Anda di halaman 1dari 76

CASE REPORT STUDY

BANGSAL INTERNE
“ Hipertensi + Hiponatremia + Dispepsia + Dislipidemia”

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

DI RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. MUHAMMAD HATTA

Periode 31 Agustus – 23 Oktober 2021

Oleh:
KELOMPOK
II

CAROLINA DYAH ASTUTI, S.Farm 2030122014

HEFIZA HANITA, S.Farm 2030122027

NOVINTRIE MIA DARA, S.Farm 2030122045

QORI ANNISA AKBAR, S.Farm 2030122050

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

PERINTIS INDONESIA

PADANG

1
2021

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Pemeliharaan homeostatis cairan tubuh adalah penting bagi kelangsungan hidup semua
organisme. Pemeliharaan tekanan osmotik dan distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh
manusia adalah fungsi utama keempat elektrolit mayor, yaitu natrium (NA+), Kalium (K+),
klorida (Cl+) dan bikarbonat (HCO3). Pemeriksaan keempat elektrolit mayor tersebut dalam
klinis dikenal sebagai “profil elektrolit” (Scoot, 2006).
Kondisi Hiponatremia adalah sebuah gangguan elektrolit (gangguan pada garam dalam
darah) dimana konsentrasi natrium dalam plasma lebih rendah dari normal, khususnya di bawah
135 meq/L. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi,
iritabilitas, lemah dan henti pernapasan, sedangkan jika kadar <110 mg/L maka akan
timbulgejala kejang, koma. Antara penyebab terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik) hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space
losses, diuretika), Hipervolemia (sirosis dan nefrosis).Terapi untuk mengkoreksi hiponatremia
yang sudah berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia
akut lebihagresif (Mangku, 2010).Hiponatremia dapat diklasifikasikan berdasarkan parameter
yang berbeda, seperti, kadar natrium plasma, kecepatan terjadinya, keparahan gejala,
osmolalitas plasma, dan status volume. Pengobatan hiponatremia harus dipertimbangkan dari
kronisitasnya, keseimbangan cairan pasien, dan potensi etiologinya.
Hipertensi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik
≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada pemeriksaan yang berulang (Dipiro
ed. 9). Menurut American Heart Association atau AHA dalam Kemenkes (2018), hipertensi
merupakan silent killer dimana gejalanya sangat bermacam-macam pada setiap individu dan
hampir sama dengan penyakit lain. Gejala-gejala tersebut adalah sakit kepala atau rasa berat
ditengkuk. Vertigo, jantung berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging
dan mimisan. Data WHO tahun 2015 menunjukkan sekitar 1,13 miliar orang di dunia
menyandang hipertensi, yang berarti 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis hipertensi. Jumlah ini
akan terus meningkat setiap tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 miliar orang
yang terkena hipertensi, dan menurut perkiraan ada 10,44 juta orang akan meninggak akibat
hipertensi dan komplikasinya di setiap tahun. Hipertensi dikenal dengan the heterogeneous
group of disease dan the killer diasease (Robin et al, 2017).
Dispepsia merupakan gangguan yang kompleks, mengacu pada kumpulan gejala seperti
sensasi nyeri atau tak nyaman diperut bagian atas, terbakar, mual muntah, penuh dan kembung.
Berbagai mekanisme yang mungkin mendasari meliputi gangguan mortilitas usus,
hipersensitifitas, infeksi, ataupun faktor psikososial. Walaupun tidak fatal, gangguan ini dapat
menurunkan kualitas hidup dan menjadi beban sosial masyarakat. Secara global terdapat sekitar
15-40% penderita dispepsia. Prevalensi dispepsia di Asia 8-30%. Gaya hidup modern (makanan
berlemak, rokok, NSAID, kurang aktifitas fisik ) mungkin berkontribusi (Purnamasari, 2017).
Dislipidemia merupakan gangguan metabolisme lipid dan dikenal sebagai salah satu
faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler seperti penyakit jantung koroner, sehingga
pencegahan dan pengendalian dislipidemia penting untuk membantu mengurangi kejadian
penyakit kardiovaskular (PERKENI, 2019). Data RISKESDAS tahun 2018 menunjukkan
bahwa prevalensi dislipidemia di Indonesia ada 28,8% penduduk yang berusia ≥15 tahun
dengan kadar kolesterol total di atas 200 mg/dL di mana penduduk perkotaan lebih banyak
menderita dibanding pedesaan (RISKESDAS, 2018).
Dislipidemia umumnya tidak bergejala sehingga sering diabaikan dan tidak membawa
pasiennya untuk mengunjungi dokter, oleh karena itu deteksi secara dini sangat diperlukan
khususnya pada kelompok yang berisiko tinggi. Pemeriksaan dan evaluasi kelainan lipid plasma
masih terbatas karena kurangnya tingkat kesadaran masyarakat. Pengobatan dislipidemia
meliputi terapi farmakologis dan non farmakologis seperti menghindari konsumsi makanan
yang mengandung lemak jenuh berlebih dan diet tinggi serat (buah-buahan dan sayuran), dan
melakukan aktifitas fisik seperti olahraga secara rutin (Nanis dan Bakhtiar, 2020).

,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hiponatremia
2.1.1 Definisi Hiponatremia
Hiponatremia, didefinisikan sebagai kadar natrium plasma <135 mmol/L,
merupakan gangguan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit yang paling sering
ditemukan dalam praktik klinis.
Definisi hiponatremia berdasarkan derajat berat nilai biokimiawi.
Hiponatremia “ringan” sebagai temuan biokimia dari kadar natrium plasma antara
130 dan 135 mmol/L yang diukur dengan ion elektroda khusus. Hiponatremia
“sedang” sebagai temuan biokimia dari kadar natrium plasma antara 125 dan 129
mmol/L yang diukur dengan ion elektroda khusus. Hiponatremia “berat” sebagai
temuan biokimia dari kadar natrium plasma
Definisi hiponatremia berdasarkan waktu terjadinya. Hiponatremia “akut”
jika hiponatremia ditemukan terjadi <48 jam. Hiponatremia “kronik” jika
hiponatremia terjadi sekurang-kurangnya 48 jam. Jika hiponatremia tidak dapat
diklasifikasikan, dianggap sebagai kronik, kecuali bukti klinis maupun anamnesis
dapat ditemukan
Definisi hiponatremia berdasarkan gejala. Hiponatremia “bergejala
sedang” sebagai setiap derajat gangguan biokimia dari hiponatremia yang ditandai
dengan gejala hiponatremia yang cukup berat.hiponatremia “bergejala berat”
sebagai setiap derajat gangguan biokimia dari hiponatremia yang ditandai
dengan adanya gejala hiponatremia yang berat.

2.1.2 Epidemiologi
Hiponatremia merupakan kelainan elektrolit yang paling sering ditemukan
dengan insiden 1,5% dari semua kasus pediatrik di rumah sakit. Hiponatremia
telah diobservasi pada 42,6% pasien pada rumah sakit yang menangani kasus akut
di Singapura dan 30% pasien rawat rumah sakit pada penanganan akut di
Rotterdam. Di Britania prevalensi insufisiensi adrenal adalah 110 kasus per 1 juta
orang dari semua umur, dimana 90% lebih kasus berhubungan dengan penyakit
autoimun. Kejadian hiponatremia hampir sama pada pria dan wanita. Penyebab

5
hiponatremia dapat bermacam-macam, hipovolemik hiponatremia dapat terjadi
akibat kehilangan natrium dan cairan bebas dan diganti oleh cairan hipotonis yang
tidak sesuai.Natrium dapat hilang melalui jalur ginjal maupun non ginjal, seperti
melalui saluran cerna, keringat yang berlebihan, cairan pada ruang ketiga, dan
cerebral salt-wasting syndrome. Salt wasting syndrom dapat terjadi pada pasien
yang mengalami.
2.1.3 Etiologi
Tingkat sodium yang rendah dalam darah mengakibatkan kelebihan air atau
cairan dalam tubuh, mengencerkan jumlah yang normal dari sodium sehingga
konsentrasinya nampak rendah.Tipe hiponatremia ini dapat menjadi hasil dari
kondisi-kondisi kronis seperti gagal ginjal (ketika kelebihan cairan tidak dapat
diekskresikan secara efisien) dan gagal jantung, dimana kelebihan cairan
terakumulasi dalam tubuh. SIADH (sindrom of inappropriate anti-diuretik
hormone) adalah penyakit dimana tubuh menghasilkan terlalu banyak hormon
anti-diuretik, berakibat pada penahanan air dalam tubuh. Mengkonsumsi air yang
berlebihan, contohnya selama latihan yang berat, tanpa penggantian sodium yang
cukup, dapat juga berakibat pada hiponatremia. Hiponatremia juga terjadi ketika
sodium hilang dari tubuh atau ketika sodium dan cairan hilang dari tubuh,
contohnya selama berkeringat yang berkepanjangan dan muntah atau diare yang
parah.Kondisi-kondisi medis adakalanya dihubungkan dengan hiponatremia
hiponatremia adalah kekurangan kekurangan adrenal, adrenal, hypothyroidism
hypothyroidism dan sirosis sirosis hati.Sejumlah obat-obatan juga dapat
menurunkan tingkat sodium dalam darah contohnya adalah obat-obatan diuretik,
(asopresin, dan sulfonylurea).
 Kesalahan pengambilan sampel
 Pseudohiponatremia: hiperlipidemia, hiperproteinemia
 Tipe redistributif: hiperglikemia, manitol
 Tipe hipovolemik: kehilangan melalui ginjal, gastrointestinal, dan rongga
ketiga; hiperhidrosis, penyakit Addison
 Tipe euvolemik: SIADH, psikogenik polidipsi
 Tipe hipervolemik: gagal jantung kongestif, sirosis hepatis; sindrom
nefrotik.

6
 Akibat penggunaan obat: diuretik, Chlorpropamide, Carbamazepin, dan
NSAID.
2.1.4 Patofisiologi
Hasil dari kelebihan air ekstraseluler relatif terhadap natrium karena
gangguan ekskresi air.
 Penyebab pelepasan nonosmotik dari arginine vasopressin (AVP),
umumnya dikenal sebagai hormon antidiuretik, termasuk hipovolemia;
penurunan volume sirkulasi efektif seperti yang terlihat pada pasien
dengan gagal jantung kongestif (CHF); nefrosis; sirosis; dan sindrom
hormon antidiuretik yang tidak tepat (SIADH).
 Tergantung pada osmolalitas serum, hiponatremia diklasifikasikan sebagai
isotonik, hipertonik, atau hipotonik (Gbr. 75-1).
 Hiponatremia hipotonik, bentuk paling umum dari hiponatremia, dapat
diklasifikasikan lebih lanjut sebagai hipovolemik, euvolemik, atau
hipervolemik.
 Hiponatremia hipotonik hipovolemik berhubungan dengan hilangnya
volume CES dan natrium, dengan hilangnya lebih banyak natrium
daripada air. Hal ini relatif umum pada pasien yang memakai diuretik
thiazide.
 Hiponatremia euvolemik berhubungan dengan kadar natrium CES yang
normal atau sedikit menurun dan peningkatan volume TBW dan CES. Ini
paling sering merupakan hasil dari pelepasan SIADH.
 Hiponatremia hipervolemik berhubungan dengan peningkatan volume
CES pada kondisi dengan gangguan ekskresi natrium dan air ginjal, seperti
sirosis, CHF, dan sindrom nefrotik (Dipiro, 2015).

7
Gambar 1. Algoritma tatalaksana hiponatremia

2.1.5 Faktor Resik


Pada kondisi normal, kadar natrium yang seharusnya adalah 135 hingga
125 mEq/liter (miliequivalen per liter) angkanya kurang dari 135 mEq/liter, maka
dianggap mengidap hiponatremia. Terdapat sejumlah faktor yang bisa memicu
hiponatremia. Beberapa di antaranya adalah :
 Pengaruh usia. Lansia memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk
mengalami hiponatremia. Selain lansia, bayi juga berisiko lebih tinggi
mengalami hiponatremia. Kedua kelompok usia ini kurang bisa
menyadari rasa haus dan kurang bisa mengendalikan asupan cairan tubuh
mereka.
 Diare atau muntah yang parah dan kronis. Kondisi ini bisa memicu
berkurangnya kadar natrium serta elektrolit lain dari tubuh.
 Terlalu banyak minum atau kurang minum. Konsumsi terlalu banyak air
umumnya akan memicu hiponatremia. Natrium dikeluarkan tubuh dalam
bentuk keringat. Produksi keringat yang berlebihan pada orang-orang
yang melakukan lari maraton, akan menyebabkan kandungan natrium
dalam darah akan berkurang. Sedangkan kekurangan minum akan

8
memicu kehilangan cairan serta elektrolit-elektrolit lainnya.
 Obat-obatan tertentu, seperti pil diuretik, antidepresan, serta obat pereda
resan, serta obat pereda sakit.
 Obat-obatan terlarang, khususnya ekstasi.
 Kondisi kesehatan tertentu, contohnya gagal jantung, penyakit ginjal,
sirosis hati, syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone atau
SIADH (kondisi yang muncul ketika produksi hormon anti-diuterik
sangat tinggi), serta rendahnya kadar hormon tiroid akibat gangguan pada
kelenjar adrenal.
2.1.6 Manifestasi Klinik
 Kebanyakan pasien dengan hiponatremia tidak menunjukkan gejala.
 Kehadiran dan keparahan gejala terkait dengan besarnya dan kecepatan
onset dari hiponatremia. Gejala berkembang dari mual dan malaise
menjadi sakit kepala dan kelesuan dan, akhirnya, kejang, koma, dan
kematian jika hiponatremia parah atau berkembang dengan cepat.
 Pasien dengan hiponatremia hipovolemik datang dengan penurunan
turgor kulit, hipotensi ortostatik, takikardia, dan membran mukosa
kering (Dipiro, 2015).
2.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan dikaitkan dengan risiko sindrom demielinasi osmotik.
Kecepatan pemberian infusat harus disesuaikan untuk menghindari peningkatan
natrium serum yang melebihi 12 mEq/L (12 mmol/L) per hari.
 Pasien yang bergejala, terlepas dari status cairannya, pada awalnya harus
diobati dengan larutan garam pekat 0,9% atau 3% sampai gejala hilang.
Penyelesaian gejala berat mungkin hanya memerlukan peningkatan 5%
natrium serum atau target awal natrium serum 120 mEq/L (120 mmol/L).
 Obati SIADH dengan 3% saline plus, jika osmolalitas urin melebihi 300
mOsm/kg (300 mmol/kg), diuretik loop (furosemide, 20–40 mg IV setiap
6 jam atau bumetanid, 0,5-1 mg/dosis setiap 2-3 jam untuk dua dosis).
 Obati hiponatremia hipotonik hipovolemik dengan saline 0,9%, awalnya
dengan kecepatan infus 200 hingga 400 mL/jam sampai gejala sedang.
 Atasi hiponatremia hipotonik hipervolemik dengan salin 3% dan inisiasi

