Dinamika Fluida I Dasar Mekanika Fluida
Dinamika Fluida I Dasar Mekanika Fluida
BAB
1
Mekanika Kontinum
1.1 Pendahuluan
Tujuan utama dari bab ini adalah menurunkan persamaan-persamaan dasar yang
menjelaskan gerak dari sebuah ‘benda’ solid atau fluida dari prinsip-prinsip dasar fisika.
Dalam ilmu mekanika, gerak sebuah ‘benda kaku (rigid)’ dijelaskan atau diprediksikan
dengan menggunakan hukum Newton ke dua. Berbeda dengan ‘benda rigid’ di mana
tidak terdapat ‘gerakan relatif’ di antara bagian-bagian dari benda tersebut, ‘benda’ yang
akan dipelajari ini terdiri dari bagian-bagian yang dapat bergerak secara relatif.
Di bawah ini adalah beberapa cara yang mungkin dipakai untuk mendapatkan
persamaan-persamaan yang menjelaskan gerak di ‘benda’ tersebut :
1. Dinamika molekuler (Molecular Dynamics):
Dalam metoda ini ‘benda’ dianggap terdiri dari molekul-molekul yang gerakannya
diatur oleh hukum Newton kedua. Metoda ini adalah metoda yang paling tepat
Mekanika Kontinum 3
untuk digunakan karena setiap benda terdiri dari molekul-molekul. Namun, metoda
ini sulit diterapkan karena alasan-alasan sebagai berikut
d 2 xi
Fi = mi
dt
•
x i (t o ), x i (t o ) kondisi awal
2. Mekanika Statistik :
Metoda ini menggunakan prinsip-prinsip statistik dan teori kemungkinan untuk
mengatasi persoalan banyaknya kondisi awal yang perlu diketahui, seperti yang
dijelaskan di atas. Dalam metoda ini sifat-sifat ‘benda’ dijelaskan dengan
menggunakan f: ‘statistical distribution function’ yang didefinisikan sebagai berikut.
f = f ( x1 ,..., x n ; P1 ,..., Pn ; t ) Pi : momentum i
Nilai-nilai seperti n dan v ≡ u adalah nilai makroskopik atau nilai yang dapat diukur
secara langsung. Persamaan-persamaan makroskopik didapatkan dari persamaan
Louiville (mengambil ‘moment’ dari persamaan diatas) yaitu dengan mengalikan
persamaan Liouiville dengan vn (n = 0, 1, 2) kemudian mengintegrasikan hasilnya.
Namun, karena f merupakan fungsi dari seluruh molekul yang ada dalam sistem,
persamaan yang didapat sangatlah kompleks dan sulit untuk diintegrasikan.
Namun, untuk kasus ‘low density gas’ di mana interaksi antara molekul-molekul
dapat diabaikan sehingga f = f ( x, v) (f hanya fungsi dari koordinat dan kecepatan
dari sebuah molekul), persamaan yang didapat menjadi lebih sederhana. Persamaan
yang didapat disebut ‘persamaan Boltzmann’. Namun, sekali lagi persamaan ini
hanya dapat diterapkan untuk kasus ‘low density gas’.
Yang dimaksud dengan kontinyu disini adalah benda tersebut merupakan suatu
kesatuan apabila dilihat secara makroskopik. Contohnya adalah sebuah papan tulis
atau sekumpulan gas. Kita ketahui bahwa papan tulis yang dibuat dari kayu,
misalnya, terbentuk dari kumpulan molekul-molekul yang terpisah-pisah (diskrit).
Namun, mata kita tidak melihat kenyataan tersebut. Apa yang kita lihat adalah
suatu kesatuan yang kontinyu. Demikian pula dengan sekumpulan gas. Gas
tentunya terdiri dari molekul-molekul yang terpisah-pisah, namun kita tidak
merasakan hal tersebut. Udara yang sekarang ada disekitar kita, misalnya, “terasa”
Mekanika Kontinum 5
seperti sesuatu yang kontinyu. Dengan kata lain kita tidak merasakan benturan-
benturan setiap molekul secara terpisah-pisah.
Model continuum tidak dapat diterapkan apabila ukuran dari bagian ‘benda’ yang
dipelajari hampir sama dengan dimensi karakteristik dari molekul-molekul ‘benda’
tersebut. Dimensi karakteristik yang biasa dipakai dalam gas adalah ‘mean free
path’ (Λ ) . Λ adalah jarak rata-rata yang dilalui sebuah molekul sebelum
1
bertumbukan dengan molekul lainya. Λ ≈ . Jika tekanan gas sangat rendah,
ρ
seperti di atmosfer bagian atas, Λ dapat saja sebanding dengan gas yang dipelajari
dan model kontinum tidak dapat digunakan.
1.2 Kinematika
Seperti dijelaskan di atas, model kontinum mengangap ‘benda’ sebagai sesuatu yang
kontinyu. Benda kontinum biasanya dianggap terdiri dari bagian-bagian yang disebut
‘material element’. Ukuran elemen-elemen ini sangat kecil, dari sudut pandang
makroskopik, tetapi didalamnya terdapat banyak sekali molekul sehingga walaupun
kecil elemen-elemen tersebut adalah sebuah kontinum.
Asumsi kontinum menganggap setiap titik dalam ruang yang dipelajari diduduki oleh
‘benda tersebut’. Sehingga terdapat ‘korespondensi satu-satu’ antara ruang dan benda
kontinum. Hal ini memungkinkan kita untuk menjelaskan harga dari sebuah variabel
dengan menggunakan dua sudut pandang yang berbeda. Contohnya misalkan kita
menyatakan kecepatan dari sebuah ‘material element’. Yang mempunyai kecepatan itu
adalah ‘material element’ tersebut. Tetapi karena setiap titik dalam ruang diduduki oleh
bagian dari benda kontinum, kita dapat meyatakan bahwa kecepatan dari ‘material
element’ tersebut adalah kecepatan pada sebuah titik dalam ruang yang diduduki oleh
‘materal element’ pada saat itu.
Hukum-hukum dasar fisika (seperti hukum Newton II) dituliskan untuk sebuah partikel
atau benda rigid yang seluruh elemen dari benda tersebut bergerak dengan kecepatan
Mekanika Kontinum 6
yang sama. Benda continuum yang akan kita pelajari adalah benda yang elemen-
elemennya atau bagian-bagiannya dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda (ada
gerakan relatif antarelemen-elemen di benda continuum). Oleh karena itu, kita harus
lebih berhati-hati dalam menerapkan persamaan-persamaan dasar fisika untuk benda
kontinum yang akan kita pelajari. Misalnya kita harus mengetahui apa artinya turunan
d
waktu ( ) dari sebuah benda yang bagian-bagiannya dapat bergerak dengan kecepatan
dt
yang berbeda. Hal-hal seperti itulah yang akan dibahas dalam bagian ini.
Karena adanya ‘korespondensi satu-satu’ antara benda kontinum dan ruang, maka gerak
benda kontinum dapat dijelaskan sebagai berikut :
Benda kontinum, kita bayangkan, terdiri dari bagian-bagian kecil yang kita sebut
‘material element’. Material element ini kita beri label ζ. Karena adanya
korespondensi satu-satu maka ada ‘mapping’ χ yang menghubungkan setiap ‘material
element’ ζ dengan setiap titik x dalam ruang. Sehingga dapat kita nyatakan :
x = χ (ζ ) dan ζ = χ −1 ( x)
Artinya : titik x dalam ruang adalah titik yang diduduki oleh partikel ζ dan ζ adalah
material element yang berada di titik x dalam ruang.
Apabila kita perkenalkan sebuah sistem koordinat seperti di atas maka kita dapat
tuliskan persamaan di atas sebagai berikut :
x = χ (ζ ) , ζ = χ −1 ( x)
Mekanika Kontinum 7
Artinya : posisi x dalam ruang adalah posisi yang diduduki oleh partikel ζ dan ζ adalah
material element yang berada di posisi x dalam ruang.
hubungan diatas menjelaskan dimana posisi ( x ) dari ξ pada waktu t atau ξ adalah
Posisi awal dari partikel ξ ( ξ ) dapat pula kita gunakan untuk alternatif penulisan
persamaan di atas,
x = χ (ξ , t ) (2.1)
ξ = χ −1 ( x , t ) (2.2)
Persamaan (2.1) menjelaskan deformasi dari sebuah material element yang awalnya
berada di posisi ξ sedang (2.2) adalah menelusuri posisi awal dari material element
adalah gerakan yang kontinyu dan “single valued” (material element tidak
dapat dipecah dan menempati 2 tempat yang berbeda juga 2 material element
berbeda tidak dapat menempati posisi yang sama).
Persamaan (2.1) dan (2.2) menjelaskan 2 sudut pandangan berbeda yang dapat kita
gunakan dalam mempelajari mekanika benda kontinum. Apabila kita gunakan (2.1) kita
mengikuti gerak dari sebuah material element yang kita beri label ξ . Sudut pandang ini
disebut sudut pandang Lagrangian. Sudut pandang seperti inilah yang digunakan
apabila kita menuliskan hukum Newton II untuk sebuah partikel/benda rigid (kita ikuti
gerakan dari partikel/benda rigid tersebut).
Sedangkan (2.2) menjelaskan sesuatu yang sama dengan (2.1) tetapi dengan
menggunakan sudut pandang yang berbeda. Disini kita perhatikan sebuah titik dan
mengamati “material element” yang berada dititik tersebut pada waktu t. Untuk
Mekanika Kontinum 8
mengamati gerakan dari benda kontinum maka kita perlu mengamati seluruh titik dalam
ruang yang pada waktu tertentu diduduki oleh bagian-bagian berbeda dari benda
kontinum. Disini variabel yang independen adalah x dan t. Sudut pandang seperti ini
disebut sudut pandang Eulerian.
Dengan persamaan (2.1) dan (2.2) kita dapat menyatakan harga dari sebuah variabel F
dengan menggunakan 2 sudut pandang yang berbeda;
F(x,t) = F[x(ξ ,t)] = F(ξ ,t)
Artinya harga variabel F diposisi x pada waktu t adalah harga F dari partikel yang
Jadi kita dapat menyatakan harga F, yang sebenarnya merupakan sesuatu yang dimiliki
oleh partikel, adalah harga disuatu posisi pada ruang. Ini dimungkinkan karena adanya
korespondensi satu-satu yang merupakan konsekuensi dari asumsi bahwa “benda”
dianggap suatu yang kontinum.
Sekarang kita akan lihat konsekuensi dari kesamaan antara 2 sudut pandang,
Lagrangian dan Eulerian, dalam mengevaluasi turunan waktu dari sebuah kuantitas
F (ξ , t ) . Turunan waktu dari F (ξ , t ) yang diobservasi oleh pengamat yang bergerak
dF ∂ ∂
≡ F (ξ , t ) = F ⎡ x(ξ , t ), t ⎤⎦
dt ∂t ∂t ⎣ ξ kons tan
∂F 3 ∂F ⎛ ∂xi ⎞ ∂F
= +∑ ⎜ ⎟ = + ( u ⋅∇ ) F
∂t i =1 ∂xi ⎝ ∂t ⎠ξ ∂t
⎛ ∂x ⎞
Di mana u = ⎜ ⎟ (perubahan waktu dari koordinat partikel ξ ). Kuantitas F bisa
⎝ ∂t ⎠ ξ
merupakan skalar, vektor, atau tensor dengan orde yang lebih tinggi lainnya. Sekarang
kita akan menuliskan kembali hasil di atas yaitu,
Mekanika Kontinum 9
dF ∂F
= + (u ⋅ ∇ )F (2.3)
dt ∂t
Arti dari suku sebelah kiri telah dijelaskan di atas. Hukum-hukum dasar fisika biasanya
⎛d ⎞
dituliskan dengan menggunakan turunan yang mengikuti benda yang bergerak ⎜ F ⎟ .
⎝ dt ⎠
Karena kita dapat menggunakan sudut pandang lainnya (Eulerian) maka turunan
tersebut yang juga disebut “turunan material” atau “turunan substansial” dapat
dituliskan seperti dalam persamaan (2.3). Suku pertama disebelah kanan berarti
turunan waktu dari F di sebuah titik. Suku inilah mempunyai harga nol dalam kasus
Steady. Suku kedua di sebelah kanan menjelaskan perubahan waktu dari F yang
diakibatkan oleh pergerakan material element di daerah di mana terdapat ∇F .
Di subbagian ini, kita akan mempelajari cara untuk mengevaluasi turunan material dari
integral volume dari sebuah kuantitas F. Ini akan sangat berguna pada waktu kita
membahas dinamika benda kontinum nanti.
Untuk generalitas, kita misalkan volume dapat berubah-ubah (V=V(t)) dan juga
permukaannya bergerak dengan kecepatan v . Jadi permasalahannya adalah
d
dt V∫( t )
F ( x, t ) dV = ?
d
Kita mulai dari definisi :
dt
d lim ⎧⎪ 1 ⎡ ⎤ ⎫⎪
dt V ∫( t ) ∆t → 0 ⎪ ∆t ⎢⎣V ( t∫+ ∆t )
F ( x , t ) dV = ⎨ ⎢ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t ) dV ⎥⎬
⎩ V (t ) ⎥⎦ ⎪⎭
d lim ⎧⎪ 1 ⎡ ⎤ ⎫⎪
dt V ∫( t ) ∆t → 0 ⎪ ∆t ⎢⎣V ( t∫+∆t )
F (t ) dV = ⎨ ⎢ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t + ∆t ) dV + ∫ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t ) dV ⎥⎬
⎩ V (t ) V (t ) V (t ) ⎥⎦ ⎪⎭
Mekanika Kontinum 10
Jadi
d lim 1 ∂F
∫ F (t ) dV =
dt V ( t ) ∆t → 0 ∆t ∫
V ( t + ∆t ) −V ( t )
F (t + ∆t ) dV + ∫
V (t )
∂t
dV
Di mana,
∫ F (t + ∆t ) dV ≡ ∫ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t + ∆t ) dV
V ( t + ∆t ) −V ( t ) V ( t + ∆t ) V (t )
Untuk mengevaluasi integral ini (disebabkan oleh perubahan V), kita perhatikan sketsa
di atas. Gambar pertama adalah volume pada waktu t dan yang kedua pada waktu
(t + ∆t ) . Gambar yang paling kanan adalah kedua volume tersebut apabila kita
tumpukkan volume V(t) “di dalam” volume V (t + ∆t ) . Perbedaan antara kedua volume
tersebut adalah daerah yang bertitik-titik dan harga volume didaerah ini adalah
∫
V ( t + ∆t ) −V ( t )
dV . Untuk mendapatkan volume di daerah ini, kita perhatikan bagian kecil
dari daerah tersebut dan ini digambarkan di bagian bawah dalam sketsa di atas. Dari
sketsa tersebut jelaslah bahwa volume daerah tersebut adalah (v ⋅ nˆ ∆t dS ) . Dengan
demikian maka,
Mekanika Kontinum 11
lim 1 lim
∆t → 0 ∆t ∫ F (t + ∆t ) dV = ∆t → 0 ∫ F (t + ∆t ) v ⋅ nˆ dS = ∫ F (t ) v ⋅ nˆ dS
V ( t + ∆t ) −V ( t ) S (t ) S (t )
d
dV = ∫ (v ⋅ nˆ )dS = ∫ (∇.v )dV
dt V∫( t )
Contoh: F = 1 ⇒
S (t ) V (t )
Di subbagian berikut ini kita akan mempelajari deformasi dari sebuah benda kontinum.
Benda kontinum adalah benda yang tidak rigid. Jadi bagian-bagian dari benda ini dapat
bergerak secara relatif. Gerak relatif ini menyebabkan terjadinya deformasi benda
kontinum. Kita akan mempelajari deformasi dan laju perubahan dari deformasi
tersebut. Ini nantinya akan berguna dalam memahami gerakan benda kontinum dan juga
dalam menentukan persamaan konstitutif yang akan kita bahas nanti.
Untuk mempelajari deformasi kita akan amati 2 atau 3 titik didalam benda kontinum
(point P dan Q atau point P,Q,dan R) sebelum dan sesudah deformasi. Nanti akan
ditunjukkan bahwa perubahan bentuk atau deformasi dijelaskan oleh sebuah matrix C .
Deformasi itu sendiri menyebabkan perubahan panjang dari sebuah segmen dalam
kontinum. Selain itu deformasi juga menyebabkan terjadinya perubahan sudut antara
dua segmen.
Mekanika Kontinum 12
ξ3 , x3 Q: x (ξ + dξ,t)
ε + dε
Q0 dx= dx lˆ
dξ = dξ L̂
ξ + dξ
P: x(ξ,t)
ε
P0
ξ
ξ2 , x2
ξ1 , x1
Untuk mempelajari deformasi benda kontinum, kita perhatikan 2 buah titik P dan Q di
dalam material. Pada Waktu t, titik P berada di posisi x dan Q berada di posisi x + d x .
Sedangkan pada waktu t = 0 (awalnya), titik P berada di posisi ξ, dan Q berada di posisi
ξ + d ξ . Sekarang kita akan mempelajari hubungan antara dx dan dξ, yaitu vektor yang
menghubungkan titik P dan Q pada waktu t dan t = 0. Karena PQ sangat dekat, maka
untuk menentukan posisi Q pada waktu t, maka kita dapat menggunakan ekspansi
Taylor,
∂ x (ξ , t )
x(ξ + d ξ , t ) = x(ξ , t ) +
∂ξ
⋅ dξ + θ ξ( ).
2
Sehingga,
∂ x(ξ , t )
d x = x(ξ + d ξ , t ) − x(ξ , t ) = ⋅ dξ
∂ξ
Mekanika Kontinum 13
∂ x(ξ , t )
Apabila kita definisikan F ≡ , maka
∂ξ
d x = F ⋅ dξ .
−1 ∂ξ
di mana F =
∂x
• Stretch Ratio
Sekarang kita akan lihat bagaimana panjang dari PQ , atau panjang dari sebuah
‘material line’ berubah karena deformasi. Pertama-tama kita tuliskan dx
d x = F ⋅ d ξ = F ⋅ dξ Lˆ ( )
karena d ξ = dξ Lˆ (lihat gambar di atas!). Tetapi d x = dxlˆ sehingga,
dξ
l = F ⋅ Lˆ
dx
Dari persaman di atas dapat dilihat bahwa λ atau rasio dari panjang PQ pada waktu t
dan t = 0, dapat dihitung apabila F diketahui.
Mekanika Kontinum 14
• Perubahan Sudut
R
R
0
dξ’ dy
P Ф
0 ө Q
dξ
P dx
Q0
d ξ ' = dξ ' Mˆ
d y = dy mˆ
titik baru, yaitu titik R. Sudut antara PQ dan R pada waktu t adalah,
dx dy
cos θ = lˆ ⋅ mˆ = ⋅
dx dy
dan d y , karena F adalah fungsi ξ dan t atau harganya tergantung dari titik P. Dengan
demikian maka,
( F ⋅ dξ ) ( F ⋅ dξ ) = ⎛ dξ ⎞ ⋅
'
⎛ dξ ' ⎞
cos θ = lˆ ⋅ mˆ =
dx
⋅
dy
⎜
⎝ dx ⎠
(
⎟ F F ⋅⎜⎜
T
dy
⎟
⎟ )
⎝ ⎠
Lˆ ⋅ F F ⋅ Mˆ
T
⎛ dξ ⎞ ˆ T ˆ ⎛⎜ d ξ ⎞⎟ =
'
=⎜ ⎟ L ⋅ F F ⋅ M
⎝ dx ⎠ ⎝ dy ⎠ λ Lˆ λ Mˆ ( ) ( )
atau
ˆ ˆ
(
cos θ Lˆ , Mˆ = ) λL(Lˆ⋅ C) λ⋅(MMˆ )
Jadi, sama seperti perubahan panjang, perubahan sudut ditentukan oleh F .
Mekanika Kontinum 15
d d ⎛ ∂ x(ξ , t ) ⎞⎟ ∂ ⎛ dx ⎞ ∂u ∂u ( x, t ) ∂u ∂ x
F= ⎜ = ⎜ ⎟= = =
dt dt ⎜⎝ ∂ξ ⎟⎠ ∂ξ ⎝ dt ⎠ ∂ξ ∂ξ ∂ x ∂ξ
d
F = ∇u F
dt
⎛ dx ⎞
• Rate Dari Perubahan Panjang ⎜ ⎟
⎝ dt ⎠
d
dt dt
dF
dt
(
(d x ) = d (F ⋅ d ξ ) = ⋅ d ξ = ∇u F ⋅ d ξ )
Namun, karena d x = dxlˆ , maka,
(d x ) = d (dx ) lˆ + dx dl
d ˆ
dt dt dt
sehingga,
d (dx ) ˆ dlˆ
l + dx = (∇u F ) ⋅ d ξ (D.B. 1)
dt dt
d (dx )
Sekarang kita cari , dan ini kita dapatkan dengan mengambil dot product
dt
persamaan di atas,
d (dx ) dlˆ
+ dx ⋅ lˆ = lˆ ⋅ (∇u F ) ⋅ d ξ = lˆ ⋅ ∇u ⋅ d x = lˆ ⋅ ∇u ⋅ lˆdx
dt dt
karena lˆ ⋅ lˆ = 1 maka
dt
( )
d ˆ ˆ dlˆ dlˆ
l ⋅ l = 2lˆ = 0 atau lˆ = 0
dt dt
Jadi,
1 d (dx ) ˆ
= l ⋅ ∇u ⋅ lˆ
dx dt
Mekanika Kontinum 16
Dari persamaan di atas, kita lihat bahwa ‘rate’ dari perubahan panjang PQ tergantung
dari harga ∇u . Oleh karena itu, mari kita lihat ∇u secara lebih mendalam. Pertama-
tama ∇u dapat kita tuliskan sebagai berikut,
∇u =
1
( 1
) (
∇u + (∇u ) + ∇u − (∇u )
2
T
2
T
)
D Ω
Dari bentuknya, dapat dilihat bahwa matriks D adalah matriks yang simetrik dan Ω
(
2d x ⋅ Ω ⋅ d x = d x ⋅ ∇u − (∇u ) ⋅ d x
T
)
= d x ⋅ ∇u ⋅ d x − d x ⋅ (∇u ) ⋅ d x
T
=0
lˆ ⋅ Ω ⋅ lˆ = 0 .
⎛ dθ ⎞
• Rate Dari Perubahan Sudut ⎜ ⎟
⎝ dt ⎠
Untuk melihat ‘rate’ dari perubahan sudut, kita ambil turunan material dari
cos θ = lˆ ⋅ mˆ .
d dθ ⎛d ⎞ ⎛d ⎞
cos θ = − sin θ = ⎜ lˆ ⎟ ⋅ mˆ + lˆ ⋅ ⎜ mˆ ⎟
dt dt ⎝ dt ⎠ ⎝ dt ⎠
d ˆ
sin θ = lˆ × mˆ dan l dapat ditemukan dengan mengambil dot product persamaan
dt
d ˆ
(DB.1) dengan l . Hasilnya adalah,
dt
Mekanika Kontinum 17
dlˆ
dt
{ ( )}
= ∇u ⋅ lˆ − lˆ ⋅ ∇u ⋅ lˆ lˆ
dθ
dt
=
−1 ˆ
ˆl × mˆ
[{ ( ) }( )
l ⋅ D ⋅ lˆ + mˆ ⋅ (D ⋅ mˆ ) lˆ ⋅ mˆ − 2lˆ ⋅ D ⋅ mˆ ]
dx dθ
Jadi, sama seperti , juga bergantung dari D . Sehingga dapat disimpulkan
dt dt
bahwa kontribusi D di dalam ∇u adalah dalam perubahan panjang dan sudut. Jadi, D
menjelaskan gerakan relatif dari bagian-bagian benda yang membuat benda menjadi
tidak rigid.
Contoh :
dx 1 d
1. PQ // ê1 sehingga = eˆ1 = lˆ . Jadi (dx ) = D11
dx dx dt
* Dii adalah perubahan waktu dari strain yang paralel dengan ê1
dθ
= −2D21
dt
1
* D21 adalah dari perubahan waktu dari sudut antara 2 segmen yang tadinya //
2
dengan ê1 dan ê2 axis.
• Rate of Rotation (Ω )
Kita telah buktikan sebelumnya, bahwa apabila kita dekomposisikan tensor ∇u menjadi
∇u = D + Ω , maka D menjelaskan bagaimana panjang sebuah segmen dan sudut
antara 2 buah segmen berubah. Sekarang kita akan lihat kontribusi dari Ω ,
Mekanika Kontinum 18
⎡ ⎛ ∂u1 ∂u 2 ⎞ ⎛ ∂u1 ∂u 3 ⎞ ⎤
⎢ 0 ⎜⎜ − ⎟⎟ ⎜⎜ − ⎟⎟ ⎥
⎢ ⎝ ∂x 2 ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x3 ∂x1 ⎠ ⎥
1 ⎢⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎛ ∂u 2 ∂u 3 ⎞⎥
Ω = ⎢⎜⎜ 2 − 1 ⎟⎟ 0 ⎜⎜ − ⎟⎟⎥
2 ⎢⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ⎝ ∂x3 ∂x 2 ⎠⎥
⎢⎛ ∂u 3 ∂u1 ⎞ ⎛ ∂u 3 ∂u 2 ⎞ ⎥
⎢⎜⎜ − ⎟⎟ ⎜⎜ − ⎟⎟ 0 ⎥
⎢⎣⎝ ∂x1 ∂x3 ⎠ ⎝ ∂x 2 ∂x3 ⎠ ⎥⎦
⎛ ∂u 3 ∂u 2 ⎞ ⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎛ ∂u ∂u ⎞
ω = ⎜⎜ − ⎟⎟ eˆ1 + ⎜⎜ 1 − 3 ⎟⎟ eˆ2 + ⎜⎜ 2 − 1 ⎟⎟ eˆ3
⎝ ∂x 2 ∂x3 ⎠ ⎝ ∂x3 ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠
definisikan tensor ∈ijk maka seperti di bawah ini, maka kita dapatkan,
1
Ω ij = − ∈ijk ω k
2
di mana
⎧ 0, (i = j , j = k , k = i )
⎪
∈ijk = ⎨ 1, (123 , 312 , 231) atau cyclic .
⎪− 1, (tidak cyclic)
⎩
sehingga,
(a ) 1 ⎛1 ⎞
du ≡ Ω ⋅ d x = − d x ×ω = ⎜ ω ⎟× d x .
2 ⎝2 ⎠
(a )
Di mana d u adalah salah satu suku dari,
(s ) (a )
d u = ∇u ⋅ d x = D ⋅ d x + Ω ⋅ d x ≡ d u + du
Mekanika Kontinum 19
Dalam mekanika partikel, hubungan antara kecepatan partikel Q (u Q ) yang diamati dari
Jadi, du(α) adalah kecepatan relatif terhadap sebuah titik di mana ada "rigid body
Kesimpulan tentang ∇u :
Dengan mendekomposisikan ∇u menjadi D & Ω kita dapat melihat bahwa ∇u
menjelaskan bagaimana benda kontinum (benda yang tidak rigid) bergerak. Bagian-
bagian dari benda kontinum dapat bergerak secara relatif (sudut antara 2 segmen dapat
berubah, panjang antar segmen dapat berubah) dan gerakan relatif ini dijelaskan oleh D.
Selain itu benda kontinum dapat juga berotasi seperti benda rigid. Rotasi ini dijelaskan
oleh Ω . Lebih tepatnya Ω menjelaskan perubahan waktu dari rotasi tersebut
(kecepatan angular).
• Strain Tensor
Seringkali dalam engineering, deformasi benda dijelaskan dengan menggunakan apa
yang disebut dengan “Strain Tensor”. Untuk itu kita perhatikan hal-hal berikut ini.
Pertama-tama perhatikanlah selisih antara panjang awal dan akhir yang dinyatakan
sebagai,
ds 2 − dS 2 = d x ⋅ d x − d ξ ⋅ d ξ = ( F ⋅ d ξ ) ⋅ ( F ⋅ d ξ ) − d ξ ⋅ d ξ = d ξ ⋅ ( F F − I ) ⋅ d ξ
T
atau
−1 −1 −1 −1
ds 2 − dS 2 = d x ⋅ d x − d ξ ⋅ d ξ = d x ⋅ d x − ( F ⋅ d x) ⋅ ( F ⋅ d x) = d x ⋅ ( I − ( F )T F ) ⋅ d x
Dari definisinya terlihat bahwa Green strain tensor adalah tensor yang berbanding
terbalik dengan panjang pada konfigurasi awal (dS), sedangkan Almansi strain tensor
berbanding terbalik dengan panjang pada konfigurasi saat itu (ds).
Definisi-definisi diatas dapat pula dituliskan dengan menggunakan vektor perpindahan ε
(lihat sketsa pada awal sub bagian ini) dimana,
d x = dε + dξ
sehingga,
∂ε −1 ∂ε
dx = ⋅ d x + F ⋅ d x atau d x = F ⋅ d ξ = ⋅ dξ + dξ
∂x ∂ξ
Dari definisinya terlihat bahwa kedua tensor diatas adalah tensor orde 2 yang simetris.
Karena kedua tensor tersebut adaah fungsi dari F maka kedua strain tensor tersebut
menjelaskan deformasi dari benda kontinuum. Kedua strain tensor diatas sering
digunakan didalam mekanika solid.
Banyak kasus dalam engineering dimana gradien dari vektor perpindahan amatlah kecil
∂ε ∂ε
( << 1 atau << 1 ). Kasus-kasus seperti ini dikenal dengan sebutan kasus small
∂ξ ∂x
strain dan untuk kasus ini suku-suku terakhir yang terdapat Green dan Almansi strain
tensor dapat diabaikan. Untuk kasus ini,
T T
1 ∂ε ⎛⎜ ∂ε ⎞⎟ 1 ∂ε ⎛ ∂ε ⎞
Σ= ( + ) dan ε = ( + ⎜ ⎟ )
2 ∂ξ ⎜⎝ ∂ξ ⎟⎠ 2 ∂ x ⎜⎝ ∂ x ⎟⎠
Mekanika Kontinum 21
Lebih jauh, apabila deformasi sangatlah kecil maka kita dapat gunakan approximasi,
Σ≈ε
Jadi turunan waktu dari Almansi Strain tensor pada kasus small strain adalah tensor D
Dalam mempelajari mekanika sebuah benda, kita harus memilih sebuah rangka acuan di
mana hukum-hukum mekanika yang dituliskan relatif terhadap rangka acuan tersebut
mempunyai bentuk yang paling sederhana. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari
hubungan umum antara rangka acuan satu dengan lainnya. Inilah yang akan menjadi
topik dalam subbagian ini.
Mekanika Kontinum 22
Hubungan yang pertama-tama kita akan pelajari adalah antara rangka acuan yang diam
(x1,x2,x3) dan yang berputar dengan kecepatan angular Ω (x1`,x2`,x3`). Misalnya kita
akan mempelajari gerakan dari partikel Q. Lebih spesifiknya kecepatan dari partikel Q.
Apabila unit vektor untuk rangka acuan (x1`,x2`,x3`) adalah (ê1, ê2, ê3) dan untuk rangka
acuan (x1,x2,x3) adalah (Ê1, Ê2, Ê3) maka posisi Q adalah :
xQ = x1Ê1 + x2Ê2 + x3Ê3 = x1’ ê1 + x2’ ê2 + x3’ ê3
Karena (x1’,x2’,x3’) berputar maka êi = ê(t) sehingga :
d xQ dx1 ˆ dx 2 ˆ dx dx ' dx ' dx ' deˆ deˆ deˆ
= E1 + E 2 + 3 Eˆ 3 = 1 eˆ1 + 2 eˆ2 + 3 eˆ3 + x1' 1 + x 2' 2 + x3' 3
dt dt
dt dx
dt dt dt
dt dt dt
kecepatan Q dilihat dari kecepatan Q dilihat dari
( x 1 , x 2 , x3 ) ( x 1 , x 2 , x3 )
Arti dari suku-suku dalam persamaan di atas, kecuali 3 suku terakhir, telah dituliskan.
Sekarang bagaimana dengan 3 suku terakhir? Untuk itu kita lihat hubungan antara ê1(t)
& ê1(t+∆t).
deˆ1
tan dθ ≈ dθ =
eˆ1 (t )
deˆ1 dθ
deˆ1 = eˆ1 (t ) dθ sehingga = eˆ1
dt dt
Karena arah dθ berlawanan dengan arah jarum jam, maka:
deˆ1 dθ
= Ω × eˆ1 dimana Ω ≡
dt dt
deˆ 2 deˆ1
Hubungan serupa juga berlaku untuk , sehingga :
dt dt
Mekanika Kontinum 23
deˆi
= Ω × eˆi , i = 1, 2, 3
dt
Dengan demikian maka:
( )
d xQ ′ ′ ′
= V QI = V QII + Ω × x1 eˆ1 + x2 eˆ2 + x3 eˆ3
dt
atau
d
xQ = V QI = V QII + Ω× xQII
dt
di mana:
V QI : Kecepatan Q relatif terhadap rangka acuan yang diam.
