalah benda yang tidak rigid. Jadi bagian-bagian dari benda ini dapat
bergerak secara relatif. Gerak relatif ini menyebabkan terjadinya deformasi benda
kontinum. Kita akan mempelajari deformasi dan laju perubahan dari deformasi
tersebut. Ini nantinya akan berguna dalam memahami gerakan benda kontinum dan juga
dalam menentukan persamaan konstitutif yang akan kita bahas nanti.

Untuk mempelajari deformasi kita akan amati 2 atau 3 titik didalam benda kontinum
(point P dan Q atau point P,Q,dan R) sebelum dan sesudah deformasi. Nanti akan
ditunjukkan bahwa perubahan bentuk atau deformasi dijelaskan oleh sebuah matrix C .

Sedangkan ‘rate’ dari deformasi dijelaskan oleh matrix D .

Deformasi itu sendiri menyebabkan perubahan panjang dari sebuah segmen dalam
kontinum. Selain itu deformasi juga menyebabkan terjadinya perubahan sudut antara
dua segmen.
Mekanika Kontinum 12

i) Deformation Gradien Tension : F

ξ3 , x3 Q: x (ξ + dξ,t)
ε + dε
Q0 dx= dx lˆ

dξ = dξ L̂
ξ + dξ
P: x(ξ,t)
ε
P0
ξ
ξ2 , x2

ξ1 , x1

lˆ : unit vektor di arah p pada waktu t

L̂ : unit vektor di arah P • Q pada waktu t = 0

Untuk mempelajari deformasi benda kontinum, kita perhatikan 2 buah titik P dan Q di
dalam material. Pada Waktu t, titik P berada di posisi x dan Q berada di posisi x + d x .
Sedangkan pada waktu t = 0 (awalnya), titik P berada di posisi ξ, dan Q berada di posisi
ξ + d ξ . Sekarang kita akan mempelajari hubungan antara dx dan dξ, yaitu vektor yang

menghubungkan titik P dan Q pada waktu t dan t = 0. Karena PQ sangat dekat, maka
untuk menentukan posisi Q pada waktu t, maka kita dapat menggunakan ekspansi
Taylor,
∂ x (ξ , t )
x(ξ + d ξ , t ) = x(ξ , t ) +
∂ξ
⋅ dξ + θ ξ( ).
2

Sehingga,
∂ x(ξ , t )
d x = x(ξ + d ξ , t ) − x(ξ , t ) = ⋅ dξ
∂ξ
Mekanika Kontinum 13

∂ x(ξ , t )
Apabila kita definisikan F ≡ , maka
∂ξ

d x = F ⋅ dξ .

Tensor orde dua F disebut juga “Deformation Gradien Tensor”. Dengan

menggunakan invers dari F ,


−1 −1
F ⋅ d x = F F ⋅ dξ = dξ

−1 ∂ξ
di mana F =
∂x

• Stretch Ratio

Sekarang kita akan lihat bagaimana panjang dari PQ , atau panjang dari sebuah
‘material line’ berubah karena deformasi. Pertama-tama kita tuliskan dx
d x = F ⋅ d ξ = F ⋅ dξ Lˆ ( )
karena d ξ = dξ Lˆ (lihat gambar di atas!). Tetapi d x = dxlˆ sehingga,
 dξ
l = F ⋅ Lˆ
dx

Sekarang, kita cari panjang PQ pada waktu t,


   dξ 2  
(
dx = l ⋅ d x = l ⋅ F ⋅ L dξ = )dx
F⋅L ⋅ F⋅L ( )( )
2
⎛ dx ⎞  T 
⎜⎜ ⎟⎟ = L ⋅ F F ⋅ L
⎝ dξ ⎠
atau
⎛ dx ⎞
( )
λ Lˆ = Lˆ ⋅ C ⋅ L̂ di mana C ≡ F F
T
dan λ ≡ ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ dξ ⎠

Dari persaman di atas dapat dilihat bahwa λ atau rasio dari panjang PQ pada waktu t
dan t = 0, dapat dihitung apabila F diketahui.
Mekanika Kontinum 14

• Perubahan Sudut

R
R
0

dξ’ dy
P Ф
0 ө Q

P dx
Q0

d ξ ' = dξ ' Mˆ

d y = dy mˆ

Selain mengalami perubahan panjang, benda kontinum juga dapat mengalami


perubahan sudut antara 2 material line dan deformasi. Sekarang kita akan lihat
bagaimana sudut antara 2 material line ini berubah. Untuk itu, kita tampilkan sebuah

titik baru, yaitu titik R. Sudut antara PQ dan R pada waktu t adalah,

dx dy
cos θ = lˆ ⋅ mˆ = ⋅
dx dy

Namun, d x = F ⋅ d ξ dan d y = F ⋅ d ξ . Kita dapat gunakan F yang sama untuk d x


'

dan d y , karena F adalah fungsi ξ dan t atau harganya tergantung dari titik P. Dengan

demikian maka,

( F ⋅ dξ ) ( F ⋅ dξ ) = ⎛ dξ ⎞ ⋅
'
⎛ dξ ' ⎞
cos θ = lˆ ⋅ mˆ =
dx

dy

⎝ dx ⎠
(
⎟ F F ⋅⎜⎜
T

dy

⎟ )
⎝ ⎠
Lˆ ⋅ F F ⋅ Mˆ
T
⎛ dξ ⎞ ˆ T ˆ ⎛⎜ d ξ ⎞⎟ =
'
=⎜ ⎟ L ⋅ F F ⋅ M
⎝ dx ⎠ ⎝ dy ⎠ λ Lˆ λ Mˆ ( ) ( )
atau
ˆ ˆ
(
cos θ Lˆ , Mˆ = ) λL(Lˆ⋅ C) λ⋅(MMˆ )
Jadi, sama seperti perubahan panjang, perubahan sudut ditentukan oleh F .
Mekanika Kontinum 15

ii) Velocity Gradient Tensor : ∇u


Di i), kita telah pelajari deformasi dari material line. Sekarang kita akan pelajari ‘rate’
dari deformasi tersebut. Pertama-tama kita akan lihat turunan material dari F

d d ⎛ ∂ x(ξ , t ) ⎞⎟ ∂ ⎛ dx ⎞ ∂u ∂u ( x, t ) ∂u ∂ x
F= ⎜ = ⎜ ⎟= = =
dt dt ⎜⎝ ∂ξ ⎟⎠ ∂ξ ⎝ dt ⎠ ∂ξ ∂ξ ∂ x ∂ξ

d
F = ∇u F
dt

⎛ dx ⎞
• Rate Dari Perubahan Panjang ⎜ ⎟
⎝ dt ⎠

Mari kita lihat turunan material dari vektor PQ

d
dt dt
dF
dt
(
(d x ) = d (F ⋅ d ξ ) = ⋅ d ξ = ∇u F ⋅ d ξ )
Namun, karena d x = dxlˆ , maka,

(d x ) = d (dx ) lˆ + dx dl
d ˆ
dt dt dt
sehingga,

d (dx ) ˆ dlˆ
l + dx = (∇u F ) ⋅ d ξ (D.B. 1)
dt dt

d (dx )
Sekarang kita cari , dan ini kita dapatkan dengan mengambil dot product
dt
persamaan di atas,

d (dx ) dlˆ
+ dx ⋅ lˆ = lˆ ⋅ (∇u F ) ⋅ d ξ = lˆ ⋅ ∇u ⋅ d x = lˆ ⋅ ∇u ⋅ lˆdx
dt dt

karena lˆ ⋅ lˆ = 1 maka

dt
( )
d ˆ ˆ dlˆ dlˆ
l ⋅ l = 2lˆ = 0 atau lˆ = 0
dt dt
Jadi,
1 d (dx ) ˆ
= l ⋅ ∇u ⋅ lˆ
dx dt
Mekanika Kontinum 16

Dari persamaan di atas, kita lihat bahwa ‘rate’ dari perubahan panjang PQ tergantung
dari harga ∇u . Oleh karena itu, mari kita lihat ∇u secara lebih mendalam. Pertama-
tama ∇u dapat kita tuliskan sebagai berikut,

∇u =
1
( 1
) (
∇u + (∇u ) + ∇u − (∇u )
2
T

2
T
)



D Ω

Dari bentuknya, dapat dilihat bahwa matriks D adalah matriks yang simetrik dan Ω

adalah matriks antisimetrik.

Sekarang kita lihat 2d x ⋅ Ω ⋅ d x ,

(
2d x ⋅ Ω ⋅ d x = d x ⋅ ∇u − (∇u ) ⋅ d x
T
)
= d x ⋅ ∇u ⋅ d x − d x ⋅ (∇u ) ⋅ d x
T

=0
lˆ ⋅ Ω ⋅ lˆ = 0 .

Dengan demikian, maka ‘rate’ dari perubahan panjang adalah


1 d (dx ) ˆ
= l ⋅ ∇u ⋅ lˆ = lˆ ⋅ (D + Ω ) ⋅ lˆ = lˆ ⋅ D ⋅ lˆ
dx dt
atau
1 d (dx ) ˆ
= l ⋅ D ⋅ lˆ
dx dt

⎛ dθ ⎞
• Rate Dari Perubahan Sudut ⎜ ⎟
⎝ dt ⎠
Untuk melihat ‘rate’ dari perubahan sudut, kita ambil turunan material dari
cos θ = lˆ ⋅ mˆ .
d dθ ⎛d ⎞ ⎛d ⎞
cos θ = − sin θ = ⎜ lˆ ⎟ ⋅ mˆ + lˆ ⋅ ⎜ mˆ ⎟
dt dt ⎝ dt ⎠ ⎝ dt ⎠
d ˆ
sin θ = lˆ × mˆ dan l dapat ditemukan dengan mengambil dot product persamaan
dt
d ˆ
(DB.1) dengan l . Hasilnya adalah,
dt
Mekanika Kontinum 17

dlˆ
dt
{ ( )}
= ∇u ⋅ lˆ − lˆ ⋅ ∇u ⋅ lˆ lˆ

Dengan demikian, maka,



dt
=
ˆ
−1 ˆ
[{ ( ) }( ) {(
l ⋅ ∇u ⋅ lˆ + mˆ ⋅ (∇u ⋅ mˆ ) lˆ ⋅ mˆ − lˆ ⋅ ∇u + (∇u ) ⋅ mˆ
T
) }]
l × mˆ

Dengan menggunakan ∇u = D + Ω dan lˆ ⋅ Ω ⋅ lˆ = 0 ,


dt
=
−1 ˆ
ˆl × mˆ
[{ ( ) }( )
l ⋅ D ⋅ lˆ + mˆ ⋅ (D ⋅ mˆ ) lˆ ⋅ mˆ − 2lˆ ⋅ D ⋅ mˆ ]

dx dθ
Jadi, sama seperti , juga bergantung dari D . Sehingga dapat disimpulkan
dt dt
bahwa kontribusi D di dalam ∇u adalah dalam perubahan panjang dan sudut. Jadi, D

menjelaskan gerakan relatif dari bagian-bagian benda yang membuat benda menjadi
tidak rigid.

Contoh :
dx 1 d
1. PQ // ê1 sehingga = eˆ1 = lˆ . Jadi (dx ) = D11
dx dx dt
* Dii adalah perubahan waktu dari strain yang paralel dengan ê1

2. d y // ê1 dan dx // ê2 sehingga lˆ = eˆ2 dan mˆ = eˆ1 ⇒ lˆ ⋅ mˆ = 0


= −2D21
dt
1
* D21 adalah dari perubahan waktu dari sudut antara 2 segmen yang tadinya //
2
dengan ê1 dan ê2 axis.

• Rate of Rotation (Ω )

Kita telah buktikan sebelumnya, bahwa apabila kita dekomposisikan tensor ∇u menjadi
∇u = D + Ω , maka D menjelaskan bagaimana panjang sebuah segmen dan sudut

antara 2 buah segmen berubah. Sekarang kita akan lihat kontribusi dari Ω ,
Mekanika Kontinum 18

⎡ ⎛ ∂u1 ∂u 2 ⎞ ⎛ ∂u1 ∂u 3 ⎞ ⎤
⎢ 0 ⎜⎜ − ⎟⎟ ⎜⎜ − ⎟⎟ ⎥
⎢ ⎝ ∂x 2 ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x3 ∂x1 ⎠ ⎥
1 ⎢⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎛ ∂u 2 ∂u 3 ⎞⎥
Ω = ⎢⎜⎜ 2 − 1 ⎟⎟ 0 ⎜⎜ − ⎟⎟⎥
2 ⎢⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ⎝ ∂x3 ∂x 2 ⎠⎥
⎢⎛ ∂u 3 ∂u1 ⎞ ⎛ ∂u 3 ∂u 2 ⎞ ⎥
⎢⎜⎜ − ⎟⎟ ⎜⎜ − ⎟⎟ 0 ⎥
⎢⎣⎝ ∂x1 ∂x3 ⎠ ⎝ ∂x 2 ∂x3 ⎠ ⎥⎦

Dari matriks Ω di atas, jelaslah bahwa Ω hanya mempunyai 3 independen komponen.

Sekarang kita tuliskan dan perhatikan vektor ω ≡ ∇ × u .

⎛ ∂u 3 ∂u 2 ⎞ ⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎛ ∂u ∂u ⎞
ω = ⎜⎜ − ⎟⎟ eˆ1 + ⎜⎜ 1 − 3 ⎟⎟ eˆ2 + ⎜⎜ 2 − 1 ⎟⎟ eˆ3
⎝ ∂x 2 ∂x3 ⎠ ⎝ ∂x3 ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠

Apabila kita perhatikan dengan seksama, maka jelaslah bahwa komponen-komponen


dari ω adalah komponen-komponen independent dari Ω . Bahkan, apabila kita

definisikan tensor ∈ijk maka seperti di bawah ini, maka kita dapatkan,

1
Ω ij = − ∈ijk ω k
2
di mana
⎧ 0, (i = j , j = k , k = i )

∈ijk = ⎨ 1, (123 , 312 , 231) atau cyclic .
⎪− 1, (tidak cyclic)

Juga apabila A dan B adalah vektor, maka,


A × B = ∈ijk A j Bk eˆi

sehingga,
(a ) 1 ⎛1 ⎞
du ≡ Ω ⋅ d x = − d x ×ω = ⎜ ω ⎟× d x .
2 ⎝2 ⎠
(a )
Di mana d u adalah salah satu suku dari,
(s ) (a )
d u = ∇u ⋅ d x = D ⋅ d x + Ω ⋅ d x ≡ d u + du
Mekanika Kontinum 19

Dalam mekanika partikel, hubungan antara kecepatan partikel Q (u Q ) yang diamati dari

rangka acuan I (diam) dan II (bergerak dan berputar dengan Ω ) adalah,


U QI = U QII + Ω × x Qdilihat dari II

Jadi, du(α) adalah kecepatan relatif terhadap sebuah titik di mana ada "rigid body

rotation" dengan kecepatan angular 1 ω .


2

Kesimpulan tentang ∇u :
Dengan mendekomposisikan ∇u menjadi D & Ω kita dapat melihat bahwa ∇u

menjelaskan bagaimana benda kontinum (benda yang tidak rigid) bergerak. Bagian-
bagian dari benda kontinum dapat bergerak secara relatif (sudut antara 2 segmen dapat
berubah, panjang antar segmen dapat berubah) dan gerakan relatif ini dijelaskan oleh D.
Selain itu benda kontinum dapat juga berotasi seperti benda rigid. Rotasi ini dijelaskan
oleh Ω . Lebih tepatnya Ω menjelaskan perubahan waktu dari rotasi tersebut

(kecepatan angular).

• Strain Tensor
Seringkali dalam engineering, deformasi benda dijelaskan dengan menggunakan apa
yang disebut dengan “Strain Tensor”. Untuk itu kita perhatikan hal-hal berikut ini.
Pertama-tama perhatikanlah selisih antara panjang awal dan akhir yang dinyatakan
sebagai,
ds 2 − dS 2 = d x ⋅ d x − d ξ ⋅ d ξ = ( F ⋅ d ξ ) ⋅ ( F ⋅ d ξ ) − d ξ ⋅ d ξ = d ξ ⋅ ( F F − I ) ⋅ d ξ
T

atau
−1 −1 −1 −1
ds 2 − dS 2 = d x ⋅ d x − d ξ ⋅ d ξ = d x ⋅ d x − ( F ⋅ d x) ⋅ ( F ⋅ d x) = d x ⋅ ( I − ( F )T F ) ⋅ d x

Green/Lagrangian Strain Tensor didefinisikan sebagai,


1 T
Σ= (F F − I )
2
Sedangkan Almansi/Eulerian Strain Tensor didefinisikan sebagai,
1
ε = ( I − ( F −1 ) T F −1 )
2
Mekanika Kontinum 20

Dari definisinya terlihat bahwa Green strain tensor adalah tensor yang berbanding
terbalik dengan panjang pada konfigurasi awal (dS), sedangkan Almansi strain tensor
berbanding terbalik dengan panjang pada konfigurasi saat itu (ds).
Definisi-definisi diatas dapat pula dituliskan dengan menggunakan vektor perpindahan ε
(lihat sketsa pada awal sub bagian ini) dimana,
d x = dε + dξ

sehingga,
∂ε −1 ∂ε
dx = ⋅ d x + F ⋅ d x atau d x = F ⋅ d ξ = ⋅ dξ + dξ
∂x ∂ξ

Dari kedua persamaan terakhir dapat dilihat bahwa,


−1 ∂ε ∂ε
F =I− dan F = +I
∂x ∂ξ

Akhirnya Green dan Almansi strain tensor dapat dinyatakan seperti,


T T T T
1 ∂ε ⎛⎜ ∂ε ⎞⎟ ⎛ ∂ε ⎞ ∂ε 1 ∂ ε ⎛ ∂ ε ⎞ ⎛ ∂ ε ⎞ ∂ε
Σ= ( + +⎜ ⎟ ) dan ε = ( + ⎜⎜ ⎟⎟ − ⎜⎜ ⎟⎟ )
2 ∂ξ ⎜⎝ ∂ξ ⎟⎠ ⎜ ∂ξ ⎟ ∂ξ
⎝ ⎠ 2 ∂ x ⎝ ∂ x ⎠ ⎝ ∂ x ⎠ ∂ x

Dari definisinya terlihat bahwa kedua tensor diatas adalah tensor orde 2 yang simetris.
Karena kedua tensor tersebut adaah fungsi dari F maka kedua strain tensor tersebut

menjelaskan deformasi dari benda kontinuum. Kedua strain tensor diatas sering
digunakan didalam mekanika solid.

Banyak kasus dalam engineering dimana gradien dari vektor perpindahan amatlah kecil
∂ε ∂ε
( << 1 atau << 1 ). Kasus-kasus seperti ini dikenal dengan sebutan kasus small
∂ξ ∂x

strain dan untuk kasus ini suku-suku terakhir yang terdapat Green dan Almansi strain
tensor dapat diabaikan. Untuk kasus ini,
T T
1 ∂ε ⎛⎜ ∂ε ⎞⎟ 1 ∂ε ⎛ ∂ε ⎞
Σ= ( + ) dan ε = ( + ⎜ ⎟ )
2 ∂ξ ⎜⎝ ∂ξ ⎟⎠ 2 ∂ x ⎜⎝ ∂ x ⎟⎠
Mekanika Kontinum 21

Lebih jauh, apabila deformasi sangatlah kecil maka kita dapat gunakan approximasi,
Σ≈ε

Untuk kasus-kasus seperti ini,


⎛ • ⎛ • ⎞T ⎞
1 ⎜ ∂ε ⎜ ∂ε ⎟ ⎟ 1 ⎛ ∂ u ⎛ ∂ u ⎞ ⎞
T
dΣ dε
= = + = ⎜ +⎜ ⎟ ⎟ = D
dt dt 2 ⎜⎜ ∂ x ⎜ ∂ x ⎟ ⎟⎟ 2 ⎜⎝ ∂ x ⎝ ∂ x ⎠ ⎟⎠
⎝ ⎝ ⎠ ⎠

Jadi turunan waktu dari Almansi Strain tensor pada kasus small strain adalah tensor D

yang menjelaskan gerakan relatif bagian-bagian benda kontinuum.

1.2.5 Rangka Acuan (Frame of Reference)

Untuk mempelajari fenomena mekanika, kita diharuskan memilih rangka acuan.


Rangka acuan adalah “tempat” di mana kita meletakkan koordinat sistem untuk
menentukan posisi dan juga “clock” untuk menentukan waktu/ kapan sebuah fenomena
terjadi. Dalam mekanika klasik (mekanika Newton), hukum alam yang didapatkan
umumnya akan berbeda apabila kita menggunakan rangka acuan yang berbeda. Namun
ada rangka-rangka acuan di mana hukum alam yang dituliskan relatif terhadap rangka-
rangka acuan tersebut mempunyai bentuk yang sama. Rangka acuan tersebut disebut
“inertial frame”. Dalam rangka acuan ini ruang menjadi homogenous dan isotropic,
sedangkan waktu menjadi homogenous. Dengan kata lain setiap waktu, posisi, dan
orientasi dalam ruang di rangka acuan tersebut adalah “sama” atau equivalen secara
mekanik.

Dalam mempelajari mekanika sebuah benda, kita harus memilih sebuah rangka acuan di
mana hukum-hukum mekanika yang dituliskan relatif terhadap rangka acuan tersebut
mempunyai bentuk yang paling sederhana. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari
hubungan umum antara rangka acuan satu dengan lainnya. Inilah yang akan menjadi
topik dalam subbagian ini.
Mekanika Kontinum 22

• Rangka acuan yang berputar

Hubungan yang pertama-tama kita akan pelajari adalah antara rangka acuan yang diam
(x1,x2,x3) dan yang berputar dengan kecepatan angular Ω (x1`,x2`,x3`). Misalnya kita
akan mempelajari gerakan dari partikel Q. Lebih spesifiknya kecepatan dari partikel Q.
Apabila unit vektor untuk rangka acuan (x1`,x2`,x3`) adalah (ê1, ê2, ê3) dan untuk rangka
acuan (x1,x2,x3) adalah (Ê1, Ê2, Ê3) maka posisi Q adalah :
xQ = x1Ê1 + x2Ê2 + x3Ê3 = x1’ ê1 + x2’ ê2 + x3’ ê3
Karena (x1’,x2’,x3’) berputar maka êi = ê(t) sehingga :
d xQ dx1 ˆ dx 2 ˆ dx dx ' dx ' dx ' deˆ deˆ deˆ
= E1 + E 2 + 3 Eˆ 3 = 1 eˆ1 + 2 eˆ2 + 3 eˆ3 + x1' 1 + x 2' 2 + x3' 3
dt dt
 dt dx
 dt dt dt
dt dt dt
kecepatan Q dilihat dari kecepatan Q dilihat dari
( x 1 , x 2 , x3 ) ( x 1 , x 2 , x3 )

Arti dari suku-suku dalam persamaan di atas, kecuali 3 suku terakhir, telah dituliskan.
Sekarang bagaimana dengan 3 suku terakhir? Untuk itu kita lihat hubungan antara ê1(t)
& ê1(t+∆t).
deˆ1
tan dθ ≈ dθ =
eˆ1 (t )

deˆ1 dθ
deˆ1 = eˆ1 (t ) dθ sehingga = eˆ1
dt dt
Karena arah dθ berlawanan dengan arah jarum jam, maka:
deˆ1 dθ
= Ω × eˆ1 dimana Ω ≡
dt dt

deˆ 2 deˆ1
Hubungan serupa juga berlaku untuk , sehingga :
dt dt
Mekanika Kontinum 23

deˆi
= Ω × eˆi , i = 1, 2, 3
dt
Dengan demikian maka:

( )
d xQ ′ ′ ′
= V QI = V QII + Ω × x1 eˆ1 + x2 eˆ2 + x3 eˆ3
dt
atau
d
xQ = V QI = V QII + Ω× xQII
dt
di mana:
V QI : Kecepatan Q relatif terhadap rangka acuan yang diam.

V QII : Kecepatan Q relatif terhadap rangka acuan yang berputar.

x QII : Posisi Q relatif terhadap rangka acuan yang berputar.

Dalam penurunan di atas, kita pilih sebuah vektor (XQ) yang menunjukkan posisi dari
titik Q. Namun, formula ini juga berlaku untuk sembarang vektor A yang merupakan
fungsi waktu. Sehingga hubungan antara turunan waktu A yang diamati dengan
menggunakan rangka acuan I & II adalah :
d ⎛d ⎞ ⎛d ⎞
A = ⎜ A⎟ = ⎜ A⎟ + Ω × A II (FR.1)
dt ⎝ dt ⎠ I ⎝ dt ⎠ II

• Rangka acuan yang bergerak secara umum

Sekarang kita beralih ke rangka acuan yang lebih umum. Misalnya rangka I diam dan
rangka II bergerak & berputar relatif terhadap rangka I. Kita lihat posisi titik Q dilihat
dari kedua rangka acuan tersebut.
Mekanika Kontinum 24

XI = X0 + XII di mana
XI : Posisi Q dilihat dari I
X0 : Posisi origin rangka II dilihat dari I.
XII : Posisi Q dilihat dari II

Untuk melihat kecepatan, kita ambil turunan waktu dari vektor-vektor di atas :
d d d
x I = x 0 + x II
dt dt dt
d
XII adalah perubahan waktu dari vektor yang dilihat dari rangka acuan II, yaitu
dt
rangka acuan yang berputar. Dengan demikian maka menurut (FR.1),
d
x II = V QII + Ω × x QII
dt
sehingga:
V Q = V o + V QII + Ω× xQII (FR.2)
I

V0 : Kecepatan titik O/ origin dari frame II


VQ : Kecepatan Q relatif terhadap frame I (diam)
I

VQ : Kecepatan Q relatif terhadap frame II


II

xQ : Posisi Q relatif terhadap frame II


II

Terakhir kita akan lihat hubungan antara akselerasi titik Q yang diamati dari rangka I &
II. Kita ambil turunan waktu dari (FR.2) maka,
d d d d d
V QI = V 0 + V QII + Ω × x QII + Ω × xQII
dt dt dt dt dt
d d
V QII & x Q adalah turunan waktu vektor-vektor yang relatif terhadap II, maka :
dt dt II
d d
V Q ≡ a QII + Ω × V QII dan x Q = V QII + Ω × xQII
dt II dt II
sehingga,
 × x + 2Ω × V + Ω × (Ω × x )
a QI = a o + a QII + Ω (FR.3)
QII QII QII

dimana,
Mekanika Kontinum 25

ao : Percepatan titik O yang merupakan origin dari rangka acuan II

a QI : Percepatan Q dilihat dari rangka acuan I (diam)

a QII : Percepatan Q dilihat dari rangka acuan II

2 Ω × V QII : “Gaya” coriolis

Ω × (Ω × x QII ) : “Gaya” sentripetal

• Frame Indifference
Dua rangka acuan dinyatakan sebagai dua rangka yang “frame indifference” apabila
para pengamat yang berada dikedua rangka acuan tersebut setuju tentang:
1. jarak antara dua titik sembarang
2. orientasi
3. waktu antara dua kejadian
4. tahapan dari dua kejadian
Hubungan antara dua rangka acuan (vektor yang diamati dari rangka acuan I diberi
simbol dengan superscript * sedangkan ragka acuan II tanpa superscript) yang
memenuhi syarat-syarat di atas adalah:
*
x = c(t) + Q(t) ⋅ x , t * = t-a (FI)

dimana Q menjelaskan rotasi benda rigid sehingga,

−1 T
Q =Q

Hubungan antara t dan t* jelas memenuhi syarat 3 dan 4. Sekarang kita akan buktikan
bahwa hubungan antara x dan x* memenuhi syarat 1 dan 2. Misalkan terdapat dua titik
yang posisinya,
* *
x = c(t) + Q ⋅ x dan y = c(t) + Q ⋅ y

Jarak antara kedua titik tersebut adalah,


* *
x − y = Q ⋅( x − y)

sehingga
*
x −y
* 2
[ ][ ] T
= Q ⋅( x − y ) ⋅ Q ⋅( x − y ) = ( x − y)⋅ Q Q ⋅( x − y)
Mekanika Kontinum 26

T -1 T
Karena Q = Q maka Q Q = I dan

* * 2 2
x −y = x− y

Sehingga jarak antara dua titik tersebut adalah sama di dua rangka acuan tersebut.
Demikian pula orientasi dari vektor yang menghubungkan kedua titik tesebut.

Sekarang kita lihat bagaimana hubungan antara dua buah skalar, vektor dan tensor orde
2 yang memenuhi syarat-syarat di atas.
1. Frame indifferent skalar.
Apabila sebuah skalar, b, adalah frame indifferent maka harganya tidak berubah
apabila b diamati dari dua rangka acuan yang berbeda.
b* = b
Tentunya, ini berlaku untuk setiap skalar karena harga dari sebuah skalar tidak
bergantung dari rangka acuan.
2. Frame indifferent vektor, dx.
Ini telah kita lihat dalam pembuktian di atas. Sebuah vektor yang menghubungkan
dua titik adalah frame indifferent apabila,
*
V = Q ⋅V

Transformasi di atas juga memastikan arah dari V tidak berubah dengan adanya
transformasi (F.I). Ini dapat dilihat di bawah

V = Vi ∗ eˆi∗ , V = Vi eˆi
∗ T
V ⋅ eˆi∗ = ( Q ⋅ V ) ⋅ ( Q ⋅ eˆi ) = V ⋅ Q Q ⋅ eˆi = V ⋅ eˆi

Dengan demikian komponen V* di rangka acuan * sama dengan komponen V di


rangka acuan yang satunya (misalnya, V1∗ = V1 , V2∗ = V2 , V3∗ = V3 ).
3. Frame indifferent tensor orde 2.
Sebuah tensor orde 2, T , adalah tensor yang frame indifferent apabila tensor

orde 2 tersebut mentransformasikan vektor yang frame indifferent menjadi vektor


yang frame indifferent. Misalkan V dan W adalah vektor-vektor yang frame
indifferent sehingga,
∗ ∗
V = Q ⋅V , W = Q ⋅W
Mekanika Kontinum 27

Apabila T adalah frame indifferent maka,


∗ ∗ ∗
V = T ⋅ V dan V = T ⋅ W

Sekarang kita lihat bagaimana hubungan antara T dan T yang memenuhi syarat ini
∗ ∗ ∗
V = T ⋅W

Q ⋅V = T ⋅ ( Q ⋅W )

Q ⋅ (T ⋅ W ) = T ⋅ Q ⋅ W

( ) ⎯⎯
→ Q ⋅T = T ⋅ Q

Jadi T adalah frame indifferent apabila


∗ T
T = QT Q


Sama seperti vektor, komponen T di rangka acuan (*) sama dengan komponen T

di rangka acuan yang satunya.



( T
eˆi∗ ⋅ ( T ⋅ eˆ ∗j ) = Q ⋅ eˆi ⋅ ( Q T Q ) ⋅ ( Q ⋅ eˆ j ) )
T T
= eˆi ⋅ ( Q Q T Q Q ) ⋅ eˆ j = eˆi ⋅ T ⋅ eˆ j

Ini berarti T13∗ = T13 , T23∗ = T23 ,...,dan seterusnya.

Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa, prinsip frame indifferent memastikan
bahwa harga dari sebuah kuantitas tidak bergantung dengan kecepatan atau gerakan
pengamat. Tidak semua vektor atau tensor memenuhi persyaratan untuk sebuah vektor
atau tensor yang frame indiferent. Berikut ini adalah contoh-contoh dari vektor dan
tensor yang tidak frame indifferent.
*
Contoh: x = c(t) + Q(t) ⋅ x

d ∗
x = c + Q ⋅ x + Q ⋅ u → u tidak frame indifferent

1. u =
dt

2. F =
∗ ∂ ∗
∂ξ
x =

∂ξ
(
c(t) + Q ⋅ x =

∂ξ
) ( )
Q ⋅ x = Q ⋅ F → F tidak frame indifferent

∗ d ∂ x ∂u
F = Q F + Q F , F = = ∇ u F → ∇u = F F
−1
=
dt ∂ ξ ∂ ξ
Mekanika Kontinum 28

(∇u )∗ = (F F −1 ) ( )
∗ ∗ ∗
= F F = ( Q F + Q F )( Q F ) −1
−1

3.
= Q F F Q + Q F F Q = Q Q + Q ∇u Q
−1 T −1 T T T

∴∇u tidak frame indifferent

1.3 Dinamika

Dalam bab ini kita akan mulai mempelajari dinamika dari benda kontinum. Dengan
kata lain, kita akan mempelajari kenapa dan bagaimana benda kontinum bergerak.

Hukum-hukum yang akan didapatkan dari hukum-hukum dasar fisika seperti: hukum
kekekalan massa, momentum, energi (hukum termodinamika I), hukum termodinamika
II dan hukum kekekalan angular momentum. Dalam fisika dasar, hukum-hukum ini
dituliskan untuk sebuah benda rigid/ sistem yang tertutup yang mempunyai massa dan
bentuk yang tetap. Namun, dalam kasus benda kontinum, benda tersebut dapat
berubah-ubah bentuknya.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan persamaan-persamaan dasar gerak benda kontinum
dari hukum-hukum dasar fisika, kita akan gunakan sebuah volume atur yang khusus.
Volume atur ini dapat berubah-ubah volumenya, namun selalu terdiri dari material
element-material element yang sama. Volume atur seperti ini disebut material volume
(Vm).

Selain itu, hukum-hukum dasar fisika akan selalu berbentuk sama apabila dituliskan
dengan menggunakan rangka acuan inersial (inertial frame). Oleh karena itu dalam
Mekanika Kontinum 29

menurunkan persamaan-persamaan dasar kita akan gunakan rangka acuan yang diam.
Setelah persamaan-persamaan dasar tersebut didapatkan, tentunya kita dapat tuliskan
persamaan-persamaan tersebut dalam rangka acuan yang bergerak dengan
menggunakan (FR.3).

1.3.1 Hukum Kekekalan Massa (Persamaan Kontinuitas)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kita akan menggunakan volume atur yang disebut
material volume. Karena volume atur ini selalu terdiri dari elemen-elemen material
yang sama, maka kita dapatkan hukum kekekalan massa yaitu:

Massa dari sebuah “material volume” selalu tetap

Sekarang kita akan tuliskan prinsip dasar ini secara matematis. Pertama-tama kita
defenisikan apa yang disebut dengan massa jenis (ρ). Massa jenis sebuah material
element i didefinisikan sebagai,
∆mi
ρi ≡ lim sehingga m = ∫ ρdV
∆Vi →ε ∆Vi Vm ( t )

di mana m adalah massa dari material volume Vm(t). Ini dilakukan karena tidak mudah
mendapatkan massa dari benda kontinum seperti fluida namun ρ dapat ditentukan
dengan lebih mudah. Dengan definisi di atas maka hukum kekekalan massa dapat
dituliskan secara matematis menjadi,

d d
dt
m=0 ⇒
dt V
∫ ρ dV
(t)
= 0
m
Mekanika Kontinum 30

Dengan menggunakan Reynold’s transport theorem.,

d ∂ρ
∫ ρdV = ∫
dt Vm (t ) Vm ( t )
∂t
dV + ∫ ρ u ⋅ nˆ dS = 0
Sm (t )

v dalam transport theorem. telah diganti menjadi u atau kecepatan material element. Ini
disebabkan karena permukaan Sm(t) diduduki oleh material element yang bergerak
dengan kecepatan u. Apabila ρ & u adalah fungsi yang kontinyu (ini berlaku selama
tidak terdapat diskontinuitas dalam material volume. Contoh di mana fungsi ρ & u
tidak kontinyu adalah apabila terdapat shock wave & ini akan kita bahas nanti) maka
(*)&(**) dapat digunakan sehingga,

d ∂ρ ∂ρ
∫ ρ dV = ∫
dt Vm (t ) Vm ( t )
∂t
dV + ∫ ρ u ⋅ nˆ dS = ∫
Sm (t ) Vm ( t )
∂t
dV + ∫ ∇ ⋅ ρ udV
Vm ( t )

Sehingga, hukum kekekalan massa menjadi,


⎛ ∂ρ ⎞
∫ ⎜
vm ( t ) ⎝
∂t
+ ∇ ⋅ ρ u ⎟dV = 0

Dengan menggunakan (**),


∂ρ
+ ∇ ⋅ ρu = 0 (2.5.a)
∂t

Apabila kita jabarkan suku kedua sebelah kanan dalam persamaan terakhir didapatkan,
∂ρ
+ u ⋅ ∇ ρ + ρ∇ ⋅ u = 0
∂t
Akhirnya dengan menggunakan (2.3) persamaan terakhir dapat dituliskan seperti
dibawah ini.


+ ρ∇ ⋅u = 0 (2.5.b)
dt

Persamaan (2.5.a) memungkinkan kita untuk memodifikasi Reynold’s transport theorem


seperti di bawah ini,
d ∂ ⎛ ∂ρF ⎞
∫ ρ FdV = ∫
dt V ( t ) V (t )
∂t
ρFdV + ∫ ρF u ⋅ nˆ dS = ∫ ⎜
S (t ) V (t ) ⎝
∂t
+ ∇ ⋅ ρF u ⎟

⎛ dF ⎛ ∂ρ ⎞⎞
= ∫ ⎜⎜ ρ
V (t ) ⎝
dt
+ F⎜
⎝ ∂t
+ ∇ ⋅ ρ u ⎟ ⎟⎟dV
⎠⎠
Mekanika Kontinum 31

Dengan demikian maka kita dapatkan sebuah teorema yang menyatakan bahwa untuk ρ
& F yang kontinyu,

d dF
∫ ρFdV = ∫ ρ
dt V ( t ) dt
dV .....(***)

1.3.2 Hukum Kekekalan Momentum (Hukum Newton II)

Sekarang kita akan tuliskan hukum II Newton untuk benda kontinum. Hukum ini
menjelaskan gerak dari benda kontinum & bunyinya adalah:

Perubahan waktu dari momentum sebuah “volume material” sama dengan gaya-gaya
yang beraksi dipermukaan dan bagian dalam material volume tersebut.

Sebelum kita tuluskan prinsip diatas secara matematis, kita lihat bagaimana kita
menuliskan momentum dari “material volume”. Pertama-tama kita tuliskan momentum
untuk sebuah material element. Dari definisinya momentum sebuah material element
adalah-:
M i ≡ ∆mi u i
di mana Mi adalah momentum dari material element i. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, biasanya kita gunakan ρ untuk menggantikan m dalam benda kontinum.
lim
Mi = ρ i u i ∆Vi
∆v →∈
sehingga
M = ∫ ρ udV
Vm ( t )

di mana M adalah momentum dari Vm(t).


Mekanika Kontinum 32

Sekarang kita tuliskan secara matematis prinsip di atas :


d d
dt Vm∫( t )
M = ρ udV = ∫ F dV
dt Vm ( t )

di mana F adalah gaya / unit volume yang beraksi di permukaan & dalam V(t). Dalam
mekanika kontinum, ∫ FdV
Vm ( t )
biasanya dipecah menjadi 2 yaitu, FB & FS. FB adalah

gaya yang mempunyai aksi jarak jauh dan bereaksi secara langsung di dalam setiap
material element dalam V(t). Aksi gaya ini tidak disebabkan oleh interaksi antar
molekul. Gaya ini juga tidak membutuhkan medium untuk bereaksi (dapat bereaksi
dalam vakum). Contoh dari FB, adalah gaya gravitasi dan gaya elektromagnetik. Gaya-
gaya ini biasanya dituliskan,
FB = ∫ ρ G dV
Vm ( t )

FS adalah gaya-gaya interaksi antar molekul-molekul. Gaya ini adalah gaya yang
memenuhi hukum Newton III yaitu aksi = reaksi. Oleh karenanya, kontribusi total dari
bagian dalam material volume adalah nol. Yang tersisa adalah kontribusi dari
permukaan material volume. Dengan demikian maka gaya ini dapat dituliskan menjadi,
Fs = ∫T
Sm (t )
( nˆ ) dS

di mana T( n̂ ) adalah gaya / unit area. Karena FS adalah gaya interaksi antar molekul,
gaya ini hanya beraksi jarak dekat (short range force).

Dengan demikian maka hukum Newton II untuk sebuah material volume adalah,
d
dt Vm∫(t )
ρ udV = ∫ ρ GdV + ∫ T ( nˆ )dS
Vm ( t ) Sm (t )

Sekarang kita akan lihat ‘traction force’ T( n̂ ) secara lebih mendalam. Dari diskusi
diatas, dapat dilihat bahwa T( n̂ ) = T( n̂ ) ( nˆ , x, t ). Yaitu, selain fungsi dari posisi &
waktu, T juga fungsi dari arah permukaan di mana T beraksi. Jadi T( nˆ ) sedikit berbeda
dengan variabel-variabel lain seperti ρ,u,G yang merupakan fungsi x & t saja.
Mekanika Kontinum 33

Untuk melihat ketergantungan T n terhadap nˆ , kita


tuliskan hukum Newton II untuk lapisan tipis dibawah ini
d
dt ∫s
∈ ρ u dS =∈ ∫ ρ G dS + ∈ ∫ T dl + ∫ T (nˆ ) dS + ∫ T (− nˆ ) dS
s
c s
s

= ∫ T ( nˆ ) dS
s

Dimana C adalah keliling dari S. Sekarang kita ambil lim∈→ 0 maka,

∫ (T
s
( nˆ ) + T ( − nˆ ) )ds = 0 sehinga T ( − nˆ ) = −T ( nˆ )

Jadi ‘traction force’ yang beraksi di satu sisi dari sebuah lapisan tipis adalah negatif dari
‘traction force’ yang beraksi di sisi yang berlawanan.

Langkah berikutnya adalah melihat


bagaimana T ( nˆ ) berubah apabila (x,t) tetap

dan n̂ berubah. Untuk itu, kita lihat


sebuah titik dalam lapisan diatas.
Kemudian titik tersebut kita potong
sedemikian rupa sehingga membentuk
‘tetrahedron’ yang terlihat di gambar
sebelah. Karena ‘tetrahedron’ ini adalah
representasi sebuah titik maka
T ( nˆ ) , T ( −1) , T ( −2) , T ( −3) adalah gaya-gaya traction di titik tersebut dan bukan merupakan

fungsi x dan t lagi. Dari hasil di atas telah kita lihat bahwa ∫T
s
( nˆ ) ds = 0 atau traction

force berada dalam keadaan equilibrium secara lokal. Sekarang kita gunakan kondisi
‘local equilibrium’ ini untuk tetrahedron diatas.
T ( nˆ ) ds + T ( −1) ds1 + T ( −2 ) ds 2 + T ( −3) ds3 = 0

Karena T ( − i ) = −T ( i ) maka,

T ( nˆ ) ds − T (1) ds1 − T ( 2 ) ds 2 − T (3) ds3 = 0

ds1, ds2, ds3 dapat dituliskan dengan menggunakan ds karena ds = n̂ ds sehingga,


Mekanika Kontinum 34

dsi = eˆi ⋅ nds


ˆ = ni ds

di mana ni adalah komponen-komponen dari n̂ atau nˆ = n1eˆ1 + n2 eˆ2 + n3 eˆ3 . Dengan


menggunakan hubungan ini maka,
3
T ( nˆ ) ds = (T (1) n1 + T ( 2 ) n2 + T (3) n3 )ds atau T( nˆ ) = ∑ T( j ) i n j
j =1

di mana i: komponen di arah êi , dan j: arah permukaan.