9
pembatasan cairan segera. Terapi loop diuretik juga kemungkinan akan
diperlukan untuk memfasilitasi ekskresi urin dari air bebas.
Hiponatremia Hipotonik Non Emergent :
 Pengobatan SIADH melibatkan pembatasan air dan koreksi penyebab
yang mendasarinya. Air harus dibatasi sekitar 1000 hingga 1200 mL/hari.
Dalam beberapa kasus, pemberian tablet natrium klorida atau urea dan
diuretik loop atau demeclocycline dapat diperlukan.
 Antagonis AVP atau "vaptans" (misalnya, conivaptan dan tolvaptan)
dapat digunakan untuk mengobati SIADH serta penyebab lain
hiponatremia hipotonik euvolemik dan hipervolemik yang tidak responsif
terhadap intervensi terapeutik lain pada pasien dengan gagal jantung,
sirosis, dan SIADH. Vaptan memiliki efek dramatis pada ekskresi air
dan merupakan terobosan dalam terapi hiponatremia dan gangguan
homeostasis cairan.
 Pengobatan hiponatremia hipotonik hipervolemik asimtomatik
melibatkan koreksi penyebab yang mendasari dan pembatasan asupan air
hingga kurang dari 1000 sampai 1200 mL/hari. Asupan diet natrium
klorida harus dibatasi hingga 1000 hingga 2000 mg / hari (Dipiro 9,
2015).
Perhitungan Regimen Infus Sodium Chlorida (Dipiro Edisi 7)
Pengaruh natrium awal pasien dengan pemberian 1 liter Infus Sodium
Chlorida
= [IV Na – S1Na] / (BW + IV vol)

Keterangan :
IV Na = Konsentrasi natrium infus (154 mEq/L untuk sodium chloride
0,9% dan konsentrasi natrium infus 513 mEq/L untuk
sodium chloride 3%.
S1Na = Konsentrasi awal serum natrium pasien.
BW = Total air tubuh (dalam liter) yang dapat di[erkirakan sebagian
kecil dari berat badan (Kg) yaitu: 0,6 x BB (Untuk anak-
anak dan laki-laki <70 tahun) 0,5 x BB (Untuk laki-laki

10
≥ 70 tahun dan wanita <70 tahun) 0,4 x BB (Untuk
wanita ≥ 70 tahun) Dalam 2-4 jam pertama NaCl 3%
harus meningkatkan kadar natrium sebanyak 1.5 mEq/L
pada pasien dan kemudian sisa larutan NaCl 3%
dilanjutkan 20-22 jam berikutnya.

2.2 Hipertensi
2.2.1 Defenisi Hipertensi
Hipertensi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada
pemeriksaan yang berulang (Dipiro 9).

2.2.3 Klasifikasi Hipertensi


Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VIII yaitu :
1. Hipertensi sistolik adalah nilai tekanan darah diastole kurang dari 90
mmHg dan tekanan darah sistole 140mmHg atau lebih.
2. Hipertensi kritis (BP > 180/120 mmHg) di kategorikan sebagai hipertensi
emergensi( peningkatan TD ekstrim dengan kerusakan organ target) atau
hipertensi urgensi (peningkatan TD tanpa kerusakan organ target)

Klasifikasi Tekanan Darah TD Sistolik TD Diastolik


(mmHg) (mmHg)

Normal <120 <80

Pre hipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 90-99

Hipertensi stadium 2 >160 >100

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Manusia Menurut Dipiro 9


 Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik yang
menginhibisi transpor natrium intraseluler, menghasilkan peningkatan
reaktivitas vaskular dan tekanan darah
 Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan
vaskular, fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskular perifer.

11
Penyebab utama kematian pada hipertensi adalah srebrovaskular,
kardiovaskular, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian premature ada pada
korelasinya dengan meningkatnya tekanan darah.

2.2.4 Patofisiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Pada kebanyakan pasien (>90%) etiologi patofisiologinya tidak diketahui
(essensial atau primer). Kurang dari 10% pasien merupakan hipertensi sekunder.
Multifaktor yang dapat menyebabkan hipertensi primer adalah :

a) Ketidak normalan humoral meliputi sistem renin-angiotensin-aldosteron,


hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia
b) Masalah patologi pada sistem syaraf pusat, serabut saraf otonom, volume
plasma dan kontriksi arteriol.
c) Defisiensi senyawa sintesis lokal vasodilator pada endotelium vaskular,
misalnya prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida, atau terjadinya
peningkatan produksi senyawa vasokontriktor seperti angiotensin II dan
endotelin I.
d) Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik yang
menginhibisi transpor natrium intraseluler, menghasilkan peningkatan
reaktivitas vaskuler dan tekanan darah.
e) Peningkatan konsentrasi kalium intraseluler, memicu perubahan vaskuler,
fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskuler perifer.
Hipertensi sekunder pada umumnya disebabkan oleh ginjal kronik dan
renovaskular. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder
pheocrhomocytoma, sindrom chusing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteron
primer, kehamilan, opstruktif sleep apnea, dan kerusakan aorta. Beberapa obat
yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah kortikosteroid, esterogen, AINS
( Anti Inflamasi Non Steroid), amfetamin, sibutramin, siklosporin, takrolimus,
eritropoitin dan venlafaxine.

12
Gambar 2. Diagram sistem renin-angiotensin-aldosteron.

Keterkaitan antara ginjal, angiotensin II, dan regulasi tekanan darah. Sekresi
renin dari sel juxtaglomerular dalam arteriol aferen diatur oleh tiga faktor utama
untuk memicu konversi dari angiotensinogen ke angiotensin I. Aksi untuk agen
antihipertensi utama termasuk:ACE inhibitor;angiotensin II blocker reseptor;β
blocker;blocker saluran kalsium;diuretik;antagonis aldosteron;inhibitor renin.
RAAS ( Renin-Angiotensin-Aldosterone System ) adalah sistem endogen
kompleks yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah arteri. Aktivasi dan
regulasi terutama diatur oleh ginjal. RAAS mengatur natrium, kalium, dan volume
darah. Karena itu, sistem ini secara signifikan mempengaruhi kontraksi pembuluh
darah dan aktivitas sistem saraf simpatik dan juga paling berpengaruh dalam
pengaturan homeostatis tekanan darah.
Renin adalah enzim yang disimpan dalam sel juxtaglomerular, yang terletak
di arteriol aferen ginjal. Pelepasan renin dimodulasi oleh beberapa faktor: faktor
intrarenal (misal : tekanan perfusi ginjal, katekolamin, angiotensin II), dan faktor
ekstrarenal (misal : natrium, klorida, dan kalium).
Sel-sel juxtaglomerular berfungsi sebagai sensor-baroreseptor. Penurunan
tekanan arteri ginjal dan aliran darah ginjal akan diketahui oleh sel-sel ini dan
merangsang sekresi renin. Sel juxtaglomerular dan sel tubulus distal disebut secara
kolektif sebagai makula densa. Penurunan natrium dan klorida akan menyebabkan
dikirimnya sinyal ke tubulus distal dan merangsang pelepasan renin. Katekolamin

13
meningkatkan pelepasan renin secara langsung dengan menstimulasi saraf
simpatis pada aferen arteriol yang mengaktifkan sel juxtaglomerular.
Renin mengkatalisasi konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I di
dalam darah. Angiotensin I kemudian dikonversi menjadi angiotensin II oleh
angiotensin-converting enzyme (ACE). Setelah berikatan dengan reseptor spesifik
(diklasifikasikan sebagai subtipe AT 1 atau AT 2), angiotensin II memberikan
efek biologis pada beberapa jaringan. Reseptor AT 1 terletak di otak, ginjal,
miokardium, pembuluh darah perifer, dan kelenjar adrenal. Reseptor ini
memediasi sebagian besar respons yang sangat penting ke kardiovaskular dan
fungsi ginjal. Reseptor AT 2 terletak jaringan meduler di adrenal, uterus, dan otak.
Angiotensin II yang bersirkulasi dapat meningkatkan tekanan darah melalui
pressor dan efek volume. Efek pressor termasuk vasokonstriksi langsung,
stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dan peningkatan sistem
saraf simpatis yang dimediasi oleh aktivitas pusat. Angiotensin II juga
merangsang sintesis aldosteron korteks adrenal. Ini menyebabkan reabsorpsi
natrium dan air yang meningkatkan volume plasma, resistensi perifer total, , dan
akhirnya tekanan darah. Aldosteron juga memiliki peran merusak dalam
patofisiologi penyakit kardiovaskular lainnya (gagal jantung, MI, dan penyakit
ginjal) dengan menyebabkan kerusakan jaringan yang mengarah ke fibrosis
miokard dan disfungsi pembuluh darah. Jelas, setiap gangguan dalam tubuh yang
mengarah pada aktivasi RAAS dapat menyebabkan hipertensi kronis.
Jantung dan otak memilik RAAS lokal. Di jantung, angiotensin II juga
dihasilkan oleh angiotensin I convertase (human chymase). Enzim ini tidak
terhalang oleh penghambatan ACE. Aktivasi RA miokard meningkatkan
kontraktilitas jantung dan merangsang hipertrofi jantung. Di otak, angiotensin II
memodulasi produksi dan pelepasan hormon hipotalamus dan hipofisis, dan
meningkatkan aliran simpatis dari medula oblongata.

2.2.5 Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2000) penyebab hipertensi dibagi menjadi 2,
yaitu :

14
a) Hipertensi Primer atau Esensial
Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial
(primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi
faktor genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam
menyebabkan hipertensi esensial. Faktor genetik dapat menyebabkan
kenaikan aktivitas dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf
simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Selain faktor
genetik, faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi
garam, obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat serta konsumsi alkohol dan
merokok.
b) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui,
anatara lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjer tiroid
(hipertiroid), penyakit kelenjer adrenal (hiperaldosteronisme).

Tabel 2. Penyebab sekunder hipertensi (Depkes, 2006).

2.2.6 Diagnosis Hipertensi


Diagnosis yang akurat merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan
hipertensi. Akurasi cara pengukuran tekanan darah dan alat ukur yang digunakan,
serta ketepatan waktu pengukuran. Pengukuran tekanan darah dianjurkan
dilakukan pada posisi duduk setelah beristirahat 5 menit dan 30 menit bebas rokok
dan kafein.
Hipertensi seringkali disebut silent kiler karena pasien dengan hipertensi
biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang utama adalah
meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam

15
waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Di pelayanan
kesehatan primer/Puskesmas, diagnosis hipertensi ditegakkan oleh dokter, setelah
mendapatkan peningkatan tekanan darah dalam dua kali pengukuran dengan jarak
satu minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila tekanan darah ≥140/90 mmHg,
bila salah satu baik sistolik maupun diastolik meningkat sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis hipertensi.
2.2.7 Penatalaksanaan Terapi
Tujuan Terapi
1. Secara keseluruhan, tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan kematian.
2. Target nilai tekanan darah
Target (mmHg) Kondisi
< 150/90 Usia ≥ 60 tahun
< 140/90 Usia < 60 tahun / Ada penyakit penyerta (ex :
DM, CKD)
Tabel 3. Target nilai tekanan darah
3. TDS merupakan indikasi yang baik untuk risiko kardiovaskuler daripada
TDD dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol
hipertensi.
a. Terapi Non Farmakologi
Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk
memodifikasi gaya hidup, termasuk
1. Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan
2. Melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to
Stop Hypertension)
3. Mengurangi aasupan natrium hingga lebih kecil sama dengan 2,4 g/hari )6
g/hari NaCl)
4. Melakukan aktivitas fisik seperti aerobic
5. Mengurangi konsumsi alkohol
6. Berhenti merokok.
Penurunan tekanan
Modifikasi Rekomendasi darah sistolik
kurang lebih

16
Menurunkan berat badan Pelihara berat badan normal 5-20 mmHg untuk
(BMI 18,5-24,9) setiap penurunan 10
Kg BB
Menjalankan menu Konsumsi makanan kaya buah, 8-14 mmHg
DASH ( dietary sayur, susu rendah lemak dan
approaches to stop rendah lemak jenuh
hypertention)
Mengurangi asupan Kurangi natrium sampai tidak 2-8 mmHg
garam/sodium lebih dari 2,4 d/hari atau NaCl 6
g/hari

Meningkatkan aktifitas Berolahraga aerobik teratur 4-9 mmHg


fisik seperti misalnya berjalan kaki
(30 menit/hari 4-5 hari
seminggu)

Kurangi konsumsi alkohol Batasi kondsumsi alkohol, 2-4 mmHg


jangan lebih dari 2x/hari untuk
pria dan 1x/hari untuk
perempuan

Tabel 4. Modifikasi gaya hidup untuk mengendalikan tekanan darah Terapi

b. Terapi Farmakologi
Pengobatan hipertensi bertujuan mengurangi kesakitan (morbiditas),
kematian (mortalitas), dan menurunkan tekanan darah. Komplikasi hipertensi
dapat mengenai berbagai organ target, seperti jantung, otak, ginjal, mata dan arteri
perifer. Kerusakan organ tersebut bergantung pada seberapa tinggi tekanan darah
dan seberapa lama tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol dan tidak diobati.
1. Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah dan
keberadaan compelling indications.
2. Terapi first line yang biasa digunakan adalah ACE inhibitor, ARB,CCB dan
diuretic thiazide.
3. Betablocker digunakan untuk terapi dengan komplikasi spesifik atau terapi
kombinasi dengan first line antihipertensi untuk pasien tanpa komplikasi.