Dalam penurunan di atas, kita pilih sebuah vektor (XQ) yang menunjukkan posisi dari
titik Q. Namun, formula ini juga berlaku untuk sembarang vektor A yang merupakan
fungsi waktu. Sehingga hubungan antara turunan waktu A yang diamati dengan
menggunakan rangka acuan I & II adalah :
d ⎛d ⎞ ⎛d ⎞
A = ⎜ A⎟ = ⎜ A⎟ + Ω × A II (FR.1)
dt ⎝ dt ⎠ I ⎝ dt ⎠ II
Sekarang kita beralih ke rangka acuan yang lebih umum. Misalnya rangka I diam dan
rangka II bergerak & berputar relatif terhadap rangka I. Kita lihat posisi titik Q dilihat
dari kedua rangka acuan tersebut.
Mekanika Kontinum 24
XI = X0 + XII di mana
XI : Posisi Q dilihat dari I
X0 : Posisi origin rangka II dilihat dari I.
XII : Posisi Q dilihat dari II
Untuk melihat kecepatan, kita ambil turunan waktu dari vektor-vektor di atas :
d d d
x I = x 0 + x II
dt dt dt
d
XII adalah perubahan waktu dari vektor yang dilihat dari rangka acuan II, yaitu
dt
rangka acuan yang berputar. Dengan demikian maka menurut (FR.1),
d
x II = V QII + Ω × x QII
dt
sehingga:
V Q = V o + V QII + Ω× xQII (FR.2)
I
Terakhir kita akan lihat hubungan antara akselerasi titik Q yang diamati dari rangka I &
II. Kita ambil turunan waktu dari (FR.2) maka,
d d d d d
V QI = V 0 + V QII + Ω × x QII + Ω × xQII
dt dt dt dt dt
d d
V QII & x Q adalah turunan waktu vektor-vektor yang relatif terhadap II, maka :
dt dt II
d d
V Q ≡ a QII + Ω × V QII dan x Q = V QII + Ω × xQII
dt II dt II
sehingga,
× x + 2Ω × V + Ω × (Ω × x )
a QI = a o + a QII + Ω (FR.3)
QII QII QII
dimana,
Mekanika Kontinum 25
• Frame Indifference
Dua rangka acuan dinyatakan sebagai dua rangka yang “frame indifference” apabila
para pengamat yang berada dikedua rangka acuan tersebut setuju tentang:
1. jarak antara dua titik sembarang
2. orientasi
3. waktu antara dua kejadian
4. tahapan dari dua kejadian
Hubungan antara dua rangka acuan (vektor yang diamati dari rangka acuan I diberi
simbol dengan superscript * sedangkan ragka acuan II tanpa superscript) yang
memenuhi syarat-syarat di atas adalah:
*
x = c(t) + Q(t) ⋅ x , t * = t-a (FI)
−1 T
Q =Q
Hubungan antara t dan t* jelas memenuhi syarat 3 dan 4. Sekarang kita akan buktikan
bahwa hubungan antara x dan x* memenuhi syarat 1 dan 2. Misalkan terdapat dua titik
yang posisinya,
* *
x = c(t) + Q ⋅ x dan y = c(t) + Q ⋅ y
sehingga
*
x −y
* 2
[ ][ ] T
= Q ⋅( x − y ) ⋅ Q ⋅( x − y ) = ( x − y)⋅ Q Q ⋅( x − y)
Mekanika Kontinum 26
T -1 T
Karena Q = Q maka Q Q = I dan
* * 2 2
x −y = x− y
Sehingga jarak antara dua titik tersebut adalah sama di dua rangka acuan tersebut.
Demikian pula orientasi dari vektor yang menghubungkan kedua titik tesebut.
Sekarang kita lihat bagaimana hubungan antara dua buah skalar, vektor dan tensor orde
2 yang memenuhi syarat-syarat di atas.
1. Frame indifferent skalar.
Apabila sebuah skalar, b, adalah frame indifferent maka harganya tidak berubah
apabila b diamati dari dua rangka acuan yang berbeda.
b* = b
Tentunya, ini berlaku untuk setiap skalar karena harga dari sebuah skalar tidak
bergantung dari rangka acuan.
2. Frame indifferent vektor, dx.
Ini telah kita lihat dalam pembuktian di atas. Sebuah vektor yang menghubungkan
dua titik adalah frame indifferent apabila,
*
V = Q ⋅V
Transformasi di atas juga memastikan arah dari V tidak berubah dengan adanya
transformasi (F.I). Ini dapat dilihat di bawah
∗
V = Vi ∗ eˆi∗ , V = Vi eˆi
∗ T
V ⋅ eˆi∗ = ( Q ⋅ V ) ⋅ ( Q ⋅ eˆi ) = V ⋅ Q Q ⋅ eˆi = V ⋅ eˆi
Q ⋅ (T ⋅ W ) = T ⋅ Q ⋅ W
∗
( ) ⎯⎯
→ Q ⋅T = T ⋅ Q
∗
∗
Sama seperti vektor, komponen T di rangka acuan (*) sama dengan komponen T
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa, prinsip frame indifferent memastikan
bahwa harga dari sebuah kuantitas tidak bergantung dengan kecepatan atau gerakan
pengamat. Tidak semua vektor atau tensor memenuhi persyaratan untuk sebuah vektor
atau tensor yang frame indiferent. Berikut ini adalah contoh-contoh dari vektor dan
tensor yang tidak frame indifferent.
*
Contoh: x = c(t) + Q(t) ⋅ x
d ∗
x = c + Q ⋅ x + Q ⋅ u → u tidak frame indifferent
∗
1. u =
dt
2. F =
∗ ∂ ∗
∂ξ
x =
∂
∂ξ
(
c(t) + Q ⋅ x =
∂
∂ξ
) ( )
Q ⋅ x = Q ⋅ F → F tidak frame indifferent
∗ d ∂ x ∂u
F = Q F + Q F , F = = ∇ u F → ∇u = F F
−1
=
dt ∂ ξ ∂ ξ
Mekanika Kontinum 28
(∇u )∗ = (F F −1 ) ( )
∗ ∗ ∗
= F F = ( Q F + Q F )( Q F ) −1
−1
3.
= Q F F Q + Q F F Q = Q Q + Q ∇u Q
−1 T −1 T T T
1.3 Dinamika
Dalam bab ini kita akan mulai mempelajari dinamika dari benda kontinum. Dengan
kata lain, kita akan mempelajari kenapa dan bagaimana benda kontinum bergerak.
Hukum-hukum yang akan didapatkan dari hukum-hukum dasar fisika seperti: hukum
kekekalan massa, momentum, energi (hukum termodinamika I), hukum termodinamika
II dan hukum kekekalan angular momentum. Dalam fisika dasar, hukum-hukum ini
dituliskan untuk sebuah benda rigid/ sistem yang tertutup yang mempunyai massa dan
bentuk yang tetap. Namun, dalam kasus benda kontinum, benda tersebut dapat
berubah-ubah bentuknya.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan persamaan-persamaan dasar gerak benda kontinum
dari hukum-hukum dasar fisika, kita akan gunakan sebuah volume atur yang khusus.
Volume atur ini dapat berubah-ubah volumenya, namun selalu terdiri dari material
element-material element yang sama. Volume atur seperti ini disebut material volume
(Vm).
Selain itu, hukum-hukum dasar fisika akan selalu berbentuk sama apabila dituliskan
dengan menggunakan rangka acuan inersial (inertial frame). Oleh karena itu dalam
Mekanika Kontinum 29
menurunkan persamaan-persamaan dasar kita akan gunakan rangka acuan yang diam.
Setelah persamaan-persamaan dasar tersebut didapatkan, tentunya kita dapat tuliskan
persamaan-persamaan tersebut dalam rangka acuan yang bergerak dengan
menggunakan (FR.3).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kita akan menggunakan volume atur yang disebut
material volume. Karena volume atur ini selalu terdiri dari elemen-elemen material
yang sama, maka kita dapatkan hukum kekekalan massa yaitu:
Sekarang kita akan tuliskan prinsip dasar ini secara matematis. Pertama-tama kita
defenisikan apa yang disebut dengan massa jenis (ρ). Massa jenis sebuah material
element i didefinisikan sebagai,
∆mi
ρi ≡ lim sehingga m = ∫ ρdV
∆Vi →ε ∆Vi Vm ( t )
di mana m adalah massa dari material volume Vm(t). Ini dilakukan karena tidak mudah
mendapatkan massa dari benda kontinum seperti fluida namun ρ dapat ditentukan
dengan lebih mudah. Dengan definisi di atas maka hukum kekekalan massa dapat
dituliskan secara matematis menjadi,
d d
dt
m=0 ⇒
dt V
∫ ρ dV
(t)
= 0
m
Mekanika Kontinum 30
d ∂ρ
∫ ρdV = ∫
dt Vm (t ) Vm ( t )
∂t
dV + ∫ ρ u ⋅ nˆ dS = 0
Sm (t )
v dalam transport theorem. telah diganti menjadi u atau kecepatan material element. Ini
disebabkan karena permukaan Sm(t) diduduki oleh material element yang bergerak
dengan kecepatan u. Apabila ρ & u adalah fungsi yang kontinyu (ini berlaku selama
tidak terdapat diskontinuitas dalam material volume. Contoh di mana fungsi ρ & u
tidak kontinyu adalah apabila terdapat shock wave & ini akan kita bahas nanti) maka
(*)&(**) dapat digunakan sehingga,
d ∂ρ ∂ρ
∫ ρ dV = ∫
dt Vm (t ) Vm ( t )
∂t
dV + ∫ ρ u ⋅ nˆ dS = ∫
Sm (t ) Vm ( t )
∂t
dV + ∫ ∇ ⋅ ρ udV
Vm ( t )
Apabila kita jabarkan suku kedua sebelah kanan dalam persamaan terakhir didapatkan,
∂ρ
+ u ⋅ ∇ ρ + ρ∇ ⋅ u = 0
∂t
Akhirnya dengan menggunakan (2.3) persamaan terakhir dapat dituliskan seperti
dibawah ini.
dρ
+ ρ∇ ⋅u = 0 (2.5.b)
dt
Dengan demikian maka kita dapatkan sebuah teorema yang menyatakan bahwa untuk ρ
& F yang kontinyu,
d dF
∫ ρFdV = ∫ ρ
dt V ( t ) dt
dV .....(***)
Sekarang kita akan tuliskan hukum II Newton untuk benda kontinum. Hukum ini
menjelaskan gerak dari benda kontinum & bunyinya adalah:
Perubahan waktu dari momentum sebuah “volume material” sama dengan gaya-gaya
yang beraksi dipermukaan dan bagian dalam material volume tersebut.
Sebelum kita tuluskan prinsip diatas secara matematis, kita lihat bagaimana kita
menuliskan momentum dari “material volume”. Pertama-tama kita tuliskan momentum
untuk sebuah material element. Dari definisinya momentum sebuah material element
adalah-:
M i ≡ ∆mi u i
di mana Mi adalah momentum dari material element i. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, biasanya kita gunakan ρ untuk menggantikan m dalam benda kontinum.
lim
Mi = ρ i u i ∆Vi
∆v →∈
sehingga
M = ∫ ρ udV
Vm ( t )
di mana F adalah gaya / unit volume yang beraksi di permukaan & dalam V(t). Dalam
mekanika kontinum, ∫ FdV
Vm ( t )
biasanya dipecah menjadi 2 yaitu, FB & FS. FB adalah
gaya yang mempunyai aksi jarak jauh dan bereaksi secara langsung di dalam setiap
material element dalam V(t). Aksi gaya ini tidak disebabkan oleh interaksi antar
molekul. Gaya ini juga tidak membutuhkan medium untuk bereaksi (dapat bereaksi
dalam vakum). Contoh dari FB, adalah gaya gravitasi dan gaya elektromagnetik. Gaya-
gaya ini biasanya dituliskan,
FB = ∫ ρ G dV
Vm ( t )
FS adalah gaya-gaya interaksi antar molekul-molekul. Gaya ini adalah gaya yang
memenuhi hukum Newton III yaitu aksi = reaksi. Oleh karenanya, kontribusi total dari
bagian dalam material volume adalah nol. Yang tersisa adalah kontribusi dari
permukaan material volume. Dengan demikian maka gaya ini dapat dituliskan menjadi,
Fs = ∫T
Sm (t )
( nˆ ) dS
di mana T( n̂ ) adalah gaya / unit area. Karena FS adalah gaya interaksi antar molekul,
gaya ini hanya beraksi jarak dekat (short range force).
Dengan demikian maka hukum Newton II untuk sebuah material volume adalah,
d
dt Vm∫(t )
ρ udV = ∫ ρ GdV + ∫ T ( nˆ )dS
Vm ( t ) Sm (t )
Sekarang kita akan lihat ‘traction force’ T( n̂ ) secara lebih mendalam. Dari diskusi
diatas, dapat dilihat bahwa T( n̂ ) = T( n̂ ) ( nˆ , x, t ). Yaitu, selain fungsi dari posisi &
waktu, T juga fungsi dari arah permukaan di mana T beraksi. Jadi T( nˆ ) sedikit berbeda
dengan variabel-variabel lain seperti ρ,u,G yang merupakan fungsi x & t saja.
Mekanika Kontinum 33
= ∫ T ( nˆ ) dS
s
∫ (T
s
( nˆ ) + T ( − nˆ ) )ds = 0 sehinga T ( − nˆ ) = −T ( nˆ )
Jadi ‘traction force’ yang beraksi di satu sisi dari sebuah lapisan tipis adalah negatif dari
‘traction force’ yang beraksi di sisi yang berlawanan.
fungsi x dan t lagi. Dari hasil di atas telah kita lihat bahwa ∫T
s
( nˆ ) ds = 0 atau traction
force berada dalam keadaan equilibrium secara lokal. Sekarang kita gunakan kondisi
‘local equilibrium’ ini untuk tetrahedron diatas.
T ( nˆ ) ds + T ( −1) ds1 + T ( −2 ) ds 2 + T ( −3) ds3 = 0
Karena T ( − i ) = −T ( i ) maka,
Dari hasil ini maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan. Pertama : dari
hubungan terakhir di atas dapat dilihat bahwa T(j)i adalah sebuah tensor orde dua
(matriks) dan matriks ini disebut ‘stress tensor’. Dengan demikian kita dapat
mendefinisikan T( j ) i ≡ σ ji dimana σ adalah ‘stress tensor’. Kedua : T(1), T(2), T(3)
adalah ‘traction’ di permukaan yang normal terhadap eˆ1 , eˆ2 , eˆe . Dengan demikian maka
σ bukan merupakan fungsi n̂ namun fungsi x dan t (karena T(1), T(2), T(3) adalah
T ( nˆ ) (nˆ , x, t ) = σ ( x, t ) ⋅ nˆ atau T( nˆ ) i = σ ji n j
T
(Catatan : σ 23 adalah ‘traction’ (stress) yang beraksi di permukaan dua dan merupakan
komponen dari ‘traction’ tersebut di arah tiga).
d
∫ ρ udV = ∫ ρ GdV + ∫ σ T ⋅ nˆ ds
dt Vm (t ) Vm ( t ) Sm (t )
Apabila ρ , u, G, σ adalah fungsi-fungsi yang kontinyu maka kita dapat gunakan (***),
du
∫
Vm ( t )
(ρ
dt
− ρ G − ∇ ⋅ σ )dV = 0
Mekanika Kontinum 35
Berikutnya kita akan tuliskan hukum kekekalan momentum sudut (angular momentum).
Bunyi dari hukum ini adalah:
Perubahan waktu dari angular momentum sebuah ‘material volume’ sama dengan total
moment yang beraksi di permukaan dan di bagian dalam ‘material volume’ tersebut.
Sekarang bagaimana menuliskan momentum sudut dari material volume. Kita mulai
dari definisi momentum sudut dan tuliskan definisi ini untuk sebuah material element i,
L oi = lim x i × ∆mi u i = lim x i × ρi u i ∆Vi
∆Vi →ε ∆Vi →ε
dimana Loi adalah momentum sudut. Dengan demikian maka momentum sudut dari
Vm(t) adalah,
L= ∫ x × ρ udV
Vm ( t )
d d d
L ≡ x × mV dan L = x × mV + x × mV = x × F
dt dt dt
Oleh karena itu, prinsip kekekalan momentum untuk benda kontinum adalah,
d
dt Vm∫( t )
x × ρ udV = ∫ x × ρ GdV + ∫ x × T ( nˆ ) dS (AM)
Vm ( t ) Sm (t )
(lihat subbagian rate of rotation untuk definisi ε ijk ). Dengan demikian maka, suku
∫
s (t )
x × T( nˆ ) ds = ∫ε
s (t )
ijk x jσ kl nl eˆi ds = ∫ε
V (t )
ijk ( x jσ kl ),l dV
= ∫ {ε(δ
V (t )
σ )+ε
ijk
jl kl ijk x jσ kj ,l }dV
Z
= ∫
V (t )
ZdV + ∫
V (t )
x × (∇ ⋅ σ )dV
Perlu diingat bahwa kita telah menggunakan (*) dalam penurunan diatas sehingga
hubungan tersebut hanya dapat digunakan untuk σ yang kontinyu. Untuk ρ , u yang
kontinyu,
d d du
∫
dt Vm (t )
x × ρ udV = ∫ ρ ( x × u )dV = ∫ x × ρ dV
Vin ( t )
dt Vm ( t )
dt
⎧σ 23 − σ 32 ⎫
⎪ ⎪
Z = Єijkσkj = ⎨σ 31 − σ13 ⎬ = 0
⎪σ − σ ⎪
⎩ 12 21 ⎭
sehingga
σij = σji atau σ = σ T .
= =
Jadi prinsip kekekalan momentum angular menyatakan bahwa stress tensor σ haruslah
=
simetrik.
Dalam menuliskan hukum kekekalan angular momentum di atas, kita secara implisit
telah menggunakan asumsi bahwa material tidak mempunyai ‘body torque’ dan ‘surface
torque’. Material yang tidak mempunyai ‘body torque’ dan ‘surface torque’disebut
“non-polar medium”. Medium ini adalah medium yang torsinya hanya disebabkan oleh
momen dari gaya-gaya yang beraksi dalam material tersebut.
Untuk ‘polar medium’, terdapat torsi yang disebabkan apabila terjadi kontak dengan
bagian lain (surface torque) dan juga torsi yang disebabkan oleh bagian di luar material
volume dan external torque lainnya (body torque). Untuk medium ini
Z ≠ 0 sehingga σ ≠ σ T . Kebanyakan material adalah “non-polar” dan medium seperti
= =
Pada subbagian ini, kita akan mempelajari stress lebih mendalam. Hal pertama yang
perlu kita perhatikan adalah stress adalah sebuah tensor. Oleh karena out, transformasi
harga stress dari satu sistem koordinat ke sistem lainnya harus mengikuti aturan-aturan
tertentu. Untuk itu, kita akan perhatikan beberapa hal di bawah ini. Apabila xi, g,
adalah harga-harga dari komponen vektor x(xi) dan unit vektor (gi) dari vektor x di
sistem koordiant yang baru sedangkan XI, GI adalah hal yang sama di sistem koordinat
yang lama maka harga sebuah vektor x adalah,
x = xi g i = X I G I
Mekanika Kontinum 38
Hubungan di atas memastikan bahwa x adalah vektor yang sama walaupun diamati dari
dua sistem koordinat yang berbeda dan ini adalah syarat dari sebuah kuantitas untuk
menjadi tensor. Oleh karena itu maka,
( )
xi = x ⋅ g i = X I G I ⋅ g i = X I AIi
di mana AIi ≡ G I ⋅ g i . Jadi hubungan antara komponen dari sebuah vektor di 2 buah
Sekarang, bagaimana hubungan antara kedua unit vector GI dan gi. Karena
xi g i = X I G I = AIi X I g i maka,
N
xi
G I = AIi g i
Berikutnya kita lihat bagaimana hubungan antara komponen dari sebuah tensor orde 2
(stress, misalnya) yang dituliskan terhadap 2 sistem koordinat yang berbeda (tij dan TIJ).
Apabila T adalah sebuah tensor orde 2 maka,
T = T IJ G I G J = t ij g i g j
sehingga
T IJ AIi AJj g i g j = t ij g i g j .
Principle Stress
Hukum kekekalan momentum sudut untuk kontinum nonpolar menyatakan bahwa stress
adalah tensor yang simetris, σ = σ .
T
Dari matematika kita ketahui bahwa untuk
matriks yang simetris, terdapat sebuah basis (“principle axis”) di mana matriks tersebut
Mekanika Kontinum 39
di basis itu adalah matriks diagonal. Selain itu, kita ketahui bahwa untuk menentukan
komponen-komponen dari matriks diagonal tersebut kita harus melakukan “eigenvalue
analysis”. Komponen dari matriks diagonal tersebut adalah nilai eigen dari matriks
original. Sedangkan vektor-eigen-nya membentuk basis untuk “principle axis”.
Jadi secara matematis apabila T ( n̂ ) adalah gaya yang bekerja di sebuah permukaan maka
Namun, apabila n̂ adalah “principle axis”, maka tidak ada tegangan geser di permukaan
tersebut sehingga,
σ ij n j = σδ ij n j
(σ ij − σδ ij ) n j = 0
Karena nj adalah komponen dari arah principle axis, maka nj ≠ 0 sehingga persamaan di
atas menyatakan bahwa
σ ij − σδ ij = 0
I1 = σ ii = tr (σ )
1
I2 =
2
(σ iiσ jj − σ ijσ ij )
I 3 = σ ij = det (σ )
Solusi dari persamaan polinomial orde 3 di atas adalah 3 principle stress (σ(1), σ(2), σ(3))
yang merupakan komponen dari matrix diagonal. Sedangkan principle axis adalah
solusi dari persamaan,
(σ ij )
− σ ( k )δ ij n(j ) = 0 .
k
sangat membantu, karena relatif terhadap sistem koordinat ini hanya terdapat tegangan
Mekanika Kontinum 40
normal (tegangan geser tentunya sama dengan nol karena σ ij = 0 apabila i ≠ j di sistem
koordinat ini).
di mana axis telah kita pilih sedemikian rupa sehingga, σ1 > σ2 > σ3. Dari T ( nˆ ) = σ ⋅ nˆ ,
Sekarang kita akan mencari harga minimum dan maksimum dari σs. Namun, perlu
diingat bahwa,
n12 + n22 + n32 = 1
Dengan demikian maka untuk menentukan harga-harga minimum dan maksimum, kita
dapat gunakan metode “Lagrange Multipliers”. Seperti kita ketahui prosedur dalam
metode ini adalah membentuk sebuah fungsi,
(
F = σ s2 − λ n12 + n22 + n32 )
di mana λ adalah sebuah multiplier. Karena persamaan di atas adalah fungsi dari n1, n2,
n3, maka untuk menentukan harga minimum dan maksimum kita ambil
Mekanika Kontinum 41
∂F ∂F ∂F
= 0, = 0, =0.
∂n1 ∂n3 ∂n2
Apabila ini dilakukan maka didapatkan,
( )
n1 ⎡⎣σ 12 − 2σ 1 σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3n32 + λ ⎤⎦ = 0
( )
n2 ⎡⎣σ 22 − 2σ 2 σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3 n32 + λ ⎤⎦ = 0
( )
n3 ⎡⎣σ 32 − 2σ 3 σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3n32 + λ ⎤⎦ = 0
Keempat persamaan terakhir dapat diselesaikan untuk mendapatkan n1, n2, n3, dan λ.
Satu set solusi adalah,
⎧±1⎫ ⎧0⎫ ⎧0⎫
⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪
nˆ = ⎨ 0 ⎬ , nˆ = ⎨±1⎬ , nˆ = ⎨ 0 ⎬
⎪0⎪ ⎪0⎪ ⎪±1⎪
⎩ ⎭ ⎩ ⎭ ⎩ ⎭
Untuk harga-harga n̂ ini, σ s = 0 . Ini tentunya adalah harga minimum dari σs. Satu set
solusi lagi adalah,
⎧ ⎫
⎪ 0 ⎪
⎪⎪ ⎪⎪ (σ − σ 3 )
nˆ = ⎨± 1 ⎬ di mana σ s = 2
2⎪ 2
⎪
⎪± 1 ⎪
⎪⎩ 2 ⎪⎭
⎧± 1 ⎫
⎪ 2⎪
⎪ ⎪ (σ − σ 1 )
nˆ = ⎨ 0 ⎬ di mana σ s = 3
2
⎪ 1 ⎪
⎪± 2 ⎪⎭
⎩
⎧± 1 ⎫
⎪ 2⎪
⎪ 1 ⎪ (σ 1 − σ 2 )
nˆ = ⎨± ⎬ di mana σ s = 2
⎪ 2⎪
⎪ 0 ⎪
⎩ ⎭
Karena σ1 > σ2 > σ3 maka n̂ yang terakhir adalah n̂ yang memberikan harga σs yang
tertinggi (maksimum).
Mekanika Kontinum 42
Berikutnya kita akan tuliskan hukum termodinamika I untuk benda kontinum. Hukum
ini berbunyi,
Berikut ini adalah penjelasan tentang apa yang disebut dengan energi dalam (internal
energy). Energi dalam adalah total energi dari molekul-molekul. Energi ini mencakup:
energi kinetik translasi dan rotasi , energi dari vibrasi (vibrational energy), dan energi
elektronik yang disebabkan oleh pergerakan elektron disekitar nukleus dari molekul.
Energi kinetik translasi dan rotasi di sini adalah energi kinetik di luar energi kinetik
makroskopik. Walaupun dalam model kontinum kita mengabaikan struktur-struktur
molekul, energi-energi ini harus diikutisertakan di dalam penulisan hukum kekekalan
energi. Namun, energi-energi tersebut disatukan menjadi apa yang disebut dengan
energi dalam. Untuk sebuah material element, energi dalamnya adalah,
ε i = lim ei ∆mi
∆Vi →∈
di mana ei adalah energi dalam per unit massa.
= lim ρi ei ∆Vi
∆Vi →∈
∫( ρ) edV
Vm t
Mekanika Kontinum 43
Berikutnya adalah energi kinetik (makroskopik). Definisi dari energi kinetik dari sebuah
material element adalah,
∆mi 2 lim ρ u2
KEi =lim
∆Vi →∈ ui = ∆Vi →∈ i i ∆Vi
2 2
Dengan demikian maka energi kinetik dalam Vm(t) adalah,
u2
∫
Vm ( t )
ρ
2
dV
Sekarang kita beralih ke perubahan waktu dari kerja. Definisi dari power untuk sebuah
material element adalah,
δ Wi ≡ F i ⋅ ui
sehingga,
δW = ∫ ρ G ⋅ udV + ∫ T ∫ ρ G ⋅ udV + ∫ ρ G ⋅ udV + ∫ (σ )
T
( nˆ ) ⋅ udS = ⋅ nˆ ⋅ udS
Vm ( t ) Sm (t ) Vm ( t ) Vm ( t ) Sm (t )
( )
Karena σ ⋅ nˆ ⋅ u = (σ ⋅ u ) ⋅ nˆ maka,
T
Yang terakhir adalah perubahan waktu dari panas ( δQ ). Ada 2 tipe perpindahan panas
dalam mekanika kontinum :
i. Konduksi Panas: ini adalah perpindahan energi dari bagian yang lebih energetik
ke bagian tetangganya yang kurang energetik. Perpindahan energi ini
disebabkan oleh interaksi antar molekul. Sama seperti “surface fence” yang juga
disebabkan oleh interaksi antar molekul, konduksi panas dituliskan sebagai
integral permukaan,
− ∫ q ⋅ nˆdS
S (t )
Tanda minus di depan integral diatas digunakan untuk menjamin apabila panas
masuk ke dalam sistem maka δQ adalah positif sesuai konvensi dalam
termodinamik.
ii. Radiasi : Apabila panas diberikan kepada zat maka “energy state” dari atom-
atom dan molekul-molekul naik ke “excited state”. Namun, ada kecenderungan
Mekanika Kontinum 44
∫ ρQdV
V (t )
Sekarang kita telah siap untuk menuliskan hukum termodinamika I untuk benda
continuum. Hukum ini adalah,
⎛ ⎞
d
dt Vm∫(t ) ⎜⎝
ρ ⎜ e +
u2
2
( )
⎟⎟dV = ∫ − q + σ ⋅ u ⋅ nˆ dS + ∫ ρ (G ⋅ u + Q )dV
⎠ Sm (t ) Vm ( t )
∫ ρ
d ⎛
⎜⎜ e +
dt ⎝
u2
2
⎞
[ ( )
⎟⎟dV = ∫ ∇ ⋅ − q + σ ⋅ u + ρ (G ⋅ u + Q ) dV ]
Vm ( t ) ⎠ Vm ( t )
d ⎛ ⎞
⎟⎟ = ∇ ⋅ (σ ⋅ u ) + ρ G ⋅ u − ∇ ⋅ q + ρQ
u2
ρ ⎜⎜ e + 2.6.b)
dt ⎝ 2 ⎠
atau dengan menggunakan persamaan kontinuitas,
∂ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞
⎟⎟u = ∇ ⋅ (σ ⋅ u ) + ρ G ⋅ u − ∇ ⋅ q + ρQ
u2 u2
ρ ⎜⎜ e + ⎟⎟ + ∇ ⋅ ρ ⎜⎜ e + 2.6.a)
∂t ⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠
Dalam termodinamika, hukum ke II untuk sebuah sistem tertutup dapat dituliskan secara
matematis seperti di bawah ini,
δQ
dS = +σ , σ ≥ 0
T
dimana S adalah entropi. Hubungan diatas dapat pula dinyatakan sebagai
Mekanika Kontinum 45
dS 1 ~
= δQ + σ , σ~ ≥ 0
dt T
Harga dari σ dan σ~ adalah positif untuk proses yang “irreversible” dan nol untuk
proses yang internally reversible.
Sekarang kita akan tuliskan prinsip ini untuk benda kontinum. Untuk sebuah material
element, ∆S i ≡ ∆mi si = ρsi ∆Vi . Dengan demikian maka untuk sebuah material volume,
S= ∫
V (t )
ρ sdV
di mana s: entropi / unit mass. Kita telah lihat bahwa perubahan waktu dari panas
adalah,
δQ = − ∫ q ⋅nˆ dS + ∫ ρQdV
S (t ) V (t )
atau
d q ⋅ nˆ ρQ
∫
dt V ( t )
ρ sdV + ∫
S (t )
T
dS − ∫
V (t )
T
dV ≥ 0
Apabila ρ dan s adalah fungsi yang kontinyu maka (**) dapat digunakan sehingga,
ds q ⋅ nˆ ρQ
∫
V (t )
ρ
dt
dV + ∫
S (t )
T
dS − ∫
V (t )
T
dV ≥ 0
Selanjutnya kita lihat “bentuk lokal” dari pertidaksamaan di atas. Seperti biasa, kita
asumsikan ρ , s, q, T , dan Q adalah fungsi-fungsi yang kontinyu dan kita gunakan (*),
Bentuk lain dari pertidaksamaan di atas (bentuk yang lebih berguna) didapat dengan
mengganti suku ∇ . q . Dari persamaan energi (2.6.6),
d u2
∇ ⋅ q = ∇ ⋅ (σ ⋅ u ) + ρ (Q + G ⋅ u ) − ρ (e + )
dt 2
Apabila kita ambil perkalian dot antara u dan persamaan momentum didapatkan,
d u2
ρ = u ⋅ (∇ ⋅ σ ) + ρ G ⋅ u
dt 2
Dari kedua persamaan terakhir didapatkan,
de
∇ ⋅ q = (σ ⋅∇) ⋅ u + ρ Q − ρ
dt
Sekarang kita perhatikan suku (σ ⋅∇) ⋅ u ,
∂ui 1 ⎛ ∂ui ∂u j ⎞
(σ ⋅∇) ⋅ u = σ ij = ⎜ σ ij + σ ji ⎟ ; σ ij = σ ji
∂x j 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎠
1 ⎛ ∂ui ∂u j ⎞
(σ ⋅∇) ⋅ u = σ ij ⎜ + ⎟
2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎠
= σ ij Dij = σ : D
Selain itu, kita telah gunakan hasil dari konservasi momentum sudut yaitu σ = σ
T
(Jadi
Sekarang kita subtitusikan hasil terakhir ke dalam pertidaksamaan dan hasilnya adalah:
⎡ ds ⎛ de ⎞ 1 ⎤
⎢ ρT dt − ⎜ ρ dt − σ : D ⎟ − T q.∇T ≥ 0 ⎥ (2.7.b)
⎣ ⎝ ⎠ ⎦
Pertidaksamaan terakhir sangat berguna untuk mendapatkan persamaan–persamaan
tambahan untuk melengkapi sistem persamaan kontinum.
