Organisasi Kurikulum
Subject matter We can view the various types of curriculum
versus student organization in American schools from two
needs perspectives. One emphasizes the subject to be
taught; the other emphasizes the student
Curriculum The first perspective views curriculum as a
blends body of content, or subject matter, that leads
to certain achievement outcomes or products.
The second defines curriculum in terms of
student needs and attitudes; it is most
concerned with process—in other words, how
the student learns and the classroom or school
climate. Few schools employ pure subject-
centered (cognitive) or pure studentcentered
(psychological) approaches in the teaching–
learning process. You will find that even
though most teachers tend to emphasize one
approach over the other, they incorporate
both choices in the classroom.
Organization by Subject matter is both the oldest and most
subjects contemporary framework of curriculum
organization. It is also the most common—
primarily because it is convenient, as you can
tell from the departmental structure of
secondary schools and colleges. Even in
elementary schools, where self-contained
classrooms force the teachers to be
generalists, curricula are usually organized by
subjects
Arguments pro Proponents of subject-centered curricula argue
and con that subjects present a logical basis for
organizing and interpreting learning, that
teachers are trained as subject matter
specialists, and that textbooks and other
teaching materials are usually organized by
subject. Critics claim that subject-centered
curricula often are a mass of facts and concepts
learned in isolation. They see this kind of
curriculum as deemphasizing life experiences
and failing to consider the needs and interests
of students. In subject-centered curricula, the
critics argue, the teacher dominates the lesson,
allowing little student input. The following
sections discuss several variations of subject-
Kita dapat melihat berbagai jenis organisasi
kurikulum di sekolah-sekolah Amerika dari:
dua perspektif. Satu menekankan subjek yang
akan diajarkan; yang lain menekankan
siswa
Perspektif pertama memandang kurikulum
sebagai badan isi, atau mata pelajaran
materi, yang mengarah pada hasil atau produk
pencapaian tertentu. Yang kedua
mendefinisikan
kurikulum dalam hal kebutuhan dan sikap
siswa; itu paling peduli dengan
proses—dengan kata lain, bagaimana siswa
belajar dan kelas atau sekolah
iklim. Beberapa sekolah menggunakan
pendekatan murni yang berpusat pada subjek
(kognitif) atau murni yang berpusat pada siswa
(psikologis) dalam proses belajar-mengajar.
Anda akan menemukan
bahwa meskipun sebagian besar guru
cenderung menekankan satu pendekatan di
atas yang lain,
mereka menggabungkan kedua pilihan di
dalam kelas.
Materi pelajaran adalah kerangka kurikulum
tertua dan paling kontemporer
organisasi. Ini juga yang paling umum—
terutama karena nyaman, karena
Anda dapat mengetahuinya dari struktur
departemen sekolah menengah dan perguruan
tinggi.
Bahkan di sekolah dasar, di mana ruang kelas
mandiri memaksa guru untuk
menjadi generalis, kurikulum biasanya diatur
oleh mata pelajaran
Pendukung kurikulum yang berpusat pada
mata pelajaran berpendapat bahwa mata
pelajaran menyajikan logika yang logis
dasar untuk mengatur dan menafsirkan
pembelajaran, bahwa guru dilatih sebagai mata
pelajaran
spesialis materi, dan bahwa buku teks dan
bahan ajar lainnya biasanya disusun
berdasarkan mata pelajaran. Kritikus
mengklaim bahwa kurikulum yang berpusat
pada subjek sering kali merupakan kumpulan
dari
fakta dan konsep yang dipelajari secara
terpisah. Mereka melihat kurikulum semacam
ini sebagai pentahapan pengalaman hidup dan
 centered approaches to curricula, such as the
subject-area approach, back-to-basics, and the
core curriculum. These represent neither the
only possible variations nor hard-and-fast
categories. Many schools and teachers mix
these approaches, drawing from more than
one of them.
Drawing on the Subject-Area Approach to Curriculum The
classical subject-area approach is the most widely
tradition used form of curriculum organization. This
long-standing approach has its roots in
the seven liberal arts of classical Greece and
Rome: grammar, rhetoric, dialectic,
arithmetic, geometry, astronomy, and music.
Modern subject-area curricula trace
their origins to the work of William Harris,
superintendent of the St. Louis school
system in the 1870s. Steeped in the classical
tradition, Harris established a subject
orientation that has virtually dominated U.S.
curricula from his day to the present.
For example, consider Table 14.1, which shows
the recommendations of the Committee of
Fifteen in 1895. Although the committee’s
proposal is more than a century
old, the subject categories are quite
recognizable. As a student, you were most
likely
introduced to “algebra” and “English
grammar,” “reading” and “writing,” as well as
“geography” and “history.”
Categories of The modern subject-area curriculum treats
subjects each subject as a specialized and largely
autonomous body of knowledge. Subjects
referred to as the “basics” are considered
essential for all students; these usually include
the three Rs at the elementary level and
English, history, science, and mathematics at
the secondary level. Other specialized subjects
develop knowledge and skills for particular
vocations or professions—for example,
business mathematics and physics. Finally,
elective content affords the student optional
gagal mempertimbangkan kebutuhan dan
minat siswa. Dalam kurikulum yang berpusat
pada mata pelajaran, para kritikus
berpendapat, guru mendominasi
pelajaran, memungkinkan sedikit masukan
siswa.