Dari hasil ini maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan. Pertama : dari
hubungan terakhir di atas dapat dilihat bahwa T(j)i adalah sebuah tensor orde dua
(matriks) dan matriks ini disebut ‘stress tensor’. Dengan demikian kita dapat
mendefinisikan T( j ) i ≡ σ ji dimana σ adalah ‘stress tensor’. Kedua : T(1), T(2), T(3)

adalah ‘traction’ di permukaan yang normal terhadap eˆ1 , eˆ2 , eˆe . Dengan demikian maka

σ bukan merupakan fungsi n̂ namun fungsi x dan t (karena T(1), T(2), T(3) adalah

traction di titik tertentu pada t tertentu). Jadi ketergantungan T ( nˆ ) terhadap n̂ dapat

didekomposisikan dengan menggunakan σ sehingga,

T ( nˆ ) (nˆ , x, t ) = σ ( x, t ) ⋅ nˆ atau T( nˆ ) i = σ ji n j
T

(Catatan : σ 23 adalah ‘traction’ (stress) yang beraksi di permukaan dua dan merupakan
komponen dari ‘traction’ tersebut di arah tiga).

Dengan menggunakan σ , kita dapat tuliskan hukum Newton II seperti,

d
∫ ρ udV = ∫ ρ GdV + ∫ σ T ⋅ nˆ ds
dt Vm (t ) Vm ( t ) Sm (t )

Apabila ρ , u, G, σ adalah fungsi-fungsi yang kontinyu maka kita dapat gunakan (***),

(*), dan (**) sehingga,


du

Vm ( t )
ρ
dt
dV = ∫ ρ GdV + ∫ ∇ ⋅ σ dV
Vm ( t ) Vm ( t )

du

Vm ( t )

dt
− ρ G − ∇ ⋅ σ )dV = 0
Mekanika Kontinum 35

Dengan menggunakan (**),


du
ρ = ρG + ∇ ⋅σ (2.6.b) atau
dt

ρ u + ∇ ⋅ ( ρ uu ) = ρ G + ∇ ⋅ σ (2.6.a)
∂t
Kedua persamaan terakhir adalah persamaan konservasi momentum yang harus
dipenuhi disetiap titik didalam kontinum apabila tidak terdapat diskontinuitas didalam
kontinuum tersebut.

1.3.3 Hukum kekekalan momentum sudut

Berikutnya kita akan tuliskan hukum kekekalan momentum sudut (angular momentum).
Bunyi dari hukum ini adalah:

Perubahan waktu dari angular momentum sebuah ‘material volume’ sama dengan total
moment yang beraksi di permukaan dan di bagian dalam ‘material volume’ tersebut.

Sekarang bagaimana menuliskan momentum sudut dari material volume. Kita mulai
dari definisi momentum sudut dan tuliskan definisi ini untuk sebuah material element i,
L oi = lim x i × ∆mi u i = lim x i × ρi u i ∆Vi
∆Vi →ε ∆Vi →ε

dimana Loi adalah momentum sudut. Dengan demikian maka momentum sudut dari
Vm(t) adalah,
L= ∫ x × ρ udV
Vm ( t )

Dari mekanika kita ketahui bahwa untuk sebuah benda rigid,


Mekanika Kontinum 36

d d d
L ≡ x × mV dan L = x × mV + x × mV = x × F
dt dt dt
Oleh karena itu, prinsip kekekalan momentum untuk benda kontinum adalah,
d
dt Vm∫( t )
x × ρ udV = ∫ x × ρ GdV + ∫ x × T ( nˆ ) dS (AM)
Vm ( t ) Sm (t )

Integran di dalam integral terakhir dapat dituliskan seperti,


x × T( nˆ ) = x × σ ⋅ nˆ = ε ijk x j σ kl nl eˆi
T

(lihat subbagian rate of rotation untuk definisi ε ijk ). Dengan demikian maka, suku

terakhir dalam persamaan (AM) menjadi,


s (t )
x × T( nˆ ) ds = ∫ε
s (t )
ijk x jσ kl nl eˆi ds = ∫ε
V (t )
ijk ( x jσ kl ),l dV

= ∫ {ε (δ
V (t )
σ )+ε
ijk

jl kl ijk x jσ kj ,l }dV
Z

= ∫
V (t )
ZdV + ∫
V (t )
x × (∇ ⋅ σ )dV

Perlu diingat bahwa kita telah menggunakan (*) dalam penurunan diatas sehingga
hubungan tersebut hanya dapat digunakan untuk σ yang kontinyu. Untuk ρ , u yang

kontinyu,
d d du

dt Vm (t )
x × ρ udV = ∫ ρ ( x × u )dV = ∫ x × ρ dV
Vin ( t )
dt Vm ( t )
dt

Hubungan terakhir dapat dituliskan karena


d d
( x × u )dV = u × u + x × u .
dt dt
Dengan demikian maka prinsip kekekalan momentum sudut menjadi,
du

Vm ( t )
x × (ρ
dt
− ρ G − ∇ ⋅ σ )dV = ∫ Z dV
Vm ( t )

Menurut prinsip kekekalan momentum,integral disebelah kiri = 0 sehingga, ∫ Z dv = 0


Vin ( t )

Dengan demikian maka,


Mekanika Kontinum 37

⎧σ 23 − σ 32 ⎫
⎪ ⎪
Z = Єijkσkj = ⎨σ 31 − σ13 ⎬ = 0
⎪σ − σ ⎪
⎩ 12 21 ⎭

sehingga
σij = σji atau σ = σ T .
= =

Jadi prinsip kekekalan momentum angular menyatakan bahwa stress tensor σ haruslah
=

simetrik.

Dalam menuliskan hukum kekekalan angular momentum di atas, kita secara implisit
telah menggunakan asumsi bahwa material tidak mempunyai ‘body torque’ dan ‘surface
torque’. Material yang tidak mempunyai ‘body torque’ dan ‘surface torque’disebut
“non-polar medium”. Medium ini adalah medium yang torsinya hanya disebabkan oleh
momen dari gaya-gaya yang beraksi dalam material tersebut.

Untuk ‘polar medium’, terdapat torsi yang disebabkan apabila terjadi kontak dengan
bagian lain (surface torque) dan juga torsi yang disebabkan oleh bagian di luar material
volume dan external torque lainnya (body torque). Untuk medium ini
Z ≠ 0 sehingga σ ≠ σ T . Kebanyakan material adalah “non-polar” dan medium seperti
= =

inilah yang akan kita bahas di bab-bab setelah ini.

1.3.4 Analisa Stress

Pada subbagian ini, kita akan mempelajari stress lebih mendalam. Hal pertama yang
perlu kita perhatikan adalah stress adalah sebuah tensor. Oleh karena out, transformasi
harga stress dari satu sistem koordinat ke sistem lainnya harus mengikuti aturan-aturan
tertentu. Untuk itu, kita akan perhatikan beberapa hal di bawah ini. Apabila xi, g,
adalah harga-harga dari komponen vektor x(xi) dan unit vektor (gi) dari vektor x di
sistem koordiant yang baru sedangkan XI, GI adalah hal yang sama di sistem koordinat
yang lama maka harga sebuah vektor x adalah,
x = xi g i = X I G I
Mekanika Kontinum 38

Hubungan di atas memastikan bahwa x adalah vektor yang sama walaupun diamati dari
dua sistem koordinat yang berbeda dan ini adalah syarat dari sebuah kuantitas untuk
menjadi tensor. Oleh karena itu maka,

( )
xi = x ⋅ g i = X I G I ⋅ g i = X I AIi

di mana AIi ≡ G I ⋅ g i . Jadi hubungan antara komponen dari sebuah vektor di 2 buah

sistem koordinat yang berbeda adalah


xi = AIi X I

Sekarang, bagaimana hubungan antara kedua unit vector GI dan gi. Karena
xi g i = X I G I = AIi X I g i maka,
N
xi

G I = AIi g i

Berikutnya kita lihat bagaimana hubungan antara komponen dari sebuah tensor orde 2
(stress, misalnya) yang dituliskan terhadap 2 sistem koordinat yang berbeda (tij dan TIJ).
Apabila T adalah sebuah tensor orde 2 maka,

T = T IJ G I G J = t ij g i g j

sehingga
T IJ AIi AJj g i g j = t ij g i g j .

Dengan demikian maka hubungan yang kita cari adalah,


t ij = AIi AJjT IJ

sehingga apabila σ IJ dan σ ij adalah stress komponen di 2 sistem koordinat yang


berbeda maka hubungan antara keduanya adalah,
σ IJ = AiI AjJ σ ij

Principle Stress
Hukum kekekalan momentum sudut untuk kontinum nonpolar menyatakan bahwa stress
adalah tensor yang simetris, σ = σ .
T
Dari matematika kita ketahui bahwa untuk

matriks yang simetris, terdapat sebuah basis (“principle axis”) di mana matriks tersebut
Mekanika Kontinum 39

di basis itu adalah matriks diagonal. Selain itu, kita ketahui bahwa untuk menentukan
komponen-komponen dari matriks diagonal tersebut kita harus melakukan “eigenvalue
analysis”. Komponen dari matriks diagonal tersebut adalah nilai eigen dari matriks
original. Sedangkan vektor-eigen-nya membentuk basis untuk “principle axis”.

Jadi secara matematis apabila T ( n̂ ) adalah gaya yang bekerja di sebuah permukaan maka

(di mana n̂ adalah arah normal dari permukaan),


T ( nˆ ) = σ ⋅ nˆ atau T( nˆ )i = σ ij n j .

Namun, apabila n̂ adalah “principle axis”, maka tidak ada tegangan geser di permukaan
tersebut sehingga,
σ ij n j = σδ ij n j
(σ ij − σδ ij ) n j = 0

Karena nj adalah komponen dari arah principle axis, maka nj ≠ 0 sehingga persamaan di
atas menyatakan bahwa
σ ij − σδ ij = 0

Apabila kita jabarkan maka persamaan terkahir adalah,


σ 3 − I1σ 2 + I 2σ − I 3 = 0
di mana

I1 = σ ii = tr (σ )
1
I2 =
2
(σ iiσ jj − σ ijσ ij )
I 3 = σ ij = det (σ )

Solusi dari persamaan polinomial orde 3 di atas adalah 3 principle stress (σ(1), σ(2), σ(3))
yang merupakan komponen dari matrix diagonal. Sedangkan principle axis adalah
solusi dari persamaan,

(σ ij )
− σ ( k )δ ij n(j ) = 0 .
k

Menyatakan komponen-komponen dari σ relatif terhadap principle axis tentunya

sangat membantu, karena relatif terhadap sistem koordinat ini hanya terdapat tegangan
Mekanika Kontinum 40

normal (tegangan geser tentunya sama dengan nol karena σ ij = 0 apabila i ≠ j di sistem

koordinat ini).

Harga Maksimum atau Minimum dari Shear Stress


Apabila gaya di sebuah peermukaan kita tuliskan
komponennya relatif terhadap arah normal dan
tengensial dari permukaan tersebut maka
tegangan tangensial atau shearing stress dapat
dituliskan seperti (lihat gambar),
σ s2 = T ( nˆ ) ⋅ T ( nˆ ) − σ N2

Apabila axis yang kita gunakan adalah principle axis maka,


T( nˆ )1 = σ 1n1 , T( nˆ )2 = σ 2 n2 , T( nˆ )3 = σ 3n3

di mana axis telah kita pilih sedemikian rupa sehingga, σ1 > σ2 > σ3. Dari T ( nˆ ) = σ ⋅ nˆ ,

kita lihat bahwa σN adalah


σ N = T ( nˆ ) ⋅ nˆ = σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3 n32

Dengan demikian maka σs2 menjadi,

σ s2 = σ 12 n12 + σ 22 n22 + σ 32 n32 − (σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3 n32 ) .


2

Sekarang kita akan mencari harga minimum dan maksimum dari σs. Namun, perlu
diingat bahwa,
n12 + n22 + n32 = 1
Dengan demikian maka untuk menentukan harga-harga minimum dan maksimum, kita
dapat gunakan metode “Lagrange Multipliers”. Seperti kita ketahui prosedur dalam
metode ini adalah membentuk sebuah fungsi,

(
F = σ s2 − λ n12 + n22 + n32 )
di mana λ adalah sebuah multiplier. Karena persamaan di atas adalah fungsi dari n1, n2,
n3, maka untuk menentukan harga minimum dan maksimum kita ambil
Mekanika Kontinum 41

∂F ∂F ∂F
= 0, = 0, =0.
∂n1 ∂n3 ∂n2
Apabila ini dilakukan maka didapatkan,

( )
n1 ⎡⎣σ 12 − 2σ 1 σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3n32 + λ ⎤⎦ = 0

( )
n2 ⎡⎣σ 22 − 2σ 2 σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3 n32 + λ ⎤⎦ = 0

( )
n3 ⎡⎣σ 32 − 2σ 3 σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3n32 + λ ⎤⎦ = 0

Selain itu, n12 ⊕ n22 ⊕ n32 = 1 .

Keempat persamaan terakhir dapat diselesaikan untuk mendapatkan n1, n2, n3, dan λ.
Satu set solusi adalah,
⎧±1⎫ ⎧0⎫ ⎧0⎫
⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪
nˆ = ⎨ 0 ⎬ , nˆ = ⎨±1⎬ , nˆ = ⎨ 0 ⎬
⎪0⎪ ⎪0⎪ ⎪±1⎪
⎩ ⎭ ⎩ ⎭ ⎩ ⎭
Untuk harga-harga n̂ ini, σ s = 0 . Ini tentunya adalah harga minimum dari σs. Satu set
solusi lagi adalah,
⎧ ⎫
⎪ 0 ⎪
⎪⎪ ⎪⎪ (σ − σ 3 )
nˆ = ⎨± 1 ⎬ di mana σ s = 2
2⎪ 2

⎪± 1 ⎪
⎪⎩ 2 ⎪⎭

⎧± 1 ⎫
⎪ 2⎪
⎪ ⎪ (σ − σ 1 )
nˆ = ⎨ 0 ⎬ di mana σ s = 3
2
⎪ 1 ⎪
⎪± 2 ⎪⎭

⎧± 1 ⎫
⎪ 2⎪
⎪ 1 ⎪ (σ 1 − σ 2 )
nˆ = ⎨± ⎬ di mana σ s = 2
⎪ 2⎪
⎪ 0 ⎪
⎩ ⎭
Karena σ1 > σ2 > σ3 maka n̂ yang terakhir adalah n̂ yang memberikan harga σs yang
tertinggi (maksimum).
Mekanika Kontinum 42

1.3.5 Hukum Kekekalan Energi ( Hukum Termodinamika I)

Berikutnya kita akan tuliskan hukum termodinamika I untuk benda kontinum. Hukum
ini berbunyi,

Untuk sebuah “material volume” yang merupakan sistim tertutup,


perubahan waktu dari energi dalam dan energi kinetik sama dengan
perubahan waktu dari kerja yang dilakukan terhadap “material volume”
oleh gaya-gaya yang beraksi di permukaan dan dalam “material volume”
ditambah dengan perubahan waktu dari panas yang diberikan kepada
“material volume” tersebut.

Berikut ini adalah penjelasan tentang apa yang disebut dengan energi dalam (internal
energy). Energi dalam adalah total energi dari molekul-molekul. Energi ini mencakup:
energi kinetik translasi dan rotasi , energi dari vibrasi (vibrational energy), dan energi
elektronik yang disebabkan oleh pergerakan elektron disekitar nukleus dari molekul.
Energi kinetik translasi dan rotasi di sini adalah energi kinetik di luar energi kinetik
makroskopik. Walaupun dalam model kontinum kita mengabaikan struktur-struktur
molekul, energi-energi ini harus diikutisertakan di dalam penulisan hukum kekekalan
energi. Namun, energi-energi tersebut disatukan menjadi apa yang disebut dengan
energi dalam. Untuk sebuah material element, energi dalamnya adalah,
ε i = lim ei ∆mi
∆Vi →∈
di mana ei adalah energi dalam per unit massa.
= lim ρi ei ∆Vi
∆Vi →∈

total energi dalam di dalam material volume adalah,

∫( ρ) edV
Vm t
Mekanika Kontinum 43

Berikutnya adalah energi kinetik (makroskopik). Definisi dari energi kinetik dari sebuah
material element adalah,
∆mi 2 lim ρ u2
KEi =lim
∆Vi →∈ ui = ∆Vi →∈ i i ∆Vi
2 2
Dengan demikian maka energi kinetik dalam Vm(t) adalah,
u2

Vm ( t )
ρ
2
dV

Sekarang kita beralih ke perubahan waktu dari kerja. Definisi dari power untuk sebuah
material element adalah,
δ Wi ≡ F i ⋅ ui
sehingga,
δW = ∫ ρ G ⋅ udV + ∫ T ∫ ρ G ⋅ udV + ∫ ρ G ⋅ udV + ∫ (σ )
T
( nˆ ) ⋅ udS = ⋅ nˆ ⋅ udS
Vm ( t ) Sm (t ) Vm ( t ) Vm ( t ) Sm (t )

( )
Karena σ ⋅ nˆ ⋅ u = (σ ⋅ u ) ⋅ nˆ maka,
T

δW = ∫ ρ G ⋅ udV + ∫ (σ ⋅ u )⋅ nˆdS


Vm ( t ) Sm (t )

Yang terakhir adalah perubahan waktu dari panas ( δQ ). Ada 2 tipe perpindahan panas
dalam mekanika kontinum :
i. Konduksi Panas: ini adalah perpindahan energi dari bagian yang lebih energetik
ke bagian tetangganya yang kurang energetik. Perpindahan energi ini
disebabkan oleh interaksi antar molekul. Sama seperti “surface fence” yang juga
disebabkan oleh interaksi antar molekul, konduksi panas dituliskan sebagai
integral permukaan,
− ∫ q ⋅ nˆdS
S (t )

Tanda minus di depan integral diatas digunakan untuk menjamin apabila panas
masuk ke dalam sistem maka δQ adalah positif sesuai konvensi dalam
termodinamik.
ii. Radiasi : Apabila panas diberikan kepada zat maka “energy state” dari atom-
atom dan molekul-molekul naik ke “excited state”. Namun, ada kecenderungan
Mekanika Kontinum 44

dari atom-atom molekul-molekul tersebut untuk kembali ke “energy state” yang


lebih rendah. Ini dilakukan dengan emisi energi. Energi ini dipindahkan oleh
gelombang elektromagnetik dan tidak membutuhkan medium. Perpindahan
energi seperti ini disebut radiasi dan langsung dapat dirasakan oleh setiap
material element dalam V(t). Contohnya adalah radiasi dari sinar matahari.
Perubahan energi ini dituliskan seperti di bawah ini,

∫ ρQdV
V (t )

di mana Q : Energi radiasi (rate)/unit massa.

Sekarang kita telah siap untuk menuliskan hukum termodinamika I untuk benda
continuum. Hukum ini adalah,

⎛ ⎞
d
dt Vm∫(t ) ⎜⎝
ρ ⎜ e +
u2
2
( )
⎟⎟dV = ∫ − q + σ ⋅ u ⋅ nˆ dS + ∫ ρ (G ⋅ u + Q )dV
⎠ Sm (t ) Vm ( t )

Apabila ρ , e, u, q, σ , G, dan Q kontinyu maka dengan menggunakan (***) dan (*),

∫ ρ
d ⎛
⎜⎜ e +
dt ⎝
u2
2

[ ( )
⎟⎟dV = ∫ ∇ ⋅ − q + σ ⋅ u + ρ (G ⋅ u + Q ) dV ]
Vm ( t ) ⎠ Vm ( t )

Terakhir kita gunakan (**) untuk mendapatkan ,

d ⎛ ⎞
⎟⎟ = ∇ ⋅ (σ ⋅ u ) + ρ G ⋅ u − ∇ ⋅ q + ρQ
u2
ρ ⎜⎜ e + 2.6.b)
dt ⎝ 2 ⎠
atau dengan menggunakan persamaan kontinuitas,

∂ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞
⎟⎟u = ∇ ⋅ (σ ⋅ u ) + ρ G ⋅ u − ∇ ⋅ q + ρQ
u2 u2
ρ ⎜⎜ e + ⎟⎟ + ∇ ⋅ ρ ⎜⎜ e + 2.6.a)
∂t ⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠

1.3.6 Hukum Termodinamika II

Dalam termodinamika, hukum ke II untuk sebuah sistem tertutup dapat dituliskan secara
matematis seperti di bawah ini,
δQ
dS = +σ , σ ≥ 0
T
dimana S adalah entropi. Hubungan diatas dapat pula dinyatakan sebagai
Mekanika Kontinum 45

dS 1  ~
= δQ + σ , σ~ ≥ 0
dt T
Harga dari σ dan σ~ adalah positif untuk proses yang “irreversible” dan nol untuk
proses yang internally reversible.

Sekarang kita akan tuliskan prinsip ini untuk benda kontinum. Untuk sebuah material
element, ∆S i ≡ ∆mi si = ρsi ∆Vi . Dengan demikian maka untuk sebuah material volume,

S= ∫
V (t )
ρ sdV

di mana s: entropi / unit mass. Kita telah lihat bahwa perubahan waktu dari panas
adalah,
δQ = − ∫ q ⋅nˆ dS + ∫ ρQdV
S (t ) V (t )

Dengan demikian maka hukum termodinamika II untuk benda kontinum adalah,


d q ⋅ nˆ ρQ
∫ ρ sdV = − ∫ dS + ∫ dV + σ , σ~ ≥ 0
dt V ( t ) S (t )
T V (t )
T

atau

d q ⋅ nˆ ρQ

dt V ( t )
ρ sdV + ∫
S (t )
T
dS − ∫
V (t )
T
dV ≥ 0

Apabila ρ dan s adalah fungsi yang kontinyu maka (**) dapat digunakan sehingga,

ds q ⋅ nˆ ρQ

V (t )
ρ
dt
dV + ∫
S (t )
T
dS − ∫
V (t )
T
dV ≥ 0

Pertidaksamaan ini memberitahukan kita proses-proses mana yang tidak reversible.


Seperti telah dipelajari dalam termodinamika, proses irreversible menyebabkan
terjadinya disipasi dari energi (“hilangnya” energi) dari sistem dan lingkungan.

Selanjutnya kita lihat “bentuk lokal” dari pertidaksamaan di atas. Seperti biasa, kita
asumsikan ρ , s, q, T , dan Q adalah fungsi-fungsi yang kontinyu dan kita gunakan (*),

(**), (***) untuk mendapatkan,


ds 1 1 ρQ
ρ + ∇ ⋅ q − 2 q ⋅∇T − ≥0 (2.7.a)
dt T T T
Mekanika Kontinum 46

Bentuk lain dari pertidaksamaan di atas (bentuk yang lebih berguna) didapat dengan
mengganti suku ∇ . q . Dari persamaan energi (2.6.6),

d u2
∇ ⋅ q = ∇ ⋅ (σ ⋅ u ) + ρ (Q + G ⋅ u ) − ρ (e + )
dt 2

Apabila kita ambil perkalian dot antara u dan persamaan momentum didapatkan,

d u2
ρ = u ⋅ (∇ ⋅ σ ) + ρ G ⋅ u
dt 2
Dari kedua persamaan terakhir didapatkan,
de
∇ ⋅ q = (σ ⋅∇) ⋅ u + ρ Q − ρ
dt
Sekarang kita perhatikan suku (σ ⋅∇) ⋅ u ,

∂ui 1 ⎛ ∂ui ∂u j ⎞
(σ ⋅∇) ⋅ u = σ ij = ⎜ σ ij + σ ji ⎟ ; σ ij = σ ji
∂x j 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎠

1 ⎛ ∂ui ∂u j ⎞
(σ ⋅∇) ⋅ u = σ ij ⎜ + ⎟
2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎠
= σ ij Dij = σ : D

di mana perkalian ‘ : ‘ didefinisikan seperti,


A : B ≡ Aij B ji .

Selain itu, kita telah gunakan hasil dari konservasi momentum sudut yaitu σ = σ
T
(Jadi

hanya berlaku untuk non–polar medium. Dengan demikian maka ,


de
∇ ⋅ q = σ : D + ρQ − ρ
dt

Sekarang kita subtitusikan hasil terakhir ke dalam pertidaksamaan dan hasilnya adalah:
⎡ ds ⎛ de ⎞ 1 ⎤
⎢ ρT dt − ⎜ ρ dt − σ : D ⎟ − T q.∇T ≥ 0 ⎥ (2.7.b)
⎣ ⎝ ⎠ ⎦
Pertidaksamaan terakhir sangat berguna untuk mendapatkan persamaan–persamaan
tambahan untuk melengkapi sistem persamaan kontinum.
Mekanika Kontinum 47

Contoh: Kontinum di mana internal energi e mempunyai bentuk e = e(ε , s ) .

Banyak benda kontinum mempunyai e seperti ini. Elastik solid dan Simple
Compressible Subtance (seperti gas, misalnya) mempunyai ε seperti di atas. Karena

e = e (ε , s ) , maka ,

de ⎛ ∂e ⎞ d ε ⎛ ∂e ⎞ ds ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ds
=⎜ ⎟ : +⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ : D+⎜ ⎟
dt ⎝⎜ ∂ε ⎠⎟ dt ⎝ ∂S ⎠ε dt ⎝⎜ ∂ε ⎠⎟ ⎝ ∂s ⎠ε dt
s s

Berikutnya σ dinyatakan sebagai,

σ = σ eq + σ vis

dimana σ adalah viscous stress dan σ adalah equilibrium stress (seperti tekanan p,
vis eq

misalnya). Dengan demikian maka (2.7.b) menjadi :


⎛ ⎛ ∂e ⎞ ⎞ ds ⎛ eq ⎛ ∂e ⎞ ⎞ 1
ρ ⎜T − ⎜ ⎟ ⎟⎟ + ⎜ σ − ρ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎟ : D + σ : D − q ⋅∇T ≥ 0
vis
⎜ ⎝ ∂s ⎠ε ⎠ dt ⎜⎝
⎝ ⎝ ∂ε ⎠ s ⎟⎠ T

Pertidaksamaan ini harus berlaku untuk proses apapun. Untuk memastikan ini maka,

⎛ ∂e ⎞ ⎛∂ e⎞ 1
T =⎜ ⎟ , σ eq = ρ ⎜ ⎟⎟ , σ vis : D − q ⋅ ∇T ≥ 0

⎝ ∂s ⎠ε ⎝ ∂ε ⎠ s
T

Untuk fluida sederhana misalnya, dari termodinamika kita ketahui bahwa,


dE = TdS − pdV
Namun dari definisi ε terlihat bahwa dV =V d ε ii sehingga,

dE = TdS − pVd ε ii = TdS − pV δ ij d ε ij

dan
⎛ ∂E ⎞
⎜ ⎟ = − pVδ ij
⎜ ∂ε ⎟
⎝ ij ⎠S
V 1
Karena dE ≡ mde dan = maka,
m ρ

⎛ ∂e ⎞ p
⎜⎜ ⎟⎟ = − δ ij
⎝ ∂ε ij ⎠s ρ
Mekanika Kontinum 48

Dengan demikian maka,


⎛ ∂e ⎞
σ eq = ρ ⎜ ⎟ = − p δ ij
⎜ ∂ε ⎟
⎝ ij ⎠S

⎛ ∂e ⎞
sedangkan persamaan T = ⎜ ⎟ akan memberikan kita persamaan keadaan.
⎝ ∂s ⎠ε

Akhirnya pada subbagian transport phenomena nanti, kita akan lihat bahwa
pertidaksamaan ,
1
σ vis : D − q ⋅∇T ≥ 0
T
akan memberikan kita hubungan antara ,
σ vis = σ vis ( D ) dan q = q ( ∇T )
Dengan demikian, pertidaksamaan 2.7.b dan e = e ( s, ε ) membantu kita untuk

mendapatkan hubungan – hubungan konstitutif yang diperlukan untuk melengkapi


sistem persamaan kontinum.

1.3.7 Catatan tentang Termodinamika Benda Kontinum

Dalam menuliskan persamaan-persamaan dasar kontinum, kita telah gunakan variabel-


variabel seperti T, p, s, e dan lain lain. Variabel-variabel ini adalah variable-variabel
Termodinamika yang didefinisikan untuk sistem yang berada dalam keadaan setimbang.
Secara global, aliran fluida, misalnya, bukanlah suatu sistem yang setimbang menurut
definisi Termodinamika. Namun kita tetap dapat menerapkan prinsip-prinsip
termodinamika pada sistem fluida untuk keadaan yang lokal dan sesaat. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:

Apabila dalam sistem terjadi ketidaksetimbangan , sistem tersebut memerlukan waktu


τ (relaxation time) untuk mencapai kesetimbangan kembali. Apabila waktu ( ∆t ) yang
dibutuhkan untuk suatu perubahan dalam fluida memenuhi kriteria ,
∆t >> τ 1
Mekanika Kontinum 49

maka fluida dapat dianggap dalam keadaan stimbang secara lokal. Kriteria ini berlaku
di hampir setiap masalah yang dipelajari dalam mekanika kontinum karena τ 1 , yang

merupakan sifat zat, mempunyai harga yang sangat kecil ( τ translation N 2 ≈ 10 −10 s ,

misalnya).

Apabila kriteria di atas tidak terpenuhi, seperti dalam khusus aliran di belakang shock
wave dalam aliran hypersonic misalnya. Untuk kasus seperti ini maka kita harus
menggunakan “non-equilibrium thermodynamics”.

1.3.8 Bentuk Integral dari Persamaan-persamaan Dasar untuk


Volume Atur Sembarang

Persamaan-persamaan integral yang telah didapatkan sebelum ini diturunkan dengan


menggunakan material volume di mana volume ini selalu terdiri dari elemen-elemen
yang sama. Dalam praktik, penggunaan persamaan-persamaan tersebut kadangkala
lebih mudah untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar untuk sebuah daerah makroskopik
(volume atur) yang bukan material volume.

Misalkan volume atur tersebut (V(t)) yang dibatasi dengan permukaan S(t) dan bergerak
dengan kecepatan v. Sekarang kita tuliskan perubahan waktu dari momentum didalam
V(t),
d ∂ ∂ (ρ u )

dt V ( t ) ∂t
ρ udV = ∫
V (t )
∂t
dV + ∫ ρ u v ⋅ nˆ dS
S (t )
(I.1)

Di mana di atas telah digunakan Reynolds Transport Theorem

Sekarang kita tuliskan hukum kekekalan momentum yang telah kita dapatkan untuk
“material volume” Vm(t),
d ∂ρ u
∫ ρ udV = ∫ dV + ∫ ρ u u ⋅ nˆ dS = ∫ ρ GdV + ∫ σ ⋅ nˆ dS
T
(I.2)
dt Vm (t ) Vm ( t )
∂t Sm (t ) Vm ( t ) Sm (t )
Mekanika Kontinum 50

Kemudian kita pilih material volume Vm(t) yang pada suatu saat (instantaneous) sama
dengan V(t) atau volume atur kita tadi yang bergerak dengan kecepatan v. Karena pada
waktu t kedua volume atur ini sama, maka:
V(t) = Vm(t) dan S(t) = Sm(t)
Tetapi ini tidak berarti perubahan waktu dari kedua volume atur tersebut sama, dengan
kata lain,
d d
∫ ρudV ≠
dt V ( t ) dt Vm∫( t )
ρudV

Dengan demikian maka persamaan (I.2) dapat dituliskan menjadi,


∂ρ u
∫ dV + ∫ ρ u u ⋅ nˆ dS = ∫ ρGdV + ∫ σ ⋅ nˆ dS
T
(I.3)
V (t )
∂t S (t ) V (t ) S (t )

Namun dari persamaan (I.1)


∂ρ u d

V (t )
∂t
dV =
dt V∫(t )
ρ udV − ∫ ρ u v ⋅ nˆ dS
S (t )

Dengan menggabungkan kedua hasil diatas, (I.3) menjadi,


d
∫ ρ udV + ∫ ρ u (u − v) ⋅ nˆ dS = ∫ ρ GdV + ∫ σ T ⋅ nˆ dS
dt V ( t ) S (t ) V (t ) S (t )

Dengan cara yang sama, kita dapat lakukan hal yang sama untuk persamaan integral
kontinuitas, energi, dan pertidaksamaan entropi. Sehingga untuk volume atur V(t) yang
bergerak dengan kecepatan v,

d
dt V∫( t )
o ρdV + ∫ ρ (u − v) ⋅ nˆ dS = 0 …………………………………………... (A)
S (t )

d
o ∫ ρ udV + ∫ ρ u (u − v) ⋅ nˆ dS = ∫ ρ GdV + ∫ σ T ⋅ nˆ dS …………………… (B)
dt V (t ) S (t ) V (t ) S (t )

d u2 d u2
dt ∫ ρ (e +
2
) dV +
dt ∫ ρ (e +
2
)( u − v ) ⋅ nˆ dS
o V (t) S (t )
………(C)
= ∫
V (t )
ρ ( G ⋅ u + Q ) dV + ∫
S (t)
( σ ⋅ u − q ) ⋅ nˆ dS

d q ⋅ nˆ ρQ
o ∫ ρ
dt V (t )
sdV + ∫ ρ
S (t )
s (u − v ) ⋅ ˆ
n dS + ∫
S (t )
T
dS − ∫
V (t )
T
dV ≥ 0 …….…………. (D)
Mekanika Kontinum 51

1.3.9 Diskontinuitas dalam benda kontinum (Jump Condition)

Dalam menurunkan persamaan-persamaan dasar dalam bentuk differensial, diasumsikan


bahwa u, ρ , σ , e, q dll adalah fungsi-fungsi yang kontinyu sehingga (*) & (**) dapat
dipergunakan. Namun dalam praktik seringkali ditemui persoalan-persoalan di mana
variabel-variabel tersebut tidak memenuhi asumsi di atas. Umumnya dalam persoalan-
persoalan tersebut asumsi di atas tidak terpenuhi hanya di sebuah permukaan (singular
surface) di dalam atau yang merupakan bagian benda kontinum. Untuk mendapatkan
pesamaan-persamaan yang menjelaskan gerak dari kontinum kita harus menggunakan
persamaan dalam bentuk integral. Bentuk general dari persamaan-persamaan tersebut
adalah:
d
dt V∫( t )
ρπdV + ∫ ρπ (u − v) ⋅ nˆ dS − ∫ ρPdV + ∫ P( n ) dS =0 ………(J)
S (t ) V (t ) S (t )

dimana,
Persamaan π P P(n)
Massa 1 0 0

T (nˆ ) = σ ⋅ nˆ
T
Momentum u G

Momentum sudut xxu xxG x × T (nˆ )

u2 T (nˆ ) ⋅ u − q ⋅ nˆ
Energy e+ G ⋅u + Q
2
Q − q ⋅ nˆ
Entropy s
T T
Mekanika Kontinum 52

Persoalan semacam ini digambarkan di atas. Di daerah (1) & (2), u, ρ , σ , e, q dan
lain-lain adalah fungsi-fungsi kontinyu. Namun di permukaan Λ (Singular Surface)
terjadi lompatan harga-harga dari variabel-variabel di atas sehingga untuk daerah V2 U
V1 U Λ (U adalah union) variabel-variabel tersebut bukanlah fungsi-fungsi yang
kontinyu. Untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang menjelaskan hubungan
antara variabel-variabel di daerah (1) & (2) maka kita gunakan volume atur yang
bergerak bersama Λ dengan kecepatan v. Karena Λ adalah permukaaan yang sangat
tipis maka ketebalan dari volume atur dapat kita pilih sedemikian rupa sehingga limit.t
Æ 0 (lihat gambar). Apabila ini dilakukan maka V1 & V2 Æ 0 (integral volume dalam
persamaan (J) adalah 0) sehingga kita dapatkan (juga S1 & S2 Æ Λ ),

∫ {ρπ (u − v) ⋅ nˆ − P( ) }ds = 0
S (t )

Sekarang kita tinggal mengevaluasi integral di atas dengan mengingat bahwa n̂


permukaan (1) adalah negatif dari n̂ permukaaan (2) atau nˆ 2 = nˆ = − nˆ1 . Dengan
demikian maka,

∫ {ρ π (u }
 
2 2 2 − v ) ⋅ n − P(n )2 − ρ1π 1 (u 1 − v ) ⋅ n + P(n )1 ds = 0
Λ

(suku P(n̂ )1 memiliki tanda positif karena nˆ1 = −nˆ )

Jadi
{(ρ π (u
2 2 2
 
( )}
− v ) ⋅ n − ρ1π 1 (u 1 − v ) ⋅ n ) − P(n )2 − P(n )1 = 0

atau
[ρπ (u − v ) ⋅ n − P( ) ] = 0

di mana
[φ ] ≡ φ 2 − φ1
 
w ≡ u⋅n −v⋅n .

Apabila kita masukkan π dan P(n ) untuk persamaan massa, momentum, energi dan

pertidaksamaan entropi maka,


Mekanika Kontinum 53

[ρw] = 0 ………………………………………………………………………… [a]


[ρwu − T ( ) ] = 0

n ………………………………………………………………… [b]

⎡ ⎛ u2 ⎞ ⎤
⎢ ρw⎜⎜ e + ⎟⎟ − T (n ) ⋅ u + q ⋅ n ⎥ = 0 …………………………………………… ... [c]
⎣ ⎝ 2 ⎠ ⎦

⎡ q⋅n⎤
⎢ ρws + ⎥ ≥ 0 ……………………………………………………………… ..[d]
⎣ T ⎦
 
w ≡ u⋅n −v⋅n , [φ ] ≡ φ 2 − φ1

1.4 Hubungan Konstitutif

Sampai saat ini, kita tidak pernah membahas hal-hal yang berhubungan dengan sifat
(behaviour) dari material (zat) yang kita pelajari. Persamaan persamaan yang
didapatkan bisa digunakan untuk zat apapun juga. Namun, intuisi kita memahami
bahwa udara dan besi, misalnya, akan mempunyai “response” yang berbeda terhadap
gaya yang sama. Bagaimana sebuah material merespon sebuah gaya, misalnya,
haruslah diikutsertakan dalam penulisan persamaan momentum (yang menjelaskan
gerak benda tersebut). Demikian juga “response” dari material apabila terjadi/ terdapat
perbedaan temperatur di dalam material tersebut, haruslah diikutsertakan di dalam
persamaan energi. Respon material seperti yang dijelaskan di atas sebenarnya telah ada
di dalam beberapa suku dalam persamaan-persamaan yang telah kita dapatkan. Lebih
tepatnya respon material terdapat dalam suku-suku yang menjelaskan interaksi dalam
material tersebut, seperti σ dan q .

Fenomena interaksi antar molekul ini sangat tergantung dari struktur molekul-molekul
yang membentuk meterial tersebut. Oleh karenanya bentuk dari σ dan q tergantung

dari apakah benda yang kita pelajari itu adalah benda padat atau benda fluida (liquid &
gas). Selain itu keadaan material juga menentukan harga dari σ dan q . Harga σ dan

q akan berbeda untuk benda/ material yang berada dalam keadaan setimbang dengan
Mekanika Kontinum 54

benda yang dalam keadaan tidak setimbang. Oleh karena itu, untuk mendapatkan σ

dan q kita harus mengetahui sifat-sifat dari material yang akan kita pelajari.

Pada umumnya, persamaan untuk σ dan q yang disebut juga persamaan konstitutif

haruslah memenuhi prisnsip-prinsip dasar di bawah ini :


a. Principle of Determination
Prinsip ini menyatakan bahwa σ dan q ditentukan oleh “sejarah” dari gerak

yang telah dilakukan oleh material tersebut dan tidak ditentukan oleh gerak yang
akan dilakukan.
b. Principle of Local Action
Prinsip ini menyatakan bahwa gerakan material diluar “neighbourhood” dari
material point ξ dapat diabaikan dalam menentukan persamaan konstitutif.
c. Principle of Frame Indifference
Persamaan konstitutif untuk σ dan q haruslah tidak berubah “invariant”

apabila terjadi perubahan rangka acuan (Lihat subbagian tentang frame


indifference).

Seperti telah dikatakan sebelumnya, untuk mendapatkan persamaan konstitutif kita


perlu mengenal sifat-sifat dari material yang akan kita pelajari lebih mendalam. Inilah
yang akan kita lakukan di tiga sub-bagian berikutnya. Karena buku ini adalah buku
tentang mekanika fluida, kita akan melakukan pembahasan ini khususnya untuk fluida.

1.4.1 Gaya antar molekul

Setiap benda yang ada di dalam alam semesta ini terbentuk oleh atom-atom. Atom-atom
ini sendiri terbentuk dari sebuah nukleus, yang terdiri dari proton dan neutron, yang
dikelilingi oleh elektron-elektron. Biasanya atom bergabung dengan atom-atom lainnya
baik yang sejenis maupun tidak sejenis, untuk membentuk molekul. Apakah sebuah
material itu solid, liquid atau gas tergantung dari struktur molekul-molekul yang
membentuknya.
Mekanika Kontinum 55

Dalam solid, molekul satu berada pada jarak yang sangat dekat dengan molekul lainnya.
Selain itu, setiap molekul menduduki posisi tertentu dan posisi molekul-molekul ini
sangat teratur. Molelul-molekul di dalam solid hanya dapat bergerak (berosilasi) di
sekitar posisi tetapnya tersebut masing-masing. Kerapatan jarak antarmolekul juga
terdapat di dalam liquid. Namun, berbeda dengan solid, molekul-molekul liquid dapat
bergerak bebas. Gas mempunyai struktur molekul yang sangat berbeda. Jarak antara
molekulnya relatif sangat jauh bila dibandingkan dengan solid dan liquid.

Di dalam setiap material, terdapat gaya-gaya yang beraksi antar molekul. Gaya ini
disebut “intermolecullar force”. Apabila kita isolasi sepasang molekul, maka gaya yang
dirasakan oleh molekul satu akibat adannya molekul lainnya adalah fungsi dari jarak
antara kedua molekul tersebut (r). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa gaya tersebut
kurang lebih digambarkan di sketsa di bawah ini.

