Anda di halaman 1dari 32

1

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM BANDA ACEH

BAHAN SEMINAR HASIL

Judul : Induksi Kalus Eksplan Daun Anggrek Dendrobium pada Berbagai Umur dengan
Penambahan Beberapa Konsentrasi 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid secara In
Vitro
Pemrasaran : Indah Anggraini/1605101050010
Pembimbing : 1. Dr. Ir. Elly Kesumawati, M.Agric.Sc.
2. Marai Rahmawati, S.P., M.Sc.
Penguji : 1. Dr. Ir. Ashabul Anhar, M.Sc.
2. Dr. Ir. Mardhiah Hayati, M. S.
3. Dr. Rita Hayati, S.P., M.Si.
Pembahas : 1. Sophia/1605101050046
: 2. Nailatul Muna/1605101050058
Hari/Tgl/Pukul : 18 Januari 2021/ 08.30 WIB
Tempat : Ruang Seminar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala

Induksi Kalus Eksplan Daun Anggrek Dendrobium pada Berbagai Umur dengan
Penambahan Beberapa Konsentrasi 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid secara In Vitro

Callus Induction of Dendrobium Leaf Explants at Various Ages with the Addition of Several
Concentrations of 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid through In Vitro Culture

Indah Anggraini1, Elly Kesumawati2, Marai Rahmawati2


1
Mahasiswa Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala
2
Staf Dosen Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur eksplan daun, konsentrasi 2,4-D
serta interaksi diantara kedua faktor tersebut terhadap pertumbuhan kalus anggrek Dendrobium secara in
vitro. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Jurusan Agroteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh. Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni
sampai Desember 2020. Penelitian ini menggunakan 2 faktor perlakuan dengan masing-masing perlakuan
terdiri dari 4 taraf. Faktor perlakuan pertama yaitu umur eksplan daun, dengan taraf yang terdiri dari daun
berumur 5 bulan, daun berumur 6 bulan, daun berumur 7 bulan, dan daun berumur 8 bulan. Faktor kedua
yaitu konsentrasi 2,4-D, dengan taraf yang terdiri dari kontrol (tanpa 2,4-D), 0,50 ml L-1 2,4-D, 0,75 ml L-1
2,4-D, dan 1 ml L-1 2,4-D. Semua perlakuan menggunakan ZPT BAP dalam konsentrasi yang sama yaitu 1
ml L-1. Dengan demikian terdapat 16 kombinasi perlakuan dengan 5 kali ulangan, sehingga diperoleh 80
satuan percobaan. Adapun parameter yang diamati adalah persentase kontaminasi dan persentase warna
eksplan. Penelitian dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil penelitian pada semua percobaan menunjukkan bahwa
tidak ada eksplan yang berhasil membentuk kalus setelah 12 MSI. Penelitian ini hanya mengamati persentase
kontaminasi dan persentase warna eksplan. Hasil penelitian terhadap parameter persentase kontaminasi
menunjukkan bahwa pada sterilisasi cara I hampir semua eksplan terkontaminasi oleh jamur dengan
persentase kontaminasi sebesar 98,75%, sedangkan pada sterilisasi cara II yang ke-1 tidak ada eksplan yang
terkontaminasi, dan pada sterilisasi cara II yang ke-2 sebanyak 36 unit eksplan terkontaminasi dengan
persentase kontaminasi sebesar 15%. Hasil penelitian terhadap parameter persentase warna eksplan
menunjukkan bahwa eksplan yang mampu tetap hijau sampai 8 MSI pada sterilisasi cara II yang ke-1 dan
sterilisasi cara II yang ke-2 adalah eksplan daun berumur 8 bulan, sedangkan eksplan yang paling cepat
mengalami browning adalah eksplan daun berumur 6 bulan dan 7 bulan. Konsentrasi ZPT terbaik yang dapat
2

memperlambat proses terjadinya browning terdapat pada media MS tanpa penambahan 2,4-D. Penambahan
konsentrasi 2,4-D pada media tanam diduga mempercepat terjadinya browning.
Kata kunci : anggrek, eksplan, kalus, 2,4-D, BAP

Abstract. This research aims to determine the effect of leaf explant age, 2,4-D concentration and the
interaction between both factors on Dendrobium callus growth through in vitro culture. The research was
conducted at the Plant Tissue Culture Laboratory, Department of Agrotechnology, Faculty of Agriculture,
Syiah Kuala University, Darussalam Banda Aceh. This research start from June to December 2020. This
research used 2 treatment, each treatment consisting of 4 levels. The first treatment factor was leaf explant
age, with levels of leaf explant age consisting 5 months, 6 months, 7 months, and 8 months. The second
factor was the concentration of 2,4-D, with levels consisting of control (without 2,4-D), 0,50 ml L-1 2,4-D,
0,75 ml L-1 2,4-D, and 1 ml L-1 2,4-D. All treatments used the same concentration of BAP (1 ml L-1). So,
there were 16 treatment combinations with 5 replications, 80 experimental units were obtained. The observed
parameters were contamination percentage and explant color percentage of. The results showed that no
explants succeeded in forming callus after 12 MSI. So in this research only the percentage of contamination
and the percentage of explant color could be observed. The explant response during induction was only a
change in color which turned brown due to an injury. The results on the percentage of contamination
parameters showed that in first experiment almost all explants were contaminated by fungi with a
contamination percentage of 98.75%, in second experiment there were no contaminated explants, and in third
experiment 36 explants were contaminated with a contamination percentage of 15%. The results of the
research on the percentage of explant color parameters showed that the explants in second experiment and
third experiment that were able to stay green up to 8 MSI were 8 months old leaf explants, the fastest
browning explants were 6 months and 7 months old leaf explants. The best growth regulator concentration
that could slow down the browning process was found in MS media without containing 2,4-D. The addition
of 2,4-D concentration in the medium might be able to accelerate the occurrence of browning.
Keywords: orchid, explant, callus, 2,4-D, BAP

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anggrek adalah tanaman hias famili Orchidaceae yang terdiri atas 800 genus dan
memiliki 25.000 spesies, dimana terdapat 5.000 spesies yang berasal dari Indonesia (Adi et
al., 2014). Anggrek bernilai ekonomi tinggi karena memiliki daya tahan yang relatif lama,
mempunyai beragam bentuk yang unik dan warna yang indah, sehingga menguntungkan
dalam agribisnis dan menjadi pemicu bagi pemulia tanaman untuk menghasilkan anggrek
hibrida (Yasmin et al., 2018 dan Putri, 2015).
Produksi tanaman anggrek di Indonesia cenderung meningkat, pada tahun 2016
berjumlah 19.978.078 tanaman, pada tahun 2017 berjumlah 20.045.577 tanaman, dan pada
tahun 2018 semakin meningkat jumlahnya mencapai 24.717.840 tanaman (Badan Pusat
Statistik, 2018). Walaupun produksinya meningkat, anggrek belum memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Kendala yang dihadapi adalah produksi bibit yang belum mampu
menyediakan tanaman anggrek secara massal dan cepat, sehingga diperlukan metode yang
tepat untuk mengatasi hal tersebut.
3

Salah satu spesies anggrek yang sangat digemari adalah Dendrobium. Dendrobium
memiliki produktivitas tinggi dibandingkan dengan jenis anggrek lainnya, dan sering
digunakan sebagai rangkaian bunga. Anggrek ini dipilih karena kesegarannya lebih tahan
lama, memiliki ukuran, bentuk, dan warna yang beragam, serta memiliki tangkai bunga
yang mudah dirangkai (Mahadi, 2016). Dendrobium tumbuh menyebar mulai dari Asia
Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Anggrek menjadi tanaman hias unggulan di
Indonesia, Filipina, dan Thailand. Dendrobium dapat tumbuh di dataran rendah seperti
daerah Kalimantan, hingga dataran tinggi seperti pegunungan Himalaya yang memiliki
ketinggian hingga 3800 mdpl. Spesies Dendrobium yang penyebarannya sangat luas,
diantaranya D. erosum, D. anosmum, D. crumenatum, D. macrophyllu, D. stuartii, dan D.
secundum (Susanto, 2018).
Upaya pemenuhan permintaan pasar akan anggrek Dendrobium selama ini
menggunakan teknik konvensional dan teknik kultur in vitro. Kelemahan menggunakan
teknik konvensional adalah memerlukan waktu yang cukup lama, tidak praktis, dan tidak
menguntungkan secara komersial disebabkan jumlah anakan yang diperoleh sangat
terbatas sedangkan teknik kultur in vitro lebih menguntungkan karena dapat menghasilkan
tanaman baru dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat (Meilani et al.,
2017). Hasil penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (2013), menunjukkan bahwa teknik in vitro hanya membutuhkan sebagian kecil
dari tanaman yang digunakan untuk memperoleh bibit yang banyak, homogen serta
memiliki sifat yang sama dengan induknya. Teknik kultur kultur jaringan untuk regenerasi
planlet anggrek telah banyak dilakukan untuk perdagangan utama beberapa tahun terakhir
di negara maju. Perbanyakan anggrek dapat dilakukan dengan cepat secara teknik kultur in
vitro (Riva et al., 2016).
Sumber eksplan memegang peranan penting untuk menghasilkan kalus dalam
kultur in vitro. Eksplan merupakan suatu jaringan hidup tanaman yang dikultur dalam
suatu medium untuk membiakkan sel menjadi tanaman utuh. Eksplan anggrek dapat
diperoleh dari bagian tubuhnya seperti biji, ujung pucuk (meristem dengan beberapa
primordial daun), batang dan daun. Tetapi, ketersediaan tanaman induk sebagai sumber
eksplan menjadi kendala tersendiri dalam kultur in vitro. Viabilitas benih anggrek sangat
rendah sehingga kurang efektif untuk kultur in vitro, dan perbanyakan dengan pemotongan
batang juga tidak ekonomis karena kekurangan bahan tanam (Riva et al., 2016). Sehingga,
4