Bagian berikut membahas beberapa variasi
pendekatan yang berpusat pada subjek:
ke kurikulum, seperti pendekatan area subjek,
kembali ke dasar, dan kurikulum inti. Ini tidak
mewakili satu-satunya variasi yang mungkin
atau kategori keras dan cepat. Banyak sekolah
dan guru menggabungkan pendekatan ini,
mengambil dari lebih dari
salah satu diantara mereka.
Pendekatan Subjek-Area untuk Kurikulum
Pendekatan subjek-area adalah yang paling
luas
bentuk organisasi kurikulum yang digunakan.
Pendekatan lama ini berakar pada
tujuh seni liberal Yunani klasik dan Roma: tata
bahasa, retorika, dialektika,
aritmatika, geometri, astronomi, dan musik.
Jejak kurikulum area subjek modern
asal-usul mereka dari karya William Harris,
pengawas sekolah St. Louis
sistem pada tahun 1870-an. Tenggelam dalam
tradisi klasik, Harris menetapkan subjek
orientasi yang hampir mendominasi kurikulum
AS dari zamannya hingga saat ini.
Sebagai contoh, perhatikan Tabel 14.1, yang
menunjukkan rekomendasi Komite Lima Belas
pada tahun 1895. Meskipun proposal komite
lebih dari satu abad
tua, kategori subjek cukup dikenali. Sebagai
seorang siswa, kemungkinan besar Anda
diperkenalkan pada "aljabar" dan "tata bahasa
Inggris", "membaca" dan "menulis", serta
"geografi" dan "sejarah".
Kurikulum mata pelajaran modern
memperlakukan setiap mata pelajaran sebagai
badan pengetahuan yang khusus dan sebagian
besar otonom. Mata pelajaran yang disebut
sebagai “dasar” dianggap penting untuk semua
siswa; ini biasanya mencakup tiga Rs di tingkat
dasar dan bahasa Inggris, sejarah, sains, dan
matematika di tingkat menengah. Mata
pelajaran khusus lainnya mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan untuk
panggilan atau profesi tertentu—misalnya,
matematika bisnis dan fisika. Akhirnya, konten
 offerings, often tailored to student interests
and needs
Exploratory A newer term, exploratory subjects, refers to
subjects subjects that students may choose from a list
of courses designed to suit a wide range of
learning styles, needs, and interests. These
courses, which can include such subjects as
study skills, computer science, creative writing,
and drama, allow the school to diversify its
offerings. They appear most often in middle
school and late elementary-school curricula.2
Schools that include exploratory subjects in the
curriculum tend to be more progressive in
outlook than schools that still favor the
traditional core academic subjects.
Perennialism: Perennialist and Essentialist Approaches to
the best of the Curriculum Two of the educational theories
past described in the chapter on Philosophical Roots
of Education are fundamentally subject
centered: perennialism and essentialism.3
Believing that the main purpose of education is
the cultivation of the intellect and of certain
timeless values concerning work, morality, and
family living, the perennialists concentrate
their curriculum on the three Rs, Latin, and
logic at the elementary level, adding study of
the classics at the secondary level. The
assumption of the perennialist approach to
curriculum, according to Robert Hutchins, is
that the best of the past—the so-called
permanent studies, or classics—remains
equally valid for the present.
Essentialism: Essentialists believe that the elementary
major curriculum should consist of the three Rs, and
disciplines, the high-school curriculum of five or six major
cultural literacy disciplines: English (grammar, literature, and
writing), mathematics, the sciences, history,
foreign languages, and geography.5 Adherents
of the essentialist approach to curriculum
believe these subject areas constitute the best
way of systematizing and keeping up with
today’s explosion of knowledge. They argue
that mere “basic” skills provide insufficient
preparation for life. Students need an
academic knowledge base—what they call
“cultural literacy” or “essential knowledge”—
to deal with new ideas and challenges.
pilihan memberikan penawaran opsional
kepada siswa, sering kali disesuaikan dengan
minat dan kebutuhan siswa
Istilah yang lebih baru, mata pelajaran
eksplorasi, mengacu pada mata pelajaran yang
siswa dapat memilih dari daftar kursus yang
dirancang untuk memenuhi berbagai gaya
belajar, kebutuhan, dan minat. Kursus-kursus
ini, yang dapat mencakup mata pelajaran
seperti keterampilan belajar, ilmu komputer,
penulisan kreatif, dan drama, memungkinkan
sekolah untuk mendiversifikasi penawarannya.
Mereka paling sering muncul di kurikulum
sekolah menengah pertama dan sekolah dasar
akhir.2 Sekolah yang memasukkan mata
pelajaran eksploratif dalam kurikulum
cenderung lebih progresif dalam pandangan
daripada sekolah yang masih menyukai mata
pelajaran akademik inti tradisional.
Pendekatan Perenialisme dan Esensialis
terhadap Kurikulum Dua dari teori pendidikan
yang dijelaskan dalam bab tentang Akar
Filosofis Pendidikan pada dasarnya berpusat
pada subjek: perenialisme dan esensialisme.3
Percaya bahwa tujuan utama pendidikan
adalah penanaman intelek dan nilai-nilai abadi
tertentu mengenai pekerjaan , moralitas, dan
kehidupan keluarga, para perenialis
memusatkan kurikulum mereka pada tiga Rs,
Latin, dan logika di tingkat dasar,
menambahkan studi klasik di tingkat
menengah. Asumsi pendekatan perenialisme
terhadap kurikulum, menurut Robert Hutchins,
adalah bahwa yang terbaik dari masa lalu —
yang disebut studi permanen, atau klasik —
tetap sama validnya untuk saat ini.