Apabila jarak antar molekul tersebut (r) < r0 maka gaya antar molekul tersebut adalah
gaya repulsive (Saling mendorong). Apabila r > r0 maka gaya tersebut adalah gaya
attractive (saling tarik menarik). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa r untuk solid
dan liquid adalah sekitar r0 (r~ r0), sedangkan untuk gas r~ 10 r0. Karena untuk gas r~
10 r0 gaya antarmolekul sangat lemah sehingga gas sering kali diasumsikan sebagai
“gas ideal” di mana gaya antar molekulnya dapat diabaikan.
Mekanika Kontinum 56

1.4.2 Material dalam keadaan equilibrium

Apabila sebuah material dalam keadaan equilibrium maka benda tersebut secara
makroskopik berada dalam keadaan diam dan setiap titik dalam benda tersebut
mempunyai temperatur (T) yang sama. Apabila sebuah solid dalam keadaan
equilibrium kemudian diberikan gaya luar, maka selama gaya luar tersebut tidak terlalu
besar, solid tersebut akan mencapai keadaan equilibrium yang kedua dan solid tersebut
akan berada dalam keadaan diam secara makroskopik. Apa yang terjadi secara
mikroskopik dapat dilihat dalam sketsa di bawah:

Misalkan solid tersebut mempunyai struktur seperti di sebelah kiri dalam sketsa di atas.
Kemudian solid tersebut di”tekan” dengan gaya Fluar. Bentuk solid tersebut akan
berubah seperti gambar di kanan. Dalam keadaan equilibrium baru ini rAC < ro sehingga
terdapat gaya repulsive antara A dan C. Sedangkan rAB > ro sehingga terdapat gaya
attractive antara A dan B. Gaya-gaya antar molekul ini “melawan” deformasi yang
diakibatkan Fluar sedemikian rupa sehingga ada kecenderungan untuk “mengembalikan”
molekul-molekul tersebut keposisi semula. Gaya-gaya antarmolekul inilah yan disebut
“stress” ( σ ) dalam solid dan dari contoh di atas dapat dilihat bahwa σ = σ ( F ) di mana

F adalah “deformation gradient” yang disebabkan oleh Fluar. Selain itu, dalam

keadaan equilibrium molekul-molekul dalam solid dapat berosilasi/ bergetar di sekitar


posisinya. Getaran ini akan bertambah dengan naiknya temperature, T. Pada T tertentu
getaran yang terjadi sedemikian rupa sehingga menyebabkan perubahan r yang cukup
signifikan. Ini tentunya akan menyebabkan gaya antar molekul. Oleh karena itu, σ

dapat dinyatakan sebagai σ = σ ( F , T ) untuk T yang cukup tinggi.


Mekanika Kontinum 57

Hal yang sangat berbeda terjadi pada fluida (liquid dan gas) dan di sini lah perbedaan
yang mendasar antara kedua tipe material tersebut. Apabila fluida diberikan Fluar maka
fluida tersebut akan terus bergerak sampai Fluar berhenti beraksi. Dengan kata lain
fluida yang diberikan Fluar tidak akan berada dalam keadaan diam. Oleh karena itu
untuk mempelajari sifat equilibrium dari fluida, kita lihat fluida yang diam tanpa ada
gaya-gaya luar. Berbeda dengan solid, molekul-molekul fluida dapat bergerak dengan
leluasa. Dalam keadaan equilibrium, molekul-molekul ini bergerak secara acak dan
“isotropic” (tidak mempunyai kecenderungan arah) sehingga secara makroskopik fluida
tersebut dalam keadaan diam. Apabila kita letakkan sebuah benda di dalam fluida maka
molekul-molekul dari fluida tersebut akan bertumbukkan dengan benda itu. Di bawah
ini adalah sketsa di mana “box yang sangat kecil” diletakkan di dalam gas. Titik-titik
hitam dalam gambar adalah molekul-molekul gas dan tanda panah menunjukkan arah
pergerakan molekul tersebut.

Ketika molekul-molekul ini bertumbukkan dengan “box”


tersebut, molekul-molekul ini “memberikan” momentum
kepada “box”. Perubahan waktu dari momentum per unit
area ini adalah “tekanan” (p) yang dirasakan oleh “box”
tersebut. Karena molekul-molekul gas, dalam keadaan
equilibrium, bergerak secara isotropic maka tekanan yang
dirasakan oleh sisi kiri, kanan, atas, bawah, depan, dan belakang adalah sama.
Hubungan antara p dengan ρ dan T dapat dilihat dari penjelasan di atas. Kita ketahui
bahwa T adalah “ukuran makroskopik” dari kinetik energi molekul-molekul. Apabila T
bertambah maka kinetik energi juga bertambah sehingga tumbukan terjadi lebih sering.
Demikian pula dengan ρ yang merupakan “ukuran kerapatan” molekul-molekul. Jadi
dapat disimpulkan bahwa secara umum p = p(ρ,T).

Sedikit perbedaan terjadi apabila “box” di atas diletakkan dalam liquid. Dalam gas,
gerakan molekul yang menuju atau meninggalkan permukaan box tersebut independen
dari gerakan molekul lainnya (ideal gas). Dalam liquid ini tidak terjadi dan terdapat
gaya interaksi antar molekul sehingga gerakan sebuah molekul dipengaruhi oleh
gerakan molekul lainnya. Misalkan, karena sebuah molekul bertumbukan dengan
Mekanika Kontinum 58

permukaan “box” maka jarak antara molekul tersebut dengan molekul tetangganya
berubah (r<ro, misalnya) dan ini menyebabkan gaya repulsive terhadap molekul tersebut
yang memberikan kontribusi kepada harga p di permukaan.

Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan bahwa σ fluida dalam keadaan diam

adalah σ = − pI karena p adalah gaya/ unit area yang disebabkan oleh “interaksi”

(tumbukan) antarmolekul. Tanda negatif di atas ditambahkan karena gaya ini


berlawanan (gaya kompresif) dengan arah normal dari permukaan tersebut.

1.4.3 Material Dalam Keadaan Non-equilibrium (Transport


Phenomena)

Sebuah sistem yang berada dalam keadaan non-equilibrium mempunyai kecenderungan


untuk “membawa” sistem tersebut ke keadaan equilibrium. Dalam material ini
dilakukan dengan “menyebarkan matter”, momentum, dan energi dari daerah di dalam
sistem yang mempunyai “kelebihan” “matter”, momentum, dan energi ke daerah yang
kekurangan. Fenomena penyebaran ini disebut “transport phenomena”. Proses
“penyebaran” ini adalah proses yang irreversible sehingga menyebabkan disipasi
energi. Di bawah ini kita akan bahas fenomena-fenomena transport yang terjadi di
dalam fluida.

i) MomentumTransport

Untuk mempelajari momentum transport, misalkan kita mempunyai gas yang diletakkan
di antara 2 pelat A dan B. Pelat B dapat digerakkan dengan kecepatan U. Apabila U = 0
dan gas di antara kedua pelat tersebut berada dalam keadaan equilibrium maka gas
Mekanika Kontinum 59

tersebut terlihat diam secara makroskopik. Meski demikian kita tahu bahwa molekul-
molekul gas bergerak terus menerus secara sembarang. Namun, karena gerakan-
gerakan molekul-molekul gas tersebut acak maka kecepatan rata-rata gas di arah x, y,
dan z adalah nol (gas dalam keadaan diam).

Sekarang kita gerakkan pelat B ke kanan dengan kecepatan U. Molekul-molekul yang


berada di sekitar pelat B (lapisan I) dan telah bertumbukkan dengan pelat tersebut
mendapatkan “tambahan” momentum di arah x. molekul-molekul ini kemudian
bergerak ke arah lapisan II dan melintasi perbatasan antara lapisan I dan II. Di lapisan
II sebagian molekul yang mempunyai kelebihan momentum di arah x ini akan
bertumbukan dengan molekul-molekul di lapisan ini dan dengan demikian “kelebihan”
momentum di arah x tadi ditransfer (transport) ke lapisan ke-II. Molekul-molekul yang
sekarang berada di lapisan II sebagian akan bergerak ke lapisan I dan sebagian lagi
bergerak ke lapisan III dan men-transport-kan kelebihan momentum tadi ke lapisan III.
Demikianlah proses ini berlanjut ke lapisan-lapisan seterusnya dan momentum
di”transport”kan ke lapisan-lapisan tersebut. Secara makroskopik, efek dari transfer
momentum ini menghasilkan gradien kecepatan seperti terlihat di sisi kiri dalam gambar
di atas. Dalam kasus ini ada 2 hal yang memberikan kontribusi terhadap σ . Yang

pertama adalah tekanan p (seperti dalam keadaan equilibrium) dan yang kedua adalah
“interaksi” antarmolekul yang disebabkan oleh “penyebaran” momentum seperti yang
dijelaskan di atas. Stress yang kedua ini disebut “viscous stress”. Viscous stress ini
adalah manifestasi dari “perlawanan” gas terhadap ketidaksetimbangan yang disebabkan
oleh pergerakan dari pelat B. Dalam banyak hal, viscous stress ini mirip dengan gaya
gesek yang terjadi apabila kita menggeser sebuah benda diatas sebuah pemukaan.
Pergeseran lapisan-lapisan fluida dalam gambar di atas, misalnya, dapat
diinterpretasikan sebagai akibat adanya gaya gesek antara lapisan satu dengan lainnya.

Penjelasan di atas diberikan untuk gas. Apabila fluida diantara pelat A dan B adalah
liquid maka selain “penyebaran” momentum seperti dijelaskan di atas terdapat pula
transport momentum yang disebabkan oleh gaya intermolecular. Misalnya, molekul-
molekul di lapisan I mempunyai kecenderungan untuk bergerak ke kanan karena adanya
“ekstra” x-momentum seperti dalam kasus di atas. Gerakan molekul-molekul di lapisan
Mekanika Kontinum 60

I ini dapat meyebabkan pergerakan molekul-molekul di lapisan II ke arah yang sama


walaupun, karena suatu hal, molekul-molekul di lapisan I tidak “menyeberang” ke
lapisan II. Ini disebabkan karena adanya “intermolecular force” yang kuat di antara
molekul-molekul liquid tersebut (gaya ini gaya yang attractive) sehingga molekul-
molekul di lapisan II mendapatkan ekstra “x-momentum” dan proses ini berlanjut ke
lapisan berikutnya. Jadi, fenomena momentum dalam liquid lebih kompleks
dibandingkan dengan fenomena yang sama yang terjadi di dalam gas. Selain ada
momentum transport yang disebabkan oleh pergerakan molekul antarlapisan, terdapat
pula transport yang disebabkan “intermolecular force” seperti dijelaskan sebelumnya.
Namun, secara makroskopik apa yang terjadi mirip dengan transport momentum dalam
gas, yaitu adanya kontribusi dari viscous stress di dalam σ .

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum σ dapat dinyatakan

sebagai σ = − pI + τ , di mana τ adalah viscous stress yang tidak memberikan

kontribusi apa pun apabila fluida berada di dalam keadaan equilibrium. Karena τ

disebabkan oleh adanya gradien dari kecepatan ( ∇u ) maka τ dapat dinyatakan sebagai

τ = τ (∇u ) .

ii) Energy Transport

Sekarang kita akan beralih ke fenomena transport yang berikutnya yaitu energy
transport. Untuk itu, kita perhatikan gas di antara 2 pelat seperti sebelumnya. Apabila
TB=TA maka gas berada dalam keadaan equilibrium. Dalam kondisi ini temperatur di
setiap titik dalam gas adalah sama (T=TA). Karena temperatur adalah “ukuran” dari
Mekanika Kontinum 61

rata-rata kinetik energi dari molekul-molekul di dalam gas maka dalam keadaan
equilibrium energi kinetik molekul-molekul tersebut secara rata-rata adalah sama.

Sekarang kita ubah temperatur pelat B menjadi TB>TA misalnya. Secara makroskopik
perubahan temperatur TB menyebabkan perubahan temperatur gas yang berada di dekat
pelat B (lapisan I). Dengan kata lain, naiknya TB menyebabkan bertambahnya energi
kinetik dari molekul-molekul di lapisan I. Seperti yang terjadi dalam kasus momentum
transport, ketika molekul-molekul ini “menyeberang” ke lapisan II dan bertumbukkan
dengan molekul-molekul lainnya, molekul-molekul ini “memindahkan” ekstra energi
yang diperoleh karena TB yang lebih tinggi, ke molekul-molekul lainnya di lapisan II.
Sekarang sebagian dari molekul-molekul di lapisan II bergerak ke lapisan III dan
sebagian lagi kembali ke lapisan I. Molekul-molekul yang bergerak ke lapisan III akan
bertumbukkan dengan molekul-molekul di lapisan ini dengan demikian “ekstra” energi
kinetik yang diperoleh dari oleh molekul-molekul ini ditransfer ke molekul-molekul di
lapisan III. Demikianlah proses “penyebaran” ekstra energi kinetik ini berlanjut ke
lapisan-lapisan berikutnya dan dengan demikian secara makroskopik akan terdapat
gradien temperatur (∇T ) di dalam gas tersebut. Proses ini mirip dengan proses
momentum transport yang dijelaskan sebelumnya, namun proses ini tidak harus
menyebabkan adanya gerakan makroskopik di dalam gas. Dengan kata lain proses in
dapat terjadi di dalam gas yang diam. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Bertambahnya energi kinetik berarti molekul-molekul tersebut bergerak lebih cepat.
Namun, molekul-molekul yang bergerak lebh cepat ini tetap bergerak secara acak
(random) karena proses ini tidak menyebabkan bertambahnya momentum di satu arah
saja melainkan bertambahnya momentum di semua arah (yang bertambah adalah

u = u x2 + u y2 + u z2 ). Karena molekul-molekul ini tetap bergerak secara acak maka

secara makroskopik gas tersebut dapat saja berada dalam keadaan diam. Namun apabila
∇T yang ditimbulkan cukup tinggi tentu saja gas tersebut akan mulai bergerak (dari
daerah yang mempunyai T yang tinggi ke daerah dengan T yang lebih rendah)

Apabila fluida di antara pelat A dan B ini adalah liquid maka proses yang sama akan
terjadi namun, tentunya, lebih kompleks karena adanya “intermolecular force”.
Mekanika Kontinum 62

Misalnya, sebuah molekul mempunyai kelebihan energi kinetik dan bergerak lebih
cepat. Karena adanya gaya tarik menarik yang kuat maka molekul ini akan menarik
beberapa molekul di sekitarnya. Sehingga molekul-molekul tersebut mendapatkan
“ekstra” energi kinetik.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa transfer atau transport dari energi
antarmolekul yang dijelaskan oleh q secara umum dapat dinyatakan sebagai q = q(∇T )

karena energy transport ini secara makroskopik disebabkan adanya ∇T di dalam fluida.

iii) Mass Transport

Selain transport momentum dan energi, ada satu fenomena transport lagi yang terjadi di
dalam ”fluida campuran”(fluida yang terdiri dari beberapa “species”). Misalkan fluida
tersebut terdiri dari 2 species (titik hitam dan titik putih) seperti dalam gambar di atas.
Misalkan juga salah satu species (hitam) di lapisan I lebih banyak daripada species
lainnya (putih). Karena molekul-molekul dalam fluida (baik gas maupun liquid)
bergerak secara acak, baik putih maupun yang hitam, maka secara umum akan terdapat
flux dari salah satu species yang melewati perbatasan antara lapisan-lapisan tersebut
(misalnya flux dari molekul hitam dari lapisan I ke lapisan II dan flux dari molekul
putih dari lapisan II ke I). Pergerakan molekul-molekul ini sedemikian rupa sehingga
terdapat kecenderungan untuk “meratakan” komposisi dari kedua jenis molekul tersebut
di setiap lapisan. Proses ini disebut juga proses difusi dan seperti telah dijelaskan
sebelumnya, adalah akibat dari adanya gerakan acak dari molekul-molekul dalam fluida.
Karena secara makroskopik proses ini terjadi akibat adanya gradien dari konsentrasi (Ci)
( )
dari salah satu “species” maka flux ini j i dapat dinyatakan sebagai j i = j i (∇C i )
Mekanika Kontinum 63

iv) General Transport Phenomena


Dari penjelasan di atas (i s.d. iii) kita telah lihat bahwa fenomena transport disebabkan
oleh adanya gradien-gradien. Misalnya adanya ∇u menyebabkan momentum transport,
∇T menyebabkan energy transport. Namun, secara umum adanya satu gradien tidak
hanya mengakibatkan terjadinya satu jenis transport tetapi dapat menyebabkan berbagai
jenis transport. Contohnya, misalkan terdapat ∇T di dalam sistem, selain
menyebabkan energy transport, ∇T dapat pula menyebabkan terjadinya proses difusi
(mass transport). Proses ini disebut juga “sorret effect”. Contoh lainnya adalah energy
transport yang disebabkan oleh adanya ∇C (dufour effect). Jadi secara umum, ∇ dapat
menyebakan “direct effect”, seperti ∇T menyebabkan energy transport, dan “coupled
effect”, seperti ∇T yang menyebabkan mass transport.

Untuk fenomena-fenomena transport, kita dapat gunakan “thermodynamics of


irreversible process” untuk mendapatkan persamaan konstitutif. Prosedur dari
“thermodynamics of irreversible process” adalah sebagai berikut. Pertama, kita cari σ~
dari pertidaksamaan entropi. σ~ yang didapat harus dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga berbentuk,
1 1
σ~ = ∑ Ji ⋅ X i = J ⋅ X ≥ 0
T i T
di mana komponen-komponen J adalah flux-flux seperti τ , q , j i dan komponen-

komponen X adalah gradien-gradien yang menyebabkan flux J tersebut, misalnya


∇u , ∇T , ∇C .

Contoh: untuk fluida satu species


⎧τ ⎫ ⎧ ∇u ⎫
J ≡ ⎨ ⎬ dan X ≡ ⎨ ⎬
⎩q ⎭ ⎩∇T ⎭
Gradien-gradien ini dianggap tidak terlalu besar (fluida tidak terlalu jauh dari
equilibrium) sehingga ekspansi Taylor dapat digunakan. Dengan demikian maka kita
dapat nyatakan,
∂J
J = J ( p, T , C i ; X ) = ( p, T , Ci ;0)X + ......
∂X
Mekanika Kontinum 64

( J adalah fungsi p, T, Ci karena variabel-variabel ini adalah variable keadaan untuk


keadaan equilibrium). Apabila kita definisikan
∂J
Ω≡
∂X
maka
J = Ω⋅ X

di mana Ω = Ω( p, T , C i ) .

Salah satu teorema fundamental dalam “thermodynamics of irreversible process” adalah


T
Ω = Ω atau Ω ij = Ω ji .

Hubungan ini disebut juga “Onsager reciprocal relation”. Selain itu terdapat sebuah
prinsip penting yang disebut “Curie’s principle” yang menyatakan bahwa,
Tidak ada “coupling” antara tensor orde ganjil dengan tensor orde genap untuk
hubungan linear seperti J = Ω ⋅ X

Metode “thermodynamics of irreversible process” hanya dapat digunakan untuk


mendapatkan persamaan konstitutif untuk proses yang irreversible. σ untuk elastic

solid, misalnya, adalah proses yang reversible sehingga metode ini tidak dapat
digunakan untuk mendapatkan persamaan konstitutif untuk kasus tersebut. Selain itu,
bentuk dari J = Ω ⋅ X haruslah memenuhi prinsip-prinsip dasar untuk persamaan

konstitutif (a, b, c).


Catatan: Komponen-komponen dari Ωij secara umum adalah tensor yang ordenya dapat
berbeda-beda karena komponen-komponen J dan X adalah tensor-tensor
dengan orde yang berbeda.

Contoh : Fluida homogen (satu species)


Kita akan lihat di bab berikutnya bahwa untuk fluida homogen,
∇T ⎞ 1
⎟ + (τ ⋅ ∇ ) ⋅ u ≥ 0 .
1⎛
σ~ = − ⎜ q ⋅
T⎝ T ⎠ T
Mekanika Kontinum 65

Dari sini dapat diidentifikasikan bahwa,


⎧τ ⎫ ⎧ ∇u ⎫
J ≡ ⎨ ⎬ dan X ≡ ⎨ ⎬
⎩q ⎭ ⎩∇T ⎭
dengan demikian maka persamaan konstitutif adalah (J = Ω ⋅ X ) ,

τ = Ω : ∇u + Ω12 ⋅ ∇T dan q = Ω 21 ⋅ ∇u + Ω 22 ⋅ ∇T .
11

“Onsager reciprocal relation” menyatakan bahwa Ω12 = Ω21. Namun, τ adalah tensor

orde genap sedangkan ∇T adalah vektor atau tensor orde satu (ganjil). Oleh karena itu,
menurut “Curie’s principle” tidak ada ada coupling antara τ dan ∇T dan juga dengan

q atau ∇u . Dengan demikian maka,

Ω12 = Ω 21 = 0

sehingga
τ = Ω : ∇u dan q = Ω 22 ⋅ ∇T
11

Hubungan antara τ dan ∇u dan q dengan ∇T di atas telah memenuhi prinsip dasar a

dan b. Akan kita lihat nanti bahwa prinsip dasar c mengharuskan Ω & Ω 22 adalah
11

tensor-tensor yang isotropic.

1.4.4 Persamaan konstitutif untuk fluida (“satu spesies”)

Di subbagian ini kita akan lihat contoh dari penerapan prinsip-prinsip dasar untuk
persamaan konstitutif. Contoh yang akan dibahas adalah untuk fluida yang homogen
(hanya terdiri satu species sehingga ( ∇C i = 0 ). Fluida inilah yang akan kita bahas
dalam buku ini.

i) Persamaan untuk heat conduction ( q )


Dari penjelasan di subbagian sebelum ini dapat disimpulkan bahwa untuk fluida yang
homogen dapat dinyatakan sebagai q = q( p, T ; ∇T ) . Penulisan q sebagai fungsi p,
− − −

T, ∇T seperti di atas jelaslah telah memenuhi prinsip a) & b) (principle of determinism


Mekanika Kontinum 66

& local action). Sekarang kita akan lihat bagaimana bentuk dari yang memenuhi
prinsip c) (principle of material frame indifference).

Karena q adalah sebuah vektor maka untuk memenuhi c) q haruslah, (lihat subbagian
− −

frame indifference)

q = Q⋅q (c.1)

Karena q adalah fungsi dari p, T, ∇T kita harus cek apakah variabel-variabel ini

memenuhi prinsip c). Karena p & T adalah skalar maka, p* = p, T* = T, sekarang


bagaimana dengan ∇T
∂T ∂T * *
(∇T ) = (
*
ei ) = * eˆi
ˆ *

∂xi ∂x

Kita telah lihat sebelumnya bahwa T*=T dan eˆi* = Q ⋅ eˆi . Juga xi adalah skalar sehingga

x*i = xi. Dengan demikian maka,


∂T ∂T
(∇T ) * = ( Q ⋅ eˆi ) * = Q ⋅ eˆi = Q ⋅ ∇T .
∂xi ∂xi
Jadi,
*
q = q ( p * , T * ; (∇T ) * ) = q( p, T ; Q ⋅ ∇T )

sehingga persamaan (c.1) menjadi

q ( p , T ; Q ⋅ ∇T ) = Q ⋅ q ( p , T ; ∇T )

Namun persamaan di atas adalah definisi dari fungsi yang isotropik untuk sebuah
vektor. Dengan demikian maka prinsip c) mengharuskan adalah sebuah fungsi yang
isotropik. Fungsi isotropik yang paling umum adalah
~
q = k ( p, T ; ∇T )∇T

Hukum konduksi Fourier yang kita kenal adalah kasus spesial dari hubungan di atas.
Hubungan inilah yang biasanya digunakan untuk fluida yang dibahas dalam subbagian
ini. Jadi
Mekanika Kontinum 67

q = − k ( p, T )∇T (Fourier’s Law of heat conduction)


ii) Persamaan untuk σ (Newtonian Fluid)

Dari diskusi sebelumnya kita ketahui bahwa untuk fluida yang dibahas di sini σ dapat

dinyatakan sebagai,
σ = σ ( p , T ; ∇u )

Seperti halnya q , penulisan σ seperti di atas telah memenuhi prinsip a) & b).

Sekarang kita lihat bagaimana bentuk dari σ yang memenuhi prinsip c). Untuk

memenuhi c) maka σ haruslah (lihat subbagian frame indifference)

σ * = Qσ Q T (c.2)

Karena σ adalah fungsi dari p, T & ∇u , kita harus cek bagaimana bentuk dari (∇u ) *

(kita telah lihat sebelum ini bahwa T* = T & p* = p). Dari salah satu contoh di
subbagian frame indifference,
(∇u ) * = Q Q + Q∇u ⋅ Q .
T T

Karena ∇u = D + Ω maka (∇u ) * dapat dituliskan seperti,

(∇u ) * = Q Q + Q DQ + QΩQ
T T T

Dari kedua persamaan terakhir di atas, jelaslah bahwa secara umum ∇u tidak memenuhi
prinsip c). ∇u akan memenuhi c) apabila Q = 0 atau apabila kita pilih Q = −Q Ω .
Untuk sementara kita pilih Q = −Q Ω dan kita akan lihat nanti apa implikasi dari pilihan
ini. Dengan pilihan Q ini maka,
T
(∇u ) * = Q DQ
Dengan demikian maka,
σ * = σ ( p *T * ; (∇u ) * ) = σ ( p, T ; (∇u ) * , Q DQ T

sehingga persamaan (c.2) menjadi,


σ ( p, T , Q DQ T ) = Qσ ( p, T ; D)Q T .
Mekanika Kontinum 68

Namun, persamaan di atas adalah definisi dari fungsi yang isotropik dari sebuah tensor
orde 2. Dengan demikian, sekali lagi prinsip c) mengharuskan hubungan konstitutif
untuk sebuah fungsi yang isotropik. Fungsi isotropik yang paling umum untuk sebuah
tensor orde 2 adalah ,
σ = η0 I + η1 D + η 2 .D D & ηi = ηi ( P, T , I D , II D , III D ) .

I D , II D , III D adalah koefisien dari persamaan untuk “principle value” D yaitu,

det(mI + D) = m 3 + I D m 2 + II D m + III D = 0
( I D , II D , III D = 0 apabila D = 0 ).

Fluida dengan persamaan konstitutif seperti diatas disebut juga fluida: “Rainner- Rivlin”
. Karena D adalah simetrik maka σ seperti di atas secara otomatis memenuhi

konservasi momentum sudut ( σ = σ ).


T

Dari penjelasan fisis yang telah diberikan di bagian sebelumnya kita ketahui apabila
∇u = 0 ( D = 0 ) maka σ = − p I atau σ untuk fluida yang diam adalah tekanan (p).

Dengan demikan maka σ dapat dinyatakan sebagai,

σ = (− p + υ 0 ) I + υ1 D + υ 2 .D D
dimana
υ i = υ i ( p, T , I D , II D , III D )

Sekarang kita akan kembali untuk melihat kembali interpretasi fisis dari pilihan kita
untuk Q . Dengan memilih Q = −Q Ω , kita dapatkan persamaan (c.3). Dalam

persamaan ini tidak terdapat Ω dan kita telah lihat sebelumnya, bahwa Ω menjelaskan

rotasi benda rigid. Jadi dengan kata lain pilihan kita menyatakan bahwa Ω tidak

menyebabkan adanya stress ( σ ). Ini tentunya sesuai dengan kenyataan fisis yang

sebenarnya karena rotasi benda rigid tidak menyebabkan adanya gerakan relatif antara
lapisan-lapisan dalam fluida. Dengan demikian maka pilihan kita tadi bukanlah pilihan
sembarang melainkan pilihan yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Mekanika Kontinum 69

Persamaan (c.3) adalah bentuk umum untuk material (fluida) yang mempunyai
σ = σ (∇u ) . ”Fluida Newtonian” adalah kasus spesial dari (c.3) di mana hubungan

antara σ & D adalah hubungan yang linier. Untuk Fluida Newtonian,

σ = − p I + λ (∇ ⋅ u ) I + 2µ D

Di mana λ = λ ( p, T ) disebut “second viscosity coefficient”


µ = µ ( p, T ) disebut “shear viscosity coefficient”

Model “Fluida Newtonian” ini dapat digunakan untuk hampir semua fluida yang alami
seperti udara, air, dan gas& liquid lannya. Namun, terdapat pula fluida alami seperti
darah yang tidak dapat dimodelkan sebagai “Fluida Newtonian”.

Hubungan antara koefisien seperti k , λ & µ dengan p & T biasanya didapatkan dari
eksperimen. Untuk gas, koefisien ini dapat dihubungkan dengan properti–properti
mikroskopik dengan menggunakan teori kinetik. Kenyataan bahwa harga k , λ & µ
tidak didapatkan dari sistem persamaan adalah konsequensi dari penggunaan metode
kontinum.
Dasar Mekanika Fluida 70

BAB

2
Dasar Mekanika Fluida

2.1 Sistem persamaan diferensial untuk fluida

Di subbagian sebelum ini, kita telah mendapatkan persamaan konstitutif untuk fluida.
Persamaan konstitutif ini menjelaskan hubungan antara tegangan (stress) untuk fluida
dengan ∇u (deformasi). Apabila kita akan masukkan ekspresi untuk σ ini ke dalam

persamaan-persamaan dasar kontinum maka akan kita dapatkan sistem persamaan yang
menjelaskan gerak fluida.

Persamaan yang pertama dalam sistem persamaan ini adalah persamaan kontinuitas.
Karena dalam persamaan ini tidak terdapat σ maka persamaan ini tidak berubah, yaitu,


+ ρ∇ ⋅ u = 0 (a)
dt
Persamaan yang kedua adalah persamaan momentum. Di sini terdapat
σ = − pI + τ

dimana τ adalah,

τ = λ I (∇ ⋅ u ) + µ (∇u + (∇u ) T ) = λ (∇ ⋅ u ) I + 2µ D .

Apabila kita substitusikan σ di atas ke dalam persamaan momentum untuk benda

kontinum, maka hasilnya adalah,


Dasar Mekanika Fluida 71

ρ
du
dt
[
= ρ G − ∇p + ∇ ⋅ λ (∇ ⋅ u ) I + 2µ D ] (b)

Persamaan diatas disebut juga persamaan Navier-stokes. Seringkali, dalam mempelajari


aliran fluida kita dapat gunakan asumsi µ dan λ adalah konstan. Apabila asumsi ini
dapat digunakan maka ∇ ⋅ τ menjadi,

[
∇ ⋅ τ = λ∇(∇ ⋅ u ) + µ ∇ ⋅ (∇u ) + ∇ ⋅ (∇u ) T ]
= λ∇(∇ ⋅ u ) + µ [∇ ⋅ (∇u ) + ∇ u ]
2

Sehingga persamaan (b) menjadi,


du
ρ = ρ G − ∇p + (λ + µ )∇(∇ ⋅ u ) + µ∇ 2 u
dt

Sekarang kita beralih ke persamaan energi. Selain terdapat σ , dalam persamaan ini

juga terdapat q (heat conduction). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, q untuk fluida

adalah,
q = − k∇T

Dengan demikian maka persamaan energi menjadi,


d u2
ρ (e + ) = ρ (G ⋅ u + Q) − ∇ ⋅ q − ∇ ⋅ ( pu ) + ∇ ⋅ (τ ⋅ u )
dt 2
atau
d u2
ρ (e + ) = ρ (G ⋅ u + Q) + ∇ ⋅ (k∇T ) − ∇ ⋅ ( pu ) + ∇ ⋅ (λ (∇ ⋅ u )u ) + ∇ ⋅ (2 µ D ⋅ u ) (c)
dt 2

Persamaan energi mempunyai beberapa bentuk alternatif. Salah dari bentuk alternatif
adalah persamaan yang menjelaskan perubahan waktu dari entropi sebuah fluid element.
Persamaan ini seringkali digunakan untuk menggantikan persamaan energi. Untuk
mendapatkan persamaan ini kita harus melakukan beberapa manipulasi terhadap
persamaan momentum dan energi. Dalam melakukan manipulasi itu, kita juga akan
mendapatkan persamaan yang menjelaskan laju perubahan energi kinetik dan energi
dalam dari sebuah fluid element. Kita mulai mulai proses manipulasi ini dengan
mengambil dot product persamaan (b) dengan u (u ⋅ (b) ) dan hasilnya adalah,
Dasar Mekanika Fluida 72

du d u2
ρu ⋅ =ρ = −u ⋅ ∇p + ρ G ⋅ u + u ⋅ (∇ ⋅ τ ) (KE)
dt dt 2
Persamaan di atas adalah persamaan untuk energi kinetik.

Persamaan energi (c) dapat dijabarkan lebih lanjut,


d u2
ρ (e + ) = ρ (G ⋅ u + Q) − ∇ q − p∇u − u ⋅ ∇p + u ⋅ (∇ ⋅ τ ) + (τ ⋅ ∇) ⋅ u
dt 2
Berikutnya persamaan ini akan kita kurangi persamaan (KE) dan hasilnya adalah,
de
ρ = ρQ − p∇ ⋅ u − ∇ ⋅ q + (τ ⋅ ∇) ⋅ u
dt
1 dρ
Dari persamaan (a), ∇ ⋅ u = − sehingga,
ρ dt
de p dρ
ρ = ρQ + − ∇ ⋅ q + (τ ⋅ ∇) ⋅ u (IE)
dt ρ dt

Persamaan di atas adalah persamaan untuk energi dalam (internal energy). Namun,
apabila kita mengingat hasil termodinamika, persamaan untuk perubahan waktu dari
internal energy dapat diturunkan dengan cara lain. Pertama-tama, hasil dari
termodinamika menyatakan bahwa untuk proses yang reversible,
⎛1⎞ p dρ
de = T ds − p d ⎜⎜ ⎟⎟ = T ds +
⎝ρ⎠ ρ ρ
Sehingga,
⎛ de ⎞ ds p dρ
⎜ ρ ⎟ = ρT +
⎝ dt ⎠ rev dt ρ dt
di mana subscript “rev” adalah untuk mengingatkan kita bahwa hasil di atas adalah
de
untuk proses yang internally reversible. Apabila kita substitusikan hasil ini untuk ρ
dt
di persamaan (IE) maka hasilnya adalah,
ds
ρT = ρQ − ∇ ⋅ q + (τ ⋅ ∇) ⋅ u
dt
atau,
ds ρQ ∇ ⋅ q (τ ⋅ ∇) ⋅ u
ρ = − + (d)
dt T T T
Dasar Mekanika Fluida 73

Persamaan di atas menjelaskan perubahan waktu dari entropi (s). Masih banyak lagi
bentuk alternatif dari persamaan energi selain ketiga persamaan diatas (energi kinetik,
energi dalam, dan entropi). Bentuk-bentuk alternatif lainnya akan diturunkan di 2.2.1.

2.1.1 Konsekuensi Hukum Termodinamika II (Energy Dissipation)

Di subbagian sebelum ini kita telah mendapatkan persamaan yang menjelaskan laju
perubahan entropi untuk sebuah fluid element. Sekarang kita akan gunakan hasil
tersebut untuk melihat konsekuensi dari Hukum Termodinamika II untuk fluida.

Pertama-tama, mari kita ambil integral dari persamaan (d). Apabila ρ, s, Q, T, k, u , dan
τ adalah fungsi-fungsi yang kontinu dan dapat didiferensialkan maka (*) dan (**) dapat
digunakan dalam mengambil integral dari persamaan (d). Hasilnya adalah,
ds ρQ ∇ ⋅ (k∇T ) (τ ⋅ ∇)u
∫ρ
V (t )
dt
dV = ∫
V (t )
T
dV + ∫
V (t )
T
dV + ∫
V (t )
T
dV (x)

di mana V(t) adalah volume material dan kita telah subtitusikan q = − k∇T .

Sekarang kita tuliskan Hukum Termodinamika II untuk benda kontinuum.


ds q ⋅ nˆ ρQ

V (t )
ρ
dt
dV + ∫
S (t )
T
dS − ∫
V (t )
T
dV ≥ 0

Berikutnya substitusikan q = − k∇T ke dalam Hukum Termodinamika II diatas dan

ubah menjadi integral volume dengan menggunakan (*) sehingga suku kedua dalam
integral diatas menjadi,
q ⋅ nˆ ⎛q⎞ ⎛ − k∇T ⎞ ⎛ 1 k (∇T ) 2 ⎞

S (t )
T
dS = ∫ ⎜ T ⎟⎠ V∫(t ) ⎝ T ⎠ V∫(t ) ⎜⎝ T

V (t ) ⎝
⎜ ⎟dV = ∇ ⋅ ⎜ ⎟dV = ⎜ − ∇ ⋅ ( k∇ T ) +
T2
⎟⎟dV

Dengan demikian maka Hukum Termodinamika II menjadi,
ds ∇ ⋅ (k∇T ) (∇T ) 2 ρQ

V (t )
ρ
dt
dV − ∫
V (t )
T
+ ∫ k
V (t ) T 2
dV − ∫
V (t )
T
dV ≥ 0

Sekarang kita substitusikan persamaan (x) ke dalam pertidaksamaan di atas dan hasilnya
adalah
Dasar Mekanika Fluida 74

k (∇T ) 2 (τ ⋅ ∇) ⋅ u

V (t ) T 2
dV + ∫
V (t )
T
dV ≥ 0 (xx)

Hasil di atas menjadi persamaan untuk proses reversible dan pertidaksamaan untuk
proses irreversible. Seperti telah kita ketahui dari termodinamika, proses irreversible
merupakan proses yang menyebabkan adanya energi yang hilang atau “terdisipasi” di
dalam sistem (material volume). Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa q dan τ adalah

sesuatu yang menyebabkan terjadinya disipasi (hilangnya) energi dalam sistem fluida.
Sebab apabila q = 0 dan τ = 0, maka proses menjadi reversible dan tidak ada energi

yang hilang.

Selain memberitahukan apa yang menyebabkan terjadinya disipasi energi, Hukum


Termodinamika II juga memberikan batasan terhadap harga-harga koefisien λ, µ, dan k.
Untuk melihat batasan ini kita akan jabarkan suku (τ ⋅ ∇) ⋅ u ) seperti di bawah ini,

∂u i ⎡ ∂u k ⎛ ∂u ∂u j ⎞⎤ ∂u i
(τ ⋅ ∇ )⋅ u = τ ij = ⎢λ
∂x j ⎢⎣ ∂x k
δ ij + µ ⎜⎜ i + ⎟⎥
⎟⎥ ∂x
⎝ ∂x j ∂xi ⎠⎦ j
⎞ ⎡⎛ ∂u i ∂u j ⎞⎤
2
⎛ ∂u ⎞ 1 ⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎛ ∂u i ∂u j
= λ ⎜⎜ k ⎟⎟ + µ ⎜ i + j ⎟ ⎢⎜ + ⎟+⎜ − ⎟⎥
⎝ ∂x k ⎠ 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟ ⎢⎜ ∂x
⎠ ⎣⎝ j ∂xi ⎟ ⎜ ∂x
⎠ ⎝ j ∂xi ⎟⎥
⎠⎦
2 2
⎛ ∂u ⎞ 1 ⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎛ ∂u
⎟ + 1 µ ⎜ ∂u i + j
⎞⎛ ∂u i ∂u j ⎞
= λ ⎜⎜ k ⎟⎟ + µ ⎜ i + j ⎟⎜ − ⎟
⎝ ∂x k ⎠ 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟
⎠ 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎜ ∂x
⎠⎝ j ∂xi

Penulisan di atas menggunakan “notasi Einstein” untuk mempersingkat penulisan.


Apabila kita gunakan notasi vektor maka hasil di atas dapat dituliskan seperti:

µ 3 ⎛⎜ ∂u i ∂u j ⎞⎟ µ 3 ⎡⎢⎛⎜ ∂u i ⎞⎟ ⎛ ∂u j ⎞ ⎤⎥
2 2 2 2

(τ ⋅ ∇ )⋅ u = λ ∑ ⎛⎜⎜ ∂∂ux k ⎞
3

k =1 ⎝
⎟⎟ + ∑ +
2 i =1, j =1 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎠
+ ∑ −⎜ ⎟
2 i =1, j =1 ⎢⎜⎝ ∂x j ⎟⎠ ⎜⎝ ∂xi ⎟⎠ ⎥
k ⎠ 
 ⎣

adalah skalar ≡ Φ =0

( )
= λ ∇ ⋅u +
2 µ
2
Φ

di mana Φ ≥ 0

Apabila kita substitusikan hasil di atas ke dalam pertidaksamaan (xx), maka,


Dasar Mekanika Fluida 75

k (∇T ) (∇ ⋅ u ) dV + µ ΦdV ≥ 0
2 2


V (t )
T
dV + ∫ λ
V (t )
T ∫ 2
V (t )

Karena T ≥ 0 dan Φ ≥ 0 maka dapat dilihat dari pertidaksamaan di atas bahwa,


k, λ , µ > 0
Ini menunjukkan bagaimana Hukum Termodinamika II mengharuskan koefisien-
koefisien (k, λ, µ) untuk selalu positif.

2.2 Persamaan-persamaan Pelengkap Sistem Persamaan


Fluida

Persamaan-persamaan (a), (b), dan (c) adalah persamaan dasar untuk fluida. Dari sistem
persamaan ini, dapat dilihat bahwa kita perlu mengetahui variabel (ρ, u , p, e, T, k, λ,

dan µ) untuk menjelaskan gerak fluida ( G dan Q adalah variabel-variabel eksternal


yang biasanya diberikan dan tidak harus didapatkan dari sistem persamaan untuk
fluida). Sedangkan jumlah persamaan (a) sampai dengan (d) hanyalah 5 (enam)
persamaan (persamaan (b) adalah persamaan vektor yang mempunyai 3 komponen).
Jadi hanya terdapat 5 persamaan untuk mendapatkan 10 variabel yang tidak diketahui
(ρ, u , p, e, T, k, λ, dan µ)

Jadi jelaslah bahwa persamaan (a) sampai dengan (c) tidak cukup untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Kita membutuhkan lima persamaan lagi untuk melengkapi “sistem
persamaan” fluida. Dua persamaan ini didapatkan dari persamaan termodinamika, yaitu
persamaan keadaan seperti:

e = e ( p, T ) & p = ( ρ , T ) (e)

Sedangkan 3 persamaan lagi adalah persamaan yang menjelaskan hubungan antara λ, µ,


k dengan variable-variable termodinamika seperti p dan T.

λ = λ ( p , T ) , k = k ( p , T ) , µ = µ ( p, T ) (f)

Dengan adanya persamaan (e) dan (f), maka lengkaplah sistem persamaan yang kita
miliki untuk menyelesaikan permasalahan mekanika fluida (persamaan (a), (b), (c), (e),
Dasar Mekanika Fluida 76

dan (f) ). Bentuk eksplisit dari persamaan (e) dan (f) sendiri tergantung dari jenis fluida
tersebut (misalnya fluida ideal atau benda cair).
Contoh: untuk perfect gas persamaan (e) adalah:
p = ρRT ,
⎛ ∂e ⎞
Cv = ⎜ ⎟ = kons tan
⎝ ∂T ⎠ v
sehingga e = C v T + kons tan

Catatan: Sistem persamaan (a) sampai dengan (f) adalah sistem persamaan untuk
fluida yang homogeneous. Dengan kata lain fluida dianggap sejenis dan
tidak terjadi reaksi kimia. Apabila fluida tidak homogeneous dan komposisi
dari species yang membentuk fluida tersebut berbeda di setiap titik-titik,
maka dibutuhkan lagi persamaan tambahan untuk melengkapi sistem
persamaan, misalnya persamaan yang menjelaskan konsentrasi (Ci) dari
setiap species fluida tersebut. Dalam aerodinamika kasus fluida yang tidak
homogeneous terjadi dalam aliran hypersonic. Dalam aliran hypersonic dapat
terjadi proses disosiasi dan ionisasi di daerah-daerah yang mempunyai
temperatur, T, yang sangat tinggi.