Mekanika Kontinum 47
Banyak benda kontinum mempunyai e seperti ini. Elastik solid dan Simple
Compressible Subtance (seperti gas, misalnya) mempunyai ε seperti di atas. Karena
e = e (ε , s ) , maka ,
de ⎛ ∂e ⎞ d ε ⎛ ∂e ⎞ ds ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ds
=⎜ ⎟ : +⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ : D+⎜ ⎟
dt ⎝⎜ ∂ε ⎠⎟ dt ⎝ ∂S ⎠ε dt ⎝⎜ ∂ε ⎠⎟ ⎝ ∂s ⎠ε dt
s s
σ = σ eq + σ vis
dimana σ adalah viscous stress dan σ adalah equilibrium stress (seperti tekanan p,
vis eq
Pertidaksamaan ini harus berlaku untuk proses apapun. Untuk memastikan ini maka,
⎛ ∂e ⎞ ⎛∂ e⎞ 1
T =⎜ ⎟ , σ eq = ρ ⎜ ⎟⎟ , σ vis : D − q ⋅ ∇T ≥ 0
⎜
⎝ ∂s ⎠ε ⎝ ∂ε ⎠ s
T
dan
⎛ ∂E ⎞
⎜ ⎟ = − pVδ ij
⎜ ∂ε ⎟
⎝ ij ⎠S
V 1
Karena dE ≡ mde dan = maka,
m ρ
⎛ ∂e ⎞ p
⎜⎜ ⎟⎟ = − δ ij
⎝ ∂ε ij ⎠s ρ
Mekanika Kontinum 48
⎛ ∂e ⎞
sedangkan persamaan T = ⎜ ⎟ akan memberikan kita persamaan keadaan.
⎝ ∂s ⎠ε
Akhirnya pada subbagian transport phenomena nanti, kita akan lihat bahwa
pertidaksamaan ,
1
σ vis : D − q ⋅∇T ≥ 0
T
akan memberikan kita hubungan antara ,
σ vis = σ vis ( D ) dan q = q ( ∇T )
Dengan demikian, pertidaksamaan 2.7.b dan e = e ( s, ε ) membantu kita untuk
maka fluida dapat dianggap dalam keadaan stimbang secara lokal. Kriteria ini berlaku
di hampir setiap masalah yang dipelajari dalam mekanika kontinum karena τ 1 , yang
merupakan sifat zat, mempunyai harga yang sangat kecil ( τ translation N 2 ≈ 10 −10 s ,
misalnya).
Apabila kriteria di atas tidak terpenuhi, seperti dalam khusus aliran di belakang shock
wave dalam aliran hypersonic misalnya. Untuk kasus seperti ini maka kita harus
menggunakan “non-equilibrium thermodynamics”.
Misalkan volume atur tersebut (V(t)) yang dibatasi dengan permukaan S(t) dan bergerak
dengan kecepatan v. Sekarang kita tuliskan perubahan waktu dari momentum didalam
V(t),
d ∂ ∂ (ρ u )
∫
dt V ( t ) ∂t
ρ udV = ∫
V (t )
∂t
dV + ∫ ρ u v ⋅ nˆ dS
S (t )
(I.1)
Sekarang kita tuliskan hukum kekekalan momentum yang telah kita dapatkan untuk
“material volume” Vm(t),
d ∂ρ u
∫ ρ udV = ∫ dV + ∫ ρ u u ⋅ nˆ dS = ∫ ρ GdV + ∫ σ ⋅ nˆ dS
T
(I.2)
dt Vm (t ) Vm ( t )
∂t Sm (t ) Vm ( t ) Sm (t )
Mekanika Kontinum 50
Kemudian kita pilih material volume Vm(t) yang pada suatu saat (instantaneous) sama
dengan V(t) atau volume atur kita tadi yang bergerak dengan kecepatan v. Karena pada
waktu t kedua volume atur ini sama, maka:
V(t) = Vm(t) dan S(t) = Sm(t)
Tetapi ini tidak berarti perubahan waktu dari kedua volume atur tersebut sama, dengan
kata lain,
d d
∫ ρudV ≠
dt V ( t ) dt Vm∫( t )
ρudV
Dengan cara yang sama, kita dapat lakukan hal yang sama untuk persamaan integral
kontinuitas, energi, dan pertidaksamaan entropi. Sehingga untuk volume atur V(t) yang
bergerak dengan kecepatan v,
d
dt V∫( t )
o ρdV + ∫ ρ (u − v) ⋅ nˆ dS = 0 …………………………………………... (A)
S (t )
d
o ∫ ρ udV + ∫ ρ u (u − v) ⋅ nˆ dS = ∫ ρ GdV + ∫ σ T ⋅ nˆ dS …………………… (B)
dt V (t ) S (t ) V (t ) S (t )
d u2 d u2
dt ∫ ρ (e +
2
) dV +
dt ∫ ρ (e +
2
)( u − v ) ⋅ nˆ dS
o V (t) S (t )
………(C)
= ∫
V (t )
ρ ( G ⋅ u + Q ) dV + ∫
S (t)
( σ ⋅ u − q ) ⋅ nˆ dS
d q ⋅ nˆ ρQ
o ∫ ρ
dt V (t )
sdV + ∫ ρ
S (t )
s (u − v ) ⋅ ˆ
n dS + ∫
S (t )
T
dS − ∫
V (t )
T
dV ≥ 0 …….…………. (D)
Mekanika Kontinum 51
dimana,
Persamaan π P P(n)
Massa 1 0 0
T (nˆ ) = σ ⋅ nˆ
T
Momentum u G
u2 T (nˆ ) ⋅ u − q ⋅ nˆ
Energy e+ G ⋅u + Q
2
Q − q ⋅ nˆ
Entropy s
T T
Mekanika Kontinum 52
Persoalan semacam ini digambarkan di atas. Di daerah (1) & (2), u, ρ , σ , e, q dan
lain-lain adalah fungsi-fungsi kontinyu. Namun di permukaan Λ (Singular Surface)
terjadi lompatan harga-harga dari variabel-variabel di atas sehingga untuk daerah V2 U
V1 U Λ (U adalah union) variabel-variabel tersebut bukanlah fungsi-fungsi yang
kontinyu. Untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang menjelaskan hubungan
antara variabel-variabel di daerah (1) & (2) maka kita gunakan volume atur yang
bergerak bersama Λ dengan kecepatan v. Karena Λ adalah permukaaan yang sangat
tipis maka ketebalan dari volume atur dapat kita pilih sedemikian rupa sehingga limit.t
Æ 0 (lihat gambar). Apabila ini dilakukan maka V1 & V2 Æ 0 (integral volume dalam
persamaan (J) adalah 0) sehingga kita dapatkan (juga S1 & S2 Æ Λ ),
∫ {ρπ (u − v) ⋅ nˆ − P( ) }ds = 0
S (t )
nˆ
∫ {ρ π (u }
2 2 2 − v ) ⋅ n − P(n )2 − ρ1π 1 (u 1 − v ) ⋅ n + P(n )1 ds = 0
Λ
Jadi
{(ρ π (u
2 2 2
( )}
− v ) ⋅ n − ρ1π 1 (u 1 − v ) ⋅ n ) − P(n )2 − P(n )1 = 0
atau
[ρπ (u − v ) ⋅ n − P( ) ] = 0
nˆ
di mana
[φ ] ≡ φ 2 − φ1
w ≡ u⋅n −v⋅n .
Apabila kita masukkan π dan P(n ) untuk persamaan massa, momentum, energi dan
⎡ ⎛ u2 ⎞ ⎤
⎢ ρw⎜⎜ e + ⎟⎟ − T (n ) ⋅ u + q ⋅ n ⎥ = 0 …………………………………………… ... [c]
⎣ ⎝ 2 ⎠ ⎦
⎡ q⋅n⎤
⎢ ρws + ⎥ ≥ 0 ……………………………………………………………… ..[d]
⎣ T ⎦
w ≡ u⋅n −v⋅n , [φ ] ≡ φ 2 − φ1
Sampai saat ini, kita tidak pernah membahas hal-hal yang berhubungan dengan sifat
(behaviour) dari material (zat) yang kita pelajari. Persamaan persamaan yang
didapatkan bisa digunakan untuk zat apapun juga. Namun, intuisi kita memahami
bahwa udara dan besi, misalnya, akan mempunyai “response” yang berbeda terhadap
gaya yang sama. Bagaimana sebuah material merespon sebuah gaya, misalnya,
haruslah diikutsertakan dalam penulisan persamaan momentum (yang menjelaskan
gerak benda tersebut). Demikian juga “response” dari material apabila terjadi/ terdapat
perbedaan temperatur di dalam material tersebut, haruslah diikutsertakan di dalam
persamaan energi. Respon material seperti yang dijelaskan di atas sebenarnya telah ada
di dalam beberapa suku dalam persamaan-persamaan yang telah kita dapatkan. Lebih
tepatnya respon material terdapat dalam suku-suku yang menjelaskan interaksi dalam
material tersebut, seperti σ dan q .
Fenomena interaksi antar molekul ini sangat tergantung dari struktur molekul-molekul
yang membentuk meterial tersebut. Oleh karenanya bentuk dari σ dan q tergantung
dari apakah benda yang kita pelajari itu adalah benda padat atau benda fluida (liquid &
gas). Selain itu keadaan material juga menentukan harga dari σ dan q . Harga σ dan
q akan berbeda untuk benda/ material yang berada dalam keadaan setimbang dengan
Mekanika Kontinum 54
benda yang dalam keadaan tidak setimbang. Oleh karena itu, untuk mendapatkan σ
dan q kita harus mengetahui sifat-sifat dari material yang akan kita pelajari.
Pada umumnya, persamaan untuk σ dan q yang disebut juga persamaan konstitutif
yang telah dilakukan oleh material tersebut dan tidak ditentukan oleh gerak yang
akan dilakukan.
b. Principle of Local Action
Prinsip ini menyatakan bahwa gerakan material diluar “neighbourhood” dari
material point ξ dapat diabaikan dalam menentukan persamaan konstitutif.
c. Principle of Frame Indifference
Persamaan konstitutif untuk σ dan q haruslah tidak berubah “invariant”
Setiap benda yang ada di dalam alam semesta ini terbentuk oleh atom-atom. Atom-atom
ini sendiri terbentuk dari sebuah nukleus, yang terdiri dari proton dan neutron, yang
dikelilingi oleh elektron-elektron. Biasanya atom bergabung dengan atom-atom lainnya
baik yang sejenis maupun tidak sejenis, untuk membentuk molekul. Apakah sebuah
material itu solid, liquid atau gas tergantung dari struktur molekul-molekul yang
membentuknya.
Mekanika Kontinum 55
Dalam solid, molekul satu berada pada jarak yang sangat dekat dengan molekul lainnya.
Selain itu, setiap molekul menduduki posisi tertentu dan posisi molekul-molekul ini
sangat teratur. Molelul-molekul di dalam solid hanya dapat bergerak (berosilasi) di
sekitar posisi tetapnya tersebut masing-masing. Kerapatan jarak antarmolekul juga
terdapat di dalam liquid. Namun, berbeda dengan solid, molekul-molekul liquid dapat
bergerak bebas. Gas mempunyai struktur molekul yang sangat berbeda. Jarak antara
molekulnya relatif sangat jauh bila dibandingkan dengan solid dan liquid.
Di dalam setiap material, terdapat gaya-gaya yang beraksi antar molekul. Gaya ini
disebut “intermolecullar force”. Apabila kita isolasi sepasang molekul, maka gaya yang
dirasakan oleh molekul satu akibat adannya molekul lainnya adalah fungsi dari jarak
antara kedua molekul tersebut (r). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa gaya tersebut
kurang lebih digambarkan di sketsa di bawah ini.
Apabila jarak antar molekul tersebut (r) < r0 maka gaya antar molekul tersebut adalah
gaya repulsive (Saling mendorong). Apabila r > r0 maka gaya tersebut adalah gaya
attractive (saling tarik menarik). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa r untuk solid
dan liquid adalah sekitar r0 (r~ r0), sedangkan untuk gas r~ 10 r0. Karena untuk gas r~
10 r0 gaya antarmolekul sangat lemah sehingga gas sering kali diasumsikan sebagai
“gas ideal” di mana gaya antar molekulnya dapat diabaikan.
Mekanika Kontinum 56
Apabila sebuah material dalam keadaan equilibrium maka benda tersebut secara
makroskopik berada dalam keadaan diam dan setiap titik dalam benda tersebut
mempunyai temperatur (T) yang sama. Apabila sebuah solid dalam keadaan
equilibrium kemudian diberikan gaya luar, maka selama gaya luar tersebut tidak terlalu
besar, solid tersebut akan mencapai keadaan equilibrium yang kedua dan solid tersebut
akan berada dalam keadaan diam secara makroskopik. Apa yang terjadi secara
mikroskopik dapat dilihat dalam sketsa di bawah:
Misalkan solid tersebut mempunyai struktur seperti di sebelah kiri dalam sketsa di atas.
Kemudian solid tersebut di”tekan” dengan gaya Fluar. Bentuk solid tersebut akan
berubah seperti gambar di kanan. Dalam keadaan equilibrium baru ini rAC < ro sehingga
terdapat gaya repulsive antara A dan C. Sedangkan rAB > ro sehingga terdapat gaya
attractive antara A dan B. Gaya-gaya antar molekul ini “melawan” deformasi yang
diakibatkan Fluar sedemikian rupa sehingga ada kecenderungan untuk “mengembalikan”
molekul-molekul tersebut keposisi semula. Gaya-gaya antarmolekul inilah yan disebut
“stress” ( σ ) dalam solid dan dari contoh di atas dapat dilihat bahwa σ = σ ( F ) di mana
F adalah “deformation gradient” yang disebabkan oleh Fluar. Selain itu, dalam
Hal yang sangat berbeda terjadi pada fluida (liquid dan gas) dan di sini lah perbedaan
yang mendasar antara kedua tipe material tersebut. Apabila fluida diberikan Fluar maka
fluida tersebut akan terus bergerak sampai Fluar berhenti beraksi. Dengan kata lain
fluida yang diberikan Fluar tidak akan berada dalam keadaan diam. Oleh karena itu
untuk mempelajari sifat equilibrium dari fluida, kita lihat fluida yang diam tanpa ada
gaya-gaya luar. Berbeda dengan solid, molekul-molekul fluida dapat bergerak dengan
leluasa. Dalam keadaan equilibrium, molekul-molekul ini bergerak secara acak dan
“isotropic” (tidak mempunyai kecenderungan arah) sehingga secara makroskopik fluida
tersebut dalam keadaan diam. Apabila kita letakkan sebuah benda di dalam fluida maka
molekul-molekul dari fluida tersebut akan bertumbukkan dengan benda itu. Di bawah
ini adalah sketsa di mana “box yang sangat kecil” diletakkan di dalam gas. Titik-titik
hitam dalam gambar adalah molekul-molekul gas dan tanda panah menunjukkan arah
pergerakan molekul tersebut.
Sedikit perbedaan terjadi apabila “box” di atas diletakkan dalam liquid. Dalam gas,
gerakan molekul yang menuju atau meninggalkan permukaan box tersebut independen
dari gerakan molekul lainnya (ideal gas). Dalam liquid ini tidak terjadi dan terdapat
gaya interaksi antar molekul sehingga gerakan sebuah molekul dipengaruhi oleh
gerakan molekul lainnya. Misalkan, karena sebuah molekul bertumbukan dengan
Mekanika Kontinum 58
permukaan “box” maka jarak antara molekul tersebut dengan molekul tetangganya
berubah (r<ro, misalnya) dan ini menyebabkan gaya repulsive terhadap molekul tersebut
yang memberikan kontribusi kepada harga p di permukaan.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan bahwa σ fluida dalam keadaan diam
adalah σ = − pI karena p adalah gaya/ unit area yang disebabkan oleh “interaksi”
i) MomentumTransport
Untuk mempelajari momentum transport, misalkan kita mempunyai gas yang diletakkan
di antara 2 pelat A dan B. Pelat B dapat digerakkan dengan kecepatan U. Apabila U = 0
dan gas di antara kedua pelat tersebut berada dalam keadaan equilibrium maka gas
Mekanika Kontinum 59
tersebut terlihat diam secara makroskopik. Meski demikian kita tahu bahwa molekul-
molekul gas bergerak terus menerus secara sembarang. Namun, karena gerakan-
gerakan molekul-molekul gas tersebut acak maka kecepatan rata-rata gas di arah x, y,
dan z adalah nol (gas dalam keadaan diam).
pertama adalah tekanan p (seperti dalam keadaan equilibrium) dan yang kedua adalah
“interaksi” antarmolekul yang disebabkan oleh “penyebaran” momentum seperti yang
dijelaskan di atas. Stress yang kedua ini disebut “viscous stress”. Viscous stress ini
adalah manifestasi dari “perlawanan” gas terhadap ketidaksetimbangan yang disebabkan
oleh pergerakan dari pelat B. Dalam banyak hal, viscous stress ini mirip dengan gaya
gesek yang terjadi apabila kita menggeser sebuah benda diatas sebuah pemukaan.
Pergeseran lapisan-lapisan fluida dalam gambar di atas, misalnya, dapat
diinterpretasikan sebagai akibat adanya gaya gesek antara lapisan satu dengan lainnya.
Penjelasan di atas diberikan untuk gas. Apabila fluida diantara pelat A dan B adalah
liquid maka selain “penyebaran” momentum seperti dijelaskan di atas terdapat pula
transport momentum yang disebabkan oleh gaya intermolecular. Misalnya, molekul-
molekul di lapisan I mempunyai kecenderungan untuk bergerak ke kanan karena adanya
“ekstra” x-momentum seperti dalam kasus di atas. Gerakan molekul-molekul di lapisan
Mekanika Kontinum 60
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum σ dapat dinyatakan
kontribusi apa pun apabila fluida berada di dalam keadaan equilibrium. Karena τ
disebabkan oleh adanya gradien dari kecepatan ( ∇u ) maka τ dapat dinyatakan sebagai
τ = τ (∇u ) .
Sekarang kita akan beralih ke fenomena transport yang berikutnya yaitu energy
transport. Untuk itu, kita perhatikan gas di antara 2 pelat seperti sebelumnya. Apabila
TB=TA maka gas berada dalam keadaan equilibrium. Dalam kondisi ini temperatur di
setiap titik dalam gas adalah sama (T=TA). Karena temperatur adalah “ukuran” dari
Mekanika Kontinum 61
rata-rata kinetik energi dari molekul-molekul di dalam gas maka dalam keadaan
equilibrium energi kinetik molekul-molekul tersebut secara rata-rata adalah sama.
Sekarang kita ubah temperatur pelat B menjadi TB>TA misalnya. Secara makroskopik
perubahan temperatur TB menyebabkan perubahan temperatur gas yang berada di dekat
pelat B (lapisan I). Dengan kata lain, naiknya TB menyebabkan bertambahnya energi
kinetik dari molekul-molekul di lapisan I. Seperti yang terjadi dalam kasus momentum
transport, ketika molekul-molekul ini “menyeberang” ke lapisan II dan bertumbukkan
dengan molekul-molekul lainnya, molekul-molekul ini “memindahkan” ekstra energi
yang diperoleh karena TB yang lebih tinggi, ke molekul-molekul lainnya di lapisan II.
Sekarang sebagian dari molekul-molekul di lapisan II bergerak ke lapisan III dan
sebagian lagi kembali ke lapisan I. Molekul-molekul yang bergerak ke lapisan III akan
bertumbukkan dengan molekul-molekul di lapisan ini dengan demikian “ekstra” energi
kinetik yang diperoleh dari oleh molekul-molekul ini ditransfer ke molekul-molekul di
lapisan III. Demikianlah proses “penyebaran” ekstra energi kinetik ini berlanjut ke
lapisan-lapisan berikutnya dan dengan demikian secara makroskopik akan terdapat
gradien temperatur (∇T ) di dalam gas tersebut. Proses ini mirip dengan proses
momentum transport yang dijelaskan sebelumnya, namun proses ini tidak harus
menyebabkan adanya gerakan makroskopik di dalam gas. Dengan kata lain proses in
dapat terjadi di dalam gas yang diam. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Bertambahnya energi kinetik berarti molekul-molekul tersebut bergerak lebih cepat.
Namun, molekul-molekul yang bergerak lebh cepat ini tetap bergerak secara acak
(random) karena proses ini tidak menyebabkan bertambahnya momentum di satu arah
saja melainkan bertambahnya momentum di semua arah (yang bertambah adalah
secara makroskopik gas tersebut dapat saja berada dalam keadaan diam. Namun apabila
∇T yang ditimbulkan cukup tinggi tentu saja gas tersebut akan mulai bergerak (dari
daerah yang mempunyai T yang tinggi ke daerah dengan T yang lebih rendah)
Apabila fluida di antara pelat A dan B ini adalah liquid maka proses yang sama akan
terjadi namun, tentunya, lebih kompleks karena adanya “intermolecular force”.
Mekanika Kontinum 62
Misalnya, sebuah molekul mempunyai kelebihan energi kinetik dan bergerak lebih
cepat. Karena adanya gaya tarik menarik yang kuat maka molekul ini akan menarik
beberapa molekul di sekitarnya. Sehingga molekul-molekul tersebut mendapatkan
“ekstra” energi kinetik.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa transfer atau transport dari energi
antarmolekul yang dijelaskan oleh q secara umum dapat dinyatakan sebagai q = q(∇T )
karena energy transport ini secara makroskopik disebabkan adanya ∇T di dalam fluida.
Selain transport momentum dan energi, ada satu fenomena transport lagi yang terjadi di
dalam ”fluida campuran”(fluida yang terdiri dari beberapa “species”). Misalkan fluida
tersebut terdiri dari 2 species (titik hitam dan titik putih) seperti dalam gambar di atas.
Misalkan juga salah satu species (hitam) di lapisan I lebih banyak daripada species
lainnya (putih). Karena molekul-molekul dalam fluida (baik gas maupun liquid)
bergerak secara acak, baik putih maupun yang hitam, maka secara umum akan terdapat
flux dari salah satu species yang melewati perbatasan antara lapisan-lapisan tersebut
(misalnya flux dari molekul hitam dari lapisan I ke lapisan II dan flux dari molekul
putih dari lapisan II ke I). Pergerakan molekul-molekul ini sedemikian rupa sehingga
terdapat kecenderungan untuk “meratakan” komposisi dari kedua jenis molekul tersebut
di setiap lapisan. Proses ini disebut juga proses difusi dan seperti telah dijelaskan
sebelumnya, adalah akibat dari adanya gerakan acak dari molekul-molekul dalam fluida.
Karena secara makroskopik proses ini terjadi akibat adanya gradien dari konsentrasi (Ci)
( )
dari salah satu “species” maka flux ini j i dapat dinyatakan sebagai j i = j i (∇C i )
Mekanika Kontinum 63
di mana Ω = Ω( p, T , C i ) .
Hubungan ini disebut juga “Onsager reciprocal relation”. Selain itu terdapat sebuah
prinsip penting yang disebut “Curie’s principle” yang menyatakan bahwa,
Tidak ada “coupling” antara tensor orde ganjil dengan tensor orde genap untuk
hubungan linear seperti J = Ω ⋅ X
solid, misalnya, adalah proses yang reversible sehingga metode ini tidak dapat
digunakan untuk mendapatkan persamaan konstitutif untuk kasus tersebut. Selain itu,
bentuk dari J = Ω ⋅ X haruslah memenuhi prinsip-prinsip dasar untuk persamaan
τ = Ω : ∇u + Ω12 ⋅ ∇T dan q = Ω 21 ⋅ ∇u + Ω 22 ⋅ ∇T .
11
“Onsager reciprocal relation” menyatakan bahwa Ω12 = Ω21. Namun, τ adalah tensor
orde genap sedangkan ∇T adalah vektor atau tensor orde satu (ganjil). Oleh karena itu,
menurut “Curie’s principle” tidak ada ada coupling antara τ dan ∇T dan juga dengan
Ω12 = Ω 21 = 0
sehingga
τ = Ω : ∇u dan q = Ω 22 ⋅ ∇T
11
Hubungan antara τ dan ∇u dan q dengan ∇T di atas telah memenuhi prinsip dasar a
dan b. Akan kita lihat nanti bahwa prinsip dasar c mengharuskan Ω & Ω 22 adalah
11
Di subbagian ini kita akan lihat contoh dari penerapan prinsip-prinsip dasar untuk
persamaan konstitutif. Contoh yang akan dibahas adalah untuk fluida yang homogen
(hanya terdiri satu species sehingga ( ∇C i = 0 ). Fluida inilah yang akan kita bahas
dalam buku ini.
Dari penjelasan di subbagian sebelum ini dapat disimpulkan bahwa untuk fluida yang
homogen dapat dinyatakan sebagai q = q( p, T ; ∇T ) . Penulisan q sebagai fungsi p,
− − −
& local action). Sekarang kita akan lihat bagaimana bentuk dari yang memenuhi
prinsip c) (principle of material frame indifference).
Karena q adalah sebuah vektor maka untuk memenuhi c) q haruslah, (lihat subbagian
− −
frame indifference)
q = Q⋅q (c.1)
Karena q adalah fungsi dari p, T, ∇T kita harus cek apakah variabel-variabel ini
−
∂xi ∂x
Kita telah lihat sebelumnya bahwa T*=T dan eˆi* = Q ⋅ eˆi . Juga xi adalah skalar sehingga
q ( p , T ; Q ⋅ ∇T ) = Q ⋅ q ( p , T ; ∇T )
Namun persamaan di atas adalah definisi dari fungsi yang isotropik untuk sebuah
vektor. Dengan demikian maka prinsip c) mengharuskan adalah sebuah fungsi yang
isotropik. Fungsi isotropik yang paling umum adalah
~
q = k ( p, T ; ∇T )∇T
Hukum konduksi Fourier yang kita kenal adalah kasus spesial dari hubungan di atas.
Hubungan inilah yang biasanya digunakan untuk fluida yang dibahas dalam subbagian
ini. Jadi
Mekanika Kontinum 67
Dari diskusi sebelumnya kita ketahui bahwa untuk fluida yang dibahas di sini σ dapat
dinyatakan sebagai,
σ = σ ( p , T ; ∇u )
Seperti halnya q , penulisan σ seperti di atas telah memenuhi prinsip a) & b).
−
Sekarang kita lihat bagaimana bentuk dari σ yang memenuhi prinsip c). Untuk
σ * = Qσ Q T (c.2)
Karena σ adalah fungsi dari p, T & ∇u , kita harus cek bagaimana bentuk dari (∇u ) *
(kita telah lihat sebelum ini bahwa T* = T & p* = p). Dari salah satu contoh di
subbagian frame indifference,
(∇u ) * = Q Q + Q∇u ⋅ Q .
T T
(∇u ) * = Q Q + Q DQ + QΩQ
T T T
Dari kedua persamaan terakhir di atas, jelaslah bahwa secara umum ∇u tidak memenuhi
prinsip c). ∇u akan memenuhi c) apabila Q = 0 atau apabila kita pilih Q = −Q Ω .
Untuk sementara kita pilih Q = −Q Ω dan kita akan lihat nanti apa implikasi dari pilihan
ini. Dengan pilihan Q ini maka,
T
(∇u ) * = Q DQ
Dengan demikian maka,
σ * = σ ( p *T * ; (∇u ) * ) = σ ( p, T ; (∇u ) * , Q DQ T
Namun, persamaan di atas adalah definisi dari fungsi yang isotropik dari sebuah tensor
orde 2. Dengan demikian, sekali lagi prinsip c) mengharuskan hubungan konstitutif
untuk sebuah fungsi yang isotropik. Fungsi isotropik yang paling umum untuk sebuah
tensor orde 2 adalah ,
σ = η0 I + η1 D + η 2 .D D & ηi = ηi ( P, T , I D , II D , III D ) .
det(mI + D) = m 3 + I D m 2 + II D m + III D = 0
( I D , II D , III D = 0 apabila D = 0 ).
Fluida dengan persamaan konstitutif seperti diatas disebut juga fluida: “Rainner- Rivlin”
. Karena D adalah simetrik maka σ seperti di atas secara otomatis memenuhi
Dari penjelasan fisis yang telah diberikan di bagian sebelumnya kita ketahui apabila
∇u = 0 ( D = 0 ) maka σ = − p I atau σ untuk fluida yang diam adalah tekanan (p).
σ = (− p + υ 0 ) I + υ1 D + υ 2 .D D
dimana
υ i = υ i ( p, T , I D , II D , III D )
Sekarang kita akan kembali untuk melihat kembali interpretasi fisis dari pilihan kita
untuk Q . Dengan memilih Q = −Q Ω , kita dapatkan persamaan (c.3). Dalam
persamaan ini tidak terdapat Ω dan kita telah lihat sebelumnya, bahwa Ω menjelaskan
rotasi benda rigid. Jadi dengan kata lain pilihan kita menyatakan bahwa Ω tidak
menyebabkan adanya stress ( σ ). Ini tentunya sesuai dengan kenyataan fisis yang
sebenarnya karena rotasi benda rigid tidak menyebabkan adanya gerakan relatif antara
lapisan-lapisan dalam fluida. Dengan demikian maka pilihan kita tadi bukanlah pilihan
sembarang melainkan pilihan yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Mekanika Kontinum 69
Persamaan (c.3) adalah bentuk umum untuk material (fluida) yang mempunyai
σ = σ (∇u ) . ”Fluida Newtonian” adalah kasus spesial dari (c.3) di mana hubungan
σ = − p I + λ (∇ ⋅ u ) I + 2µ D
Model “Fluida Newtonian” ini dapat digunakan untuk hampir semua fluida yang alami
seperti udara, air, dan gas& liquid lannya. Namun, terdapat pula fluida alami seperti
darah yang tidak dapat dimodelkan sebagai “Fluida Newtonian”.
Hubungan antara koefisien seperti k , λ & µ dengan p & T biasanya didapatkan dari
eksperimen. Untuk gas, koefisien ini dapat dihubungkan dengan properti–properti
mikroskopik dengan menggunakan teori kinetik. Kenyataan bahwa harga k , λ & µ
tidak didapatkan dari sistem persamaan adalah konsequensi dari penggunaan metode
kontinum.
Dasar Mekanika Fluida 70
BAB
2
Dasar Mekanika Fluida
Di subbagian sebelum ini, kita telah mendapatkan persamaan konstitutif untuk fluida.
Persamaan konstitutif ini menjelaskan hubungan antara tegangan (stress) untuk fluida
dengan ∇u (deformasi). Apabila kita akan masukkan ekspresi untuk σ ini ke dalam
persamaan-persamaan dasar kontinum maka akan kita dapatkan sistem persamaan yang
menjelaskan gerak fluida.
Persamaan yang pertama dalam sistem persamaan ini adalah persamaan kontinuitas.
Karena dalam persamaan ini tidak terdapat σ maka persamaan ini tidak berubah, yaitu,
dρ
+ ρ∇ ⋅ u = 0 (a)
dt
Persamaan yang kedua adalah persamaan momentum. Di sini terdapat
σ = − pI + τ
dimana τ adalah,
τ = λ I (∇ ⋅ u ) + µ (∇u + (∇u ) T ) = λ (∇ ⋅ u ) I + 2µ D .
ρ
du
dt
[
= ρ G − ∇p + ∇ ⋅ λ (∇ ⋅ u ) I + 2µ D ] (b)
[
∇ ⋅ τ = λ∇(∇ ⋅ u ) + µ ∇ ⋅ (∇u ) + ∇ ⋅ (∇u ) T ]
= λ∇(∇ ⋅ u ) + µ [∇ ⋅ (∇u ) + ∇ u ]
2
Sekarang kita beralih ke persamaan energi. Selain terdapat σ , dalam persamaan ini
juga terdapat q (heat conduction). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, q untuk fluida
adalah,
q = − k∇T
Persamaan energi mempunyai beberapa bentuk alternatif. Salah dari bentuk alternatif
adalah persamaan yang menjelaskan perubahan waktu dari entropi sebuah fluid element.
Persamaan ini seringkali digunakan untuk menggantikan persamaan energi. Untuk
mendapatkan persamaan ini kita harus melakukan beberapa manipulasi terhadap
persamaan momentum dan energi. Dalam melakukan manipulasi itu, kita juga akan
mendapatkan persamaan yang menjelaskan laju perubahan energi kinetik dan energi
dalam dari sebuah fluid element. Kita mulai mulai proses manipulasi ini dengan
mengambil dot product persamaan (b) dengan u (u ⋅ (b) ) dan hasilnya adalah,
Dasar Mekanika Fluida 72
du d u2
ρu ⋅ =ρ = −u ⋅ ∇p + ρ G ⋅ u + u ⋅ (∇ ⋅ τ ) (KE)
dt dt 2
Persamaan di atas adalah persamaan untuk energi kinetik.