Esensialis percaya bahwa kurikulum dasar
harus terdiri dari tiga Rs, dan kurikulum
sekolah menengah atas lima atau enam disiplin
utama: bahasa Inggris (tata bahasa, sastra, dan
menulis), matematika, sains, sejarah, bahasa
asing, dan geografi.5 Penganut pendekatan
esensialis untuk kurikulum percaya bahwa
bidang studi ini merupakan cara terbaik untuk
mensistematisasikan dan mengikuti ledakan
pengetahuan saat ini. Mereka berargumen
bahwa keterampilan "dasar" belaka tidak
memberikan persiapan yang cukup untuk
hidup. Siswa membutuhkan basis pengetahuan
akademis—apa yang mereka sebut “literasi
budaya” atau “pengetahuan esensial”—untuk

Standards & Assessment
Rigorous Essentialism shares with perennialism the
intellectual notion that the curriculum should focus on
training and rigorous intellectual training, training possible
grading only through the study of certain subjects.
Both perennialists and essentialists advocate
educational meritocracy. They favor high
academic standards and a rigorous system of
grading and testing to help schools sort
students by ability. Today, many parochial
schools and academically oriented public
schools stress various aspects of the
perennialist and essentialist curricula.
Public opinion Back-to-Basics Approach to Curriculum In
favoring recent years many educators and laypeople
“basics” have called for a back-to-basics curriculum
Stress on solid Like the essentialist curriculum approach,
subjects “back-to-basics” connotes a heavy emphasis on
reading, writing, and mathematics. So-called
solid subjects—English, history, science, and
mathematics— are required in all grades, and
the back-to-basics proponents are even more
suspicious than the essentialists of attempts to
expand the curriculum beyond this solid
foundation. Critics of this approach worry that
a focus on basics will suppress students’
creativity and shortchange other domains of
learning, encouraging conformity and
dependence on authority.
Standards and Back-to-basics proponents insist on the need
testing to maintain minimum standards, and much of
the state school reform legislation passed in
recent years reflects this popular position. The
push for national tests in major subject areas
and annual assessment of student progress in
reading and math required by federal No Child
Left Behind legislation further emphasize the
importance of mastery of basic subjects. In
most states, standardized tests serve a
“gatekeeping” function at selected points on
the educational ladder. Forty-nine states also
require students to pass a statewide exit test
before receiving a high-school diploma.9 For
more on state competency tests, see the
Taking Issue box
menghadapi ide dan tantangan baru.
Esensialisme berbagi dengan perenialisme
gagasan bahwa kurikulum harus fokus pada
pelatihan intelektual yang ketat, pelatihan
hanya mungkin melalui studi mata pelajaran
tertentu. Baik perenialis dan esensialis
menganjurkan meritokrasi pendidikan. Mereka
menyukai standar akademik yang tinggi dan
sistem penilaian dan pengujian yang ketat
untuk membantu sekolah menyortir siswa
berdasarkan kemampuan. Saat ini, banyak
sekolah paroki dan sekolah umum yang
berorientasi akademis menekankan berbagai
aspek kurikulum perenialis dan esensialis.
Pendekatan Kurikulum Kembali ke Dasar Dalam
beberapa tahun terakhir banyak pendidik dan
orang awam telah menyerukan kurikulum
kembali ke dasar.
Seperti pendekatan kurikulum esensialis,
"kembali ke dasar" berkonotasi penekanan
berat pada membaca, menulis, dan
matematika. Apa yang disebut mata pelajaran
padat—Bahasa Inggris, sejarah, sains, dan
matematika—diperlukan di semua kelas, dan
pendukung back-to-basics bahkan lebih curiga
daripada upaya esensialis untuk memperluas
kurikulum di luar fondasi yang kokoh ini. Kritik
terhadap pendekatan ini khawatir bahwa fokus
pada dasar-dasar akan menekan kreativitas
siswa dan memperpendek domain
pembelajaran lainnya, mendorong konformitas
dan ketergantungan pada otoritas.
Pendukung kembali ke dasar bersikeras pada
kebutuhan untuk mempertahankan standar
minimum, dan banyak dari undang-undang
reformasi sekolah negeri yang disahkan dalam
beberapa tahun terakhir mencerminkan posisi
populer ini. Dorongan untuk ujian nasional di
bidang mata pelajaran utama dan penilaian
tahunan kemajuan siswa dalam membaca dan
matematika yang disyaratkan oleh undang-
undang Federal No Child Left Behind lebih
menekankan pentingnya penguasaan mata
pelajaran dasar. Di sebagian besar negara
bagian, tes standar melayani fungsi "penjaga
gerbang" pada titik-titik tertentu di tangga
pendidikan. Empat puluh sembilan negara
bagian juga mewajibkan siswa untuk lulus tes
keluar di seluruh negara bagian sebelum
menerima ijazah sekolah menengah.9 Untuk

The first core Core Approach to Curriculum The importance
curriculum of basic subjects in the curriculum is also
expressed by the term core curriculum.
Unfortunately, in the post–World War II era,
this term has been used to describe two
different approaches to organizing curricula.
The first approach, which we will call core
curriculum, originated in the 1940s and 1950s
and is popular again today, especially in middle
schools. In this approach, students study two
closely related subjects taught by the same
instructor (for example, math and science, or
English and social studies). The teacher
organizes instructional units in an
interdisciplinary manner, showing how diverse
subjects relate to one another.10 This
approach, sometimes called block scheduling
(a block of time for math and a block for
science), is tied to a progressive theory of
education.