2.2.1 Bentuk alternatif dari persamaan energi.

Dalam kasus-kasus tertentu, persamaan (c) bukanlah bentuk yang terbaik untuk
digunakan. Dalam kasus-kasus seperti ini kita dapat gunakan persamaan energi dalam
bentuk lain; yaitu dengan menggunakan variabel h (entalphi) untuk menggantikan
variabel e (internal energy). Definisi entalphy adalah:
p
h = e+
ρ
Sehingga,
1 p
dh = de + dp − dρ
ρ ρ2
dan
Dasar Mekanika Fluida 77

dh de dp p d ρ
ρ =ρ + −
dt dt dt ρ dt
de
Sekarang kita substitusikan persamaan untuk dan hasilnya adalah:
dt
dh dp
ρ = ρ Q + ∇ ⋅ k ∇T + (τ ⋅∇ ) ⋅ u + (g)
dt dt

Selain bentuk persamaan energi seperti di atas, ada lagi bentuk alternatif dari persamaan
energi, yaitu persamaan untuk laju perubahan temperatur dari sebuah fluid element.
Bentuk alternatif persamaan energi seperti ini digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan perpindahan panas. Selain itu bentuk persamaan energi seperti ini juga
lebih nyaman untuk digunakan karena variabel temperatur adalah variabel yang dapat
langsung digunakan (tidak seperti energi dalam dan entalpi, misalnya).

Untuk mendapatkan bentuk alternatif persamaan energi ini kita mulai dari persaman
untuk energi dalam,
de
ρ = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u − p ( ∇ ⋅ u ) + ρ Q
dt
Sekarang kita akan ubah ekspresi untuk e dalam persamaan di atas dengan
menggunakan hasil dari termodinamika.
⎛ ∂s ⎞ ⎡ ⎛ ∂s ⎞ ⎤
de = T ds − p dv = T ⎜ ⎟ dT + ⎢T ⎜ ⎟ − p ⎥ dv
⎝ ∂T ⎠ v ⎣ ⎝ ∂v ⎠ ⎦
Turunan parsial untuk s dalam persamaan di atas dapat diubah dengan menggunakan
definisi untuk Cv dan Helmholtz potensial ψ.
⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞
Cv ≡ ⎜ ⎟ =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ =T⎜ ⎟ , dψ = − pdv − sdt
⎝ ∂T ⎠v ⎝ ∂s ⎠v ⎝ ∂T ⎠v ⎝ ∂T ⎠ v
sehingga
⎛ ∂ψ ⎞ ⎛ ∂ψ ⎞
p = −⎜ ⎟ , s = −⎜ ⎟
⎝ ∂v ⎠T ⎝ ∂T ⎠v

∂ 2ψ ∂ 2ψ
Karena = maka,
∂v∂T ∂T∂v
Dasar Mekanika Fluida 78

⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂s ⎞
⎜ ⎟ =⎜ ⎟
⎝ ∂T ⎠v ⎝ ∂v ⎠T
Jadi persamaan untuk energi dalam dapat dituliskan seperti,

dT ⎛ ⎛ ∂p ⎞ ⎞ dv
ρ Cv = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u + ρ Q − p ( ∇ ⋅ u ) − ρ ⎜ T ⎜ ⎟ − p⎟
dt ⎝ ⎝ ∂T ⎠v ⎠ dt
1 dv 1 dρ 1
Karena v ≡ maka =− 2 = ∇ ⋅ u , maka persamaan untuk energi dalam
ρ dt ρ dt ρ
menjadi:

dT ⎛ ∂p ⎞
ρ Cv = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u − T ⎜ ⎟ ∇ ⋅ u + ρQ (h)
dT ⎝ ∂T ⎠v

Bentuk persamaan energi di atas (g), lebih mudah digunakan karena bentuk ini kita
gunakan variabel T (bukan e atau h seperti sebelumnya) karena kondisi batas biasanya
⎛ ∂T ⎞
diberikan dalam bentuk T = Twall atau ⎜ ⎟
⎝ ∂n ⎠ wall

Satu lagi bentuk alternatif untuk persamaan energi, yaitu bentuk lain dari persamaan (g).
dari termodinamika kita tahu bahwa: dh = Tds + vdp .Apabila kita nyatakan s = s ( p, T )
maka persamaan tersebut menjadi,

⎛ ∂s ⎞ ⎛ ⎛ ∂s ⎞ ⎞
dh = T ⎜ ⎟ dT + ⎜⎜ T ⎜⎜ ⎟⎟ + v ⎟⎟dp
⎝ ∂T ⎠ p ⎝ ⎝ ∂p ⎠ T ⎠
Sekarang,
⎛ dh ⎞ ⎛ ∂h ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞
Cp ≡ ⎜ ⎟ =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ =T⎜ ⎟
⎝ dT ⎠ p ⎝ ∂s ⎠ p ⎝ ∂T ⎠ p ⎝ ∂T ⎠ p
juga kita ketahui untuk hubungan diferensial untuk Gibbs potential (g):
⎛ ∂q ⎞ ⎛ ∂q ⎞
dq = vdp − sdT atau v = ⎜⎜ ⎟⎟ dan s = ⎜ ⎟
⎝ ∂p ⎠ T ⎝ ∂T ⎠ P
sehingga
⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂v ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ = ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ ∂p ⎠ T ⎝ ∂p ⎠ T
dengan demikian persamaan untuk dh menjadi:
Dasar Mekanika Fluida 79

⎛ ⎛ ⎛ 1 ⎞⎞ ⎞
⎜ ⎜ ∂⎜ ρ ⎟ ⎟ ⎟

ρ dh = ρC p dT + Tρ ⎜ ⎝ ⎠ ⎟ + 1⎟dp
⎜ ⎜ ∂p ⎟ ⎟
⎜ ⎜ ⎟ ⎟
⎝ ⎝ ⎠T ⎠
⎛ T ⎛ ∂ρ ⎞ ⎞
ρ dh = ρC p dT + ⎜⎜1 − ⎜⎜ ⎟⎟ ⎟⎟dp
⎝ ρ ⎝ ∂p ⎠ T ⎠
Dengan menggunakan hubungan di atas, persamaan (g) menjadi:

dT T ⎛ ∂ρ ⎞ dp
ρC p = ρ Q + ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u + ⎜ (i)
dt ρ ⎝ ∂p ⎟⎠T dt

2.2.2 Kondisi batas yang harus dipenuhi

Untuk menyelesaikan sistem persamaan fluida dibutuhkan kondisi awal (initial


conditions) dan kondisi batas (boundary conditions). Kondisi-kondisi ini ditentukan
oleh permasalahan yang kita pelajari. Namun untuk kondisi batas kita dapat lebih
spesifik.

Untuk persamaan momentum (b), kondisi batasnya adalah :


u ( x = x wall , t ) = U wall ( x wall = posisi benda)

apabila terdapat benda di dalam aliran yang bergerak dengan kecepatan U wall . Dengan
kata lain kondisi batas ini menyatakan bahwa lapisan fluida yang berbatasan dengan
permukaan benda bergerak dengan kecepatan benda tersebut.

Untuk persamaan energi, kondisi batasnya biasanya diberikan untuk temperatur (T).
Seperti telah kita lihat bentuk alternatif dari persamaan energi dapat dituliskan dengan
menggunakan T (persamaan (h) atau (i)). Apabila terdapat benda dalam aliran, maka
kondisi batas untuk persamaan energi adalah :
T ( x = x wall , t ) = Twall

atau
∂T ∂T
k ( x = x wall , t ) = ⎛⎜ k ⎞⎟
∂nˆ ⎝ ∂nˆ ⎠ wall
Dasar Mekanika Fluida 80

Kondisi batas yang pertama menyatakan bahwa T dari lapisan fluida yang berbatasan
dengan benda adalah T benda. Sedangkan yang kedua menyatakan flux dari T di arah n̂
(normal terhadap benda) dari lapisan fluida yang berbatasan dengan benda adalah flux
dari T di arah n̂ yang “keluar/masuk” benda tersebut. Karena q = − k∇T , kondisi batas

yang kedua menjelaskan proses perpindahan panas atau heat transfer dari atau ke
permukaan benda.

Pada kasus-kasus tertentu, kedua kondisi batas untuk persamaan energi ini di gunakan
secara bergantian. Misalnya, kita mempelajari kasus dimana sebuah benda panas
dimasukkan kedalam suatu aliran fluida dengan temperatur yang lebih rendah. Dari
pengalaman sehari-hari kita ketahui bahwa pada saat-saat awal, temperatur benda
tersebut tidak banyak berubah sehingga pada saat-saat tersebut kondisi batas yang
digunakan adalah T ( x = x wall , t ) = Twall . Namun, setelah selang waktu tertentu, mulai

ada transfer panas dari benda ke fluida sehingga temperatur benda (Twall) turun. Pada
∂T ∂T
saat ini kondisi batas yang kita gunakan adalah k ( x = x wall , t ) = ⎛⎜ k ⎞⎟ . Transfer
∂nˆ ⎝ ∂nˆ ⎠ wall
panas ini terus berlangsung sampai pada akhirnya terjadi kesetimbangan antara
temperatur benda dan temperatur fluida disekitarnya dan pada saat itu proses
∂T
perpindahan panas berhenti sehingga kondisi batasnya adalah k ( x = x wall , t ) = 0 .
∂nˆ
Kondisi dimana qwall = 0 ini disebut Adiabatic wall condition.

2.3 Bentuk-bentuk non dimensional dari persamaan fluida

Persamaan-persamaan fluida dapat ditulis dalam bentuk nondimensional. Untuk itu,


pertama-tama kita definisikan variabel yang tidak berdimensi dibawah ini :
ρ u p ~ T t L
ρ~ ≡ , u~ ≡ , ~
p≡ ,T ≡ ,~
t ≡ , τ~ ≡ o τ ,
ρo uo po To t0 µ ouo

~ x ~ k ~ C Cγ ~ G C po
x≡ ,k ≡ , Cv ≡ v = v o , G ≡ , γo ≡
Lo ko Cvo C po go C vo
Dasar Mekanika Fluida 81

Variabel-variabel di atas yang bersubscript “o” adalah variabel-variabel acuan, misalnya


u o adalah kecepatan “freestream”, Lo adalah panjang dari benda (chord length dari

airfoil) dan lain-lain. Sekarang apabila kita ganti variabel-variabel misalnya ρ = ρ~ρ o ,
dan seterusnya kedalam persamaan (a) dan (b), maka kita dapatkan :
1 ∂ρ~ ~ ~ ~
+ ∇.(ρ u ) = 0 (a~ )
S ∂~ t t

1 ∂u
ρ
St ∂t
 u = − 1 ∇
+ ρ u ⋅∇( )
Ru
 p + 1 ∇ ⋅τ + 1 ρ G
Re Fr
(b~ )
di mana
∂ ∂ 1 ~
∇= = ~ = ∇
∂ x Lo ∂ x Lo

Untuk persamaan energi, kita akan menggunakan persamaan (h) dan kita akan lakukan
ini untuk kasus besar Q = 0
⎧ ∂T ⎫ ⎛ ∂p ⎞
ρ Cv ⎨ + ( u ⋅∇ ) T ⎬ = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u − T ⎜ ⎟ ∇ ⋅ u .
⎩ ∂t ⎭ ⎝ ∂t ⎠v
Apabila kita subsitusikan variabel di atas ke dalam persamaan ini dan hasilnya lalu
Lo γ o
dikalikan , maka :
ρ o C poTo u o

1  ∂T  T = γ o ∇  T − Br .γ o T ⎛ ∂p ⎞ ∇ Br .γ 0
St
ρ Cv
∂t
(
+ ρ C v u ⋅∇ )
Re .Pr
 ⋅ .k∇ ( ) 
⎜  ⎟ ⋅ u +
Ru .Pr ⎝ ∂T ⎠v Re .Pr
 ) ⋅ u (c~ )
(τ ⋅∇

di mana :

St ≡
touo (Bilangan Strouhal), ρ o u o2 (Bilangan Ruark)
Ru ≡
Lo Po
ρ o u o Lo (Bilangan Reynolds), u o2 (Bilangan Froude)
Re ≡ Fr ≡
µo g o Lo
C Po µ o (Bilangan Prandtl), µ o u o2 (Bilangan Brinkman)
Pr ≡ Br ≡
ko k oTo
Selain angka-angka di atas kadangkala digunakan juga :
Br
Pe ≡ Pr .Re (Bilangan Peclet), Ec ≡ (Bilangan Eckert)
Pr
Dasar Mekanika Fluida 82

Catatan : Dapat dilihat dari definisi di atas bahwa harga Pr tergantung dari jenis fluida
dan tidak bergantung dari aliran.

Persamaan dasar fluida dalam bentuk nondimensional ini (persamaan (a~ ) -


persamaan (c~ ) )sangat berguna dalam hal-hal berikut :
1. Menyederhanakan persamaan tersebut. Misalnya apabila aliran yang dipelajari
~
mempunyai Re yang tinggi (Re → ∞ ) , maka dapat dilihat dari persamaan b , ()
suku yang menjelaskan viscous stress dapat diabaikan. Juga karena Pr
biasanya mempunyai harga sekitar 1, maka suku yang menjelaskan konduksi
panas dan viscous dissipation dapat diabaikan dalam persamaan (c~ ) .
2. Biasanya dalam melakukan eksperimen untuk mensimulasikan aliran di sekitar
benda kita membuat model yang lebih kecil daripada dimensi benda yang
sebenarnya. Persamaan (a~ ) − (c~ ) memberitahu kita bahwa eksperimen dengan
model yang lebih kecil ini akan berhasil mensimulasikan aliran dengan tepat
apabila harga-harga parameter : γ , S t , Ru , Re , Fr , Pr ,& Br adalah sama seperti
pada aliran yang sebenarnya. Ini disebabkan variabel yang terdapat dalam
persamaan (a~ ) − (c~ ) tidak berdimensi. Jadi apabila ada dua persoalan (aliran
disekitar benda dan aliran disekitar model), maka solusi dari persamaan
(a~ ) − (c~ ) untuk kedua aliran tersebut adalah sama apabila harga dari
parameter-parameter tersebut sama

2.3.1 Kasus Perfect Gas

Dalam aerodinamika biasanya kita mempelajari aliran udara. Udara dapat diasumsikan
sebagai perfect gas. Untuk perfect gas, kita dapat menggunakan parameter lain yang
lebih umum digunakan dalam aerodinamika seperti M (Mach number). Pertama-tama
kita mulai dari definisi Ru
ρ 0 u 02 γ 0 ρ 0 u 02
Ru ≡ =
P0 γ 0 P0
Dasar Mekanika Fluida 83

γ 0 P0
Untuk perfect gas a02 = sehingga,
ρ0

γ 0 u 02
Ru = 2
= γ 0 M 02 .
a 0

Sekarang kita lihat


Br U 02
εc ≡ =
Pr CP 0T0

γ 0R
Untuk perfect gas C p0 = sehingga,
γ 0 −1

u 02 u 02
εc = (γ 0 − 1) = (γ 0 − 1) 2 = (γ 0 − 1) M 02 .
γ 0 RT0 a0

Dengan demikian maka persamaan-persamaan (ã) s/d (ĉ) untuk perfect gas menjadi :
1 ∂ρ 
+ ∇ ⋅ ( ρ u ) = 0
St ∂t
1 ∂u
ρ + ρ (u ⋅∇ )u = −
St ∂t
1 
γ 0M 0
2
∇p + ∇
1 
Re
1
⋅τ + ρ G
Fr
(d~ )
1  ∂T  )T = γ 0 (∇  ⋅ k∇  ⋅ u + γ 0 (γ 0 − 1) M 0 (τ ⋅∇ ) ⋅ u
2
ρ Cv + ρ C v (u ⋅∇  T ) − (γ − 1) P ∇
∂t
0
St Re Pr Re

Dari persamaan (d~ ) dapat dilihat bahwa parameter-parameter “Aerodynamics


Similarity” untuk perfect gas adalah : St, Re, Fr, Pr, Mo, γ.

~ ⎛ ∂~
~
() p⎞
Catatan: Dalam d suku T ⎜ ~ ⎟ didalam persamaan energi telah diubah sebagai
⎝ ∂T ⎠υ
berikut:
ρRT0 ~
p = ρRT ⇒ ~
p= T
p0

~⎛ ∂~p⎞ ~⎛ ∂~p⎞ ~ ρRT0 ρRT p


T⎜ ~⎟ =T⎜ ~⎟ =T = = ≡~
p
⎝ ∂T ⎠υ ⎝ ∂T ⎠ρ p 0 p 0 p 0
Dasar Mekanika Fluida 84

2.4 Diskontinuitas dalam fluida

Pada bab I kita telah membahas bagaimana mendapatkan persamaan-persamaan


continuum apabila terdapat diskontiniutas. Persamaan-persamaan itu, untuk fluida
Newtonian adalah :
[ρw] = 0 ........................................................................................ (a)
[ρwu − (− p I + τ ) ⋅ n̂] = 0 …………………………………………(b)
⎡ ⎛ ⎞ ⎤
⎢ ρw⎜⎜ e +
u2
2
( )
⎟⎟ − − pu + τ ⋅ u − q ⋅ n̂ ⎥ = 0 …………………………(c)
⎣ ⎝ ⎠ ⎦

⎡ q ⋅ nˆ ⎤
⎢ ρws + ⎥ ≥ 0 ………………………………………………...(d)
⎣ T ⎦

dimana w ≡ u ⋅ nˆ -v ⋅ nˆ

Diskontiniutas dapat digolongkan menjadi 2 jenis :

i) Tangensial Discontiunity
Untuk jenis ini tidak ada massa yang melewati permukaan diskontiniutas sehingga:
(u 1 − v ) ⋅ nˆ = (u 2 − v ) ⋅ nˆ = 0 atau w = 0
Untuk kasus ini persamaan (a) lansung terpenuhi. Persamaan (b) dan (c) menjadi :
(− p I + τ )⋅ nˆ = (-p I + τ )⋅ nˆ
1 2

[(-p I + τ )⋅ u − q ]⋅ nˆ = [(-p I + τ )⋅ u ]
1 2

1 1 1 1 2 2 2 − q 2 ⋅ nˆ

dan persamaan (d) menjadi :


⎛ q 2 q1 ⎞ ⎛q q ⎞
⎜ − ⎟ ⋅ nˆ ≥ 0 atau ⎜ 1 − 2 ⎟ ⋅ nˆ ≤ 0
⎜T ⎟ ⎜T T ⎟
⎝ 2 T1 ⎠ ⎝ 1 2 ⎠

Apabila asumsi inviscid dan adiabatic dapat digunakan maka,


p1 = p2 (T.D.I)

dan dari definisi kasus ini (w ≡ 0) maka :

u 1 ⋅ nˆ = u 2 ⋅ nˆ (T.D.2)
Dasar Mekanika Fluida 85

Catatan:
a) Apabila kita gunakan (T.D.I) dan kembali ke persamaan (b) maka kita dapatkan :
w[ρ u ] = 0
karena w ≡ 0 maka persamaan di atas menyatakan bahwa [ρ u ] tidak harus sama

dengan nol. Sedangkan persamaan (d), w[ρ ] = 0 , jadi [ρ ] tidak harus sama dengan
nol. Jadi ada 2 macam tipe tangential discontinuity:
1. Di mana ρ1 ≠ ρ 2 tetapi u 1 = u 2 . Discontiniuty tipe ini dinamakan contact
discontinuity.
2. ( ρ1 = ρ 2 ) tetapi u 1 ≠ u 2 . Karena u 1 ⋅ nˆ = 0 = u 2 ⋅ nˆ maka discontinuity jenis
ini berarti komponen kecepatan yang sejajar dengan permukaan diskontiniutas
(u II ) diskontinyu atau u II1 ≠ u II 2 . Discontinuity jenis ini disebut slip surface.

b) Untuk (d) ketidaksamaan menjadi persamaan w[ρs ] = 0 , jadi untuk kedua tipe di
atas ( 1) dan 2) ), S1 tidak harus sama dengan S2.

ii) Normal Discontinuity


Untuk jenis ini ada mass flux (w ≠ 0) . Untuk discontinuity jenis ini persamaan-
persamaan terpenuhi apabila
ρ1w1 = ρ 2 w2
ρ1w1 u1 − (− p1 I + τ 1 ) ⋅ nˆ = ρ 2 w2 u 2 − (− p2 I + τ 2 ) ⋅ nˆ
⎛ u1 ⎞
2
⎛ u2 ⎞
2

( )
ρ1w1 ⎜ e1 + ⎟ − − p1 u1 + τ 1 ⋅ u1 − q1 ⋅ nˆ = ρ 2 w2 ⎜ e2 +
2 ⎠ 2 ⎠
( )
⎟ − − p1 u 2 + τ 2 ⋅ u 2 − q 2 .nˆ
⎝ ⎝
q ⋅ nˆ q ⋅ nˆ
ρ 2 w2 s2 + 2 ≥ ρ1w1s1 + 1
T2 T1

Karena n̂ adalah unit vector yang menunjukkan arah normal dari permukaan
diskontiniutas maka komponen persamaan kedua di atas yang sejajar dengan permukaan
diskontinuitas adalah,
ρ1w1 u //1 = ρ2 w2 u // 2
atau
Dasar Mekanika Fluida 86

u //1 = u // 2 .

Jadi untuk normal discontinuity komponen kecepatan yang sejajar dengan permukaan
(u//) diskontiniutas harganya kontinyu. Apabila asumsi inviscid dan adiabatic dapat
digunakan maka persamaan di atas menjadi,
ρ1 w1 = ρ 2 w2 (ND.1)

ρ1 w1 u 1 + p1 nˆ = ρ2 w2 u 2 + p 2 nˆ (ND.2)

⎛ u1
2
⎞ ⎛ u ⎞
2

ρ1 w1 ⎜ e1 + ⎟ + p1 u 1 ⋅ nˆ = ρ 2 w2 ⎜ e2 + 2 ⎟ + p 2 u 2 ⋅ nˆ (ND.3)
2 ⎟ ⎜ 2 ⎟⎠
⎝ ⎠ ⎝
ρ2 w2 s2 ≥ ρ1w1s1 (ND.4)

2.5 Effect dari Surface Tension

Apabila kita teteskan air di atas meja maka tetesan air tersebut akan membentuk
“setengah bola” seperti sketsa sebelah kiri di atas. Apabila kita mempunyai tabung
yang diisi oleh air maka permukaan air tersebut akan melengkung seperti sketsa di
sebelah kanan. Fenomena-fenomena ini disebabkan oleh apa yang disebut “surface
tension”.

Secara mikroskopik efek ini disebabkan oleh ketidakseimbangan gaya antar molekul
yang dialami oleh molekul-molekul disekitar permukaan. Misalkan dalam kasus tetesan
air (sketsa kiri). Kita ketahui bahwa “intermolecular force” dari molekul-molekul
tersebut saling tarik menarik. Molekul-molekul di sekitar permukaan mengalami gaya
tarik yang disebabkan oleh molekul-molekul air di satu sisi. Namun, di sisi lain terdapat
Dasar Mekanika Fluida 87

molekul-molekul udara yang mempunyai gaya tarik yang sangat lemah. Oleh karena itu
molekul-molekul di sekitar permukaan (titik-titik hitam dalam sketsa diatas) akan
“ditarik” oleh molekul-molekul air (lihat sketsa ditengah) dan permukaan air akan
membentuk “setengah bola”

Secara makroskopik, “tertarik”-nya molekul-molekul di sekitar permukaan ke salah satu


sisi dirasakan dengan adanya “surface tension”, yaitu gaya yang parallel dengan
permukaan. Sekarang kita lihat kesetimbangan gaya-gaya dipermukaan antara 2 fluida
yang berbeda. Permukaan antara 2 fuida yang berbeda adalah “tangential
discontinuity” dan apabila tidak terdapat “surface tension” maka kesetimbangan gaya-
gaya di permukaan yang membatasi 2 fluida ini dijelaskan oleh persamaan yang paling
atas dalam persamaan (TD) yaitu

∫ (− p I + τ
S
1 1
) ⋅ nˆ ds = ∫ (− p 2 I + τ 2 ) ⋅ nˆ dS
S

atau

∫ (F
(1) (2)
− F ) ⋅ nˆ dS = 0
S

di mana
≡ − pi I + τ i
(i )
F

Apabila terdapat “surface tension” maka kita perlu tambahkan lagi satu gaya lagi
kedalam persamaan kesetimbangan diatas.

∫ (F − F ) ⋅ nˆ dS + ∫ σ tˆ × nˆ dl = 0
(1) (2)
(ST.1)
S C

Di mana τ : surface tension coefficient, n̂ : unit vektor arah normal dan tˆ : unit vektor
di arah yang sejajar dengan kurva c (sejajar dengan dl).
Dasar Mekanika Fluida 88

Sekarang kita akan ubah integral garis diatas menjadi integral area dengan
menggunakan salah satu versi dari stokes theorem yaitu

∫ A × d l = ∫ A × tˆ dl = ∫ [(∇ ⋅ A)nˆ − (∇ A) ⋅ nˆ ] dS
C C S

Dengan menggunakan teorema ini maka (ST.1) menjadi, ( A = −σ nˆ )

∫( (F − F ) ⋅ nˆ +∇(σ nˆ)⋅ nˆ −(∇⋅ (σ nˆ))nˆ dS = 0 )


(1) (2)

Sehingga,
) ⋅ nˆ = (∇ ⋅ (σ nˆ ))nˆ − ∇(σ nˆ ) ⋅ nˆ
(1) ( 2)
(F −F (ST.2)

Sekarang kita akan jabarkan suku kanan dari (ST.2) lebih lanjut
( ∇ ⋅ (σ nˆ ) ) nˆ − ∇ (σ nˆ ) ⋅ nˆ = σ ( ∇ ⋅ nˆ ) nˆ + ( ∇σ ⋅ nˆ ) nˆ − (σ∇nˆ + nˆ∇σ ) ⋅ nˆ .

Karena nˆ ⋅∇nˆ = 0 dan nˆ ⋅ nˆ = 1 maka suku pada ruas kiri menjadi


= σ ( ∇ ⋅ nˆ ) nˆ + ( ∇σ ⋅ nˆ ) nˆ − ∇σ . Apabila kita gunakan aturan untuk “triple product”:

A × B × C = (B ⋅ A)C − (C ⋅ A)B maka,

( ∇σ ⋅ nˆ ) nˆ − ∇σ = − ( nˆ × ∇σ ) × nˆ
sehingga ruas kiri menjadi
σ ( ∇ ⋅ nˆ ) nˆ − ( nˆ × ∇σ ) × nˆ

Namun ∇ ⋅ n̂ adalah “mean curvature”


(kelengkungan rata-rata dari permukaan) atau
⎛1 1 ⎞
∇ ⋅ n̂ = ⎜ + ⎟ ≡ κ
⎝ R1 R2 ⎠
Dengan demikian maka kesetimbangan gaya-gaya
di permukaan (ST.2) menjadi

( F ( ) − F ( ) ) ⋅ nˆ = σκ nˆ − ( nˆ × ∇σ ) × nˆ
1 2
(ST)

dengan F ( i ) = − Pi I + τ i dan κ > 0 untuk kasus seperti sketsa di atas.


Dasar Mekanika Fluida 89

Suku terakhir di kanan dalam persamaan (ST) mempunyai arah yang sejajar dengan
permukaan. Untuk kasus inviscid, suku kiri dalam (ST) adalah ( p 2 − p1 )nˆ dan ini
adalah vektor di arah normal sama seperti σκ n̂ . Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa untuk kasus inviscid (τ i = 0 ) , ( nˆ × ∇σ ×) nˆ = 0 .

Apabila fluida 1 dan 2 dalam keadaan diam maka τ i = 0 . Dengan demikian maka

persamaan (ST) menjadi:


p 2 − p1 = σκ (Laplace Formula)

Sekarang kita akan lihat rumus di atas secara mendalam dengan mengamati kasus-
kaasus di bawah ini:
1) Pemukaan yang datar: Untuk permuakaan yang datar R1 → ∞, R2 → ∞ sehingga

κ → 0 . Dengan demikian untuk permukaan datar kesetimbangan dijelaskan


oleh: p 2 = p1

2) κ > 0 : κ positif apabila kelengkungan permukaan yang membatasi kedua fluida


adalah seperti dalam sketsa di bawah. Apabila κ positif
( σ selalu positif) maka P2 > P1 (tekanan lebih tinggi di
fluida dengan permukaan yang konvex)

3) Apabila tidak terdapat gaya eksternal (seperti gaya gravitasi) maka P2 & P1 adalah
konstan. Oleh karena itu,

⎛ 1 1 ⎞
⎜ + ⎟ = kons tan
⎝ R1 R2 ⎠

Untuk “permukaan bebas” seperti yang terdapat dalam kasus tetesan air hasil
diatas berarti berbentuk bola.

4) Apabila 1 adalah udara dan 2 adalah fluida yang berada dalam pengaruh gravitasi
maka: P1 = konstan dan P2 = kostan - ρ gz , \dimana 2 adalah koordinat vertikal.
Dasar Mekanika Fluida 90

Untuk kasus ini kondisi equilibrium yang dijelaskan oleh persamaan Laplace
menjadi:

1 1 ρ gz
+ + = kons tan
R1 R2 σ

2.6 Asumsi – asumsi yang Sering Digunakan

Telah kita saksikan bahwa persamaan–persamaan dasar fluida adalah persamaan–


persamaan yang sangat kompleks. Persamaan momentum, misalnya adalah persamaan
diferensial yang nonlinier. Oleh karena itu persamaan tersebut sangat sulit untuk
diselesaikan secara analitik. Apabila kita ingin menyelesaikan persamaan–persamaan
tersebut. Secara analitik maka kita harus menyederhanakan persamaan–persamaan
tersebut dengan mengasumsikan sesuatu. Berikut ini adalah asumsi-asumsi yang sering
digunakan.

2.6.1 Steady :

Asumsi ini menyatakan bahwa variabel–variabel aliran ( ρ , u , e, p, T , dll ) di setiap titik



=0
dalam aliran tidak berubah dengan waktu sehingga ∂t . Perlu diingatkan asumsi ini
d
tidak menyatakan bahwa = 0.
dt

2.6.2 Inviscid :

Asumsi ini menyatakan bahwa suku yang menjelaskan efek viskos dalam persamaan–
persamaan dapat diabaikan. Asumsi ini dapat digunakan apabila Re sangat tinggi.
~ ~
Untuk kasus Re tinggi apabila kita lihat persamaan ( b ) & ( c ) maka suku-suku
1 ~ ~ Br γ o ~ ~ ~
∇⋅ τ & (τ ⋅ ∇) ⋅ u (Pr ~ 1)
Re Re Pr
menjadi sangat kecil & dapat diabaikan .
Dasar Mekanika Fluida 91

Selain itu apabila harga Re cukup tinggi, suku–suku dalam persamaan ( c~ ) , yaitu
γo ~
(∇ ⋅ q~ ) menjadi sangat kecil & dapat diabaikan ( karena Pr ~ 1). Karena
Re Pr
τ = τ (∇u ) dan q = q(∇T ) maka asumsi ini tidak dapat digunakan di daerah di mana

terdapat ∇u dan ∇T yang tinggi seperti daerah di dekat permukaan benda & dalam
shockwave.

Untuk aliran inviscid, persamaan momentum dan energi menjadi jauh lebih sederhana,
du
ρ = −∇p + ρ G (persamaan Euler)
dt
d u2
ρ (e + ) = ρ (G ⋅ u + Q) − ∇ ⋅ ( pu )
dt 2

Apabila kita bandingkan dengan persamaan umum untuk momentum persamaan Euler
adalah satu orde (di x ) lebih rendah. Oleh karena itu persamaan ini tidak memenuhi
kondisi batas (boundary condition) u ( x = x wall , t ) = U wall . Kondisi batas kondisi batas
yang harus dipenuhi oleh persamaan Euler hanyalah sebagian dari kondisi batas yang
dipenuhi oleh persamaan Navier-stokes, yaitu
u ( x = x wall , t ) ⋅ nˆ = U wall ⋅ nˆ

Sedangkan, kondisi batas lainnya yang menyatakan bahwa kecepatan aliran fluida
didekat permukaan benda yang mempunyai arah sejajar dengan permukaan benda
haruslah sama dengan kecepatan benda diarah tersebut tidak dapat dipenuhi. Dengan
kata lain, perbedaan kecepatan tangensial antara benda dan fluida didekat benda tersebut
(kondisi slip) diperbolehkan dalam aliran inviscid.

2.6.3 Adiabatik:

Asumsi ini menyatakan bahwa tidak ada panas yang masuk kedalam sistem. Dengan
demikian maka suku yang menjelaskan radiasi termal (ρQ) dapat diabaikan dalam
Dasar Mekanika Fluida 92

persamaan energi. Selain itu asumsi ini juga berarti bahwa transfer panas dibatas-batas
fluida juga dapat diabaikan.

2.6.4 Isentropik:

Asumsi isentropic menyatakan bahwa aliran fluida adalah aliran yang inviscid &
adiabatic. Sehingga, untuk aliran isentropic persamaan (d) menjadi,
ds ds
ρT = 0 atau =0
dt dt
Persamaan ini dapat digunakan untuk menggantikan persamaan energi dalam aliran
isentropic. Persamaan ini menyatakan bahwa entropi dari “fluid element” adalah
konstan sepanjang pergerakannya. Bentuk alternatif dari persamaan ini dapat dituliskan
1 dh ds 1 dp ds
sbb. Dari termodinamik, dh = Tds + dp sehingga =T + karena =0
ρ dt dt ds dt dt
maka ,
dh 1 dp
=
dt ρ dt

2.6.5 Konstan S (Homentropik):

Asumsi ini menyatakan bahwa entropi (s) adalah kontan di mana pun sehingga ∇s = 0 .
1 1 1
Karena dh = Tds + dp maka ∇h = T∇s + ∇p = ∇p; (T∇s = 0) .
ρ ρ ρ
Dengan demikian untuk aliran ini persamaaan momentum menjadi,
du 1
= − ∇p + G = −∇h + G
dt ρ
Asumsi ini digunakan apabila entropi setiap fluid element mempunyai harga yang sama
pada daerah asal aliran (aliran dengan freestream yang seragam, misalnya) dan aliran
juga dapat diasumsikan sebagai aliran isentropic. Untuk aliran yang homentropik ada
sebuah teorema yang sangat berguna yaitu “Kelvin's Theorem”. Untuk mendapatkan
teorema ini kita mulai dari definisi “Circulation”( Γ ).
Dasar Mekanika Fluida 93

Γ = ∫ u ⋅ d l di mana lintasan dalam integral adalah lintasan di dalam fluida. Sekarang

kita lihat turunan material dari Γ,


dΓ d ⎛ du d ⎞
= ∫ u ⋅ d l = ∫ ⎜ ⋅ d l + u ⋅ (d l ) ⎟ .
dt dt ⎝ dt dt ⎠
Apabila kita perhatikan sketsa di sebelah dan
ingat bahwa d l berada dalam fluida maka,
d dl dl dx
(d l ) = d ( ) = d ( ) = d ( ) = d u
dt dt dt dt
Dengan demikian maka,
⎛ 2⎞
d u
∫ u ⋅ dt (d l ) = ∫ u ⋅ d u = ∫ d ⎜⎜ 2 ⎟⎟ = 0 ,
⎝ ⎠
karena integral tertutup dari sebuah total differential adalah nol. Oleh karena itu maka

persamaaan untuk menjadi,
dt
dΓ du ⎛ du ⎞
=∫ ⋅ d l = ∫ ∇ × ⎜ ⎟ ⋅ nˆ ds
dt dt s ⎝ dt ⎠
di mana persamaaan ini didapatkan dengan menggunakan teorema Stokes untuk aliran
yang homentropik & G adalah gaya yang konservatif ( G = - ∇ψ ) sehingga
du
= −∇h + G = −∇(h + ψ ) ≡ −∇(h) .
dt

Dengan demikian maka = − ∫ ∇ × (∇ h) ⋅ nˆ ds = 0 , karena ∇ × ∇A = 0 untuk setiap
dt
skalar A. Jadi kita telah dapatkan sebuah teorema

=0 (Teorema Kelvin).
dt

Sekali lagi lintasan dalam definisi Γ adalah lintasan di dalam fluida & daerah di dalam
lintasan tersebut hanya terdapat fluida (tidak ada benda lain). Apabila kita lihat definisi
dari Γ & kita gunakan Stokes Theorem maka,
Γ ≡ ∫ u ⋅ d l = ∫ (∇ × u ) ⋅ uˆds = ∫ w ⋅ nˆ ds
s s
Dasar Mekanika Fluida 94

Jadi pengertian dari teorema Kelvin adalah sebagai berikut. Apabila kita ikuti sebuah
kontur tertutup yang di dalamnya hanya berisi fluida & pada awalnya fluida tersebut
tidak mempunyai vortisitas, maka bagian–bagian dalam fluida tersebut tidak akan
mempunyai vortisitas seterusnya (apabila aliran fluida tersebut diasumsikan sebagai
aliran homentropik & G adalah konservatif ).

Kegunaan teorema ini adalah dalam mempelajari aliran uniform yang melewati sebuah
benda. Karena aliran jauh didepan benda tersebut adalah seragam maka aliran tersebut
tidak mempunyai ω pada awalnya. Jadi menurut teorema Kelvin pada saat bagian dari
fluida tersebut melewati benda maka ω – nya tetap nol & fluida tetap tidak mempunyai
ω . Kondisi ω = ∇ × u = 0 dapat digunakan untuk mengganti persamaan momentum
untuk kasus– asus seperti ini. Teorema ini juga membawa kita kepada asumsi
selanjutnya yaitu asumsi irrotasional.

2.6.6 Aliran Irrotasional (aliran potensial) & Rotasional :

Asumsi irrotasional menyatakan bahwa ω = 0. Dari pembahasan di 2.6.5 dapat dilihat


bahwa asumsi ini berlaku apabila aliran dapat diasumsikan sebagai aliran homentropik
dan tidak mempunyai vortisitas pada daerah asal aliran (freestream yang seragam,
misalnya). Dengan kata lain aliran irrotasional pasti aliran homentropik tetapi aliran
homentropik belum tentu aliran irrotasional. Karena aliran irrotasional pastilah aliran
yang homentropik maka asumsi irrotasional hanya dapat digunakan dalam kasus Re
yang tinggi dan setiap fluid element mempunyai harga entropi yang seragam pada
daerah asal aliran.

Persamaan momentum untuk aliran yang homentropik dapat dituliskan seperti di bawah
ini dengan menggunakan vector identity:
u2
u ⋅∇u = ω × u + ∇ (****)
2
Dengan identitas ini maka persamaaan momentum untuk aliran homentropik & G yang
konservatif menjadi,
Dasar Mekanika Fluida 95

∂u u2
+ ω × u = −∇(h + + Ψ) (R)
∂t 2

Sekarang kita akan gunakan persamaan (R) utk mendapatkan persamaan energi untuk
aliran irrotational & rotational.
a) Aliran Irrotational (ω = 0)
Karena ω = 0 = ∇ × u & untuk setiap skalar φ , ∇ × (∇φ ) = 0 maka untuk aliran
irrotational u dapat dinyatakan sebagai u = ∇φ dimana φ disebut “potensial”.
Dengan definisi u ini maka persamaan (R) menjadi,
∂φ 1
∇( + h + (∇φ ) 2 + Ψ ) = 0
∂t 2
sehingga,
∂φ 1
+ h + (∇φ ) 2 + Ψ = f (t )
∂t 2

Fungsi f(t) dapat kita masukkan ke dalam φ karena apabila kita redefinisikan,

φ '' = φ + f (t ) maka u ' = ∇φ ' = ∇φ = u . Jadi persamaan diatas menjadi


∂φ 1
+ h + ∇φ ⋅ ∇φ + Ψ = konstan di manapun didalam fluida
∂t 2
Persamaan di atas adalah persamaan energi untuk aliran irrotational atau dikenal
juga dengan “aliran potensial”.

b) Aliran Rotational (ω ≠ 0)

u2
Untuk aliran yang steady maka persamaan (R) menjadi, ω × u = −∇(h + + Ψ)
2
Sekarang kita ambil dot product persamaan di atas dengan u,
u2
u ⋅ (ω × u ) = −u ⋅ ∇(h + + Ψ)
2
Karena u tegak lurus dengan ω × u maka,

u2
0 = −u ⋅ ∇(h + + Ψ)
2
Dasar Mekanika Fluida 96

u
Sekarang kita definisikan unit vector  sebagai  ≡
∇u

Dengan definisi ini maka,


u2 ∂ u2
0 = Aˆ ⋅ ∇(h + + Ψ ) = (h + + Ψ)
2 ∂A 2

Tetapi  adalah unit vector yang menunjukkan arah streamline (lihat definisi  ).
Maka persamaan di atas menjadi,

u2
h+ + Ψ ≡ Η = konstan sepanjang streamline (Bernoulli Eqn)
2

Sekilas persamaan di atas sama dengan persamaan energi untuk aliran irrotational.
Namun, konstan di sebelah kanan dari kedua persamaan tersebut berbeda. Dalam
kasus irrotational konstan tersebut adalah konstan dimanapun!!!. Sedangkan dalam
kasus aliran rotasional konstan tersebut hanyalah konstan sepanjang streamline.

Persamaan Bernoulli di atas adalah persamaan Bernoulli yang lebih umum dari
persamaan Bernoulli untuk aliran incompressible yang kita kenal selama ini. Kita
dapat menggunakan persamaan di atas untuk mendapatkan persamaan Bernoulli
untuk kasus incompressible seperti yang dilakukan di bawah ini. Dari termodinamik,
de ds p 1 dρ
=Τ −
dt dt ρ ρ dt
ds
Karena = 0 & persamaan kontinuitas maka
dt
de p
= (∇ ⋅ u )
dt ρ
de
Untuk kasus incompressible, ∇ ⋅ u = 0 sehingga = 0 atau e adalah konstan
dt
p p
sepanjang streamline. Karena h = e + = (konstan sepanjang streamline) + maka
ρ ρ
persamaan Bernoulli di atas menjadi,
p u2
+ + Ψ = konstan sepanjang streamline.
ρ 2
Dasar Mekanika Fluida 97

Persamaan di atas adalah persamaan Bernoulli yang kalian kenal selama ini.

2.6.7 Aliran incompressible

Dalam mekanika fluida, seringkali digunakan asumsi incompressible. Asumsi ini


menyatakan bahwa perubahan massa jenis terhadap waktu dari sebuah fluid element
adalah nol (massa jenis setiap fluid element adalah konstan selama pergerakannya).
Secara matematis, asumsi ini dapat dinyatakan seperti,
1 dρ
= 0 atau ∇ ⋅ u = 0
ρ dt
di mana versi sebelah kanan diambil dengan memanfaatkan hukum kekekalan massa
(kontinuitas).