17
4. α Blocker, α2 agonis sentral, inhibitor adrenergic, dan vasodilator merupakan
alternative yang dapat digunakan untuk penderita setelah mendapatkan obat
pilihan pertama.
5. Terapi kombinasi yang direkomendasikan untuk pasien stage 2, diterapi dengan
penggunaan 2 obat firts line
6. Obat antihipertensi lain (a2-agonis, antagonis adrenergic dan vasodilator arteri
langsung) digunakan sebagai alternativsetelah obat pilihan pertama.
2.2.8 Algoritma Terapi Hipertensi (Menurut Dipiro ed. 9)
Gambar 3. Algoritma Terapi Hipertensi

18
Gambar 4. Algoritma Terapi Hipertensi Compelling Indication
Menurut JNC VIII

Usia >18 th dengan hipertensi

Dengan intervensi gaya hidup

Menerapkan tujuan tekanan darah dan memulai pengobatan dengan


penurunan tekanan darah berdasarkan usia, diabetes dan penyakit ginjal
kronik (CKD)

Populasi umum (tidak diabetes atau CKD) Menunjukan adanya diabetes atau CKD

Usia >60 th Usia <60 th Semua umur Semua umur menunjukan


menunjukan diabetes CKD dengan atau tidak
dan tidak CKD diabetes

TD <150/90 TD <140/90
mmHg mmHg
TD <140/90 TD <140/90 mmHg

mmHg

All races
Non Black Black

19
Memulai dengan ACE-I
Memulai dengan diuretik- Memulai dengan diuretik atau ARB, satu atau
thiazid atau ACE-I atau thiazide atau CCB, sattu dengan kombinasi
ARB atau CCB satu atau atau dengan kombinasi dengan jenis obat lain
dengan kombinasi

Pilhan strategi terapi obat


a. Memaksimalkan obat yang pertama sebelum menambahkan obat yang kedua
b. Menambahkan obat kedua sebelum obat pertama mencapai dosis maksimum
c. Memulai dengan 2 kelas obat secara terpisah atau dengan kombinasi dosis tetap

YES
Tekanan darah

normal ? NO

Memperkuat pengobatan dan kepatuhan gaya hidup.


Untuk strategi A dan B tambahkan diuretik thiazed atau ACE-I atau ARB
atau CCB (menggunakan kelas obat yang sebelumnya tidak dipilih dan
menghindari kombinasi ACE-I dan ARB). Untuk strategi C dengan dosis awal yang
maksimum

Tekanan darah normal ? YES

NO
Memperkuat pengobatan dan kepatuhan gaya hidup.
Tambahkan diuretik thiazed atau ACE-I atau ARB atau CCB
(menggunakan kelas obat yang sebelumnya tidak dipilih dan menghindahri
kombinasi ACE-I dan ARB

Tekanan darah normal ? YES

NO
Memperkuat pengobatan dan kepatuhan gaya hidup.
Tambahkan kelas pengobatan tambahan (ex. B-Blocker, antagonis
algosteron atau lainya) dan atau rujuk kedokter yang ahli dalam hipertensi.

20
NO YES
Tekanan darah normal ?

Melanjutkan
perawatan dan
pemantauan
Gambar 5. Algoritma Terapi Hipertensi

21
Tabel 5. Obat-obat hipertensi

22
Tabel 6. Obat antihipertensi yang direkomendasikan dalam JNC 8

23
Target
Dosis sehari Penggunaan dosis
Obat antihipertensi penerimaan
(mg) perhari
dosis (mg)
ACE-Inhibitor
Captopril 50 150-200 2
Enalopril 5 20 1-2
Lisinopril 10 40 1
Angiostensin Receptor
Blocker
Eprosartan 400 600-800 1-2
Candesartan 4 12-32 1
Losartan 50 100 1-2
Valsartan 40-80 160-320 1
Irbesartan 75 300 1
B-Blocker
Atenolol 25-50 100 1
Metoprolol 50 100-200 1-2
Calcium Chanel Blocker
Amlodipin 2,5 10 1
Diltiazem 120-180 360 1
Nitredipine 10 20 1-2
Thiazed-diuretik
Bendroflumethiazide 5 10 1
Chlorthalidone 12,5 12,5-25 1
Hydrochlorthiazed 12,5-2,5 25-100 1-2
Indapamide 1,25 1,25-2,5 1
Tabel 7. Obat Hipertensi
Obat-obat hipertensi berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibagi menjadi
beberapa kelas, yaitu :
1. Diuretik
Diuretik tiazide biasanya merupakan obat pertama yang diberikan untuk
mengobati hipertensi. Mekanisme kerja obat golongan diuretik meningkatkan
ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler. Akibat dari efek diuretik tersebut adalah penurunan curah jantung
dan tekanan darah. Golongan diuretik efektif sebagai obat lini pertama dan bisa
dikombinasikan dengan CCB, ACE-I dan ARB. Contoh : Hidroklorotiazid 12,5-
25 mg/hari, klorrtalidon 12,5-50 mg/hari.
Pada umumnya diuretik dibagi menjadi beberapa kelompok:
a. Diuretik kuat (Loop diuretic)
Mekanisme kerja diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian
epitel tebal dengan cara merintangi transport Cl-, menghambat reabsorpsi Na+,

24
memperbanyak pengeluaran K+ dan air. Efek samping diuretik kuat adalah
menurunkan kalsium darah. Contoh : furosemid.
b. Golongan Tiazid
Mekanisme kerja diuretik tiazid adalah mengeluarkan natrium dari
ginjal. Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan
sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain bila tekanan
darah tidak berhasil diturunkan dengan diuretik saja. Contoh :
hidroklorotiazid, indapamide.
c. Diuretik hemat kalium
Mekanisme kerja diuretik hemat kalium adalah menahan kalium yang
diperlukan oleh tubuh. Contoh : sprinolakton, triamterene
2. Penyekat β adrenoreseptor (Beta blocker)
Beta blocker bekerja dengan menghambat secara kompetitif pengikatan
katekolamin ke reseptor adrenergik. Khasiat utamanya adalah anti-adrenergik
dengan jalan menempati secara bersaing reseptor β adrenergik. Blokade reseptor
ini mengakibatkan peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan
noradrenalin (NA). Reseptor-β terdapat dalam dua jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja,
2007 : 546) :
a. Penghambat beta selektif
Menghambat reseptor β-1 yang terdapat di jantung, Susunan Saraf
Pusat, ginjal. Blokade reseptor ini mengakibatkan pelemahan daya kontraksi
(efek inotrop negatif), penurunan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif,
bradikardi), perlambatan penyaluran impuls di jantung (simpuls AV =
atrioventrikuler). Contoh obat: atenolol, betaxolol, bisoprolol
b. Penghambat beta nonselektif
Menghambat reseptor reseptor β-1 dan -2 terdapat di bronchia,
dinding pembuluh darah, usus. Blokade reseptor ini menimbulkan penciutan
bronchia dan vasokonstriksi perifer agak ringan yang bersifat sementara
(beberapa minggu), mengganggu mekanisme homeostatis untuk memelihara
kadar glukosa dalam darah (efek hipoglikemia). Contoh : carvedilol, timolol,
propanolol

25
3. Penghambat angiotensin converting enzyme (Penghambat ACE)
Mekanisme kerja penghambat ACE menghambat perubahan angiotensin I
menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron. Berkurangnya produksi angiotensin II oleh ACE inhibitor akan
mengurangi sekresi aldosteron di korteks adrenal yang mengakibatkan terjadi
ekskresi air dan natrium, sedangkan kalium mengalami retensi sehingga ada
tendensi terjadinya hiperkalemia terutama pada gangguan fungsi ginjal. Obat-obat
golongan ini dapat digunakan sebagai obat lini pertama atau dikombinasikan
dengan diuretik atau CCB. Contoh ACE-I: enalapril 2,5-40 mg/hari, lisinopril 5-
40 mg/hari, irbesartan 150-300 mg/hari, valsartan 80-32 mg/hari, telmisartan 40-
80 mg/hari.
4. Penghambat adrenoseptor alfa (Alfa blocker)
Mekanisme kerja zat-zat ini memblok reseptor penghambat adrenoseptor
alfa yang terdapat di otot polos pembuluh, khususnya di pembuluh kulit dan
mukosa.
Penghambat adrenoseptor alfa dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (Tjay dan
Rahardja, 2007 : 545):
a. Penghambat adrenoseptor alfa tidak selektif: fentolamin yang hanya
digunakan intravena pada krisis hipertensi.
b. Penghambat adrenoseptor alfa-1 selektif: derivate quinazolin (prazosin,
terazosin, dan tamsulosin) serta uradipil yang digunakan sebagai obat
hipertensi dan pada hiperplasia prostat.
c. Penghambat adrenoseptor alfa-2 selektif: yohimbin yang digunakan
sebagai obat perangsang syahwat (aphrodisiacum).
5. Antagonis kalsium chanel bloker (CCB)
Mekanisme kerja antagonis kalsium adalah menghambat pemasukan ion
kalsium ekstrasel ke dalam sel vaskuler otot polos sehingga tegangan vaskuler
menurun dan terjadi vasodilatasi perifer (Goodman dan Gilman, 2008 : 865).
Contoh : nifedipine, amlodipine, nicardipine, verapamil, diltiazem.
6. Penghambat reseptor angiotensin II (Angiotensin II reseptor bloker, ARB)
Penghambat reseptor angiotensin II menduduki reseptor angiotensin II yang
terdapat di dalam tubuh, antara lain: miokard, dinding pembuluh, susunan saraf

26
pusat, ginjal, anak ginjal, dan hati. Efek-efek angiotensin II diblokir seperti
peningkatan tekanan darah dan ekskresi kalium, retensi natrium, dan air. Efek lain
dari penekanan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron adalah penurunan
produksi aldosteron, yang mengakibatkan bertambahnya ekskresi natrium dan air
serta berkurangnya ekskresi kalium. Kombinasi dari kedua jenis obat kini mulai
digunakan untuk lebih efektif menurunkan tekanan darah (efek aditif ringan).
Pemberian penghambat reseptor angiotensin II menurunkan tekanan darah
tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak
menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi
lipid dan glukosa darah. Contoh: losartan, valsartan, irbesartan, candesartan,
eprosartan, telmisartan dan olmesartan (Tjay dan Rahardja, 2007).
7. Sentral atau Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat.
Mekanisme kerja agonis alfa-2 adrenergik menstimulasi reseptor alfa-2
adrenergik yang banyak sekali terdapat di susunan saraf pusat (otak dan medulla).
Akibat perangsangan ini terjadi penurunan aktivitas saraf adrenergik perifer.
Pelepasan noradrenalin menurun dengan efek menurunnya resistensi perifer dan
tekanan darah. Contoh : klonidin hidroklorida, metildopa
8. Vasodilator.
Mekanisme kerja vasodilator adalah dengan terjadinya vasodilatasi terhadap
arteri dan dengan demikian menurunkan tekanan darah tinggi. Vasodilator
digunakan sebagai obat hipertensi pilihan ketiga bersama dengan penyekat β
adrenoreseptor dan diuretik. Contoh: hydralazine, minoxidil, sodium
nitroprusside.

2.3 Dispepsia
2.3.1 Definisi
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein
(digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion
yang berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia
didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri
atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman
dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau
cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal)

27
(Talley & Holtmann, 2008).
Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural
setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia
fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau
lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui
pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo,
2010).
Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat
kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri
yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh
pasien, serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik
yang gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri,
serta secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).
Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2
klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome.
Postprandial distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah”
setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait
dengan makan seperti halnya postprandial distresssyndrome.

2.3.2 Klasifikasi
2.3.2.1 Dispepsia Fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3
bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum
diagnosis. Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah
makan atau bersendawa yangberlebihan

28
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium. Epigastric
Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan


tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu.
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah
perut bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buangangin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3
bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum
diagnosis.
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam
Kriteria penunjang :
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar
ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun
mungkin timbul saat puasa
2.3.3 Penyebab
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat
dialami oleh seseorang. Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gasritis,
batu kandung dan lain-lain) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan
patologik struktural atau biokimiawi, kelompok terakhir ini disebut sebagai
gangguan fungsional. Berbagai penyebab sindrom dispepsia dapat dilihat pada
tabel dibawah ini
Esofagogastroduodenal Tukak peptik, gastritis, tumor
Antiinflamasi non steoroid, teofilin, digitalis,
Obat-obatan antibiotik, dan sebagainya
Hepatitis, kolesistis, tumor, disfungsi sphhineter

29
Hepatobilier Odii
Pankreas Pankreatitis, keganasan
Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,
Penyakit sistemik penyakit jantung coroner
Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome
Tabel 8. Penyebab Dispepsia
2.3.4 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus
peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini
menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang
heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang
dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme
patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori,
ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan
perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf
otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan
Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan
defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus
lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).

Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa


teori dibawah ini (Yehuda, 2010)
a. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional
sampai saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para
ahli Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan
insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli
berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan
kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot
sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin
cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih
lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut,

30
dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
b. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien
dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas
antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung
yang “kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan
normal seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan
maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari
corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh
refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak
berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila
berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum.
c. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas
terhadap distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat :
makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara,
gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum
postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.
d. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata
memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada
gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada
hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia
yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin
beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti
kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap
peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang
meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).
e. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur
endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada

31
keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan
dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran
hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam
lambung (Gene, 2012).
f. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks
serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf
otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem
saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan
pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan
sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi
oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem
saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung
yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin,
gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi
difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat
saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps
yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan
mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan
parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi
menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ
lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua
neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ
lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas,
sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008).
g. Perubahan Dalam Sistem Imun
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan
menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron
bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem

32
endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau
kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary
axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor
psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem
noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan
pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan
neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T,
dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres
dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya
akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung
dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini
berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa
ulkus peptikum atau duodenum (Gene, 2012).
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis dispepsia dapat ditegakkan dengan mengguanakan kriteria
Rome II, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri
ulu hati/epigastrik, dan rasa terbakar di epigastrium.

2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan


endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab
keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu enak bulan terakhir
sebelum diagnosis ditegakkan.
Dalam kriteria tersebut, terdapat batasan waktu yang ditunjukkan untuk
meminimalisasi kemungkinan penyebab organik. Tidak semua pasien dilakukan
pemeriksaan tambahan, seperti endoskopi, kecuali jika terdapat tanda-tanda
khusus yang disebut dengan alarm sign atau alarm symptom.
Alarm Sign
Umur > 45-50 tahun keluhan muncul pertama kali
BB menurun 10%
Anoreksia/rasa cepat kenyang
Muntah yang persisten
Riwayat tukak peptik sebelumnya
Anemia yang tidak diketahui sebabnya
Massa di abdomen atau limfadenopati

33
Disfagia yang progresif atau Odinofagia
Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas
Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya

Tabel 9. Alarm sign

2.3.6 Penunjang Diagnostik


Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk
mengeksekusi gangguan organik atau biokimiawi, pemeriksaan organik atau
biokimiawi, pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi
pangkreas), radiologi (parium meal, USG, endoskopi ultrasonografi) dan
endoskopi merupakan langkah yang paling penting untuk eksklusi penyebab
organik atau kimiawi.

2.3.7 Penatalaksana Dispepsia (Dipiro Edisi 9)

34
Gambar. Algoritma tatalaksana dispepsia

2.4 Dislipidemia
2.4.1 Defenisi

Dislipidemia adalah peningkatan kolesterol total, kolesterol Low Density


Lipoprotein (LDL) atau trigliserida; penurunan kolesterol High Density
Lipoprotein (HDL), atau kombinasi dari kelainan tersebut (Dipiro dkk, 2012).
Dislipidemia adalah keadaan terjadinya peningkatan kadar LDL kolesterol dalam
darah atau trigliserida dalam darah yang dapat disertaipenurunan kadar HDL
kolesterol (Hartono, 2006). Dislipidemia dalam proses terjadinya aterosklerosis
semuanya memiliki peran yang penting dan sangat berkaitan satu dengan yang
lain, sehingga tidak mungkin dibahas sendiri-sendiri. Dimana hasil pengukuran
kadar kolesterol serum memenuhi salah satu atau keseluruhan kriteria berikut :
1. Kadar kolesterol total meningkat, > 200 mg/dl.
2. Kadar trigliserida meningkat, > 150 mg/dl.
3. Kadar kolesterol LDL meningkat, > 100 mg/dl
4. Kadar kolesterol HDL menurun, < 40 mg/dl
Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit
kardioserebrovaskular. Faktor tersebut disebabkan karena terbentuknya
atherosklerosis yang akan mengganggu peredaran darah dari sistem
kardioserebrovaskular.
Secara umum dislipidemia dibagi menjadi 2 tipe yaitu :

35
a. Dislipidemia primer
Tipe I : Hiperkilomikronemia
Tipe IIa : Familial hiperkolesterolemia (LDL serum>>)
Tipe IIb : Familial kombinasi hiperkolesterolemia (LDL, VDL >>)
Tipe III : Familial disbetalipoproteinemia (Broad-beta-VLDL)
Tipe IV : Familial hipertrigliseridemia (TG, VLDL >>)
Tipe V : Mixed Hyperlipidemia (VLDL, kilomikron >>)
b. Dislipidemia sekunder
Dislipidemia sekunder pada umumnya disebabkan oleh penyakit-
penyakit dasar sebagai berikut: Gagal ginjal, Sindroma nefrotik, Diabetes
mellitus, Sepsis, Hipotiroidisme, dan Sirosis hati.
Berikut klasifikasi kolesterol total, LDL, HDL, dan Trigliserida.

Gambar 7. Klasifikasi Kolesterol Total


2.4.2 Etiologi
Dislipidemia dapat terjadi akibat faktor asupan (intake) lemak yang tinggi
dan adanya faktor keturunan atau riwayat penyakit keluarga, alkohol, hormon
estrogen, dan obat-obatan. Pada wanita, saat usia menopause akan meningkat
resiko dislipidemianya lebih tinggi. Asupan lemak total berkaitan dengan
kegemukan (berat badan berlebih). Etiologi dari dislipedemia dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut :

36
1. Faktor Jenis Kelamin
Risiko terjadinya dislipidemia pada pria lebih besar dari pada wanita. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita produktif terdapat efek perlindungan dari
hormon reproduksi. Pria lebih banyak menderita aterosklerosis, dikarenakan
hormon seks pria (testosteron) mempercepat timbulnya aterosklerosis sedangkan
hormon seks wanita (estrogen) mempunyai efek perlindungan terhadap
aterosklerosis. Akan tetapi pada wanita menopause mempunyai risiko lebih besar
terhadap terjadinya aterosklerosis dibandingkan wanita premenopouse.
2. Faktor Usia
Semakin tua usia seseorang maka fungsi organ tubuhnya semakin
menurun, begitu juga dengan penurunan aktivitas reseptor LDL, sehingga bercak
perlemakan dalam tubuh semakin meningkat dan menyebabkan kadar kolesterol
total lebih tinggi, sedangkan kolesterol HDL relatif tidak berubah. Pada usia 10
tahun bercak perlemakan sudah dapat ditemukan di lumen pembuluh darah dan
meningkat kekerapannya pada usia 30 tahun.
3. Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya
dislipidemia. Dalam ilmu genetika menyebutkan bahwa gen untuk sifat – sifat
tertentu (spesific – trait) diturunkan secara berpasangan yaitu kita memerlukan
satu gen dari ibu dan satu gen dari ayah, sehingga kadar hiperlipidemia tinggi
dapat diakibatkan oleh faktor dislipidemia primer karena faktor kelainan genetik.
4. Faktor Kegemukan
Kegemukan erat hubungannya dengan peningkatan risiko sejumlah
komplikasi yang dapat terjadi sendiri – sendiri atau bersamaan. Kegemukan
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara energi yang masuk bersama makanan,
dengan energi yang dipakai. Kelebihan energi ini ditimbun dalam sel lemak yang
membesar. Pada orang yang kegemukan menunjukkan output VLDL trigliserida
yang tinggi dan kadar trigliserida plasma yang lebih tinggi. Trigliserida berlebihan
dalam sirkulasi juga mempengaruhi lipoprotein lain. Bila trigliserida LDL dan
HDL mengalami lipolisis, akan menjadi small dense LDL dan HDL, abnormalitas
ini secara tipikal ditandai dengan kadar HDL kolesterol yang rendah.
5. Faktor Olah Raga

37
Olah raga yang teratur dapat menyebabkan kadar kolesterol total,
kolesterol LDL, dan trigliserida menurun dalam darah, sedangkan kolesterol HDL
meningkat secara bermakna. Lemak ditimbun dalam di dalam sel lemak sebagai
trigliserida. Olahraga memecahkan timbunan trigliserida dan melepaskan asam
lemak dan gliserol ke dalam aliran darah.
6. Faktor Merokok
Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,
trigliserida, dan menekan kolesterol HDL. Pada seseorang yang merokok, rokok
akan merusak dinding pembuluh darah. Nikotin yang terkandung dalam asap
rokok akan merangsang hormon adrenalin, sehingga akan mengubah metabolisme
lemak yang dapat menurunkan kadar kolesterol HDL dalam darah.
7. Faktor Makanan
Konsumsi tinggi kolesterol menyebabkan hiperkolesterolemia dan
aterosklerosis. Asupan tinggi kolesterol dapat menyebabkan peningkatan kadar
kolesterol total dan LDL sehingga mempunyai risiko terjadinya dislipidemia.

2.4.3 Patofisiologi (Wahjuni, 2015).


a. Jalur metabolisme eksogen
Makanan berlemak yang dikonsumsi terdiri atas trigliserida dan kolesterol.
Selain kolesterol yang berasal dari makanan, dalam usus juga terdapat kolesterol
dari hati yang diekskresikan bersama empedu ke usus halus. Baik lemak di usus
halus yang berasal dari makanan maupun organ hati disebut dengan lemak
eksogen yang sebagian diperoleh dari asupan makan.
Trigliserida dan kolesterol dalam usus halus akan diserap ke dalam
enterosit mukosa usus halus. Trigliserida akan diserap sebagai asam lemak bebas
sedang kolesterol sebagai kolesterol teresterifi kasi. Di dalam usus halus, asam
lemak bebas akan diubah lagi menjadi trigliserida, sedangkan kolesterol
mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester dan keduanya bersama-sama
dengan fosfolipid dan apoliprotein membentuk lipoprotein yang dikenal sebagai
kilomikron. Kilomikron masuk ke dalam saluran limfa dan akhirnya melalui
duktus torasikus (saluran limfa) masuk ke dalam aliran darah.
Trigliserida dalam kilomikron mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein
lipase yang berasal dari endotel pembuluh darah menjadi asam lemak bebas/free

38
fat acid (FFA) dan non-esterified fat acid (NEFA). Asam lemak bebas dapat
disimpan sebagai trigliserida kembali di jaringan lemak (adiposa), tetapi bila
terdapat dalam jumlah yang banyak, sebagian akan diambil oleh hati menjadi
bahan untuk pembentukan trigliserida hati. Kilomikron yang sudah kehilangan
sebagian besar trigliserida akan menjadi kilomikron remnant (kilomikron sisa)
yang mengandung ester kolesterol dan dibawa ke hati.

Gambar 8. Jalur metabolisme eksogen

b. Jalur metabolisme endogen


Trigliserida dan kolesterol yang disintesis di hati disekresikan ke dalam
sirkulasi sebagai lipoprotein B100 yang merupakan alat transportasi lemak di
dalam aliran darah. Dalam sirkulasi, trigliserida di fraksi VLDL akan mengalami
hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL), dan mengubah VLDL menjadi IDL
(intermediate Density Lipoprotein) yang juga akan mengalami hidrolisis dan
berubah menjadi LDL (Low Density Lipoprotein). Sebagian dari VLDL, IDL dan
LDL akan mengangkut ester kolesterol kembali ke hati.
LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol.
Sebagian dari kolesterol di LDL akan dibawa ke hati dan jaringan steroidogenik
lainnya seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor
untuk kolesterol–LDL. Sebagian lagi dari kolesterol–LDL akan mengalami
oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger (reseptor yang bisa membawa

39
kembali kelebihan lemak ke hati) di makrofag dan akan menjadi sel busa (foam
cell).
Makin banyak kadar kolesterol-LDL dalam plasma makin banyak yang
akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel makrofag. Jumlah kolesterol
yang akan teroksidasi tergantung pada kadar kolesterol yang terkandung di LDL.
Beberapa keadaan yang mempengaruhi tingkat oksidasi antara lain: meningkatnya
jumlah LDL seperti pada sindrom metabolik dan diabetes mellitus. Kadar
kolesterol - HDL, makin tinggi kadar HDL, maka HDL bersifat protektif terhadap
oksidasi LDL.
c. Jalur reverse cholesterol transport
HDL dilepaskan sebagai partikel kecil yang minim kolesterol, terdiri atas
apoliprotein (apo) A, C, dan E, yang disebut dengan HDL nascent (minim
kolesterol). HDL nascent berasal dari usus halus dan hati, mempunyai bentuk
gepeng dan mengandung apoliprotein tipe A1. HDL nascent mendekati makrofag
untuk mengambil kolesterol yang tersimpan. Setelah mengambil kolesterol dari
makrofag, HDL nascent berubah menjadi HDL berisi kolesterol dan berbentuk
bulat. Agar dapat diambil oleh HDL nascent, kolesterol (kolesterol bebas) di
bagian dalam dari makrofag harus dibawa ke permukaan membran sel makrofag
oleh suatu transporter yang disebut adenosine triphosphate-binding casse e
transporter-1 atau disingkat ABC-1 (Sorace, 2006). Setelah mengambil kolesterol
bebas dari sel makrofag, kolesterol bebas akan diesterifi kasi menjadi kolesterol
ester enzim/lecithin cholesterol acyl transferase (LCAT). Selanjutnya, sebagian
kolesterol ester yang dibawa oleh HDL akan mengambil dua jalur. Jalur pertama
ialah ke hati dan ditangkap oleh scavenger receptor class B type 1 (dikenal dengan
SR-B1). Jalur kedua dari VLDL dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer
protein (CETP). Dengan demikian, fungsi HDL sebagai “penyiap” kolesterol dari
makrofag mempunyai dua jalur, yaitu langsung ke hati dan jalur tidak langsung
melalui VLDL dan IDL untuk membawa kolesterol kembali ke hati.
Bila kadar HDL rendah, kondisi itu harus diimbangi dengan olah raga
yang teratur. Olah raga membuat otot dan rangka tubuh bergerak, denyut jantung
meningkat sehingga darah beserta oksigen dan nutrisi bisa disalurkan dengan baik
ke seluruh tubuh. Jarang berolah raga membuat distribusi oksigen ke seluruh

40
tubuh terganggu. Dampaknya, otot tubuh akan kekurangan oksigen sehingga
membuat badan terasa pegal-pegal dan kaku.