The new core The second approach, in contrast, was born
curriculum out of the 1980s educational reform
movement and reflects the more conservative
theory of essentialism. In this version, which
we will call the new core curriculum (core
subjects approach), students experience a
common body of required subjects—subjects
that advocates consider central to the
education of all students.11 Mortimer Adler is
best known for popularizing this new core
curriculum idea at the elementary-school level.
Ernest Boyer, John Goodlad, and Theodore
Sizer are best known for their similar influence
on high schools.
■ Expanding the Both Boyer and Sizer emphasize the
core units humanities, communication and language
skills, science, math, and technology. Boyer
believes that the core units required for
graduation should be expanded from one-half
of the total curriculum (now the norm) to
about two-thirds. Goodlad would like to see
about 80 percent of the curriculum devoted to
core courses, with only 20 percent reserved for
the development of individual talents and
interests
Stiffer The proponents of a new core curriculum have
informasi lebih lanjut tentang tes kompetensi
negara bagian, lihat kotak Mengambil Masalah
Pendekatan Inti terhadap Kurikulum
Pentingnya mata pelajaran dasar dalam
kurikulum juga diungkapkan dengan istilah
kurikulum inti. Sayangnya, di era pasca-Perang
Dunia II, istilah ini telah digunakan untuk
menggambarkan dua pendekatan yang
berbeda untuk mengatur kurikulum.
Pendekatan pertama, yang akan kita sebut
kurikulum inti, berasal dari tahun 1940-an dan
1950-an dan populer lagi saat ini, terutama di
sekolah menengah. Dalam pendekatan ini,
siswa mempelajari dua mata pelajaran terkait
erat yang diajarkan oleh instruktur yang sama
(misalnya, matematika dan sains, atau bahasa
Inggris dan studi sosial). Guru mengatur unit
instruksional secara interdisipliner,
menunjukkan bagaimana beragam mata
pelajaran berhubungan satu sama lain.10
Pendekatan ini, kadang-kadang disebut
penjadwalan blok (blok waktu untuk
matematika dan blok untuk sains), terkait
dengan teori pendidikan progresif.
Pendekatan kedua, sebaliknya, lahir dari
gerakan reformasi pendidikan 1980-an dan
mencerminkan teori esensialisme yang lebih
konservatif. Dalam versi ini, yang akan kami
sebut sebagai kurikulum inti baru (pendekatan
mata pelajaran inti), siswa mengalami
kumpulan mata pelajaran wajib yang
diperlukan—mata pelajaran yang dianggap
penting oleh para pendukung pendidikan
semua siswa.11 Mortimer Adler terkenal
karena mempopulerkan inti baru ini gagasan
kurikulum di tingkat sekolah dasar. Ernest
Boyer, John Goodlad, dan Theodore Sizer
terkenal karena pengaruh mereka yang serupa
di sekolah menengah.
Baik Boyer dan Sizer menekankan humaniora,
keterampilan komunikasi dan bahasa, sains,
matematika, dan teknologi. Boyer percaya
bahwa unit inti yang diperlukan untuk
kelulusan harus diperluas dari setengah dari
total kurikulum (sekarang norma) menjadi
sekitar dua pertiga. Goodlad ingin melihat
sekitar 80 persen kurikulum dikhususkan untuk
mata kuliah inti, dengan hanya 20 persen
diperuntukkan bagi pengembangan bakat dan
minat individu.
Para pendukung kurikulum inti baru telah
requirements helped make subject-matter requirement
changes in districts nationwide that you may
have noticed as a student.14 Those changes
are summarized in Figure 14.1. In the decades
after 1982, the percentage of high-school
graduates who completed a basic curriculum in
core subjects increased from 14 percent to
more than 44 percent
Critiques of new The new core curriculum approach has drawn
core curriculum criticisms similar to those aimed at the back-to-
basics curriculum. It may be argued that the
new core curriculum turns the clock back to
1900, when subject-matter emphasis and
academic rigor were the order of the day.
These days, more students are college bound,
and for them the academic core courses may
be appropriate; yet increasing numbers of
students are graduating from our schools as
functional illiterates. To have value for all
students, a core curriculum should take into
account diverse populations of students, their
individual differences, and their career/job
preferences.
Emphasizing In direct contrast to subject-centered curricula,
student needs student-centered curricula of various types
emphasize student interests and needs,
including the affective aspects of learning. At
its extreme, the student-centered approach is
rooted in the philosophy of Jean Jacques
Rousseau, who encouraged childhood self-
expression. Implicit in Rousseau’s philosophy is
the necessity of leaving the children to their
own devices, allowing them the creativity and
freedom essential for growth.
Influence of Progressive education gave impetus to
progressivism student-centered curricula. Progressive
educators believed that when the interests and
needs of learners were incorporated into the
curriculum, students would be intrinsically
motivated and learning would be more
successful. This does not mean that students’
whims or passing fads should dictate the
curriculum. However, one criticism of student-
centered curricula is that they sometimes
overlook important cognitive content.
membantu membuat perubahan persyaratan
materi pelajaran di kabupaten-kabupaten
nasional yang mungkin telah Anda perhatikan
sebagai siswa.14 Perubahan tersebut
dirangkum dalam Gambar 14.1. Dalam
beberapa dekade setelah tahun 1982,
persentase lulusan sekolah menengah atas
yang menyelesaikan kurikulum dasar dalam
mata pelajaran inti meningkat dari 14 persen
menjadi lebih dari 44 persen.
Pendekatan kurikulum inti yang baru telah
menuai kritik serupa dengan yang ditujukan
pada kurikulum kembali ke dasar. Dapat
dikatakan bahwa kurikulum inti yang baru
mengubah waktu kembali ke tahun 1900,
ketika penekanan materi pelajaran dan
kekakuan akademis adalah urutan hari itu.