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah kapan asumsi ini dapat digunakan? Untuk itu,
kita perhatikan persamaan keadaan yaitu, ρ = ρ ( p, Τ) sehingga,

1 dρ 1 ⎛ ∂ρ ⎞ dp 1 ⎛ ∂ρ ⎞ dΤ
= ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟
ρ dt ρ ⎜⎝ ∂p ⎟⎠ Τ dt ρ ⎝ ∂Τ ⎠ Ρ dt
1 dρ dp dΤ
=α −β
ρ dt dt dt
dimana dari termodinamika kita ketahui bahwa,
1 ⎛ ∂ρ ⎞
α≡ ⎜ ⎟ ( α = isothermal compressibility)
ρ ⎜⎝ ∂p ⎟⎠ Τ

1 ⎛ ∂ρ ⎞
β ≡− ⎜ ⎟ ( β = coefficient of thermal expansion)
ρ ⎝ ∂Τ ⎠ Ρ
Sekarang kita nondimensionalkan persamaan diatas. Untuk itu selain nondimensional
~
variable ρ~ , ~
t , p , Τ yang telah diperkenalkan sebelumnya, kita definisikan, α~ ≡ α
α0

& β ≡β
~
β0 .
Dengan menggunakan variabel-variabel tersebut, persamaan menjadi
~
1 dρ~ ~ d~
p ~ dΤ
= α 0 p 0α ~ − β 0 Τ0 β ~ (a.i.1)
ρ~ d~t dt dt
Dasar Mekanika Fluida 98

Dari termodinamik,
⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞
Cv ≡ ⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ & de = Τds − pdv
⎝ ∂Τ ⎠ν ⎝ ∂Τ ⎠ ρ
sehingga
⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞
⎜ ⎟ =⎜ ⎟ =Τ
⎝ ∂s ⎠v ⎝ ∂s ⎠ ρ
Namun, properti dari partial derivative menyatakan,

⎛ ∂Τ ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ 1 ⎞ ⎛ ∂s ⎞
1 = ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ (Τ) ⎜ ⎟
⎝ ∂e ⎠ ρ ⎝ ∂s ⎠ ρ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎝ Cv ⎠ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ
sehingga,
⎛ ∂s ⎞
C v = Τ⎜ ⎟
⎝ ∂Τ ⎠ ρ

Berikutnya kita perhatikan manipulasi matematis dibawah ini,


⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞
dρ = ⎜ ⎟ ds + ⎜ ⎟ dT , ds = ⎜ ⎟ d ρ + ⎜ ⎟ dT
⎝ ∂s ⎠Τ ⎝ ∂Τ ⎠ s ⎝ ∂ρ ⎠Τ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ

⎛ ∂ρ ⎞ ⎧⎪⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎫⎪ ⎛ ∂ρ ⎞
dρ = ⎜ ⎟ ⎨⎜⎜ ⎟⎟ dρ + ⎜ ⎟ dT ⎬ + ⎜ ⎟ dT
⎝ ∂s ⎠ Τ ⎪⎩⎝ ∂ρ ⎠ Τ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎪⎭ ⎝ ∂Τ ⎠ s

⎧⎪ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎫⎪ ⎧⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎫
⎨1 − ⎜ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎬dρ = ⎨⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎬dT
⎪⎩ ⎝ ∂s ⎠ Τ ⎝ ∂ρ ⎠ Τ ⎪⎭ ⎩⎝ ∂Τ ⎠ s ⎝ ∂s ⎠ Τ ⎝ ∂Τ ⎠ Ρ ⎭

⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂Τ ⎞
⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ = −1 .
⎝ ∂s ⎠ Τ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎝ ∂ρ ⎠ s

Dengan demikian maka,


⎛ ∂S ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂S ⎞
Cv = T ⎜ ⎟ = −T ⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎝ ∂T ⎠ ρ ⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂ρ ⎠T
Apabila kita lakukan hal serupa untuk CP maka,
⎛ ∂h ⎞ ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂S ⎞
Cp = ⎜ ⎟ = −T ⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎝ ∂T ⎠ P ⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂p ⎠T
Dasar Mekanika Fluida 99

Sekarang kita perkenalkan γ ≡ C P CV ,

⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂S ⎞
−T ⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂p ⎠T ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞
γ= =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ = a ρα
2

⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂S ⎞ ∂ρ
⎝
⎠S ⎝ ∂p ⎠T
−T ⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂ρ ⎠T a 2

Dengan demikian maka,


γo
ρ oα o =
a o2
Sedangkan dari definisi Ru dan Br ,
ρoU o2 U o2 Pr
po = & To =
Ru CPo Br

Akhirnya, apabila kita kembali ke (a.i.1),

1 d ρ ⎛ 1 dp Pr  dT ⎞
= γ o M o2 ⎜ α − Bβ ⎟ (a.i)
ρ dt ⎝ Ru dt Br dt ⎠

di mana

Uo ao2 β o Pr ⎛ β o ⎞ Pr
Mo ≡ & B≡ =⎜ ⎟⎟ .
ao γ oCPo Br ⎜⎝ α o β oCPo ⎠ Br

Dari (a.1) dapat dilihat bahwa asumsi incompressible terpenuhi apabila M o2 << 1
(bilangan Mach dari aliran sangat rendah). Dari definisi bilangan Mach, maka jelaslah
⎛ ∂p ⎞
bahwa asumsi ini terpenuhi apabila harga a0 sangat tinggi. Karena, a 0 = ⎜⎜ ⎟⎟ maka
⎝ ∂ρ ⎠ s
harga a0 akan tinggi apabila perubahan massa jenis yang disebabkan oleh perubahan
tekanan sangatlah kecil.

Untuk aliran incompressible di mana M o2 << 1 , µ = µ (T ) & k = k (T ) , apabila


perbedaan temperatur di daerah-daerah dalam fluida relatif kecil (ini biasanya terpenuhi
dalam aliran incompressible) maka,
µ = kons tan & k = kons tan
Dasar Mekanika Fluida 100

Apabila asumsi inkompresibel dapat digunakan, maka persamaan-persamaan fluida


menjadi lebih sederhana. Persamaan-persamaan (a) dan (b) untuk kasus inkompresibel
adalah:
∇ ⋅u = 0 (I.1)

∂u ⎛ p⎞ 1
+ u ⋅∇u = −∇ ⎜ ⎟ + G + ∇ ⋅τ
∂t ⎝ρ⎠ ρ

(
di mana τ = λ I ( ∇ ⋅ u ) + µ ∇u + ( ∇u )
T
).

Karena (I.1), maka τ menjadi,

(
τ = µ ∇u + ( ∇u )
T
)
sehingga
⎛ ⎛ ⎞⎞
∇ ⋅τ = µ ⎜ ∇ 2 u + ∇ ⎜ ∇ ⋅ ⎟ = µ∇ 2 u .
⎜ N ⎟⎟ ⎟
u

⎝ ⎝ =0 ⎠ ⎠
Substitusikan ke persamaan momentum maka,
∂u ⎛ p⎞
+ u.∇u = −∇⎜⎜ ⎟⎟ + G + v∇ 2 u (I.2)
∂t ⎝ρ⎠
µ
di mana v ≡ .
ρ

Karena ρ adalah konstan, maka untuk kasus ini yang tidak diketahui adalah u1, u2, u3
dan p. Sedangkan ρ, G, µ(ν) diketahui. Jadi persamaan (I.1) dan (I.2) (4 persamaan)
adalah persamaan yang harus diselesaikan untuk mendapatkan u1, u2, u3 dan p. Dengan
kata lain, persamaan energi biasanya tidak dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus
inkompresibel. Persamaan energi hanya dibutuhkan dalam kasus aliran yang
dipanaskan secara tidak uniform misalnya dan kasus-kasus konduksi lainnya.

2.7 Garis-garis aliran

Pemahaman secara fisis dari solusi persamaan-persamaan dasar bisasanya dilakukan


dengan bantuan garis-garis aliran. Selain membantu memahami fisik aliran, garis-garis
aliran juga sangat berguna dalam visualisasi eksperimen. Secara umum terdapat 3 tipe
Dasar Mekanika Fluida 101

garis-garis aliran yang biasa digunakan. Ketiga tipe ini adalah “streamline” (garis arus),
“pathline”(jejak arus) dan “streakline”. Di subbagian ini kita akan bahas ketiga garis-
garis aliran ini satu persatu.

2.7.1 Streamline

Streamline adalah garis-garis yang di mana pun sejajar dengan vektor kecepatan.
Konsep streamline sangat berguna untuk memahami fisik dari aliran steady. Konsep ini
tidak terlalu berguna dalam aliran unsteady karena vektor-vektor kecepatan berubah-
ubah setiap saat.

Dari penjelasan di atas, streamline dl didapatkan dengan mengevaluasi


u × dl = 0
Apabila kita gunakan koordinat kartesian maka persamaan di atas menjadi,
u2 dx3 − u3 dx2 = 0 , u3dx1 − u1dx3 = 0 , u1dx2 − u2 dx1 = 0
atau
u1 u u 1
= 2 = 3 ≡
dx1 dx2 dx3 ds
di mana s adalah parameter yang diperkenalkan untuk memudahkan integrasi persamaan
di atas. Solusi dari persamaan di atas untuk streamline yang melewati titik x = x 0 pada

waktu t = 0 mepunyai bentuk


x = x ( x0 , t , s )

2.7.2 Pathline

Pathline adalah garis yang menjelaskan jejak dari sebuah partikel fluida. Karena
partikel fluida bergerak bersama fluida yang mempunyai kecepatan u, maka pathline
haruslah memenuhi
dx
=u
dt
Dasar Mekanika Fluida 102

Persamaan untuk pathline yang melintasi titik x0 pada waktu t0 adalah solusi persamaan
di atas yang memenuhi kondisi awal x( t =0) = x 0 . Secara umum solusi ini mempunyai

bentuk
x = x ( x0 , t )

2.7.3 Streakline

Streakline adalah garis yangmenjelaskan jejak dari partikel-partikel fluida yang


melewati sebuah titik x0 pada waktu t = τ (setiap partikel melewati titik ini pada waktu
yang berbeda). Dengan demikian persamaan untuk streakline didapatkan dengan
menyelesaikan persamaan
dx
= u, x (t =τ ) = x 0 .
dt
Streakline adalah garis yang terlihat apabila kita melakukan visualisasi aliran dengan
menggunakan asap atau “dye”

Catatan: Untuk kasus steady, streamline, pathline, dan streakline menghasilkan garis-
garis yang sama.
Contoh: Aliran 2-D (unsteady) yang mempunyai kecepatan
u1 = x1 (1 + 2t )
u2 = x2
u3 = 0
yang melewati titik (1,1)
a. Streamline
dx1 dx
= u1 , 2 = u2
ds ds
substitusikan u1 dan u2 kemudian integrasikan didapatkan
x1 = e s dan x2 = e s
sehingga persamaan untuk streamline adalah
x1 = x2
Dasar Mekanika Fluida 103

b. pathline
dx1 dx
= u1 , 2 = u2
dt dt
x1 = c1e (
t 1+ t )
, x2 = c2 et
Apabila partikel fluida ini melewati (1,1) pada t = 0 maka, c1 = c2 = 1
x1 = e (
t 1+ t )
, x2 = et

Sehingga persamaan untuk pathline adalah x1 = x12+ ln x2

c. streakline
Untuk kasus ini kondisi awalnya adalah
x1 = 1, x2 = 1, pada waktu t = τ
hasilnya adalah,
− t (1+ t ) −τ (1+τ )
x1 = e dan x2 = et −τ yang pada waktu t = 0 menjadi x1 = x12−ln x2

2.8 Aliran 2-D dan Fungsi Arus ( stream function)

Untuk kasus aliran 2-D, persamaan kontinuitas dapat dituliskan menjadi,


∂ρ u 1 ∂ρ u2
+ =0
∂x 1 ∂x2
Persamaan ini akan selalu terpenuhi apabila kita definisikan
∂ψ ∂ψ
ρ u1 = dan ρ u2 = − (SF)
∂x2 ∂x1

ψ ( x1 , x2 ) disebut “fungsi arus “ atau “stream function” dan fungsi ini sangat membantu
kita dalam menyelesaikan permasalahan aliran 2D.

Untuk kasus aliran incompressible, persamaan kontinuitas menjadi,


∂u 1 ∂u2
+ =0
∂x 1 ∂x2
Untuk kasus ini fungsi arus didefinisikan sebagai,
Dasar Mekanika Fluida 104

∂ψ ∂ψ
u1 = dan u2 = −
∂x2 ∂x1

Persamaan “momentum” (I.4) dapat kita manipulasi untuk mendapatkan persamaan


diferensial untuk ψ karena,

⎛ ⎞
∇ × (ω × u ) = ω ( ∇ ⋅ u ) + ( u ⋅∇ ) ω − (ω ⋅∇ ) u − u ⎜ ∇ ⋅ω ⎟

⎜ N ⎟
=0 ⎝ =0 ⎠
maka persamaan (I.4) menjadi,
∂ω
+ ( u ⋅∇ ) ω − (ω ⋅∇ ) u = ν∇ 2 ω .
∂t

Karena ω = ∇ × u maka persamaan di atas hanya terdapat satu variabel yaitu u.


Sekarang kita substitusikan (SF) untuk u di dalam persamaan di atas dan hasilnya
adalah,
∂ 2 ∂ψ ∂ ∂ψ ∂
∂t
( ∇ ψ )−
∂x1 ∂x2
( ∇ 2ψ ) +
∂x2 ∂x1
( ∇ 2ψ ) − v∇ 4ψ = 0 (SF 2)

Dari persamaan terakhir terlihat bahwa apabila kita mempelajari kasus aliran 2D dan
kita gunakan fungsi arus, kita tidak perlu bersusah-payah untuk menyelesaikan
persamaan kontinuitas dan cukup menyelesaikan persamaan (SF 2) untuk satu variable,
yaitu ψ. Ini tentunya disebabkan oleh definisi dari fungsi arus yang secara otomatis
telah memenuhi persamaan kontinuitas.

Sekarang kita akan melihat lebih dalam arti fisik dari fungsi arus. Pertama-tama,
streamline untuk aliran steady dapat ditemukan dengan menggunakan ψ . Definisi
stream line adalah garis yang paralel dengan u atau d l × u = 0 . Untuk aliran 2-D
persamaan d l × u = 0 menjadi ( dl = dx1eˆ1 + dx2 eˆ2 ),
u 2 dx1 − u1 dx 2 = 0

Substitusikan (SF) untuk u1 dan u2 ,


∂ψ ∂ψ ∂ψ ∂ψ
− dx1 − dx 2 = 0 atau dψ = dx1 + dx 2 = 0
∂x1 ∂x 2 ∂x1 ∂x 2
Dasar Mekanika Fluida 105

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ψ = konstan adalah kurva-kurva yang menjelaskan


streamline.

Sekarang kita akan hitung “mass flux” Q yang melintasi 2 streamline seperti dalam
sketsa di atas.
B B

Q = ρ ∫ (u.nˆ )dl = ρ ∫ (−u 2 dx1 +u1 dx 2 ) = ρ ∫ dψ


A A

Q = ρ (ψ B − ψ A )
Jadi selisih dari harga ψ antara 2 streamline proporsional dengan “mass flux” Q yang
melewati kedua streamline tersebut.

2.9 Contoh-contoh solusi persamaan Navier Stokes untuk


aliran incompressible

Di dalam subbagian ini kita akan pelajari beberapa aliran viscous incompressible. Dua
kasus yang akan dibahas adalah aliran Couette dan aliran Poiseuille.

2.9.1 Aliran Poiseuille (aliran di dalam pipa) 2-D

Aliran ini biasanya terjadi di dalam pipa di mana terdapat gradien dari tekanan. Untuk
mempelajari aliran ini perhatikanlah sketsa di bawah ini. Karena pipa ini paralel dengan
x1 maka u2 = 0.
Dasar Mekanika Fluida 106

Selain itu karena pipa ini sangat panjang maka kecepatan aliran tidak mungkin berubah
di arah x1. Apabila variabel-variabel berubah di arah x1 maka kecepatan kecepatan ini
akan mempunyai harga tak berhingga di x1 → ∞. Dengan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa u1 = u1 (x2). Dari observasi ini maka persamaan kontinuitas dapat
dituliskan menjadi,
∂u1
=0
∂x1
sehingga u1 ≠ u1(x1). Hasil ini mengkonfirmasikan observasi di atas.

Persamaan x2 – momentum menjadi,


du2 ∂p dp
ρ =− + µ ⋅∇ 2u2 ⇒ =0
dt ∂x2 dx2
sehingga p = p(x1). Sekarang kita lihat persamaan x1–momentum. Karena aliran ini
aliran steady maka,
⎛ ∂u1 ∂u ⎞ ∂p ⎛ ∂ 2u ∂ 2u ⎞
ρ ⎜ u1 + u2 1 ⎟ = − + µ ⎜ 21 + 21 ⎟
⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠ ∂x1 ⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠

sehingga,
∂p ∂ 2u
= µ 21 = konstan
∂x1 ∂x2

Persamaan di atas = konstan karena di sebelah kiri p = p(x1) dan di sebelah kanan
u1 = u1(x2) dan tanda “=” hanya mungkin apabila suku kiri dan kanan adalah konstan.
dp
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa, = konstan dan persamaan di atas
dx1
dapat diintegrasikan 2 kali sehingga.

1 ⎛ dp ⎞ 2
u1 = µ⎜ ⎟ x2 + C1 x2 + C2
2 ⎝ dx1 ⎠
Dasar Mekanika Fluida 107

di mana C1 dan C2 adalah konstan integrasi. C1 dan C2 dapat ditentukan dengan


menggunakan kondisi batas: u1(x2 = 0) = 0 dan u1(x2 = D) = 0
dan hasilnya adalah

1 ⎛ dp ⎞
C2 = 0 dan C1 = − ⎜ ⎟D
2 µ ⎝ dx1 ⎠

Dengan demikian maka solusi untuk u1 adalah,

1 ⎛ dp ⎞ 2
u1 = ⎜ ⎟ ( x2 − Dx2 ) (PF)
2 µ ⎝ dx1 ⎠

Dari solusi ini kita dapat hitung kecepatan maksimum dan shear stress di dinding.
∂u1
Kecepatan maksimum dapat ditentukan dengan mencari = 0 (titik di mana ini
∂x 2

D
terjadi). Apabila ini dilakukan, maka akan didapat x2 = sehingga,
2

D 2 ⎛ dp ⎞
u1max = − ⎜ ⎟
8µ ⎝ dx1 ⎠

Shear stress di dinding adalah


⎛ ∂u1 ⎞
τ wall = µ ⎜ ⎟
⎝ dx2 ⎠ x
2 = wall

Dengan mengambil turunan parsial x2 dari (PF) dan masukkan x2 = 0 didapatkan

D ⎛ dp ⎞
τ wall = − ⎜ ⎟
2 ⎝ dx1 ⎠

2.9.2 Aliran Couette

Aliran ini adalah aliran di antara 2 dinding seperti aliran Poiseuille tetapi dalam aliran
ini tidak terdapat gradien tekanan. Aliran ini dihasilkan dengan menggerakkan salah
satu dinding dengan kecepatan V (lihat sketsa di bawah).
Dasar Mekanika Fluida 108

Dinding atas mempunyai T = T0 dan digerakkan dengan kecepatan U. Dinding bawah


mempunyai T = Twall dan tidak bergerak. Seperti halnya dengan aliran Poiseuille, karena
∂u1 ∂p ∂T
dinding ini sangat panjang di arah x1, = 0, = 0, = 0 . Karena kedua dinding
∂x1 ∂x1 ∂x1

ini paralel maka u2 = 0 dan u3 = 0. Dengan demikian maka persamaan kontinuitas


menjadi,
∂u1
= 0 ⇒ u1 = u1 ( x 2 )
∂x1
Sedangkan persamaan momentum diarah x2 dan x3 menjadi,
∂p ∂p
=0 =0
∂x2 ∂x3
∂p
Karena = 0 maka dapat disimpulkan bahwa p = konstan untuk aliran ini. Dengan
∂x1
demikian persamaan x1-momentum menjadi
∂ 2 u1
µ 2 =0
∂x 2

Apabila kita integrasikan persamaan ini dan gunakan kondisi batas u1(x2 = 0) = 0 dan
u1(x2 = D) = 0 maka didapat
⎛x ⎞
u1 = U ⎜ 2 ⎟ (CT.1)
⎝D⎠

⎛ ∂u ⎞
Dari hasil ini kita dapat hitung τ wall = µ ⎜ 1 ⎟ dan hasilnya adalah,
⎝ ∂x 2 ⎠ wall
Dasar Mekanika Fluida 109

U
τ wall = µ .
D

Sekarang kita beralih ke permasalahan “heat transfer“ untuk kasus ini. Untuk itu kita
gunakan persamaan (i) yang untuk kasus ini,
⎛ ⎞
⎜ ∂T ∂T ∂T ⎟ ∂ 2T ∂u
ρ CP ⎜ u1 + uN2 + u3
N ⎟ = k +τ 1
⎜ N ∂x1 =0 ∂x2 =0 ∂x3 ⎟ ∂x2
2
∂x2
⎝ =0 ⎠
atau
2
k ∂ 2T ⎛ ∂u ⎞
+ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ = 0
µ ∂x 2 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
∂u1 U
Dari (CT.1), = sehingga persamaan di atas menjadi,
∂x2 D
2
∂ 2T µ ⎛U ⎞
2
=− ⎜ ⎟
∂x2 k ⎝D⎠

Apabila kita integrasikan persamaan ini didapatkan,


2
µ ⎛U ⎞ 2
T =− ⎜ ⎟ x2 + c1 x2 + c2 (CT.2)
2k ⎝ D ⎠
di mana c1 & c 2 adalah konstan–konstan dari integrasi.

Sekarang kita lihat solusi ini untuk dua kasus penting yaitu,
⎛ ∂T ⎞
(1) T ( x 2 = D ) = T ( x 2 = 0) = Twall & (2) ⎜⎜ ⎟⎟ = 0 atau disebut juga adiabatic wall.
⎝ ∂x 2 ⎠
1. T ( x 2 = D ) = T ( x 2 = 0) = Twall
Apabila kita gunakan kondisi batas ini untuk (CT.2), solusi untuk T adalah,
⎛ x2 ⎛ x2 ⎞ 2 ⎞
µ
T = U ⎜ − ⎜ ⎟ ⎟ + Twall
2

2k ⎜D ⎝D⎠ ⎟
⎝ ⎠
Cpµ
Dengan mengingat definisi Pr = maka,
k

U 2 Pr ⎡⎛ x2 ⎞ ⎛ x2 ⎞2 ⎤
T= ⎢⎜ ⎟ − ⎜ ⎟ ⎥ + Twall (CT.3)
2C p ⎢⎣⎝ D ⎠ ⎝ D ⎠ ⎥⎦
Dasar Mekanika Fluida 110

Selain itu kita juga dapat hitung heat transfer di dinding,


∂T µU 2 ⎛ x2 ⎞
q = −k = ⎜1 − 2 ⎟ .
∂y 2D ⎝ D⎠
Di dinding ( x2 = 0 & D ),

µU 2 U
qwall = = τ wall
2D 2

⎛ ∂T ⎞
2. ⎜⎜ ⎟⎟ = 0 (adiabatic wall condition) & Twall = Taw . Dengan menggunakan
⎝ ∂x 2 ⎠ wall
kondisi batas ini di x 2 = 0 didapat,
2
µ ⎛U ⎞ 2
T =− ⎜ ⎟ x2 + Taw
2k ⎝ D ⎠
atau
2 2
PU ⎛ x2 ⎞
T = Taw − r
⎜ ⎟ (CT.4)
2C p ⎝ D ⎠

Taw dapat dihitung dengan mengevaluasi (CT.4) di x 2 = 0 di mana

T ( x 2 = D ) = TD .

U2
Taw = TD + Pr (CT.5)
2C p

Taw disebut juga “ adiabatic wall temperature “. Taw dapat dihubungkan dengan

To (total temperature) sebagai berikut.

Pertama – tama kita gunakan definisi dari T0 di x 2 = D .

U2
T0 = TD + (CT.6)
2C p

Dari persamaan (CT.5) dapat dilihat bahwa Taw secara umum dapat dinyatakan
sebagai
U2
Taw = TD + r (CT.7)
2C p
Dasar Mekanika Fluida 111

di mana r adalah “ recovery factor “. Sekarang kita eliminasi TD dari (CT.6) &
(CT.7) hasilnya adalah :
U2
(T0 − Taw ) = (1 − r )
2C p

U2
Namun, menurut (CT.6) adalah sama dengan (T0 − TD ) jadi,
2C p

Taw − TD
r=
T0 − TD

Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa “r“ adalah ukuran dari perubahan T0 yang

disebabkan oleh q 0 di dinding x 2 = 0 .

2.10 Aliran dengan harga bilangan Reynold yang Rendah

Fluida yang bergerak dengan kecepatan yang sangat rendah mempunyai harga Re yang
sangat rendah. Untuk aliran semacam ini persamaan momentum dapat disederhanakan
~
seperti di bawah ini. Pertama-tama kita kalikan setiap suku dalam persamaan ( b )
dengan Re dan hasilnya adalah
Re ~ ∂u~
St ∂ t
~
(
ρ ~ + Re ρ~ u~ ⋅ ∇ u~ = − )
Re ~ ~ ~ ~ Re ~ ~
Ru 0
∇p + ∇ ⋅ τ +
Fr
ρG

Dengan definisi Re, St, Ru, dan Fr persamaan di atas menjadi,


ρ 0 L20 ~ ∂u~ ρ g L2 ~
µ 0t0 ∂t
( ~
) p L ~
U 0 µ0
~
ρ ~ + Re ρ~ u~ ⋅ ∇ u~ = − 0 0 ∇~p + ∇ ⋅ τ~ + 0 0 0 ρ~G
µ 0U 0
Apabila kita ambil lim Re→0 maka suku kedua dari persamaan di atas hilang. Dengan
demikian maka persamaan momentum dalam bentuk dimensional menjadi,
∂u
ρ = −∇p + ∇ ⋅ τ + ρ G
∂t

Untuk aliran yang sangat lambat, perubahan ρ yang disebabkan oleh perubahan p sangat
kecil sehingga aliran dapat diasumsikan sebagai aliran incompressible. Untuk aliran ini,
Dasar Mekanika Fluida 112

∇ ⋅ τ = µ∇ 2 u (lihat subbagian aliran incompressible) sehingga persamaan kontinuitas

dan momentum menjadi,


∇ ⋅u = 0
∂u 1 (LRE 1)
= − ∇ p + υ∇ 2 u + G
∂t ρ

Apabila G = −∇ψ (G konservatif) dan kita ambil ∇ × (∇ × momentum) maka hasilnya


adalah ( ∇ × ∇A = 0 untuk setiap skalar A),

∇ × (∇ × u ) = ν∇ 2 (∇ × (∇ × u ))
∂t
dari vektor analisis diketahui bahwa
∇ × (∇ × u ) = ∇((∇ ⋅ u ) − ∇ 2 u )

Apabila kita gunakan hubungan terakhir dan gunakan persamaan kontinuitas, persamaan
diatas menjadi,
∂u
∇2 = ν∇ 4 u (LRE)
∂t
Persamaan (LRE) adalah persamaan diferensial untuk kasus ini. Persamaan ini
diselesaikan dengan boundary condition,
u ( x = x wall , t ) = U wall

Untuk kasus steady dan G = 0 , persamaan (LRE) menjadi lebih sederhana. Selain itu
kita juga bisa dapatkan persamaan differensial untuk p dengan mengambil
∇ ⋅ (momentum) ,

∇ 4 u = 0 dan ∇ 2 p = 0 (LRE steady)

Persamaan (LRE) dan (LRE steady) adalah persamaan-persamaan yang relatif cukup
sederhana dan dapat diselesaikan secara analitik.
Dasar Mekanika Fluida 113

2.10.1 Drag dari bola yang bergerak dengan Kecepatan U

Salah satu solusi dari persamaan (LRE steady) adalah aliran di sekitar bola (sphere)
yang bergerak dengan kecepatan U =konstan. Apabila persoalan ini dilihat oleh
pengamat yang bergerak dengan kecepatan U maka aliran menjadi aliran steady.
Persoalan ini diselesaikan oleh G.G. Stokes pada tahun 1851. Solusi didapatkan dengan
(dengan menggunakan “Spherical Coordinate System”) melihat persoalan steady (aliran
di sekitar bola yang diam) dan hasilnya adalah,

⎡ 3R R 3 ⎤  
ur′ = U cosθ ⎢1 − + 3 ⎥ + (U ⋅ er ) ≡ ur + (U ⋅ er )
⎣ 2r 2r ⎦

⎡ 3R R 3 ⎤  
uθ′ = −U sin θ ⎢1 − + 3 ⎥ + (U ⋅ eθ ) ≡ uθ + (U ⋅ eθ )
⎣ 4r 4 r ⎦


3 U ⋅n
p = p0 − ν 2 R
2 r

 
Apabila u ′r dan uθ′ di atas dikurangi U ⋅ er dan U ⋅ eθ kita kembali ke persoalan semula.
Solusi ini dapat dicek dengan melihat apakah solusi ini memenuhi (LRE steady) dan
kondisi batasnya adalah: u (r = R ) = 0 , u (∞ ) = 0 , p(∞ ) = p 0

Dari solusi ini kita dapat menghitung drag dari benda ini. Ini didapatkan dengan
mengambil integral : σ ⋅ n di permukaan sphere, (σ ⋅ n = − p I + τ ) .
 


D=− ∫ σ ⋅ nds = ∫ (− p cosθ + τ
sphere
rr cos θ − τ rθ sin θ )dS
Dasar Mekanika Fluida 114

dimana

∂U r ⎛ 1 ∂U r ∂Uθ Uθ ⎞
τ rr = 2µ dan τ rθ = µ ⎜⎜ + − ⎟
∂r ⎝ r ∂θ ∂r r ⎟⎠

di permukaan sphere,


τ rr = 0 dan τ rθ = − U sin θ
2R

sehingga hasil integral di atas adalah,

D = 6πµRU (Stoke’s Formula)

Untuk melihat limitasi dari formula di atas kita kembali ke sistem koordinat yang
 
bergerak bersama sphere. Dalam sistem koordinat ini, u = U + ur er + uθ eθ . Di daerah

  UR
yang agak jauh dari sphere, u ≈ U sedangkan ∇u = ∇(ur er + uθ eθ ) ≈ 2 . Dengan
r
U 2R UR
demikian maka u ⋅ ∇u ≈ 2
dan ν∇ 2 u ≈ ν 3 . Asumsi di atas menyatakan bahwa
r r
UR U 2R ν
ν∇ 2 u >> u ⋅ ∇u atauν 3
>> 2
sehingga r << .
r r U

ν ν
Jadi untuk r ≈ atau r > hasil di atas tidak lagi valid. Untuk mendapatkan u di
U U
daerah yang jauh dari sphere kita perlu memasukkan kembali suku u ⋅∇u . Karena di
daerah ini u ≈ U maka suku ini dapat diaproksimasikan sebagai U ⋅∇u . Dengan
demikian maka persamaan momentum menjadi

1
U ⋅ ∇u = − ∇p + ν ∇ 2 u
ρ
Dasar Mekanika Fluida 115

Persamaan momentum di atas disebut juga Oseen Improvement. Dengan persamaan ini,
apabila kita selesaikan dan hitung drag dari sphere maka didapatkan,

⎛ 3νR ⎞
D = 6πµUR⎜1 + ⎟
⎝ 8ν ⎠

⎛ 3UR ⎞
Jadi dengan aproksimasi ini suku tambahan dalam formula untuk drag sebesar ⎜ ⎟
⎝ 8ν ⎠

2.11 Strategi penyelesaian aliran Re tinggi di sekitar benda

Dalam aerodinamika kita biasanya dihadapi oleh permasalahan seperti yang


digambarkan di atas. Sebuah benda rigid diletakkan di dalam aliran. Aliran jauh di
depan benda tersebut adalah aliran yang uniform atau seragam. Sekarang kita akan
mencoba menggunakan asumsi-asumsi yang telah dibahas sebelum ini untuk
menyederhanakan persamaan (a), (b), dan (c). Dalam subbagian ini hanya akan
dijelaskan strategi untuk menyelesaikan persoalan seperti yang digambarkan di atas.

Pertama-tama karena Re sangat tinggi kita dapat gunakan asumsi inviscid di luar lapisan
batas. Apabila kita juga bisa menggunakan asumsi adiabatik, maka di luar lapisan batas
kita dapat menggunakan asumsi isentropic. Karena keadaan awal freestream seragam
(uniform) maka di luar lapisan batas alirannya adalah aliran homentropic.
Dasar Mekanika Fluida 116

Karena aliran di luar lapisan batas adalah aliran homentropik maka kita bisa gunakan
dΓ ∧
teorema Kelvin yang menyatakan bahwa = 0 . Karena Γ = ∫ w. n ds untuk reducible
dt
circuit c yang bergerak bersama fluida maka apabila kita mempunyai freestream yang
seragam/ uniform ( ω = 0 ) ; seperti dalam kasus di atas, aliran di luar lapisan batas juga
mempunyai ( ω = 0 ) . Dengan kata lain kita bisa gunakan asumsi irrotational untuk
aliran di luar lapisan batas.

Sekarang permasalahan yang digambarkan di atas menjadi permasalahan aliran


potensial di sekitar benda &lapisan batas. Jadi sekarang untuk sementara kita bisa
lupakan lapisan batas & menyelesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda yang
permukaannya lapisan batas dari benda tersebut (lihat gambar).

Distribusi tekanan di “benda baru“ ini sama dengan distribusi tekanan untuk benda yang
asli. Ini disebabkan karena hasil dari teori lapisan batas yang menyatakan bahwa
dp
= 0 . Namun, hasil yang didapatkan/ solusi dari permasalahan aliran potensial di
dy
sekitar “benda baru“ masih bermasalah seperti yang dapat kita lihat di bawah ini.

Apabila kita hitung Γ dengan menggunakan circuit yang reducible yang menutupi

benda tersebut maka Γ = ∫ u.d x = ∫ ω. n ds = 0 . Dengan kata lain benda tersebut tidak
c

mempunyai lift karena menurut teorema Kutta-Jukowski A = ρ u∞ Γ = 0 (kita akan


pelajari teorema ini di BAB 5). Jadi ada sesuatu yang tidak benar dengan strategi kita
dalam menyelesaikan masalah ini.
Dasar Mekanika Fluida 117

Kesalahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Tadi kita gunakan teorema Kelvin
untuk mengambil kesimpulan bahwa streamline yang awalnya tidak mempunyai
vortisitas akan seterusnya tidak mempunyai vortisitas (karena Γ konstan sepanjang
streamline). Namun, kita sebenarnya tidak dapat mengambil kesimpulan seperti di atas
untuk streamline yang menempel pada benda baru tadi. Karena kita tidak dapat
menggambarkan sebuah reducible circuit yang hanya menutupi fluida untuk streamline
yang menempel di “benda baru“ ( lihat gambar ).

Oleh karena itu, untuk streamline ini kita mengetahui apakah streamline tersebut
rotasional & inilah yang sebenarnya terjadi. Lebih tepatnya terjadi “flow separation” di
mana streamline tersebut “terlepas” dari permukaan “benda baru” (lihat gambar). Jadi di
daerah bagian belakang (wake) “benda baru” ada daerah di mana alirannya aliran
rotasional.

Sekarang apabila kita hitung Γ untuk circuit c seperti gambar di atas, maka untuk yang
wake sangat tipis
Γ≈∫ u.d x = ∫ ∇φ .d x = ∫ dφ = φ2 − φ1
c1− 2 c1− 2 c1− 2

Wake sangat tipis apabila benda tersebut benda slender (benda langsing) seperti airfoil.
Jadi Γ tidak sama dengan nol atau “benda baru” kita mempunyai lift. “Flow
separation” itu sebenarnya terjadi di dalam lapisan batas & disebabkan karena
⎛ dp ⎞
⎜ ⎟ > 0. Posisi dari flow separation dapat ditentukan apabila kita
⎝ dx ⎠ dibenda
permukaan
baru

mengetahui property dari lapisan batas.


Dasar Mekanika Fluida 118

Catatan: Di BAB 5 kita akan pelajari bahwa untuk benda 2 dimensi, untuk
mendapatkan solusi yang unik dari permasalahan aliran potensial di sekitar
benda kita harus memasukkan pembatas (“barrier”) tipis seperti wake tadi.
Setelah ditambahkan “barrier” maka untuk mendapatkan solusi yang unik, kita
harus memberikan harga Γ . Dalam thin airfoil theory harga Γ diberikan di
“trailing edge” sesuai dengan apa yang disebut dengan kondisi Kutta.

Dalam praktik kita awalnya tidak mengetahui bentuk boundary layer & titik-titik di
mana ada flow separation. Namun, untuk mendapatkan solusi di lapisan batas kita
harus mengetahui distribusi tekanan di luar lapisan batas yang merupakan hasil dari
potential flow. Jadi permasalahan ini harus diselesaikan secara iteratif seperti berikut :
1. selesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda
2. hasil dari 1 digunakan untuk menyelesaikan masalah lapisan batas sehingga
kita dapatkan bentuk “benda baru”
3. selesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda baru
4. kembali ke 2 dan lanjutkan iterasi

Untuk benda yang tidak slender atau ‘bluff body’, flow separation terjadi lebih awal dari
pada yang terjadi pada slender body (lihat gambar). Sehingga “wake” benda tersebut
cukup tebal.

Untuk mengetahui atau mempelajari aliran sekitar ‘bluff body’ maka kita perlu
menghitung aliran dalam wake tersebut dengan menggunakan persamaan Navier-
Stokes.

Catatan: Karena wake dari ‘bluff body’ relative tebal maka drag benda tersebut lebih
disebabkan perbedaan tekanan antara bagian muka dan belakang. Drag yang
Dasar Mekanika Fluida 119

disebabkan oleh efek viscous tidak terlalu penting untuk benda seperti ini. Hal
sebaliknya terjadi untuk benda slender. Untuk benda ini mempunyai wake
yang tipis sehingga drag yang disebabkan oleh tekanan sangat kecil dan
kontribusi terbesar untuk drag didapatkan dari friction.

.
Vortisitas 120

BAB

3
Vortisitas

3.1 Pendahuluan

Kita telah lihat disubbagian sebelum ini bahwa ada bagian-bagian dalam aliran dimana
∇ × u ≠ 0 atau bagian-bagian ini mempunyai vortisitas (vorticity). Bagian-bagian ini
sangat penting karena, seperti akan kita lihat nanti, vortisitas akan terbentuk pada setiap
aliran disekitar benda. Vortisitas juga menentukan besar gaya-gaya yang beraksi
apabila fluida mengalir disekitar benda. Oleh karena itu di bab ini kita akan
mempelajari vortisitas lebih mendalam.

3.2 Kinematika Vortisitas

Seperti telah kita lihat sebelumnya vortisitas (ω ) didefinisikan sebagai curl dari
kecepatan atau, ω ≡ ∇ × u . Karena definisi ini, vortisitas mempunyai sifat-sifat
tertentu. Untuk setiap vektor, A, yang kontinu, ∇ ⋅ (∇ × A) = 0 . Karena definisi dari ω
di atas maka,
∇ ⋅ ω = ∇ ⋅ (∇ × u ) = 0 atau ∇ ⋅ ω = 0
Vortisitas 121

Hasil ini menunjukkan tidak mungkin terdapat “source/ sink” dari vortisitas di dalam
fluida itu sendiri (persamaan diatas serupa dengan persamaan kontinuitas untuk aliran
inkompresibel).

Sekarang kita akan gunakan hasil di atas untuk mempelajari sifat-sifat dasar dari
vorticity. Untuk itu pertama-tama kita perkenalkan apa yang disebut dengan “vortex
line”. Vortex line adalah garis yang sejajar dengan arah dari ω . Kumpulan dari
beberapa vortex line membentuk “vortex tube”. (lihat gambar di bawah).

Sekarang kita akan ambil integral volume ∇ ⋅ ω , dimana volume V merupakan volume
dari vortex tube dalam gambar di atas.
0 = ∫ ∇ ⋅ ωdV = ∫ ω ⋅ nˆ dS
V S

atau
0 = ∫ ω 1 ⋅ nˆ dS + ∫ ω 2 ⋅ nˆ dS
A1 A2

sehingga,

∫ω
A2
2 ⋅ nˆdS = − ∫ ω 1 ⋅ nˆ dS .
A1

Namun,

∫ ω ⋅ n̂dS = ∫ u ⋅ d l ≡ Γ
S

sehingga,
Γ1 = − ∫ ω 1 ⋅ nˆdS dan Γ2 = ∫ ω 2 ⋅ nˆ dS
A1 A2
Vortisitas 122

Dengan demikian maka hasil di atas menyatakan bahwa,


Γ1 = Γ2
atau sirkulasi (circulation) dari sebuah vortex tube adalah konstan sepanjang vortex tube
tersebut. Karena Γ menjelaskan kekuatan dari vortex maka hasil ini berarti :
1. Kekuatan dari sebuah vortex tube (vortex line) adalah konstan disetiap “cross-
section” –nya sepanjang vortex tube (line) tersebut.
2. Vortex tube (vortex line) tidak dapat berakhir di fluida (apabila berakhir difluida
maka Γ = 0 dan ini bertentangan dengan hasil di atas). Vortex tube (vortex line)
harus membentuk kurva tertutup (closed loop) atau berakhir di ∞.

Kedua hasil di atas disebut juga Helmholtz vortex theorem ke I dan II. Kedua teorema
ini berlaku umum (tidak ada asumsi aliran inviscid, isentropik dll dalam mendapatkan
hasil-hasil di atas).

3.3 Dinamika Vortisitas

Setelah melihat kinematika dari vorticity, sekarang kita akan mulai mempelajari
dinamika dari vortisitas. Untuk itu kita membutuhkan persamaan diferensial yang
menjelaskan gerak dari vortisitas. Kita mulai dari persamaan momemtum,

∂u ⎛ u2 ⎞ 1
+ ω × u = −∇⎜⎜ + Ψ ⎟⎟ + (∇ ⋅ σ ) (V.1)
∂t ⎝ 2 ⎠ ρ
di mana telah diasumsikan conservative body force G = −∇Ψ dan telah digunakan

u2
“vector identity” u ⋅ ∇u = ω × u + ∇ .
2

Sekarang kita ambil curl dari persamaan di atas (∇ × (V .1)) ,


∂ω
+ ∇ × (ω × u ) = − 2 ∇ρ × (∇ ⋅ σ ) + ∇ × (∇ ⋅ σ ) .
1 1
∂t ρ ρ
Dari analisis vektor,
∇ × (ω × u ) = ω (∇ ⋅ u ) + (u ⋅ ∇ )ω − (ω ⋅ ∇ )u − u (∇ ⋅ ω ) .
Vortisitas 123

Jadi persamaan untuk ω di atas menjadi,


∂ω
+ (u ⋅ ∇ )ω − (ω ⋅ ∇ )u + ω (∇ ⋅ u ) = − 2 ∇ρ × (∇ ⋅ σ ) + ∇ × (∇ ⋅ σ )
1 1
∂t

ρ ρ

dt

Persamaan di atas dapat disederhanakan dengan menggunakan persamaan kontinuitas


(persamaan (a)) karena,
d ⎛ ω ⎞ 1 d ω ω dρ 1 d ω ω
⎜ ⎟= − = + (∇ ⋅ u )
dt ⎜⎝ ρ ⎟⎠ ρ dt ρ 2 dt ρ dt ρ

Dengan demikian persamaan untuk ω menjadi,

d ⎛ω ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ = (ω ⋅ ∇ )u + ∇ × (∇ ⋅ σ ) − 2 ∇ρ × (∇ ⋅ σ )
1 1
ρ (V)
dt ⎝ ρ ⎠ ρ ρ

Persamaan (V) menyatakan bahwa perubahan waktu dari vortisitas sebuah fluid
element (perubahan ini dilihat oleh pengamat yang bergerak bersama fluid element
tersebut) disebabkan oleh ketiga suku di sebelah kanan tanda “ = “. Sekarang kita lihat
arti fisik dari suku–suku tesebut .
a) ω ⋅ ∇u

ω = ω êω di mana eω adalah unit vector di arah ω

Dengan demikian maka, ω ⋅ ∇u = ω (eˆω ⋅ ∇u ) . Namun, kita ketahui bahwa ( eω ⋅ ∇u )





adalah perubahan u diarah eω . Telah kita lihat sebelumnya bahwa ∇u

menjelaskan deformasi dan rotasi dari sebuah material element (fluid element).
Apabila kita lihat sebuah “vortex line“ maka deformasi yang akan dialaminya adalah
perubahan panjang (stretching) sedangkan rotasinya berupa “tilting“. Jadi ω ⋅ ∇u
menjelaskan bagaimana “ vortex line “ dalam aliran tersebut mengalami “stretching“
dan “tilting“. Oleh karena itu suku ω ⋅ ∇u disebut juga “vortex stretching term“

∇ρ × (∇ ⋅ σ )
1
b)
ρ2
Suku ini tidak sama dengan nol apabila terdapat gradient ρ dan gradient ini tidak
sejajar dengan ( ∇ ⋅ σ ). Kita ketahui bahwa ∇ ⋅ σ adalah gaya/ unit volume yang
Vortisitas 124

beraksi pada permukaan fluid element. Adanya ∇ρ berarti distribusi massa dalam
fluid element tidak seragam. Ini berarti “ center of mass “ tidak berada pada titik
yang sama dengan “geometric center“ dari fluid element tersebut. Apabila ∇ρ
tidak sejajar dengan ∇ ⋅ σ maka akan terjadi rotasi dari fluid element tersebut,

sehingga fluid element tersebut mempunyai vortisitas. Untuk lebih memperjelas,


perhatikan dua sketsa di bawah ini).