Gambar 9. Jalur reverse cholesterol transport


2.4.4 Komplikasi
a.  Aterosklerosis
Aterosklerosis adalah suatu bentuk ateriosklerosis yang terutama mengenai
lapisan intima dan umumnya terjadi di arteri muskuler ukuran besar dan sedang
serta merupakan kelainan yang mendasari penyakit jantung iskemik.
Lesi aterosklerosis diklasifikaiskan alas 3 tahap secara morfologik: bercak
perlemakan, plak fibrosa, dan lesi terkomplikasi. Sebelum terjadinya bercak
perlemakan sudah ada gel-gel busa. Bercak perlemakan sudah bisa ditemukan
pada usia 10 tahun dan meningkat kekerapannya pada usia 30 tahun. Flak fibrosa
adalah bentuk lesi yang khas untuk aterosklerosis yang sudah berkembang. Lesi
terkomplikasi adalah plak fibrosa yang sudah mengalami perubahan oleh
peningkatan nekrosis sel, perdarahan, deposit kalsium atau diquamasi permukaan
endotel diatasnya dan pembentukan trombus. Lesi terkomplikasi dapat
mengakibatkan gangguan aliran di lumen pembuluh darah.
b. Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner atau penyakit arteri koroner merupakan suatu
manifestasi khusus dan arterosklerosis pada arteri koroner. Plaque terbentuk pada
percabangan arteri yang kearah arteri koronaria kiri, arteri koronaria kanan dan
agak jarang pada arteri sirkum flex. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard.

41
2.4.5 Penatalaksanaan
2.4.5.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada pengobatan adalah penurunan kolesterol
total dan LDL untuk mengurangi resiko pertama atau berulang dari infark
miokardiak, angina, gagal jantung, stroke iskemia, atau kejadian lain pada
penyakit arterial perifer seperti karotid stenosis atau aneurisme aortik abdomial
(Sukandar dkk, 2008).

2.4.5.2 Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi dilakukan dimulai sejak awal kedatangan dan
termasuk terapi diet, pengurangan berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik.
Induksi penuruna berat badan hingga 10% harus didiskusikan dulu dengan pasien
yang kelebihan berat badan. Pada umumnya, aktivitas fisik teratur dan ridak
terlalu berat, yaitu 30 menit tiap harinya untuk sebagian besar hari dalam
seminggu harus diusahakan. Setiap pasien harus dianjurkan untuk berhenti
merokok.
Terapi diet yang objektif adalah menurunkan langsung konsumsi lemak
total, lemak jenuh, dan kolesterol untuk mendapatkan bobot badan yang sesuai.
Konsumsi kolesterol dan asam lemak jenuh yang berlebihan akan membawa ke
pengurangan klirens hepatik LDL, dan deposisi LDL dan oksidasi LDL dalam
jaringan lemak (Sukandar dkk, 2008).
2.4.5.3 Terapi Farmakologi (Sukandar dkk, 2008).
Obat yang direkomendasikan untuk fenotip lipoprotein terpilih diberikan
pada tabel berikut:
Tipe Lipoprotein Pilihan Obat Terapi Kombinasi
I Tidak diindikasikan -
IIa Statin Niacin atau BAR
Kolesteramin atau Statin atau niacin
Kolestipol Statin atau BAR
Nicain Ezetimib
IIb Statin BAR atau fibrat atau
Fibrat niacin
Niacin Statin atau niacin atau
BAR
Statin atau fibrat
Ezetimib
III Fibrat Statin atau niacin
Niacin Statin atau fibrat

42
Ezetimib
IV Fibrat Niacin
Niacin Fibrat
V Fibrat Niacin
Niacin Minyak ikan

Efek terapi obat terhadap lipid dan lipopotein ditunjukkan pada tabel berikut:

Berikut penjelasan tentang terapi farmakologi dislipidemia:


1. Resin Asam Empedu
 Yang termasuk golongan ini adalah Kolesteramin dan Kolestipol.
 Mekanisme kerja: obat ini merupakan resin (damar) penukar ion yang
bersifat basa, yang mempunyai afinitas tinggi terhadap asam empedu.
 Asam empedu akan diikat oleh resin ini, membentuk senyawa yang tidak
larut dan tak dapat direabsorbsi untuk selanjutnya diekskresi melalui feses.
 Dengan demikian ekskresi asam empedu yang biasanya sedikit akibat
peredaran darah enterohepatik dapat ditingkatkan hampir 10 kalinya

43
 Resin asam empedu digunakan dalam pengobatan hiperkolesterolemia
primer dan untuk detoksifikasi keracunan digitalis.
 Keluhan gastrointestinal seperti konstipasi, mulas, penuhnya epigastrik,
mual dan kembung biasa dolaporkan. Efek samping ini dapat diatur
dengan peningkatan asupan cairan, perubahan makan untuk meningkatkan
pengeluaran.
 Kontraindikasi Kolesteramin dan Kolestipol: penyumbatan saluran
empedu.
 Interaksi Kolesteramin dan Kolestipol: mempengaruhi obat-obat oral yang
lain, sehingga waktu minum obat diberi sela yang pantas, yaitu obat-obat
yang mengalami sirkulasi enterohepatik (misal kumarin).
2. Penghambat Sintesa Protein / Niasin
 Mekanisme kerja: menghambat lipolisis trigilierida menjadi
asam lemak bebas.
 Niasin (asam nikotinat) mengurangi sintesis hepatik VLDL, yang akan
mengarah pada pengurangan sintesis LDL. Niasin juga meningkatkan
HDL dengan mengurangi katabolimenya.
 Prinsip dalam penggunaan niasin adalah untuk hiperlipidemia campuran
atau agen sekunder dalam terapi kombinasi untuk hiperkolesterolemia.
Obat ini merupakan agen primer aatau alternatif untuk pengobatan
hipertrigliseridemia dan dislipidemia diabetik.
 Efek samping: kemerahan pada kulit (di sertai perasaan panas) dan pruritus
(rasa gatal  pada  kulit),  pada  sebagian  pasien mengalami
mual dan sakit pada abdomen, meningkatkan kadar asam urat
(hiperurisemia) dengan menghambat sekresi tubular asam urat, toleransi
glukosa dan hepatotoksik.
3. Penghambat Koenzim A Reduktase
 Yang termasuk golongan ini adalah Lovastatin, Pravastatin, Simvastatin
dan Fluvastatin.
 Mekanisme kerja: menghambat enzim HMG Co A reduktase dalam
sintesis kolesterol, dengan demikian akan meningkatkan penguraian
kolesterol intrasel sehingga mengurangi simpanan kolesterol intrasel.

44
 Penggunaan : efektif untuk menurunkan kadar kolesterol plasma pada
semua jenis hiperlipidemia.
 Efek samping : kelainan biokimiawi, fungsi hati dan gangguan otot
(miopati).
 Interaksi obat : meningkatkan kadar Kumarin (antikoagulan) sehingga
meningkatkan risiko pendarahan.
 Kontra indikasi : ibu hamil dan menyusui, anak-anak dan remaja.
4. Derivat Asam Fibrat
 Yang termasuk golongan ini adalah Fenofibrat, Klofibrat, Bezafibrat dan
Gemfibrozil
 Terapi tunggal efektif dalam penurunan VLDL, tapi akibatnya terjadi
peningkatan LDL dan kadar kolesterol total akan cenderung berubah
 Mekanisme kerja: memacu aktivitas lipase lipoprotein, sehingga
menghidrolisis trigliserida pada kilomikron dan VLDL.
 Efek samping :
- Asam Klofibrat atau derivatnya: keluhan abdominal ringan, ruam
kulit, kecendrungan terbentuknya batu empedu (kolesterol), miositis
toksik, kenaikan konsentrasi AP (alkalifosfatase) dan transaminase.
- Asam nikotinat atau derivatnya: keluhan abdominal, kenaikan asam
urat, penurunan toleransi glukosa pada terapi jangka panjang
 Kontraindikasi: kehamilan, masa menyusui
 Interaksi:
- Asam Klofibrat atau derivatnya: penuatan efek kumarin,
antidiabetik oral
- Asam nikotinat atau derivatnya: pengurangan efek obat antidiabetik
5. Ezetemibe
 Ezetimibe mengganggu absorbsi kolesterol dari membran fili saluran cerna
(brush border), mekanisme baru yang membuatnya menjadi pilihan baik
untuk terapi tambahan.
 Obat ini dapat digunakan baik dalam terapi tunggal atau digunakan dengan
statin. Dosisnya 10 mg per hari, diberikan dengan atau tanpa makanan.

45
 Ketika digunakan tunggal obat ini menurunkan lebih kurang 18%
kolesterol LDL. Ketika ditambahkan statin, Ezetimibe menurunkan LDL
dengan penambahan sekitar 12-20%.
 Ezetimibe dapat diterima dengan baik, sekitar 4% pasien mengalami
keluhan gastrointestinal.
 Contoh sediaan beredar: Ezetrol
6. Suplementasi minyak ikan
 Makanan tinggi omega-3 asam lemak rantai panjang tidak jenuh
(dari minyak ikan), lebih dikenal dengan asam eikosapentanoat
(EPA), mengurangi kolesterol, trigliserida, LDL, dan VLDL, dan
dapat meningkatkan kolesterol HDL.
 Pasien yang diobati untuk gangguan sekunder, gejala penyakit
jantung, aterosklerosis, seperti angina atau iskemia yang
menyebabkan nyeri seperti kram, dapat meningkat dari bulan ke
tahun.

46
BAB III
TINJAUAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

No. MR 000815xx
Nama Pasien Ny. Md
Jenis Kelamin Perempuan
Umur 51 Tahun
Agama Islam
Alamat Cangkiang Nag Batu Taba IV Angkat,
Ampang Gadang. Kab. Agam.
Berat badan/ Tinggi Badan 55 kg/ 155 cm
Ruangan Interne, Anggrek 3.
Mulai Perawatan 25 September 2021
Keluar RS 01 Oktober 2021

3.2 Riwayat Penyakit


a. Keluhan utama
Mual (+), muntah 3 kali sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat penyakit sekarang
- Tiap makan muntah
- Badan letih
- Tidak ada nafsu makan
c. Riwayat penyakit terdahulu
- Riwayat hipertensi
d. Riwayat penyakit keluarga
-

47
3.3 Pemeriksaan fisik
3.3.1 Tanda vital
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis (normal)
GCS : E4M6V5. Total= 15 (normal)
Tekanan Darah : 160/90 mmHg (tinggi)
Nadi : 96x/menit (tinggi)
Pernafasan : 20x/menit (normal)
Suhu o
: 36,7 C (normal)
Berat Badan : 55 kg

3.3.2 Status Generalis

1 Kepala : Normal
2 Mata : Normal

3 THT : Normal

4 Mulut : Normal

5 Leher : Normal
6 Jantung : Normal
7 Paru : Normal

8 Dada dan Payudara : Normal


9 Perut : Normal
10 Urogenital : Normal
11 Anggota Gerak : Normal

12 Muskuloskeletal : Normal
13 Kesadaran : Normal

3.3.3 Riwayat Alergi

48
3.4 Pemeriksaan Penunjang

Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan


25/09/2021 Gula darah
- Random 110 < 200 mg/dl Normal
- Nukhter 70 – 110 mg/dl
- 2 Jam PP < 200 mg/dl
Ureum 16 10 – 50 mg/dl Normal
Kreatinin 0,5 0,6 – 1,1 mg/dl Rendah
Natrium 117 136 – 145 mmol/I Rendah
Kalium 3,0 3,5 – 5,1 mmol/I Rendah
Klorida 81 97 – 111 mmol/I Rendah

28/09/2021 Natrium 137 136 – 145 mmol/I Normal


Kalium 3,4 3,5 – 5,1 mmol/I Rendah
Klorida 99 97– 111 mmol/I Normal
Asam Urat 4,7 L (3-7 mg/dl) P (2,4-5,7 mr/dl Normal
Total Kolesterol 261 < 220 mg/dl Tinggi
HDL Kolesterol 56 > 65 mg/dl Rendah
LDL Kolesterol 186 < 150 mg/dl Tinggi
Trigliseria <150 mg/dl Normal
99

a. Diagnosa Utama
Hiponatremia, Hipertensi
b. Diagnosa Sekunder
Dispepsia, Dislipidemia
 Terapi di IGD
- IVFD NaCl 0,9 % I kolf /12 jam (stop) , dilanjutkan IVFD NaCl 3%
II kolf/12 jam, selanjutnya NaCl 0,9 %/12 jam
- Inj. Omeprazol 40 mg
- Inj. Ondancentron ampul 2x1 amp.
- Amlodipin 1x5 mg
- Neurodex 1x1 tab
- Sucralfat 3x 2 cth
- KSR 2x1 tab
- Inj. Ranitidin 2x50 mg

49
c. Follow Up Pasien
- Hari Ke-1 (25 September 2021)
S : nafsu makan tidak ada sejak 3 hari yang lalu,
mual dan muntah setiap kali makan
badan terasa letih. BAB dan BAK normal.
Riwayat penyakit terdahulu : Hipertensi sejak 3 tahun yang
lalu.
O : pasien tampak letih
Kes : normal P: 20x/menit
TD : 160/90 mmHg N: 96x/menit
SpO2 : 98% Suhu tubuh: 36,7oC
A : reaksi defisiensi nutrisi
reaksi inbalance cairan dan elekrolit
P : Nutrisi tubuh terpenuhi
: Cairan dan elektrolit seimbang
Monitor TTV
Manajemen nutrisi
Manajemen elektrolit
Kolaborasi : infus NaCl 3% / 12 jam (I/II)

- Hari Ke-2 (26 September 2021)


S : Nafsu makan menurun, badan letih, sakit pinggang
O : Pasien kelihatan letih. Diet habis ½.
TD: 160/90 mmHg (jam 9.00),
100/90 mmHg (jam 21.30)
Suhu: 36,7◦C
A : Reaksi defisiensi nutrisi
Reaksi inbalance cairan dan elektrolit
Hipertensi, dispepsia
P : Masalah keperawatan teratasi secara bertahap.
Amlodipin stop
Ibuprofen 2x 400 mg