Hari-hari ini, lebih banyak siswa terikat
perguruan tinggi, dan bagi mereka mata kuliah
inti akademik mungkin sesuai; namun semakin
banyak siswa yang lulus dari sekolah kami
sebagai buta huruf fungsional. Untuk memiliki
nilai bagi semua siswa, kurikulum inti harus
mempertimbangkan populasi siswa yang
beragam, perbedaan individu mereka, dan
preferensi karir/pekerjaan mereka.
Berbeda langsung dengan kurikulum yang
berpusat pada mata pelajaran, kurikulum yang
berpusat pada siswa dari berbagai jenis
menekankan minat dan kebutuhan siswa,
termasuk aspek afektif pembelajaran. Pada
ekstremnya, pendekatan yang berpusat pada
siswa berakar pada filosofi Jean Jacques
Rousseau, yang mendorong ekspresi diri masa
kanak-kanak. Tersirat dalam filosofi Rousseau
adalah perlunya meninggalkan anak-anak ke
perangkat mereka sendiri, memungkinkan
mereka kreativitas dan kebebasan yang
penting untuk pertumbuhan.
Pendidikan progresif memberi dorongan pada
kurikulum yang berpusat pada siswa. Pendidik
progresif percaya bahwa ketika minat dan
kebutuhan peserta didik dimasukkan ke dalam
kurikulum, siswa akan termotivasi secara
intrinsik dan pembelajaran akan lebih berhasil.
Ini tidak berarti bahwa keinginan siswa atau
mode yang lewat harus mendikte kurikulum.
Namun, satu kritik terhadap kurikulum yang
berpusat pada siswa adalah bahwa mereka
terkadang mengabaikan konten kognitif yang

Dewey’s call for John Dewey, a chief advocate of student-
balance centered curricula, attempted to establish a
curriculum that balanced subject matter with
student interests and needs. As early as 1902,
he pointed out the fallacies of either extreme.
The learner was neither “a docile recipient of
facts” nor “the starting point, the center, and
the end” of school activity.16 Dewey tried to
emphasize the need for balance. There are at
least five major approaches to organizing
student-centered curricula: activity-centered
approaches, relevant curriculum, the
humanistic approach, alternative or free
schools, and values-centered curricula.
Lifelike, Activity-Centered Approaches The movement
purposeful for an activity-centered curriculum has strongly
activities affected the public elementary schools. William
Kilpatrick, one of Dewey’s colleagues, was an
early leader. In contrast to Dewey, Kilpatrick
believed that teachers could not anticipate the
interests and needs of children, which made
any preplanned curriculum impossible. Thus he
attacked the typical school curriculum as
unrelated to the problems of real life. Instead,
he advocated purposeful activities as relevant
and lifelike as possible and tied to a student’s
needs and interests,17 such as group games,
dramatizations, story projects, field trips, social
enterprises, and interest centers. All of these
facets of the activity-centered curriculum
involved problem solving and active student
participation. They also emphasized
socialization and the formation of stronger
school–community ties. Thus, they have
relevance even today.
Constructivism The recent development of constructivist
learning theory, described in the chapter on
Philosophical Roots of Education, draws on
these and similar concepts. Constructivists
favor an activity-centered curriculum in which
students actively (mentally and physically)
interact with knowledge and each other to
construct meaning and new knowledge for
themselves.
Relevant Curriculum By the 1930s, some
penting.
John Dewey, seorang penganjur utama
kurikulum yang berpusat pada siswa, berusaha
membangun kurikulum yang menyeimbangkan
materi pelajaran dengan minat dan kebutuhan
siswa. Pada awal tahun 1902, ia menunjukkan
kekeliruan dari kedua ekstrem tersebut. Pelajar
bukanlah "penerima fakta yang patuh" atau
"titik awal, pusat, dan akhir" dari aktivitas
sekolah.16 Dewey mencoba menekankan
perlunya keseimbangan. Setidaknya ada lima
pendekatan utama untuk mengatur kurikulum
yang berpusat pada siswa: pendekatan yang
berpusat pada aktivitas, kurikulum yang
relevan, pendekatan humanistik, sekolah
alternatif atau gratis, dan kurikulum yang
berpusat pada nilai.
Pendekatan Berpusat Kegiatan Pergerakan
kurikulum yang berpusat pada kegiatan telah
sangat mempengaruhi sekolah dasar negeri.
William Kilpatrick, salah satu rekan Dewey,
adalah seorang pemimpin awal. Berbeda
dengan Dewey, Kilpatrick percaya bahwa guru
tidak dapat mengantisipasi minat dan
kebutuhan anak, yang membuat kurikulum
yang direncanakan menjadi tidak mungkin.
Dengan demikian ia menyerang kurikulum
sekolah yang khas sebagai tidak terkait dengan
masalah kehidupan nyata. Sebaliknya, ia
menganjurkan kegiatan yang memiliki tujuan
yang relevan dan senyata mungkin dan terkait
dengan kebutuhan dan minat siswa,17 seperti
permainan kelompok, dramatisasi, proyek
cerita, kunjungan lapangan, usaha sosial, dan
pusat minat. Semua aspek kurikulum yang
berpusat pada aktivitas ini melibatkan
pemecahan masalah dan partisipasi aktif siswa.
Mereka juga menekankan sosialisasi dan
pembentukan ikatan sekolah-masyarakat yang
lebih kuat. Dengan demikian, mereka memiliki
relevansi bahkan hari ini.