Persamaan di atas adalah persamaan untuk energi dalam (internal energy). Namun,
apabila kita mengingat hasil termodinamika, persamaan untuk perubahan waktu dari
internal energy dapat diturunkan dengan cara lain. Pertama-tama, hasil dari
termodinamika menyatakan bahwa untuk proses yang reversible,
⎛1⎞ p dρ
de = T ds − p d ⎜⎜ ⎟⎟ = T ds +
⎝ρ⎠ ρ ρ
Sehingga,
⎛ de ⎞ ds p dρ
⎜ ρ ⎟ = ρT +
⎝ dt ⎠ rev dt ρ dt
di mana subscript “rev” adalah untuk mengingatkan kita bahwa hasil di atas adalah
de
untuk proses yang internally reversible. Apabila kita substitusikan hasil ini untuk ρ
dt
di persamaan (IE) maka hasilnya adalah,
ds
ρT = ρQ − ∇ ⋅ q + (τ ⋅ ∇) ⋅ u
dt
atau,
ds ρQ ∇ ⋅ q (τ ⋅ ∇) ⋅ u
ρ = − + (d)
dt T T T
Dasar Mekanika Fluida 73
Persamaan di atas menjelaskan perubahan waktu dari entropi (s). Masih banyak lagi
bentuk alternatif dari persamaan energi selain ketiga persamaan diatas (energi kinetik,
energi dalam, dan entropi). Bentuk-bentuk alternatif lainnya akan diturunkan di 2.2.1.
Di subbagian sebelum ini kita telah mendapatkan persamaan yang menjelaskan laju
perubahan entropi untuk sebuah fluid element. Sekarang kita akan gunakan hasil
tersebut untuk melihat konsekuensi dari Hukum Termodinamika II untuk fluida.
Pertama-tama, mari kita ambil integral dari persamaan (d). Apabila ρ, s, Q, T, k, u , dan
τ adalah fungsi-fungsi yang kontinu dan dapat didiferensialkan maka (*) dan (**) dapat
digunakan dalam mengambil integral dari persamaan (d). Hasilnya adalah,
ds ρQ ∇ ⋅ (k∇T ) (τ ⋅ ∇)u
∫ρ
V (t )
dt
dV = ∫
V (t )
T
dV + ∫
V (t )
T
dV + ∫
V (t )
T
dV (x)
di mana V(t) adalah volume material dan kita telah subtitusikan q = − k∇T .
ubah menjadi integral volume dengan menggunakan (*) sehingga suku kedua dalam
integral diatas menjadi,
q ⋅ nˆ ⎛q⎞ ⎛ − k∇T ⎞ ⎛ 1 k (∇T ) 2 ⎞
∫
S (t )
T
dS = ∫ ⎜ T ⎟⎠ V∫(t ) ⎝ T ⎠ V∫(t ) ⎜⎝ T
∇
V (t ) ⎝
⎜ ⎟dV = ∇ ⋅ ⎜ ⎟dV = ⎜ − ∇ ⋅ ( k∇ T ) +
T2
⎟⎟dV
⎠
Dengan demikian maka Hukum Termodinamika II menjadi,
ds ∇ ⋅ (k∇T ) (∇T ) 2 ρQ
∫
V (t )
ρ
dt
dV − ∫
V (t )
T
+ ∫ k
V (t ) T 2
dV − ∫
V (t )
T
dV ≥ 0
Sekarang kita substitusikan persamaan (x) ke dalam pertidaksamaan di atas dan hasilnya
adalah
Dasar Mekanika Fluida 74
k (∇T ) 2 (τ ⋅ ∇) ⋅ u
∫
V (t ) T 2
dV + ∫
V (t )
T
dV ≥ 0 (xx)
Hasil di atas menjadi persamaan untuk proses reversible dan pertidaksamaan untuk
proses irreversible. Seperti telah kita ketahui dari termodinamika, proses irreversible
merupakan proses yang menyebabkan adanya energi yang hilang atau “terdisipasi” di
dalam sistem (material volume). Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa q dan τ adalah
sesuatu yang menyebabkan terjadinya disipasi (hilangnya) energi dalam sistem fluida.
Sebab apabila q = 0 dan τ = 0, maka proses menjadi reversible dan tidak ada energi
yang hilang.
∂u i ⎡ ∂u k ⎛ ∂u ∂u j ⎞⎤ ∂u i
(τ ⋅ ∇ )⋅ u = τ ij = ⎢λ
∂x j ⎢⎣ ∂x k
δ ij + µ ⎜⎜ i + ⎟⎥
⎟⎥ ∂x
⎝ ∂x j ∂xi ⎠⎦ j
⎞ ⎡⎛ ∂u i ∂u j ⎞⎤
2
⎛ ∂u ⎞ 1 ⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎛ ∂u i ∂u j
= λ ⎜⎜ k ⎟⎟ + µ ⎜ i + j ⎟ ⎢⎜ + ⎟+⎜ − ⎟⎥
⎝ ∂x k ⎠ 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟ ⎢⎜ ∂x
⎠ ⎣⎝ j ∂xi ⎟ ⎜ ∂x
⎠ ⎝ j ∂xi ⎟⎥
⎠⎦
2 2
⎛ ∂u ⎞ 1 ⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎛ ∂u
⎟ + 1 µ ⎜ ∂u i + j
⎞⎛ ∂u i ∂u j ⎞
= λ ⎜⎜ k ⎟⎟ + µ ⎜ i + j ⎟⎜ − ⎟
⎝ ∂x k ⎠ 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟
⎠ 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎜ ∂x
⎠⎝ j ∂xi
⎟
⎠
µ 3 ⎛⎜ ∂u i ∂u j ⎞⎟ µ 3 ⎡⎢⎛⎜ ∂u i ⎞⎟ ⎛ ∂u j ⎞ ⎤⎥
2 2 2 2
(τ ⋅ ∇ )⋅ u = λ ∑ ⎛⎜⎜ ∂∂ux k ⎞
3
k =1 ⎝
⎟⎟ + ∑ +
2 i =1, j =1 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎠
+ ∑ −⎜ ⎟
2 i =1, j =1 ⎢⎜⎝ ∂x j ⎟⎠ ⎜⎝ ∂xi ⎟⎠ ⎥
k ⎠
⎣
⎦
adalah skalar ≡ Φ =0
( )
= λ ∇ ⋅u +
2 µ
2
Φ
di mana Φ ≥ 0
k (∇T ) (∇ ⋅ u ) dV + µ ΦdV ≥ 0
2 2
∫
V (t )
T
dV + ∫ λ
V (t )
T ∫ 2
V (t )
Persamaan-persamaan (a), (b), dan (c) adalah persamaan dasar untuk fluida. Dari sistem
persamaan ini, dapat dilihat bahwa kita perlu mengetahui variabel (ρ, u , p, e, T, k, λ,
Jadi jelaslah bahwa persamaan (a) sampai dengan (c) tidak cukup untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Kita membutuhkan lima persamaan lagi untuk melengkapi “sistem
persamaan” fluida. Dua persamaan ini didapatkan dari persamaan termodinamika, yaitu
persamaan keadaan seperti:
e = e ( p, T ) & p = ( ρ , T ) (e)
λ = λ ( p , T ) , k = k ( p , T ) , µ = µ ( p, T ) (f)
Dengan adanya persamaan (e) dan (f), maka lengkaplah sistem persamaan yang kita
miliki untuk menyelesaikan permasalahan mekanika fluida (persamaan (a), (b), (c), (e),
Dasar Mekanika Fluida 76
dan (f) ). Bentuk eksplisit dari persamaan (e) dan (f) sendiri tergantung dari jenis fluida
tersebut (misalnya fluida ideal atau benda cair).
Contoh: untuk perfect gas persamaan (e) adalah:
p = ρRT ,
⎛ ∂e ⎞
Cv = ⎜ ⎟ = kons tan
⎝ ∂T ⎠ v
sehingga e = C v T + kons tan
Catatan: Sistem persamaan (a) sampai dengan (f) adalah sistem persamaan untuk
fluida yang homogeneous. Dengan kata lain fluida dianggap sejenis dan
tidak terjadi reaksi kimia. Apabila fluida tidak homogeneous dan komposisi
dari species yang membentuk fluida tersebut berbeda di setiap titik-titik,
maka dibutuhkan lagi persamaan tambahan untuk melengkapi sistem
persamaan, misalnya persamaan yang menjelaskan konsentrasi (Ci) dari
setiap species fluida tersebut. Dalam aerodinamika kasus fluida yang tidak
homogeneous terjadi dalam aliran hypersonic. Dalam aliran hypersonic dapat
terjadi proses disosiasi dan ionisasi di daerah-daerah yang mempunyai
temperatur, T, yang sangat tinggi.
Dalam kasus-kasus tertentu, persamaan (c) bukanlah bentuk yang terbaik untuk
digunakan. Dalam kasus-kasus seperti ini kita dapat gunakan persamaan energi dalam
bentuk lain; yaitu dengan menggunakan variabel h (entalphi) untuk menggantikan
variabel e (internal energy). Definisi entalphy adalah:
p
h = e+
ρ
Sehingga,
1 p
dh = de + dp − dρ
ρ ρ2
dan
Dasar Mekanika Fluida 77
dh de dp p d ρ
ρ =ρ + −
dt dt dt ρ dt
de
Sekarang kita substitusikan persamaan untuk dan hasilnya adalah:
dt
dh dp
ρ = ρ Q + ∇ ⋅ k ∇T + (τ ⋅∇ ) ⋅ u + (g)
dt dt
Selain bentuk persamaan energi seperti di atas, ada lagi bentuk alternatif dari persamaan
energi, yaitu persamaan untuk laju perubahan temperatur dari sebuah fluid element.
Bentuk alternatif persamaan energi seperti ini digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan perpindahan panas. Selain itu bentuk persamaan energi seperti ini juga
lebih nyaman untuk digunakan karena variabel temperatur adalah variabel yang dapat
langsung digunakan (tidak seperti energi dalam dan entalpi, misalnya).
Untuk mendapatkan bentuk alternatif persamaan energi ini kita mulai dari persaman
untuk energi dalam,
de
ρ = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u − p ( ∇ ⋅ u ) + ρ Q
dt
Sekarang kita akan ubah ekspresi untuk e dalam persamaan di atas dengan
menggunakan hasil dari termodinamika.
⎛ ∂s ⎞ ⎡ ⎛ ∂s ⎞ ⎤
de = T ds − p dv = T ⎜ ⎟ dT + ⎢T ⎜ ⎟ − p ⎥ dv
⎝ ∂T ⎠ v ⎣ ⎝ ∂v ⎠ ⎦
Turunan parsial untuk s dalam persamaan di atas dapat diubah dengan menggunakan
definisi untuk Cv dan Helmholtz potensial ψ.
⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞
Cv ≡ ⎜ ⎟ =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ =T⎜ ⎟ , dψ = − pdv − sdt
⎝ ∂T ⎠v ⎝ ∂s ⎠v ⎝ ∂T ⎠v ⎝ ∂T ⎠ v
sehingga
⎛ ∂ψ ⎞ ⎛ ∂ψ ⎞
p = −⎜ ⎟ , s = −⎜ ⎟
⎝ ∂v ⎠T ⎝ ∂T ⎠v
∂ 2ψ ∂ 2ψ
Karena = maka,
∂v∂T ∂T∂v
Dasar Mekanika Fluida 78
⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂s ⎞
⎜ ⎟ =⎜ ⎟
⎝ ∂T ⎠v ⎝ ∂v ⎠T
Jadi persamaan untuk energi dalam dapat dituliskan seperti,
dT ⎛ ⎛ ∂p ⎞ ⎞ dv
ρ Cv = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u + ρ Q − p ( ∇ ⋅ u ) − ρ ⎜ T ⎜ ⎟ − p⎟
dt ⎝ ⎝ ∂T ⎠v ⎠ dt
1 dv 1 dρ 1
Karena v ≡ maka =− 2 = ∇ ⋅ u , maka persamaan untuk energi dalam
ρ dt ρ dt ρ
menjadi:
dT ⎛ ∂p ⎞
ρ Cv = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u − T ⎜ ⎟ ∇ ⋅ u + ρQ (h)
dT ⎝ ∂T ⎠v
Bentuk persamaan energi di atas (g), lebih mudah digunakan karena bentuk ini kita
gunakan variabel T (bukan e atau h seperti sebelumnya) karena kondisi batas biasanya
⎛ ∂T ⎞
diberikan dalam bentuk T = Twall atau ⎜ ⎟
⎝ ∂n ⎠ wall
Satu lagi bentuk alternatif untuk persamaan energi, yaitu bentuk lain dari persamaan (g).
dari termodinamika kita tahu bahwa: dh = Tds + vdp .Apabila kita nyatakan s = s ( p, T )
maka persamaan tersebut menjadi,
⎛ ∂s ⎞ ⎛ ⎛ ∂s ⎞ ⎞
dh = T ⎜ ⎟ dT + ⎜⎜ T ⎜⎜ ⎟⎟ + v ⎟⎟dp
⎝ ∂T ⎠ p ⎝ ⎝ ∂p ⎠ T ⎠
Sekarang,
⎛ dh ⎞ ⎛ ∂h ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞
Cp ≡ ⎜ ⎟ =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ =T⎜ ⎟
⎝ dT ⎠ p ⎝ ∂s ⎠ p ⎝ ∂T ⎠ p ⎝ ∂T ⎠ p
juga kita ketahui untuk hubungan diferensial untuk Gibbs potential (g):
⎛ ∂q ⎞ ⎛ ∂q ⎞
dq = vdp − sdT atau v = ⎜⎜ ⎟⎟ dan s = ⎜ ⎟
⎝ ∂p ⎠ T ⎝ ∂T ⎠ P
sehingga
⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂v ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ = ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ ∂p ⎠ T ⎝ ∂p ⎠ T
dengan demikian persamaan untuk dh menjadi:
Dasar Mekanika Fluida 79
⎛ ⎛ ⎛ 1 ⎞⎞ ⎞
⎜ ⎜ ∂⎜ ρ ⎟ ⎟ ⎟
⎜
ρ dh = ρC p dT + Tρ ⎜ ⎝ ⎠ ⎟ + 1⎟dp
⎜ ⎜ ∂p ⎟ ⎟
⎜ ⎜ ⎟ ⎟
⎝ ⎝ ⎠T ⎠
⎛ T ⎛ ∂ρ ⎞ ⎞
ρ dh = ρC p dT + ⎜⎜1 − ⎜⎜ ⎟⎟ ⎟⎟dp
⎝ ρ ⎝ ∂p ⎠ T ⎠
Dengan menggunakan hubungan di atas, persamaan (g) menjadi:
dT T ⎛ ∂ρ ⎞ dp
ρC p = ρ Q + ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u + ⎜ (i)
dt ρ ⎝ ∂p ⎟⎠T dt
apabila terdapat benda di dalam aliran yang bergerak dengan kecepatan U wall . Dengan
kata lain kondisi batas ini menyatakan bahwa lapisan fluida yang berbatasan dengan
permukaan benda bergerak dengan kecepatan benda tersebut.
Untuk persamaan energi, kondisi batasnya biasanya diberikan untuk temperatur (T).
Seperti telah kita lihat bentuk alternatif dari persamaan energi dapat dituliskan dengan
menggunakan T (persamaan (h) atau (i)). Apabila terdapat benda dalam aliran, maka
kondisi batas untuk persamaan energi adalah :
T ( x = x wall , t ) = Twall
atau
∂T ∂T
k ( x = x wall , t ) = ⎛⎜ k ⎞⎟
∂nˆ ⎝ ∂nˆ ⎠ wall
Dasar Mekanika Fluida 80
Kondisi batas yang pertama menyatakan bahwa T dari lapisan fluida yang berbatasan
dengan benda adalah T benda. Sedangkan yang kedua menyatakan flux dari T di arah n̂
(normal terhadap benda) dari lapisan fluida yang berbatasan dengan benda adalah flux
dari T di arah n̂ yang “keluar/masuk” benda tersebut. Karena q = − k∇T , kondisi batas
yang kedua menjelaskan proses perpindahan panas atau heat transfer dari atau ke
permukaan benda.
Pada kasus-kasus tertentu, kedua kondisi batas untuk persamaan energi ini di gunakan
secara bergantian. Misalnya, kita mempelajari kasus dimana sebuah benda panas
dimasukkan kedalam suatu aliran fluida dengan temperatur yang lebih rendah. Dari
pengalaman sehari-hari kita ketahui bahwa pada saat-saat awal, temperatur benda
tersebut tidak banyak berubah sehingga pada saat-saat tersebut kondisi batas yang
digunakan adalah T ( x = x wall , t ) = Twall . Namun, setelah selang waktu tertentu, mulai
ada transfer panas dari benda ke fluida sehingga temperatur benda (Twall) turun. Pada
∂T ∂T
saat ini kondisi batas yang kita gunakan adalah k ( x = x wall , t ) = ⎛⎜ k ⎞⎟ . Transfer
∂nˆ ⎝ ∂nˆ ⎠ wall
panas ini terus berlangsung sampai pada akhirnya terjadi kesetimbangan antara
temperatur benda dan temperatur fluida disekitarnya dan pada saat itu proses
∂T
perpindahan panas berhenti sehingga kondisi batasnya adalah k ( x = x wall , t ) = 0 .
∂nˆ
Kondisi dimana qwall = 0 ini disebut Adiabatic wall condition.
~ x ~ k ~ C Cγ ~ G C po
x≡ ,k ≡ , Cv ≡ v = v o , G ≡ , γo ≡
Lo ko Cvo C po go C vo
Dasar Mekanika Fluida 81
airfoil) dan lain-lain. Sekarang apabila kita ganti variabel-variabel misalnya ρ = ρ~ρ o ,
dan seterusnya kedalam persamaan (a) dan (b), maka kita dapatkan :
1 ∂ρ~ ~ ~ ~
+ ∇.(ρ u ) = 0 (a~ )
S ∂~ t t
1 ∂u
ρ
St ∂t
u = − 1 ∇
+ ρ u ⋅∇( )
Ru
p + 1 ∇ ⋅τ + 1 ρ G
Re Fr
(b~ )
di mana
∂ ∂ 1 ~
∇= = ~ = ∇
∂ x Lo ∂ x Lo
Untuk persamaan energi, kita akan menggunakan persamaan (h) dan kita akan lakukan
ini untuk kasus besar Q = 0
⎧ ∂T ⎫ ⎛ ∂p ⎞
ρ Cv ⎨ + ( u ⋅∇ ) T ⎬ = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u − T ⎜ ⎟ ∇ ⋅ u .
⎩ ∂t ⎭ ⎝ ∂t ⎠v
Apabila kita subsitusikan variabel di atas ke dalam persamaan ini dan hasilnya lalu
Lo γ o
dikalikan , maka :
ρ o C poTo u o
1 ∂T T = γ o ∇ T − Br .γ o T ⎛ ∂p ⎞ ∇ Br .γ 0
St
ρ Cv
∂t
(
+ ρ C v u ⋅∇ )
Re .Pr
⋅ .k∇ ( )
⎜ ⎟ ⋅ u +
Ru .Pr ⎝ ∂T ⎠v Re .Pr
) ⋅ u (c~ )
(τ ⋅∇
di mana :
St ≡
touo (Bilangan Strouhal), ρ o u o2 (Bilangan Ruark)
Ru ≡
Lo Po
ρ o u o Lo (Bilangan Reynolds), u o2 (Bilangan Froude)
Re ≡ Fr ≡
µo g o Lo
C Po µ o (Bilangan Prandtl), µ o u o2 (Bilangan Brinkman)
Pr ≡ Br ≡
ko k oTo
Selain angka-angka di atas kadangkala digunakan juga :
Br
Pe ≡ Pr .Re (Bilangan Peclet), Ec ≡ (Bilangan Eckert)
Pr
Dasar Mekanika Fluida 82
Catatan : Dapat dilihat dari definisi di atas bahwa harga Pr tergantung dari jenis fluida
dan tidak bergantung dari aliran.
Dalam aerodinamika biasanya kita mempelajari aliran udara. Udara dapat diasumsikan
sebagai perfect gas. Untuk perfect gas, kita dapat menggunakan parameter lain yang
lebih umum digunakan dalam aerodinamika seperti M (Mach number). Pertama-tama
kita mulai dari definisi Ru
ρ 0 u 02 γ 0 ρ 0 u 02
Ru ≡ =
P0 γ 0 P0
Dasar Mekanika Fluida 83
γ 0 P0
Untuk perfect gas a02 = sehingga,
ρ0
γ 0 u 02
Ru = 2
= γ 0 M 02 .
a 0
γ 0R
Untuk perfect gas C p0 = sehingga,
γ 0 −1
u 02 u 02
εc = (γ 0 − 1) = (γ 0 − 1) 2 = (γ 0 − 1) M 02 .
γ 0 RT0 a0
Dengan demikian maka persamaan-persamaan (ã) s/d (ĉ) untuk perfect gas menjadi :
1 ∂ρ
+ ∇ ⋅ ( ρ u ) = 0
St ∂t
1 ∂u
ρ + ρ (u ⋅∇ )u = −
St ∂t
1
γ 0M 0
2
∇p + ∇
1
Re
1
⋅τ + ρ G
Fr
(d~ )
1 ∂T )T = γ 0 (∇ ⋅ k∇ ⋅ u + γ 0 (γ 0 − 1) M 0 (τ ⋅∇ ) ⋅ u
2
ρ Cv + ρ C v (u ⋅∇ T ) − (γ − 1) P ∇
∂t
0
St Re Pr Re
~ ⎛ ∂~
~
() p⎞
Catatan: Dalam d suku T ⎜ ~ ⎟ didalam persamaan energi telah diubah sebagai
⎝ ∂T ⎠υ
berikut:
ρRT0 ~
p = ρRT ⇒ ~
p= T
p0
⎡ q ⋅ nˆ ⎤
⎢ ρws + ⎥ ≥ 0 ………………………………………………...(d)
⎣ T ⎦
dimana w ≡ u ⋅ nˆ -v ⋅ nˆ
i) Tangensial Discontiunity
Untuk jenis ini tidak ada massa yang melewati permukaan diskontiniutas sehingga:
(u 1 − v ) ⋅ nˆ = (u 2 − v ) ⋅ nˆ = 0 atau w = 0
Untuk kasus ini persamaan (a) lansung terpenuhi. Persamaan (b) dan (c) menjadi :
(− p I + τ )⋅ nˆ = (-p I + τ )⋅ nˆ
1 2
[(-p I + τ )⋅ u − q ]⋅ nˆ = [(-p I + τ )⋅ u ]
1 2
1 1 1 1 2 2 2 − q 2 ⋅ nˆ
u 1 ⋅ nˆ = u 2 ⋅ nˆ (T.D.2)
Dasar Mekanika Fluida 85
Catatan:
a) Apabila kita gunakan (T.D.I) dan kembali ke persamaan (b) maka kita dapatkan :
w[ρ u ] = 0
karena w ≡ 0 maka persamaan di atas menyatakan bahwa [ρ u ] tidak harus sama
dengan nol. Sedangkan persamaan (d), w[ρ ] = 0 , jadi [ρ ] tidak harus sama dengan
nol. Jadi ada 2 macam tipe tangential discontinuity:
1. Di mana ρ1 ≠ ρ 2 tetapi u 1 = u 2 . Discontiniuty tipe ini dinamakan contact
discontinuity.
2. ( ρ1 = ρ 2 ) tetapi u 1 ≠ u 2 . Karena u 1 ⋅ nˆ = 0 = u 2 ⋅ nˆ maka discontinuity jenis
ini berarti komponen kecepatan yang sejajar dengan permukaan diskontiniutas
(u II ) diskontinyu atau u II1 ≠ u II 2 . Discontinuity jenis ini disebut slip surface.
b) Untuk (d) ketidaksamaan menjadi persamaan w[ρs ] = 0 , jadi untuk kedua tipe di
atas ( 1) dan 2) ), S1 tidak harus sama dengan S2.
( )
ρ1w1 ⎜ e1 + ⎟ − − p1 u1 + τ 1 ⋅ u1 − q1 ⋅ nˆ = ρ 2 w2 ⎜ e2 +
2 ⎠ 2 ⎠
( )
⎟ − − p1 u 2 + τ 2 ⋅ u 2 − q 2 .nˆ
⎝ ⎝
q ⋅ nˆ q ⋅ nˆ
ρ 2 w2 s2 + 2 ≥ ρ1w1s1 + 1
T2 T1
Karena n̂ adalah unit vector yang menunjukkan arah normal dari permukaan
diskontiniutas maka komponen persamaan kedua di atas yang sejajar dengan permukaan
diskontinuitas adalah,
ρ1w1 u //1 = ρ2 w2 u // 2
atau
Dasar Mekanika Fluida 86
u //1 = u // 2 .
Jadi untuk normal discontinuity komponen kecepatan yang sejajar dengan permukaan
(u//) diskontiniutas harganya kontinyu. Apabila asumsi inviscid dan adiabatic dapat
digunakan maka persamaan di atas menjadi,
ρ1 w1 = ρ 2 w2 (ND.1)
ρ1 w1 u 1 + p1 nˆ = ρ2 w2 u 2 + p 2 nˆ (ND.2)
⎛ u1
2
⎞ ⎛ u ⎞
2
⎜
ρ1 w1 ⎜ e1 + ⎟ + p1 u 1 ⋅ nˆ = ρ 2 w2 ⎜ e2 + 2 ⎟ + p 2 u 2 ⋅ nˆ (ND.3)
2 ⎟ ⎜ 2 ⎟⎠
⎝ ⎠ ⎝
ρ2 w2 s2 ≥ ρ1w1s1 (ND.4)
Apabila kita teteskan air di atas meja maka tetesan air tersebut akan membentuk
“setengah bola” seperti sketsa sebelah kiri di atas. Apabila kita mempunyai tabung
yang diisi oleh air maka permukaan air tersebut akan melengkung seperti sketsa di
sebelah kanan. Fenomena-fenomena ini disebabkan oleh apa yang disebut “surface
tension”.
Secara mikroskopik efek ini disebabkan oleh ketidakseimbangan gaya antar molekul
yang dialami oleh molekul-molekul disekitar permukaan. Misalkan dalam kasus tetesan
air (sketsa kiri). Kita ketahui bahwa “intermolecular force” dari molekul-molekul
tersebut saling tarik menarik. Molekul-molekul di sekitar permukaan mengalami gaya
tarik yang disebabkan oleh molekul-molekul air di satu sisi. Namun, di sisi lain terdapat
Dasar Mekanika Fluida 87
molekul-molekul udara yang mempunyai gaya tarik yang sangat lemah. Oleh karena itu
molekul-molekul di sekitar permukaan (titik-titik hitam dalam sketsa diatas) akan
“ditarik” oleh molekul-molekul air (lihat sketsa ditengah) dan permukaan air akan
membentuk “setengah bola”
∫ (− p I + τ
S
1 1
) ⋅ nˆ ds = ∫ (− p 2 I + τ 2 ) ⋅ nˆ dS
S
atau
∫ (F
(1) (2)
− F ) ⋅ nˆ dS = 0
S
di mana
≡ − pi I + τ i
(i )
F
Apabila terdapat “surface tension” maka kita perlu tambahkan lagi satu gaya lagi
kedalam persamaan kesetimbangan diatas.
∫ (F − F ) ⋅ nˆ dS + ∫ σ tˆ × nˆ dl = 0
(1) (2)
(ST.1)
S C
Di mana τ : surface tension coefficient, n̂ : unit vektor arah normal dan tˆ : unit vektor
di arah yang sejajar dengan kurva c (sejajar dengan dl).
Dasar Mekanika Fluida 88
Sekarang kita akan ubah integral garis diatas menjadi integral area dengan
menggunakan salah satu versi dari stokes theorem yaitu
∫ A × d l = ∫ A × tˆ dl = ∫ [(∇ ⋅ A)nˆ − (∇ A) ⋅ nˆ ] dS
C C S
Sehingga,
) ⋅ nˆ = (∇ ⋅ (σ nˆ ))nˆ − ∇(σ nˆ ) ⋅ nˆ
(1) ( 2)
(F −F (ST.2)
Sekarang kita akan jabarkan suku kanan dari (ST.2) lebih lanjut
( ∇ ⋅ (σ nˆ ) ) nˆ − ∇ (σ nˆ ) ⋅ nˆ = σ ( ∇ ⋅ nˆ ) nˆ + ( ∇σ ⋅ nˆ ) nˆ − (σ∇nˆ + nˆ∇σ ) ⋅ nˆ .
( ∇σ ⋅ nˆ ) nˆ − ∇σ = − ( nˆ × ∇σ ) × nˆ
sehingga ruas kiri menjadi
σ ( ∇ ⋅ nˆ ) nˆ − ( nˆ × ∇σ ) × nˆ
( F ( ) − F ( ) ) ⋅ nˆ = σκ nˆ − ( nˆ × ∇σ ) × nˆ
1 2
(ST)
Suku terakhir di kanan dalam persamaan (ST) mempunyai arah yang sejajar dengan
permukaan. Untuk kasus inviscid, suku kiri dalam (ST) adalah ( p 2 − p1 )nˆ dan ini
adalah vektor di arah normal sama seperti σκ n̂ . Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa untuk kasus inviscid (τ i = 0 ) , ( nˆ × ∇σ ×) nˆ = 0 .
Apabila fluida 1 dan 2 dalam keadaan diam maka τ i = 0 . Dengan demikian maka
Sekarang kita akan lihat rumus di atas secara mendalam dengan mengamati kasus-
kaasus di bawah ini:
1) Pemukaan yang datar: Untuk permuakaan yang datar R1 → ∞, R2 → ∞ sehingga
3) Apabila tidak terdapat gaya eksternal (seperti gaya gravitasi) maka P2 & P1 adalah
konstan. Oleh karena itu,
⎛ 1 1 ⎞
⎜ + ⎟ = kons tan
⎝ R1 R2 ⎠
Untuk “permukaan bebas” seperti yang terdapat dalam kasus tetesan air hasil
diatas berarti berbentuk bola.
4) Apabila 1 adalah udara dan 2 adalah fluida yang berada dalam pengaruh gravitasi
maka: P1 = konstan dan P2 = kostan - ρ gz , \dimana 2 adalah koordinat vertikal.
Dasar Mekanika Fluida 90
Untuk kasus ini kondisi equilibrium yang dijelaskan oleh persamaan Laplace
menjadi:
1 1 ρ gz
+ + = kons tan
R1 R2 σ
2.6.1 Steady :
2.6.2 Inviscid :
Asumsi ini menyatakan bahwa suku yang menjelaskan efek viskos dalam persamaan–
persamaan dapat diabaikan. Asumsi ini dapat digunakan apabila Re sangat tinggi.
~ ~
Untuk kasus Re tinggi apabila kita lihat persamaan ( b ) & ( c ) maka suku-suku
1 ~ ~ Br γ o ~ ~ ~
∇⋅ τ & (τ ⋅ ∇) ⋅ u (Pr ~ 1)
Re Re Pr
menjadi sangat kecil & dapat diabaikan .
Dasar Mekanika Fluida 91
Selain itu apabila harga Re cukup tinggi, suku–suku dalam persamaan ( c~ ) , yaitu
γo ~
(∇ ⋅ q~ ) menjadi sangat kecil & dapat diabaikan ( karena Pr ~ 1). Karena
Re Pr
τ = τ (∇u ) dan q = q(∇T ) maka asumsi ini tidak dapat digunakan di daerah di mana
terdapat ∇u dan ∇T yang tinggi seperti daerah di dekat permukaan benda & dalam
shockwave.
Untuk aliran inviscid, persamaan momentum dan energi menjadi jauh lebih sederhana,
du
ρ = −∇p + ρ G (persamaan Euler)
dt
d u2
ρ (e + ) = ρ (G ⋅ u + Q) − ∇ ⋅ ( pu )
dt 2
Apabila kita bandingkan dengan persamaan umum untuk momentum persamaan Euler
adalah satu orde (di x ) lebih rendah. Oleh karena itu persamaan ini tidak memenuhi
kondisi batas (boundary condition) u ( x = x wall , t ) = U wall . Kondisi batas kondisi batas
yang harus dipenuhi oleh persamaan Euler hanyalah sebagian dari kondisi batas yang
dipenuhi oleh persamaan Navier-stokes, yaitu
u ( x = x wall , t ) ⋅ nˆ = U wall ⋅ nˆ
Sedangkan, kondisi batas lainnya yang menyatakan bahwa kecepatan aliran fluida
didekat permukaan benda yang mempunyai arah sejajar dengan permukaan benda
haruslah sama dengan kecepatan benda diarah tersebut tidak dapat dipenuhi. Dengan
kata lain, perbedaan kecepatan tangensial antara benda dan fluida didekat benda tersebut
(kondisi slip) diperbolehkan dalam aliran inviscid.
2.6.3 Adiabatik:
Asumsi ini menyatakan bahwa tidak ada panas yang masuk kedalam sistem. Dengan
demikian maka suku yang menjelaskan radiasi termal (ρQ) dapat diabaikan dalam
Dasar Mekanika Fluida 92
persamaan energi. Selain itu asumsi ini juga berarti bahwa transfer panas dibatas-batas
fluida juga dapat diabaikan.