50
- Hari Ke-3 (27 september 2021)
S : Sakit pinggang
O : TD : 100/60 mmHg
Nadi : 90x/ menit
Pernafasan : 20x/ menit
Suhu : 36,7◦C
GCS : 15
Motorik

5 5
5 5

A : Dispepsia + Intake sulit


Hipertensi + Elektrolit imbalance
P : Sesuai DPJP

- Hari Ke-4 (28 September 2021)


S : Nafsu makan mulai meningkat
O : Diet habis
A : Hiponatremia
Dispepsia
Hipertensi
Imbalance cairan dan elektrolit
P : Cek Lab
Candesartan 1 X 8 mg

- Hari Ke-5 (29 september 2021)


S : Nafsu makan meningkat
Letih
O : Diet Habis
A : Hipertensi + Dislipidemia
P : Candesartan 1 x 8 mg
Simvastatin 1 x 10 mg

51
- Hari Ke-6 (30 september 2021)
S : Badan Letih
Nafsu makan ada
O : GCS: 15
Makanan habis 1 porsi
TD : 140/90
A : Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
P : Manajemen Nutrisi seimbang
Infus Off

- Hari Ke-6 (01 Oktober 2021)


S : Keluhan berkurang
O : GCS :15
A : Dispepsia
P : Boleh pulang
Manajemen nutrisi

52
d. Analisa Terapi
3.8.1 Lembar Pengobatan Pasien di Bangsal INTERNE
No. Tanggal Pemberian Obat
Nama Dagang/ Frekuensi Rute 25/9 26/9 27/9 28/9 29/9 30/9 1/9
Generik
P S S M P S S M P SS M P S S MP S S M P S SM P S S M
O O O O O O
O
1 Amlodipine 5 mg 1x1 PO √ √ √ St STOP
op
2 Sukralfat syirup 3 x 1 sdm PO √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

3 KSR 2x1 PO √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

4 Neuradex 1x1 PO √ √ √ √ √ √ √

5 Ibuprofen 400 mg 2x1 PO √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

6 Candesartan 8 mg 1x1 PO √ STOP

7 Candesartan 16 mg 1 x1 PO √ √ √

8 Simvastatin 10 mg 1x1 PO √ √ √

9 Nacl 0.9% /12 jam STOP STOP


Inf IGD
10 Inj. Omeprazol 2x1 Iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ STOP
Iv
11 Inj. Ondansentron 2x1 Iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ STOP

12 Nacl 3%/ 12 jam /12 jam STOP


( Kolf) Inf
13 Inj. Ranitidin 50 mg 2x1 Iv √ √ STOP

87
3.8.2 Lembaran DRP ( Drug Related Problem)

Tabel Drug Terapi Problem

No Drug Therapy Problem Check Keterangan/Rekomendasi


List

1. Terapi obat yang tidak


Diperlukan

Terdapat terapi tanpa - Obat yang di berikan sudah sesuai indikasi klinis pasien
indikasi medis - Pemberian amlodipin digunakan untuk terapi hipertensi pada pasien.
- Pemberian sukralfat sebagai pelindung mukosa lambung pada penderita
dyspepsia.
- Pemberian KSR digunakan untuk menangani jumlah kalium yang rendah dalam
darah.
- Pemberian Neurodex digunakan untuk mengatasi gejala difisiensi vitamin B1, B6,
B12.
- Ibuprofen sebagai analgesic untuk terapi nyeri yang dialami pasien.
- Candesartan digunakan untuk terapi hipertensi pada pasien.
- Simvastatin digunakan untuk terapi dyslipidemia pada pasien.
- NaCl 0,9 % digunakan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit dalam darah
pasien.
- NaCl 3% digunakan untuk mengatasi kondisi hiponatremia pada pasien.
- Injeksi omeprazole digunakan menurunkan kadar asam lambung pada penderita
dyspepsia
- Injeksi ondansentron sebagai terapi antiemetik pada pasien.
- Pemberian ranitidine injeksi digunakan menurunkan produksi asam lambung pada
penderita dyspepsia.

1
Pasien masih Mencukupi kebutuhan asupan gizi
memungkinkan menjalani Menghindari makanan berlemak/ tinggi kolesterol
terapi non farmakologi - Menjaga pola makan
Menghindari stress
Terdapat duplikasi terapi - Tidak terdapat duplikasi terapi karena obat dengan mekanisme kerja yang berbeda- beda
dan telah sesuai dengan kebutuhan pasien.
- Amlodipin bekerja menghambat influx ion kalsium pada kanal ion kalsium di
pembuluh darah dan otot jantung. Penurunan ion kalsium intraseluler
menyebabkan penurunan ion kalsium intraseluler menyebabkan penurunan
kontraksi otot. Pada pembuluh darah, penurunan ion kalsium intraseluler
menurunkan kontraksi otot polos pembuluh darah, lalu meningkatkan diameter
pembuluh darah arteri namun tidak pada vena sehingga menimbulkan
vasodilatasi.
- Sukralfat bekerja membentuk kompleks dengan protein ulcer sebagai lapisan
penghalang terhadap difusi asam, pepsin, dan garam empedu.
- KSR bekerja membantu menjaga tekanan osmotis
- Neurodex (Vitamin B1, B6, B12). Mekanisme B1 berperan sebagai ko-enzim dari
karboksilase (enzim esensial pada metabolism karbohidrat), pembentukan energy
dan penting untuk beberapa fungsi system saraf. Vitamin B6 menrupakan
koenzim yang berperan penting dalam metabolism eberbagai asam amino,
diantaranya dekarboksilasi, transminasi, dan raseminasi triptofan, asam-asam
amino bersulfur dan asam amino hidroksida.
- Ibuprofen bekerja menghambat sintesis prostaglandin dengan hambatan pada
enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2
terganggu.
- Candesartan bekerja memblokade reseptor AT1 sehingga menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan eksresi Na dan cairan (mengurangi volume plasma),
menurunkan hipertrofi vascular.
- Simvastatin bekerja menghambat kerja 3-hidroksi-3metilglutaril koenzim A
reduktase (HMG Co-A reduktase), dimana enzim ini mengkatalisa perubahan
HMG Co-A menjadi asam mevalonat yang merupakan langkah awal dari sintesa
kolesterol.
2
- Omeprazol bekerja menghambat asam lambung dengan menghambat kerja enzim
(K+H+ ATPase) yang akan memecah K+H+ ATP menghasilkan energy yang
digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam
lumen lambung.
- Ondansentron bekerja menghambat ikatan serotonin pada reseptor 5HT3,
sehingga membuat penggunaannya tidak mual dan berhenti muntah
- Ranitidin bekerja Menghambat secara kompititif reseptor H2 pada sel parietal
gastrik, yang menghambat sekresi asam lambung, volume gastrik, dan konsentrasi
ion hidrogen dapat diturunkan oleh obat ini.
Pasien mendapat -Pasien mengalami efek samping, yakni udem pada kaki setelah penggunaan amlodipine
penanganan terhadap efek (PIO NAS, 2015).
samping yang seharusnya -
dapat dicegah. -Mekanisme : Edema dari CCB adalah efek vasodilatasi arteri perifer yang kuat (Koda et
al, 2013). Etiologinya berhubungan dengan penurunan arteriolar resistensi yang tidak
tertandingi dalam sirkulasi vena. Perubahan resistensi yang tidak proporsional ini
meningkatkan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi precapillary dan memungkinkan cairan
bergeser ke kompartemnen interstitial (Sica, 2003).

-Solusi = penghentian obat dan penggantian dengan agen antihipertensi alternatif


(Rajanadh et al, 2013).

Pada kasus Ny Md = amlodipine diganti dengan candesartan.


2. Kesalahan obat
Bentuk sediaan tidak tepat - Bentuk sediaan telah disesuaikan dengan kondisi pasien:
- Amlodipin 1 x 5 mg po: amlodipin diberikan dalam bentuk tablet karena pasien
tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Sukralfat sirup 3 x 1 sendok takar po: sukralfat diberikan dalam bentuk sediaan
sirup karena pasien tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- KSR 2 x 600 mg po : KSR diberikan dalam bentuk tablet karena pasien tidak
memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Neurodex 1 x 1 tablet po: Neurodex diberikan dalam bentuk kapsul karena pasien
tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
3
- Ibuprofen 2 x 400 mg po: Ibuprofen diberikan dalam bentuk kapsul karena pasien
tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Candesartan 1 x 8 mg po: Candesartan diberikan dalam bentuk kapsul karena
pasien tidak memiliki masalah dalam penggunaan obat oral
- Simvastatin 1 x 10 mg po: Simvastatin diberikan dalam bentuk injeksi agar
mempercepat efek kerja obat
- Omeprazole injeksi 2 x 40 mg iv: Omeprazole diberikan dalam bentuk injeksi agar
mempercepat efek kerja obat
- Ondansentron injeksi 2 x 2 mg/ml iv: Omeprazole diberikan dalam bentuk injeksi
agar mempercepat efek kerja obat
- Ranitidin injeksi 2 x 50 mg iv: Ranitidine diberikan dalam bentuk injeksi agar
mempercepat efek kerja obat
- NaCL 0,9 % / 12 jam inf : NaCl 0,9 % diberikan dalam bentuk injeksi agar
mempercepat efek kerja obat
- NaCL 3 % / 12 jam inf : NaCl 3 % diberikan dalam bentuk injeksi agar
mempercepat efek kerja obat
-
Terdapat kontra indikasi - Tidak ada kontra indikasi pada pengobatan.

Kondisi pasien tidak dapat Kondisi pasien dapat disembuhkan oleh obat
disembuhkan oleh obat -

Obat tidak diindikasikan Pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan indikasi. (penjelasan pada lembar
untuk kondisi pasien - pengkajian obat)

Terdapat obat lain yang - Pasien tidak ada mendapatkan terapi yang tidak diperlukan. Terapi yang diberikan
lebih efektif sesuai dengan indikasi yang diderita pasien.

3. Dosis tidak tepat


Dosis terlalu rendah - Sudah tepat dosis

4
Dosis terlalu tinggi - - Amlodipin 1 x 5 mg po: dosis untuk dewasa awalnya sebagai monoterapi,
(AHFS 2011) amlodipine 2,5-5 mg sekali sehari. Dosis maksimum 10 mg setiap hari (aman)
- Sukralfat 3 x 1 sdm po: dosis untuk dewasa 2 sdt 4x/hari. (aman)
- KSR 2 x 600 mg po: dosis untuk dewasa 2-3 x sehari 1-2 tablet. (aman)
- Ibuprofen 2 x 400 mg po: dosis untuk dewasa 3-4 x 200-400 mg/hari. (aman)
- Candesartan 1 x 8 mg po: dosis untuk dewasa, dosis awal 16 mg sekali sehari pada
orang dewasa tanpa deplesi volume intravaskular. (aman)
Dosis biasa: 8-32 mg setiap hari, diberikan dalam 1 dosis atau 2 dosis terbagi
(aman)
- Simvastatin 1 x 10 mg po: dosis untuk dewasa 5 – 10 mg sehari (aman).
- Omeprazol injeksi2x40 mg iv, dosis untuk dewasa 20-40 mg sehari (aman).
- Ondansentron injeksi 2 x 2 mg/ml iv, dosis dewasa 0,15 mg/kg melalui infus IV
dimulai 30 menit sebelum pemberian kemoterapi emetogenik, diikuti dengan infus
0,15 mg/kg 4 dan 8 jam setelah dosis pertama.
Sebagai alternatif, 32 mg sebagai dosis tunggal dengan infus IV dimulai 30 menit
sebelum pemberian kemoterapi emetogenik (AHFS, 2011).
- Ranitidin injeksi 2 x 50 mg iv. Dosis max: 50 mg (2ml) tiap 6- 8 jam. Max 4
ml/menit (selama 5 menit). (aman).
- NaCl 0.9 % infus/12 jam . Dosis maksimum yaitu 100-150 mEq/hari
- NaCl 3 % infus/12 jam Dosis maksimum yaitu tidak perlu penyesuaian dosis

Frekuensi penggunaan - Frekuensi penggunaan obat yang diberikan sudah sesuai


tidak tepat - Amlodipin 1 x 5 mg (po), pagi
- Sukralfat syr 3 x 1 sdm (po), pagi, siang, sore
- KSR 2 x 600 mg (po), pagi dan malam
- Neurodex 1 x 1 tablet (po), pagi
- Ibuprofen 2 x 400 mg (po), pagi dan malam
- Candesartan 1 x 8 mg (po), malam
- Simvastatin 1 x 10 mg (po), malam
- NaCl 0,9 %, infus /12 jam, pagi dan malam
- Inj. Omeprazole 2x 40 mg (iv)
- Inj. Ondansentron 2x 4 mg/2ml (iv), pagi dan malam
5
- NaCl 3 %, infus /12 jam, pagi dan malam
- Ranitidin injeksi 2 x 50 mg (iv), pagi dan malam
Penyimpanan tidak tepat - Proses penyimpanan obat sudah diletakkan pada tempat yang sesuai pada tempatnya.
Dimana obat disimpan dalam tempat obat pasien. Menurut AHFS
- Amlodipin : Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan tempat
yang lembab.
- Sukralfat sirup : Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan
tempat yang lembab.
- KSR : Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan tempat yang
lembab.
- Neurodex : Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan tempat
yang lembab.
- Ibuprofen : Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan tempat
yang lembab.
- Candesartan : Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan tempat
yang lembab.
- Ranitidin injeksi: Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan
tempat yang lembab.
- Omeprazol injeksi: Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya dan
tempat yang lembab.
- Ondansentron injeksi: Simpan ditempat yang kering dan terlindung dari cahaya
dan tempat yang lembab.