daun yang diambil dari planlet merupakan sumber eksplan yang dapat dijadikan sebagai
alternatif.
Eksplan daun anggrek lebih menguntungkan daripada bagian eksplan yang lain
karena mudah didapatkan tanpa harus mengorbankan tanaman induk dan tersedia
sepanjang tahun (Sarmah et al., 2017). Eksplan daun lebih mudah diisolasi dari tanaman
induk, tidak seperti eksplan bagian bunga (Chugh et al., 2002; De dan Sil, 2015). Salah
satu faktor penentu keberhasilan kultur daun anggrek adalah umur eksplan. Sebagian besar
eksplan yang tumbuh pada fase awal (juvenil) lebih mudah membentuk jaringan sel baru
dibandingkan dengan eksplan yang sudah mengalami fase akhir. Pada anggrek Aerides
crispum, eksplan remaja seperti daun muda lebih efektif menginduksi Protocorm Like
Bodies (PLBs) (Sheelavanthmath et al., 2005) dan menunjukkan regenerasi yang lebih baik
dari seluruh bagian tanaman lain (De dan Sil, 2015). Respon diferensial dari eksplan daun
dewasa dan remaja di bawah kondisi nutrisi yang sama tampaknya menunjukkan
pentingnya sumber eksplan (Murthy dan Pyati, 2001). Eksplan daun muda dari Coelogyne
flaccida menunjukkan regenerasi yang lebih baik daripada eksplan daun yang lebih tua,
karena dinding selnya yang tidak kaku, serta mempertahankan kemampuannya untuk
regenerasi dan proliferasi (De dan Sil, 2015).
Faktor penentu keberhasilan lainnya yaitu jenis media tanam yang digunakan dalam
kultur jaringan. Selain media Vacin dan Went (VW), media Murashige dan Skoog (MS)
juga banyak dipakai dalam perbanyakan vegetatif beberapa anggrek simpodial seperti
Cattleya, Brassavola, Dendrobium, Miltonia, dan Brassia dan monopodial seperti
Phalaenopsis, Ascocentrum, Aerides, dan Neofinetia. Komposisi ini sering digunakan
sebagai media inisiasi, induksi kalus, proliferasi, subkultur dan perakaran (Rupawan et al.,
2014).
Zat pengatur tumbuh (ZPT) seperti auksin dan sitokinin juga dapat digunakan
untuk memacu pertumbuhan eksplan anggrek. Sitokinin (BAP) berfungsi untuk memacu
inisiasi tunas, sedangkan auksin (2,4-D) efektif untuk merangsang proliferasi sel, dan
mempertahankan pertumbuhan kalus (Budisantoso et al., 2017). 2,4-D sangat merangsang
pembelahan sel tetapi menghambat organogenesis. Tanpa adanya sitokinin menyebabkan
tidak tumbuhnya kalus embrionik dalam pembentukan kalus, sehingga dibutuhkan
kombinasi antara keduanya. Konsentrasi BAP yang ditambahkan dengan auksin eksogen
dalam konsentrasi yang tepat diduga memberikan perimbangan yang sesuai untuk memacu
pembelahan sel dalam pembentukan organ daun (Romeida et al., 2016).
5

Penambahan 0,5 - 2 mg L-1 BAP dapat meningkatkan jumlah PLBs yang terbentuk
pada kultur kalus P. gigantea (Latip et al., 2010). BAP juga telah terbukti secara efisien
menginduksi kalus dari eksplan daun (Sheelavanthmath et al., 2005) dan memainkan peran
penting dalam regenerasi tanaman dari eksplan daun dalam kultur jaringan spesies anggrek
lain (Deb dan Pongener, 2011). Penambahan 4 mg L-1 BAP dengan 0,5 mg L-1 2,4-D dalam
media memacu pembentukan kalus (Deb dan Pongener, 2011). Hasil penelitian Romeida
et al. (2016), menunjukkan bahwa 2,4-D mampu mengubah proliferasi kalus menjadi
Protocorm Like Bodies (PLBs). Pertumbuhan tertinggi (53%) terdapat pada kalus yang
ditanam dalam media MS dengan 0,5 mg L-1 2,4-D.
Berdasarkan penelitian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang kultur daun
anggrek Dendrobium dengan menggunakan konsentrasi ZPT 2,4-D, sehingga dapat
diketahui umur eksplan daun yang tepat dan konsentrasi ZPT yang optimum untuk
menumbuhkan kalus anggrek Dendrobium. Hasil penelitian ini sangat penting karena
informasi umur eksplan daun yang tepat untuk menginduksi kalus anggrek Dendrobium
masih terbatas di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah


1. Apakah umur eksplan daun berpengaruh terhadap induksi kalus anggrek
Dendrodium secara in vitro?
2. Apakah konsentrasi 2,4-D berpengaruh terhadap induksi kalus eksplan daun
anggrek Dendrobium secara in vitro?
3. Apakah terdapat interaksi antara umur eksplan daun dengan konsentrasi 2,4-D yang
digunakan untuk induksi kalus eksplan daun anggrek Dendrobium secara in vitro?

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur eksplan daun dan
konsentrasi 2,4-D serta interaksi diantara kedua faktor tersebut terhadap induksi kalus
eksplan daun anggrek Dendrobium secara in vitro.

1.4. Kegunaan Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah informasi ilmiah
mengenai umur eksplan daun dan konsentrasi 2,4-D yang tepat untuk induksi kalus eksplan
daun anggrek Dendrobium secara in vitro.
6

1.5. Hipotesis
Adapun hipotesis yang dapat diambil dari penelitian ini, adalah :
1. Umur eksplan daun berpengaruh terhadap induksi kalus anggrek Dendrobium
secara in vitro.
2. Konsentrasi 2,4-D berpengaruh terhadap induksi kalus eksplan daun anggrek
Dendrobium secara in vitro.
3. Terdapat interaksi antara umur eksplan daun dan konsentrasi 2,4-D terhadap
induksi kalus eksplan daun anggrek Dendrobium secara in vitro.

BAB II. METODE PENELITIAN

2.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Jurusan
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda
Aceh dari bulan Juni sampai dengan Desember 2020.

2.2. Alat dan Bahan


2.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, hot plate
(MSH-300 Biosan) dan magnetic stirrer, spatula, Laminar Air Flow Cabinet
(Jisiko), beaker glass (Pyrex) 300 ml, 500 ml 1000 ml, dan 2000 ml, pH meter
(Trans Instrument), cawan petri (Pyrex), timbangan analitik satuan gram
(Adventurer Ohaus), hand sprayer, bunsen, surgical blade nomor 24, gagang
scalpel, pinset, botol kultur, gelas ukur (Pyrex) 1000 ml, 100 ml, 50 ml, dan 25 ml,
Erlenmeyer (Pyrex) 500 ml dan 300 ml, ember, rak penyimpanan, lampu
flourescens, digital lux meter (LX-101A Lutron), digital thermometer-hygrometer
(HTC-2), alat tulis, dan timer.

2.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah planlet Anggrek
Dendrobium Sp. berumur 5, 6, 7 dan 8 bulan yang diperoleh dari Malang dalam
keadaan steril, media Murashige dan Skoog (MS), agar merk Swallow, gula pasir,
akuades steril, 2,4-D (Dichlorophenoxyacetic acid), BAP (Benzyl Amino Purine),
7

alkohol 70%, alkohol 96%, fungisida berbahan aktif mankozeb 80%, bakterisida
berbahan aktif streptomisin sulfat 20% tisu, masker, sarung tangan karet, spiritus,
korek api, KOH 0,1 N, KCl 0,1 N, plastik wrap, plastik transparan tahan panas,
karet gelang, dan stiker label.

2.3. Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan 2 (dua) faktor perlakuan, faktor pertama adalah
umur daun, terdiri atas 4 (empat) taraf yaitu A1 = daun berumur 5 bulan, A2 = daun
berumur 6 bulan, A3 = daun berumur 7 bulan, dan A4 = daun berumur 8 bulan.
Faktor kedua adalah konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D, terdiri atas 4 (empat)
taraf yaitu B0 = kontrol, B1 = 0,50 ml L-1, B2 = 0,75 ml L-1, dan B3 = 1 ml L-1.
Semua perlakuan menggunakan ZPT BAP dalam konsentrasi yang sama
yaitu 1 ml L-1. Dengan demikian terdapat 16 kombinasi perlakuan dengan 5 kali
ulangan, sehingga diperoleh 80 satuan percobaan.

2.4. Prosedur Penelitian


2.4.1. Pembuatan Larutan Stok
Komposisi larutan stok yang digunakan ditimbang sesuai kebutuhan
konsentrasi stok. Garam stok yang telah ditimbang, kemudian dicampurkan dengan
akuades, serta dicukupkan hingga 1000 mL, selanjutnya larutan stok dihomogenkan
dalam gelas ukur dengan menggunakan hot plate dan magnetic stirrer, kemudian
larutan stok yang telah homogen dimasukkan ke dalam botol kultur yang telah
disediakan dan diberi label pada botol tersebut.

2.4.2. Sterilisasi Alat


Sebelum digunakan alat terlebih dahulu disterilkan dengan menggunakan
autoklaf pada suhu 126○C tekanan 15 Psi selama 30 menit. Setelah alat steril dalam
autoklaf, kemudian keranjang yang berisi alat alat ditiriskan untuk mengurangi uap
panas dari autoklaf dan air. Semua alat yang telah steril dimasukkan ke dalam
ruang inkubasi.