Perkembangan teori pembelajaran
konstruktivis baru-baru ini, yang dijelaskan
dalam bab tentang Akar Filosofis Pendidikan,
mengacu pada konsep ini dan konsep serupa.
Konstruktivis menyukai kurikulum yang
berpusat pada aktivitas di mana siswa secara
aktif (mental dan fisik) berinteraksi dengan
pengetahuan dan satu sama lain untuk
membangun makna dan pengetahuan baru
untuk diri mereka sendiri.
 reformers complained that the traditional
school curriculum had become irrelevant: it
had failed to adjust to social change and
therefore emphasized skills and knowledge not
pertinent to modern society. The 1960s and
1970s saw a renewed concern for a relevant
curriculum, but with a somewhat different
emphasis. Critics expressed less concern that
the curriculum reflect changing social
conditions and more concern that the
curriculum be relevant to the students’
personal needs and interests.
Requirements Proponents of this approach today suggest that
for a relevant educators (1) individualize instruction through
curriculum such teaching methods as independent inquiry
and special projects; (2) revise existing courses
and develop new courses on such topics of
student concern as environmental protection,
drug addiction, urban problems, and cultural
pluralism; (3) provide educational alternatives
(such as electives, minicourses, and open
classrooms) that allow more freedom of
choice; and (4) extend the curriculum beyond
the school’s walls, through such means as
distance learning (described in more detail
later in this chapter) and field trips.
Psychological Humanistic Approach to Curriculum A
foundation humanistic approach to curriculum emphasizes
affective, attitudinal or emotional, in addition
to cognitive outcome.
Higher domains Such a curriculum draws heavily on the work of
of psychologists Abraham Maslow and Carl
consciousness Rogers.20 Advocates of humanistic education
contend that the present school curriculum has
failed miserably, that teachers and schools are
determined to stress cognitive behaviors and
to control students not for students’ good but
for the good of adults. Humanists emphasize
more than affective processes; they seek
higher domains of spirit, consciousness,
aesthetics, and morality.21 They stress more
meaningful relationships between students
and teachers; student independence and self-
direction; and greater acceptance of self and
others. Your role in teaching from a humanist
Kurikulum yang Relevan Pada tahun 1930-an,
beberapa reformis mengeluh bahwa kurikulum
sekolah tradisional menjadi tidak relevan:
kurikulum tersebut gagal menyesuaikan diri
dengan perubahan sosial dan oleh karena itu
menekankan keterampilan dan pengetahuan
yang tidak relevan dengan masyarakat modern.
Tahun 1960-an dan 1970-an melihat perhatian
baru untuk kurikulum yang relevan, tetapi
dengan penekanan yang agak berbeda. Kritikus
menyatakan kurang perhatian bahwa
kurikulum mencerminkan perubahan kondisi
sosial dan lebih memperhatikan bahwa
kurikulum relevan dengan kebutuhan dan
minat pribadi siswa.
Pendukung pendekatan ini hari ini
menyarankan bahwa pendidik (1)
individualisasi instruksi melalui metode
pengajaran seperti penyelidikan independen
dan proyek khusus; (2) merevisi kursus yang
ada dan mengembangkan kursus baru tentang
topik-topik yang menjadi perhatian siswa
seperti perlindungan lingkungan, kecanduan
narkoba, masalah perkotaan, dan pluralisme
budaya; (3) memberikan alternatif pendidikan
(seperti pilihan, kursus mini, dan ruang kelas
terbuka) yang memungkinkan lebih banyak
kebebasan memilih; dan (4) memperluas
kurikulum di luar tembok sekolah, melalui cara-
cara seperti pembelajaran jarak jauh
(dijelaskan lebih rinci nanti dalam bab ini) dan
kunjungan lapangan.
Pendekatan Humanistik untuk Kurikulum
Pendekatan humanistik terhadap kurikulum
menekankan afektif, sikap atau emosional, di
samping hasil kognitif.
Kurikulum semacam itu sangat bergantung
pada karya psikolog Abraham Maslow dan Carl
Rogers.20 Pendukung pendidikan humanistik
berpendapat bahwa kurikulum sekolah saat ini
telah gagal total, bahwa guru dan sekolah
bertekad untuk menekankan perilaku kognitif
dan untuk mengontrol siswa bukan untuk
kebaikan siswa. tapi untuk kebaikan orang
dewasa. Humanis menekankan lebih dari
proses afektif; mereka mencari domain yang
lebih tinggi dari semangat, kesadaran, estetika,
dan moralitas.21 Mereka menekankan
hubungan yang lebih bermakna antara siswa
dan guru; kemandirian dan pengarahan diri
siswa; dan penerimaan yang lebih besar
 approach would be to help learners cope with
their psychological needs and problems and to
facilitate self-understanding among students.
Freedom for Alternative or Free Schools Programs Today,
students you are likely to find student-centered
curriculum programs in alternative or free
schools, often private or experimental
institutions, some organized by parents and
teachers dissatisfied with the public schools.
These schools typically feature much student
freedom, noisy classrooms, and a learning
environment, often unstructured, where
students are free to explore their interests.
Most are considered radical and
antiestablishment, even though many of their
ideas are rooted in the well-known student-
centered doctrines of progressivism.
Controversy Paul Freire, Henry Giroux, Ivan Illich, Herbert
about free Kohl, and Jonathan Kozol have stressed the
schools need for, and in many cases have established,
student-centered alternative or free schools.22
Critics, however, condemn these schools as
places where little cognitive learning takes
place and that provide little discipline and
order. Proponents counter that children do
learn in student-centered alternative schools,
which—instead of stressing conformity—are
made to fit the students.