2.6.4 Isentropik:
Asumsi isentropic menyatakan bahwa aliran fluida adalah aliran yang inviscid &
adiabatic. Sehingga, untuk aliran isentropic persamaan (d) menjadi,
ds ds
ρT = 0 atau =0
dt dt
Persamaan ini dapat digunakan untuk menggantikan persamaan energi dalam aliran
isentropic. Persamaan ini menyatakan bahwa entropi dari “fluid element” adalah
konstan sepanjang pergerakannya. Bentuk alternatif dari persamaan ini dapat dituliskan
1 dh ds 1 dp ds
sbb. Dari termodinamik, dh = Tds + dp sehingga =T + karena =0
ρ dt dt ds dt dt
maka ,
dh 1 dp
=
dt ρ dt
Asumsi ini menyatakan bahwa entropi (s) adalah kontan di mana pun sehingga ∇s = 0 .
1 1 1
Karena dh = Tds + dp maka ∇h = T∇s + ∇p = ∇p; (T∇s = 0) .
ρ ρ ρ
Dengan demikian untuk aliran ini persamaaan momentum menjadi,
du 1
= − ∇p + G = −∇h + G
dt ρ
Asumsi ini digunakan apabila entropi setiap fluid element mempunyai harga yang sama
pada daerah asal aliran (aliran dengan freestream yang seragam, misalnya) dan aliran
juga dapat diasumsikan sebagai aliran isentropic. Untuk aliran yang homentropik ada
sebuah teorema yang sangat berguna yaitu “Kelvin's Theorem”. Untuk mendapatkan
teorema ini kita mulai dari definisi “Circulation”( Γ ).
Dasar Mekanika Fluida 93
Sekali lagi lintasan dalam definisi Γ adalah lintasan di dalam fluida & daerah di dalam
lintasan tersebut hanya terdapat fluida (tidak ada benda lain). Apabila kita lihat definisi
dari Γ & kita gunakan Stokes Theorem maka,
Γ ≡ ∫ u ⋅ d l = ∫ (∇ × u ) ⋅ uˆds = ∫ w ⋅ nˆ ds
s s
Dasar Mekanika Fluida 94
Jadi pengertian dari teorema Kelvin adalah sebagai berikut. Apabila kita ikuti sebuah
kontur tertutup yang di dalamnya hanya berisi fluida & pada awalnya fluida tersebut
tidak mempunyai vortisitas, maka bagian–bagian dalam fluida tersebut tidak akan
mempunyai vortisitas seterusnya (apabila aliran fluida tersebut diasumsikan sebagai
aliran homentropik & G adalah konservatif ).
Kegunaan teorema ini adalah dalam mempelajari aliran uniform yang melewati sebuah
benda. Karena aliran jauh didepan benda tersebut adalah seragam maka aliran tersebut
tidak mempunyai ω pada awalnya. Jadi menurut teorema Kelvin pada saat bagian dari
fluida tersebut melewati benda maka ω – nya tetap nol & fluida tetap tidak mempunyai
ω . Kondisi ω = ∇ × u = 0 dapat digunakan untuk mengganti persamaan momentum
untuk kasus– asus seperti ini. Teorema ini juga membawa kita kepada asumsi
selanjutnya yaitu asumsi irrotasional.
Persamaan momentum untuk aliran yang homentropik dapat dituliskan seperti di bawah
ini dengan menggunakan vector identity:
u2
u ⋅∇u = ω × u + ∇ (****)
2
Dengan identitas ini maka persamaaan momentum untuk aliran homentropik & G yang
konservatif menjadi,
Dasar Mekanika Fluida 95
∂u u2
+ ω × u = −∇(h + + Ψ) (R)
∂t 2
Sekarang kita akan gunakan persamaan (R) utk mendapatkan persamaan energi untuk
aliran irrotational & rotational.
a) Aliran Irrotational (ω = 0)
Karena ω = 0 = ∇ × u & untuk setiap skalar φ , ∇ × (∇φ ) = 0 maka untuk aliran
irrotational u dapat dinyatakan sebagai u = ∇φ dimana φ disebut “potensial”.
Dengan definisi u ini maka persamaan (R) menjadi,
∂φ 1
∇( + h + (∇φ ) 2 + Ψ ) = 0
∂t 2
sehingga,
∂φ 1
+ h + (∇φ ) 2 + Ψ = f (t )
∂t 2
Fungsi f(t) dapat kita masukkan ke dalam φ karena apabila kita redefinisikan,
b) Aliran Rotational (ω ≠ 0)
u2
Untuk aliran yang steady maka persamaan (R) menjadi, ω × u = −∇(h + + Ψ)
2
Sekarang kita ambil dot product persamaan di atas dengan u,
u2
u ⋅ (ω × u ) = −u ⋅ ∇(h + + Ψ)
2
Karena u tegak lurus dengan ω × u maka,
u2
0 = −u ⋅ ∇(h + + Ψ)
2
Dasar Mekanika Fluida 96
u
Sekarang kita definisikan unit vector  sebagai  ≡
∇u
Tetapi  adalah unit vector yang menunjukkan arah streamline (lihat definisi  ).
Maka persamaan di atas menjadi,
u2
h+ + Ψ ≡ Η = konstan sepanjang streamline (Bernoulli Eqn)
2
Sekilas persamaan di atas sama dengan persamaan energi untuk aliran irrotational.
Namun, konstan di sebelah kanan dari kedua persamaan tersebut berbeda. Dalam
kasus irrotational konstan tersebut adalah konstan dimanapun!!!. Sedangkan dalam
kasus aliran rotasional konstan tersebut hanyalah konstan sepanjang streamline.
Persamaan Bernoulli di atas adalah persamaan Bernoulli yang lebih umum dari
persamaan Bernoulli untuk aliran incompressible yang kita kenal selama ini. Kita
dapat menggunakan persamaan di atas untuk mendapatkan persamaan Bernoulli
untuk kasus incompressible seperti yang dilakukan di bawah ini. Dari termodinamik,
de ds p 1 dρ
=Τ −
dt dt ρ ρ dt
ds
Karena = 0 & persamaan kontinuitas maka
dt
de p
= (∇ ⋅ u )
dt ρ
de
Untuk kasus incompressible, ∇ ⋅ u = 0 sehingga = 0 atau e adalah konstan
dt
p p
sepanjang streamline. Karena h = e + = (konstan sepanjang streamline) + maka
ρ ρ
persamaan Bernoulli di atas menjadi,
p u2
+ + Ψ = konstan sepanjang streamline.
ρ 2
Dasar Mekanika Fluida 97
Persamaan di atas adalah persamaan Bernoulli yang kalian kenal selama ini.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah kapan asumsi ini dapat digunakan? Untuk itu,
kita perhatikan persamaan keadaan yaitu, ρ = ρ ( p, Τ) sehingga,
1 dρ 1 ⎛ ∂ρ ⎞ dp 1 ⎛ ∂ρ ⎞ dΤ
= ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟
ρ dt ρ ⎜⎝ ∂p ⎟⎠ Τ dt ρ ⎝ ∂Τ ⎠ Ρ dt
1 dρ dp dΤ
=α −β
ρ dt dt dt
dimana dari termodinamika kita ketahui bahwa,
1 ⎛ ∂ρ ⎞
α≡ ⎜ ⎟ ( α = isothermal compressibility)
ρ ⎜⎝ ∂p ⎟⎠ Τ
1 ⎛ ∂ρ ⎞
β ≡− ⎜ ⎟ ( β = coefficient of thermal expansion)
ρ ⎝ ∂Τ ⎠ Ρ
Sekarang kita nondimensionalkan persamaan diatas. Untuk itu selain nondimensional
~
variable ρ~ , ~
t , p , Τ yang telah diperkenalkan sebelumnya, kita definisikan, α~ ≡ α
α0
& β ≡β
~
β0 .
Dengan menggunakan variabel-variabel tersebut, persamaan menjadi
~
1 dρ~ ~ d~
p ~ dΤ
= α 0 p 0α ~ − β 0 Τ0 β ~ (a.i.1)
ρ~ d~t dt dt
Dasar Mekanika Fluida 98
Dari termodinamik,
⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞
Cv ≡ ⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ & de = Τds − pdv
⎝ ∂Τ ⎠ν ⎝ ∂Τ ⎠ ρ
sehingga
⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞
⎜ ⎟ =⎜ ⎟ =Τ
⎝ ∂s ⎠v ⎝ ∂s ⎠ ρ
Namun, properti dari partial derivative menyatakan,
⎛ ∂Τ ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ 1 ⎞ ⎛ ∂s ⎞
1 = ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ (Τ) ⎜ ⎟
⎝ ∂e ⎠ ρ ⎝ ∂s ⎠ ρ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎝ Cv ⎠ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ
sehingga,
⎛ ∂s ⎞
C v = Τ⎜ ⎟
⎝ ∂Τ ⎠ ρ
⎛ ∂ρ ⎞ ⎧⎪⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎫⎪ ⎛ ∂ρ ⎞
dρ = ⎜ ⎟ ⎨⎜⎜ ⎟⎟ dρ + ⎜ ⎟ dT ⎬ + ⎜ ⎟ dT
⎝ ∂s ⎠ Τ ⎪⎩⎝ ∂ρ ⎠ Τ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎪⎭ ⎝ ∂Τ ⎠ s
⎧⎪ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎫⎪ ⎧⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎫
⎨1 − ⎜ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎬dρ = ⎨⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎬dT
⎪⎩ ⎝ ∂s ⎠ Τ ⎝ ∂ρ ⎠ Τ ⎪⎭ ⎩⎝ ∂Τ ⎠ s ⎝ ∂s ⎠ Τ ⎝ ∂Τ ⎠ Ρ ⎭
⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂Τ ⎞
⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ = −1 .
⎝ ∂s ⎠ Τ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎝ ∂ρ ⎠ s
⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂S ⎞
−T ⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂p ⎠T ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞
γ= =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ = a ρα
2
⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂S ⎞ ∂ρ
⎝
⎠S ⎝ ∂p ⎠T
−T ⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂ρ ⎠T a 2
1 d ρ ⎛ 1 dp Pr dT ⎞
= γ o M o2 ⎜ α − Bβ ⎟ (a.i)
ρ dt ⎝ Ru dt Br dt ⎠
di mana
Uo ao2 β o Pr ⎛ β o ⎞ Pr
Mo ≡ & B≡ =⎜ ⎟⎟ .
ao γ oCPo Br ⎜⎝ α o β oCPo ⎠ Br
Dari (a.1) dapat dilihat bahwa asumsi incompressible terpenuhi apabila M o2 << 1
(bilangan Mach dari aliran sangat rendah). Dari definisi bilangan Mach, maka jelaslah
⎛ ∂p ⎞
bahwa asumsi ini terpenuhi apabila harga a0 sangat tinggi. Karena, a 0 = ⎜⎜ ⎟⎟ maka
⎝ ∂ρ ⎠ s
harga a0 akan tinggi apabila perubahan massa jenis yang disebabkan oleh perubahan
tekanan sangatlah kecil.
∂u ⎛ p⎞ 1
+ u ⋅∇u = −∇ ⎜ ⎟ + G + ∇ ⋅τ
∂t ⎝ρ⎠ ρ
(
di mana τ = λ I ( ∇ ⋅ u ) + µ ∇u + ( ∇u )
T
).
(
τ = µ ∇u + ( ∇u )
T
)
sehingga
⎛ ⎛ ⎞⎞
∇ ⋅τ = µ ⎜ ∇ 2 u + ∇ ⎜ ∇ ⋅ ⎟ = µ∇ 2 u .
⎜ N ⎟⎟ ⎟
u
⎜
⎝ ⎝ =0 ⎠ ⎠
Substitusikan ke persamaan momentum maka,
∂u ⎛ p⎞
+ u.∇u = −∇⎜⎜ ⎟⎟ + G + v∇ 2 u (I.2)
∂t ⎝ρ⎠
µ
di mana v ≡ .
ρ
Karena ρ adalah konstan, maka untuk kasus ini yang tidak diketahui adalah u1, u2, u3
dan p. Sedangkan ρ, G, µ(ν) diketahui. Jadi persamaan (I.1) dan (I.2) (4 persamaan)
adalah persamaan yang harus diselesaikan untuk mendapatkan u1, u2, u3 dan p. Dengan
kata lain, persamaan energi biasanya tidak dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus
inkompresibel. Persamaan energi hanya dibutuhkan dalam kasus aliran yang
dipanaskan secara tidak uniform misalnya dan kasus-kasus konduksi lainnya.
garis-garis aliran yang biasa digunakan. Ketiga tipe ini adalah “streamline” (garis arus),
“pathline”(jejak arus) dan “streakline”. Di subbagian ini kita akan bahas ketiga garis-
garis aliran ini satu persatu.
2.7.1 Streamline
Streamline adalah garis-garis yang di mana pun sejajar dengan vektor kecepatan.
Konsep streamline sangat berguna untuk memahami fisik dari aliran steady. Konsep ini
tidak terlalu berguna dalam aliran unsteady karena vektor-vektor kecepatan berubah-
ubah setiap saat.
2.7.2 Pathline
Pathline adalah garis yang menjelaskan jejak dari sebuah partikel fluida. Karena
partikel fluida bergerak bersama fluida yang mempunyai kecepatan u, maka pathline
haruslah memenuhi
dx
=u
dt
Dasar Mekanika Fluida 102
Persamaan untuk pathline yang melintasi titik x0 pada waktu t0 adalah solusi persamaan
di atas yang memenuhi kondisi awal x( t =0) = x 0 . Secara umum solusi ini mempunyai
bentuk
x = x ( x0 , t )
2.7.3 Streakline
Catatan: Untuk kasus steady, streamline, pathline, dan streakline menghasilkan garis-
garis yang sama.
Contoh: Aliran 2-D (unsteady) yang mempunyai kecepatan
u1 = x1 (1 + 2t )
u2 = x2
u3 = 0
yang melewati titik (1,1)
a. Streamline
dx1 dx
= u1 , 2 = u2
ds ds
substitusikan u1 dan u2 kemudian integrasikan didapatkan
x1 = e s dan x2 = e s
sehingga persamaan untuk streamline adalah
x1 = x2
Dasar Mekanika Fluida 103
b. pathline
dx1 dx
= u1 , 2 = u2
dt dt
x1 = c1e (
t 1+ t )
, x2 = c2 et
Apabila partikel fluida ini melewati (1,1) pada t = 0 maka, c1 = c2 = 1
x1 = e (
t 1+ t )
, x2 = et
c. streakline
Untuk kasus ini kondisi awalnya adalah
x1 = 1, x2 = 1, pada waktu t = τ
hasilnya adalah,
− t (1+ t ) −τ (1+τ )
x1 = e dan x2 = et −τ yang pada waktu t = 0 menjadi x1 = x12−ln x2
ψ ( x1 , x2 ) disebut “fungsi arus “ atau “stream function” dan fungsi ini sangat membantu
kita dalam menyelesaikan permasalahan aliran 2D.
∂ψ ∂ψ
u1 = dan u2 = −
∂x2 ∂x1
⎛ ⎞
∇ × (ω × u ) = ω ( ∇ ⋅ u ) + ( u ⋅∇ ) ω − (ω ⋅∇ ) u − u ⎜ ∇ ⋅ω ⎟
⎜ N ⎟
=0 ⎝ =0 ⎠
maka persamaan (I.4) menjadi,
∂ω
+ ( u ⋅∇ ) ω − (ω ⋅∇ ) u = ν∇ 2 ω .
∂t
Dari persamaan terakhir terlihat bahwa apabila kita mempelajari kasus aliran 2D dan
kita gunakan fungsi arus, kita tidak perlu bersusah-payah untuk menyelesaikan
persamaan kontinuitas dan cukup menyelesaikan persamaan (SF 2) untuk satu variable,
yaitu ψ. Ini tentunya disebabkan oleh definisi dari fungsi arus yang secara otomatis
telah memenuhi persamaan kontinuitas.
Sekarang kita akan melihat lebih dalam arti fisik dari fungsi arus. Pertama-tama,
streamline untuk aliran steady dapat ditemukan dengan menggunakan ψ . Definisi
stream line adalah garis yang paralel dengan u atau d l × u = 0 . Untuk aliran 2-D
persamaan d l × u = 0 menjadi ( dl = dx1eˆ1 + dx2 eˆ2 ),
u 2 dx1 − u1 dx 2 = 0
Sekarang kita akan hitung “mass flux” Q yang melintasi 2 streamline seperti dalam
sketsa di atas.
B B
Q = ρ (ψ B − ψ A )
Jadi selisih dari harga ψ antara 2 streamline proporsional dengan “mass flux” Q yang
melewati kedua streamline tersebut.
Di dalam subbagian ini kita akan pelajari beberapa aliran viscous incompressible. Dua
kasus yang akan dibahas adalah aliran Couette dan aliran Poiseuille.
Aliran ini biasanya terjadi di dalam pipa di mana terdapat gradien dari tekanan. Untuk
mempelajari aliran ini perhatikanlah sketsa di bawah ini. Karena pipa ini paralel dengan
x1 maka u2 = 0.
Dasar Mekanika Fluida 106
Selain itu karena pipa ini sangat panjang maka kecepatan aliran tidak mungkin berubah
di arah x1. Apabila variabel-variabel berubah di arah x1 maka kecepatan kecepatan ini
akan mempunyai harga tak berhingga di x1 → ∞. Dengan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa u1 = u1 (x2). Dari observasi ini maka persamaan kontinuitas dapat
dituliskan menjadi,
∂u1
=0
∂x1
sehingga u1 ≠ u1(x1). Hasil ini mengkonfirmasikan observasi di atas.
sehingga,
∂p ∂ 2u
= µ 21 = konstan
∂x1 ∂x2
Persamaan di atas = konstan karena di sebelah kiri p = p(x1) dan di sebelah kanan
u1 = u1(x2) dan tanda “=” hanya mungkin apabila suku kiri dan kanan adalah konstan.
dp
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa, = konstan dan persamaan di atas
dx1
dapat diintegrasikan 2 kali sehingga.
1 ⎛ dp ⎞ 2
u1 = µ⎜ ⎟ x2 + C1 x2 + C2
2 ⎝ dx1 ⎠
Dasar Mekanika Fluida 107
1 ⎛ dp ⎞
C2 = 0 dan C1 = − ⎜ ⎟D
2 µ ⎝ dx1 ⎠
1 ⎛ dp ⎞ 2
u1 = ⎜ ⎟ ( x2 − Dx2 ) (PF)
2 µ ⎝ dx1 ⎠
Dari solusi ini kita dapat hitung kecepatan maksimum dan shear stress di dinding.
∂u1
Kecepatan maksimum dapat ditentukan dengan mencari = 0 (titik di mana ini
∂x 2
D
terjadi). Apabila ini dilakukan, maka akan didapat x2 = sehingga,
2
D 2 ⎛ dp ⎞
u1max = − ⎜ ⎟
8µ ⎝ dx1 ⎠
D ⎛ dp ⎞
τ wall = − ⎜ ⎟
2 ⎝ dx1 ⎠
Aliran ini adalah aliran di antara 2 dinding seperti aliran Poiseuille tetapi dalam aliran
ini tidak terdapat gradien tekanan. Aliran ini dihasilkan dengan menggerakkan salah
satu dinding dengan kecepatan V (lihat sketsa di bawah).
Dasar Mekanika Fluida 108
Apabila kita integrasikan persamaan ini dan gunakan kondisi batas u1(x2 = 0) = 0 dan
u1(x2 = D) = 0 maka didapat
⎛x ⎞
u1 = U ⎜ 2 ⎟ (CT.1)
⎝D⎠
⎛ ∂u ⎞
Dari hasil ini kita dapat hitung τ wall = µ ⎜ 1 ⎟ dan hasilnya adalah,
⎝ ∂x 2 ⎠ wall
Dasar Mekanika Fluida 109
U
τ wall = µ .
D
Sekarang kita beralih ke permasalahan “heat transfer“ untuk kasus ini. Untuk itu kita
gunakan persamaan (i) yang untuk kasus ini,
⎛ ⎞
⎜ ∂T ∂T ∂T ⎟ ∂ 2T ∂u
ρ CP ⎜ u1 + uN2 + u3
N ⎟ = k +τ 1
⎜ N ∂x1 =0 ∂x2 =0 ∂x3 ⎟ ∂x2
2
∂x2
⎝ =0 ⎠
atau
2
k ∂ 2T ⎛ ∂u ⎞
+ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ = 0
µ ∂x 2 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
∂u1 U
Dari (CT.1), = sehingga persamaan di atas menjadi,
∂x2 D
2
∂ 2T µ ⎛U ⎞
2
=− ⎜ ⎟
∂x2 k ⎝D⎠
Sekarang kita lihat solusi ini untuk dua kasus penting yaitu,
⎛ ∂T ⎞
(1) T ( x 2 = D ) = T ( x 2 = 0) = Twall & (2) ⎜⎜ ⎟⎟ = 0 atau disebut juga adiabatic wall.
⎝ ∂x 2 ⎠
1. T ( x 2 = D ) = T ( x 2 = 0) = Twall
Apabila kita gunakan kondisi batas ini untuk (CT.2), solusi untuk T adalah,
⎛ x2 ⎛ x2 ⎞ 2 ⎞
µ
T = U ⎜ − ⎜ ⎟ ⎟ + Twall
2
2k ⎜D ⎝D⎠ ⎟
⎝ ⎠
Cpµ
Dengan mengingat definisi Pr = maka,
k
U 2 Pr ⎡⎛ x2 ⎞ ⎛ x2 ⎞2 ⎤
T= ⎢⎜ ⎟ − ⎜ ⎟ ⎥ + Twall (CT.3)
2C p ⎢⎣⎝ D ⎠ ⎝ D ⎠ ⎥⎦
Dasar Mekanika Fluida 110
µU 2 U
qwall = = τ wall
2D 2
⎛ ∂T ⎞
2. ⎜⎜ ⎟⎟ = 0 (adiabatic wall condition) & Twall = Taw . Dengan menggunakan
⎝ ∂x 2 ⎠ wall
kondisi batas ini di x 2 = 0 didapat,
2
µ ⎛U ⎞ 2
T =− ⎜ ⎟ x2 + Taw
2k ⎝ D ⎠
atau
2 2
PU ⎛ x2 ⎞
T = Taw − r
⎜ ⎟ (CT.4)
2C p ⎝ D ⎠
T ( x 2 = D ) = TD .
U2
Taw = TD + Pr (CT.5)
2C p
Taw disebut juga “ adiabatic wall temperature “. Taw dapat dihubungkan dengan
U2
T0 = TD + (CT.6)
2C p
Dari persamaan (CT.5) dapat dilihat bahwa Taw secara umum dapat dinyatakan
sebagai
U2
Taw = TD + r (CT.7)
2C p
Dasar Mekanika Fluida 111
di mana r adalah “ recovery factor “. Sekarang kita eliminasi TD dari (CT.6) &
(CT.7) hasilnya adalah :
U2
(T0 − Taw ) = (1 − r )
2C p
U2
Namun, menurut (CT.6) adalah sama dengan (T0 − TD ) jadi,
2C p
Taw − TD
r=
T0 − TD
Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa “r“ adalah ukuran dari perubahan T0 yang
Fluida yang bergerak dengan kecepatan yang sangat rendah mempunyai harga Re yang
sangat rendah. Untuk aliran semacam ini persamaan momentum dapat disederhanakan
~
seperti di bawah ini. Pertama-tama kita kalikan setiap suku dalam persamaan ( b )
dengan Re dan hasilnya adalah
Re ~ ∂u~
St ∂ t
~
(
ρ ~ + Re ρ~ u~ ⋅ ∇ u~ = − )
Re ~ ~ ~ ~ Re ~ ~
Ru 0
∇p + ∇ ⋅ τ +
Fr
ρG
Untuk aliran yang sangat lambat, perubahan ρ yang disebabkan oleh perubahan p sangat
kecil sehingga aliran dapat diasumsikan sebagai aliran incompressible. Untuk aliran ini,
Dasar Mekanika Fluida 112
Apabila kita gunakan hubungan terakhir dan gunakan persamaan kontinuitas, persamaan
diatas menjadi,
∂u
∇2 = ν∇ 4 u (LRE)
∂t
Persamaan (LRE) adalah persamaan diferensial untuk kasus ini. Persamaan ini
diselesaikan dengan boundary condition,
u ( x = x wall , t ) = U wall
Untuk kasus steady dan G = 0 , persamaan (LRE) menjadi lebih sederhana. Selain itu
kita juga bisa dapatkan persamaan differensial untuk p dengan mengambil
∇ ⋅ (momentum) ,
Persamaan (LRE) dan (LRE steady) adalah persamaan-persamaan yang relatif cukup
sederhana dan dapat diselesaikan secara analitik.
Dasar Mekanika Fluida 113
Salah satu solusi dari persamaan (LRE steady) adalah aliran di sekitar bola (sphere)
yang bergerak dengan kecepatan U =konstan. Apabila persoalan ini dilihat oleh
pengamat yang bergerak dengan kecepatan U maka aliran menjadi aliran steady.
Persoalan ini diselesaikan oleh G.G. Stokes pada tahun 1851. Solusi didapatkan dengan
(dengan menggunakan “Spherical Coordinate System”) melihat persoalan steady (aliran
di sekitar bola yang diam) dan hasilnya adalah,
⎡ 3R R 3 ⎤
ur′ = U cosθ ⎢1 − + 3 ⎥ + (U ⋅ er ) ≡ ur + (U ⋅ er )
⎣ 2r 2r ⎦
⎡ 3R R 3 ⎤
uθ′ = −U sin θ ⎢1 − + 3 ⎥ + (U ⋅ eθ ) ≡ uθ + (U ⋅ eθ )
⎣ 4r 4 r ⎦
3 U ⋅n
p = p0 − ν 2 R
2 r
Apabila u ′r dan uθ′ di atas dikurangi U ⋅ er dan U ⋅ eθ kita kembali ke persoalan semula.
Solusi ini dapat dicek dengan melihat apakah solusi ini memenuhi (LRE steady) dan
kondisi batasnya adalah: u (r = R ) = 0 , u (∞ ) = 0 , p(∞ ) = p 0
Dari solusi ini kita dapat menghitung drag dari benda ini. Ini didapatkan dengan
mengambil integral : σ ⋅ n di permukaan sphere, (σ ⋅ n = − p I + τ ) .
D=− ∫ σ ⋅ nds = ∫ (− p cosθ + τ
sphere
rr cos θ − τ rθ sin θ )dS
Dasar Mekanika Fluida 114
dimana
∂U r ⎛ 1 ∂U r ∂Uθ Uθ ⎞
τ rr = 2µ dan τ rθ = µ ⎜⎜ + − ⎟
∂r ⎝ r ∂θ ∂r r ⎟⎠
di permukaan sphere,
3µ
τ rr = 0 dan τ rθ = − U sin θ
2R
Untuk melihat limitasi dari formula di atas kita kembali ke sistem koordinat yang
bergerak bersama sphere. Dalam sistem koordinat ini, u = U + ur er + uθ eθ . Di daerah
UR
yang agak jauh dari sphere, u ≈ U sedangkan ∇u = ∇(ur er + uθ eθ ) ≈ 2 . Dengan
r
U 2R UR
demikian maka u ⋅ ∇u ≈ 2
dan ν∇ 2 u ≈ ν 3 . Asumsi di atas menyatakan bahwa
r r
UR U 2R ν
ν∇ 2 u >> u ⋅ ∇u atauν 3
>> 2
sehingga r << .
r r U
ν ν
Jadi untuk r ≈ atau r > hasil di atas tidak lagi valid. Untuk mendapatkan u di
U U
daerah yang jauh dari sphere kita perlu memasukkan kembali suku u ⋅∇u . Karena di
daerah ini u ≈ U maka suku ini dapat diaproksimasikan sebagai U ⋅∇u . Dengan
demikian maka persamaan momentum menjadi
1
U ⋅ ∇u = − ∇p + ν ∇ 2 u
ρ
Dasar Mekanika Fluida 115
Persamaan momentum di atas disebut juga Oseen Improvement. Dengan persamaan ini,
apabila kita selesaikan dan hitung drag dari sphere maka didapatkan,
⎛ 3νR ⎞
D = 6πµUR⎜1 + ⎟
⎝ 8ν ⎠
⎛ 3UR ⎞
Jadi dengan aproksimasi ini suku tambahan dalam formula untuk drag sebesar ⎜ ⎟
⎝ 8ν ⎠
Pertama-tama karena Re sangat tinggi kita dapat gunakan asumsi inviscid di luar lapisan
batas. Apabila kita juga bisa menggunakan asumsi adiabatik, maka di luar lapisan batas
kita dapat menggunakan asumsi isentropic. Karena keadaan awal freestream seragam
(uniform) maka di luar lapisan batas alirannya adalah aliran homentropic.
Dasar Mekanika Fluida 116
Karena aliran di luar lapisan batas adalah aliran homentropik maka kita bisa gunakan
dΓ ∧
teorema Kelvin yang menyatakan bahwa = 0 . Karena Γ = ∫ w. n ds untuk reducible
dt
circuit c yang bergerak bersama fluida maka apabila kita mempunyai freestream yang
seragam/ uniform ( ω = 0 ) ; seperti dalam kasus di atas, aliran di luar lapisan batas juga
mempunyai ( ω = 0 ) . Dengan kata lain kita bisa gunakan asumsi irrotational untuk
aliran di luar lapisan batas.
Distribusi tekanan di “benda baru“ ini sama dengan distribusi tekanan untuk benda yang
asli. Ini disebabkan karena hasil dari teori lapisan batas yang menyatakan bahwa
dp
= 0 . Namun, hasil yang didapatkan/ solusi dari permasalahan aliran potensial di
dy
sekitar “benda baru“ masih bermasalah seperti yang dapat kita lihat di bawah ini.
Apabila kita hitung Γ dengan menggunakan circuit yang reducible yang menutupi
∧
benda tersebut maka Γ = ∫ u.d x = ∫ ω. n ds = 0 . Dengan kata lain benda tersebut tidak
c
Kesalahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Tadi kita gunakan teorema Kelvin
untuk mengambil kesimpulan bahwa streamline yang awalnya tidak mempunyai
vortisitas akan seterusnya tidak mempunyai vortisitas (karena Γ konstan sepanjang
streamline). Namun, kita sebenarnya tidak dapat mengambil kesimpulan seperti di atas
untuk streamline yang menempel pada benda baru tadi. Karena kita tidak dapat
menggambarkan sebuah reducible circuit yang hanya menutupi fluida untuk streamline
yang menempel di “benda baru“ ( lihat gambar ).
Oleh karena itu, untuk streamline ini kita mengetahui apakah streamline tersebut
rotasional & inilah yang sebenarnya terjadi. Lebih tepatnya terjadi “flow separation” di
mana streamline tersebut “terlepas” dari permukaan “benda baru” (lihat gambar). Jadi di
daerah bagian belakang (wake) “benda baru” ada daerah di mana alirannya aliran
rotasional.
Sekarang apabila kita hitung Γ untuk circuit c seperti gambar di atas, maka untuk yang
wake sangat tipis
Γ≈∫ u.d x = ∫ ∇φ .d x = ∫ dφ = φ2 − φ1
c1− 2 c1− 2 c1− 2
Wake sangat tipis apabila benda tersebut benda slender (benda langsing) seperti airfoil.
Jadi Γ tidak sama dengan nol atau “benda baru” kita mempunyai lift. “Flow
separation” itu sebenarnya terjadi di dalam lapisan batas & disebabkan karena
⎛ dp ⎞
⎜ ⎟ > 0. Posisi dari flow separation dapat ditentukan apabila kita
⎝ dx ⎠ dibenda
permukaan
baru
Catatan: Di BAB 5 kita akan pelajari bahwa untuk benda 2 dimensi, untuk
mendapatkan solusi yang unik dari permasalahan aliran potensial di sekitar
benda kita harus memasukkan pembatas (“barrier”) tipis seperti wake tadi.
Setelah ditambahkan “barrier” maka untuk mendapatkan solusi yang unik, kita
harus memberikan harga Γ . Dalam thin airfoil theory harga Γ diberikan di
“trailing edge” sesuai dengan apa yang disebut dengan kondisi Kutta.
Dalam praktik kita awalnya tidak mengetahui bentuk boundary layer & titik-titik di
mana ada flow separation. Namun, untuk mendapatkan solusi di lapisan batas kita
harus mengetahui distribusi tekanan di luar lapisan batas yang merupakan hasil dari
potential flow. Jadi permasalahan ini harus diselesaikan secara iteratif seperti berikut :
1. selesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda
2. hasil dari 1 digunakan untuk menyelesaikan masalah lapisan batas sehingga
kita dapatkan bentuk “benda baru”
3. selesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda baru
4. kembali ke 2 dan lanjutkan iterasi
Untuk benda yang tidak slender atau ‘bluff body’, flow separation terjadi lebih awal dari
pada yang terjadi pada slender body (lihat gambar). Sehingga “wake” benda tersebut
cukup tebal.