2.4.3. Pembuatan Media


8

Media yang digunakan adalah media MS + BAP + 2,4-D. Untuk pembuatan 1 L


media, stok A, B, C, D, E, F, mio inositol dan vitamin diukur menggunakan gelas ukur
masing-masing sebanyak 10 mL, dituang kedalam gelas beaker yang berisi 500 mL
akuades lalu dihomogenkan, selanjutnya ditambahkan gula pasir ke dalam gelas beaker
sebanyak 30 g lalu dihomogenkan lagi. Setelah itu ditambahkan BAP + 2,4-D yang telah
diencerkan sesuai dengan perlakuan. Kemudian, larutan dicukupkan mencapai 1 L
menggunakan akuades.
pH larutan diukur menggunakan pH meter digital. pH larutan berkisar antara 5,7
-5,8. Setelah pH larutan sesuai, ditambahkan bubuk agar sebanyak 7 g kedalam gelas
beaker dan diaduk sampai homogen. Larutan dimasak dengan microwave selama ±4 menit,
lalu larutan dihomogenkan lagi di atas hot plate. Kemudian media dituangkan sebanyak
±20 mL ke dalam masing-masing botol kultur, lalu ditutup dengan aluminium foil dan
plastik transparan serta diikat karet. Kemudian media disterilkan menggunakan autoklaf
pada tekanan 15 Psi, suhu 121○C selama 15 menit. Media disimpan pada ruang inkubasi
selama 3 hari untuk melihat ada tidaknya kontaminasi.

2.4.4. Sterilisasi Ruang Tanam


Meja Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) disemprot dan dibersihkan dengan
alkohol 96% terlebih dahulu, kemudian dinyalakan sinar UV selama 1 jam. Setelah
1 jam sinar UV dimatikan dan blower dihidupkan, kemudian alat-alat yang akan
dimasukkan ke dalam LAFC disemprot alkohol 70% terlebih dahulu.

2.4.5. Sterilisasi Eksplan


2.4.5.1. Sterilisasi Cara I
Sterilisasi cara I dilakukan pada hari Rabu tanggal 29 Juli 2020. Teknik sterilisasi
ini dimulai dari memasukkan botol planlet yang diambil dari ruang inkubasi kedalam
Laminar Air Flow Cabinet. Sebelum dimasukkan botol planlet terlebih dahulu
disemprotkan dengan alkohol 70%. Planlet dikeluarkan dari botol menggunakan pinset
yang terlebih dahulu dipanaskan dengan menggunakan bunsen. Lalu, planlet dibilas
menggunakan akuades yang sudah disterilkan terlebih dahulu sambil digoyang-goyangkan
sebanyak 3 kali. Tujuan menggoyang-goyangkan planlet pada saat perendaman adalah agar
semua sisa media yang menempel pada planlet dapat terlepas sehingga lebih bersih dan
mengurangi tingkat kontaminasi.
9

Setelah itu, akar dan daun planlet yang sudah kuning/cokelat atau patah
dipotong yang tujuannya juga untuk mengurangi tingkat kontaminasi. Setelah
pemotongan tersebut, planlet kemudian direndam dengan fungisida berbahan aktif
mankozeb 80% selama 5 menit sambil digoyang-goyangkan, dan dibilas kembali
dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Kemudian planlet direndam lagi dengan
menggunakan bakterisida berbahan aktif streptomisin sulfat 20% selama 5 menit
sambil digoyang-goyangkan, dan dibilas kembali dengan akuades steril sebanyak 3
kali. Planlet ditiriskan di atas cawan petri sebelum diisolasi.

2.4.5.2. Sterilisasi Cara II yang Ke-1 dan Sterilisasi Cara II yang Ke-2
Sterilisasi cara II yang ke-1 dilakukan pada hari Selasa tanggal 15 September 2020,
dan sterilisasi cara II yang ke-2 dilakukan pada hari Kamis 8 Oktober 2020. Teknik
sterilisasi yang digunakan memiliki tahapan yang lebih banyak dan menggunakan waktu
perendaman yang lebih lama. Teknik sterilisasi ini dimulai dari memasukkan botol planlet
yang diambil dari ruang inkubasi kedalam Laminar Air Flow Cabinet. Sebelum
dimasukkan botol planlet terlebih dahulu disemprotkan dengan alkohol 70%. Planlet
dikeluarkan dari botol menggunakan pinset yang terlebih dahulu dipanaskan dengan
menggunakan bunsen. Lalu, planlet dibilas menggunakan akuades yang sudah disterilkan
terlebih dahulu sambil digoyang-goyangkan sebanyak 3 kali. Setelah itu, akar dan daun
planlet yang sudah kuning/cokelat atau patah dipotong.
Setelah pemotongan tersebut, planlet kemudian direndam dengan fungisida
berbahan aktif mankozeb 80% selama 10 menit sambil digoyang-goyangkan, dan
dibilas kembali dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Kemudian planlet direndam
lagi dengan menggunakan bakterisida berbahan aktif streptomisin sulfat 20%
selama 5 menit sambil digoyang-goyangkan, dan dibilas kembali dengan akuades
steril sebanyak 3 kali. Selanjutnya, planlet direndam dengan larutan NaOCl 20%
selama 7 menit, dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Lalu, planlet
direndam dengan alkohol 70% selama 3 menit, dan dibilas lagi dengan akuades
steril sebanyak 3 kali. Setelah itu planlet ditiriskan di atas cawan petri sebelum
diisolasi.

2.4.6. Isolasi dan Penanaman Eksplan


2.4.6.1. Sterilisasi Cara I
10

Penanaman eksplan sterilisasi cara I dilakukan pada hari Rabu tanggal 29 Juli 2020.
Bagian tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan adalah potongan daun anggrek
Dendrobium steril hasil kultur jaringan. Setelah melalui teknik sterilisasi, selanjutnya
planlet diinisiasi. Planlet yang sudah ditiriskan pada tahap sterilisasi, kemudian dipotong
daunnya berbentuk persegi panjang dengan ukuran 0,5 cm x 1 cm menggunakan pisau
scalpel yang sudah dipanaskan menggunakan bunsen. Semua sisi daun yang digunakan
sebagai eksplan dilukai dengan cara disayat sedikit setiap sisinya agar memacu
pertumbuhan kalus. Eksplan yang sudah diisolasi dipindahkan ke dalam cawan petri
lainnya, sambil menunggu semua eksplan siap dipotong daunnya. Kemudian, eksplan yang
telah diisolasi tersebut ditanam pada botol kultur dengan perlakuan masing-masing. Proses
penanaman dilakukan dekat dengan bunsen untuk mengurangi terjadinya kontaminasi pada
eksplan. Setiap botol kultur berisi 3 eksplan. Selanjutnya, botol kultur tadi ditutup dengan
menggunakan aluminium foil dan plastik tahan panas, lalu diikat dengan karet gelang.
Botol kultur diletakkan di rak kultur pada ruang gelap selama 4 minggu sampai terbentuk
kalus.

2.4.6.2. Sterilisasi Cara II yang Ke-1 dan Sterilisasi Cara II yang Ke-2
Penanaman eksplan sterilisasi cara II yang ke-1 dilakukan pada hari Selasa
tanggal 15 September 2020, dan penanaman eksplan sterilisasi cara II yang ke-2
dilakukan pada hari Kamis tanggal 8 Oktober 2020. Perbedaan cara isolasi dan
penanaman antara eksplan pada sterilisasi cara I dan sterilisasi cara II yaitu sebelum
eksplan ditanam, disediakan terlebih dahulu Povidone Iodine yang dilarutkan
kedalam 100 ml akuades steril sebanyak 5 tetes pada cawan petri. Eksplan yang
akan ditanam harus dicelupkan dahulu ke larutan Povidone Iodine, kemudian
ditanam pada botol kultur yang berisi media perlakuan. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi kontaminasi dan mengurangi terjadinya pencokelatan (browning).
Selain itu, kesemua teknik isolasi dan penanamannya sama dengan eksplan pada
sterilisasi cara I.

2.5. Pemeliharaan
Botol kultur yang berisi eksplan daun anggrek disimpan pada rak kultur
ruang gelap yang terdapat dalam ruang inkubasi 4 minggu. Setelah 4 minggu, botol
kultur dipindahkan ke rak yang terdapat di ruang terang dengan fotoperiode 16 jam,
11

pada suhu 22-24○C selama 4 sampai 8 minggu. Botol kultur disemprot dengan
alkohol 70% setiap hari setelah selesai pengambilan data dan penyemprotan
formalin pada ruang inkubasi dilakukan setiap minggu. Botol yang berisi eksplan
terkontaminasi langsung dikeluarkan dari ruang inkubasi.
11

2.6. Parameter yang Diamati Pada Penelitian


2.6.1. Persentase Kontaminasi
Eksplan yang terkontaminasi ditandai dengan munculnya mikroorganisme pada
permukaan media ataupun pada permukaan eksplan. Pengamatan eksplan yang
terkontaminasi dilakukan setiap hari sampai 4 MSI (minggu setelah inisiasi).

Rumus menghitung persentase eksplan yang terkontaminasi adalah, sebagai berikut :


Eksplan kontaminasi
% Eksplan Kontaminasi = × 100%
Eksplan yang ditanam

2.6.2. Persentase Warna Eksplan


Pengamatan perubahan warna eksplan diamati setiap minggu sampai dengan 12
MSI. Kriteria warna dilihat dari perubahan warna yang terjadi selama pengamatan.

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Penelitian


Penelitian ini menginduksi kalus menggunakan eksplan daun anggrek Dendrobium
hasil kultur in vitro. Eksplan daun dikatakan tumbuh apabila mampu membentuk kalus,
tetapi selama penanaman yang dilakukan sebanyak 3 kali, tidak ada kalus yang terbentuk
setelah umur 12 MSI. Respon eksplan terhadap kombinasi perlakuan setelah umur 12 MSI
tidak terjadi. Oleh karena itu, beberapa parameter seperti hari munculnya kalus, perubahan
warna kalus, jumlah eksplan berkalus, dan hari munculnya tunas tidak dapat dilakukan.
Penelitian ini hanya mengamati persentase kontaminasi dan persentase warna eksplan.