Sketsa pertama memperlihatkan kasus dimana ∇ρ sejajar dengan ∇p . Dari gambar


tersebut jelaslah bahwa kasus ini tidak akan menghasilkan rotasi dari fluid element
dan fluid element hanya terdorong ke bawah.

Sketsa berikutnya memperlihatkan kasus dimana ∇ρ tidak sejajar dengan ∇p .


Dari sketsa tersebut jelaslah bahwa kasus ini akan menghasilkan rotasi dari fluid
element.

∇ × (∇ ⋅ σ )
1
c)
ρ
Karena σ = − p I + ∇ ⋅ τ dan ∇ × ∇p = 0 maka kontribusi yang sesungguhnya dari

∇ × (∇ ⋅ τ ) . Suku ini tidak sama dengan nol apabila terdapat


1
suku ini adalah
ρ
gradien di arah yang tidak sejajar dengan arah dari ( ∇ ⋅ τ ). Jadi suku ini

menjelaskan torque dari fluid element yang diakibatkan oleh stress yang mempunyai
Vortisitas 125

“spatial variation“ di arah tertentu. Apabila kita perhatikan segumpal fluida ,


tentunya kontribusi dari torque di dalam segumpalan itu adalah nol. Rotasi
gumpalan ini hanya disebabkan oleh torque ∇ × (∇ ⋅ σ ) di permukaan gumpalan

tersebut .

Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan waktu dari vortisitas yang juga
menjelaskan perubahan waktu dari rotasi sebuah fluid element disebabkan oleh tiga hal
yaitu: stretching dan tilting dari vortex line; adanya ∇ρ yang tidak sejajar dengan
∇ ⋅ σ ; dan adanya distribusi stress yang mempunyai variasi spatial tertentu. Karena

“stretching“adalah deformasi dan rotasi dari vortex line, maka suku ini bukanlah suku
yang menghasilkan vortisitas. Suku ini hanya memodifikasi distribusi vortisitas yang
sudah ada. Namun ∇ρ × (∇ ⋅ σ ) dan ∇ × (∇ ⋅ σ ) adalah suku yang menyebabkan

timbulnyanya vortisitas. Torque yang dirasakan oleh fluid element karena adanya ∇ρ
yang tidak sejajar dengan ∇ ⋅ σ disebut “Baroclinic torque“ Apabila ∇ρ sejajar

dengan ∇ ⋅ σ maka fluida tersebut dikatakan sebagai “ Barotropic fluid“.

3.3.1 Hubungan antara ω dan ∇s

Di dalam subbagian ini kita akan dapatkan hubungan antara vortisitas dan gradien dari
entropi. Pertama–tama kita asumsikan aliran inviscid. Dengan asumsi ini persamaan
momentum menjadi,
du
ρ = −∇p − ρ∇ψ di mana G = −∇ψ
dt
apabila kita gunakan ( **** ) maka persamaan ini menjadi ,
∂u 1 u2
+ ω × u = − ∇p − ∇ψ − ∇
∂t ρ 2
1
Dari termodinamik, dh = Tds + dp sehingga,
ρ

∂u ⎛ u2 ⎞
+ ω × u = T∇s − ∇⎜⎜ h + + ψ ⎟⎟ = T∇s − ∇H
dt ⎝ 2 ⎠
Vortisitas 126

u2
di mana H = h + + ψ . Banyak kasus di mana H = konstan , termasuk dalam kasus
2
di mana terdapat shock wave. Untuk kasus di mana H = konstan atau dikenal dengan
sebutan kasus homenergetic,
∂u
+ ω × u = T∇ s
dt
Apabila aliran adalah aliran steady maka,
ω × u = T ∇s (Teorema Crocco)
Hasil ini menyatakan bahwa apabila dalam aliran terdapat gradien entropi ( ∇s ) maka
aliran tersebut adalah aliran rotational ( ω ≠ 0 ). Namun dalam aliran rotasional tidak
harus terdapat ∇s . Contohnya adalah kasus di mana ω × u = 0 sehingga ∇s = 0 .

3.3.2 Persamaan Vortisitas Untuk Aliran Homentropik

Untuk aliran homentropik persamaan momentum adalah,


du
= −∇h + G = −∇(h + ψ ) di mana G = −∇ψ .
dt
Apabila kita ambil curl dari persamaan momentum ini maka didapatkan ,
∂ω
+ ∇ × (ω × u ) = 0
∂t
atau

− (ω ⋅ ∇ )u + ω (∇ ⋅ u ) = 0
dt
di mana telah digunakan hasil–hasil dari vector analysis yang juga digunakan dalam
menurunkan persamaan umum untuk ω . Dengan menggunakan persamaan kontinuitas
persamaan di atas menjadi,
d ω ω
( ) = ( ⋅ ∇)u (V.2)
dt ρ ρ

Persamaan ini tentunya dapat pula didapatkan dari persamaan (V) dengan menggunakan
σ = − p I untuk kasus homentropik dan p = p(ρ , S ) = p(ρ ) karena s = konstan .
Vortisitas 127

Apabila harga awal dari ω dan ρ diketahui maka persamaan (V.2) dapat diselesaikan.
Pertama–tama kita tuliskan
ω i ∂xi ω ∂x
= C j atau =C⋅F , F=
ρ ∂ξ j ρ ∂ξ

di mana C adalah sebuah vektor dan F adalah deformation gradient tensor. Sekarang

ω
kita subtitusikan ini ke (V.2)
ρ
d ωi d dFij ∂u
( ) = ( Fij C j ) = C j + Fij C j = i Fkj C j + Fij C j
dt ρ dt dt ∂x k

dF
di mana telah digunakan = ∇u F (lihat subbagian deformasi dan rotasi benda
dt
kontinum).
Namun, (V2) menyatakan bahwa:

d ⎛ ωi ⎞ ω k ∂ui ∂ui
⎜⎜ ⎟⎟ = = F kj C
⎝ ρ ⎠ ρ ∂xk j
dt ∂xk
Dengan demikian maka :
∂u i ∂u dC j
Fkj C j + Fij C j = Fkj C j i atau Fij =0
∂xk ∂xk dt

Karena F ≠ 0 maka

dC 
= C = 0 atau C = konstan
dt

Berikutnya, misalkan ω o atau ρ o adalah harga awal dari ω atau ρ untuk sebuah fluid

element. Karena F (t = 0 ) = F 0 = I maka,

ωo
= C⋅Fo = C
ρo
ω ω
Dengan demikian maka, =C⋅F = ⋅ F sehingga solusi dari (V.2) adalah
ρ ρo
ω ωo
= ⋅F (V.3)
ρ ρo
Vortisitas 128

Dari solusi ini kita dapatkan Helmholtz theorem yang ke-3 :


” Untuk aliran homentropik, vortex line adalah material line atau vortex
bergerak bersama fluida.”

Bukti: misalkan pada awalnya sebuah material line dξ sejajar dengan vortex line (ω0)
atau dξ = ω0 .dσ di mana dσ adalah sebuah skalar dengan dimensi [L ] [S ] (contoh : m.s
atau ft.s) karena vortex line ini bergerak maka panjangnya berubah menjadi
⎛ρ ⎞
d x = F ⋅ d ξ = F ⋅ ω 0 dσ = ω ⎜⎜ 0 ⎟⎟dσ
⎝ ρ ⎠
Dengan demikian maka vortex line pada waktu t (sejajar dengan ω ) tetap sejajar
dengan material line (d x )

(V.3) juga menyatakan apabila pada awalnya sebuah fluid element tidak mempunyai
ω (ω 0 = 0) maka fluid element tersebut seterusnya tidak akan mempunyai ω . Jadi (V.3)
adalah sama dengan Teorema Kelvin.

3.3.3 Persamaan vortisitas untuk aliran incompressible

Untuk aliran incompressible, ρ dapat dianggap konstan sehingga ∇ρ = 0 . Dengan


demikian maka persamaan (V) menjadi :

= (ω ⋅ ∇ )u + ∇ × (∇ ⋅ τ )
1
dt ρ
Karena untuk kasus ini ∇ ⋅ τ = µ∇ 2 u maka persamaan menjadi,


= (ω ⋅ ∇ )u + υ∇ 2 ω (V.4)
dt

Dalam kasus aliran 2-D, (ω ⋅ ∇ )u = 0 karena ω tegak lurus dengan ∇u dalam kasus ini.
Dengan demikian maka untuk kasus ini (V.4) menjadi

= υ∇ 2 ω
dt
Karena untuk kasus 2D, ω hanya mempunyai satu arah,
Vortisitas 129


= υ∇ 2ω
dt
Persamaan terakhir adalah persamaan difusi (bandingkan dengan persamaan untuk
difusi massa dan konduksi panas). Jadi suku υ∇ 2 ω menjelaskan proses difusi dari
vortisitas yang dilakukan oleh viscosity.

Dengan pengertian fisis dari suku υ∇ 2 ω ini kita kembali ke (V.4). Persamaan ini
menjelaskan bahwa dalam aliran incompressible perubahan waktu dari vortisitas sebuah
fluid element disebabkan oleh “ stretching dan tilting” serta proses difusi. Kedua proses
ini bukanlah proses yang “membangkitkan” vortisitas melainkan hanya mengubah
distribusi dari vortisitas.

3.4 Sumber dari vortisitas

3.4.1 Pendahuluan

Setelah mendapatkan persamaan yang menjelaskan perubahan waktu dari vortisitas, kita
akan pelajari bagaimana vortisitas itu sendiri dibangkitkan. Untuk itu kita lihat kasus
aliran di sekitar benda di mana aliran “freestream-nya” seragam, maka setiap fluid
element di dalam aliran ini pada awalnya tidak mempunyai vortisitas. Untuk aliran
homentropik, ini berarti fluid element–fluid element ini seterusnya tidak akan
mempunyai vortisitas selama pergerakannya (ini menurut (V3)). Namun, tentunya
aliran yang “sebenarnya” tidak dapat diasumsikan sebagai aliran homentropik diseluruh
domain fluida dan fluid element yang pada awalnya irotasional dapat menjadi rotasional
(ω ≠ 0) .
Vortisitas 130

3.4.2 Sumber vortisitas didalam aliran

Untuk kasus aliran freestream yang supersonic, fluid element menjadi rotasional ketika
melintasi shock wave apabila shock yang terbentuk adalah “bow shock wave” atau shock
wave yang melengkung. Untuk kasus ini aliran di luar lapisan batas dan shock wave
dapat diasumsikan sebagai aliran inviscid. Oleh karenanya teorema Crocco berlaku
sehingga ,
ω × u = T ∇s

Akan kita lihat di bab tentang shock wave bahwa untuk shock wave yang “lurus” s (2 )

(entropi di belakang shock) adalah konstan. Namun, untuk shock yang melengkung,
s (2 ) adalah fungsi β di mana β adalah sudut antara shock dan free stream (lihat gambar

di atas). Dengan demikian maka untuk kasus bow shock wave terdapat ∇s sehingga
ω × u ≠ 0 . Karena aliran di depan shock adalah aliran irotasional ω = 0 , maka jelaslah
bahwa fluid element menjadi rotational ketika melewati shock tersebut.

Pembentukan vortisitas dalam kasus ini


disebabkan oleh baroclinic torque yang terjadi di
dalam shock wave. Akan kita lihat di bab shock
wave bahwa untuk kasus ini tekanan “lebih peka”
terhadap β dibandingkan dengan ρ. Oleh karena
itu garis-garis yang menjelaskan konstan p akan
melintasi garis-garis konstan ρ di dalam shock wave (lihat gambar di atas!). Dengan
demikian maka ∇ρ tidak sejajar dengan ∇p sehingga ∇p × ∇ρ ≠ 0 dan fluid element
mendapatkan baroclinic torque sehingga menjadi rotasional.

Untuk kasus aliran freestream yang mempunyai M << 1 dan ρ = konstan kita telah
saksikan bahwa vortisitas sebuah fluid element berubah hanya disebabkan oleh
“stretching” dan difusi (persamaan (V.4)). Apabila sebuah fluid element yang pada
awalnya tidak mempunyai vortisitas, tentunya pada elemen tersebut tidak akan terjadi
“vortex stretching”. Jadi dalam kasus aliran di mana ρ = konstan satu-satunya proses
Vortisitas 131

yang merubah vortisitas sebuah fluid element adalah proses difusi. Proses difusi ini
adalah proses “penyebaran” vortisitas dari daerah di mana ω tinggi ke daerah di mana
ω rendah. Jadi dalam kasus ini ω itu sendiri tidak terbentuk di tengah-tengah aliran,
seperti dalam kasus “ bow shock wave”. Tetapi ω terbentuk di daerah lain kemudian
didifusikan oleh viskositas ke tengah-tengah aliran. Untuk kasus ini, satu-satunya
kemungkinan adalah ω terbentuk di permukaan benda. Jadi “source of vorticity” dalam
kasus ini adalah permukaan benda.

Pada umumnya permukaan benda adalah source of vorticity, baik dalam aliran M << 1 ,
M < 1 maupun M > 1. Selain permukaan benda, ”permukaan bebas” atau
“freesurface” juga merupakan source of vorticity. Contoh dari permukaan bebas adalah
permukaan air di sebuah kolam atau permukaan pembatas dua fluida yang berbeda.

3.4.3 Sumber vortisitas di permukaan benda

Dalam pembahasan di subbagian sebelumnya telah kita lihat bahwa permukaan benda
adalah salah satu “source of vorticity” atau sumber dari vortisitas. Dalam kasus aliran
di mana ρ =konstan, permukaan benda adalah satu-satunya source of vorticity. Oleh
karena itu vortisitas dibangkitkan di atas permukaan benda. Untuk mempermudah
diskusi kita akan pelajari kasus di mana ρ = konstan dan permukaan benda adalah
permukaan yang datar.

Persamaan vortisitas untuk kasus ini adalah permukaan (V.4) yaitu,



= (ω.∇)u + ν∇ 2 ω
dt
Apabila kita evaluasi persamaan ini di permukaan benda maka,
⎛ dω ⎞
⎜ ⎟ = [(ω ⋅ ∇u )]0 + (ν∇ ⋅ ∇ω )0 = [(ω ⋅ ∇ )u ]0 − ∇ ⋅ (−ν∇ω ) 0
⎝ dt ⎠ 0

⎛ dw ⎞
⎜ ⎟ = [(w ⋅ ∇ )u ]0 − ∇ ⋅ J 0 (V.6)
⎝ dt ⎠ 0
Vortisitas 132

di mana telah didefinisikan J 0 ≡ −(ν∇ w) 0 . J 0 disebut juga vorticity flux di permukaan.

Selain itu subscript “0” dalam suku-suku di persamaan di atas menandakan harga dari
suku tersebut di permukaan benda.

Sekarang kita akan lihat harga dari suku-suku sebelah kanan (V.6). Permukaan adalah
permukaan datar yang bergerak dengan kecepatan U 0 (t ) . Karena kondisi batas untuk

kasus ini adalah u ( x1 = 0, t ) = U 0 (t ) maka,

⎛ ∂u ⎞ ⎛ ∂u ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ = 0 = ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ ∂x1 ⎠ 0 ⎝ ∂x 2 ⎠0
(permukaan benda berada di bidang x1 − x 2 . Karena setiap titik dalam bidang ini
bergerak dengan kecepatan yang sama maka tidak ada gradien kecepatan di arah x1 dan
x2).

Persamaan kontinuitas untuk aliran ρ = konstan adalah ∇u = 0 . Apabila kita evaluasi


persamaan ini di permukaan maka didapatkan,
⎛ ∂u 3 ⎞ ⎛ ∂u ∂u ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ = −⎜⎜ 1 + 2 ⎟⎟ = 0
⎝ ∂x 3 ⎠0 ⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠0
Jadi (∇u )0 adalah,
⎡ ∂ u 1 ⎤
⎢0 0 ⎥
(∇u ) 0 = ⎢
∂ x 3 ⎥
⎢0 ∂ u 2 ⎥
0
⎢ ∂ x ⎥
⎢0 0 0
3

⎢ ⎥
⎣⎢ ⎦⎥

Sedangkan
⎧ω1 ⎫
⎪ ⎪
ω 0 = ⎨ω 2 ⎬
⎪0⎪
⎩ ⎭
∂u 2 ∂u1
( ω 3 = 0 karena ω 3 = − = 0)
∂x1 ∂x 2
Vortisitas 133

Dengan demikian maka harga (ω.∇u ) 0 = ω 0 .(∇u ) 0 = 0 , sehingga persamaan vortisitas


di permukaan untuk kasus ini (kasus 3-D) mirip dengan kasus 2-D yaitu,
⎛ dω ⎞
⎜ ⎟ = −∇ ⋅ J 0
⎝ dt ⎠ 0

Sekarang kita perhatikan J 0 . J 0 adalah source of vorticity dalam kasus ini karena J 0

adalah flux yang keluar dari permukaan maka flux of vorticity dalam kasus ini adalah
⎧0⎫
⎪ ⎪
nˆ ⋅ J 0 = eˆ3 ⋅ J 0 = −υ ⎨0⎬(∇ω ) 0
⎪1⎪
⎩ ⎭
Untuk mendapatkan nˆ ⋅ J 0 , kita perlu melihat (∇ω ) 0

∂u ∂u ∂u 3
Seperti telah kita lihat, =0= dan = 0 . Oleh karena itu maka,
∂x1 ∂x 2 ∂x 3

⎡ ∂ 2u2 ∂ 2u2 ∂ 2u2 ⎤


⎢− − − ⎥
⎢ ∂x1∂x3 ∂x 2 ∂x3 2
∂x3 ⎥
⎢ ∂ 2 u1 ∂ 2 u1 ∂ u1
2 ⎥
(∇ω ) 0 = ⎢ ⎥
⎢ ∂x1∂x3 ∂x 2 ∂x3 ∂x3
2

⎢ ⎛ ∂ 2u2 ∂ 2 u1 ⎞⎥
⎢ 0 0 ⎜⎜ − ⎟⎟⎥
⎢⎣ ∂x
⎝ 1 3∂x ∂ x 2 ∂x 3 ⎠⎥⎦0
Dengan demikian maka
⎧ ∂ 2u2 ⎫
⎪ − 2 ⎪
⎪ ∂x3 ⎪
⎪ ∂ 2 u1 ⎪
nˆ ⋅ J 0 = −υ ⎨ 2 ⎬ (V.7)
⎪ ∂x3 ⎪
⎪ ∂ 2u2 ∂ u1 ⎪
2

⎪ − ⎪
⎩ ∂x1∂x3 ∂x 2 ∂x3 ⎭

Jadi inilah vorticity flux yang keluar dari permukaan. Sekarang yang menjadi
pertanyaan adalah apa yang menyebabkan adanya vorticity flux di permukaan. Dengan
kata lain apa sumber vortisitas di permukaan benda.
Vortisitas 134

Untuk mencari “asal” dari vorticity flux ini, kita lihat persamaan momentum.
du 1
= − ∇p + υ∇ 2 u
dt ρ

Karena u ( x1 = 0, t ) = U 0 (t ) maka di permukaan,

⎧ ∂ 2u2 ⎫
⎪− 2 ⎪
⎪ ∂x3 ⎪
d U 0 (t ) 1 ⎪ ∂ 2 u1 ⎪
eˆ3 x = −eˆ3 x (∇p ) 0 + υ ⎨ 2 ⎬
(V.8)
dt ρ ⎪ ∂x3 ⎪
⎪ 0 ⎪
⎪ ⎪
⎩ ⎭
∂u ∂u ∂u
di mana telah digunakan =0= dan 3 = 0 . Apabila kita bandingkan suku
∂x1 ∂x 2 ∂x 3

terakhir (V.8) dengan suku kanan (V.7), komponen ê1 dan ê 2 dari kedua suku tersebut
sama. Namun, kedua persamaan tersebut tidak mempunyai komponen ê3 yang sama.
Apabila kita bisa samakan kedua suku tersebut maka kita dapatkan source of vorticity
dari kasus ini.

Untuk menyamakan kedudukan komponen ê3 di kedua suku ini, kita perhatikan (τ ) 0

⎡ ∂u1 ∂u1 ∂u 2 ∂u1 ∂u 3 ⎤


⎢ 2 + + ⎥
⎢ ∂x1 ∂x 2 ∂x1 dx3 ∂x1 ⎥
∂u ∂u ∂u ∂u 2 ∂u 3 ⎥
(τ ) 0 = µ ⎢⎢ 2 + 1 2 2 +
∂x ∂x 2 ∂x 2 ∂x 3 ∂x 2 ⎥
⎢ 1 ⎥
⎢ ∂u 3 + ∂u1 ∂u 3 ∂u 2
+ 2
∂u 3 ⎥
⎢⎣ ∂x 3 ∂x 3 ∂x 2 ∂x 3 ∂x 3 ⎥⎦

⎡ ∂ u1 ⎤
⎢ 0 0 ⎥
⎢ ∂x3 ⎥
∂u2
= µ ⎢ 0 0 ⎥
⎢ ∂x3 ⎥
⎢ ∂u1 ∂u2 ⎥
⎢ 0 ⎥
⎢⎣ ∂x3 ∂x3 ⎥⎦

S
Sekarang kita lihat gaya-gaya viscous, T ( nˆ ) , di permukaan
Vortisitas 135

⎧ ∂u1 ⎫
⎪ ∂x ⎪
⎪ 3⎪
(T ( ) ) ≡ (τ ⋅ nˆ )
s

⎪ ∂u ⎪
= (τ )0 ⋅ eˆ3 = µ ⎨ 2 ⎬
⎪ ∂x3 ⎪
0 0

⎪ 0 ⎪
⎪⎩ ⎪⎭

( )S
Karena T ( nˆ ) 0
hanya mempunyai komponen di ê1 dan ê2 saja maka dalam kasus ini

hanya terdapat “tangential stress”. Sekarang kita lihat,

1
µ
( )s
∇ × T (nˆ ) =−
∂ 2u2
eˆ1 +
∂ 2 u1 ⎛ ∂ 2u2
eˆ2 + ⎜⎜ −
∂ 2 u1 ⎞
⎟⎟eˆ3
⎝ ∂x1∂x3 ∂x 2 ∂x3 ⎠
2 2
0
∂x3 ∂x3

Apabila kita perhatikan hasil di atas maka terlihat bahwa komponen ê3 dari hasil di atas

mirip dengan komponen ê3 dalam (V.7) dan komponen ini lah yang kita cari. Dengan
demikian maka,

υ ⎜⎜
⎛ ∂ 2u2
∂x ∂x


∂ 2 u1 ⎞ 1
x ∂x
⎟⎟ = eˆ3 ⋅ ∇ × T (snˆ )
ρ
( )
0
⎝ 1 3 2 3 ⎠

Sehingga apabila kita gabungkan hasil ini dengan (V.8)

⎡ ∂ 2u2 ⎤
⎢− 2 ⎥
⎢ ∂x3 ⎥
dU 0 1 ⎛ ∇ × T(nsˆ ) ( ) ⎞ ⎢
⎟ = ν ⎢− ∂ u1
2 ⎥
eˆ3 × + eˆ3 × (∇p )0 + eˆ3 ⎜ eˆ3 ⋅ 0

dt ρ ⎜ ρ ⎟ ⎢ ∂x
2

⎝ ⎠ 3
⎢ 2 ⎥
⎢ ∂ u 2 − ∂ u1 ⎥
2

⎢⎣ ∂x1∂x3 ∂x 2 ∂x3 ⎥⎦

Apabila kita bandingkanpersamaan terakhir dengan (V.7) maka,


⎡ dU 0 1
eˆ3 ⋅ J 0 = −eˆ3 × ⎢
dt ρ
⎤ eˆ eˆ
+ (∇p )0 ⎥ − 3 3 ⋅ ∇ × T (nˆ )
ρ
s
( )
0
⎣ ⎦
atau dengan menggunakan nˆ ,
⎡ dU 0 1
nˆ ⋅ J 0 = −nˆ × ⎢
ρ
⎤ nˆ nˆ
+ (∇p )0 ⎥ −
s
⋅ ∇ × T (nˆ ) ( ) (V.9)
⎦ ρ
0
⎣ dt
Vortisitas 136

Hasil terakhir ini sangat penting. Hasil ini menyatakan bahwa “source of vorticity”
dalam aliran di mana ρ = konstan adalah :
1. akselerasi permukaan benda,
2. pressure gradient di permukaan benda,
3. tangential stress di permukaan benda.

Sekali lagi diingatkan bahwa (v.9) didapatkan untuk aliran di mana ρ = konstan dan
permukaan yang datar. Untuk kasus yang lebih umum di mana terdapat variasi harga ρ
dan permukaan yang melengkung,
⎡ ∂τ 11 ⎤
⎢ ∂x ⎥
⎢ 1 ⎥
⎡ dU 1 ⎤ 1
[ (
nˆ ⋅ J 0 = −nˆ × ⎢ 0 + (∇p )0 ⎥ − nˆ nˆ ⋅ ∇ × T (nˆ )
ρ
s
)] +
1 ⎢ ∂τ ⎥ 1
[ ( s
nˆ × ⎢ 22 ⎥ + ∇nˆ ⋅ nˆ ⋅ ∇ × T (nˆ ) )]
⎦ ρ0 ρ0 ⎢ ∂x2 ⎥ ρ 0
0 0
⎣ dt
⎢0 ⎥
⎢ ⎥
⎣ ⎦
di mana ρ0 adalah ρ di permukaan benda. Dua suku terakhir dalam persamaan ini
adalah kontribusi dari kompresibilitas (ρ≠konstan)dan kelengkungan permukaan.
Lapisan Batas 137

BAB

4
Lapisan Batas

4.1 Pendahuluan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, aliran di sekitar benda untuk kasus di mana harga
Re sangat tinggi dapat diasumsikan sebagai aliran inviscid dan efek viskos pada
persamaan momentum dapat diabaikan. Selain persamaan momentum, efek viskos juga
terdapat pada persamaan energi. Pada persamaan tersebut, bilangan-bilangan yang
merupakan koefisien dari suku yang menjelaskan efek viskos adalah Re dan Pr dimana,
Cp 0 µ 0
Pr = . Karena cp, µ, dan k adalah fungsi dari temperatur maka Pr juga fungsi dari
k0
temperatur. Untuk gas harga dari Pr adalah selalu di sekitar satu (Pr~1)). Untuk liquid
harga Pr dapat lebih besar dari 1 bahkan untuk glycerine yang temperaturnya 20oC, Pr
= 7250. Namun ada juga liquid yang harga Pr-nya lebih kecil dari 1 seperti mercury
yang temperaturnya 20oC, Pr = 0.0044 .

Dari contoh-contoh harga Pr di atas dapat dilihat bahwa untuk aliran yang mempunyai
Re sangat tinggi maka harga RePr juga pada umumnya sangat tinggi. Oleh karena RePr
( ~
)
sangat tinggi maka suku τ~ ⋅ ∇ ⋅ u~ pada persamaan energi dapat diabaikan karena suku
Lapisan Batas 138

1
ini proporsional dengan . Tentunya, pengabaian ini hanya dapat dilakukan di
Re Pr
~
daerah dimana harga ∇u~ tidak terlalu tinggi. Suku lain yang juga proporsional dengan
1 ~
dalam persamaan energi (c) adalah suku ∇ ⋅ q~ . Suku ini juga dapat diabaikan di
Re Pr
luar daerah di mana ada ∇T yang tinggi (karena q = −k∇T ). Apabila aliran juga dapat

diasumsikan sebagai aliran adiabatic (Q = 0 dan q boundary = 0 ), maka suku-suku yang

menjelaskan perpindahan panas dan disipasi energi didalam persamaan (c) dapat
diabaikan kecuali didaerah dimana terdapat ∇T dan ∇u yang tinggi.

Asumsi inviscid tidak dapat digunakan di daerah yang berdekatan dengan benda karena
adanya kondisi-kondisi batas untuk persamaan-persamaan momentum dan energi yang
menyatakan bahwa u = Uwall, dan untuk persamaan energi, ada dua tipe kondisi batas
yaitu:
1. T = Twall (T= temperatur)
⎛ ∂T ⎞
2. ⎜ ⎟ = q wall (n = unit normal terhadap permukaan benda)
⎝ ∂n ⎠ n =o
∂T
Karena u dan T atau ditentukan oleh permukaan benda, maka akan selalu ada
∂n
gradien u dan T yang cukup tinggi di daerah ini. Oleh karena itu, asumsi inviscid tidak
dapat digunakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aliran di sekitar benda di mana harga Re
sangat tinggi, maka asumsi inviscid hanya dapat digunakan di luar daerah tipis di sekitar
benda tersebut. Lapisan di dekat permukaan benda di mana terdapat ∇T dan ∇u yang
tinggi sehingga asumsi inviscid tidak dapat digunakan disebut boundary layer atau
lapisan batas.

Secara fisik lapisan batas adalah daerah didalam aliran dimana efek viskositas cukup
dominan. Kita telah lihat di Bab-bab sebelumnya bahwa efek viskositas menyebar
kedalam aliran melalui proses difusi. Seberapa jauh proses penyebaran ini tentunya
juga ditentukan oleh proses konveksi yang juga terdapat didalam aliran. Pada aliran
Lapisan Batas 139

dengan Re yang tinggi, dimana efek inersia jauh lebih dominan dari pada efek
viskositas, proses konveksi lebih dominan dari pada proses difusi. Dengan demikian
efek viskos yang menyebar “keluar” dari permukaan benda tidak dapat tersebar cukup
jauh karena “terdorong” (dikonveksikan) oleh aliran. Ini mengakibatkan efek viskositas
terkonsentrasi pada daerah tipis di dekat permukaan benda (daerah lapisan batas).

Di Bab 3, kita melihat bahwa permukaan merupakan sumber dari vortisitas dalam
aliran. Kemudian viskositas menyebarkan vortisitas dari permukaan, tempat vortisitas
dibangkitkan, ke dalam aliran. Dari apa yang telah dibahas diatas, jelaslah bahwa pada
aliran dengan Re yang tinggi, vortisitas tidak dapat menyebar jauh dari permukaan
benda. Pada aliran dengan freestream yang seragam dimana harga Re cukup tinggi,
vortisitas hanya terdapat didalam lapisan batas. Dengan demikian maka aliran diluar
lapisan batas dapat di asumsikan sebagai aliran irrotasional.

Hal serupa juga berlaku pada proses perpindahan panas yang disebabkan oleh adanya
perbedaan temperatur. Dalam proses ini, panas dikonveksikan dan di difusikan oleh
aliran sehingga apa yang telah dijelaskan sebelumnya juga berlaku pada kasus ini.
Secara umum, daerah dimana ∇T mempunyai harga yang signifikan berbeda dengan
daerah dimana terdapat ∇u yang tinggi. Dengan kata lain, ketebalan lapisan batas yang
disebabkan oleh adanya ∇T yang cukup tinggi berbeda dengan lapisan batas yang
disebabkan oleh adanya ∇u yang tinggi. Lapisan batas yang dsebabkan oleh adanya
harga ∇u yang cukup tinggi disebut momentum boundary layer sedangkan yang
disebabkan oleh adanya ∇T yang tinggi disebut thermal boundary layer. Sekali lagi
ketebalan dari kedua lapisan batas ini tidak harus sama seperti terlihat dalam sketsa
dibawah ini. Dalam bab ini kita akan mempelajari sifat-sifat aliran di dalam lapisan ini.

----- Thermal boundary layer


Momentum boundary layer
Lapisan Batas 140

4.2 Persamaan lapisan batas untuk aliran steady 2-D pada


permukaan datar

Karena lapisan batass adalah lapisan yang sangat tipis, maka persamaan momentum (b)
dan persamaan energi (c) dapat disederhanakan sebagai berikut:
δ u ≡ tebal lapisan batas kecepatan
δ T ≡ tebal lapisan batas termal

Asumsinya adalah δ u «L dan δ T «L di mana L adalah panjang karakteristik dari


benda. Juga, permukaan benda adalah permukaan datar yang sejajar dengan x1 (lihat
gambar di halaman 11). Persamaan kontinuitas (2-D):
∂ ∂ ∂
ρu1 + ρu 2 = 0 (BL.1) (SteadyÎ = 0)
∂x1 ∂x 2 ∂t

Sekarang, kita akan bandingkan besar suku-suku pada persamaan tersebut. Dalam
pembahasan dibawah ini simbol ~ menyatakan order of magnitude (estimasi besarnya
harga) suatu variabel/suku.

Karena x1 ~ L dan x 2 ~ δ u dan u1 ~ U, maka,

U u ⎛δ ⎞
~ 2 atau u 2 ~ ⎜ u ⎟U
L δu ⎝ L ⎠
jadi u 2 « U atau u 2 « u1 .

x2

x1
Lapisan Batas 141

Persamaan momentum diarah x1 dan x2 (untuk kasus 2-D) adalah,


x1:

⎛ ∂u1 ∂u ⎞ ∂p ∂ ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ⎛ ∂u 2 ∂u1 ⎞ ⎞
ρ ⎜⎜ u1 + u 2 1 ⎟⎟ = − + ⎜⎜ λ∇ ⋅ u + 2µ 1 ⎟⎟ + ⎜ µ⎜ ⎟⎟
∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ∂x1 ⎝ ∂x1 ⎠ ∂x 2 ⎜ ⎜ ∂x + ∂x ⎟ ⎟ (BL.2)
⎝ ⎝ ⎝ 1 2 ⎠⎠

x2:

⎛ ∂u2 ∂u ⎞ ∂p ∂ ⎛⎜ ⎛ ∂u2 ∂u1 ⎞ ⎞⎟ ∂ ⎛ ∂u ⎞


ρ⎜⎜ u1 + u2 2 ⎟⎟ = − + µ ⎜⎜ + ⎟⎟ + ⎜⎜ λ∇ ⋅ u + 2µ 2 ⎟⎟ (BL.3)
⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠ ∂x2 ∂x1 ⎜⎝ ⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠ ⎟⎠ ∂x2 ⎝ ∂x2 ⎠

Di dalam lapisan batas, persamaan di atas dapat di sederhanakan dengan menggunakan


estimasi di bawah ini untuk membandingkan bagian-bagian atau suku-suku dalam
persamaan di atas
∂ 1 δu ∂ 1
u1 ~ U , ~ , u2 ~ U , ~ , δu << L
∂x1 L L ∂x 2 δu

Untuk persamaan momentum di arah x1:


⎛U 2 U 2 ⎞ p U U U U
ρ ⎜⎜ + ⎟⎟ ~ − + λ 2 + 2 µ 2 + µ 2 + µ 2
⎝ L L ⎠ L L L L δu
atau
U2 p U U U
ρ ~ − +λ 2 +µ 2 +µ 2
L L L L δu

U U
Karena δu << L maka << 2 sehingga (BL.2) dapat disederhanakan menjadi,
L2
δu

⎛ ∂u1 ∂u ⎞ ∂p ∂ ∂u
ρ ⎜⎜ u1 + u 2 1 ⎟⎟ = − + µ 1 (BL.4)
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ∂x 2 ∂x 2

Untuk persamaan momentum di arah x2:


⎛ U 2 U 2 ⎞ ⎛ δu ⎞ p ⎛ U ⎞ ⎛ δu ⎞ ⎛ U ⎞ ⎛ U ⎞ ⎛ U ⎞
ρ⎜ + ⎟⎜ ⎟ ~ − + ⎜ µ 2 ⎟⎜ ⎟ + ⎜ ⎟µ +λ⎜ ⎟ + 2µ ⎜ ⎟
⎝ L L ⎠⎝ L ⎠ δ u ⎝ L ⎠ ⎝ L ⎠ ⎝ Lδ u ⎠ ⎝ Lδ u ⎠ ⎝ Lδ u ⎠
Lapisan Batas 142

pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa besar dari suku-suku sebelah kanan “sama
δu δu
dengan” adalah kali dari suku yang sama dalam x1 momentum. Karena << 1,
L L
maka suku-suku ini dapat diabaikan. Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk suku
kedua di sebelah kiri tanda “sama dengan”. Namun, suku pertama di sebelah kiri tanda
1
sama ”dengan” sangat besar (karena ) sehingga suku ini tidak dapat diabaikan.
δu
Sedangkan suku-suku lain yan tersisa didalam persamaan tersebut mempunyai
U U ⎛δ ⎞
orde ~ = 2 ⎜ u ⎟ . Apabila dibandingkan dengan suku terakhir dalam persamaan
Lδ u δ u ⎝ L ⎠
δu
x1 momentum (suku yang tidak kita abaikan), maka besar suku-suku ini adalah kali
L
lebih kecil dan karena itu dapat diabaikan. Dengan demikian persamaan x2 momentum
menjadi,
∂p
≅0 (BL.5)
∂x2

Untuk persamaan energi, kita dapat gunakan persamaan enthalpi (h) yang dituliskan
seperti di bawah ini,

+ (τ ⋅ ∇ ) ⋅ u − ∇ ⋅ q
dh dp
ρ = (h)
dt dt
atau bentuk alternatifnya (persamaan (i)),
dT T ⎛ dρ ⎞ dp
ρc p = ⎜ ⎟ + (τ ⋅ ∇ ) ⋅ u − ∇ ⋅ q (i)
dt ρ ⎝ dt ⎠ T dt

Untuk aliran steady 2-D, persamaan (h) dan (i) menjadi


⎛ ∂h ∂h ⎞ ∂p ∂p ∂ ⎛ ∂T ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ ⎜⎜ u1 + u2 ⎟⎟ = u1 + u2 +Φ+ ⎜k ⎟+ ⎜⎜ k ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ∂x 2 ∂x1 ⎜⎝ ∂x1 ⎟⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
dan

⎛ ∂T ∂T ⎞ ⎛⎜ T ⎛ ∂ρ ⎞ ⎞⎛ ∂p
⎟⎜ u1 ∂p ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρc p ⎜⎜ u1 + u2 ⎟= ⎜ ⎟ ⎟ ⎜ ⎟
⎟⎜ ∂x + u 2 ∂x ⎟ + Φ + ∂x ⎜ k ∂x ⎟ + ∂x
⎜⎜ k ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎟⎠ ⎜⎝ ρ ⎜⎝ ∂p ⎟⎠ T ⎠⎝ 1 2 ⎠ 1 ⎝ 1 ⎠ 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
di mana,
Lapisan Batas 143

⎛ ∂u ∂u ⎞
2
⎡⎛ ∂u ⎞ 2 ⎛ ∂u ⎞
2
⎤ ⎛ ∂u 2 ∂u1 ⎞
2

Φ ≡ (τ ⋅ ∇ ) ⋅ u = λ ⎜⎜ 1 + 2 ⎟⎟ + 2 µ ⎢⎜⎜ 1 ⎟⎟ + ⎜⎜ 2 ⎟⎟ ⎥ + µ ⎜⎜ + ⎟⎟ .
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ⎢⎣⎝ ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x 2 ⎠ ⎥⎦ ⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠

Sekarang kita bandingkan suku-suku dalam Φ .