Public A second type of alternative school is that
alternative which public-school systems run for students
schools who experience persistent discipline problems
(and who often also have learning problems).
Restructuring These schools start from the premise that
schools must change to provide a more flexible
approach to learning. They generally stress
greater collaboration among staff members
and between staff and students in terms of
both curriculum and instructional methods.
Many schools that have developed highly
creative approaches are among the best
examples of restructured schools in the
country—that is, schools reorganized around
improved student achievement, effective
teaching, and improved school organization.23
terhadap diri sendiri dan orang lain. Peran
Anda dalam mengajar dari pendekatan
humanis adalah untuk membantu pelajar
mengatasi kebutuhan dan masalah psikologis
mereka dan untuk memfasilitasi pemahaman
diri di antara siswa.
Program Sekolah Alternatif atau Gratis Saat ini,
Anda mungkin menemukan program kurikulum
yang berpusat pada siswa di sekolah alternatif
atau sekolah gratis, seringkali lembaga swasta
atau eksperimental, beberapa diorganisir oleh
orang tua dan guru yang tidak puas dengan
sekolah umum. Sekolah-sekolah ini biasanya
menampilkan banyak kebebasan siswa, ruang
kelas yang bising, dan lingkungan belajar,
seringkali tidak terstruktur, di mana siswa
bebas untuk mengeksplorasi minat mereka.
Sebagian besar dianggap radikal dan anti
kemapanan, meskipun banyak dari ide-ide
mereka berakar pada doktrin progresivisme
yang berpusat pada siswa yang terkenal.
Paul Freire, Henry Giroux, Ivan Illich, Herbert
Kohl, dan Jonathan Kozol telah menekankan
perlunya, dan dalam banyak kasus telah
mendirikan, alternatif yang berpusat pada
siswa atau sekolah gratis.22 Namun, para
kritikus mengutuk sekolah-sekolah ini sebagai
tempat di mana sedikit pembelajaran kognitif.
berlangsung dan yang memberikan sedikit
disiplin dan ketertiban. Para pendukung
menentang bahwa anak-anak belajar di sekolah
alternatif yang berpusat pada siswa, yang—
alih-alih menekankan kesesuaian—dibuat agar
sesuai dengan siswa.
Jenis sekolah alternatif kedua adalah sistem
sekolah umum yang dijalankan untuk siswa
yang mengalami masalah disiplin terus-
menerus (dan yang sering juga memiliki
masalah belajar).
These schools start from the premise that
schools must change to provide a more flexible
approach to learning. They generally stress
greater collaboration among staff members
and between staff and students in terms of
both curriculum and instructional methods.
Many schools that have developed highly
creative approaches are among the best
examples of restructured schools in the
country—that is, schools reorganized around
improved student achievement, effective
teaching, and improved school organization.23
 (See the chapter on School Effectiveness and
Reform in the United States for further
discussion of restructuring.
Value confusion Values-Centered Curriculum A values-centered
Multiculturalism curriculum—more popularly known as
and values character education—places special emphasis
Sense of right on moral and ethical issues. For example,
and wrong advocates of multicultural education stress not
only knowledge of American society’s diverse
cultures and ethnic experiences, but also
appreciation and respect for cultures other
than one’s own. Thus, multicultural education
fits into a values-centered curriculum. Even
more fundamentally, some educators, parents,
and community members have concluded that
too many students lack a strong sense of right
and wrong. It is up to the schools, these people
argue, to teach such basic values as honesty,
responsibility, courtesy, self-discipline,
compassion, tolerance, and respect for the
rights of others.
No quick fix Kevin Ryan, director of the Center for the
Advancement of Ethics and Character, says
that the school curriculum, now increasingly
devoid of moral authority and ethical language,
has become sterile and meaningless. Ryan
warns, however, that character education
requires more than a quick-fix approach.
Educators and their communities must define
character education clearly and make it a focal
point of the school’s mission, finding a
common ground of civic values that do not
transgress upon religious and family values
What values One potential drawback to values-centered
should we curricula, like humanistic curricula, is a lack of
teach? attention to cognitive learning. Even more
important, educators and community members
rarely concur about which values to teach or
how to teach them. In such controversial areas
as sex, religion, and social justice, values
education may become a minefield. From
Preservice to Practice illustrates educators’
concerns about including values in the
curriculum.
(See the chapter on School Effectiveness and
Reform in the United States for further
discussion of restructuring.
Kurikulum Berpusat pada Nilai Kurikulum yang
berpusat pada nilai—lebih dikenal sebagai
pendidikan karakter—menempatkan
penekanan khusus pada masalah moral dan
etika. Misalnya, para pendukung pendidikan
multikultural menekankan tidak hanya
pengetahuan tentang beragam budaya dan
pengalaman etnis masyarakat Amerika, tetapi
juga penghargaan dan penghormatan terhadap
budaya selain budaya sendiri. Dengan
demikian, pendidikan multikultural cocok
dengan kurikulum yang berpusat pada nilai.
Bahkan lebih mendasar, beberapa pendidik,
orang tua, dan anggota masyarakat telah
menyimpulkan bahwa terlalu banyak siswa
tidak memiliki rasa yang kuat tentang benar
dan salah. Terserah sekolah, kata orang-orang
ini, untuk mengajarkan nilai-nilai dasar seperti
kejujuran, tanggung jawab, sopan santun,
disiplin diri, kasih sayang, toleransi, dan
menghormati hak orang lain.