Administrasi obat tidak - Administrasi sudah tepat


Tepat

Terdapat interaksi obat - ada interaksi obat (Medscape, 2021; Drugs.com, 2021; AHFS, 2011)
Candesartan + Kalium Klorida (KSR) = candesartan dapat meningkatkan serum kalium
dalam darah.
Mekanisme = penggunaan candesartan ( angiotensin II receptor blocker (ARB)) dengan
kalium klorida dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah. Penghambatan AT II

6
menghasilkan penurunan sekresi aldosterone, yang dapat menyebabkan peningkatan
kalium serum yang dapat bertambah.
Kadar kalium yang tinggi dapat berkembang menjadi hyperkalemia, yang dalam kasus
parah dapat menyebabkan gagal ginjal, kelumpuhan otot, irama jantung tidak teratur,
dan henti jantung (Stockley, 2008)
Solusi: monitoring kadar kalium dalam darah (Stockley, 2008).
4. Reaksi yang tidak
Diinginkan

Obat tidak aman untuk - Obat yang diberikan aman digunakan pasien. Pemberian terapi pada pasien telah
pasien disesuaikan dengan dosis yang tepat untuk pasien (lihat pada tabel DRP
perhitungan dosis)

Terjadi reaksi alergi - Tidak ada masalah, Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat yang digunakan,
sehingga obat aman digunakan pasien.
Terapi yang diberikan pada pasien tidak menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada
pasien.

Dosis obat dinaikkan atau - Tidak terdapat peningkatan dan penurunan dosis pada terapi pasien, serta tidak ada
diturunkan terlalu cepat dosis terapi yang diberikan pada pasien terlalu tinggi.

Muncul efek yang tidak - Menurut pengamatan, tidak muncul efek yang tidak diinginkan selama pemberian
Diinginkan terapi seperti sinergis, adisi, potensiasi, dan antagonis

5. Ketidak sesuaian
kepatuhan pasien

Obat tidak tersedia - Tidak ada masalah untuk penyediaan obat pasien. Semua obat yang dibutuhkan
pasien telah tersedia di apotek rumah sakit

7
Pasien tidak mampu - Pasien mampu menyediakan obat karena pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS
menyediakan Obat

Pasien tidak bisa menelan - Pasien masih bisa menelan atau menggunakan obat
atau menggunakan obat

Pasien tidak mengerti - Instruksi penggunaan obat dijelaskan kepada keluarga pasien.
intruksi penggunaan obat - Amlodipin 1 x 5 mg (po) pagi (08.00)
- Sukralfat syr 3 x 1 sdm (po) pagi (08.00), siang (12.00), sore (sore 18.00)
- KSR 2 x 1 sehari (po) pagi (08.00), sore (18.00)
- Neurodex 1 x 1 tab (po) pagi (08.00)
- Ibuprofen 2 x 400 mg (po) pagi (08.00), sore (sore 18.00)
- Candesartan 1 x 8 mg sehari (po) sore (18.00)
- Simvastatin 1 x 10 mg (po) sore (18.00)
- Omeprazol injeksi 2 x 40 mg (po) pagi (08.00) dan sore (18.00)
- Ondansentron injeksi 2 x 2 mg/ml (po) pagi (08.00) dan sore (18.00)
- Ranitidin injeksi 2 x 50 mg (po) pagi (08.00) dan sore (18.00)
- NaCl 0,9 %, infus /12 jam, pagi dan malam
- NaCl 3 %, infus /12 jam, pagi dan malam
Pasien tidak patuh atau - Pasien patuh menggunakan obat. Obat-obatan untuk pasien rawat inap disediakan dalam
memilih untuk tidak bentuk UD (Unit Dose) untuk pemakaian 1 kali pakai, sehingga ketidak
menggunakan obat patuhan pada pasien dapat teratasi.

6. Pasien membutuhkan
terapi tambahan

Terdapat kondisi yang - Tidak ada kondisi yang tidak diterapi


tidak diterapi

Pasien membutuhkan obat - Pasien tidak membutuhkan obat lain yang sinergis
lain yang sinergis

8
Pasien membutuhkan - Pasien tidak membutuhkan terapi profilaksis terhadap kondisinya
terapi profilaksis

3.8.3 Lembar Pengkajian Obat

Jenis obat Rute Dosis Berhent Indikasi obat Ketepatan Indikasi Komentar dan Alasan
i
Amlodipin 5 mg Po 1x1 - Hipertensi Tepat indikasi Terapi hipertensi pada pasien karena mengalami
tekanan darah tinggi
Sukralfat sirup Po 3x1 - Dispepsia Tepat indikasi Terapi untuk melindungi mukosa lambung pada
sdm penderita dyspepsia
KSR 600 mg Po 2x1 - Hipokalemia Tepat indikasi Terapi untuk mengobati atau mencegah jumlah
kalium yang rendah pada pasien
Neurodex Po 1x1 - Difisiensi vit B 1, B6, Tepat indikasi Terapi defisiensi vitamin Vit B1, B6, B12 (dengan
tab B12 keluhan pasien lemah, letih, lesu)
Ibuprofen 400 mg Po 2x1 - Nyeri ringan sampai Tepat indikasi Terapi untuk mengobati nyeri ringan pada
sedang pasien
Simvastatin 10 mg Po 1x1 - Dislipidemia Tepat indikasi Terapi untuk dislipidemia pada pasien

Ranitidin injeksi 50 Iv 2x1 - Dispepsia Tepat indikasi Terapi sebagai stress ulcer dan menetralkan
mg reaksi muntah akibat dari tekanan intrakranial
Omeprazol injeksi 40 Iv 2x1 - Dispepsia Tepat indikasi Terapi untuk pasien dispepsia
mg
Ondansentron injeksi 2 Iv 2x1 - Mual dan muntah Tepat indikasi Terapi pasien dyspepsia
mg/ml
NaCl 0,9 % Iv /12 jam - Ketidakseimbangan Tepat indikasi Digunakan untuk mengembalikan keseimbangan
elektrolit cairan dan elektrolit pasien

NaCl 3% Iv /12 jam - Ketidakseimbangan Tepat indikasi Digunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan
elektrolit, Hiponatremia elektrolit/ hiponatremia pada pasien.

9
3.8.4 Lembar Kerja Farmasi

3.8.4.1 Pemantauan Efek Terapi

Tujuan Rekomendasi Parameter Hasil yang Monitoring 25-9-21 26-9-21 27-9-21 28-9-21 29-9-21 30-9-2021 1-10-2021
Terapi Terapi Monitoring diharapkan Frekuensi
Menurunka Amlodipin Tekanan Tekanan 3 x sehari 160/90 110/70 120/80
n tekanan darah darah mmHg mmHg mmHg
darah menurun STOP
(120/80
mmHg)
Menurunka Candesartan Tekanan Tekanan 3x sehari 150/100
n tekanan 8 mg darah darah mmHg
darah menurun - STOP
(120/80
mmHg)
Menurunka Candesartan Tekanan Tekanan darah 3x sehari
n tekanan 16 mg darah menurun 140/100 110/70 140/90
darah (120/80 - mmHg mmHg mmHg
mmHg)
Menghilang Sukralfat Nyeri pada Tidak ada nyeri Setiap hari Tidak ada Tidak Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada nyeri Tidak ada
kan rasa sirup lambung pada lambung nyeri pada ada nyeri pada nyeri pada nyeri pada pada lambung nyeri pada
nyeri pada lambung nyeri lambung lambung lambung lambung
lambung pada
lambung
Mengobati KSR Kalium Kalium 2 kali 3,0 mmol/ - - 3,4 mmol/l - - -
dan dalam dalam darah
mencegah darah normal
jumlah (3,5 – 5,1
kalium mmol/I)
yang
rendah
dalam
darah.

10
Meredakan Ibuprofen Nyeri Tidak adanya Setiap hari Pasien Pasien tidak Pasien tidak Pasien tidak Pasien
nyeri pinggang nyeri mengalam mengalami mengalami mengalami tidak
- i sakit sakit sakit sakit mengalam
pinggang pinggang pinggang pinggang i sakit
pinggang

Terapi Neurodex Lemah, Tidak adanya Setiap hari pasien pasien pasien pasien pasien Pasien masih Pasien masih
untuk letih, lesu gejala tampak mengala mengalam mengalami mengalami mengalami letih mengalami
difisiensi defisiensi letih, mi letih, i letih, letih, lemah letih, lemah tanpa disertai letih, tanpa
vitamin B1, vitamin B1, lemah dan lemah lemah dan dan lesu dan lesu lemah disertai lemah
B6, B12 B6, B12 lesu dan lesu lesu dan lesu
(lemah, letih,
lesu)

Terapi Simvastatin Kadar Total 1 kali Data lab:


untuk kolesterol kolesterol : Total
mengobati dalam < 220 mg/dl kolesterol:
kolesterol darah - - - 261 mg/dl - - -
pada pasien HDL:
dislipidemi >65 mg/dl HDL:
a 56 mg/dl
LDL:
< 150 mg/dl LDL:
186 mg/dl
Terapi Ranitidin Gejala Pasien tidak Setiap hari Pasien
untuk dispepsia mengalami tidak
mengatasi (mual, gejala mengalam
gejala muntah, dispesia i gejala STOP
dispepsia nyeri (mual, dyspepsia
lambung) muntah, (mual,
nyeri muntah,
lambung) nyeri
lambung)
Terapi Injeksi Gejala Pasien tidak Setiap hari Pasien Pasien Pasien Pasien tidak Pasien
berfungsi omeprazol dispepsia mengalami tidak tidak tidak mengalami tidak
untuk (mual, gejala mengalam mengalam mengalam gejala mengalami
mengatasi muntah, dispesia i gejala i gejala i gejala dispesia gejala STOP
gejala nyeri (mual, dispesia dispesia dispesia (mual, dispesia
dispepsia lambung) muntah, (mual, (mual, (mual, muntah, (mual,

11
nyeri muntah, muntah, muntah, nyeri muntah,
lambung) nyeri nyeri nyeri lambung) nyeri
lambung) lambung) lambung) lambung)
Terapi mual Injeksi Mual dan Pasien tidak Setiap hari Pasien Pasien Pasien Pasien tidak Pasien
muntah ondansentron muntah mengalami tidak tidak tidak mengalami tidak
untuk mual dan mengalam mengalam mengalam mual dan mengalami
pasien muntah i mual dan i mual dan i mual dan muntah mual dan STOP
dispesia muntah muntah muntah muntah

Terapi Infus NaCl Kadar Kadar 2 kali Na: 117 - - Na: 137 -
untuk 0,9% Natrium, Natrium : mmol/L mmol/L
mengatasi dan Klorida 136-145
kondisi dalam mmol/L Cl : 81 Cl : 99 STOP
hiponatremi darah mmol/L Mmol/L
a Klorida:
97-111
mmol/L

Terapi Infus NaCl Kadar Kadar 2 kali - - Na: 137


untuk 3% Natrium, Natrium : mmol/L
mengatasi dan Klorida 136 – 145
kondisi dalam mmol/L Cl : 99 STOP
hiponatremi darah mmol/L
a Klorida:
97-111
mmol/L

12
3.8.4.2 Lembar Monitoring Efek Samping Obat

No Nama Obat Manifestasi ESO Regimen Cara Mengatasi ESO Evaluasi


Dosis Tgl Uraian
1 Amlodipin Nyeri abdomen, 1 x 10 mg po Dilakukan penggantian obat pada 25 – 27 Pasien
mual,, palpitasim pasien terhadap pasien september mengalami Efek
wajah memerah, samping : udem
edema, gangguan pada kaki
tidur, sakit kepala,
pusing (PIO NAS,
2015).
Sukralfat Konstipasi, diare, 3 x 1 sdm Istirahat yang cukup, 25 Pasien tidak
2 sirup mual, gangguan, Mengkonsumsi air putih yang September mengalami efek
pencernaan (PIO cukup –1 samping
NAS, 2015). Oktober
2021
3 KSR Mual dan muntah 2 x 600 Dikonsumsi kapan perlu saja 25 Pasien tidak
(PIO NAS, 2015). mg September mengalami efek
–1 samping
Oktober
2021

4 Neurodex Demam, 1 x 1 tab Istirahat yang cukup, menjaga pola 25 Pasien tidak
anafilaksis, makan dan nutrisi September mengalami efek
sianosis, –1 samping
diaphoresis, Oktober
urtikaria, sakit 2021
kepala, asidosis,
nausea,arthralgia,
nasofaringitis,
pusing (Medscape,
2021).
5 Ibuprofen Pusing, sakit 2 x 400 Istirahat yang cukup, Pasien tidak
13
kepala, Gangguan mg Mengkonsumsi air putih yang 27 mengalami efek
gastrointestinal cukup September samping
ruam kulit, –1
gangguan Oktober
pendarahan 2021
(trombositopenia),
ruam ( PIO NAS,
2015).
6 Candesartan Pusing, kelelahan, 2 x 8 mg Istirahat yang cukup, makanan Pasien tidak
8 mg sakit perut, diare, yang bergizi 28 mengalami efek
mual, sakit dada September samping
(Medscape, 2021)
7 Candesartan Pusing, kelelahan, 2 x 16
16 mg sakit perut, diare, mg Istirahat yang cukup, makanan 29 Pasien tidak
mual, sakit dada yang bergizi September mengalami efek
(Medscape, 2021) –1 samping
Oktober

8 Simvastatin sakit kepala, dan 1 x 10 Pasien tidak mengalami efek 29 Pasien tidak
efek saluran cerna, mg samping September mengalami efek
ruam kulit, vertigo, –1 samping
sakit perut Oktober
(Medscape, 2021). 2021
9 Omeprazol Diare, mual dan 40 mg Istirahat yang cukup, 25 Pasien tidak
injeksi konstipasin sakit sehari Mengkonsumsi air putih yang September mengalami efek
kepala, vertigo, cukup – 30 samping
rambut rontok, Oktober
impotensi (PIO 2021
NAS, 2015)

14
10 Ondansentro Sakit kepala, 2x1 Istirahat yang cukup, 25 Pasien tidak
n injeksi sensasi hangat, ampul Mengkonsumsi air putih yang September mengalami efek
(2mg/ml) kemerahan, cukup – 30 samping
konstipasi (PIO Oktober
NAS, 2015). 2021