3.1.1. Hasil Penelitian Sterilisasi Cara I pada Induksi Kalus Eksplan Daun Anggrek
Dendrobium
3.1.1.1. Persentase Kontaminasi
Hasil pengamatan pada sterilisasi cara I menunjukkan bahwa sebanyak 79 satuan
percobaan (98,75%) terkontaminasi oleh jamur, hanya tersisa 1 satuan percobaan yang
tidak terkontaminasi yaitu pada eksplan daun anggrek berumur 8 bulan dengan media MS
+ 0,75 2,4-D. Kontaminasi mulai terlihat pada umur 4 HSI. Data persentase kontaminasi
dapat dilihat pada Tabel 2.
12

Tabel 2. Persentase kontaminasi eksplan daun anggrek Dendrobium sterilisasi cara I pada
umur 4 HSI sampai umur 7 HSI

Umur Eksplan Daun + Konsentrasi Persentase Kontaminasi pada Hari Ke- (%)
2,4-D 4 HSI 5 HSI 6 HSI 7 HSI
Umur 5 bulan + kontrol (A1B0) 20 60 80 100
-1
Umur 5 bulan + 0,50 mg L (A1B1) 20 60 60 100
-1
Umur 5 bulan + 0,75 mg L (A1B2) 40 60 60 100
-1
Umur 5 bulan + 1 mg L (A1B3) 60 60 80 100
Umur 6 bulan + kontrol (A2B0) 20 40 80 100
-1
Umur 6 bulan + 0,50 mg L (A2B1) 0 20 40 100
-1
Umur 6 bulan + 0,75 mg L (A2B2) 0 40 40 100
-1
Umur 6 bulan + 1 mg L (A2B3) 0 60 80 100
Umur 7 bulan + kontrol (A3B0) 20 40 40 100
Umur 7 bulan + 0,50 mg L-1 (A3B1) 0 20 20 100
Umur 7 bulan + 0,75 mg L-1 (A3B2) 20 40 60 100
Umur 7 bulan + 1 mg L-1 (A3B3) 0 20 40 100
Umur 8 bulan + kontrol (A4B0) 40 40 60 100
Umur 8 bulan + 0,50 mg L-1 (A4B1) 0 20 60 100
Umur 8 bulan + 0,75 mg L-1 (A4B2) 20 20 60 80
Umur 8 bulan + 1 mg L-1 (A4B3) 0 40 80 100

Kontaminasi terparah terdapat pada perlakuan eksplan daun berumur 6 bulan


dengan ciri-ciri warna eksplan menjadi kuning, kontaminan berupa jamur yang berwarna
putih seperti kapas, dan media berubah warna menjadi kuning. Pada sterilisasi cara I,
terdapat 2 jenis jamur yang mengontaminasi eksplan yaitu jamur putih dan jamur hijau
lumut (Tabel 3). Jamur putih menunjukkan gejala awal yaitu hanya berupa bintik-bintik
putih kemudian hifanya semakin melebar dengan bentuk seperti kapas yang menutupi
seluruh permukaan media dengan ketebalan 1-2 cm. Jamur hijau lumut menunjukkan
gejala awal yaitu jamur berwarna putih mengelilingi pinggiran eksplan kemudian berubah
warna menjadi kehijauan dan yang terparah berubah warna menjadi hijau lumut.
13

Tabel 3. Jenis jamur yang mengontaminasi eksplan daun anggrek Dendrobium sterilisasi
cara I pada umur 7 HSI

Jenis Jamur Kontaminasi Ringan Kontaminasi Sedang Kontaminasi Berat

Jamur
putih

Eksplan daun berumur Eksplan daun berumur


Eksplan daun berumur
6 bulan + 0,75 mg L-1 5 bulan + 0,75 mg L-1
8 bulan + kontrol
2,4-D 2,4-D

Jamur hijau
lumut

Eksplan daun berumur Eksplan daun berumur Eksplan daun berumur


8 bulan + 1 mg L-1 8 bulan + 0,75 mg L-1 6 bulan + 0,50 mg L-1
2,4-D 2,4-D 2,4-D

3.1.2. Hasil Penelitian Sterilisasi Cara II yang Ke-1 pada Induksi Kalus Eksplan
Daun Anggrek Dendrobium
3.1.2.1. Persentase Warna Eksplan
Pada sterilisasi cara II yang ke-1 tingkat kontaminasi adalah 0%. Eksplan yang
diinduksi tidak mampu membentuk kalus, bahkan tidak terjadi pembengkakan jaringan.
Rata-rata eksplan masih tetap hijau sampai minggu ketiga, kemudian pada minggu
keempat mulai terjadi perubahan warna eksplan menjadi hijau kecokelatan dan ada
beberapa yang berwarna kuning. Kriteria warna eksplan dapat dilihat pada Gambar 1.
Kondisi eksplan sampai umur 12 MSI menunjukkan hampir semua jaringan eksplan
mengalami kematian pada setiap perlakuan yang ditandai dengan terjadinya pencokelatan
(browning) (Gambar 2). Data persentase warna eksplan dapat dilihat pada Tabel 4.
14

Tabel 4. Persentase warna eksplan daun anggrek Dendrobium pada sterilisasi cara II yang
ke-1 akibat perlakuan umur daun dan konsentrasi 2,4-D
Persentase Warna Eksplan (%)
Kombinas
Hijau Hijau Kecokelatan Kuning Cokelat
i
4 8 12 4 8 12 4 8 12 4 8 12
Perlakuan
MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI
A1B0 66,7 6,7 0 20 13,3 6,7 0 0 0 13,3 80 93,3
A1B1 46,7 0 0 53,3 20 0 0 0 0 0 80 100
A1B2 86,7 40 6,7 0 26,7 26,7 0 0 0 13,3 33,3 66,7
A1B3 53,3 0 0 46,7 20 0 0 0 0 0 80 100
A2B0 93,3 40 6,7 0 26,7 26,7 0 0 0 6,7 20 66,7
A2B1 73,3 0 0 26,7 20 0 0 0 0 0 80 100
A2B2 60 0 0 20 6,7 6,7 20 0 0 0 93,3 93,3
A2B3 80 26,7 0 0 26,7 13,3 13,3 20 20 6,7 26,7 66,7
A3B0 80 20 13,3 20 20 6,7 0 0 0 0 60 80
A3B1 80 26,7 0 20 33,3 20 0 0 0 0 40 80
A3B2 80 0 0 20 66,7 20 0 0 0 0 33,3 80
A3B3 60 0 0 26,7 20 13,3 0 0 0 13,3 80 86,7
A4B0 73,3 33,3 6,7 6,7 13,3 20 0 6,7 0 20 46,7 73,3
A4B1 80 20 0 6,7 13,3 20 6,7 0 0 6,7 66,7 80
A4B2 73,3 13,3 0 6,7 20 0 0 0 0 20 66,7 100
A4B3 93,3 6,7 6,7 0 20 6,7 0 6,7 0 6,7 66,7 86,7
Rerata 73,7 14,6 2,5 17,1 22,9 11,7 2,9 2,09 1,25 6,7 50,6 84,6
Keterangan : Perlakuan A1 (daun umur 5 bulan), A2 (daun umur 6 bulan), A3 (daun umur 7 bulan), A4 (daun
umur 8 bulan), B0 (0 mg L-1 2,4-D), B1 (0,50 mg L-1 2,4-D), B2 (0,75 mg L-1 2,4-D), B3 (1 m g
L-1 2,4-D)

a b c d

Gambar 1. Kriteria warna eksplan pada 4 umur MSI. a.) Eksplan berwarna hijau pada daun
berumur 7 bulan + kontrol, b.) Eksplan berwarna kuning pada daun berumur 7
bulan + 0,75 mg L-1 2,4-D, c.) Eksplan berwarna hijau kecokelatan pada daun
berumur 6 bulan + 0,50 mg L-1 2,4-D, d.) Eksplan berwarna cokelat daun
berumur 6 bulan + 0,75 mg L-1 2,4-D
Tahap induksi kalus sangat mempengaruhi terjadinya browning. Pada sterilisasi
cara II yang ke-1, seluruh perlakuan menunjukkan peningkatan browning setiap
minggunya yang mulai terlihat sejak umur 4 MSI (Tabel 4). Pada 12 MSI, sebanyak 85%
eksplan mengalami browning. Persentase browning tertinggi terjadi pada eksplan daun
berumur 5 bulan + MS + 0,50 mg L -1 2,4-D, eksplan daun berumur 5 bulan + MS + 0,75
mg L-1 2,4-D, eksplan daun berumur 6 bulan + MS + 0,50 mg L -1 2,4-D, dan eksplan daun
berumur 8 bulan + MS + 0,75 mg L-1 2,4-D yaitu sebesar 100%, kemudian diikuti dengan
15

eksplan pada perlakuan A1B0 dan A2B2 yang menghasilkan persentase browning sebesar
93,3%.

a b c d

Gambar 2. Eksplan browning sterilisasi cara II yang ke-1 pada umur 12 MSI. a.) Eksplan
daun berumur 5 bulan + 0,50 mg L -1 2,4-D, b.) Eksplan daun berumur 5 bulan
+ 0,75 mg L-1 2,4-D, c.) Eksplan daun berumur 6 bulan + 0,50 mg L -1 2,4-D,
d.) Eksplan daun berumur 8 bulan + 0,75 mg L-1 2,4-D

Dari data ini dapat dilihat bahwa eksplan daun berumur 7 bulan dan 8 bulan mampu
tetap hijau sampai umur 12 MSI, tetapi eksplan daun berumur 7 bulan juga menghasilkan
eksplan browning paling banyak diantara perlakuan lainnya (Gambar 2). Dari Tabel 4,
dapat juga dilihat bahwa komposisi media yang terbaik untuk mengurangi terjadinya
browning adalah MS + kontrol. Berbeda dengan eksplan daun pada media MS + 0,50 mg
L-1 2,4-D, dimana perlakuan tersebut menghasilkan eksplan browning terbanyak yang
mengindikasikan bahwa penggunaan 0,50 mg L-1 2,4-D pada media mempengaruhi
terjadinya browning.