Kevin Ryan, direktur Center for the
Advancement of Ethics and Character,
mengatakan bahwa kurikulum sekolah, yang
sekarang semakin tidak memiliki otoritas moral
dan bahasa etis, menjadi steril dan tidak
berarti. Ryan memperingatkan, bagaimanapun,
bahwa pendidikan karakter membutuhkan
lebih dari pendekatan cepat. Pendidik dan
masyarakatnya harus mendefinisikan
pendidikan karakter dengan jelas dan
menjadikannya sebagai titik fokus misi sekolah,
menemukan landasan bersama nilai-nilai
kewarganegaraan yang tidak melanggar nilai-
nilai agama dan keluarga.
Salah satu kelemahan potensial dari kurikulum
yang berpusat pada nilai, seperti kurikulum
humanistik, adalah kurangnya perhatian pada
pembelajaran kognitif. Lebih penting lagi, para
pendidik dan anggota masyarakat jarang
sepakat tentang nilai-nilai mana yang harus
diajarkan atau bagaimana cara mengajar
mereka. Di bidang-bidang kontroversial seperti
seks, agama, dan keadilan sosial, pendidikan
nilai dapat menjadi ladang ranjau. From
Preservice to Practice menggambarkan
kekhawatiran pendidik tentang memasukkan
nilai-nilai dalam kurikulum.
Finding a Despite these problems, many educators
consensus contend that it is possible—even with our
multicultural, multireligious population—to
establish a set of values that represent an
American consensus.26 Table 14.2, for
example, lists a “common core of values”
developed by the school system in Baltimore
County, Maryland. These values are
emphasized throughout the curriculum,
especially in social studies and English.
Although the exact definitions of concepts such
as “freedoms,” “patriotism,” and “tolerance”
may be hard to determine, many educators
believe that finding such a common core is an
urgent responsibility of American schools.
Influence of As we noted earlier, subject-centered and
school student-centered curricula represent extremes
philosophy on a continuum. You will find that most
schooling in the United States falls somewhere
between the two—keeping a tenuous balance
between subject matter and student needs,
between the cognitive and affective
dimensions of students’ development.
Decisions about what you should teach and
how your teaching curriculum is organized will
be influenced by the philosophical orientation
of your school system or school. More
traditional schools that subscribe to a
perennialist or essentialist philosophy generally
lean toward a subject-centered curriculum.
Schools oriented more toward progressive or
reconstructionist education tend to use a
student-centered approach. Overview 14.1
summarizes the various subject-centered and
student-centered approaches to curricula and
their corresponding philosophies, content
emphases, and instructional emphases. As you
begin to think seriously about in which district
and school you want to teach, consider asking
interviewers questions about curricular
organization to ensure a “fit” between your
philosophy and that of the district or school. In
the next section, we move on to the curriculum
development process and the main issues it
raises.
Standards & Limitations of textbooks
Terlepas dari masalah ini, banyak pendidik
berpendapat bahwa adalah mungkin—bahkan
dengan populasi multikultural dan multiagama
kita—untuk menetapkan seperangkat nilai
yang mewakili konsensus Amerika.26 Tabel
14.2, misalnya, mencantumkan "inti nilai
bersama" yang dikembangkan oleh sistem
sekolah di Baltimore County, Maryland. Nilai-
nilai ini ditekankan di seluruh kurikulum,
terutama dalam studi sosial dan bahasa Inggris.
Meskipun definisi yang tepat dari konsep-
konsep seperti "kebebasan," "patriotisme," dan
"toleransi" mungkin sulit untuk ditentukan,
banyak pendidik percaya bahwa menemukan
inti umum seperti itu adalah tanggung jawab
mendesak sekolah-sekolah Amerika.
Seperti yang kita catat sebelumnya, kurikulum
yang berpusat pada mata pelajaran dan yang
berpusat pada siswa mewakili ekstrem pada
sebuah kontinum. Anda akan menemukan
bahwa sebagian besar sekolah di Amerika
Serikat berada di antara keduanya—menjaga
keseimbangan yang lemah antara materi
pelajaran dan kebutuhan siswa, antara dimensi
kognitif dan afektif perkembangan siswa.
Keputusan tentang apa yang harus Anda
ajarkan dan bagaimana kurikulum pengajaran
Anda diatur akan dipengaruhi oleh orientasi
filosofis sistem sekolah atau sekolah Anda.
Lebih banyak sekolah tradisional yang
menganut filosofi perenialis atau esensialis
umumnya condong ke arah kurikulum yang
berpusat pada mata pelajaran. Sekolah yang
lebih berorientasi pada pendidikan progresif
atau rekonstruksionis cenderung menggunakan
pendekatan yang berpusat pada siswa. Ikhtisar
14.1 merangkum berbagai pendekatan yang
berpusat pada mata pelajaran dan berpusat
pada siswa terhadap kurikulum dan filosofi
yang sesuai, penekanan konten, dan
penekanan instruksional. Saat Anda mulai
berpikir serius tentang di distrik dan sekolah
mana Anda ingin mengajar, pertimbangkan
untuk mengajukan pertanyaan kepada
pewawancara tentang organisasi kurikuler
untuk memastikan "kesesuaian" antara filosofi
Anda dan filosofi distrik atau sekolah. Pada
bagian selanjutnya, kita beralih ke proses
pengembangan kurikulum dan isu-isu utama
yang diangkatnya.
Keterbatasan buku teks
Assessment Advantages of textbooks Kelebihan buku teks
Censorship trends Tren sensor
Subtle censorship Sensor halus