Untuk mengetahui atau mempelajari aliran sekitar ‘bluff body’ maka kita perlu
menghitung aliran dalam wake tersebut dengan menggunakan persamaan Navier-
Stokes.
Catatan: Karena wake dari ‘bluff body’ relative tebal maka drag benda tersebut lebih
disebabkan perbedaan tekanan antara bagian muka dan belakang. Drag yang
Dasar Mekanika Fluida 119
disebabkan oleh efek viscous tidak terlalu penting untuk benda seperti ini. Hal
sebaliknya terjadi untuk benda slender. Untuk benda ini mempunyai wake
yang tipis sehingga drag yang disebabkan oleh tekanan sangat kecil dan
kontribusi terbesar untuk drag didapatkan dari friction.
.
Vortisitas 120
BAB
3
Vortisitas
3.1 Pendahuluan
Kita telah lihat disubbagian sebelum ini bahwa ada bagian-bagian dalam aliran dimana
∇ × u ≠ 0 atau bagian-bagian ini mempunyai vortisitas (vorticity). Bagian-bagian ini
sangat penting karena, seperti akan kita lihat nanti, vortisitas akan terbentuk pada setiap
aliran disekitar benda. Vortisitas juga menentukan besar gaya-gaya yang beraksi
apabila fluida mengalir disekitar benda. Oleh karena itu di bab ini kita akan
mempelajari vortisitas lebih mendalam.
Seperti telah kita lihat sebelumnya vortisitas (ω ) didefinisikan sebagai curl dari
kecepatan atau, ω ≡ ∇ × u . Karena definisi ini, vortisitas mempunyai sifat-sifat
tertentu. Untuk setiap vektor, A, yang kontinu, ∇ ⋅ (∇ × A) = 0 . Karena definisi dari ω
di atas maka,
∇ ⋅ ω = ∇ ⋅ (∇ × u ) = 0 atau ∇ ⋅ ω = 0
Vortisitas 121
Hasil ini menunjukkan tidak mungkin terdapat “source/ sink” dari vortisitas di dalam
fluida itu sendiri (persamaan diatas serupa dengan persamaan kontinuitas untuk aliran
inkompresibel).
Sekarang kita akan gunakan hasil di atas untuk mempelajari sifat-sifat dasar dari
vorticity. Untuk itu pertama-tama kita perkenalkan apa yang disebut dengan “vortex
line”. Vortex line adalah garis yang sejajar dengan arah dari ω . Kumpulan dari
beberapa vortex line membentuk “vortex tube”. (lihat gambar di bawah).
Sekarang kita akan ambil integral volume ∇ ⋅ ω , dimana volume V merupakan volume
dari vortex tube dalam gambar di atas.
0 = ∫ ∇ ⋅ ωdV = ∫ ω ⋅ nˆ dS
V S
atau
0 = ∫ ω 1 ⋅ nˆ dS + ∫ ω 2 ⋅ nˆ dS
A1 A2
sehingga,
∫ω
A2
2 ⋅ nˆdS = − ∫ ω 1 ⋅ nˆ dS .
A1
Namun,
∫ ω ⋅ n̂dS = ∫ u ⋅ d l ≡ Γ
S
sehingga,
Γ1 = − ∫ ω 1 ⋅ nˆdS dan Γ2 = ∫ ω 2 ⋅ nˆ dS
A1 A2
Vortisitas 122
Kedua hasil di atas disebut juga Helmholtz vortex theorem ke I dan II. Kedua teorema
ini berlaku umum (tidak ada asumsi aliran inviscid, isentropik dll dalam mendapatkan
hasil-hasil di atas).
Setelah melihat kinematika dari vorticity, sekarang kita akan mulai mempelajari
dinamika dari vortisitas. Untuk itu kita membutuhkan persamaan diferensial yang
menjelaskan gerak dari vortisitas. Kita mulai dari persamaan momemtum,
∂u ⎛ u2 ⎞ 1
+ ω × u = −∇⎜⎜ + Ψ ⎟⎟ + (∇ ⋅ σ ) (V.1)
∂t ⎝ 2 ⎠ ρ
di mana telah diasumsikan conservative body force G = −∇Ψ dan telah digunakan
u2
“vector identity” u ⋅ ∇u = ω × u + ∇ .
2
d ⎛ω ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ = (ω ⋅ ∇ )u + ∇ × (∇ ⋅ σ ) − 2 ∇ρ × (∇ ⋅ σ )
1 1
ρ (V)
dt ⎝ ρ ⎠ ρ ρ
Persamaan (V) menyatakan bahwa perubahan waktu dari vortisitas sebuah fluid
element (perubahan ini dilihat oleh pengamat yang bergerak bersama fluid element
tersebut) disebabkan oleh ketiga suku di sebelah kanan tanda “ = “. Sekarang kita lihat
arti fisik dari suku–suku tesebut .
a) ω ⋅ ∇u
ω = ω êω di mana eω adalah unit vector di arah ω
adalah perubahan u diarah eω . Telah kita lihat sebelumnya bahwa ∇u
menjelaskan deformasi dan rotasi dari sebuah material element (fluid element).
Apabila kita lihat sebuah “vortex line“ maka deformasi yang akan dialaminya adalah
perubahan panjang (stretching) sedangkan rotasinya berupa “tilting“. Jadi ω ⋅ ∇u
menjelaskan bagaimana “ vortex line “ dalam aliran tersebut mengalami “stretching“
dan “tilting“. Oleh karena itu suku ω ⋅ ∇u disebut juga “vortex stretching term“
∇ρ × (∇ ⋅ σ )
1
b)
ρ2
Suku ini tidak sama dengan nol apabila terdapat gradient ρ dan gradient ini tidak
sejajar dengan ( ∇ ⋅ σ ). Kita ketahui bahwa ∇ ⋅ σ adalah gaya/ unit volume yang
Vortisitas 124
beraksi pada permukaan fluid element. Adanya ∇ρ berarti distribusi massa dalam
fluid element tidak seragam. Ini berarti “ center of mass “ tidak berada pada titik
yang sama dengan “geometric center“ dari fluid element tersebut. Apabila ∇ρ
tidak sejajar dengan ∇ ⋅ σ maka akan terjadi rotasi dari fluid element tersebut,
∇ × (∇ ⋅ σ )
1
c)
ρ
Karena σ = − p I + ∇ ⋅ τ dan ∇ × ∇p = 0 maka kontribusi yang sesungguhnya dari
menjelaskan torque dari fluid element yang diakibatkan oleh stress yang mempunyai
Vortisitas 125
tersebut .
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan waktu dari vortisitas yang juga
menjelaskan perubahan waktu dari rotasi sebuah fluid element disebabkan oleh tiga hal
yaitu: stretching dan tilting dari vortex line; adanya ∇ρ yang tidak sejajar dengan
∇ ⋅ σ ; dan adanya distribusi stress yang mempunyai variasi spatial tertentu. Karena
“stretching“adalah deformasi dan rotasi dari vortex line, maka suku ini bukanlah suku
yang menghasilkan vortisitas. Suku ini hanya memodifikasi distribusi vortisitas yang
sudah ada. Namun ∇ρ × (∇ ⋅ σ ) dan ∇ × (∇ ⋅ σ ) adalah suku yang menyebabkan
timbulnyanya vortisitas. Torque yang dirasakan oleh fluid element karena adanya ∇ρ
yang tidak sejajar dengan ∇ ⋅ σ disebut “Baroclinic torque“ Apabila ∇ρ sejajar
Di dalam subbagian ini kita akan dapatkan hubungan antara vortisitas dan gradien dari
entropi. Pertama–tama kita asumsikan aliran inviscid. Dengan asumsi ini persamaan
momentum menjadi,
du
ρ = −∇p − ρ∇ψ di mana G = −∇ψ
dt
apabila kita gunakan ( **** ) maka persamaan ini menjadi ,
∂u 1 u2
+ ω × u = − ∇p − ∇ψ − ∇
∂t ρ 2
1
Dari termodinamik, dh = Tds + dp sehingga,
ρ
∂u ⎛ u2 ⎞
+ ω × u = T∇s − ∇⎜⎜ h + + ψ ⎟⎟ = T∇s − ∇H
dt ⎝ 2 ⎠
Vortisitas 126
u2
di mana H = h + + ψ . Banyak kasus di mana H = konstan , termasuk dalam kasus
2
di mana terdapat shock wave. Untuk kasus di mana H = konstan atau dikenal dengan
sebutan kasus homenergetic,
∂u
+ ω × u = T∇ s
dt
Apabila aliran adalah aliran steady maka,
ω × u = T ∇s (Teorema Crocco)
Hasil ini menyatakan bahwa apabila dalam aliran terdapat gradien entropi ( ∇s ) maka
aliran tersebut adalah aliran rotational ( ω ≠ 0 ). Namun dalam aliran rotasional tidak
harus terdapat ∇s . Contohnya adalah kasus di mana ω × u = 0 sehingga ∇s = 0 .
Persamaan ini tentunya dapat pula didapatkan dari persamaan (V) dengan menggunakan
σ = − p I untuk kasus homentropik dan p = p(ρ , S ) = p(ρ ) karena s = konstan .
Vortisitas 127
Apabila harga awal dari ω dan ρ diketahui maka persamaan (V.2) dapat diselesaikan.
Pertama–tama kita tuliskan
ω i ∂xi ω ∂x
= C j atau =C⋅F , F=
ρ ∂ξ j ρ ∂ξ
di mana C adalah sebuah vektor dan F adalah deformation gradient tensor. Sekarang
ω
kita subtitusikan ini ke (V.2)
ρ
d ωi d dFij ∂u
( ) = ( Fij C j ) = C j + Fij C j = i Fkj C j + Fij C j
dt ρ dt dt ∂x k
dF
di mana telah digunakan = ∇u F (lihat subbagian deformasi dan rotasi benda
dt
kontinum).
Namun, (V2) menyatakan bahwa:
d ⎛ ωi ⎞ ω k ∂ui ∂ui
⎜⎜ ⎟⎟ = = F kj C
⎝ ρ ⎠ ρ ∂xk j
dt ∂xk
Dengan demikian maka :
∂u i ∂u dC j
Fkj C j + Fij C j = Fkj C j i atau Fij =0
∂xk ∂xk dt
Karena F ≠ 0 maka
dC
= C = 0 atau C = konstan
dt
Berikutnya, misalkan ω o atau ρ o adalah harga awal dari ω atau ρ untuk sebuah fluid
ωo
= C⋅Fo = C
ρo
ω ω
Dengan demikian maka, =C⋅F = ⋅ F sehingga solusi dari (V.2) adalah
ρ ρo
ω ωo
= ⋅F (V.3)
ρ ρo
Vortisitas 128
Bukti: misalkan pada awalnya sebuah material line dξ sejajar dengan vortex line (ω0)
atau dξ = ω0 .dσ di mana dσ adalah sebuah skalar dengan dimensi [L ] [S ] (contoh : m.s
atau ft.s) karena vortex line ini bergerak maka panjangnya berubah menjadi
⎛ρ ⎞
d x = F ⋅ d ξ = F ⋅ ω 0 dσ = ω ⎜⎜ 0 ⎟⎟dσ
⎝ ρ ⎠
Dengan demikian maka vortex line pada waktu t (sejajar dengan ω ) tetap sejajar
dengan material line (d x )
(V.3) juga menyatakan apabila pada awalnya sebuah fluid element tidak mempunyai
ω (ω 0 = 0) maka fluid element tersebut seterusnya tidak akan mempunyai ω . Jadi (V.3)
adalah sama dengan Teorema Kelvin.
dω
= (ω ⋅ ∇ )u + υ∇ 2 ω (V.4)
dt
Dalam kasus aliran 2-D, (ω ⋅ ∇ )u = 0 karena ω tegak lurus dengan ∇u dalam kasus ini.
Dengan demikian maka untuk kasus ini (V.4) menjadi
dω
= υ∇ 2 ω
dt
Karena untuk kasus 2D, ω hanya mempunyai satu arah,
Vortisitas 129
dω
= υ∇ 2ω
dt
Persamaan terakhir adalah persamaan difusi (bandingkan dengan persamaan untuk
difusi massa dan konduksi panas). Jadi suku υ∇ 2 ω menjelaskan proses difusi dari
vortisitas yang dilakukan oleh viscosity.
Dengan pengertian fisis dari suku υ∇ 2 ω ini kita kembali ke (V.4). Persamaan ini
menjelaskan bahwa dalam aliran incompressible perubahan waktu dari vortisitas sebuah
fluid element disebabkan oleh “ stretching dan tilting” serta proses difusi. Kedua proses
ini bukanlah proses yang “membangkitkan” vortisitas melainkan hanya mengubah
distribusi dari vortisitas.
3.4.1 Pendahuluan
Setelah mendapatkan persamaan yang menjelaskan perubahan waktu dari vortisitas, kita
akan pelajari bagaimana vortisitas itu sendiri dibangkitkan. Untuk itu kita lihat kasus
aliran di sekitar benda di mana aliran “freestream-nya” seragam, maka setiap fluid
element di dalam aliran ini pada awalnya tidak mempunyai vortisitas. Untuk aliran
homentropik, ini berarti fluid element–fluid element ini seterusnya tidak akan
mempunyai vortisitas selama pergerakannya (ini menurut (V3)). Namun, tentunya
aliran yang “sebenarnya” tidak dapat diasumsikan sebagai aliran homentropik diseluruh
domain fluida dan fluid element yang pada awalnya irotasional dapat menjadi rotasional
(ω ≠ 0) .
Vortisitas 130
Untuk kasus aliran freestream yang supersonic, fluid element menjadi rotasional ketika
melintasi shock wave apabila shock yang terbentuk adalah “bow shock wave” atau shock
wave yang melengkung. Untuk kasus ini aliran di luar lapisan batas dan shock wave
dapat diasumsikan sebagai aliran inviscid. Oleh karenanya teorema Crocco berlaku
sehingga ,
ω × u = T ∇s
Akan kita lihat di bab tentang shock wave bahwa untuk shock wave yang “lurus” s (2 )
(entropi di belakang shock) adalah konstan. Namun, untuk shock yang melengkung,
s (2 ) adalah fungsi β di mana β adalah sudut antara shock dan free stream (lihat gambar
di atas). Dengan demikian maka untuk kasus bow shock wave terdapat ∇s sehingga
ω × u ≠ 0 . Karena aliran di depan shock adalah aliran irotasional ω = 0 , maka jelaslah
bahwa fluid element menjadi rotational ketika melewati shock tersebut.
Untuk kasus aliran freestream yang mempunyai M << 1 dan ρ = konstan kita telah
saksikan bahwa vortisitas sebuah fluid element berubah hanya disebabkan oleh
“stretching” dan difusi (persamaan (V.4)). Apabila sebuah fluid element yang pada
awalnya tidak mempunyai vortisitas, tentunya pada elemen tersebut tidak akan terjadi
“vortex stretching”. Jadi dalam kasus aliran di mana ρ = konstan satu-satunya proses
Vortisitas 131
yang merubah vortisitas sebuah fluid element adalah proses difusi. Proses difusi ini
adalah proses “penyebaran” vortisitas dari daerah di mana ω tinggi ke daerah di mana
ω rendah. Jadi dalam kasus ini ω itu sendiri tidak terbentuk di tengah-tengah aliran,
seperti dalam kasus “ bow shock wave”. Tetapi ω terbentuk di daerah lain kemudian
didifusikan oleh viskositas ke tengah-tengah aliran. Untuk kasus ini, satu-satunya
kemungkinan adalah ω terbentuk di permukaan benda. Jadi “source of vorticity” dalam
kasus ini adalah permukaan benda.
Pada umumnya permukaan benda adalah source of vorticity, baik dalam aliran M << 1 ,
M < 1 maupun M > 1. Selain permukaan benda, ”permukaan bebas” atau
“freesurface” juga merupakan source of vorticity. Contoh dari permukaan bebas adalah
permukaan air di sebuah kolam atau permukaan pembatas dua fluida yang berbeda.
Dalam pembahasan di subbagian sebelumnya telah kita lihat bahwa permukaan benda
adalah salah satu “source of vorticity” atau sumber dari vortisitas. Dalam kasus aliran
di mana ρ =konstan, permukaan benda adalah satu-satunya source of vorticity. Oleh
karena itu vortisitas dibangkitkan di atas permukaan benda. Untuk mempermudah
diskusi kita akan pelajari kasus di mana ρ = konstan dan permukaan benda adalah
permukaan yang datar.
⎛ dw ⎞
⎜ ⎟ = [(w ⋅ ∇ )u ]0 − ∇ ⋅ J 0 (V.6)
⎝ dt ⎠ 0
Vortisitas 132
Selain itu subscript “0” dalam suku-suku di persamaan di atas menandakan harga dari
suku tersebut di permukaan benda.
Sekarang kita akan lihat harga dari suku-suku sebelah kanan (V.6). Permukaan adalah
permukaan datar yang bergerak dengan kecepatan U 0 (t ) . Karena kondisi batas untuk
⎛ ∂u ⎞ ⎛ ∂u ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ = 0 = ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ ∂x1 ⎠ 0 ⎝ ∂x 2 ⎠0
(permukaan benda berada di bidang x1 − x 2 . Karena setiap titik dalam bidang ini
bergerak dengan kecepatan yang sama maka tidak ada gradien kecepatan di arah x1 dan
x2).
Sedangkan
⎧ω1 ⎫
⎪ ⎪
ω 0 = ⎨ω 2 ⎬
⎪0⎪
⎩ ⎭
∂u 2 ∂u1
( ω 3 = 0 karena ω 3 = − = 0)
∂x1 ∂x 2
Vortisitas 133
Sekarang kita perhatikan J 0 . J 0 adalah source of vorticity dalam kasus ini karena J 0
adalah flux yang keluar dari permukaan maka flux of vorticity dalam kasus ini adalah
⎧0⎫
⎪ ⎪
nˆ ⋅ J 0 = eˆ3 ⋅ J 0 = −υ ⎨0⎬(∇ω ) 0
⎪1⎪
⎩ ⎭
Untuk mendapatkan nˆ ⋅ J 0 , kita perlu melihat (∇ω ) 0
∂u ∂u ∂u 3
Seperti telah kita lihat, =0= dan = 0 . Oleh karena itu maka,
∂x1 ∂x 2 ∂x 3
⎪ − ⎪
⎩ ∂x1∂x3 ∂x 2 ∂x3 ⎭
Jadi inilah vorticity flux yang keluar dari permukaan. Sekarang yang menjadi
pertanyaan adalah apa yang menyebabkan adanya vorticity flux di permukaan. Dengan
kata lain apa sumber vortisitas di permukaan benda.
Vortisitas 134
Untuk mencari “asal” dari vorticity flux ini, kita lihat persamaan momentum.
du 1
= − ∇p + υ∇ 2 u
dt ρ
⎧ ∂ 2u2 ⎫
⎪− 2 ⎪
⎪ ∂x3 ⎪
d U 0 (t ) 1 ⎪ ∂ 2 u1 ⎪
eˆ3 x = −eˆ3 x (∇p ) 0 + υ ⎨ 2 ⎬
(V.8)
dt ρ ⎪ ∂x3 ⎪
⎪ 0 ⎪
⎪ ⎪
⎩ ⎭
∂u ∂u ∂u
di mana telah digunakan =0= dan 3 = 0 . Apabila kita bandingkan suku
∂x1 ∂x 2 ∂x 3
terakhir (V.8) dengan suku kanan (V.7), komponen ê1 dan ê 2 dari kedua suku tersebut
sama. Namun, kedua persamaan tersebut tidak mempunyai komponen ê3 yang sama.
Apabila kita bisa samakan kedua suku tersebut maka kita dapatkan source of vorticity
dari kasus ini.
Untuk menyamakan kedudukan komponen ê3 di kedua suku ini, kita perhatikan (τ ) 0
⎡ ∂ u1 ⎤
⎢ 0 0 ⎥
⎢ ∂x3 ⎥
∂u2
= µ ⎢ 0 0 ⎥
⎢ ∂x3 ⎥
⎢ ∂u1 ∂u2 ⎥
⎢ 0 ⎥
⎢⎣ ∂x3 ∂x3 ⎥⎦
S
Sekarang kita lihat gaya-gaya viscous, T ( nˆ ) , di permukaan
Vortisitas 135
⎧ ∂u1 ⎫
⎪ ∂x ⎪
⎪ 3⎪
(T ( ) ) ≡ (τ ⋅ nˆ )
s
nˆ
⎪ ∂u ⎪
= (τ )0 ⋅ eˆ3 = µ ⎨ 2 ⎬
⎪ ∂x3 ⎪
0 0
⎪ 0 ⎪
⎪⎩ ⎪⎭
( )S
Karena T ( nˆ ) 0
hanya mempunyai komponen di ê1 dan ê2 saja maka dalam kasus ini
1
µ
( )s
∇ × T (nˆ ) =−
∂ 2u2
eˆ1 +
∂ 2 u1 ⎛ ∂ 2u2
eˆ2 + ⎜⎜ −
∂ 2 u1 ⎞
⎟⎟eˆ3
⎝ ∂x1∂x3 ∂x 2 ∂x3 ⎠
2 2
0
∂x3 ∂x3
Apabila kita perhatikan hasil di atas maka terlihat bahwa komponen ê3 dari hasil di atas
mirip dengan komponen ê3 dalam (V.7) dan komponen ini lah yang kita cari. Dengan
demikian maka,
υ ⎜⎜
⎛ ∂ 2u2
∂x ∂x
−
∂
∂ 2 u1 ⎞ 1
x ∂x
⎟⎟ = eˆ3 ⋅ ∇ × T (snˆ )
ρ
( )
0
⎝ 1 3 2 3 ⎠
⎡ ∂ 2u2 ⎤
⎢− 2 ⎥
⎢ ∂x3 ⎥
dU 0 1 ⎛ ∇ × T(nsˆ ) ( ) ⎞ ⎢
⎟ = ν ⎢− ∂ u1
2 ⎥
eˆ3 × + eˆ3 × (∇p )0 + eˆ3 ⎜ eˆ3 ⋅ 0
⎥
dt ρ ⎜ ρ ⎟ ⎢ ∂x
2
⎥
⎝ ⎠ 3
⎢ 2 ⎥
⎢ ∂ u 2 − ∂ u1 ⎥
2
⎢⎣ ∂x1∂x3 ∂x 2 ∂x3 ⎥⎦
Hasil terakhir ini sangat penting. Hasil ini menyatakan bahwa “source of vorticity”
dalam aliran di mana ρ = konstan adalah :
1. akselerasi permukaan benda,
2. pressure gradient di permukaan benda,
3. tangential stress di permukaan benda.
Sekali lagi diingatkan bahwa (v.9) didapatkan untuk aliran di mana ρ = konstan dan
permukaan yang datar. Untuk kasus yang lebih umum di mana terdapat variasi harga ρ
dan permukaan yang melengkung,
⎡ ∂τ 11 ⎤
⎢ ∂x ⎥
⎢ 1 ⎥
⎡ dU 1 ⎤ 1
[ (
nˆ ⋅ J 0 = −nˆ × ⎢ 0 + (∇p )0 ⎥ − nˆ nˆ ⋅ ∇ × T (nˆ )
ρ
s
)] +
1 ⎢ ∂τ ⎥ 1
[ ( s
nˆ × ⎢ 22 ⎥ + ∇nˆ ⋅ nˆ ⋅ ∇ × T (nˆ ) )]
⎦ ρ0 ρ0 ⎢ ∂x2 ⎥ ρ 0
0 0
⎣ dt
⎢0 ⎥
⎢ ⎥
⎣ ⎦
di mana ρ0 adalah ρ di permukaan benda. Dua suku terakhir dalam persamaan ini
adalah kontribusi dari kompresibilitas (ρ≠konstan)dan kelengkungan permukaan.
Lapisan Batas 137
BAB
4
Lapisan Batas
4.1 Pendahuluan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, aliran di sekitar benda untuk kasus di mana harga
Re sangat tinggi dapat diasumsikan sebagai aliran inviscid dan efek viskos pada
persamaan momentum dapat diabaikan. Selain persamaan momentum, efek viskos juga
terdapat pada persamaan energi. Pada persamaan tersebut, bilangan-bilangan yang
merupakan koefisien dari suku yang menjelaskan efek viskos adalah Re dan Pr dimana,
Cp 0 µ 0
Pr = . Karena cp, µ, dan k adalah fungsi dari temperatur maka Pr juga fungsi dari
k0
temperatur. Untuk gas harga dari Pr adalah selalu di sekitar satu (Pr~1)). Untuk liquid
harga Pr dapat lebih besar dari 1 bahkan untuk glycerine yang temperaturnya 20oC, Pr
= 7250. Namun ada juga liquid yang harga Pr-nya lebih kecil dari 1 seperti mercury
yang temperaturnya 20oC, Pr = 0.0044 .
Dari contoh-contoh harga Pr di atas dapat dilihat bahwa untuk aliran yang mempunyai
Re sangat tinggi maka harga RePr juga pada umumnya sangat tinggi. Oleh karena RePr
( ~
)
sangat tinggi maka suku τ~ ⋅ ∇ ⋅ u~ pada persamaan energi dapat diabaikan karena suku
Lapisan Batas 138
1
ini proporsional dengan . Tentunya, pengabaian ini hanya dapat dilakukan di
Re Pr
~
daerah dimana harga ∇u~ tidak terlalu tinggi. Suku lain yang juga proporsional dengan
1 ~
dalam persamaan energi (c) adalah suku ∇ ⋅ q~ . Suku ini juga dapat diabaikan di
Re Pr
luar daerah di mana ada ∇T yang tinggi (karena q = −k∇T ). Apabila aliran juga dapat
menjelaskan perpindahan panas dan disipasi energi didalam persamaan (c) dapat
diabaikan kecuali didaerah dimana terdapat ∇T dan ∇u yang tinggi.
Asumsi inviscid tidak dapat digunakan di daerah yang berdekatan dengan benda karena
adanya kondisi-kondisi batas untuk persamaan-persamaan momentum dan energi yang
menyatakan bahwa u = Uwall, dan untuk persamaan energi, ada dua tipe kondisi batas
yaitu:
1. T = Twall (T= temperatur)
⎛ ∂T ⎞
2. ⎜ ⎟ = q wall (n = unit normal terhadap permukaan benda)
⎝ ∂n ⎠ n =o
∂T
Karena u dan T atau ditentukan oleh permukaan benda, maka akan selalu ada
∂n
gradien u dan T yang cukup tinggi di daerah ini. Oleh karena itu, asumsi inviscid tidak
dapat digunakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aliran di sekitar benda di mana harga Re
sangat tinggi, maka asumsi inviscid hanya dapat digunakan di luar daerah tipis di sekitar
benda tersebut. Lapisan di dekat permukaan benda di mana terdapat ∇T dan ∇u yang
tinggi sehingga asumsi inviscid tidak dapat digunakan disebut boundary layer atau
lapisan batas.
Secara fisik lapisan batas adalah daerah didalam aliran dimana efek viskositas cukup
dominan. Kita telah lihat di Bab-bab sebelumnya bahwa efek viskositas menyebar
kedalam aliran melalui proses difusi. Seberapa jauh proses penyebaran ini tentunya
juga ditentukan oleh proses konveksi yang juga terdapat didalam aliran. Pada aliran
Lapisan Batas 139
dengan Re yang tinggi, dimana efek inersia jauh lebih dominan dari pada efek
viskositas, proses konveksi lebih dominan dari pada proses difusi. Dengan demikian
efek viskos yang menyebar “keluar” dari permukaan benda tidak dapat tersebar cukup
jauh karena “terdorong” (dikonveksikan) oleh aliran. Ini mengakibatkan efek viskositas
terkonsentrasi pada daerah tipis di dekat permukaan benda (daerah lapisan batas).
Di Bab 3, kita melihat bahwa permukaan merupakan sumber dari vortisitas dalam
aliran. Kemudian viskositas menyebarkan vortisitas dari permukaan, tempat vortisitas
dibangkitkan, ke dalam aliran. Dari apa yang telah dibahas diatas, jelaslah bahwa pada
aliran dengan Re yang tinggi, vortisitas tidak dapat menyebar jauh dari permukaan
benda. Pada aliran dengan freestream yang seragam dimana harga Re cukup tinggi,
vortisitas hanya terdapat didalam lapisan batas. Dengan demikian maka aliran diluar
lapisan batas dapat di asumsikan sebagai aliran irrotasional.
Hal serupa juga berlaku pada proses perpindahan panas yang disebabkan oleh adanya
perbedaan temperatur. Dalam proses ini, panas dikonveksikan dan di difusikan oleh
aliran sehingga apa yang telah dijelaskan sebelumnya juga berlaku pada kasus ini.
Secara umum, daerah dimana ∇T mempunyai harga yang signifikan berbeda dengan
daerah dimana terdapat ∇u yang tinggi. Dengan kata lain, ketebalan lapisan batas yang
disebabkan oleh adanya ∇T yang cukup tinggi berbeda dengan lapisan batas yang
disebabkan oleh adanya ∇u yang tinggi. Lapisan batas yang dsebabkan oleh adanya
harga ∇u yang cukup tinggi disebut momentum boundary layer sedangkan yang
disebabkan oleh adanya ∇T yang tinggi disebut thermal boundary layer. Sekali lagi
ketebalan dari kedua lapisan batas ini tidak harus sama seperti terlihat dalam sketsa
dibawah ini. Dalam bab ini kita akan mempelajari sifat-sifat aliran di dalam lapisan ini.
Karena lapisan batass adalah lapisan yang sangat tipis, maka persamaan momentum (b)
dan persamaan energi (c) dapat disederhanakan sebagai berikut:
δ u ≡ tebal lapisan batas kecepatan
δ T ≡ tebal lapisan batas termal
Sekarang, kita akan bandingkan besar suku-suku pada persamaan tersebut. Dalam
pembahasan dibawah ini simbol ~ menyatakan order of magnitude (estimasi besarnya
harga) suatu variabel/suku.
U u ⎛δ ⎞
~ 2 atau u 2 ~ ⎜ u ⎟U
L δu ⎝ L ⎠
jadi u 2 « U atau u 2 « u1 .
x2
x1
Lapisan Batas 141
⎛ ∂u1 ∂u ⎞ ∂p ∂ ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ⎛ ∂u 2 ∂u1 ⎞ ⎞
ρ ⎜⎜ u1 + u 2 1 ⎟⎟ = − + ⎜⎜ λ∇ ⋅ u + 2µ 1 ⎟⎟ + ⎜ µ⎜ ⎟⎟
∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ∂x1 ⎝ ∂x1 ⎠ ∂x 2 ⎜ ⎜ ∂x + ∂x ⎟ ⎟ (BL.2)
⎝ ⎝ ⎝ 1 2 ⎠⎠
x2:
U U
Karena δu << L maka << 2 sehingga (BL.2) dapat disederhanakan menjadi,
L2
δu
⎛ ∂u1 ∂u ⎞ ∂p ∂ ∂u
ρ ⎜⎜ u1 + u 2 1 ⎟⎟ = − + µ 1 (BL.4)
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ∂x 2 ∂x 2
pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa besar dari suku-suku sebelah kanan “sama
δu δu
dengan” adalah kali dari suku yang sama dalam x1 momentum. Karena << 1,
L L
maka suku-suku ini dapat diabaikan. Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk suku
kedua di sebelah kiri tanda “sama dengan”. Namun, suku pertama di sebelah kiri tanda
1
sama ”dengan” sangat besar (karena ) sehingga suku ini tidak dapat diabaikan.
δu
Sedangkan suku-suku lain yan tersisa didalam persamaan tersebut mempunyai
U U ⎛δ ⎞
orde ~ = 2 ⎜ u ⎟ . Apabila dibandingkan dengan suku terakhir dalam persamaan
Lδ u δ u ⎝ L ⎠
δu
x1 momentum (suku yang tidak kita abaikan), maka besar suku-suku ini adalah kali
L
lebih kecil dan karena itu dapat diabaikan. Dengan demikian persamaan x2 momentum
menjadi,
∂p
≅0 (BL.5)
∂x2
Untuk persamaan energi, kita dapat gunakan persamaan enthalpi (h) yang dituliskan
seperti di bawah ini,
+ (τ ⋅ ∇ ) ⋅ u − ∇ ⋅ q
dh dp
ρ = (h)
dt dt
atau bentuk alternatifnya (persamaan (i)),
dT T ⎛ dρ ⎞ dp
ρc p = ⎜ ⎟ + (τ ⋅ ∇ ) ⋅ u − ∇ ⋅ q (i)
dt ρ ⎝ dt ⎠ T dt
⎛ ∂T ∂T ⎞ ⎛⎜ T ⎛ ∂ρ ⎞ ⎞⎛ ∂p
⎟⎜ u1 ∂p ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρc p ⎜⎜ u1 + u2 ⎟= ⎜ ⎟ ⎟ ⎜ ⎟
⎟⎜ ∂x + u 2 ∂x ⎟ + Φ + ∂x ⎜ k ∂x ⎟ + ∂x
⎜⎜ k ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎟⎠ ⎜⎝ ρ ⎜⎝ ∂p ⎟⎠ T ⎠⎝ 1 2 ⎠ 1 ⎝ 1 ⎠ 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
di mana,
Lapisan Batas 143
⎛ ∂u ∂u ⎞
2
⎡⎛ ∂u ⎞ 2 ⎛ ∂u ⎞
2
⎤ ⎛ ∂u 2 ∂u1 ⎞
2
Φ ≡ (τ ⋅ ∇ ) ⋅ u = λ ⎜⎜ 1 + 2 ⎟⎟ + 2 µ ⎢⎜⎜ 1 ⎟⎟ + ⎜⎜ 2 ⎟⎟ ⎥ + µ ⎜⎜ + ⎟⎟ .