3.1.3. Hasil Penelitian Sterilisasi Cara II yang Ke-2 pada Induksi Kalus Eksplan
Daun Anggrek Dendrobium
3.1.3.1. Persentase Kontaminasi
Hasil penelitian pada sterilisasi cara II yang ke-2 menunjukkan, terdapat 36 unit
eksplan yang terkontaminasi dengan persentase kontaminasi sebesar 15%. Kontaminasi
terparah terdapat pada eksplan daun berumur 8 bulan. Kontaminan berupa jamur dan
bakteri. Pada Tabel 5, dapat dilihat persentase kontaminasi eksplan daun anggrek pada
umur 1 MSI sampai umur 4 MSI.

Tabel 5. Persentase kontaminasi eksplan daun anggrek Dendrobium sterilisasi cara II yang
ke-2 pada umur 1 MSI sampai umur 4 MSI
16

Persentase Kontaminasi pada Minggu


Umur Eksplan Daun + Konsentrasi
Ke- (%)
2,4-D
1 MSI 2 MSI 3 MSI 4 MSI
17

Umur 5 bulan + kontrol (A1B0) 0 0 0 20


Umur 5 bulan + MS + 0,50 mg L-1 (A1B1) 0 0 0 0
Umur 5 bulan + MS + 0,75 mg L-1 (A1B2) 0 0 0 0
Umur 5 bulan + MS + 1 mg L-1 (A1B3) 0 0 0 0
Umur 6 bulan + kontrol (A2B0) 0 0 0 0
Umur 6 bulan + MS + 0,50 mg L-1 (A2B1) 0 0 0 20
Umur 6 bulan + MS + 0,75 mg L-1 (A2B2) 0 0 20 20
Umur 6 bulan + MS + 1 mg L-1 (A2B3) 0 0 0 0
Umur 7 bulan + kontrol (A3B0) 0 0 0 0
Umur 7 bulan + MS + 0,50 mg L-1 (A3B1) 0 0 0 0
-1
Umur 7 bulan + MS + 0,75 mg L (A3B2) 0 0 0 0
-1
Umur 7 bulan + MS + 1 mg L (A3B3) 0 0 0 0
Umur 8 bulan + kontrol (A4B0) 20 20 20 40
-1
Umur 8 bulan + MS + 0,50 mg L (A4B1) 0 0 20 20
-1
Umur 8 bulan + MS + 0,75 mg L (A4B2) 60 60 80 80
-1
Umur 8 bulan + MS + 1 mg L (A4B3) 40 60 60 60

Sebagian besar eksplan pada sterilisasi cara II yang ke-2 terkontaminasi oleh jamur
(Gambar 3). Eksplan yang terkontaminasi oleh jamur memperlihatkan gejala munculnya
bintik-bintik putih disekitar media maupun eksplan, sedangkan eksplan yang
terkontaminasi oleh bakteri ditandai dengan munculnya lendir berwarna putih keruh
sampai kemerahan dipermukaan media, yang lama kelamaan merubah warna eksplan
menjadi kuning. Data persentase jenis kontaminan pada eksplan daun anggrek Dendrobium
dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Persentase jenis kontaminan pada eksplan daun anggrek Dendrobium sterilisasi
cara II yang ke-2
Jenis Kontaminan Persentase (%)
Bakteri 33,33%
Jamur 66,67%
18

a b c

Gambar 3. Jenis kontaminan pada eksplan daun anggrek sterilisasi cara II yang ke-2. a.)
Eksplan daun berumur 8 bulan + kontrol yang terkontaminasi oleh bakteri, b.)
Eksplan daun berumur 6 bulan + 0,50 mg L-1 2,4-D yang terkontaminasi oleh
jamur hijau lumut, c.) Eksplan daun berumur 8 bulan + 0,75 mg L-1 2,4-D yang
terkontaminasi oleh jamur putih

Bentuk mikroskopis bakteri dan jamur yang mengontaminasi eksplan dapat dilihat
pada Gambar 4. Eksplan yang terkontaminasi oleh jamur terdapat pada daun berumur 8
bulan + kontrol, daun berumur 8 bulan + MS + 0,75 mg L -1 2,4-D, dan daun berumur 8
bulan + MS + 1 mg L-1 2,4-D, dan eksplan yang terkontaminasi oleh bakteri terdapat pada
daun berumur 5 bulan + kontrol, daun berumur 6 bulan + MS + 0,75 mg L-1 2,4-D, dan
daun berumur 8 bulan + MS + 0,50 mg L-1 2,4-D. Eksplan daun berumur 8 bulan adalah
sumber eksplan yang paling banyak terkontaminasi oleh jamur, kemudian mengontaminasi
eksplan lainnya.

a b c

Gambar 4. Bentuk mikroskopis kontaminan pada eksplan daun anggrek sterilisasi cara II
yang ke-2 dengan perbesaran 10 kali. a. bakteri, b. jamur hijau lumut, c. jamur
putih

3.1.3.2. Persentase Warna Eksplan


Hasil pengamatan pada sterilisasi cara II yang ke-2 menunjukkan bahwa tidak ada
eksplan yang berhasil membentuk kalus juga tidak terjadi pembengkakan pada eksplan.
Data persentase warna eksplan dapat dilihat pada Tabel 7. Eksplan pada sterilisasi cara II
19

yang ke-2 ini terlihat lebih segar dan lebih hijau, walaupun perlakuan yang diberikan sama
dengan eksplan pada sterilisasi cara II yang ke-1.

Tabel 7. Persentase warna eksplan daun anggrek Dendrobium percobaan III akibat
perlakuan umur daun dan konsentrasi 2,4-D
Persentase Warna Eksplan (%)
Perlakua Hijau Hijau Kecokelatan Kuning Cokelat
n 2 4 8 2 4 8 2 4 8 2 4 8
MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI MSI
A1B0 100 91,7 66,7 0 8,3 8,3 0 0 0 0 0 25
A1B1 100 73,3 6,7 0 6,7 40 0 20 0 0 0 53,3
A1B2 100 33,3 0 0 33,3 20 0 33,3 0 0 0 80
A1B3 100 73,3 0 0 13,3 0 0 13,3 0 0 0 100
A2B0 80 86,7 26,7 0 0 33,3 0 13,3 0 0 0 40
A2B1 100 50 0 0 25 16,7 0 25 0 0 0 83,3
A2B2 100 16,7 0 0 75 8,3 6,7 0 0 0 8,3 91,7
A2B3 93,3 20 0 0 80 13,3 13,3 0 0 6,7 0 86,7
A3B0 100 66,7 33,3 0 26,7 13,3 0 6,7 0 0 0 53,3
A3B1 80 26,7 0 0 53,3 40 20 13,3 13,3 0 6,7 46,7
A3B2 93,3 0 0 0 73,3 46,7 6,7 13,3 0 0 13,3 53,3
A3B3 100 6,7 0 0 80 40 0 0 0 0 13,3 60
A4B0 86,7 77,8 66,7 6,7 11,1 33,3 0 0 0 0 11,1 0
A4B1 80 41,7 16,7 13,3 41,7 33,3 6,7 16,7 8,3 0 0 41,7
A4B2 83,3 33,3 0 16,7 66,7 0 0 0 0 0 0 100
A4B3 100 33,3 0 0 16,7 16,7 0 16,7 16,7 0 33,3 66,7
Rerata 93,5 45,7 13,5 3,5 38,2 22,7 3,3 10,7 2,4 0,4 5,4 61,3
Keterangan : Perlakuan A1 (daun umur 5 bulan), A2 (daun umur 6 bulan), A3 (daun umur 7 bulan), A4 (daun
umur 8 bulan), B0 (0 mg L-1 2,4-D), B1 (0,50 mg L-1 2,4-D), B2 (0,75 mg L-1 2,4-D), B3 (1 mg L-
1
2,4-D)

Sebagian besar eksplan daun masih tetap hijau sampai umur 4 MSI, kemudian pada
umur 5 MSI eksplan daun mulai berubah warna menjadi hijau kecokelatan, kuning, atau
cokelat. Pada umur 8 MSI, tersisa 6 kombinasi perlakuan yang mampu tetap hijau seperti
pada eksplan daun berumur 5 bulan + kontrol (66,7%), eksplan daun berumur 5 bulan +
MS + 0,50 mg L-1 2,4-D (6,7%), eksplan daun berumur 6 bulan + kontrol (26,7%), eksplan
daun berumur 7 bulan + kontrol (33,3%), eksplan daun berumur 8 bulan + kontrol (66,7%),
dan eksplan daun berumur 8 bulan + MS + 0,50 mg L-1 2,4-D (16,7%).
Pada sterilisasi cara II yang ke-2 ini, lebih sedikit eksplan yang mengalami
browning tetapi tetap ada peningkatan browning setiap minggunya (Tabel 7). Pada umur 2
MSI hanya eksplan daun berumur 6 bulan + MS + 1 mg L -1 2,4-D (6,7%) yang berubah
warna menjadi cokelat. Pada umur 8 MSI, persentase eksplan cokelat tertinggi terdapat
pada eksplan daun berumur 5 bulan + MS + 1 mg L-1 2,4-D dan eksplan daun berumur 8
20

bulan + MS + 0,75 mg L -1 2,4-D yaitu 100%. Eksplan yang mengalami browning dapat
dilihat pada Gambar 5.
Tabel 7 menunjukkan bahwa eksplan daun berumur 8 bulan adalah eksplan yang
mampu tetap hijau sampai umur 8 MSI, sedangkan eksplan daun berumur 5, 6, dan 7 bulan
mengalami browning. Sama halnya dengan eksplan pada sterilisasi cara II yang ke-1
dimana eksplan daun berumur 8 bulan tetap hijau sampai 12 MSI. Hal diduga karena umur
eksplan yang lebih tua memiliki sel-sel yang lebih banyak dan tebal sehingga mampu
mengimbangi jumlah unsur hara yang terdapat pada media tanam untuk diserap dan
kemudian membuat sel-selnya lebih berkembang dan lebih lama mengalami browning.