2
U2 U2 ⎛U 2 ⎞⎛ δ ⎞ U2
Φ~λ + 2 µ + µ ⎜⎜ 2 ⎟⎟⎜ ⎟ + µ 2
L2 L2 ⎝L ⎠⎝ L ⎠ δ
Jadi suku yang terbesar di dalam Φ adalah
2 2
⎛ ∂u ⎞ ⎛U ⎞
µ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ ~ µ ⎜ ⎟ .
⎝ ∂x 2 ⎠ ⎝δ ⎠

Sedangkan untuk ∇ ⋅ q = ∇ ⋅ (k∇T ) ,

kT kT
<< 2
L2
δ
sehingga yang terbesar adalah

∂ ⎛ ∂T ⎞
⎜⎜ k ⎟⎟
∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
Untuk suku u ⋅ ∇p ,
∂p U ∂p
u1 ~ p dan u 2 ≈0
∂x1 L ∂x 2
∂p
(karena persamaan x2 momentum menyatakan ≅ 0 ).
∂x 2

Jadi di dalam lapisan batas persamaan energi ((h) atau (i)) menjadi,
2
⎛ ∂h ∂h ⎞ ∂p ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ ⎜⎜ u1 + u2 ⎟⎟ = u1 + µ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ + ⎜⎜ k ⎟⎟ (BL.6.a)
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ⎝ ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
atau
2
⎛ ∂T ∂T ⎞ ⎛ T ⎛ ∂ρ ⎞ ⎞ ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂u1 ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ c p ⎜ u1 + u2 ⎟ = ⎜⎜ ⎜ ⎟ ⎟⎟ ⎜ u1 ⎟+µ⎜ ⎟ + ⎜k ⎟ (BL.6.b)
⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠ ⎝ ρ ⎝ ∂p ⎠T ⎠ ⎝ ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x2 ⎠ ∂x2 ⎝ ∂x2 ⎠

Persamaan (BL.6.a.) biasanya digunakan dalam kasus aliran kompresibel sedangkan


(BL.6.b.) dapat digunakan dalam kasus kompresibel maupun inkompresibel.
Lapisan Batas 144

Sekarang persamaan-persamaan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan peersoalan


aliran dalam lapisan batas telah didapatkan. Persamaan-persamaan tersebut adalah :
∂ρu1 ∂ρu 2
+ =0
∂x1 ∂x 2

⎛ ∂u1 ∂u ⎞ ∂p ∂ ⎛ ∂u1 ⎞
ρ ⎜⎜ u1 + u 2 1 ⎟⎟ = − + ⎜⎜ µ ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
∂p
=0
∂x 2
2
⎛ ∂h ∂h ⎞ ∂p ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ ⎜⎜ u1 + u2 ⎟⎟ = u1 + µ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ + ⎜⎜ k ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ⎝ ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
ATAU
2
⎛ ∂T ∂T ⎞ ⎛ T ⎛ ∂ρ ⎞ ⎞ ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂u1 ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ c p ⎜ u1 + u2 ⎟ = ⎜⎜ ⎜ ⎟ ⎟⎟ ⎜ u1 ⎟+µ⎜ ⎟ + ⎜k ⎟
⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠ ⎝ ρ ⎝ ∂p ⎠T ⎠ ⎝ ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x2 ⎠ ∂x2 ⎝ ∂x2 ⎠
Dengan kondisi batas:

u1 (x 2 → ∞ ) = U in T ( x 2 → ∞ ) = Tin

u (x 2 → 0) = U benda T ( x 2 → 0 ) = Twall atau k


∂T
= q wall
∂x 2 x2 =0

µ = µ ( p, T ) k = k ( p, T ) h = h ( p, T )

di mana Uin adalah U di luar lapisan batas (solusi permasalahan aliran inviscid di
sekitar benda tersebut)

Catatan:
∂p
1. = 0 , ini berarti tekanan di sebuah x1 di dalam lapisan batas = tekanan di
∂x 2
posisi x1 yang sama di daerah di luar lapisan batas di mana aliran dapat
diasumsikan inviscid dan adiabatic. Dengan kata lain tekanan di dalam lapisan
batas adalah sama dengan tekanan, p(x1), di luar lapisan batas.
Lapisan Batas 145

2. Di bagian teratas dari lapisan batas, u1 menjadi sama dengan Uin(x1) (kecepatan
di luar lapisan batas), di mana Uin(x1) adalah solusi dari persamaan Euler (di luar
lapisan batas aliran adalah aliran inviscid).
∂Uin 1 ∂p
Uin =− (BL.7)
∂x1 ρ ∂x1
Untuk kasus aliran inkompresibel, persamaan di atas menjadi

∂ ⎛ U in ⎞
2
∂ ⎛ p⎞
p+ρ
U in
2
( x)
⎜ ⎟=− ⎜ − ⎟ sehingga = konstan.
∂x1 ⎝ 2 ⎠ ∂x1 ⎝ ρ ⎠ 2

Persamaan (BL.7) dapat disubstitusikan ke persamaan momentum di arah x1


⎛ ∂p dU ( x ) ⎞
⎜ = ρU in ( x1 ) in 1 ⎟
⎝ ∂x1 dx1 ⎠

3. Dari diskusi di atas dapat dilihat bahwa solusi dari persamaan (BL) tergantung
dari keadaan di luar lapisan batas (Uin(x)). Oleh karena itu, untuk mendapatkan
solusi yang tepat kita harus lakukan iterasi “inviscid ⇔ lapisan batas”.
4 Persamaan (BL) diturunkan untuk kasus aliran di dekat permukaan datar (plane
wall). Namun, dapat ditunjukkan bahwa persamaan (BL) juga dapat digunakan
untuk aliran 2-D secara umum (misalnya untuk aliran di dekat permukaan yang
melengkung, dll).

Untuk kasus permukaan melengkung dengan δ << 1 maka dapat ditunjukkan


R
bahwa satu-satunya perubahan terjadi adalah pada persamaan x2– momentum
yang menjadi,

u12 1 ⎛ ∂p ⎞
= ⎜ ⎟⎟ .
R ρ ⎜⎝ ∂x 2 ⎠
∂p
Jadi untuk kasus R >> 1 , ≈ 0 (sama seperti kasus permukaan datar).
∂x 2
Lapisan Batas 146

4.3 Lapisan batas inkompresible

Untuk kasus aliran inkompresible, persamaan (BL) dapat disederhanakan lebih lanjut
karena untuk kasus ini ρ = konstan dan µ = konstan dan k = konstan sehingga persamaan
BL menjadi,

∂u1 ∂u2
+ =0
∂x1 ∂x2
∂u1 ∂u dU in ∂ 2u
u1 + u2 1 = U in +ν 21
∂x1 ∂x2 dx1 ∂x2
2
⎛ ∂T ∂T ⎞ ⎛ ∂u1 ⎞ ∂ 2T
ρ Cp ⎜ u1 + u2 ⎟ = µ ⎜ ⎟ + k
⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠ ⎝ ∂x2 ⎠ ∂x22
(BLI)
Kondisi-kondisi batas yang harus dipenuhi:
u1 (x 2 → ∞ ) = U in
u ( x 2 → 0) = U wall
T ( x 2 → ∞ ) = Tin
∂T
T ( x 2 → 0) = Twall atau k = q wall
∂x 2 x2 = 0

∂p
Catatan: dalam persamaan di atas = 0 telah diintegrasikan ke dalam suku,
∂y
dU in
U in
dx

Persamaan (BLI) adalah 3 persamaan untuk mencari 3 variabel yang tidak diketahui: u1,
u2, T. Dalam persamaan tersebut, persamaan energi (persamaan yang terakhir)
“terpisah” dari persamaan yang pertama dan kedua. Dengan kata lain persamaan energi
tidak dibutuhkan untuk menyelesaikan persamaan kesatu dan kedua (untuk u1 & u2). Ini
berbeda dengan kasus kompresible di mana persamaan-persamaan massa, momentum
dan energi harus diselesaikan secara bersamaan. Dalam kasus kompresible, persamaan
energi dibutuhkan dalam persamaan x- momentum karena µ = µ(T). Oleh karena itu,
untuk mempelajari velocity boundary layer hanya diperlukan persamaan pertama dan
kedua saja.
Lapisan Batas 147

Apabila persamaan pertama dan kedua dinondimensionalkan dengan variabel-variabel


di bawah ini :
~
U in = U 0 U , x1 = Lx~1 , x2 = L~
x2 / Re , u1 = U 0 ~
u1 , u 2 = U0~
u 2 / Re

maka hasilnya adalah ;


∂u~1 ∂u~2
+ =0
∂~x1 ∂~ x2
~ (B~L~I~ )
~ ∂u~1 ~ ∂u~1 ~ d U ∂ 2 u~1
u1 ~ + u 2 ~ = U ~ + ~ 2
∂x1 ∂x 2 dx1 ∂x 2

Dalam persamaan di atas tidak terdapat viskositas!!! Ini berarti solusi dari persamaan-
persamaan tersebut tidak bergantung pada Reynolds Number, (Re), ( ~ u dan ~u bukan
1 2

fungsi Re). Jadi apabila kita mempunyai sebuah benda dengan bentuk tertentu, maka
kita cukup mendapatkan satu solusi untuk lapisan batas dari benda tersebut dengan
menggunakan persamaan (BLI). Solusi tersebut valid untuk Re berapapun selama
x1 ~ O(1) , x 2 ~ δ u , x 2 ~ L / Re
lapisan batas masih lapisan batas. laminar. Karena ~
maka

δ u ~ L / Re

Lapisan batas pelat datar (semi infinite)

dU ∞
Untuk kasus ini, U in ( x ) = U ∞ = konstan. Karenanya = 0 . Untuk kasus ini
dx1
persamaan BL.1 menjadi,
∂u1 ∂u1 ∂ 2 u1 ∂u1 ∂u 2
u1 + u2 =υ dan + =0 (BLI.1)
∂x1 ∂x 2 ∂x 2
2
∂x1 ∂x 2

Dari persamaan (B~L~I~ ) dapat dilihat bahwa solusi dari persamaan (BL) harus
mempunyai bentuk ,
u u Re L
u~1 = 1 = f (~ x 2 ) & u~2 = 2
x1 , ~ = g (~ x2 ) = u 2
x1 , ~
U in U in U ∞υ
Lapisan Batas 148

Karena pelat adalah semi infinite, maka tidak ada panjang karakteristik L dalam kasus
u1
ini. Karenanya haruslah fungsi dari kombinasi ~
x1 dan ~
x 2 yang tidak terdapat L
Vin
sehingga,

u~1 ⎛ ~
x ⎞ ⎛ ~
x ⎞ ~
x2 U in
= f ⎜ ~2 ⎟ , u~2 ~
x1 = g ⎜ ~2 ⎟, = x
U in ⎜ x ⎟ ⎜ x ⎟ ~
x1
2
νx1
⎝ 1⎠ ⎝ 1 ⎠
Untuk menyelesaikan (BLI. 1), dapat kita gunakan fungsi arus ψ di mana,

∂ψ ∂ψ νx1
u1 = , u2 = − , x2 ~ δ ~
∂x 2 ∂x1 U∞

Dengan sifat-sifat u1 dan u2 seperti dijelaskan di atas, maka bentuk ψ haruslah


(ψ ~ V∞δ ~ f (ξ ) ),

U in
ψ = υx1U in f (ξ ) , ξ = x2
υx1
sehingga,

1 υU in
u1
U in
= f ' (ξ ) , u2 =
2 x
(
ξ f'− f )
df
di mana f ' ≡

Apabila u1 dan u2 disubstitusikan ke dalam (BLI. 1) maka hasilnya adalah,


f f '' + 2 f '''= 0 (BLI.2)
Kondisi batas untuk kasus ini adalah
• u1 = 0 , u 2 = 0 pada x 2 = 0
• u1 = U ∞ pada x 2 → ∞
atau ,
f ' (0 ) = 0 , f (0 ) = 0 , f ' (∞ ) = 1 (BLI.3).

Dalam contoh ini, persamaan diferensial parsial (BLI. 1) diubah menjadi persamaan
diferensial biasa (BLI. 2) dengan menggunakan “Similarity Transformation” (dengan
menggunakan ψ dan ξ ). Persamaan (BLI.3) dapat diselesaikan secara numerik. Hasil-
Lapisan Batas 149

hasil penting yang dapat diambil dari solusi ini adalah: Shear-Stress distribution (τ w ) ,

CD, dan ketebalan lapisan batas (δ ) .


3
∂u ∂ 2ψ U∞
τ w ( x1 ) ≡ µ 1 ( x,0 ) =µ ( x,0 ) =µ f ' ' (0)
∂x 2 ∂x 2
2
υx1

2 f ' ' (0 ) 1 1
x1 x
FD 2
∫0 w ( )
x1 ∫0 U ∞ x'
Cd = = τ x ' dx ' = dx'
1 x1 ρU ∞
2
ρU ∞ 2 x1
2 υ
Solusi numerik dari persamaan (BLI. 3) memberikan f ' ' (0 ) ≈ 0.322 sehingga,
τw 2 f ' ' (0 ) 0.664
Cf ≡ = =
1 Re x Re x
ρU ∞ 2
2
1.328
Cd =
Re x

Dari hasil numerik, U 1 = 0.99U ∞ pada posisi ξ = 5


Sehingga,
δ δ 5
ξ= =5 , =
υx x Re x
U∞

Sekarang kita akan beralih ke persamaan energi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
dalam kasus lapisan batas untuk aliran inkompresible, persamaan energi tidak
mempengaruhi solusi dari persamaan momentum ( u ). Namun, solusi dari persamaan

energi tergantung dari u (solusi persamaan momentum). Sekarang kita tuliskan


persamaan energi,
2
⎛ ∂T ∂T ⎞ k ∂ 2T µ ⎛ ∂u1 ⎞
⎜⎜ u1 + u2 ⎟⎟ = + ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ρC P ∂x 2 2
ρC P ⎝ ∂x 2 ⎠
Dengan menggunakan variabel ξ , persamaan di atas menjadi,
2
d 2T Pr dT U
+ f = − Pr ∞ ( f ' ' )2
dξ 2
2 dξ CP
Lapisan Batas 150

di mana Pr adalah Prandtl Number. Kondisi batas persamaan ini adalah,


∂T
T (ξ → 1) = T∞ T (ξ → 0) = Twall atau k ξ →0 = q wall
∂y
solusi dari persamaan di atas biasanya dinyatakan sebagai superposisi dari 2 solusi,
2
V∞
T (ξ ) = T∞ + (Twall − T∞ )θ1 (ξ ) + θ 2 (ξ )
2C P

Di mana θ 1 adalah solusi dari persamaan,


1
θ1 ' '+ Pr fθ1 ' = 0 dengan θ 1 (0 ) = 1 , dan θ1 (∞ ) = 0
2
dan θ 2 adalah solusi dari persamaan,
1
θ 2 ' '+ Pr fθ 2 ' = −2 Pr ( f ' ')2 dengan θ 2 ' (0 ) = 0 , dan θ 2 (∞ ) = 0
2

Dengan kata lain θ 1 adalah solusi dari persoalan lapisan batas di mana “Viscous
Dissipation” diabaikan dan terdapat perubahan temperatur (yang ditentukan!!!) antara
dinding dan aliran di luar lapisan batas. Sedangkan θ 2 adalah solusi dari persoalan
∂T
lapisan batas di atas pelat yang diinsulasi sehingga =0
∂x 2

Solusi untuk θ 1 dan θ 2 adalah fungsi dari turunan f (solusi untuk persamaan
momentum). Kita ketahui bahwa,
2f ' ' '
f =-
f ''
Sekarang kita atur ulang persamaan untuk θ1 ,
d d
ln θ1 ' = Pr ln f ' ' .
dξ dξ

Apabila kita integrasikan maka, θ1' = c1 (f '' ) Pr . Kemudian kita integrasikan sekali lagi
maka didapatkan,

∫ (f ' ' )
ξ
Pr

θ1 = ∞
∫ (f ' ' )
0
Pr

Lapisan Batas 151

Apabila kita atur ulang persamaan untuk θ2 maka,

(( fθ' ' )' ) = -( PrcU )( f ' ' )


2
d 2 ∞ 2- Pr

dξ Pr
p

sehingga,

θ2 = ( Pr U ∞2
cp
)∫ ( f ' ' ) [ ∫ ( f ' ' )
ξ

Pr
η

0
2- Pr
]
dτ dη

Contoh: untuk kasus dimana Pr = 1

( )
2
1 Pr U ∞
θ1 = 1 - f ' dan θ 2 = (1 - f ' )
2 cp

Terlihat bahwa solusi umum untuk kasus ini (lapisan batas termal di atas pelat) akan
didapatkan apabila f telah ditemukan.

4.4 Lapisan batas kompresible

Untuk kasus lapisan batas di mana efek kompresibilitas tidak dapat diabaikan, sistem
persamaan lapisan batas harus diselesaikan secara serempak. Seperti telah dikatakan
sebelumnya, dalam kasus ini adalah fungsi dari temperatur. Sehingga untuk
menyelesaikan persamaan momentum kita memerlukan persamaan energi yang
merupakan persamaan yang menjelaskan tentang perubahan T. Namun kita tahu bahwa
untuk menyelesaikan persamaan energi kita memerlukan u yang perubahannya
dijelaskan oleh persamaan momentum. Jadi jelaslah untuk kasus ini ketiga persamaan
tersebut (massa, momentum, energi) harus diselesaikan secara bersamaan. Dengan
demikian kasus ini menjadi lebih rumit bila dibandingkan dengan kasus inkompressibel.
Dalam bagian ini kita akan lihat salah satu contoh dari lapisan batas kompresible, yaitu
aliran kompresible di sekitar plat.

Lapisan batas pelat datar (kompresible)


Sama seperti kasus inkompresible, dalam kasus pelat datar p ∞ = konstan sehingga
dp
= 0 . Oleh karenanya sistem persamaan yang harus diselesaikan adalah,
dx1
Lapisan Batas 152

∂ρu 1 ∂ρu 2
+ =0 (CBL. 1)
∂x 1 ∂x 2

∂u 1 ∂u 1
(
ρ u1
∂x 1
+ u2
∂x 2
) = ∂x∂ (µ ∂∂xu )
2
1

2
(CBL. 2)

(
ρ u1
∂h
∂x 1
+ u2
∂h
∂x 2
) = µ( ∂∂xu ) 1

2
2
+

∂x 2
k
∂Τ
(
∂x 2
)
dp
=0 (CBL. 3)
dx 2
Kondisi batas yang kita pilih untuk kasus ini adalah:
u1 ( x 2 → ∞) = U in = U ∞ , T ( x 2 → ∞ ) = T∞

u ( x 2 → 0) = 0 , T( x 2 → 0) = Twall
(pelat yang tidak bergerak dengan temperatur permukaan Twall)

Untuk lebih memudahkan penyelesaian kasus ini, kita rubah persamaan energi menjadi
persamaan untuk total enthalpy (h 0 ≈h + 12 u12 ). Pertama-tama kita kalikan persamaan
momentum x1 dengan u1,
∂ u 12 ∂ u 12 ∂ ∂u
(
ρ u1
∂x 1 2
+ u2
∂x 2 2
= u1
∂x 2
µ 1
∂x 2
) ( )
Kemudian persamaan ini kita tambahkan dengan persamaan energi (enthalpy) hasilnya
adalah,
∂h 0 ∂h 0
(
ρ u1
∂x 1
+ u2
∂x 2
)=u 1

∂x 2
(µ ∂∂xu ) + µ(∂∂xu )
1

2
1

2
2
+

∂x 2
k
∂Τ
(
∂x 2
)

1 ρ
Untuk perfect gas: dh = cp dT atau dT = d (h 0 - u 12 ) sehingga persamaan energi
cp 2

menjadi,
∂h 0 ∂h 0
(
ρ u1
∂x 1
+ u2
∂x 2
)=u 1

∂x 2
(µ ∂∂xu ) + µ(∂∂xu )
1

2
1

2
2
+

∂x 2
(ck ∂x∂
p 2
(h 0 -
1 2
ρu )
2 1
)
Kita dapat sederhanakan persamaan ini lebih lanjut dan hasilnya adalah:
∂h 0 ∂h 0
(
ρ u1
∂x 1
+ u2
∂x 2
) = ∂x∂ [ Prµ ∂∂xh
2
0

2
+ (1 -
1
Pr
) µu 1
∂u 1
∂x 2
] (CBL. 4)
Lapisan Batas 153

Persamaan inilah (CBL. 4) yang harus diselesaikan bersama-sama dengan persamaan


(CBL. 1) s/d (CBL. 3) untuk mendapatkan solusi dari lapisan batas kompresibel untuk
pelat datar. (catatan: h 0 ≈h + 12 u 12 karena u 22 << u 12 )

Untuk menyelesaikan sistem persamaaan di atas, kita tranformasikan persamaan-


persamaan tersebut dengan menggunakan “similarity variabel”,
U∞ x2
ξ ≡ ρ ∞ U ∞ µ ∞ x1 , η≡

∫ ρdx
0
2 , ψ = 2ξ f

sehingga,
df u h0
f '≡ = 1 dan g ≡
dξ U ∞ h 0∞

Hasil transformasi tersebut adalah,


ρµ
( f ' ' )' + f f ' = 0 (momentum x1)
ρ∞ µ∞

ρµ 1 U ∞2 ⎡ ⎛ 1 ⎞ ρµ ⎤
( g ' )' + f g '+ ⎢[(⎜1 - ⎟) f ' f '' ⎥ ]' = 0
ρ ∞ µ ∞ Pr h0∞ ⎣ ⎝ Pr ⎠ ρ ∞ µ ∞ ⎦
Kondisi batas-nya menjadi,
f (η →0) = 0 , f ' (η → 0) = 0 , g(η → 0) = g wall , f ' (η → ∞) = 1 , g (η → ∞ ) = 1
Apabila kita lihat koefisien dari suku ke 3 persamaan energi,
U ∞2 U ∞2 1 1 1 1
= = = = =
h0 ∞ h + 1 v 2 h∞ + 1 c pT∞ 1 γ RT∞ 1 M∞ 2
1
∞ ∞ + + +
2 2
v∞ 2 2
U∞ 2 (γ -1)v∞
2
2 (γ -1) 2

Solusi dari persamaan di atas tentunya harus diselesaikan dengan menggunakan


komputer. Namun kita lihat bahwa parameter-parameter yang terdapat dalam
Tw
persamaan-persamaan dan kondisi batas di atas adalah (γ , M ∞ , Pr, dan ) sehingga
T∞
dapat disimpulkan bahwa
Tw T
c f = c f (γ, M ∞ , Pr, ) dan δ = δ (γ, M ∞ , Pr, w )
T∞ T∞
Lapisan Batas 154

4.5 Solusi keserupaan Falkner-Skan (Incompressible)

Kita telah lihat bahwa sangat sulit untuk menemukan solusi dari persamaan (BL) atau
(BLI). Untuk kasus yang paling sederhana yaitu kasus lapisan batas dari pelat datar
untuk kasus aliran incompressible, kita dapat mengubah persamaan diferensial parsial
menjadi persamaan diferensial biasa dengan mencari “similiarity solution” dari
persamaan x,momentum. Karena persamaan yang menjelaskan lapisan batas untuk
kasus ini adalah persamaan diferensial biasa maka kasus ini menjadi mudah untuk
diselesaikan walaupun harus diselesaikan secara numerik. Jadi dari kasus ini kita dapat
simpulkan bahwa kasus-kasus dimana peramaan diferensial parsial dapat diselesaikan
dengan menggunakan “similiarity solution” adalah kasus-kasus yang relatif mudah
secara matematis. Disubbagian ini kita akan lihat kasus-kasus apa saja yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan “similarity solution’ untuk aliran inkompresible.

Kita mulai dengan mengasumsikan bahwa ,


u1 ( x1 , x2 ) x
= f '(ξ ) di mana ξ = 2
U in ( x1 ) δ ( x1 )
Karena,
x2 x ξ
∂ψ 2
u x
ψ =∫ dx2 = U inδ ∫ 1 d ( 2 ) = U inδ ∫ f '(ξ )d ξ
0
∂x2 0
U in δ 0

ψ = U inδ ( f (ξ ) − f (0))
Karena ψ = 0 di x2=0 maka,
f(0) = 0 & ψ = U inδ f (ξ ) .

Dengan menggunakan ψ ,maka untuk kasus aliran incompressible 2-D persamaan


kontinuitas selalu terpenuhi secara otomatis. Oleh karena itu,maka persamaan untuk
lapisan batas adalah,
∂u1 ∂u dU in ∂ 2u1
u1 + u2 1 = U in +ν (FS.1)
∂x1 ∂x2 dx1 ∂x1
2

∂ψ ∂ψ
u1 = , u2 = −
∂x2 ∂x1
Lapisan Batas 155

Dari ψ = U inδ f (ξ ) , kita dapat tuliskan u2 sebagai fungsi dari Uin , δ , f dan turunan-
turunannya.
∂ψ
= − f [U inδ ] + ξU in f 'δ '
'
u2 = −
∂x1
Apabila kita subtitusikan U1 dan U2 ke persamaan (FS.1) maka didapatkan,
f ''' + α ff '' + β (1 − f '2 ) = 0 (FS.2)
di mana
δ d δ 2 dU in
α≡ (U inδ ) dan β ≡ .
ν dx1 ν dx1

Untuk kasus di mana terdapat similarity solution, persamaan (FS.2) hanya tergantung
dari ξ . Dengan kata lain,untuk kasus-kasus ini maka α dan β haruslah konstan (bukan
fungsi x1). Sekarang kita akan gunakan kenyataan ini untuk menemukan kasus-kasus apa
saja yang dapat diselesaikan dengan menggunakan “similarity solution”.

Dari definisi α & β , kita lihat bahwa


1 d
2α − β = (δ 2U in )
ν dx1
sehingga,
1
(2α − β )( x1 − x0 ) = δ 2U in .
ν
Apabila koordinat axis kita letakan sedemikian rupa sehingga δ = 0 di x1 = 0 maka
x0 = 0
dan

Kν x1
δ=
U in

dimana K ≡ 2α − β =konstan.

Sekarang kita pilih K=1 apabila Uin dan x1 searah dan K=-1 apabila Uin dan x1
berlawanan.
Lapisan Batas 156

Dengan pilihan ini maka,

±ν x1
δ= (FS.3)
U in

δ 2 dU in
Apabila kita subtitusikan δ ke definisi untuk β ( β ≡ ) maka,
ν dx1
x1 dU in dx dU in
β =± atau β 1 = ±
U in dx1 x1 U in
Karena β adalah konstan maka persamaan terakhir dapat diintegrasikan & hasilnya
adalah,
x
U in = U 0 ( 1 ) m (FS.4)
L
U0 = konstan, L = konstan. Dalam hubungan diatas,
⎧ β , apabila U in & x1 searah
m=⎨
⎩-β , apabila U in & x2 berlawanan arah
Dengan menggunakan (FS.3)&(FS.4),persamaan(FS.2) dapat dituliskan menjadi,
1
f ' ' '+ (m + 1) ff ' '+ m(1 − f ' 2 ) = 0 (FS)
2

Persamaan ini diselesaikan dengan menggunakan kondisi batas,


u1 ( x2 → ∞ ) = U in & u ( x2 =0) = 0 atau,

f (0) = 0 f '(0) = 0
f '(1) = 1

Jadi hasil ini kita dapat kita simpulkan sebagai berikut . Apabila solusi inviscid dari
aliran sekitar benda adalah
U in ( x1 ) ~ x1m
Lapisan Batas 157

maka lapisan batas benda tersebut dijelaskan oleh persamaan (FS). Persamaan (FS)
disebut juga persamaan Falkner-Skan.

Untuk kasus di mana m>0 terdapat beberapa solusi:


a) m = 0 : kasus ini adalah kasus aliran disekitar pelat datar yang telah kita pelajari
sebelumnya
b) 0<m<1: Ini adalah kasus aliran di sekitar wedge.

c) 1<m<2 : Ini adalah kasus aliran menuju sebuah sudut.

d) m=1:Aliran stagnasi

4.6 Persamaan dalam bentuk integral untuk lapisan batas

Kita telah lihat bahwa untuk mendapatkan solusi dari persamaan-persamaan untuk
lapisan batas secara analitik bukanlah hal yang mudah. Dalam praktik, permasalahan
lapisan batas biasanya diselesaikan dengan menggunakan metoda aproksimasi. Metoda-
metoda ini berbasis dari “perasamaan integral” dari lapisan batas dan ini yang akan kita
dapatkan di dalam subbagian ini.

Kita mulai dari persamaan kontinuitas. Apabila kita ambil integral dari persamaan ini
dengan limit dari x2 = 0 s/d x2 = δ maka
Lapisan Batas 158

δ ∂ρu1 δ ∂ρu
∫ dx 2 + ∫ dx 2 = 0
2
0 ∂x1 0 ∂x 2
δ ∂ρ u1
∫0 ∂x1
dx2 + ρinU 2in = 0 (karena u1 = u 2 = 0 di x2 = 0 )

di mana ρ in dan U 2in adalah harga ρ dan u 2 di x2 = δ . Kemudian ke dalam persamaan


δ d
di atas kita tambah dan kurangi ∫ ( ρinU in ) dx , sehingga menjadi
0 dx
δ ∂ δ d
∫ ( ρ u1 − ρinU in ) dx2 + ∫0 ( ρinU in ) dx2 + ρinU 2in = 0 .
0 ∂x1 dx1

Karena ρ in , U in , x1 bukan fungsi x2 maka

d ⎡ δ ⎛ ρu ⎞ ⎤ d
⎢ ρinU in ∫0 ⎜
1
− 1⎟dx2 ⎥ + ( ρinU in ) δ + ρinU 2in = 0
dx1 ⎣ ⎝ ρinU in ⎠ ⎦ dx1

δ⎛ ρ u1 ⎞
Apabila kita definisikan δ * ≡ ∫ ⎜1 − ⎟dx2 maka
0
⎝ ρinU in ⎠
d d
dx1
( ρinU in ) δ + ρinU 2in −
dx1
(
ρinU inδ * = 0 ) (IM.1)

Dari (IM.1), apabila δ , δ * , dan ρinU in diketahui, maka U 2in dapat dihitung. Informasi

(
ini U 2in ) diperlukan untuk menentukan modifikasi dari kondisi batas untuk persamaan
Euler yang disebabkan karena adanya lapisan batas (lihat pembahasan di 4.6.2).

Berikutnya kita beralih ke persamaan momentum.


∂u1 ∂u ∂ ∂
ρ u1
∂x1
+ ρ u2 1 =
∂x1 ∂x1
ρ u12 + (
∂x2
)
( ρ u1u2 )
∂ ∂ ∂U ∂U
=
∂x1
( ρ u1 ( u1 − U in ) ) +
∂x2
( ρ u2 ( u1 − U in ) ) + ρ u1 in + ρ u2 in
∂x1 ∂x2
Lapisan Batas 159

Sekarang kita ambil integral dari x2 = 0 s/d x2 = δ , dari persamaan x1 momentum.


∂ δ ∂ dU dp δ ∂
( ρ u1 ( u1 − U in ) )dx2 + ∫ ( ρ u2 ( u1 − U in ) ) dx2 + in
δ δ δ
∫0 ∂x1 0 ∂x
2 dx1 ∫0
ρ u1dx2 = − ∫
0 dx1
dx2 + ∫
0 ∂x
2
τ dx2

∂u1 dp dp
di mana τ ≡ µ . Karena = 0 , maka bukan fungsi x2. Selain itu τ ( x2 =δ ) = 0
∂x2 dx2 dx1
sehingga,
δ δ
d ρ u1 ⎛ u ⎞ dU in dp
ρinU in2 ∫ ⎜ − 1 dx
⎟ 2 + ∫ ρ u1dx2 = − δ − τ wall
dx1 0
ρinU in ⎝ U in ⎠ dx1 0 dx1

di mana τ wall = τ ( x2 =0) .

Apabila kita definisikan,


δ ρ u1 ⎛ u1 ⎞
θ* = ∫ ⎜1 − ⎟ dx2
0 ρinU in ⎝ U in ⎠
maka persamaan di atas dapat kita tuliskan menjadi,
d dU δ dp
dx1
ρinU in 2θ * − in
dx1 ∫0
ρ u1dx − δ
dx1
= τ wall

δ
Sekarang kita jabarkan ∫
0
ρu1 dx 2
δ δ δ
∫ ρ u1dx2 = ∫ ( ρ u1 − ρinU in )dx2 + ∫ ρinU in dx2
0 0 0

δ ⎛ ρ u1 ⎞
= ∫ ρinU in ⎜ − 1⎟ dx2 + ρinU inδ
0
⎝ ρinU in ⎠
= − ρinU inδ * + ρinU inδ
Akhirnya persamaan integral momentum dapat dituliskan

d dU ⎛ dρ dU in ⎞
ρinU in 2θ * + ρinU inδ * in − δ ⎜ + ρinU in ⎟ = τ wall
dx1 dx1 dx
⎝ 1 dx1 ⎠

Namun, untuk aliran inviscid di luar lapisan batas,


dp dU in
= − ρinU in
dx1 dx1
Sehingga akhirnya persamaan di atas menjadi
d dU
ρinU in 2θ * + ρinU inδ * in = τ wall (IM.2)
dx1 dx1
Lapisan Batas 160

Kita lanjutkan dengan persamaan energi. Persamaan yang paling baik untuk digunakan
di sini adalah persamaan untuk total enthalpi (lihat subbagian tentang compressible BL).
2
⎛ ∂h ∂h ⎞ ∂ ⎛ ∂u1 ⎞ ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ ⎜⎜ u1 0 + u 2 0 ⎟⎟ = u1 ⎜⎜ µ ⎟⎟ + µ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ + ⎜⎜ k ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠ ⎝ ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
Kedua suku pertama di sebelah kanan “sama dengan” dapat digabung menjadi,
2
∂ ⎛ ∂u1 ⎞ ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ∂u1 ⎞
u1 ⎜⎜ µ ⎟⎟ + µ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ = ⎜⎜ µ u1 ⎟⎟
∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠ ⎝ ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
∂T ∂u
Dengan menggunakan persamaan kontinuitas dan definisi q ≡ −k dan τ = µ 1 ,
∂dx 2 ∂x 2
maka persamaan untuk total enthalpi menjadi,

(h0 ρu1 ) + ∂ (h0 ρu 2 ) = ∂ (τu1 − q )
∂x1 ∂x 2 ∂x 2
Sekarang kita ambil integral dari persamaan di atas. Dengan mengingat bahwa
τ ( x2 → δ ) = 0 dan u1 (x 2 → 0 ) = 0 , hasilnya adalah,

∫0
δ ∂
∂x1
( )
(ρu1h0 )dx 2 + ρ δ u 2δ h0in = q wall (IM)

karena q ( x2 → δ ) = 0 dan q( x2 → 0) ≡ qwall .

Di luar lapisan batas, h0in biasanya konstan (kasus normal shock wave pun h0in konstan

apabila shock diam). Oleh karena itu



∂x1
( (
(ρu1h0 ) = ∂ ρu1 h0 − h0in + h0in ∂ ρu1
∂x1 ∂x1
))
Dari persamaan kontinuitas,

∂ ⎛ ⎛ ⎞⎞
(ρu1h0 ) = ∂ ⎜⎜ ρu1h0in ⎜⎜ h0 − 1⎟⎟ ⎟⎟ − h0in ∂ ρu 2
∂x1 ∂x1 ⎝ ⎝ h0in ⎠⎠ ∂x 2

sehingga,

d ⎡ δ ρu ⎛ h ⎞ ⎤

( )
δ
∫ ( ρ u1h0 )dx2 = ⎢ ρinU in h0in ∫0 1 1 ⎜⎜ 0 − 1⎟⎟ dx2 ⎥ − h0in ρ qu2q .
0 ∂x1 dx1 ⎢⎣ ρinU in ⎝ h0in ⎠ ⎥⎦

Apabila kita substitusikan ke persamaan (IM), maka hasilnya adalah


Lapisan Batas 161

d
dx1
( )
ρinU inθ h*h0in = − qwall (IM.3)

dimana telah didefinisikan

δ ρ1u1 ⎛ h0 ⎞
θ h* ≡ − ∫ ⎜⎜ − 1⎟dx2
0 ρinU in ⎝ h0 ⎟

in

Persamaan-persamaan (IM.1), (IM.2), (IM.3) adalah persamaan untuk U 2in , τ wall , dan

qwall sebagai fungsi dari θ h* , θ * , dan δ * . Metoda approximasi biasanya memberikan

approximasi untuk θ h* , θ * , dan δ * . Dari sini harga U 2in , τ wall , dan qwall dapat

diestimasikan.

4.6.1 Interpretasi dari δ * dan θ

Di subbagian sebelah kita telah diperkenalkan dengan quantitas δ * dan θ * . δ * disebut


“displacement thickness”. Sekarang kita akan lihat apa arti fisis dari δ * dan θ * . Sekali
lagi δ * dan θ * telah kita definisikan seperti
x2* ⎛ ρ u1 ⎞
δ * ≡ ∫ ⎜1 − ⎟dx2
0
⎝ ρinU in ⎠

x2* ρ u1 ⎛ u1 ⎞
θ* ≡ ∫ ⎜1 − ⎟dx2
0 ρinU in ⎝ U in ⎠

Dimana x2* adalah sebuah titik dalam aliran yang berjarak x2 = x2* dari permukaan

benda (definisi ini adalah definisi yang lebih umum, sebelumnya x2* kita ambil sebagai

x2* = δ ).
Lapisan Batas 162

Untuk melihat arti fisis dari δ * , kita lihat mass flow (m ) yang melintasi permukaan

(garis) dari x2 = 0 s/d x2 = x2* dalam gambar (A) di atas.


x2*
m = ∫ ρ u1dx2
0

Apabila aliran ini tidak mempunyai lapisan batas (asumsi aliran inviscid digunakan
mulai dari permukaan benda), maka mass flow-nya (m inv ) adalah
x2*
m inv = ∫ ρinU in dx2
0

Jadi, lapisan batas menyebabkan berkurangnya mass flow sebesar


x2*
∆m = m inv − m = ∫
0
( ρinU in − ρ u1 )dx2
Apabila ∆m kita tuliskan seperti ∆m = ρinU in Υ , maka

x2* ⎛ ρ u1 ⎞
Υ = ∫ ⎜1 − ⎟dx2
0
⎝ ρinU in ⎠
Namun, ini adalah definisi dari δ * Υ = δ * . ( ) Jadi, “ δ * adalah ketinggian yang
proporsional dengan berkurangnya m (mass flow) akibat adanya lapisan batas”.

Interpretasi lain dari δ * adalah sebagai berikut. Di dalam gambar (B) terdapat sebuah
streamline, di luar lapisan batas, yang melintasi titik (1) dan (2). Sekarang kita hitung
m di titik (1) dan (2).
x2*
m (1) = ∫ ρinU in dx2
0

x2*
m ( 2) = ∫ ρ u1dx2 + ρinU in y
0

Karena titik (1) dan (2) dilintasi oleh garis ψ =konstan yang sama (streamline yang
sama), maka m (1) = m (2 ) sehingga
x2* x2*
∫0
ρinU in dx2 = ∫ ρ u1dx2 + ρinU in y
0

⎛x2*ρ u1 ⎞
y = ∫ ⎜1 − ⎟dx2
0
⎝ ρinU in ⎠

( )
Namun, ini adalah definisi dari δ * y = δ * . Oleh karena itu, maka “ δ * adalah jarak

terdorongnya “external inviscid flow” yang disebabkan oleh adanya lapisan batas”.
Lapisan Batas 163

Dengan kata lain, bentuk effective yang harus kita gunakan dalam menghitung aliran
inviscid diluar lapisan batas adalah permukaan benda +δ* (lihat gambar dibawah)

Sekarang kita ke interpretasi dari θ*. Untuk itu kita kembali ke gambar (A) & hitung
“momentum flux” yang melintasi garis dari x2 = 0 s/d x2 = x2*. Momentum flux yang
melintasi garis dx2 adalah,

 1 = ( ρu1dx2 ) u1 = ρu12dx2
dM = dmu
Apabila aliran dianggap seluruhnya inviscid (tidak ada lapisan batas) maka “momentum
flux” untuk “mass flux” dm yang sama adalah
dM inv = dmU
 in = ρ u1U in dx2 .

Dengan demikian, berkurangnya momentum flux untuk aliran dengan massa sebesar dm
yang disebabkan oleh adanya lapisan batas adalah
d (∆M ) = dM inv − dM = ρ u1 (U in − u1 ) dx2

atau
x2*

∆M = ∫ ρ u1 (U in − u1 )dx2
0

Apabila ∆M kita nyatakan seperti ∆M ≡ ρinU in y maka,


2

x*2 ρ u1 u
Y =∫ (1 − 1 )dx2
0 ρinU in U in

Namun, ini adalah definisi dari θ * sehingga Y= θ . Dengan demikian maka θ * dapat
kita interpretasikan sebagai “jarak yang proporsional dengan berkurangnya momentum
flux yang diakibatkan oleh adanya lapisan batas”.
Lapisan Batas 164

θ * adalah salah satu kuantitas penting dalam teori lapisan batas karena θ * proporsional
dengan Cd . Sebagai contoh adalah kasus aliran disekitar pelat datar (inkompresible).
Untuk kasus ini, persamaan (IM.inkompresible) menjadi,
dθ *
ρU in2 = τ wall
dx1
karena Uin = konstan. Drag untuk pelat datar ini adalah
θ*

l
D = ∫ τ wall dx1 = ρU 2
in ∫ dx dx1 = ρU in2θ *
0 0 1

Karena untuk kasus ini Uin = U∞ maka,


D 2 ρU ∞2θ * 2θ * 2θ *
Cd = = = atau Cd =
1
ρU ∞2 l ρU ∞l
2
l l
2
Jadi Cd dari kasus ini dapat kita hitung apabila θ * diketahui.

4.6.2 Interaksi Viscous-inviscid

Dalam praktiknya, permasalahan aliran disekitar benda yang mempunyai harga Re yang
tinggi diselesaikan dengan melakukan proses iterasi. Ini disebabkan karena solusi
persamaan lapisan batas tergantung dari solusi aliran inviscid diluar lapisan batas
melalui Uin. Sedangkan solusi aliran inviscid tergantung dari kondisi batas yang harus
dipenuhi pada permukaan dimana asumsi inviscid dapat digunakan. Permukaan ini
yang tentunya berubah dengan adanya lapisan batas. Proses iterasi ini dapat dipahami
dengan memperhatikan pembahasan di paragraf berikut.

Pertama-tama, lapisan batas dianggap tidak ada dan aliran inviscid disekitar benda
diselesaikan untuk mendapatkan Uin. Kemudian Uin ini digunakan untuk menyelesaikan
persamaan lapisan batas. Namun, dengan adanya lapisan batas maka permukaan
dimana kondisi batas inviscid harus dipenuhi berubah (luas daerah inviscid berkurang
karena adanya lapisan batas) dan Uin juga tentunya berubah. Ada dua cara untuk
memodifikasi kondisi batas aliran inviscid:
Lapisan Batas 165

• Mengubah permukaan benda dengan menambahkan δ * sehingga kondisi batas


inviscid u in ⋅ nˆ = U wall ⋅ n̂ dipenuhi di δ * seperti yang dibahas di 4.6.1.

• Mengubah kondisi batas inviscid yang harus dipenuhi dipermukaan benda


menjadi u in ⋅ nˆ = U 2in dimana U 2in adalah u2 di x2 = δ yang didapatkan dari solusi

persamaan lapisan batas (misalnya, dari (IM.1)).

Dengan menggunakan kondisi batas baru ini, permasalahan aliran inviscid diselesaikan
lagi untuk mendapatkan U in yang baru, yang kemudian digunakan untuk menyelesaikan
persamaan lapisan batas. Iterasi “viscous-inviscid” ini terus dilakukan sampai
mendapatkan solusi yang konvergen ( δ * tidak berubah atau U 2in tidak berubah).

4.7 Metoda Aproximasi untuk Lapisan Batas

Di subbagian ini kita akan membahas contoh dari metoda approximasi untuk
menyelesaikan permasalahan lapisan batas. Basis dari metoda ini adalah persamaan
integral lapisan batas. Karena kasus yang kita akan bahas di sini adalah kasus2
incompresible maka persamaan integral yang menjadi basis adalah persamaan (IM
incompresible).

4.7.1 Metoda Karman – Pohlhausen

Dalam metoda ini u1 diasumsikan mempunyai bentuk,


u1
= a + bξ + cξ 2 + d ξ 3 + eξ 4 ...........(k − p)
U in
di mana
x2
ξ=
δ ( x1 )
Lapisan Batas 166

Koefisien2 a, b, c, d, e, ditentukan dengan menggunakan kondisi2 batas. Karena ada 5


koefisien maka kita perlukan 5 kondisi batas untuk u1. Dua kondisi batas pertama adalah
kondisi batas yang biasa kita gunakan yaitu,
u1 ( x1 ,0) = 0 , u1 ( x1 , δ ) = U in ( x1 )

Kondisi batas ketiga didapatkan dengan mengevaluasi persamaan x1–momentum di


x2 = 0 .