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ⎢⎣⎝ ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x 2 ⎠ ⎥⎦ ⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠
kT kT
<< 2
L2
δ
sehingga yang terbesar adalah
∂ ⎛ ∂T ⎞
⎜⎜ k ⎟⎟
∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
Untuk suku u ⋅ ∇p ,
∂p U ∂p
u1 ~ p dan u 2 ≈0
∂x1 L ∂x 2
∂p
(karena persamaan x2 momentum menyatakan ≅ 0 ).
∂x 2
Jadi di dalam lapisan batas persamaan energi ((h) atau (i)) menjadi,
2
⎛ ∂h ∂h ⎞ ∂p ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ ⎜⎜ u1 + u2 ⎟⎟ = u1 + µ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ + ⎜⎜ k ⎟⎟ (BL.6.a)
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ⎝ ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
atau
2
⎛ ∂T ∂T ⎞ ⎛ T ⎛ ∂ρ ⎞ ⎞ ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂u1 ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ c p ⎜ u1 + u2 ⎟ = ⎜⎜ ⎜ ⎟ ⎟⎟ ⎜ u1 ⎟+µ⎜ ⎟ + ⎜k ⎟ (BL.6.b)
⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠ ⎝ ρ ⎝ ∂p ⎠T ⎠ ⎝ ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x2 ⎠ ∂x2 ⎝ ∂x2 ⎠
⎛ ∂u1 ∂u ⎞ ∂p ∂ ⎛ ∂u1 ⎞
ρ ⎜⎜ u1 + u 2 1 ⎟⎟ = − + ⎜⎜ µ ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
∂p
=0
∂x 2
2
⎛ ∂h ∂h ⎞ ∂p ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ ⎜⎜ u1 + u2 ⎟⎟ = u1 + µ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ + ⎜⎜ k ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x1 ⎝ ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
ATAU
2
⎛ ∂T ∂T ⎞ ⎛ T ⎛ ∂ρ ⎞ ⎞ ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂u1 ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ c p ⎜ u1 + u2 ⎟ = ⎜⎜ ⎜ ⎟ ⎟⎟ ⎜ u1 ⎟+µ⎜ ⎟ + ⎜k ⎟
⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠ ⎝ ρ ⎝ ∂p ⎠T ⎠ ⎝ ∂x1 ⎠ ⎝ ∂x2 ⎠ ∂x2 ⎝ ∂x2 ⎠
Dengan kondisi batas:
u1 (x 2 → ∞ ) = U in T ( x 2 → ∞ ) = Tin
µ = µ ( p, T ) k = k ( p, T ) h = h ( p, T )
di mana Uin adalah U di luar lapisan batas (solusi permasalahan aliran inviscid di
sekitar benda tersebut)
Catatan:
∂p
1. = 0 , ini berarti tekanan di sebuah x1 di dalam lapisan batas = tekanan di
∂x 2
posisi x1 yang sama di daerah di luar lapisan batas di mana aliran dapat
diasumsikan inviscid dan adiabatic. Dengan kata lain tekanan di dalam lapisan
batas adalah sama dengan tekanan, p(x1), di luar lapisan batas.
Lapisan Batas 145
2. Di bagian teratas dari lapisan batas, u1 menjadi sama dengan Uin(x1) (kecepatan
di luar lapisan batas), di mana Uin(x1) adalah solusi dari persamaan Euler (di luar
lapisan batas aliran adalah aliran inviscid).
∂Uin 1 ∂p
Uin =− (BL.7)
∂x1 ρ ∂x1
Untuk kasus aliran inkompresibel, persamaan di atas menjadi
∂ ⎛ U in ⎞
2
∂ ⎛ p⎞
p+ρ
U in
2
( x)
⎜ ⎟=− ⎜ − ⎟ sehingga = konstan.
∂x1 ⎝ 2 ⎠ ∂x1 ⎝ ρ ⎠ 2
3. Dari diskusi di atas dapat dilihat bahwa solusi dari persamaan (BL) tergantung
dari keadaan di luar lapisan batas (Uin(x)). Oleh karena itu, untuk mendapatkan
solusi yang tepat kita harus lakukan iterasi “inviscid ⇔ lapisan batas”.
4 Persamaan (BL) diturunkan untuk kasus aliran di dekat permukaan datar (plane
wall). Namun, dapat ditunjukkan bahwa persamaan (BL) juga dapat digunakan
untuk aliran 2-D secara umum (misalnya untuk aliran di dekat permukaan yang
melengkung, dll).
u12 1 ⎛ ∂p ⎞
= ⎜ ⎟⎟ .
R ρ ⎜⎝ ∂x 2 ⎠
∂p
Jadi untuk kasus R >> 1 , ≈ 0 (sama seperti kasus permukaan datar).
∂x 2
Lapisan Batas 146
Untuk kasus aliran inkompresible, persamaan (BL) dapat disederhanakan lebih lanjut
karena untuk kasus ini ρ = konstan dan µ = konstan dan k = konstan sehingga persamaan
BL menjadi,
∂u1 ∂u2
+ =0
∂x1 ∂x2
∂u1 ∂u dU in ∂ 2u
u1 + u2 1 = U in +ν 21
∂x1 ∂x2 dx1 ∂x2
2
⎛ ∂T ∂T ⎞ ⎛ ∂u1 ⎞ ∂ 2T
ρ Cp ⎜ u1 + u2 ⎟ = µ ⎜ ⎟ + k
⎝ ∂x1 ∂x2 ⎠ ⎝ ∂x2 ⎠ ∂x22
(BLI)
Kondisi-kondisi batas yang harus dipenuhi:
u1 (x 2 → ∞ ) = U in
u ( x 2 → 0) = U wall
T ( x 2 → ∞ ) = Tin
∂T
T ( x 2 → 0) = Twall atau k = q wall
∂x 2 x2 = 0
∂p
Catatan: dalam persamaan di atas = 0 telah diintegrasikan ke dalam suku,
∂y
dU in
U in
dx
Persamaan (BLI) adalah 3 persamaan untuk mencari 3 variabel yang tidak diketahui: u1,
u2, T. Dalam persamaan tersebut, persamaan energi (persamaan yang terakhir)
“terpisah” dari persamaan yang pertama dan kedua. Dengan kata lain persamaan energi
tidak dibutuhkan untuk menyelesaikan persamaan kesatu dan kedua (untuk u1 & u2). Ini
berbeda dengan kasus kompresible di mana persamaan-persamaan massa, momentum
dan energi harus diselesaikan secara bersamaan. Dalam kasus kompresible, persamaan
energi dibutuhkan dalam persamaan x- momentum karena µ = µ(T). Oleh karena itu,
untuk mempelajari velocity boundary layer hanya diperlukan persamaan pertama dan
kedua saja.
Lapisan Batas 147
Dalam persamaan di atas tidak terdapat viskositas!!! Ini berarti solusi dari persamaan-
persamaan tersebut tidak bergantung pada Reynolds Number, (Re), ( ~ u dan ~u bukan
1 2
fungsi Re). Jadi apabila kita mempunyai sebuah benda dengan bentuk tertentu, maka
kita cukup mendapatkan satu solusi untuk lapisan batas dari benda tersebut dengan
menggunakan persamaan (BLI). Solusi tersebut valid untuk Re berapapun selama
x1 ~ O(1) , x 2 ~ δ u , x 2 ~ L / Re
lapisan batas masih lapisan batas. laminar. Karena ~
maka
δ u ~ L / Re
dU ∞
Untuk kasus ini, U in ( x ) = U ∞ = konstan. Karenanya = 0 . Untuk kasus ini
dx1
persamaan BL.1 menjadi,
∂u1 ∂u1 ∂ 2 u1 ∂u1 ∂u 2
u1 + u2 =υ dan + =0 (BLI.1)
∂x1 ∂x 2 ∂x 2
2
∂x1 ∂x 2
Dari persamaan (B~L~I~ ) dapat dilihat bahwa solusi dari persamaan (BL) harus
mempunyai bentuk ,
u u Re L
u~1 = 1 = f (~ x 2 ) & u~2 = 2
x1 , ~ = g (~ x2 ) = u 2
x1 , ~
U in U in U ∞υ
Lapisan Batas 148
Karena pelat adalah semi infinite, maka tidak ada panjang karakteristik L dalam kasus
u1
ini. Karenanya haruslah fungsi dari kombinasi ~
x1 dan ~
x 2 yang tidak terdapat L
Vin
sehingga,
u~1 ⎛ ~
x ⎞ ⎛ ~
x ⎞ ~
x2 U in
= f ⎜ ~2 ⎟ , u~2 ~
x1 = g ⎜ ~2 ⎟, = x
U in ⎜ x ⎟ ⎜ x ⎟ ~
x1
2
νx1
⎝ 1⎠ ⎝ 1 ⎠
Untuk menyelesaikan (BLI. 1), dapat kita gunakan fungsi arus ψ di mana,
∂ψ ∂ψ νx1
u1 = , u2 = − , x2 ~ δ ~
∂x 2 ∂x1 U∞
U in
ψ = υx1U in f (ξ ) , ξ = x2
υx1
sehingga,
1 υU in
u1
U in
= f ' (ξ ) , u2 =
2 x
(
ξ f'− f )
df
di mana f ' ≡
dξ
Dalam contoh ini, persamaan diferensial parsial (BLI. 1) diubah menjadi persamaan
diferensial biasa (BLI. 2) dengan menggunakan “Similarity Transformation” (dengan
menggunakan ψ dan ξ ). Persamaan (BLI.3) dapat diselesaikan secara numerik. Hasil-
Lapisan Batas 149
hasil penting yang dapat diambil dari solusi ini adalah: Shear-Stress distribution (τ w ) ,
2 f ' ' (0 ) 1 1
x1 x
FD 2
∫0 w ( )
x1 ∫0 U ∞ x'
Cd = = τ x ' dx ' = dx'
1 x1 ρU ∞
2
ρU ∞ 2 x1
2 υ
Solusi numerik dari persamaan (BLI. 3) memberikan f ' ' (0 ) ≈ 0.322 sehingga,
τw 2 f ' ' (0 ) 0.664
Cf ≡ = =
1 Re x Re x
ρU ∞ 2
2
1.328
Cd =
Re x
Sekarang kita akan beralih ke persamaan energi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
dalam kasus lapisan batas untuk aliran inkompresible, persamaan energi tidak
mempengaruhi solusi dari persamaan momentum ( u ). Namun, solusi dari persamaan
−
persamaan energi,
2
⎛ ∂T ∂T ⎞ k ∂ 2T µ ⎛ ∂u1 ⎞
⎜⎜ u1 + u2 ⎟⎟ = + ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ρC P ∂x 2 2
ρC P ⎝ ∂x 2 ⎠
Dengan menggunakan variabel ξ , persamaan di atas menjadi,
2
d 2T Pr dT U
+ f = − Pr ∞ ( f ' ' )2
dξ 2
2 dξ CP
Lapisan Batas 150
Dengan kata lain θ 1 adalah solusi dari persoalan lapisan batas di mana “Viscous
Dissipation” diabaikan dan terdapat perubahan temperatur (yang ditentukan!!!) antara
dinding dan aliran di luar lapisan batas. Sedangkan θ 2 adalah solusi dari persoalan
∂T
lapisan batas di atas pelat yang diinsulasi sehingga =0
∂x 2
Solusi untuk θ 1 dan θ 2 adalah fungsi dari turunan f (solusi untuk persamaan
momentum). Kita ketahui bahwa,
2f ' ' '
f =-
f ''
Sekarang kita atur ulang persamaan untuk θ1 ,
d d
ln θ1 ' = Pr ln f ' ' .
dξ dξ
Apabila kita integrasikan maka, θ1' = c1 (f '' ) Pr . Kemudian kita integrasikan sekali lagi
maka didapatkan,
∞
∫ (f ' ' )
ξ
Pr
dξ
θ1 = ∞
∫ (f ' ' )
0
Pr
dξ
Lapisan Batas 151
dξ Pr
p
sehingga,
θ2 = ( Pr U ∞2
cp
)∫ ( f ' ' ) [ ∫ ( f ' ' )
ξ
∞
Pr
η
0
2- Pr
]
dτ dη
( )
2
1 Pr U ∞
θ1 = 1 - f ' dan θ 2 = (1 - f ' )
2 cp
Terlihat bahwa solusi umum untuk kasus ini (lapisan batas termal di atas pelat) akan
didapatkan apabila f telah ditemukan.
Untuk kasus lapisan batas di mana efek kompresibilitas tidak dapat diabaikan, sistem
persamaan lapisan batas harus diselesaikan secara serempak. Seperti telah dikatakan
sebelumnya, dalam kasus ini adalah fungsi dari temperatur. Sehingga untuk
menyelesaikan persamaan momentum kita memerlukan persamaan energi yang
merupakan persamaan yang menjelaskan tentang perubahan T. Namun kita tahu bahwa
untuk menyelesaikan persamaan energi kita memerlukan u yang perubahannya
dijelaskan oleh persamaan momentum. Jadi jelaslah untuk kasus ini ketiga persamaan
tersebut (massa, momentum, energi) harus diselesaikan secara bersamaan. Dengan
demikian kasus ini menjadi lebih rumit bila dibandingkan dengan kasus inkompressibel.
Dalam bagian ini kita akan lihat salah satu contoh dari lapisan batas kompresible, yaitu
aliran kompresible di sekitar plat.
∂ρu 1 ∂ρu 2
+ =0 (CBL. 1)
∂x 1 ∂x 2
∂u 1 ∂u 1
(
ρ u1
∂x 1
+ u2
∂x 2
) = ∂x∂ (µ ∂∂xu )
2
1
2
(CBL. 2)
(
ρ u1
∂h
∂x 1
+ u2
∂h
∂x 2
) = µ( ∂∂xu ) 1
2
2
+
∂
∂x 2
k
∂Τ
(
∂x 2
)
dp
=0 (CBL. 3)
dx 2
Kondisi batas yang kita pilih untuk kasus ini adalah:
u1 ( x 2 → ∞) = U in = U ∞ , T ( x 2 → ∞ ) = T∞
u ( x 2 → 0) = 0 , T( x 2 → 0) = Twall
(pelat yang tidak bergerak dengan temperatur permukaan Twall)
Untuk lebih memudahkan penyelesaian kasus ini, kita rubah persamaan energi menjadi
persamaan untuk total enthalpy (h 0 ≈h + 12 u12 ). Pertama-tama kita kalikan persamaan
momentum x1 dengan u1,
∂ u 12 ∂ u 12 ∂ ∂u
(
ρ u1
∂x 1 2
+ u2
∂x 2 2
= u1
∂x 2
µ 1
∂x 2
) ( )
Kemudian persamaan ini kita tambahkan dengan persamaan energi (enthalpy) hasilnya
adalah,
∂h 0 ∂h 0
(
ρ u1
∂x 1
+ u2
∂x 2
)=u 1
∂
∂x 2
(µ ∂∂xu ) + µ(∂∂xu )
1
2
1
2
2
+
∂
∂x 2
k
∂Τ
(
∂x 2
)
1 ρ
Untuk perfect gas: dh = cp dT atau dT = d (h 0 - u 12 ) sehingga persamaan energi
cp 2
menjadi,
∂h 0 ∂h 0
(
ρ u1
∂x 1
+ u2
∂x 2
)=u 1
∂
∂x 2
(µ ∂∂xu ) + µ(∂∂xu )
1
2
1
2
2
+
∂
∂x 2
(ck ∂x∂
p 2
(h 0 -
1 2
ρu )
2 1
)
Kita dapat sederhanakan persamaan ini lebih lanjut dan hasilnya adalah:
∂h 0 ∂h 0
(
ρ u1
∂x 1
+ u2
∂x 2
) = ∂x∂ [ Prµ ∂∂xh
2
0
2
+ (1 -
1
Pr
) µu 1
∂u 1
∂x 2
] (CBL. 4)
Lapisan Batas 153
sehingga,
df u h0
f '≡ = 1 dan g ≡
dξ U ∞ h 0∞
ρµ 1 U ∞2 ⎡ ⎛ 1 ⎞ ρµ ⎤
( g ' )' + f g '+ ⎢[(⎜1 - ⎟) f ' f '' ⎥ ]' = 0
ρ ∞ µ ∞ Pr h0∞ ⎣ ⎝ Pr ⎠ ρ ∞ µ ∞ ⎦
Kondisi batas-nya menjadi,
f (η →0) = 0 , f ' (η → 0) = 0 , g(η → 0) = g wall , f ' (η → ∞) = 1 , g (η → ∞ ) = 1
Apabila kita lihat koefisien dari suku ke 3 persamaan energi,
U ∞2 U ∞2 1 1 1 1
= = = = =
h0 ∞ h + 1 v 2 h∞ + 1 c pT∞ 1 γ RT∞ 1 M∞ 2
1
∞ ∞ + + +
2 2
v∞ 2 2
U∞ 2 (γ -1)v∞
2
2 (γ -1) 2
Kita telah lihat bahwa sangat sulit untuk menemukan solusi dari persamaan (BL) atau
(BLI). Untuk kasus yang paling sederhana yaitu kasus lapisan batas dari pelat datar
untuk kasus aliran incompressible, kita dapat mengubah persamaan diferensial parsial
menjadi persamaan diferensial biasa dengan mencari “similiarity solution” dari
persamaan x,momentum. Karena persamaan yang menjelaskan lapisan batas untuk
kasus ini adalah persamaan diferensial biasa maka kasus ini menjadi mudah untuk
diselesaikan walaupun harus diselesaikan secara numerik. Jadi dari kasus ini kita dapat
simpulkan bahwa kasus-kasus dimana peramaan diferensial parsial dapat diselesaikan
dengan menggunakan “similiarity solution” adalah kasus-kasus yang relatif mudah
secara matematis. Disubbagian ini kita akan lihat kasus-kasus apa saja yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan “similarity solution’ untuk aliran inkompresible.
ψ = U inδ ( f (ξ ) − f (0))
Karena ψ = 0 di x2=0 maka,
f(0) = 0 & ψ = U inδ f (ξ ) .
∂ψ ∂ψ
u1 = , u2 = −
∂x2 ∂x1
Lapisan Batas 155
Dari ψ = U inδ f (ξ ) , kita dapat tuliskan u2 sebagai fungsi dari Uin , δ , f dan turunan-
turunannya.
∂ψ
= − f [U inδ ] + ξU in f 'δ '
'
u2 = −
∂x1
Apabila kita subtitusikan U1 dan U2 ke persamaan (FS.1) maka didapatkan,
f ''' + α ff '' + β (1 − f '2 ) = 0 (FS.2)
di mana
δ d δ 2 dU in
α≡ (U inδ ) dan β ≡ .
ν dx1 ν dx1
Untuk kasus di mana terdapat similarity solution, persamaan (FS.2) hanya tergantung
dari ξ . Dengan kata lain,untuk kasus-kasus ini maka α dan β haruslah konstan (bukan
fungsi x1). Sekarang kita akan gunakan kenyataan ini untuk menemukan kasus-kasus apa
saja yang dapat diselesaikan dengan menggunakan “similarity solution”.
Kν x1
δ=
U in
dimana K ≡ 2α − β =konstan.
Sekarang kita pilih K=1 apabila Uin dan x1 searah dan K=-1 apabila Uin dan x1
berlawanan.
Lapisan Batas 156
±ν x1
δ= (FS.3)
U in
δ 2 dU in
Apabila kita subtitusikan δ ke definisi untuk β ( β ≡ ) maka,
ν dx1
x1 dU in dx dU in
β =± atau β 1 = ±
U in dx1 x1 U in
Karena β adalah konstan maka persamaan terakhir dapat diintegrasikan & hasilnya
adalah,
x
U in = U 0 ( 1 ) m (FS.4)
L
U0 = konstan, L = konstan. Dalam hubungan diatas,
⎧ β , apabila U in & x1 searah
m=⎨
⎩-β , apabila U in & x2 berlawanan arah
Dengan menggunakan (FS.3)&(FS.4),persamaan(FS.2) dapat dituliskan menjadi,
1
f ' ' '+ (m + 1) ff ' '+ m(1 − f ' 2 ) = 0 (FS)
2
f (0) = 0 f '(0) = 0
f '(1) = 1
Jadi hasil ini kita dapat kita simpulkan sebagai berikut . Apabila solusi inviscid dari
aliran sekitar benda adalah
U in ( x1 ) ~ x1m
Lapisan Batas 157
maka lapisan batas benda tersebut dijelaskan oleh persamaan (FS). Persamaan (FS)
disebut juga persamaan Falkner-Skan.
d) m=1:Aliran stagnasi
Kita telah lihat bahwa untuk mendapatkan solusi dari persamaan-persamaan untuk
lapisan batas secara analitik bukanlah hal yang mudah. Dalam praktik, permasalahan
lapisan batas biasanya diselesaikan dengan menggunakan metoda aproksimasi. Metoda-
metoda ini berbasis dari “perasamaan integral” dari lapisan batas dan ini yang akan kita
dapatkan di dalam subbagian ini.
Kita mulai dari persamaan kontinuitas. Apabila kita ambil integral dari persamaan ini
dengan limit dari x2 = 0 s/d x2 = δ maka
Lapisan Batas 158
δ ∂ρu1 δ ∂ρu
∫ dx 2 + ∫ dx 2 = 0
2
0 ∂x1 0 ∂x 2
δ ∂ρ u1
∫0 ∂x1
dx2 + ρinU 2in = 0 (karena u1 = u 2 = 0 di x2 = 0 )
d ⎡ δ ⎛ ρu ⎞ ⎤ d
⎢ ρinU in ∫0 ⎜
1
− 1⎟dx2 ⎥ + ( ρinU in ) δ + ρinU 2in = 0
dx1 ⎣ ⎝ ρinU in ⎠ ⎦ dx1
δ⎛ ρ u1 ⎞
Apabila kita definisikan δ * ≡ ∫ ⎜1 − ⎟dx2 maka
0
⎝ ρinU in ⎠
d d
dx1
( ρinU in ) δ + ρinU 2in −
dx1
(
ρinU inδ * = 0 ) (IM.1)
Dari (IM.1), apabila δ , δ * , dan ρinU in diketahui, maka U 2in dapat dihitung. Informasi
(
ini U 2in ) diperlukan untuk menentukan modifikasi dari kondisi batas untuk persamaan
Euler yang disebabkan karena adanya lapisan batas (lihat pembahasan di 4.6.2).
∂u1 dp dp
di mana τ ≡ µ . Karena = 0 , maka bukan fungsi x2. Selain itu τ ( x2 =δ ) = 0
∂x2 dx2 dx1
sehingga,
δ δ
d ρ u1 ⎛ u ⎞ dU in dp
ρinU in2 ∫ ⎜ − 1 dx
⎟ 2 + ∫ ρ u1dx2 = − δ − τ wall
dx1 0
ρinU in ⎝ U in ⎠ dx1 0 dx1
δ
Sekarang kita jabarkan ∫
0
ρu1 dx 2
δ δ δ
∫ ρ u1dx2 = ∫ ( ρ u1 − ρinU in )dx2 + ∫ ρinU in dx2
0 0 0
δ ⎛ ρ u1 ⎞
= ∫ ρinU in ⎜ − 1⎟ dx2 + ρinU inδ
0
⎝ ρinU in ⎠
= − ρinU inδ * + ρinU inδ
Akhirnya persamaan integral momentum dapat dituliskan
d dU ⎛ dρ dU in ⎞
ρinU in 2θ * + ρinU inδ * in − δ ⎜ + ρinU in ⎟ = τ wall
dx1 dx1 dx
⎝ 1 dx1 ⎠
Kita lanjutkan dengan persamaan energi. Persamaan yang paling baik untuk digunakan
di sini adalah persamaan untuk total enthalpi (lihat subbagian tentang compressible BL).
2
⎛ ∂h ∂h ⎞ ∂ ⎛ ∂u1 ⎞ ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ∂T ⎞
ρ ⎜⎜ u1 0 + u 2 0 ⎟⎟ = u1 ⎜⎜ µ ⎟⎟ + µ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ + ⎜⎜ k ⎟⎟
⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠ ⎝ ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
Kedua suku pertama di sebelah kanan “sama dengan” dapat digabung menjadi,
2
∂ ⎛ ∂u1 ⎞ ⎛ ∂u ⎞ ∂ ⎛ ∂u1 ⎞
u1 ⎜⎜ µ ⎟⎟ + µ ⎜⎜ 1 ⎟⎟ = ⎜⎜ µ u1 ⎟⎟
∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠ ⎝ ∂x 2 ⎠ ∂x 2 ⎝ ∂x 2 ⎠
∂T ∂u
Dengan menggunakan persamaan kontinuitas dan definisi q ≡ −k dan τ = µ 1 ,
∂dx 2 ∂x 2
maka persamaan untuk total enthalpi menjadi,
∂
(h0 ρu1 ) + ∂ (h0 ρu 2 ) = ∂ (τu1 − q )
∂x1 ∂x 2 ∂x 2
Sekarang kita ambil integral dari persamaan di atas. Dengan mengingat bahwa
τ ( x2 → δ ) = 0 dan u1 (x 2 → 0 ) = 0 , hasilnya adalah,
∫0
δ ∂
∂x1
( )
(ρu1h0 )dx 2 + ρ δ u 2δ h0in = q wall (IM)
Di luar lapisan batas, h0in biasanya konstan (kasus normal shock wave pun h0in konstan
∂ ⎛ ⎛ ⎞⎞
(ρu1h0 ) = ∂ ⎜⎜ ρu1h0in ⎜⎜ h0 − 1⎟⎟ ⎟⎟ − h0in ∂ ρu 2
∂x1 ∂x1 ⎝ ⎝ h0in ⎠⎠ ∂x 2
sehingga,
d ⎡ δ ρu ⎛ h ⎞ ⎤
∂
( )
δ
∫ ( ρ u1h0 )dx2 = ⎢ ρinU in h0in ∫0 1 1 ⎜⎜ 0 − 1⎟⎟ dx2 ⎥ − h0in ρ qu2q .
0 ∂x1 dx1 ⎢⎣ ρinU in ⎝ h0in ⎠ ⎥⎦
d
dx1
( )
ρinU inθ h*h0in = − qwall (IM.3)
δ ρ1u1 ⎛ h0 ⎞
θ h* ≡ − ∫ ⎜⎜ − 1⎟dx2
0 ρinU in ⎝ h0 ⎟
⎠
in
Persamaan-persamaan (IM.1), (IM.2), (IM.3) adalah persamaan untuk U 2in , τ wall , dan
approximasi untuk θ h* , θ * , dan δ * . Dari sini harga U 2in , τ wall , dan qwall dapat
diestimasikan.
x2* ρ u1 ⎛ u1 ⎞
θ* ≡ ∫ ⎜1 − ⎟dx2
0 ρinU in ⎝ U in ⎠
Dimana x2* adalah sebuah titik dalam aliran yang berjarak x2 = x2* dari permukaan
benda (definisi ini adalah definisi yang lebih umum, sebelumnya x2* kita ambil sebagai
x2* = δ ).
Lapisan Batas 162
Untuk melihat arti fisis dari δ * , kita lihat mass flow (m ) yang melintasi permukaan
Apabila aliran ini tidak mempunyai lapisan batas (asumsi aliran inviscid digunakan
mulai dari permukaan benda), maka mass flow-nya (m inv ) adalah
x2*
m inv = ∫ ρinU in dx2
0
x2* ⎛ ρ u1 ⎞
Υ = ∫ ⎜1 − ⎟dx2
0
⎝ ρinU in ⎠
Namun, ini adalah definisi dari δ * Υ = δ * . ( ) Jadi, “ δ * adalah ketinggian yang
proporsional dengan berkurangnya m (mass flow) akibat adanya lapisan batas”.
Interpretasi lain dari δ * adalah sebagai berikut. Di dalam gambar (B) terdapat sebuah
streamline, di luar lapisan batas, yang melintasi titik (1) dan (2). Sekarang kita hitung
m di titik (1) dan (2).
x2*
m (1) = ∫ ρinU in dx2
0
x2*
m ( 2) = ∫ ρ u1dx2 + ρinU in y
0
Karena titik (1) dan (2) dilintasi oleh garis ψ =konstan yang sama (streamline yang
sama), maka m (1) = m (2 ) sehingga
x2* x2*
∫0
ρinU in dx2 = ∫ ρ u1dx2 + ρinU in y
0
⎛x2*ρ u1 ⎞
y = ∫ ⎜1 − ⎟dx2
0
⎝ ρinU in ⎠
( )
Namun, ini adalah definisi dari δ * y = δ * . Oleh karena itu, maka “ δ * adalah jarak
terdorongnya “external inviscid flow” yang disebabkan oleh adanya lapisan batas”.
Lapisan Batas 163
Dengan kata lain, bentuk effective yang harus kita gunakan dalam menghitung aliran
inviscid diluar lapisan batas adalah permukaan benda +δ* (lihat gambar dibawah)
Sekarang kita ke interpretasi dari θ*. Untuk itu kita kembali ke gambar (A) & hitung
“momentum flux” yang melintasi garis dari x2 = 0 s/d x2 = x2*. Momentum flux yang
melintasi garis dx2 adalah,
1 = ( ρu1dx2 ) u1 = ρu12dx2
dM = dmu
Apabila aliran dianggap seluruhnya inviscid (tidak ada lapisan batas) maka “momentum
flux” untuk “mass flux” dm yang sama adalah
dM inv = dmU
in = ρ u1U in dx2 .
Dengan demikian, berkurangnya momentum flux untuk aliran dengan massa sebesar dm
yang disebabkan oleh adanya lapisan batas adalah
d (∆M ) = dM inv − dM = ρ u1 (U in − u1 ) dx2
atau
x2*
∆M = ∫ ρ u1 (U in − u1 )dx2
0
x*2 ρ u1 u
Y =∫ (1 − 1 )dx2
0 ρinU in U in
Namun, ini adalah definisi dari θ * sehingga Y= θ . Dengan demikian maka θ * dapat
kita interpretasikan sebagai “jarak yang proporsional dengan berkurangnya momentum
flux yang diakibatkan oleh adanya lapisan batas”.
Lapisan Batas 164
θ * adalah salah satu kuantitas penting dalam teori lapisan batas karena θ * proporsional
dengan Cd . Sebagai contoh adalah kasus aliran disekitar pelat datar (inkompresible).
Untuk kasus ini, persamaan (IM.inkompresible) menjadi,
dθ *
ρU in2 = τ wall
dx1
karena Uin = konstan. Drag untuk pelat datar ini adalah
θ*
dθ
l
D = ∫ τ wall dx1 = ρU 2
in ∫ dx dx1 = ρU in2θ *
0 0 1
Dalam praktiknya, permasalahan aliran disekitar benda yang mempunyai harga Re yang
tinggi diselesaikan dengan melakukan proses iterasi. Ini disebabkan karena solusi
persamaan lapisan batas tergantung dari solusi aliran inviscid diluar lapisan batas
melalui Uin. Sedangkan solusi aliran inviscid tergantung dari kondisi batas yang harus
dipenuhi pada permukaan dimana asumsi inviscid dapat digunakan. Permukaan ini
yang tentunya berubah dengan adanya lapisan batas. Proses iterasi ini dapat dipahami
dengan memperhatikan pembahasan di paragraf berikut.
Pertama-tama, lapisan batas dianggap tidak ada dan aliran inviscid disekitar benda
diselesaikan untuk mendapatkan Uin. Kemudian Uin ini digunakan untuk menyelesaikan
persamaan lapisan batas. Namun, dengan adanya lapisan batas maka permukaan
dimana kondisi batas inviscid harus dipenuhi berubah (luas daerah inviscid berkurang
karena adanya lapisan batas) dan Uin juga tentunya berubah. Ada dua cara untuk
memodifikasi kondisi batas aliran inviscid:
Lapisan Batas 165
Dengan menggunakan kondisi batas baru ini, permasalahan aliran inviscid diselesaikan
lagi untuk mendapatkan U in yang baru, yang kemudian digunakan untuk menyelesaikan
persamaan lapisan batas. Iterasi “viscous-inviscid” ini terus dilakukan sampai
mendapatkan solusi yang konvergen ( δ * tidak berubah atau U 2in tidak berubah).