a b c d

Gambar 5. Eksplan browning sterilisasi cara II yang ke-2 pada umur 8 MSI. a. Eksplan
daun berumur 5 bulan + MS + 1 mg L-1 2,4-D, b. Eksplan daun berumur 6 bulan
+ MS + 0,50 mg L-1 2,4-D, c. Eksplan daun berumur 6 bulan + MS + 0,75 mg
L-1 2,4-D, d. Eksplan daun berumur 6 bulan + MS + 1 mg L-1 2,4-D

Dari hasil pengamatan pada sterilisasi cara II yang ke-1 dan sterilisasi cara II yang
ke-2, juga dapat dilihat bahwa komposisi media tanam yang terbaik untuk mengurangi
terjadinya browning adalah MS + kontrol. Berbeda dengan eksplan pada media tanam yang
mengandung 2,4-D, dimana perlakuan tersebut menghasilkan eksplan browning terbanyak.
Hasil pengamatan ini mengindikasikan bahwa media yang ditambahkan 2,4-D dapat
mempercepat terjadinya browning, padahal 2,4-D juga sangat dibutuhkan untuk
menginduksi kalus daun anggrek.

3.2. Pembahasan
3.2.1. Persentase Kontaminasi
Pada sterilisasi cara I, persentase eksplan terkontaminasi mencapai 98,75% yang
disebabkan oleh jamur, sedangkan pada sterilisasi cara II yang ke-2 persentase kontaminasi
sebesar 15% yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Faktor utama yang menyebabkan
21

terjadinya kontaminasi adalah sumber eksplan. Dilihat dari kondisi morfologi planlet yang
digunakan, dapat diketahui bahwa sumber eksplan yang kurang sehat dapat memungkinkan
mikroorganisme berkembangbiak didalam jaringannya. Hal ini menyebabkan kontaminasi
yang kemudian menyebar dan mengontaminasi eksplan lainnya. Kontaminasi merupakan
suatu keadaan dimana terdapat pertumbuhan mikroba pada media tanam atau eksplan yang
tidak dikehendaki (Nisa dan Rodinah, 2005).
Komponen yang paling rentan terhadap kontaminasi adalah media tanam dan
eksplan. Media tanam yang banyak mengandung nutrisi dapat menjadi penyebab
mudahnya mikroorganisme untuk tumbuh. Mikroorganisme memerlukan sumber energi
dan bahan pembangun sel untuk kelangsungan hidupnya yang diperoleh dari nutrien yang
terdapat pada media tanam (Waluyo, 2004). Media tanam kultur in vitro adalah media
yang sangat disukai oleh jamur dan bakteri karena pada media terdapat sumber makanan
terutama gula (Gunawan, 1987). Mikroorganisme mampu tumbuh dengan cepat apabila
sumber makanan tersedia dan dilingkungan yang cocok (suhu dan kelembabannya tinggi),
sehingga dalam waktu singkat dapat menutupi seluruh permukaan eksplan dan media
tanam (Oratmangun, 2017). Selain itu, kondisi eksplan yang mengalami pelukaan semakin
mendukung mikroorganisme untuk tumbuh dan menyerang jaringan eksplan yang akan
membuat eksplan lebih cepat lagi terkontaminasi (Wati et al., 2020).
Faktor lain yang menyebabkan kontaminasi adalah cara sterilisasi bahan tanam
yang digunakan. Cara sterilisasi yang sederhana tidak mampu membunuh mikroorganisme
yang terdapat pada eksplan. Mikroorganisme tersebut masih mampu tumbuh dan masuk ke
jaringan eksplan yang mengakibatkan kerusakan dan lama kelamaan eksplan akan mati.
Persentase kontaminasi yang rendah pada sterilisasi cara II yang ke-2 diduga karena
pemilihan larutan sterilisasi dengan konsentrasi yang tepat, didukung dengan penambahan
waktu perendaman (10 menit) pada eksplan daun anggrek Dendrobium (Wati et al., 2020).
Cara ini digunakan agar lebih efektif lagi dalam membunuh kontaminan tetapi tidak
mematikan jaringan eksplan. Penggunaan larutan sterilisasi dalam konsentrasi yang rendah
tetapi waktu perendamannya lebih singkat tidak dapat mengurangi resiko kontaminasi
seperti pada sterilisasi cara I. Larutan sterilisasi mempengaruhi persentase kontaminasi dan
konsentrasi larutan sterilisasi yang digunakan mempengaruhi pencokelatan eksplan
(Yusnita, 2003). Persentase kontaminasi yang rendah pada sterilisasi cara II yang ke-2 juga
disebabkan karena adanya penggunaan larutan povidone iodine pada eksplan. Pemberian
22

povidone iodine sebanyak 3 tetes yang dilarutkan ke dalam akuades steril dapat
mengurangi tingkat kontaminasi akibat jamur pada pertumbuhan eksplan anggrek.
Kontaminan yang menyerang eksplan pada penelitian ini adalah jenis jamur dan
bakteri. Eksplan yang terkontaminasi oleh jamur ditandai dengan mulai terlihatnya hifa-
hifa pada permukaan atau tepi media, kemudian dalam beberapa hari hifa-hifa tersebut
akan menutupi seluruh permukaan media (Tuhuteru et al., 2012). Sama halnya dengan
hasil penelitian Susilowati et al. (2001), eksplan yang terkontaminasi oleh jamur memiliki
ciri-ciri yaitu hifanya seperti benang putih hingga kelabu hitam, pada bagian lain terlihat
sporangium yang berupa titik-titik hitam seperti jarum pentul. Jamur yang memiliki hifa
berwarna putih sampai hitam kelabu adalah jamur jenis Mucor dan Rhizopus (Shofiyani et
al., 2015).
Eksplan yang terkontaminasi oleh bakteri ditandai dengan munculnya lapisan lendir
putih atau kecokelatan disekeliling eksplan dan permukaan media tanam. Eksplan terlihat
basah yang disebabkan karena bakteri langsung menyerang jaringan eksplan (Wati et al.,
2020). Bakteri akan menghasilkan lapisan lendir pada eksplan dan sebagian melekat pada
media tanam membentuk gumpalan-gumpalan basah (Elfiani dan Jakoni, 2015).

4.2.2. Persentase Warna Eksplan


Pada penelitian ini tidak ada eksplan yang berhasil membentuk kalus bahkan tidak
terjadi pembengkakan jaringan setelah diinkubasi selama 12 MSI. Parameter yang dapat
diamati yaitu persentase warna eksplan. Perubahan warna eksplan pada penelitian ini
diawali dengan eksplan yang awalnya berwarna hijau kemudian berubah warna menjadi
hijau kecokelatan atau kuning lalu menjadi cokelat. Respon eksplan daun pada induksi
kalus seharusnya diawali dengan adanya perubahan warna pada pinggir daun, kemudian
terjadi pembengkakan jaringan yang menandakan bahwa eksplan mampu menyerap unsur
hara pada media dan mampu beradaptasi pada kondisi in vitro, sehingga terjadi proses
pembentukan kalus. Merthaningsih et al. (2018), mengatakan bahwa pembengkakan
jaringan adalah respon eksplan yang mengarah ke pembentukan kalus.
Perubahan warna eksplan dapat disebabkan karena kurangnya konsentrasi sitokinin
yang diberikan pada media tanam. Sitokinin dapat menunda penuaan pada eksplan daun,
apabila konsentrasinya sedikit maka eksplan akan susah untuk mengalami penuaan
sehingga tidak terjadi pertumbuhan (Salisbury dan Ross, 1995). Beberapa eksplan
memberikan respon yaitu perubahan warna menjadi kuning. Hal ini disebabkan karena
23

eksplan sudah kehilangan zat hijau daun (klorofil) akibat kerusakan jaringan. Eksplan yang
kehilangan klorofil merupakan pertanda adanya proses adaptasi eksplan terhadap media
Ajijah et al. (2010). Konsentrasi sitokinin yang cukup akan meningkatkan perkembangan
kloroplas (Salisbury dan Ross, 1995).
Ukuran eksplan dan umur eksplan daun juga dapat mempengaruhi perubahan warna
yang terjadi. Tanaman hasil kultur in vitro memiliki perbedaan dengan tanaman yang
ditanam secara ex vitro. Salah satu perbedaannya yaitu tanaman hasil kultur in vitro
menghasilkan planlet yang daunnya lebih tipis. Sel-sel palisade pada daun planlet
umumnya lebih kecil dan sedikit.
Jumlah sel pada eksplan tidak mencukupi untuk membelah hanya dapat beradaptasi
saja sehingga pembelahan sel-sel untuk berdiferensiasi membentuk kalus akan lebih sulit
walaupun sudah ditambah ZPT. Eksplan yang ukurannya terlalu kecil dan tipis
mempengaruhi fungsi fisiologis eksplan sehingga tidak mampu mengimbangi jumlah ZPT
yang diberikan. Senyawa metabolit yang tidak mencukupi menyebabkan eksplan tidak
mampu menyerap semua konsentrasi ZPT yang diberikan (Zulkarnain, 2009). Kesalahan
tersebut membuat eksplan lebih cepat berubah warna dan akhirnya mengalami browning.
Ditambah lagi umur eksplan yang digunakan pada penelitian ini terlalu muda sehingga
memiliki jaringan yang kurang tebal tidak cukup untuk menjadi meristematis kembali
(Sitinjak et al., 2015).
Pencokelatan (browning) adalah suatu keadaan dimana eksplan menghasilkan
warna cokelat atau hitam yang sering kali menghambat pertumbuhan dan perkembangan
eksplan (Wati et al., 2020). Tingkat browning pada fase induksi kalus masih tinggi
(Admojo dan Indriarto, 2016), browning terjadi pada semua perlakuan yang menunjukkan
bahwa eksplan mampu memberikan respon pencokelatan akibat pelukaan baik dengan
adanya ZPT atau tidak. Ada dua kemungkinan terhadap respon eksplan yang mengalami
pencokelatan, yaitu pertama eksplan tetap mampu membentuk kalus karena pembentukan
kalus dimulai dengan adanya perubahan warna menjadi cokelat pada tepi daun yang
dilukai, kedua eksplan mengalami kerusakan jaringan yang akhirnya mematikan eksplan
(Kartika et al., 2014). Pada penelitian ini, diduga eksplan mengalami kerusakan jaringan
yang akhirnya mematikan eksplan.
Pemotongan bagian pinggir eksplan daun yang kurang hati-hati menyebabkan
stress pada jaringan. Eksplan yang dilukai mempunyai peluang untuk mengalami stress,
yang menyebabkan eksplan berubah warna menjadi cokelat, kering, dan lama kelamaan
24