∂u1 ∂u1 dU in ∂ 2u1


u1 + u2 = U in +ν
∂x1 ∂x2 dx1 ∂x2
2

di x2 = 0 , u1 = 0 , u2 = 0 sehingga:
∂ 2u1 U dU in
( x1, 0) = − in
∂x2 2
υ dx1
Dua kondisi batas terakhir didapatkan dengan memastikan bahwa tidak akan terjadi
diskontinuitas di x2 = δ . Kondisi-kondisi ini adalah:
∂u1 ∂ 2uu
( x1,δ ) = 0 dan ( x1,δ ) = 0 .
∂x2 ∂x22
Dengan kondisi batas ini a, b, c, d, e menjadi:
Λ ∆ Λ Λ
a=0 b = 2+ c=− d = −2 + e = 1−
6 6 2 6
di mana
δ 2 dU in
Λ ( x1 ) ≡ .
ν dx1

u1
Dengan koefisien-koefisien ini, maka dalam (K – P) menjadi
U in

u1 u
= 1 (Λ, ξ ) = F (ξ ) + ΛG (ξ )
U in U in
ξ (1 − ξ )3
= 1 − (1 + ξ )(1 − ξ ) + Λ
3

6

F (ξ ) 

G (ξ )

Apabila kita gambarkan grafik F( ξ ) vs ξ dan G (ξ ) vs ξ hasilnya dapat dilihat di


sketsa (A) dibawah ini.
Lapisan Batas 167

u1
Apabila kita pilih beberapa harga Λ dan gambarkan grafik v ξ maka kita
U in
u1
dapatkan hasil seperti digambarkan disketsa (B). Untuk kasus Λ > 12 , > 1 dan ini
U in
u1
tentunya tidak mungkin. Untuk kasus Λ <-12, < 0 dan ini adalah kasus dimana
U in
terjadi separasi dari lapisan batas. Aliran di daerah setelah titik separasi x1 = xs tidak
dapat diselesaikan dengan persamaan (BLI). Dari penjelasan ini maka untuk lapisan
batas harga Λ haruslah:
-12< Λ <12

δ *, θ * danτ wall dapat dituliskan sebagai fungsi dari Λ .


1
u1 ⎛ x2 ⎞ 3 Λ
δ * = δ ∫ (1 − )d ⎜ ⎟ = δ ( − )
0
U in ⎝ δ ⎠ 10 120
1
u1 u ⎛x ⎞ 37 Λ Λ2
θ* = δ ∫ (1 − 1 )d ⎜ 2 ⎟ = δ ( − − ) (K- P.1)
0
U in U in ⎝ δ ⎠ 315 945 9072
∂u1 U ∂ (u1 / U in ) µU in Λ
τ wall = µ ( x1, 0) = µ in ξ =0 = (2 + )
∂x2 δ ∂ξ δ 6

Persamaan (K-P1) tentunya belum berguna sampai harga δ diketahui. Diperlukan


hubungan tambahan untuk menentukan harga2 δ *, θ *, τ wall . Hubungan ini didapatkan
dari persamaan momentum (IM.2) yang untuk kasus incompressible dapat dituliskan
seperti:

1 U in d (θ * ) + (2 + δ * ) θ * dU in = τ wallθ *
2 2

2 dx1 ν θ * ν dx1 µU in
Lapisan Batas 168

Sekarang kita perkenalkan definisi-definisi berikut ini,

2
θ *2 dU in ⎛ θ * ⎞ δ* τ θ*
λ≡ =⎜ ⎟ Λ, H ≡ , l ≡ wall
ν dx1 ⎝ δ ⎠ θ* µU in

Dengan menggunakan definisi-definisi diatas, persamaan integral momentum dapat


dituliskan menjadi,

⎛ ⎞
⎜ ⎟
1 U d ⎜ λ ⎟ = l − (2 + H )λ (K-P.4)
2 in dx ⎜ dU in ⎟
1
⎜ dx ⎟
⎝ 1 ⎠

Perlu ditekankan disini bahwa persamaan (K-P.4) kita dapatkan langsung dari
persamaan integral momentum untuk lapisan batas incompressible hanya dengan
menggunakan definisi-definisi diatas. Dengan kata lain (K-P.4), hanyalah bentuk lain
dari persamaan integral momentum untuk aliran incompressible dan persamaan ini
berlaku umum.

Sekarang kita akan lihat bentuk dari λ, l, dan H, apabila kita gunakan metoda Karman –
Pohlhausen, dimana u1 diaproksimasikan dengan menggunakan persamaan (K-P).
Dalam aproksimasi ini,

2
⎛ 37 Λ Λ2 ⎞
λ =⎜ − − ⎟ Λ
⎝ 315 945 9072 ⎠

⎛ 3 Λ ⎞
⎜ − ⎟
H = ⎝ 10 120 ⎠
⎛ 37 Λ Λ2 ⎞
⎜ − − ⎟
⎝ 315 945 9072 ⎠

⎛ Λ⎞
⎜2+ ⎟
l =⎝ 6⎠
⎛ 37 Λ Λ2 ⎞
⎜ − − ⎟
⎝ 315 945 9072 ⎠
Lapisan Batas 169

Karena Uin = Uin (x1) sedangkan H = H( Λ ),λ = λ ( Λ ) dan l = l( Λ ) maka (K-P.4) adalah
persamaan diferensial yang solusinya adalah Λ = Λ ( x1 ) . Dengan demikian maka,
prosudur penyesaian permasalahan lapisan batas menggunakan metoda ini adalah
sebagai berikut:

1. Subtitusikan Uin (x1) ke dalam (K-P.4) dan selesaikan persamaan diferensial


tersebut untuk mendapatkan Λ = Λ ( x1 ) .

δ 2 dU in
2. Gunakan definisi Λ ≡ dan hasil dari 1.) untuk mendapatkan δ ( x1 ) .
ν dx1

3. Subtitusikan Λ ( x1 ) dan δ ( x1 ) ke dalam (K-P.1) untuk mendapatkan


δ *, θ * danτ wall .

4.7.2 Metoda Thwaits

Persamaan (K-P.4) yang diturunkan di 4.7.1 adalah bentuk lain dari persamaan integral
momentum untuk aliran incompressible dan persamaan ini berlaku umum. Dalam
metoda Karman Pohlhausen kita lihat bahwa suku-suku sebelah kanan dari persamaan
ini, l − (2 + H )λ , adalah fungsi dari Λ sedangkan Λ adalah fungsi dari λ. Dengan kata
lain, hasil sebelumnya menunjukkan bahwa l dan H adalah fungsi dari λ.

Thwaits meneliti hasil-hasil experimen dari lapisan batas yang berbeda-beda dan
menemukan bahwa ketergantungan l dan H terhadap λ juga terjadi pada kasus lapisan
batas lainnya. Lebih spesifiknya ia menemukan bahwa untuk setiap lapisan batas yang
ia teliti,

2 ( l − (2 + H )λ ) ≈ 0.45 − 6λ .

Dengan demikian maka persamaan (K-P.4) dapat diaproksimasikan menjadi,

d ⎛ θ *2 ⎞
U in ⎜ ⎟ ≈ 0.45 − 6λ
dx1 ⎝ ν ⎠
Lapisan Batas 170

Dengan menggunakan definisi λ, persamaan diatas dapat dituliskan menjadi,

d ⎛ θ *2 U in6 ⎞
⎟ = 0.45U in
5
⎜ (Thwaits)
dx1 ⎝ ν ⎠

Persamaan diatas dapat diselesaikan untuk mendapatkan θ* apabila Uin diketahui.


Namun, untuk mengintegrasikan persamaan ini kita perlu mengetahui kondisi awal dari
θ*. Setelah θ* didapatkan, λ dapat dihitung dengan menggunakan definisinya yaitu,

θ *2 dU in
λ≡
ν dx1

Kemudian harga λ ini digunakan untuk mendapatkan l dan H (ingat kedua variabel ini
adalah fungsi λ) dari grafik atau rumus-rumus dibawah ini:

Apabila 0< λ <0.1 Apabila -0.1< λ <0

l = 0.22 + 1.57λ − 1.8λ 2 τ wallθ * 0.018λ


l≡ = 0.22 + 1.402λ +
H = 2.61 − 3.75λ + 5.24λ 2 µU in 0.107 + λ
δ* 0.0731
H≡ = 2.088 +
θ* 0.14 + λ

Dengan diketahuinya harga l dan H, harga τ wall dan δ* dapat dihitung.

Contoh 1: Lapisan batas pelat datar


Untuk kasus ini, Uin = U∞ = konstan sehingga persamaan Thwaits menjadi,

d ⎛ θ *2 ⎞
U∞ ⎜ ⎟ = 0.45
dx1 ⎝ ν ⎠

Integrasikan persamaan diatas,

0.45 ν x1
2
x1 x1
θ∗ = 0.45 ν = = 0.67
U∞ U ∞ x1 Re x

Karena Uin = konstan, λ = 0, l = 0.22, dan H = 2.61. Dari hasil-hasil ini maka,
1.75 x1 τ wall 0.657
δ∗ = , Cf = =
Re x 1
2 ρ U in 2
Re x
Lapisan Batas 171

Hasil-hasil ini sangat dekat dengan hasil-hasil yang kita dapatkan dengan solusi
numerik ( lihat : flat plate Lapisan batas (incompressible)).

Contoh 2: Lapisan batas yang dimulai dari titik stagnasi

x1

x2

Untuk kasus ini kecepatan aliran inviscid disekitar titik stagnasi didapatkan dengan
melakukan ekspansi Taylor disekitar titik x1 = 0.

dU in
U in ( x1 )  x1 + .... ≡ U in' x1
dx1 x1 = 0

Subtitusikan ke persamaan Thwaits didapatkan,

d ⎛ θ *2 U in' x16 ⎞
6

'5 5
⎜⎜ ⎟⎟ = 0.45U in x1 .
dx1 ⎝ ν ⎠

Integrasikan persamaan terakhir,

6
θ *2 U in' x16 5
= 0.075U in' x16 + kons tan
ν

Untuk menapatkan harga konstanta dan ketebalan lapisan batas di titik stagnasi (θ0), kita
evaluasi persamaan diatas di x1 = 0 dimana θ* = θ0 sehingga didapatkan,

0.075ν
Konstan = 0 dan θ0 =
U in'
Lapisan Batas 172

4.8 Separasi Aliran (Inkompresible)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk aliran Re tinggi di sekitar benda, aliran di
luar lapisan batas dapat diasumsikan sebagai aliran potensial. Namun dalam praktek
sehari-hari, kita ketahui bahwa di bagian belakang dari benda selalu terdapat daerah di
mana ω ≠ 0 .

Karena kita telah ketahui bahwa ω digenerasikan/ di”produksi” di permukaan benda


(daerah didalam lapisan batas) maka ω yang terdapat di daerah belakang haruslah
berasal dari lapisan batas. Dengan kata lain vortisitas yang berada di dalam lapisan
batas “keluar” dari lapisan tipis ini dan menembus ke daerah luar. Oleh karena itu
dalam proses ini terdapat streamlines yang meninggalkan permukaan dan menembus
daerah interior fluida. Fenomena inilah yang disebut flow separation atau ’’separasi
aliran’’.

Kita telah lihat di bagian sebelumnya bahwa di dalam lapisan batas, u2 << u1. Apabila
kondisi ini terpenuhi sepanjang permukaan benda maka fluida di dalam lapisan batas
akan selalu berada di dekat permukaan benda (lapisan batas) dan separasi tidak akan
terjadi. Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat untuk terjadinya separasi adalah
u2 (setidaknya) ~ u1

Secara matematis, syarat ini berarti bahwa titik di mana separasi terjadi adalah titik
“singularity” dari persamaan (BL). (Titik singular dari sebuah persamaan adalah titik di
mana persamaan tersebut tidak lagi memberikan solusi yang mempunyai arti fisik yang
berarti. Persamaan (BL) mempunyai solusi yang berarti di daerah di mana u2 << u1
Lapisan Batas 173

karena persamaan tersebut didapatkan dengan menggunakan asumsi u2 << u1). Karena
di dalam lapisan batas
u2 1
~
u1 Re

maka untuk “keluar” dari permukaan maka u2 harus naik sebesar kurang lebih Re .
Untuk kasus Re tinggi ini berarti u2 harus naik menjadi infinite.

Sekarang kita akan gunakan kenyataan bahwa titik separasi adalah titik di mana
persamaan (BL) menjadi singular untuk mempelajari fenomena separasi. Pertama-tama
kita definisikan titik di mana separasi terjadi adalah titik (xs , 0). Jadi daerah x1 < xs
adalah daerah di depan titik separasi. Kondisi yang harus dipenuhi u2 di xs adalah
u 2 ( xs , x2 ) = ∞ (FS.1)
karena (FS.1) maka
⎛ ∂u2 ⎞
⎜ ⎟ = ∞
⎝ ∂x2 ⎠ x1 = xs

∂u1 ∂u 2
Dari persamaan kontinuitas + =0 ,
∂x1 ∂x 2

⎛ ∂u1 ⎞ ⎛ ∂x ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ = ∞ atau ⎜⎜ 1 ⎟⎟ =0 (FS.2)
⎝ ∂x1 ⎠ x1 = xs ⎝ ∂u1 ⎠ x1 = xs
Sekarang kita definisikan :
us (x2) ≡ u1 (xs,x2).
Didaerah yang sangat dekat dengan xs, kita dapat gunakan expansi Taylor untuk
mendapatkan,
⎛ ∂x ⎞ 1 ⎛ ∂2 x ⎞
( us − u1 ) + ⎜ 21 ⎟ ( us − u1 ) + ...
2
xs − x1 = ⎜ 1 ⎟
⎝ ∂u1 ⎠ x1 = xs 2 ⎝ ∂u1 ⎠ x = x
1 s

xs − x1 = f ( x1 )( u1 − us )
2

atau
u1 = u s ( x 2 ) + α ( x 2 ) ( x s − x1 ) (FS.3)

di mana
1
α (x2 ) ≡
f (x 2 )
Lapisan Batas 174

∂u 2 ∂u α (x2 )
=− 1 =
∂x 2 ∂x1 2 (x s − x1 )

sehingga,
β (x 2 )
u2 = (FS.4)
(x s − x1 )
di mana
d β ( x2 ) α ( x2 )
≡ (FS.5)
dx2 2

Sekarang akan kita gunakan persamaan momentum untuk lapisan batas inkompresible,
∂u1 ∂u ∂ 2 u1 1 dp
u1 + u2 1 = ν −
∂x1 ∂x 2 ∂x 22 ρ dx1
Dari persamaan (FS.3) dapat dilihat bahwa di x1 = xs ,
⎛ ∂ 2u1 ⎞ ∂ 2us ∂ 2α
⎜ 2 ⎟ = ⊕ xs − x1 = berhingga
∂ x
⎝ 2 ⎠ x1 = xs ∂ x2
2
∂x2

1 dp ∂u ∂u
Selain itu, juga berhingga. Tetapi u1 1 dan u 2 1 adalah tak berhingga
ρ dx1 ∂x1 ∂x 2

(karena u 2 ( x s , x 2 ) → tak berhingga).

Jadi di daerah dekat x1 = xs (suku kiri >> suku kanan) sehingga,


∂u1 ∂u
u1 + u2 1 ≈ 0
∂x1 ∂x 2
Dari persamaan kontinuitas,
∂u 2 ∂u ∂ ⎛ u2 ⎞
u1 − u 2 1 = u12 ⎜ ⎟=0
∂x 2 ∂x 2 ∂x 2 ⎜⎝ u1 ⎟⎠

∂ ⎛ u2 ⎞
Karena u1 ≠ 0 maka , ⎜⎜ ⎟⎟ = 0 atau
∂x 2 ⎝ u1 ⎠
u2
≠ fungsi ( x 2 ) (FS.6)
u1
Lapisan Batas 175

Dari persamaan (FS.3) dan (FS.4),


u2 β (x2 )
=
u1 u s ( x 2 ) ( x s − x1 )

(suku yang terdapat α mempunyai koefisien xs-x1 yang jauh lebih kecil dari
u2
( xs − x1 ) sehingga diabaikan). Karena (FS.6) menyatakan ≠ fungsi (x2) ,maka :
u1

β (x 2 ) 1 1
= konstan ≡ A ⇒ β = Au s
u s (x2 ) 2 2
Jadi,
Au s ( x 2 )
u2 = (FS.7)
2 (x s − x1 )
du s
Dari (FS.5), α = A , sehingga :
dx 2

du s ( x 2 )
u1 = u s ( x 2 ) + A (x s − x1 ) (FS.8)
dx 2

Persamaan (FS.7) dan (FS.8) memberikan u1 & u2 sebagai fungsi x1 di dekat titik
separasi (x1). Dari kedua persamaan tersebut dapat dilihat bahwa solusi persamaan (BL)
(persamaan Prandt’l) tidak memiliki arti fisik di daerah x1 >xs karena x s − x1 menjadi

imajiner. Artinya: solusi dari persamaan Prandt’l hanya berlaku hingga x1 = xs.
Dari kondisi batas kita ketahui bahwa :
u1(x1,0) = 0 & u2(x1,0) = 0
maka dari persamaan (FS.7) dan (FS.8),
⎛ du ⎞
us ( 0 ) = 0, ⎜ s ⎟ =0 (FS)
dx
⎝ 2 ⎠ x2 =0
Kedua kondisi ini harus dipenuhi di titik separasi!!!

Dari diskusi di bagian tentang lapisan batas inkompresible telah disimpulkan bahwa
solusi dari persamaan (BL) adalah “serupa”/ ”similar” untuk seluruh Re selama aliran
dalam lapisan batas adalah aliran laminar. Jadi, posisi xs adalah sama untuk seluruh Re
Lapisan Batas 176

karena solusi dari persamaan (BL) tidak mengalami perubahan variabel x1 untuk setiap
perubahan Re. Karena kondisi batas menyatakan u(x1,0) = 0, di permukaan benda,
persamaan momentum (x1) untuk lapisan batas menjadi,
⎛ ∂ 2u1 ⎞ 1 ⎛ dp ⎞
ν ⎜⎜ 2 ⎟⎟ = ⎜⎜ ⎟⎟
∂ x
⎝ 2 ⎠ 2 =0 ρ dx
⎝ 1 ⎠ x2 = 0

⎛ dp ⎞ ⎛ ∂ 2 u1 ⎞
Oleh karena itu “sign” dari ⎜⎜ ⎟⎟ sama dengan “sign” ⎜⎜ 2 ⎟⎟ .
⎝ dx1 ⎠ x2 =0 ⎝ ∂x 2 ⎠ x2

Karena u1 > 0 & u1 naik bersama x2 di daerah di depan xs, maka :


⎛ ∂ 2 u1 ⎞
⎜⎜ 2 ⎟⎟ > 0 di sekitar x1 = xs
∂ x
⎝ 2 ⎠ x2 = 0
Sehingga dapat disimpuilkan bahwa,
⎛ dp ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ >0
⎝ dx1 ⎠ x1 = xs

dp
Karena persamaan x2 momentum untuk lapisan batas adalah = 0 maka dapat
dx 2
disimpulkan bahwa separasi aliran (separation flow) akan terjadi apabila:
dp dU in
> 0 atau <0
dx1 dx1
1 dp dU in
(di luar lapisan batas = −U in )
ρ dx1 dx

Di daerah di luar lapisan batas di mana alirannya adalah aliran potensial. Karena solusi
untuk aliran potensial di sekitar benda selalu terdapat 2 titik stagnasi, di depan dan
belakang, maka dapat disimpulkan bahwa separasi aliran akan terjadi di setiap kasus
aliran di sekitar benda yang memiliki Re tinggi (pada titik stagnasi, u = 0. Apabila
dU
terdapat 2 titik stagnasi, maka harus ada daerah di mana < 0 , yaitu di daerah
dx
bagian belakang benda). Karena aliran di dalam lapisan batas lebih lambat dari di luar
maka ada daerah di dekat permukaan benda di mana u1 = 0 dan titik ini terdapat
Lapisan Batas 177

∂u1
sebelum titik di mana U =0. Secara matematis ini berarti = 0 di titik tersebut
∂x 2
sehingga terjadi separasi aliran di sebuah titik x1 = xs < x1 dimana Uin = 0.

4.9 Titik-titik kritis pada permukaan Benda

Kita telah lihat bahwa di titik (kasus 2-D) atau di garis (kasus 3-D) di permukaan di
du1 ( xS , 0)
mana separasi aliran terjadi u1 ( xS , 0) = 0 dan = 0 . Karena “no-slip condition”
dx2
di permukaan benda maka kondisi pertama selalu terpenuhi di mana pun di permukaan
benda. Namun, kondisi kedua hanya terpenuhi di titik–titik di permukaan di mana
terjadi flow separation. Jadi secara prinsip, prosedur untuk menentukan posisi dan titik
separasi adalah sbb. Dari persamaan (BL) atau (BLI), kita dapatkan solusi u1 ( x1 , x2 )

∂u
dan u2 ( x1 , x2 ) . Dari solusi ini kita dapat hitung 1 = f ( x ). Kemudian apabila
∂x 1
2 x =0
2

kita nyatakan f ( x1 ) = 0 maka solusi dari persamaan ini memberikan kita titik–titik

du1 ( x1 , 0)
separasi ( x1 , xS ). Perlu juga diingat bahwa τ wall = µ . Dengan demikian maka
dx2

separasi aliran terjadi di mana harga τ wall = 0.

Prosedur yang dijelaskan di atas dapat dilakukan secara prinsip. Namun, dalam praktik
sangat sulit untuk dilakukan karena, seperti telah kita lihat, solusi dari persamaan (BL)
atau (BLI) tidak dapat dicari secara analitik. Oleh karena itu informasi tentang titik
separasi dan separasi aliran biasanya didapat dengan melakukan “surface flow
visualisation”, baik secara numerik maupun secara eksperimental. Oleh karena itu kita
perlu mempelajari aspek kualitatif dari separasi aliran karena dari aspek kualitatif inilah
kita dapatkan informasi tentang separasi aliran. Lebih spesifiknya kita perlu pelajari
“motif–motif” streamline di permukaan atau “wall-streamline pattern”, karena
informasi inilah yang kita dapatkan dari eksperimen.
Lapisan Batas 178

Di dalam subbagian ini kita akan gunakan koordinat axis seperti digambarkan di atas di
man x1 & x2 sejajar dengan permukaan sedangkan x3 adalah tegak lurus dengan
permukaan. Dalam koordinat sistem seperti ini separasi aliran terjadi di titik di mana
∂u ∂u
= 0 atau τ wall = µ =0
∂x3 ∂x3

Di dekat permukaan benda, “no-slip condition” (u ( x3 =0) = 0) memungkinkan kita untuk

lim ⎛ u ⎞
menyatakan, ⎜ ⎟ = τ wall = konstan ( = 0 di x1 = xs ) di mana dalam hubungan di
x3 → 0 ⎝ x3 ⎠

atas telah digunakan “L’Hospital rule” karena u ( x3 =0) = 0 dan x3 = 0 . Oleh karena

u
hubungan di atas, maka kita dapat tuliskan secara lokal sebagai ekspansi Taylor di x
x3
koordinat atau,
u
= C • x + ...
x3
⎧ u1 ⎫
⎪ x3 ⎪
⎪⎪ ⎪ ⎡ a1 b1 c1 ⎤ ⎧ x1 ⎫ (WSL. 1)
u2 ⎪ = ⎢ ⎪ ⎪
⎨ x ⎬ ⎢ a2 b2 c2 ⎥⎥ ⎨ x2 ⎬ + ...
⎪ 3
⎪ ⎢a b3 c3 ⎥⎦ ⎩⎪ x3 ⎭⎪
⎪u3 ⎪ ⎣ 3
⎪⎩ x3 ⎪⎭

Ini dapat dilakukan apabila solusi dari persamaan Navier-Stokes di permukaan adalah
“regular” (tidak singular) dan ini adalah asumsi yang kita gunakan di sini. Koefisien –
koefisien a1 s/d c3 dapat kita tuliskan dengan menggunakan variabel aliran apabila

(WSL.1) kita subtitusikan ke dalam persamaan kontinuitas dan Navier–Stokes. Untuk


aliran yang steady, kedua persamaan ini dapat dituliskan seperti (untuk aliran
inkompresible),
Lapisan Batas 179

∇ ⋅ u = 0 ,dan ρ u ⋅∇u = −∇p + µ∇ 2 u


Namun, ada vector identity yang menyatakan bahwa,
∇ × (∇ × u ) = ∇ (∇ ⋅ u ) − ∇2 u

Oleh karena itu, kedua persamaan tersebut dapat digabung sehingga,


ρ u ⋅∇u = −∇p + µ ( ∇ ( ∇ ⋅ u ) − ∇ × ω )

u ⋅∇u = −∇P −ν∇ × ω (WSL.2.a)

di mana P ≡ p
ρ.

Apabila kita nyatakan


⎧ξ ⎫
⎪ ⎪
ω ≡ ⎨η ⎬ (WSL.2.b)
⎪ ⎪
⎩ζ ⎭
maka dengan mensubtitusikan (WSL.1) ke (WSL.2) didapatkan,

a1 = η1 , b1 = η2 , c1 = P1 ⎪2ν
⎪⎪
a2 = −ξ1 , b2 = −ξ 2 , c2 = P2 (WSL.3)
2ν ⎬

a3 = 0, b3 = 0, c3 = ξ 2 −
(η1
2 ⎪⎭

)
∂η
di mana “subscript” menyatakan turunan parsial di arah tertentu seperti, η1 ≡ ,
∂x1
∂ξ
ξ2 ≡ , dll.
∂x2

lim ⎛ u ⎞
“Wall-streamline” adalah garis–garis yang paralel terhadap vektor ⎜ ⎟ Dengan
x3 → 0 ⎝ x3 ⎠

demikian maka arah dari wall-streamline (streamline di permukaan) dapat ditentukan


dengan menyelesaikan persamaan,
⎛ u2 ⎞
⎛ dx2 ⎞ ⎛ u2 ⎞ ⎜ x3 ⎟ a x +b x N
⎜ ⎟ =⎜ ⎟ =⎜ ⎟ = 2 1 2 2 ≡
⎝ dx1 ⎠WSl ⎝ u1 ⎠ x3 =0 ⎜ u1 ⎟ a1 x1 + b1 x2 D
⎝ x3 ⎠ x3 =0
Lapisan Batas 180

Dari hubungan di atas, terlihat bahwa streamline mempunyai arah yang “well-defined”
apabila N dan D tidak sama dengan nol. Di titik–titik di mana N = 0 = D disebut
u2 u
“critical points” (pada titik–titik ini = 0 = 1 ). Pada titik-titik tersebut arah
x3 x3
streamline menjadi tak menentu atau “indeterminate”. Dari definisi “critical points”
maka jelaslah bahwa titik–titik separasi dan stagnasi adalah “critical points” (di titik
lim u
separasi, = τ wall = 0 ). Sekarang kita akan lihat kemungkinan–kemungkinan
x3 → 0 x3
pola garis aliran atau “streamline pattern” di permukaan di sekitar “critical points”. Di
permukaan benda ( x1 − x2 plane ) ,

⎧ u1 ⎫
⎪ x ⎪ ⎡a b1 ⎤ ⎧ x1 ⎫ ⎛ x1 ⎞
⎪ 3⎪ 1
⎨ ⎬=⎢ ⎥ ⎨ ⎬ ≡ A⋅⎜ ⎟
⎪ u2 ⎪ ⎣ a2 b2 ⎦ ⎩ x2 ⎭ ⎝ x2 ⎠
⎪⎩ x3 ⎪⎭

Karena u1 = x1 dan u2 = x2 maka persamaan di atas adalah,

⎧ x1 ⎫
⎪ x ⎪ ⎡a b1 ⎤ ⎧ x1 ⎫ ⎧ x1 ⎫
⎪ 3⎪ 1
⎨ ⎬=⎢ ⎥ ⎨ ⎬ = A⋅ ⎨ ⎬ (WSL.4)
⎪ x2 ⎪ ⎣ a2 b2 ⎦ ⎩ x2 ⎭ ⎩ x2 ⎭
⎪⎩ x3 ⎪⎭

Pola dari wall-streamline dapat kita temukan apabila kita dapat menemukan solusi dari
WSL.4).

Dari matematika kita ketahui bahwa apabila det ( A ) ≠ 0 maka eigenvalue dari A ( λ1 , λ2 )

tidak sama dengan nol dan matriks tersebut dapat ‘‘di diagonalkan’’. Dengan kata lain
terdapat matriks T sehingga,

J = T AT di mana J = ⎢λ 1
−1 ⎡ 0 ⎤ ⎡λ 1 1 ⎤
⎥ , atau J = ⎢ ⎥
0 λ 2⎦ 0 λ 1⎦
 ⎣
 ⎣

kasus A kasus B

Kasus A atau Kasus B ditentukan oleh apakah A memiliki 2 atau 1 “linearly

independent eigenvectors”. Dengan adanya T , maka (WSL.4) dapat kita


Lapisan Batas 181

⎧ x1 ⎫ ⎧ u1 ⎫
transformasikan sebagai berikut. Misalkan x = T ⋅ u di mana x ≡ ⎨ ⎬ dan u = ⎨ ⎬
⎩x2⎭ ⎩u 2 ⎭
maka ( WSL.4) menjadi :
1 1
x = A ⋅ x ⇒ T ⋅ u = A ⋅ (T ⋅ u ) atau,
x3 x3
1
u = T A ⋅ (T ⋅ u ) = T AT ⋅ u = J ⋅ u
−1 −1

x3

Dengan demikian maka persamaan yang harus diselesaikan menjadi lebih sederhana
yaitu,
u1 u2
= λ1u1 , = λ2u2 (Kasus A )
x3 x3
atau,
u1 u2
= λ1u1 + u2 , = λ1u2 (Kasus B ).
x3 x3
Dengan demikian maka pola dari wall-streamline di “bidang u1-u2” ditentukan oleh,
⎛ u2 ⎞
⎛ d u 2 ⎞ ⎜ x3 ⎟ λ2 u2
⎜ d ⎟ = ⎜ u ⎟= ( Kasus A )
⎝ u1 ⎠ ⎜ 1 ⎟ λ1 u1
⎝ x3 ⎠
⎛ u2 ⎞
⎛ d u 2 ⎞ ⎜ x3 ⎟ λ1u2 1
⎜ d ⎟ = ⎜ u ⎟ = λu +u = u ( Kasus B )
⎝ u1 ⎠ ⎜ 1 ⎟ 1 1 2 1 + 1
⎝ x3 ⎠ u2 λ1

Kasus A :
⎛ du ⎞ u
Solusi dari ⎜ 2 ⎟ = κ 2 adalah
⎝ d u1 ⎠ u1
κ
u2 = c u1 *

atau u2 = 0 apabila u = 0 di mana κ ≡ λ 2 dan c adalah konstan integrasi.


1
λ 1

a) λ dan λ ∈ R (λ1, λ2 adalah bilangan riil )


1 2

Untuk kasus ini maka apabila,


Lapisan Batas 182

κ>1:

κ =1:

1 1 1
0<κ<1: u1 = u2 κ
di mana > 0 . Jadi streamline untuk kasus ini sama dengan
c κ
kasus κ>1 dengan axis yang dibalik .
c
κ < 0: u1 = κ
u1

b) λ 1 & λ2 ∈ C (λ1 dan λ2 adalah bilangan komplek)

Untuk kasus ini λ2 = λ 1 . Apabila λ1 ≡ α + i β maka,


u1 u2
= (α + i β ) u1 , = (α − i β ) u 2 (WSL.5)
x3 x3
Sekarang kita definisikan ,

v ≡ (1 + i ) u + (1 − i ) u
1 1 2

v ≡ (1 − i ) u + (1 + i ) u
2 1 2
Lapisan Batas 183

Dengan definisi ini maka ( WSL.5 ) menjadi,


v1 = α v1 − β v2
x3
v2 = β v1 + α v2
x3
Dari dua persamaan terakhir,
⎛ α ⎞
β ⎜v + v
dv ⎝ 1 β 2 ⎟⎠
v +κv2
2
= = 1
dv ⎛α ⎞ κv −v
1 β ⎜ v −v ⎟ 1 2
⎝β 1 2

α
di mana κ ≡ . Sekarang kita tuliskan v1 dan v2 dengan menggunakan (r,θ)
β
koordinat.
v 1 = r cos θ dan v2 = r sin θ
Apabila kita cari v1 dan v2 maka,
v v
v = r 1 − θv dan v2 = r 2 + θv1
1 r 2 r
Dengan demikian maka,
⎛ 1 dr ⎞
v1 + ⎜ ⎟ v2
v1 + κ v 2dv2 ⎝ r dθ ⎠
= =
κv −v dv1 ⎛ 1 dr ⎞
1 2 ⎜ ⎟ v1 − v2
⎝ r dθ ⎠
Dari persamaan di atas maka jelaslah bahwa,
1 dr
=κ atau r = ceiθκ (WSL.6 )
r dθ

κ = 0: r = c atau lingkaran dengan radius c.


Lapisan Batas 184

κ ≠ 0: (WSL.6) adalah persamaan untuk “spiral”:

Kasus B
Untuk kasus ini λ ∈ R . Solusi dari persamaan,
1

⎛ du ⎞ 1 u 1
⎜ 1 ⎟ = + 1 adalah u = cu + u ln c * u . Apabila kita gambarkan streamline
⎜ d u ⎟ λ1 u2 1 2
λ1 2 2
⎝ 2⎠
di u1-u2 plane maka bentuknya seperti,

Apabila pola-pola dibidang u1-u2 atau bidang v1-v2 ini kita transformasikan lagi ke
bidang x1-x2 lagi maka pola dibidang x1-x2 akan serupa dengan pola di bidang u1-u2.
Satu-satunya perbedaan adalah untuk “saddle point” misalnya, perbedaan di kedua
bidang tersebut adalah seperti di sketsa di bawah ini.
Lapisan Batas 185

Jadi dapat disimpulkan bahwa solusi dari (WSL.4) di sekitar “critical point”, yang
memberikan kita “wall-streamline pattern” di sekitar critical point ini, dapat berbentuk
node, focus, sadlle point, centre. Bentuk-bentuk yang didapatkan tergantung dari harga
λ1- λ2. Dari matematika harga λ1- λ2 dapat dihubungkan dengan matriks A karena,

1 ⎧⎪
( )
1
⎫⎪
λ1,2 = − ⎨tr ( A ) ± ⎡⎣tr ( A ) ⎤⎦ − 4 det ( A )
2 2
⎬ (WSL)
2⎪ ⎪⎭

di mana tr adalah “trace” dari A ”.

Sekarang hasil-hasil yang kita dapatkan dari matematika tadi dapat kita simpulkan di
dalam diagram di bawah ini,

Jadi apabila kita ketahui harga-harga dari komponen-komponen matriks A disekitar

sebuah “critical point” maka pola dari wall-streamline di sekitar titik tersebut dapat kita
ketahui dari diagram di atas.

Dalam menginterprestasikan hasil dari “surface flow visualization”, apabila kita melihat
pola-pola seperti dalam diagram di atas maka kita dapat simpulkan bahwa titik di sekitar
pola tersebut adalah “critical point”. Kita tinggal tentukan apakah “critical point”
tersebut adalah titik stagnasi atau separasi.
Lapisan Batas 186

4.9.1 Struktur-Struktur di Sekitar Critical Points

Di subbagian ini, kita akan lihat beberapa contoh dari penggunaan apa yang kita pelajari
di subbagian sebelah. Khususnya kita akan pelajari struktur-struktur di sekitar titik
separasi.
Separasi 2-D
Sebagai contoh pertama, kita akan melihat
separasi yang terjadi di aliran 2-D (“plane
flow”). Di sebelah, telah digambarkan apa
yang terjadi di sekitar titik separasi
menurut “teori lapisan batas” (gambar B)
dan “Navier Stokes” (gambar A). Menurut
teori lapisan batas, aliran di dekat permukaan secara tiba-tiba dibelokkan ke arah x3.
Namun, perlu diingatkan di sini bahwa teori lapisan batas adalah aproksimasi dari
persamaan Navier-Stokes. Jadi kejadian yang sebenarnya tentunya dijelaskan oleh
solusi dari persamaan Navier-Stokes”. Di subbagian sebelah kita telah dapatkan “solusi
local” persamaan Navier-Stokes di sekitar “critical point” (WSL.1). Sekarang kita akan
gunakan solusi tersebut untuk menentukan sudut θ dalam gambar A.

Karena kasus ini adalah kasus 2-D, maka


η = 0, P1 = 0, ξ1 = 0
Dengan demikian (WSL.1) menjadi,
⎧ u2 ⎫ ⎡ P2 ⎤
⎪⎪ x ⎪⎪ ⎢− ξ 2
2ν ⎥ ⎧ x2 ⎫
⎨u ⎬ = ⎢
3
ξ 2 ⎥ ⎨⎩ x3 ⎬⎭
⎪ 3⎪ ⎢ 0 ⎥
⎪⎩ x3 ⎪⎭ ⎣ 2⎦

Slope dari “separation streamline” (s) atau θ dapat kita dapatkan dengan mengambil,

⎛ u3 ⎞ ⎛ ξ2 ⎞ ⎛ ξ 2 ⎞ x3
⎜ x ⎟ ⎜ ⎟ x3 ⎜ ⎟
⎛ dx3 ⎞ ⎛u ⎞ ⎝ 2⎠ ⎝ 2 ⎠ x2
⎜⎜ ⎟⎟ = ⎜⎜ 3 ⎟⎟ =⎜ 3
⎟ = =
⎝ dx 2 ⎠ SL ⎝ u 2 ⎠ x1 =0 ⎜⎜ u 2 ⎟⎟ P2
x3 − ξ 2 x 2
P2 x3
− ξ2
⎝ x 3 ⎠ x1 = 0 2ν 2ν x 2
Lapisan Batas 187

⎛ dx ⎞ x
karena di x1 = 0 , ⎜⎜ 3 ⎟⎟ ≈ 3 = tan θ maka persamaan di atas menjadi,
⎝ dx2 ⎠ SL x2

⎛ ξ2 ⎞
⎜ ⎟
⎝2⎠ 3νξ 2
tan θ = atau tan θ =
P2 ξ P2
− 2
2ν tan θ

Dengan demikian apabila kita mempunya solusi dari lapisan batas maka ξ2 & P2 dapat
ditentukan sehingga kita dapat tentukan θ. Informasi tentang θ adalah sangat penting
karena θ adalah slope dari “separation streamline”. “Separation streamline” adalah
streamline yang memisahkan antara aliran rotasional (di antara streamline tersebut
dengan permukaaan) dengan aliran irrotasional (di atas streamline tersebut). τ wall
sendiri sama dengan nol hanya di “titik separasi” (x1 = xs) dan dari titik inilah
“separation streamline” keluar meninggalkan permukaan membawa fluid element
dengan ω ≠ 0 keluar lapisan batas.

Separasi 3-D

Separasi yang terjadi di permukaan benda umumnya bukan separasi 2-D, seperti yang
dibahas di sebelah, namun separasi 3-D. Untuk mengerti perbedaan antara kedua jenis
separasi ini kita lihat contoh-contoh yang disketsakan di bawah ini :

Dalam kasus di mana terdapat “separation bubble” ini, terdapat dua titik “critical
points”, yaitu titik separasi xS dan titik “attachment” xA. Dalam gambar C, 2 wall-
streamline bertemu di xS untuk membentuk “separation streamline” (s). Streamline s
ini kemudian kembali lagi ke permukaan (di titik xA) kemudian terpecah menjadi dua
Lapisan Batas 188

wall-streamline yang meninggalkan titik xA. Hal yang berbeda terjadi di gambar D.
Dalam gambar ini, streamline yang meninggalkan xS (streamline s1) berbeda dengan
streamline yang menuju xA (streamline s2).

Kasus separasi dan attachment yang disketsakan dalam gambar C adalah kasus separasi
2-D. Gambar D tidak mungkin menggambarkan separasi 2-D karena fluida diantara s1
dan s2 akan terus menerus masuk ke dalam “bubble”. Dalam aliran 2-D ini tidak
mungkin terjadi karena ini akan melanggar kontinuitas. Agar tidak melanggar prinsip
kontinuitas maka, untuk aliran steady, fluida tersebut harus keluar kearah x1. Oleh
karena itu kasus ini adalah kasus 3-D.

Selain perbedaan di atas, terdapat pula perbedaan tentang bagaimana vortisitas di


transportkan kedalam bubble. Untuk kasus 2-D, vortisitas dari lapisan batas hanya
dapat dipindahkan ke dalam “bubble” melalui cara difusi. Sebaliknya untuk kasus
separasi 3-D, vortisitas dapat masuk ke dalam “bubble” melalui konveksi yang terjadi
karena terdapat fluida yang masuk langsung ke dalam bubble (fluida diantara s1 dan s2).
Untuk aliran dengan Re yang tinggi, proses konveksi jauh lebih dominan daripada
proses difusi. Oleh karena itu untuk aliran Re yang tinggi, proses separasi biasanya
diikuti dengan terbentuknya vortex-vortex. Separasi 2-D hanya terlihat dalam kasus-
kasus aliran dengan Re yang relative rendah.

Dalam kasus separasi 2-D terdapat sebuah streamline yaitu “separation streamline”
yang memisahkan antara daerah aliran rotational dengan aliran irrotattional. Dalam
kasus separasi 3-D, kita butuhkan sebuah permukaan untuk memisahkan kedua daerah
ini. Permukaan ini disebut “separation streamsurface”. Apabila dalam kasus separasi
2-D terdapat titik separasi (separation point) maka untuk separasi 3-D terdapat garis
separasi atau “separation line”.

Sekarang kita akan lihat “wall-streamline pattern” yang terdapat di dekat “critical
points” untuk kasus separasi dan attachment seperti dalam contoh diatas. Gambar E
adalah pola disekitar critical point xS. Dari gambar ini terlihat bahwa terdapat “saddle
point” di dekat xS untuk kasus ini.
Lapisan Batas 189

Terlihat pula bahwa, hanya terdapat dua streamline yang mencapai titik xS yaitu s1 dan
s2. Kedua streamline inilah yang kemudian bergabung di xS untuk membentuk
streamline yang meninggalkan permukaan. Wall-Streamline lainnya (selain s1 & s2),
hanya menuju”separation line”. Dari contoh ini maka jelaslah bahwa kita dapat
identifikasikan “separation line” sebagai kurva yang dituju oleh wall-streamline.
Sepanjang “separation line” (kecuali di xS), τwall ≠ 0. Gambar F menunjukkan pola
“wall-streamline” di sekitar critical point xA. Penjelasan untuk gambar ini serupa
dengan penjelasan untuk gambar E namun arah dari tanda panah perlu diubah. Jadi
dalam gambar ini kita dapat identifikasikan “attachment line” sebagai kurva yang
ditinggalkan oleh wall-streamline.

Streamline yang terdapat di separation streamsurface disketsakan di gambar G. Di sini


terlihat bahwa seluruh streamline pada separation stream-surface ini berawal di titik xS
(critical point). Streamline di permukaan ini harus berawal di titik xS karena kita harus
memenuhi prinsip kontinuitas.
Lapisan Batas 190

Selain “saddle point”, dapat pula terlihat “focus” di sekitar critical point. “Focus” di
permukaan benda menunjukkan bahwa terdapat sebuah vortex yang berawal di
permukaan benda tersebut.

Gambar H adalah contoh di mana terdapat dua critical point di permukaan yaitu xS1
(saddle point) dan xS3 (focus). Bentuk dari streamline-streamline di separation
streamsurface juga digambarkan di sebelah kanan. Selain separation streamsurface,
juga terdapat apa yang disebut “open reattachment” (S2). Di permukaan benda, pola
wall-streamline untuk reattachment s2 tidak terdapat critical point yang jelas.
Reattachment atau separation yang seperti inilah yang disebut “open reattachment atau
separation.

Anda mungkin juga menyukai