Di subbagian ini kita akan membahas contoh dari metoda approximasi untuk
menyelesaikan permasalahan lapisan batas. Basis dari metoda ini adalah persamaan
integral lapisan batas. Karena kasus yang kita akan bahas di sini adalah kasus2
incompresible maka persamaan integral yang menjadi basis adalah persamaan (IM
incompresible).
di x2 = 0 , u1 = 0 , u2 = 0 sehingga:
∂ 2u1 U dU in
( x1, 0) = − in
∂x2 2
υ dx1
Dua kondisi batas terakhir didapatkan dengan memastikan bahwa tidak akan terjadi
diskontinuitas di x2 = δ . Kondisi-kondisi ini adalah:
∂u1 ∂ 2uu
( x1,δ ) = 0 dan ( x1,δ ) = 0 .
∂x2 ∂x22
Dengan kondisi batas ini a, b, c, d, e menjadi:
Λ ∆ Λ Λ
a=0 b = 2+ c=− d = −2 + e = 1−
6 6 2 6
di mana
δ 2 dU in
Λ ( x1 ) ≡ .
ν dx1
u1
Dengan koefisien-koefisien ini, maka dalam (K – P) menjadi
U in
u1 u
= 1 (Λ, ξ ) = F (ξ ) + ΛG (ξ )
U in U in
ξ (1 − ξ )3
= 1 − (1 + ξ )(1 − ξ ) + Λ
3
6
F (ξ )
G (ξ )
u1
Apabila kita pilih beberapa harga Λ dan gambarkan grafik v ξ maka kita
U in
u1
dapatkan hasil seperti digambarkan disketsa (B). Untuk kasus Λ > 12 , > 1 dan ini
U in
u1
tentunya tidak mungkin. Untuk kasus Λ <-12, < 0 dan ini adalah kasus dimana
U in
terjadi separasi dari lapisan batas. Aliran di daerah setelah titik separasi x1 = xs tidak
dapat diselesaikan dengan persamaan (BLI). Dari penjelasan ini maka untuk lapisan
batas harga Λ haruslah:
-12< Λ <12
1 U in d (θ * ) + (2 + δ * ) θ * dU in = τ wallθ *
2 2
2 dx1 ν θ * ν dx1 µU in
Lapisan Batas 168
2
θ *2 dU in ⎛ θ * ⎞ δ* τ θ*
λ≡ =⎜ ⎟ Λ, H ≡ , l ≡ wall
ν dx1 ⎝ δ ⎠ θ* µU in
⎛ ⎞
⎜ ⎟
1 U d ⎜ λ ⎟ = l − (2 + H )λ (K-P.4)
2 in dx ⎜ dU in ⎟
1
⎜ dx ⎟
⎝ 1 ⎠
Perlu ditekankan disini bahwa persamaan (K-P.4) kita dapatkan langsung dari
persamaan integral momentum untuk lapisan batas incompressible hanya dengan
menggunakan definisi-definisi diatas. Dengan kata lain (K-P.4), hanyalah bentuk lain
dari persamaan integral momentum untuk aliran incompressible dan persamaan ini
berlaku umum.
Sekarang kita akan lihat bentuk dari λ, l, dan H, apabila kita gunakan metoda Karman –
Pohlhausen, dimana u1 diaproksimasikan dengan menggunakan persamaan (K-P).
Dalam aproksimasi ini,
2
⎛ 37 Λ Λ2 ⎞
λ =⎜ − − ⎟ Λ
⎝ 315 945 9072 ⎠
⎛ 3 Λ ⎞
⎜ − ⎟
H = ⎝ 10 120 ⎠
⎛ 37 Λ Λ2 ⎞
⎜ − − ⎟
⎝ 315 945 9072 ⎠
⎛ Λ⎞
⎜2+ ⎟
l =⎝ 6⎠
⎛ 37 Λ Λ2 ⎞
⎜ − − ⎟
⎝ 315 945 9072 ⎠
Lapisan Batas 169
Karena Uin = Uin (x1) sedangkan H = H( Λ ),λ = λ ( Λ ) dan l = l( Λ ) maka (K-P.4) adalah
persamaan diferensial yang solusinya adalah Λ = Λ ( x1 ) . Dengan demikian maka,
prosudur penyesaian permasalahan lapisan batas menggunakan metoda ini adalah
sebagai berikut:
δ 2 dU in
2. Gunakan definisi Λ ≡ dan hasil dari 1.) untuk mendapatkan δ ( x1 ) .
ν dx1
Persamaan (K-P.4) yang diturunkan di 4.7.1 adalah bentuk lain dari persamaan integral
momentum untuk aliran incompressible dan persamaan ini berlaku umum. Dalam
metoda Karman Pohlhausen kita lihat bahwa suku-suku sebelah kanan dari persamaan
ini, l − (2 + H )λ , adalah fungsi dari Λ sedangkan Λ adalah fungsi dari λ. Dengan kata
lain, hasil sebelumnya menunjukkan bahwa l dan H adalah fungsi dari λ.
Thwaits meneliti hasil-hasil experimen dari lapisan batas yang berbeda-beda dan
menemukan bahwa ketergantungan l dan H terhadap λ juga terjadi pada kasus lapisan
batas lainnya. Lebih spesifiknya ia menemukan bahwa untuk setiap lapisan batas yang
ia teliti,
2 ( l − (2 + H )λ ) ≈ 0.45 − 6λ .
d ⎛ θ *2 ⎞
U in ⎜ ⎟ ≈ 0.45 − 6λ
dx1 ⎝ ν ⎠
Lapisan Batas 170
d ⎛ θ *2 U in6 ⎞
⎟ = 0.45U in
5
⎜ (Thwaits)
dx1 ⎝ ν ⎠
θ *2 dU in
λ≡
ν dx1
Kemudian harga λ ini digunakan untuk mendapatkan l dan H (ingat kedua variabel ini
adalah fungsi λ) dari grafik atau rumus-rumus dibawah ini:
d ⎛ θ *2 ⎞
U∞ ⎜ ⎟ = 0.45
dx1 ⎝ ν ⎠
0.45 ν x1
2
x1 x1
θ∗ = 0.45 ν = = 0.67
U∞ U ∞ x1 Re x
Karena Uin = konstan, λ = 0, l = 0.22, dan H = 2.61. Dari hasil-hasil ini maka,
1.75 x1 τ wall 0.657
δ∗ = , Cf = =
Re x 1
2 ρ U in 2
Re x
Lapisan Batas 171
Hasil-hasil ini sangat dekat dengan hasil-hasil yang kita dapatkan dengan solusi
numerik ( lihat : flat plate Lapisan batas (incompressible)).
x1
x2
Untuk kasus ini kecepatan aliran inviscid disekitar titik stagnasi didapatkan dengan
melakukan ekspansi Taylor disekitar titik x1 = 0.
dU in
U in ( x1 ) x1 + .... ≡ U in' x1
dx1 x1 = 0
d ⎛ θ *2 U in' x16 ⎞
6
'5 5
⎜⎜ ⎟⎟ = 0.45U in x1 .
dx1 ⎝ ν ⎠
6
θ *2 U in' x16 5
= 0.075U in' x16 + kons tan
ν
Untuk menapatkan harga konstanta dan ketebalan lapisan batas di titik stagnasi (θ0), kita
evaluasi persamaan diatas di x1 = 0 dimana θ* = θ0 sehingga didapatkan,
0.075ν
Konstan = 0 dan θ0 =
U in'
Lapisan Batas 172
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk aliran Re tinggi di sekitar benda, aliran di
luar lapisan batas dapat diasumsikan sebagai aliran potensial. Namun dalam praktek
sehari-hari, kita ketahui bahwa di bagian belakang dari benda selalu terdapat daerah di
mana ω ≠ 0 .
Kita telah lihat di bagian sebelumnya bahwa di dalam lapisan batas, u2 << u1. Apabila
kondisi ini terpenuhi sepanjang permukaan benda maka fluida di dalam lapisan batas
akan selalu berada di dekat permukaan benda (lapisan batas) dan separasi tidak akan
terjadi. Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat untuk terjadinya separasi adalah
u2 (setidaknya) ~ u1
Secara matematis, syarat ini berarti bahwa titik di mana separasi terjadi adalah titik
“singularity” dari persamaan (BL). (Titik singular dari sebuah persamaan adalah titik di
mana persamaan tersebut tidak lagi memberikan solusi yang mempunyai arti fisik yang
berarti. Persamaan (BL) mempunyai solusi yang berarti di daerah di mana u2 << u1
Lapisan Batas 173
karena persamaan tersebut didapatkan dengan menggunakan asumsi u2 << u1). Karena
di dalam lapisan batas
u2 1
~
u1 Re
maka untuk “keluar” dari permukaan maka u2 harus naik sebesar kurang lebih Re .
Untuk kasus Re tinggi ini berarti u2 harus naik menjadi infinite.
Sekarang kita akan gunakan kenyataan bahwa titik separasi adalah titik di mana
persamaan (BL) menjadi singular untuk mempelajari fenomena separasi. Pertama-tama
kita definisikan titik di mana separasi terjadi adalah titik (xs , 0). Jadi daerah x1 < xs
adalah daerah di depan titik separasi. Kondisi yang harus dipenuhi u2 di xs adalah
u 2 ( xs , x2 ) = ∞ (FS.1)
karena (FS.1) maka
⎛ ∂u2 ⎞
⎜ ⎟ = ∞
⎝ ∂x2 ⎠ x1 = xs
∂u1 ∂u 2
Dari persamaan kontinuitas + =0 ,
∂x1 ∂x 2
⎛ ∂u1 ⎞ ⎛ ∂x ⎞
⎜⎜ ⎟⎟ = ∞ atau ⎜⎜ 1 ⎟⎟ =0 (FS.2)
⎝ ∂x1 ⎠ x1 = xs ⎝ ∂u1 ⎠ x1 = xs
Sekarang kita definisikan :
us (x2) ≡ u1 (xs,x2).
Didaerah yang sangat dekat dengan xs, kita dapat gunakan expansi Taylor untuk
mendapatkan,
⎛ ∂x ⎞ 1 ⎛ ∂2 x ⎞
( us − u1 ) + ⎜ 21 ⎟ ( us − u1 ) + ...
2
xs − x1 = ⎜ 1 ⎟
⎝ ∂u1 ⎠ x1 = xs 2 ⎝ ∂u1 ⎠ x = x
1 s
xs − x1 = f ( x1 )( u1 − us )
2
atau
u1 = u s ( x 2 ) + α ( x 2 ) ( x s − x1 ) (FS.3)
di mana
1
α (x2 ) ≡
f (x 2 )
Lapisan Batas 174
∂u 2 ∂u α (x2 )
=− 1 =
∂x 2 ∂x1 2 (x s − x1 )
sehingga,
β (x 2 )
u2 = (FS.4)
(x s − x1 )
di mana
d β ( x2 ) α ( x2 )
≡ (FS.5)
dx2 2
Sekarang akan kita gunakan persamaan momentum untuk lapisan batas inkompresible,
∂u1 ∂u ∂ 2 u1 1 dp
u1 + u2 1 = ν −
∂x1 ∂x 2 ∂x 22 ρ dx1
Dari persamaan (FS.3) dapat dilihat bahwa di x1 = xs ,
⎛ ∂ 2u1 ⎞ ∂ 2us ∂ 2α
⎜ 2 ⎟ = ⊕ xs − x1 = berhingga
∂ x
⎝ 2 ⎠ x1 = xs ∂ x2
2
∂x2
1 dp ∂u ∂u
Selain itu, juga berhingga. Tetapi u1 1 dan u 2 1 adalah tak berhingga
ρ dx1 ∂x1 ∂x 2
∂ ⎛ u2 ⎞
Karena u1 ≠ 0 maka , ⎜⎜ ⎟⎟ = 0 atau
∂x 2 ⎝ u1 ⎠
u2
≠ fungsi ( x 2 ) (FS.6)
u1
Lapisan Batas 175
(suku yang terdapat α mempunyai koefisien xs-x1 yang jauh lebih kecil dari
u2
( xs − x1 ) sehingga diabaikan). Karena (FS.6) menyatakan ≠ fungsi (x2) ,maka :
u1
β (x 2 ) 1 1
= konstan ≡ A ⇒ β = Au s
u s (x2 ) 2 2
Jadi,
Au s ( x 2 )
u2 = (FS.7)
2 (x s − x1 )
du s
Dari (FS.5), α = A , sehingga :
dx 2
du s ( x 2 )
u1 = u s ( x 2 ) + A (x s − x1 ) (FS.8)
dx 2
Persamaan (FS.7) dan (FS.8) memberikan u1 & u2 sebagai fungsi x1 di dekat titik
separasi (x1). Dari kedua persamaan tersebut dapat dilihat bahwa solusi persamaan (BL)
(persamaan Prandt’l) tidak memiliki arti fisik di daerah x1 >xs karena x s − x1 menjadi
imajiner. Artinya: solusi dari persamaan Prandt’l hanya berlaku hingga x1 = xs.
Dari kondisi batas kita ketahui bahwa :
u1(x1,0) = 0 & u2(x1,0) = 0
maka dari persamaan (FS.7) dan (FS.8),
⎛ du ⎞
us ( 0 ) = 0, ⎜ s ⎟ =0 (FS)
dx
⎝ 2 ⎠ x2 =0
Kedua kondisi ini harus dipenuhi di titik separasi!!!
Dari diskusi di bagian tentang lapisan batas inkompresible telah disimpulkan bahwa
solusi dari persamaan (BL) adalah “serupa”/ ”similar” untuk seluruh Re selama aliran
dalam lapisan batas adalah aliran laminar. Jadi, posisi xs adalah sama untuk seluruh Re
Lapisan Batas 176
karena solusi dari persamaan (BL) tidak mengalami perubahan variabel x1 untuk setiap
perubahan Re. Karena kondisi batas menyatakan u(x1,0) = 0, di permukaan benda,
persamaan momentum (x1) untuk lapisan batas menjadi,
⎛ ∂ 2u1 ⎞ 1 ⎛ dp ⎞
ν ⎜⎜ 2 ⎟⎟ = ⎜⎜ ⎟⎟
∂ x
⎝ 2 ⎠ 2 =0 ρ dx
⎝ 1 ⎠ x2 = 0
⎛ dp ⎞ ⎛ ∂ 2 u1 ⎞
Oleh karena itu “sign” dari ⎜⎜ ⎟⎟ sama dengan “sign” ⎜⎜ 2 ⎟⎟ .
⎝ dx1 ⎠ x2 =0 ⎝ ∂x 2 ⎠ x2
dp
Karena persamaan x2 momentum untuk lapisan batas adalah = 0 maka dapat
dx 2
disimpulkan bahwa separasi aliran (separation flow) akan terjadi apabila:
dp dU in
> 0 atau <0
dx1 dx1
1 dp dU in
(di luar lapisan batas = −U in )
ρ dx1 dx
Di daerah di luar lapisan batas di mana alirannya adalah aliran potensial. Karena solusi
untuk aliran potensial di sekitar benda selalu terdapat 2 titik stagnasi, di depan dan
belakang, maka dapat disimpulkan bahwa separasi aliran akan terjadi di setiap kasus
aliran di sekitar benda yang memiliki Re tinggi (pada titik stagnasi, u = 0. Apabila
dU
terdapat 2 titik stagnasi, maka harus ada daerah di mana < 0 , yaitu di daerah
dx
bagian belakang benda). Karena aliran di dalam lapisan batas lebih lambat dari di luar
maka ada daerah di dekat permukaan benda di mana u1 = 0 dan titik ini terdapat
Lapisan Batas 177
∂u1
sebelum titik di mana U =0. Secara matematis ini berarti = 0 di titik tersebut
∂x 2
sehingga terjadi separasi aliran di sebuah titik x1 = xs < x1 dimana Uin = 0.
Kita telah lihat bahwa di titik (kasus 2-D) atau di garis (kasus 3-D) di permukaan di
du1 ( xS , 0)
mana separasi aliran terjadi u1 ( xS , 0) = 0 dan = 0 . Karena “no-slip condition”
dx2
di permukaan benda maka kondisi pertama selalu terpenuhi di mana pun di permukaan
benda. Namun, kondisi kedua hanya terpenuhi di titik–titik di permukaan di mana
terjadi flow separation. Jadi secara prinsip, prosedur untuk menentukan posisi dan titik
separasi adalah sbb. Dari persamaan (BL) atau (BLI), kita dapatkan solusi u1 ( x1 , x2 )
∂u
dan u2 ( x1 , x2 ) . Dari solusi ini kita dapat hitung 1 = f ( x ). Kemudian apabila
∂x 1
2 x =0
2
kita nyatakan f ( x1 ) = 0 maka solusi dari persamaan ini memberikan kita titik–titik
du1 ( x1 , 0)
separasi ( x1 , xS ). Perlu juga diingat bahwa τ wall = µ . Dengan demikian maka
dx2
Prosedur yang dijelaskan di atas dapat dilakukan secara prinsip. Namun, dalam praktik
sangat sulit untuk dilakukan karena, seperti telah kita lihat, solusi dari persamaan (BL)
atau (BLI) tidak dapat dicari secara analitik. Oleh karena itu informasi tentang titik
separasi dan separasi aliran biasanya didapat dengan melakukan “surface flow
visualisation”, baik secara numerik maupun secara eksperimental. Oleh karena itu kita
perlu mempelajari aspek kualitatif dari separasi aliran karena dari aspek kualitatif inilah
kita dapatkan informasi tentang separasi aliran. Lebih spesifiknya kita perlu pelajari
“motif–motif” streamline di permukaan atau “wall-streamline pattern”, karena
informasi inilah yang kita dapatkan dari eksperimen.
Lapisan Batas 178
Di dalam subbagian ini kita akan gunakan koordinat axis seperti digambarkan di atas di
man x1 & x2 sejajar dengan permukaan sedangkan x3 adalah tegak lurus dengan
permukaan. Dalam koordinat sistem seperti ini separasi aliran terjadi di titik di mana
∂u ∂u
= 0 atau τ wall = µ =0
∂x3 ∂x3
lim ⎛ u ⎞
menyatakan, ⎜ ⎟ = τ wall = konstan ( = 0 di x1 = xs ) di mana dalam hubungan di
x3 → 0 ⎝ x3 ⎠
atas telah digunakan “L’Hospital rule” karena u ( x3 =0) = 0 dan x3 = 0 . Oleh karena
u
hubungan di atas, maka kita dapat tuliskan secara lokal sebagai ekspansi Taylor di x
x3
koordinat atau,
u
= C • x + ...
x3
⎧ u1 ⎫
⎪ x3 ⎪
⎪⎪ ⎪ ⎡ a1 b1 c1 ⎤ ⎧ x1 ⎫ (WSL. 1)
u2 ⎪ = ⎢ ⎪ ⎪
⎨ x ⎬ ⎢ a2 b2 c2 ⎥⎥ ⎨ x2 ⎬ + ...
⎪ 3
⎪ ⎢a b3 c3 ⎥⎦ ⎩⎪ x3 ⎭⎪
⎪u3 ⎪ ⎣ 3
⎪⎩ x3 ⎪⎭
Ini dapat dilakukan apabila solusi dari persamaan Navier-Stokes di permukaan adalah
“regular” (tidak singular) dan ini adalah asumsi yang kita gunakan di sini. Koefisien –
koefisien a1 s/d c3 dapat kita tuliskan dengan menggunakan variabel aliran apabila
di mana P ≡ p
ρ.
lim ⎛ u ⎞
“Wall-streamline” adalah garis–garis yang paralel terhadap vektor ⎜ ⎟ Dengan
x3 → 0 ⎝ x3 ⎠
Dari hubungan di atas, terlihat bahwa streamline mempunyai arah yang “well-defined”
apabila N dan D tidak sama dengan nol. Di titik–titik di mana N = 0 = D disebut
u2 u
“critical points” (pada titik–titik ini = 0 = 1 ). Pada titik-titik tersebut arah
x3 x3
streamline menjadi tak menentu atau “indeterminate”. Dari definisi “critical points”
maka jelaslah bahwa titik–titik separasi dan stagnasi adalah “critical points” (di titik
lim u
separasi, = τ wall = 0 ). Sekarang kita akan lihat kemungkinan–kemungkinan
x3 → 0 x3
pola garis aliran atau “streamline pattern” di permukaan di sekitar “critical points”. Di
permukaan benda ( x1 − x2 plane ) ,
⎧ u1 ⎫
⎪ x ⎪ ⎡a b1 ⎤ ⎧ x1 ⎫ ⎛ x1 ⎞
⎪ 3⎪ 1
⎨ ⎬=⎢ ⎥ ⎨ ⎬ ≡ A⋅⎜ ⎟
⎪ u2 ⎪ ⎣ a2 b2 ⎦ ⎩ x2 ⎭ ⎝ x2 ⎠
⎪⎩ x3 ⎪⎭
⎧ x1 ⎫
⎪ x ⎪ ⎡a b1 ⎤ ⎧ x1 ⎫ ⎧ x1 ⎫
⎪ 3⎪ 1
⎨ ⎬=⎢ ⎥ ⎨ ⎬ = A⋅ ⎨ ⎬ (WSL.4)
⎪ x2 ⎪ ⎣ a2 b2 ⎦ ⎩ x2 ⎭ ⎩ x2 ⎭
⎪⎩ x3 ⎪⎭
Pola dari wall-streamline dapat kita temukan apabila kita dapat menemukan solusi dari
WSL.4).
Dari matematika kita ketahui bahwa apabila det ( A ) ≠ 0 maka eigenvalue dari A ( λ1 , λ2 )
tidak sama dengan nol dan matriks tersebut dapat ‘‘di diagonalkan’’. Dengan kata lain
terdapat matriks T sehingga,
J = T AT di mana J = ⎢λ 1
−1 ⎡ 0 ⎤ ⎡λ 1 1 ⎤
⎥ , atau J = ⎢ ⎥
0 λ 2⎦ 0 λ 1⎦
⎣
⎣
kasus A kasus B
⎧ x1 ⎫ ⎧ u1 ⎫
transformasikan sebagai berikut. Misalkan x = T ⋅ u di mana x ≡ ⎨ ⎬ dan u = ⎨ ⎬
⎩x2⎭ ⎩u 2 ⎭
maka ( WSL.4) menjadi :
1 1
x = A ⋅ x ⇒ T ⋅ u = A ⋅ (T ⋅ u ) atau,
x3 x3
1
u = T A ⋅ (T ⋅ u ) = T AT ⋅ u = J ⋅ u
−1 −1
x3
Dengan demikian maka persamaan yang harus diselesaikan menjadi lebih sederhana
yaitu,
u1 u2
= λ1u1 , = λ2u2 (Kasus A )
x3 x3
atau,
u1 u2
= λ1u1 + u2 , = λ1u2 (Kasus B ).
x3 x3
Dengan demikian maka pola dari wall-streamline di “bidang u1-u2” ditentukan oleh,
⎛ u2 ⎞
⎛ d u 2 ⎞ ⎜ x3 ⎟ λ2 u2
⎜ d ⎟ = ⎜ u ⎟= ( Kasus A )
⎝ u1 ⎠ ⎜ 1 ⎟ λ1 u1
⎝ x3 ⎠
⎛ u2 ⎞
⎛ d u 2 ⎞ ⎜ x3 ⎟ λ1u2 1
⎜ d ⎟ = ⎜ u ⎟ = λu +u = u ( Kasus B )
⎝ u1 ⎠ ⎜ 1 ⎟ 1 1 2 1 + 1
⎝ x3 ⎠ u2 λ1
Kasus A :
⎛ du ⎞ u
Solusi dari ⎜ 2 ⎟ = κ 2 adalah
⎝ d u1 ⎠ u1
κ
u2 = c u1 *
κ>1:
κ =1:
1 1 1
0<κ<1: u1 = u2 κ
di mana > 0 . Jadi streamline untuk kasus ini sama dengan
c κ
kasus κ>1 dengan axis yang dibalik .
c
κ < 0: u1 = κ
u1
v ≡ (1 + i ) u + (1 − i ) u
1 1 2
v ≡ (1 − i ) u + (1 + i ) u
2 1 2
Lapisan Batas 183
Kasus B
Untuk kasus ini λ ∈ R . Solusi dari persamaan,
1
⎛ du ⎞ 1 u 1
⎜ 1 ⎟ = + 1 adalah u = cu + u ln c * u . Apabila kita gambarkan streamline
⎜ d u ⎟ λ1 u2 1 2
λ1 2 2
⎝ 2⎠
di u1-u2 plane maka bentuknya seperti,
Apabila pola-pola dibidang u1-u2 atau bidang v1-v2 ini kita transformasikan lagi ke
bidang x1-x2 lagi maka pola dibidang x1-x2 akan serupa dengan pola di bidang u1-u2.
Satu-satunya perbedaan adalah untuk “saddle point” misalnya, perbedaan di kedua
bidang tersebut adalah seperti di sketsa di bawah ini.
Lapisan Batas 185
Jadi dapat disimpulkan bahwa solusi dari (WSL.4) di sekitar “critical point”, yang
memberikan kita “wall-streamline pattern” di sekitar critical point ini, dapat berbentuk
node, focus, sadlle point, centre. Bentuk-bentuk yang didapatkan tergantung dari harga
λ1- λ2. Dari matematika harga λ1- λ2 dapat dihubungkan dengan matriks A karena,
1 ⎧⎪
( )
1
⎫⎪
λ1,2 = − ⎨tr ( A ) ± ⎡⎣tr ( A ) ⎤⎦ − 4 det ( A )
2 2
⎬ (WSL)
2⎪ ⎪⎭
⎩
di mana tr adalah “trace” dari A ”.
Sekarang hasil-hasil yang kita dapatkan dari matematika tadi dapat kita simpulkan di
dalam diagram di bawah ini,
sebuah “critical point” maka pola dari wall-streamline di sekitar titik tersebut dapat kita
ketahui dari diagram di atas.
Dalam menginterprestasikan hasil dari “surface flow visualization”, apabila kita melihat
pola-pola seperti dalam diagram di atas maka kita dapat simpulkan bahwa titik di sekitar
pola tersebut adalah “critical point”. Kita tinggal tentukan apakah “critical point”
tersebut adalah titik stagnasi atau separasi.
Lapisan Batas 186
Di subbagian ini, kita akan lihat beberapa contoh dari penggunaan apa yang kita pelajari
di subbagian sebelah. Khususnya kita akan pelajari struktur-struktur di sekitar titik
separasi.
Separasi 2-D
Sebagai contoh pertama, kita akan melihat
separasi yang terjadi di aliran 2-D (“plane
flow”). Di sebelah, telah digambarkan apa
yang terjadi di sekitar titik separasi
menurut “teori lapisan batas” (gambar B)
dan “Navier Stokes” (gambar A). Menurut
teori lapisan batas, aliran di dekat permukaan secara tiba-tiba dibelokkan ke arah x3.
Namun, perlu diingatkan di sini bahwa teori lapisan batas adalah aproksimasi dari
persamaan Navier-Stokes. Jadi kejadian yang sebenarnya tentunya dijelaskan oleh
solusi dari persamaan Navier-Stokes”. Di subbagian sebelah kita telah dapatkan “solusi
local” persamaan Navier-Stokes di sekitar “critical point” (WSL.1). Sekarang kita akan
gunakan solusi tersebut untuk menentukan sudut θ dalam gambar A.
Slope dari “separation streamline” (s) atau θ dapat kita dapatkan dengan mengambil,
⎛ u3 ⎞ ⎛ ξ2 ⎞ ⎛ ξ 2 ⎞ x3
⎜ x ⎟ ⎜ ⎟ x3 ⎜ ⎟
⎛ dx3 ⎞ ⎛u ⎞ ⎝ 2⎠ ⎝ 2 ⎠ x2
⎜⎜ ⎟⎟ = ⎜⎜ 3 ⎟⎟ =⎜ 3
⎟ = =
⎝ dx 2 ⎠ SL ⎝ u 2 ⎠ x1 =0 ⎜⎜ u 2 ⎟⎟ P2
x3 − ξ 2 x 2
P2 x3
− ξ2
⎝ x 3 ⎠ x1 = 0 2ν 2ν x 2
Lapisan Batas 187
⎛ dx ⎞ x
karena di x1 = 0 , ⎜⎜ 3 ⎟⎟ ≈ 3 = tan θ maka persamaan di atas menjadi,
⎝ dx2 ⎠ SL x2
⎛ ξ2 ⎞
⎜ ⎟
⎝2⎠ 3νξ 2
tan θ = atau tan θ =
P2 ξ P2
− 2
2ν tan θ
Dengan demikian apabila kita mempunya solusi dari lapisan batas maka ξ2 & P2 dapat
ditentukan sehingga kita dapat tentukan θ. Informasi tentang θ adalah sangat penting
karena θ adalah slope dari “separation streamline”. “Separation streamline” adalah
streamline yang memisahkan antara aliran rotasional (di antara streamline tersebut
dengan permukaaan) dengan aliran irrotasional (di atas streamline tersebut). τ wall
sendiri sama dengan nol hanya di “titik separasi” (x1 = xs) dan dari titik inilah
“separation streamline” keluar meninggalkan permukaan membawa fluid element
dengan ω ≠ 0 keluar lapisan batas.
Separasi 3-D
Separasi yang terjadi di permukaan benda umumnya bukan separasi 2-D, seperti yang
dibahas di sebelah, namun separasi 3-D. Untuk mengerti perbedaan antara kedua jenis
separasi ini kita lihat contoh-contoh yang disketsakan di bawah ini :
Dalam kasus di mana terdapat “separation bubble” ini, terdapat dua titik “critical
points”, yaitu titik separasi xS dan titik “attachment” xA. Dalam gambar C, 2 wall-
streamline bertemu di xS untuk membentuk “separation streamline” (s). Streamline s
ini kemudian kembali lagi ke permukaan (di titik xA) kemudian terpecah menjadi dua
Lapisan Batas 188
wall-streamline yang meninggalkan titik xA. Hal yang berbeda terjadi di gambar D.
Dalam gambar ini, streamline yang meninggalkan xS (streamline s1) berbeda dengan
streamline yang menuju xA (streamline s2).
Kasus separasi dan attachment yang disketsakan dalam gambar C adalah kasus separasi
2-D. Gambar D tidak mungkin menggambarkan separasi 2-D karena fluida diantara s1
dan s2 akan terus menerus masuk ke dalam “bubble”. Dalam aliran 2-D ini tidak
mungkin terjadi karena ini akan melanggar kontinuitas. Agar tidak melanggar prinsip
kontinuitas maka, untuk aliran steady, fluida tersebut harus keluar kearah x1. Oleh
karena itu kasus ini adalah kasus 3-D.
Dalam kasus separasi 2-D terdapat sebuah streamline yaitu “separation streamline”
yang memisahkan antara daerah aliran rotational dengan aliran irrotattional. Dalam
kasus separasi 3-D, kita butuhkan sebuah permukaan untuk memisahkan kedua daerah
ini. Permukaan ini disebut “separation streamsurface”. Apabila dalam kasus separasi
2-D terdapat titik separasi (separation point) maka untuk separasi 3-D terdapat garis
separasi atau “separation line”.
Sekarang kita akan lihat “wall-streamline pattern” yang terdapat di dekat “critical
points” untuk kasus separasi dan attachment seperti dalam contoh diatas. Gambar E
adalah pola disekitar critical point xS. Dari gambar ini terlihat bahwa terdapat “saddle
point” di dekat xS untuk kasus ini.
Lapisan Batas 189
Terlihat pula bahwa, hanya terdapat dua streamline yang mencapai titik xS yaitu s1 dan
s2. Kedua streamline inilah yang kemudian bergabung di xS untuk membentuk
streamline yang meninggalkan permukaan. Wall-Streamline lainnya (selain s1 & s2),
hanya menuju”separation line”. Dari contoh ini maka jelaslah bahwa kita dapat
identifikasikan “separation line” sebagai kurva yang dituju oleh wall-streamline.
Sepanjang “separation line” (kecuali di xS), τwall ≠ 0. Gambar F menunjukkan pola
“wall-streamline” di sekitar critical point xA. Penjelasan untuk gambar ini serupa
dengan penjelasan untuk gambar E namun arah dari tanda panah perlu diubah. Jadi
dalam gambar ini kita dapat identifikasikan “attachment line” sebagai kurva yang
ditinggalkan oleh wall-streamline.
Selain “saddle point”, dapat pula terlihat “focus” di sekitar critical point. “Focus” di
permukaan benda menunjukkan bahwa terdapat sebuah vortex yang berawal di
permukaan benda tersebut.
Gambar H adalah contoh di mana terdapat dua critical point di permukaan yaitu xS1
(saddle point) dan xS3 (focus). Bentuk dari streamline-streamline di separation
streamsurface juga digambarkan di sebelah kanan. Selain separation streamsurface,
juga terdapat apa yang disebut “open reattachment” (S2). Di permukaan benda, pola
wall-streamline untuk reattachment s2 tidak terdapat critical point yang jelas.
Reattachment atau separation yang seperti inilah yang disebut “open reattachment atau
separation.