akan mati (Widayanti et al., 2014). Pelukaan tersebut mampu memecahkan sitoplasma dan
vakuola, sehingga merangsang keluarnya senyawa fenol yang kemudian teroksidasi dengan
oksigen (Pirttila et al., 2008).
Pendapat lain menjelaskan bahwa pelukaan mengakibatkan keluarnya enzim dan
substrat dari sel lalu terjadi ikatan antara hidrogen dengan protein yang mengaktifkan
enzim fenilalanin ammonia liase (PAL). Enzim ini memproduksi fenilpropanoid yang
membuat eksplan berubah warna menjadi cokelat (Hutami, 2008).
Faktor lain yang menyebabkan browning adalah penggunaan sumber bahan tanam
yang tidak meristematik, adanya teknik sterilisasi yang berlebihan, media yang kurang
cocok untuk pertumbuhan eksplan atau lingkungan yang tidak sesuai (Santosa et al., 2003).
Eksplan yang mengalami browning kemungkinan disebabkan karena konsentrasi larutan
steril yang terlalu pekat. (Wati et al., 2020).

4.2.3. Pengaruh Konsentrasi 2,4-D terhadap Pembentukan Kalus


Pada penelitian ini tidak ada eksplan yang mampu membentuk kalus, padahal
penggunaan 2,4-D seharusnya efektif untuk memacu terbentuknya kalus karena 2,4-D
mampu memacu proses diferensiasi sel, organogenesis dan meningkatkan pertumbuhan
kalus (Sitinjak et al., 2015), 2,4-D juga memacu pembengkakan eksplan akibat adanya
aktivitas pemanjangan sel (Gill et al., 2004).
Kalus tidak mampu tumbuh karena keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur
tumbuh (ZPT) yang diberikan belum optimum untuk memacu pertumbuhan dan
morfogenesis eksplan (Tuhuteru et al., 2012). Keberhasilan induksi kalus juga dipengaruhi
oleh adanya ZPT baik endogen ataupun eksogen. ZPT yang dibutuhkan untuk menginduksi
kalus adalah auksin dan sitokinin. Untuk meningkatkan konsentrasi ZPT endogen di dalam
sel, dibutuhkan penambahan auksin (2,4-D) atau sitokinin (BAP) ke dalam media kultur
sehingga memacu proses pembentukan kalus (Lestari, 2011).
Daun planlet anggrek merupakan eksplan yang paling responsif dalam membentuk
kalus hingga 80% dengan rerata waktu pembentukan kalus tercepat 26,3 HSI (Rachmawati
et al., 2014). Namun pada penelitian ini hingga umur 12 MSI kalus yang diinginkan tidak
muncul. Kegagalan eksplan membentuk kalus mungkin disebabkan karena penggunaan
konsentrasi 2,4-D yang terlalu tinggi. Penggunaan media ½ MS + 0,5 mg L-1 BAP + 0,5
mg L-1 TDZ + 0,2 mg L-1 2,4-D pada eksplan anggrek Phalaenopsis menghasilkan
persentase eksplan hidup paling tinggi sebesar 93,3% dan membentuk kalus lebih cepat
25

yaitu pada waktu 6 MSI dibandingkan dengan penggunaan konsentrasi 2,4-D yang lebih
tinggi (Febrianty dan Sukma, 2012). Lestari et al. (2013), menyatakan bahwa penggunaan
0,1 mg L-1 dan 0,3 mg L-1 2,4-D pada media kultur adalah yang paling optimum untuk
pertumbuhan biji anggrek Dendrobium laxiflorum, sedangkan konsentrasi 0,5 mg L-1 2,4-D
mampu menghambat pertumbuhan bijinya.
Penggunaan auksin konsentrasi rendah akan menginduksi pembentukan kalus, tetapi jika
konsentrasi auksin di dalam media tanam terlalu tinggi maka dapat memacu eksplan untuk
langsung membentuk organ (Gustian, 2009). Konsentrasi 2,4-D yang tinggi tidak mampu
memacu terjadinya proses penuaan yang dapat menghambat proses pertumbuhan kalus
(Palupi et al., 2004). Kerja ZPT auksin dan sitokinin endogen mempengaruhi waktu
munculnya kalus. Penambahan auksin eksogen dapat mengubah konsentrasi ZPT endogen
eksplan (Indah dan Ermavitalini, 2013). Efektifitas ZPT auksin eksogen bergantung pada
konsentrasi hormon endogen dalam jaringan tanaman. Selain karena tingginya konsentrasi
auksin (2,4-D), diduga eksplan tidak mampu membentuk kalus karena rusaknya jaringan
meristem pada saat diisolasi atau dikarenakan terdapat perbedaan kemampuan jaringan
dalam menyerap unsur hara (Ibrahim et al., 2010).

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada eksplan yang mampu membentuk
kalus, dan tidak terjadi pembengkakan jaringan. Hal ini diduga karena eksplan daun
anggrek berumur 5, 6, 7 dan 8 bulan belum mampu untuk menumbuhkan kalus dan
konsentrasi 2,4-D (0,50 mg L-1, 0,75 mg L-1, dan 1 mg L-1) yang terlalu tinggi kurang
sesuai untuk menumbuhkan kalus.
2. Eksplan daun berumur 8 bulan mampu tetap hijau sampai umur 8 MSI dijumpai pada
sterilisasi cara II yang ke-1 dan ke-2, sedangkan eksplan yang paling cepat mengalami
browning adalah eksplan daun berumur 6 dan 7 bulan.
3. Penggunaan 2,4-D untuk menginduksi kalus eksplan daun anggrek Dendrobium dapat
mempercepat terjadinya browning, karena konsentrasi 2,4-D yang terlalu tinggi dapat
bersifat racun bagi eksplan.

5.2. Saran
26

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui umur eksplan daun
yang tepat dan konsentrasi 2,4-D yang sesuai yaitu antara 0,1 mg L -1 sampai 0,4 mg L-1
dalam menginduksi kalus eksplan daun anggrek Dendrobium.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, N. K. A. P., I. A. Astarini dan N. P. A. Astiti. 2014. Aklimatisasi anggrek hitam


(Coelogyne pandurata Lindl.) hasil perbanyakan in vitro pada media berbeda. Jurnal
Simbiosis. 2(2): 203-214.
Admojo, L., A. Indrianto. 2016. Pencegahan browning fase inisiasi kalus pada kultur
midrib daun klon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) PB 330. Jurnal Penelitian
Karet. 34(1): 25-34.
Ajijah, N., I. M. Tasma dan E. Hadipoentyanti. 2010. Induksi kalus vanilli (Vanilla
planifolia ANDREW.) dari eksplan daun dan buku. Buletin RISTRI. 1(5): 227-234.
Badan Pusat Statistika. 2018. Data Produksi Tanaman Hias Indonesia Tahun 2016-2018.
Badan Pusat Statistika, Jakarta Barat.
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. 2013. Berita:
Perbanyakan Tanaman Melalui Kultur Jaringan. Makassar.
http://balithutmakassar.org. Diakses tanggal: 09 Agustus 2019.
Budisantoso, I., N. Amalia dan Kamsinah. 2017. In vitro callus induction from leaf
explants of Vanda sp stimulated by 2,4 D. Journal of Biology and Biology
Education. 9(3): 492-497.
Chugh, A and P. Khurana. 2002. Gene expression during somatic embryogenesis recent
advances. Current Science. 86(6): 715-728
Deb, C. R and A. Pongener. 2011. Asymbiotic seed germination and in vitro seedling
development of Cymbidium aloifolium L. : a multipurpose orchid. J. Plant Biochem.
Biotechnol. 20 (1): 90 - 95.
De, K. K and S. Sil. 2015. Protocorm like bodies and plant regeneration from foliar
explants of Coelogyne flaccida, a horticulturally and medicinally important
endawngered orchid of Eastern Himalaya. Thesis. Department of Botany, Hooghly
Mohsin College, West Bengal, India.
Elfiani dan Jakoni. 2015. Sterilisasi eksplan dan sub kultur anggrek, sirih merah dan krisan
pada perbanyakan tanaman secara in vitro. Jurnal Dinamika Pertanian. 3(2): 117-124.
Gill, N.K., R. Gill and S.S. Gisal. 2004. Factors enchancing somatic embryogenesis and
plant regeneration in sugarcane (Saccharum officinarum L). Indian Journal of
Biotechnology. 3:119-123.
Gunawan, L. W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. PAU ITB, Bogor.
27

Gustian B. S. dan E. Swasti. 2009. upaya perbanyakan tanaman penghasil gaharu


(Aquilaria malaccensis Lamk) secara in vitro. Bahan Seminar Perhimpunan
Pemuliaan Indonesia. Universitas Andalas, Padang.
Hutami, S. 2008. Masalah pencoklatan pada kultur jaringan. Jurnal Agrobiogen. 4(2): 83-
88.
Ibrahim, M. S. D., O. Rostiana dan N. Khumaida. Pengaruh umur eksplan terhadap
keberhasilan pembentukan kalus embriogenik pada kultur meristem jahe (Zingiber
officinale Rose). Jurnal Littri. 16(1): 37-42.
Indah, N. dan D. Ermavitalini. 2013. Induksi daun nyamplung (Calophyllum inophyllum
Linn.) pada beberapa konsentrasi 6-benzylaminopurine (BAP) dan 2,4-
dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2(1): 2337-3520.
Kartika, L. 2013. Kecepatan Induksi Kalus dan Kandungan Eugenol Sirih Merah (Piper
crocatum Ruiz and Pav.) yang Diperlakukan Menggunakan Variasi Jenis Dan
Konsentrasi Auksin. Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Teknobiologi
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Latip, M. A., R. Murdad., Z. Aziz and L. H. Ting. 2010. Effects of N6 Benzyladenine and
Thidiazuron on proliferation of Phalaenopsis gigantea protocorm. J. Mol. Biol.
Biotechnology. 18(1): 217-220.
Lestari, E. G. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui
kultur jaringan. Jurnal Agro-Biogen. 7(1): 63-68.
Mahadi, I. 2016. Propagasi in vitro anggrek Dendrobium phalaenopsis Fitzg terhadap
pemberian hormon IBA dan Kinetin. Jurnal Agroteknologi. 7(1): 15-18.
Meilani, S. N., S. D. Anitasari dan F. Zuhro. 2017. Efektifitas penambahan media organik
ekstrak ubi jalar (Ipomoea batatas L.) pada pertumbuhan subkultur anggrek Cattleya
sp. Jurnal Florea. 4(1): 5-11.
Merthaningsih, N. P., H. Yuswanti dan A. A. M. Astiningsih. 2018. Induksi kalus pada
kultur pollen Phalaenopsis dengan menggunakan asam 2,4-diklorofenoksiasetat.
Jurnal Agrotrop. 8(1): 47-55.
Murthy, H. N. and A. N. Pyati. 2001. Micropropagation of Aerides maculosum Lindl
(Orchidaceae). In Vitro Cellular and Developmental Biology Plant. 37(4): 223-226.
Nisa, C. dan Rodinah. 2005. Kultur jaringan beberapa kultivar buah pisang (Musa
paradisiaca L.) dengan pemberian campuran NAA dan kinetin. Jurnal Bioscientiae.
2(2): 23-36.

Oratmangun, K. M., D. Pandiangana dan F. E. Kandou. 2017. Deskripsi jenis-jenis


kontaminan dari kultur kalus Catharanthus roseus (L.) G. Don. Jurnal Mipa Unsrat.
6(1): 47-52.
Palupi, A. D., Solichatun dan S. D. Marliana. 2004. Pengaruh asam 2,4-
diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan benziladenin (BA) terhadap kandungan minyak
atsiri kalus daun nilam (Pogostemon cablin Benth.). BioSMART. 6(2): 99-103.
28

Pirttila, A. M., O. Podolich., J. J. Koskimaki, E. Hohtola dan A. Hohtola. 2008. Role of


origin and endophyte infection in browning of bud-derived tissue cultures of Scots
pine (Pinus sylvestris L.). Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 95: 47-55.
Putri, H. A. 2015. Pengaruh komposisi media dasar dan kitosan terhadap pertumbuhan
protocorm like bodies (PLBs) dan planlet anggrek Phalaenopsis hibrida. Skripsi.
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Riva, S. S., A. Islam and M. E. Hoque. 2016. In vitro regeneration and rapid multiplication
of Dendrobium bensoniae, an indigenous ornamental orchid. A Scientific Journal of
Krishi Foundation. 14(2): 24-31.
Romeida, A., D. W. Ganefianti and Rustikawati. 2016. Embryonic callus induction of
Pencil Orchid (Papilionanthe hookeriana Rchb.f.) through in vitro culture.
International Journal on Advanced Science Engineering Information Technology.
6(2): 196-200.
Rupawan, I. M., Z. Basri dan M. Bustami. 2014. Pertumbuhan anggrek vanda (Vanda Sp.)
pada berbagai komposisi media secara in vitro. Jurnal Agrotekbis. 2(5): 488-494.
Salisbury, F. B., C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Diah R. Lukman,
Penerjemah. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Terjemahan dari Plant
Physiology.
Santosa, U. dan F. Nursandi. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah
Malang Press, Malang.
Sarmah, D., S. Kolukunde., M. Sutradhar., B. K. Singh., T. Mandal and N. Mandal. 2017.
Review: In vitro cloning of orchids. International Journal of Current Microbiology
and Applied Sciences. 6(9): 1909-1927.
Sheelavanthmath, S. S., Hema and N. M. Hosakatte. 2005. High frequency of protocorm
like bodies (PLBs) induction and plant regeneration from protocorm and leaf sections
of Aerides crispum. Scientia Horticulturae. 106(3): 395-401.
Shofiyani, A. dan N, Damajanti. 2015. Pengembangan metode sterilisasi pada berbagai
eksplan guna meningkatkan keberhasilkan kultur kalus kencur (Kaemferia galangal
L.). Jurnal Agritech. 17(1): 55-64.
Sitinjak, M. A., M. N. Isda., S. Fatonah. Induksi kalus dari eksplan daun in vitro keladi
tikus (Typhonium sp.) dengan perlakuan 2,4-D dan kinetin. Jurnal Biologi. 8(1): 32.
Susanto, D. A. 2018. Kenal epifit cantik. Dalam R. N. Apriyanti (penulis). Agar
Dendrobium Rajin Berbunga. PT. Trubus Swadaya, Jakarta. Hal: 6-7.
Susilowati, A. dan S. Listyawati. 2001. Keanekaragaman jenis mikroorganisme sumber
kontaminasi kultur in vitro di Sub-Lab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS.
Biodiversitas. 2(1): 110-114.
Tuhuteru, S., M. L. Hehanussa., S. H. T. Raharjo. 2012. Pertumbuhan dan Perkembangan
Anggrek Dendrobium anosmum pada Media Kultur In Vitro dengan Penambahan
29

Beberapa Konsentrasi Air Kelapa. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas


Pertanian, Universitas Pattimura, Ambon.
Waluyo, L. 2004. Mikrobiologi Umum. UMM press, Malang.
Wati, T., I. A. Astarini., M. Pharmawati and E. Hendriyani. 2020. Propagation of Begonia
bimaensis undaharta dan ardaka using tissue culture technique. Journal of Biological
Sciences. 7(1): 112-122.
Widayanti, A. I., R. Dwiyani dan H. Yuswanti. 2015. Pengaruh kombinasi naphthalene
acetic acid (NAA) -benzyl amino purine (BAP) dan jenis eksplan pada
mikropropagasi anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis. Jurnal Agrotrop. 4(1): 13-
18.
Yasmin, Z. F., S. I. Aisyah dan D. Sukma. 2018. Pembibitan (kultur jaringan hingga
pembesaran) anggrek Phalaenopsis di Hasanudin Orchids, Jawa Timur. Buletin
Agrohorti. 6(3):430-439.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Yusnita. 2010. Perbanyakan In Vitro Tanaman Anggrek. Penerbit Universitas Lampung,
Bandar Lampung.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya.
Bumi Aksara.

LAMPIRAN
30

Lampiran 1. Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan Larutan Stok

Sterilisasi Alat

Pembuatan Media

Sterilisasi Ruang Tanam

Isolasi dan Penanaman

Pemeliharaan

Metode Penelitian

Lampiran 2. Bagan Penelitian

A4B3 (III) A1B1 (V) A3B3 (II) A4B0 (IV) A3B1 (I)
31

A1B2 (I) A4B1 (II) A3B0 (IV) A2B0 (V) A4B0 (III)

A1B3 (IV) A3B0 (I) A4B2 (III) A3B3 (V) A4B0 (II)

A4B3 (IV) A1B2 (III) A4B1 (I) A1B1 (II) A4B3 (V)

A3B2 (II) A1B3 (V) A4B2 (I) A2B0 (IV) A3B0 (III)

A2B1 (III) A3B2 (I) A1B1 (IV) A1B0 (V) A2B2 (II)

A1B0 (I) A1B1 (III) A1B0 (IV) A3B0 (II) A4B0 (V)

A3B3 (IV) A2B3 (II) A4B3 (I) A3B1 (III) A2B1 (V)

A3B1 (IV) A2B2 (I) A4B3 (II) A1B2 (V) A2B0 (III)

A3B2 (IV) A1B0 (III) A1B3 (I) A1B2 (II) A4B2 (V)

A3B3 (I) A4B1 (III) A1B3 (II) A2B2 (IV) A4B1 (V)

A2B3 (V) A2B1 (II) A1B1 (I) A2B3 (IV) A3B2 (III)

A4B2 (II) A1B2 (IV) A2B1 (I) A3B3 (III) A3B0 (V)

A1B3 (III) A3B1 (V) A4B2 (IV) A4B0 (I) A1B0 (II)

A3B1 (II) A2B2 (III) A2B2 (V) A2B1 (IV) A2B3 (I)

A4B1 (IV) A2B0 (II) A2B0 (I) A2B3 (III) A3B2 (V)

Keterangan:

A: Umur Eksplan Daun B: Konsentrasi 2,4-D


(1): 5 bulan (0): Kontrol
(2): 6 bulan (1): 0,50 ml L-1
(3): 7 bulan (2) : 0,75 ml L-1
(4): 8 bulan (3): 1 ml L-1

Anda mungkin juga menyukai