11 Infus NaCl Pemberian dosis /12 jam Pemberian dengan dosis yang 25 Pasien tidak
0,9 % besar: penumpukan sesuai dengan kondisi pasien. September mengalami efek
natrium dan udem – 30 samping
(PIO NAS, 2015). Oktober
2021

12 Infus NaCl 3 Pemberian dosis /12 jam Pemberian dengan dosis yang 25 Pasien tidak
% besar: penumpukan sesuai dengan kondisi pasien. September mengalami efek
natrium dan udem – 30 samping
(PIO NAS, 2015). Oktober
2021

15
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Seorang pasien perempuan dengan inisial Md berumur 51 tahun dengan
berat badan 55 Kg. Pasien mengalami keluhan utama mual, muntah 3 kali sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien dirawat di bangsal interne ruang Anggrek
3 di Rumah Sakit Otak DR. Drs. Muhammad Hatta pada tanggal 25 September
2021. Riwayat penyakit sekarang yaitu tiap makan mual dan muntah, badan letih,
tidak ada nafsu makan. Riwayat penyakit terdahulu pasien adalah hipertensi.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran
normal, nadi 96 kali/menit, pernafasan 20 kali/menit, suhu 36,7 oC, dan berat
badan 55 kg. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kepala, mata, THT,
mulut, leher, jantung, paru, dada dan payudara, perut, urogenital, anggota gerak,
mukuloskeletal, dan kesadaran dalam keadaan normal. Berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan fisik, maka diagnosa utama pasien
adalah hiponatremia dan hipertensi sedangkan diagnosa sekunder pasien adalah
dyspepsia dan dyslipidemia.
Terapi yang diberikan di IGD adalah IVFD NaCl 0,9 %/ kolf /12 jam (stop) ,
dilanjutkan IVFD NaCl 3% II kolf/12 jam, selanjutnya NaCl 0,9 %/12 jam, Inj.
Omeprazol 40 mg, Inj. Ondancentron ampul 2x1 amp, amlodipin 1x5 mg, Neurodex
1x1 tab, Sucralfat 3x 2 cth, KSR 2x1 tab, Inj. Ranitidin 2x50 mg.
Perhitungan Regimen Infus Sodium Choride pada Pasien :

=
( IV Na−S 1❑ )
Na

BM + IV Vol
= ¿¿
396
=
28,5
= 13,89 mEq/L
= 1,389 mEq/100ml

Target yang ingin di capai 136 mEq/L


13,6
= x 1000 ml
13,89
= 979,12 ml
2-4 jam pertama 1,5 mEq/L
1,5 mEq/ L
= x 100 ml
1,38 9
= 107,99 ml/Jam
= 107,99 x 4 jam
= 431,96/4 jam
Perhitungan tetes/menit Infus Sodium Chlorida pada pasien
431,96
x 20
= 4
60
= 35,99 tetes/menit pada 4 jam pertama.
Pada 20 jam berikutnya :
= 979,12 – 431, 96
= 547, 16
547,16
x 20 tetes
= 20
60
= 9 tetes/menit
Pada 20 jam berikutnya di beri 9 tetes/menit Infus NaCl 3% pada pasien.
Pada saat pasien dirawat pasien mendapatkan obat amlodipin 1x5 mg,
sukralfat sirup 3 x 1 sdm, KSR 2 x 600 mg, neurodex 1 x 1 tablet, injeksi
omeprazol 2 x 1, injeksi ondansentron 2 x 1. Sedangkan pemberian injeksi
ranitidin 2 x kali dan Nacl 0,9 % dihentikan. Pada hari kedua pasien dirawat inap,
diberikan NaCl 3 % untuk mengatasi kondisi ketidakseimbangan elektrolit/
hiponatremia yang dialami pasien.
Pada hari ketiga pasien mendapatkan obat ibuprofen 2 x 400 mg karena pasien
mengeluhkan nyeri pada pinggang. Pada hari yang sama pasien juga mengeluhkan
mengalami gejala efeksamping dari amlodipine yaitu udem pada kaki sehingga pemberian
obat amlodipin dihentikan dan di ganti dengan candesartan 1 x 8 mg. Menurut Almasdy et
al (2018) Edema adalah salah satu efek samping dari amlodipine. Pada penelitiannya
salah satu pasien yang diberikan terapi amlodipine 10 mg 1 x per hari secara peroral
menyebabkan terjadinya edema pada tungkai kaki kiri pasien dan membuat pasien sulit
menggerakkan kaki nya. Fenomena ini juga di laporkan pada beberapa penelitian lain
yaitu penelitian Sanghavi et al (2017); Rajanadh et al (2013); Fujita et al (2007).
Berdasarkan algoritma naranjo, skor total kemungkinan besar terjadi efek samping obat
adalah sebesar 6 probable.
Mekanisme Edema dari CCB, adalah efek vasodilatasi arteri perifer yang kuat
(Koda et al, 2013). Etiologinya berhubungan dengan penurunan arteriolar resistensi yang
tidak tertandingi dalam sirkulasi vena. Perubahan resistensi yang tidak proporsional ini
meningkatkan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi precapillary dan memungkinkan cairan
bergeser ke kompartemnen interstitial (Sica, 2003). Solusi dari efek samping edema ini
adalah penghentian obat dan penggantian dengan agen antihipertensi alternatif (Rajanadh
et al, 2013). Pada kasus ini, tindakan yang diambil dokter sudah sesuai teori, yakni
dengan penghentian amlodipine dan diganti dengan obat antihipertensi alternatif lainnya
yaitu candesartan.
Pada hari keempat NaCl 3 % diberhentikan dan dilanjutkan dengan NaCl
0,9%. Pada hari keempat dosis candesartan 8 mg untuk terapi hipertensi
ditingkatkan menjadi candesartan dengan dosis 16 mg.
Pada hari ke-5 pasien diberikan simvastatin 10 mg 1x1, karena hasil labor
menunjukkan kondisi dislipidemia (data laboratorium: total kolesterol yang tinggi
(261 mg/dl) dan LDL kolesterol juga tinggi (186 mg/dl) sedangkan HDL rendah
(56 mg/dl)). Pada hari ke enam pemberian obat injeksi NaCl 0,9% diberhentikan
karena data laboratorium pasien menunjukkan kondisi hiponetremia telah teratasi
ditandai dengan telah normalnya kadar Natrium, Kalium dan Klorida didalam
darah pasien. Injeksi omeprazol dan injeksi ondansentron di hentikan karena
pasien tidak lagi mengalami mual dan muntah dan kondisi pasien membaik.
Pada hari ke-enam di rawat inap, pasien menunjukkan kondisi perbaikan
yang signifikan, sehingga pasien diperbolehkan pulang dengan tetap melanjutkan
terapi rawat jalan secara mandiri yakni terapi farmakologi (obat peroral dari RS)
dan terapi non-farmakologi berupa pola hidup sehat.
Pasien diberikan terapi amlodipin bertujuan untuk menurunkan tekanan
darah. Amlodipin bekerja menghambat influx ion kalsium pada kanal ion kalsium
di pembuluh darah dan otot jantung. Penurunan ion kalsium intraseluler
menyebabkan penurunan ion kalsium intraseluler menyebabkan penurunan
kontraksi otot. Pada pembuluh darah, penurunan ion kalsium intraseluler
menurunkan kontraksi otot polos pembuluh darah, lalu meningkatkan diameter
pembuluh darah arteri namun tidak pada vena sehingga menimbulkan
vasodilatasi. Dosis dewasa, dosis awalnya sebagai monoterapi, amlodipine 2,5-5
mg sekali sehari. Dosis maksimum 10 mg setiap hari. Dosis yang di berikan 1 x 5
mg sudah tepat dosis.
Pemberian obat Candesartan untuk menurunkan tekanan darah. Candesartan
bekerja memblokade reseptor ATI sehingga menyebabkan vasodilatasi,
peningkatan eksresi Na dan cairan (mengurangi volume plasma), menurunkan
hipertrofi vascular. dosis untuk dewasa, dosis awal 16 mg sekali sehari pada orang
dewasa tanpa deplesi volume intravaskular. Dosis biasa: 8-32 mg setiap hari,
diberikan dalam 1 dosis atau 2 dosis terbagi. Dosis yang diberikan pada pasien,
dengan dosis awal adalah 1 x 8 mg dan dilanjutkan dengan 1 x 16 mg sudah tepat
dosis.
Pemberian sukralfat sirup digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri pada
lambung.. Sukralfat bekerja membentuk kompleks dengan protein ulcer sebagai
lapisan penghalang terhadap difusi asam, pepsin, dan garam empedu. Dosis untuk
dewasa 2 sdt 4x/hari. Dosis yang diberikan 3 x 1 sdm, sudah tepat dosis.
Ibuprofen digunakan meredakan nyeri. Ibuprofen bekerja menghambat
sintesis prostaglandin dengan hambatan pada enzim siklooksigenase sehingga
konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Dosis untuk dewasa 3-4 x
200-400 mg/hari. Dosis yang diberikan 2 x 400 mg, sudah tepat dosis.
Pemberian simvastatin digunakan untuk mengobati kolesterol pada pasien
dislipidemia. Simvastatin bekerja menghambat kerja 3-hidroksi-3metilglutaril
koenzim A reduktase (HMG Co-A reduktase), dimana enzim ini mengkatalisa
perubahan HMG Co-A menjadi asam mevalonat yang merupakan langkah awal
dari sintesa kolesterol. Dosis simvastatin untuk dewasa 5 – 10 mg sehari. Dosis
yang diberikan 1 x 10 mg, sudah tepat dosis.
Pemberian KSR digunakan mengatasi jumlah kalium yang rendah dalam
darah. KSR bekerja membantu menjaga tekanan osmotis. Dosis untuk dewasa
KSR 2-3 x sehari 1-2 tablet. Dosis yang diberikan 2 x 600 mg sudah tepat dosis.
Pemberian Ranitidin bertujuan untuk menurunkan produksi asam lambung.
Ranitidin menghambat secara kompititif reseptor H2 pada sel parietal gastrik,
yang menghambat sekresi asam lambung, volume gastrik, dan konsentrasi ion
hidrogen dapat diturunkan oleh obat ini. Dosis ranitidin injeksi untuk dewasa
adalah 50 mg (2ml) tiap 6- 8 jam. Dosis yang diberikan 2 x 50 mg (aman).
Omeprazol injeksi untuk penurunan kadar asam lambung. Omeprazol
bekerja menghambat asam lambung dengan menghambat kerja enzim (K+H+
ATPase) yang akan memecah K+H+ ATP menghasilkan energy yang digunakan
untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen
lambung.
Pemberian Ondansentron sebagai antiemetik karena keluhan pasien sebelum
masuk rumah sakit hingga dirawat inap adalah mual dan muntah. Ondansentron
bekerja menghambat ikatan serotonin pada reseptor 5HT3, ssehingga membuat
penggunaannya tidak mual dan berhenti muntah. Dosis dewasanya adalah dosis
dewasa 0,15 mg/kg melalui infus IV dimulai 30 menit sebelum pemberian
kemoterapi emetogenik, diikuti dengan infus 0,15 mg/kg 4 dan 8 jam setelah dosis
pertama. Dan sebagai alternatif, 32 mg sebagai dosis tunggal dengan infus IV
dimulai 30 menit sebelum pemberian kemoterapi emetogenik.
Pada kasus Ny. Md terdapat interaksi obat antara candesartan dengan kalium
klorida (KSR) (Medscape, 2021; Drugs.com, 2021; AHFS, 2011) yang mana
candesartan dapat meningkatkan serum kalium dalam darah. Adapaun
Mekanisme terjadi interaksi tersebut adalah penggunaan candesartan ( angiotensin
II receptor blocker (ARB)) dengan kalium klorida dapat meningkatkan kadar
kalium dalam darah. Penghambatan AT II menghasilkan penurunan sekresi
aldosterone, yang menyebabkan peningkatan kalium serum yang dapat bertambah.
Kadar kalium yang tinggi dapat berkembang menjadi hiperkalemia, yang dalam
kasus parah dapat menyebabkan gagal ginjal, kelumpuhan otot, irama jantung
tidak teratur, dan henti jantung (Stockley, 2008). Solusi dari interaksi ini adalah
dilakukan monitoring kadar kalium dalam darah (Stockley, 2008).
Semua obat yang diberikan kepada pasien sudah sesuai baik indikasi,
interval, cara dan waktu pemberian, rute dan lama pemberian obat telah sesuai.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan labor, diagnosa utama yaitu Hiponatremia dan
Hipertensi sedangkan diagnosa sekunder adalah Dispepsia dan Dislipidemia.
Terapi yang diberikan kepada pasien sudah tepat indikasi dan tepat dosis.

5.2 Saran
Disarankan kepada pasien untuk terapi tetap dilanjutkan dan menjaga pola
makan, menjaga asupan gizi seimbang, menghindari makanan berlemak,
berolahraga rutin, istirahat yang cukup serta menghindari stress.
DAFTAR PUSTAKA

Almasdy, D., Sari, Y. O., Ilahi, H. T., dan Kurniasih, N. 2018. Pengembangan
Instrumen Pemantauan Efek Samping Obat : Efek Samping Obat Pada
Pasien Stroke Iskemik. Jurnal Sains Farmasi dan Klinis. Vol : 5 (3) : 225-
232.
Basic Pharmacology & Drug Notes. 2011. Jakarta; Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Hipertensi, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
Jakarta.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Dipiro, J. T., Dipiro, C.V., Wells, B.G., & Scwinghammer, T.L. 2008.
Pharmacoteraphy Handbook Seventh Edition.USA : McGraw-Hill
Company.
Disease; p.660-770Sukandar, Elin Yulinah. 2008. ISO Farmakoterap Buku 1.
PT. ISFI Penerbitan: Jakarta.
Fujita, T., Ando, K., Nishimura, H., Ideura, T., Yasuda G, et al. 2007. Efek
Antiproteinuric Dari Calcium Channel Blocker Cilnidipine Ditambahkan Ke
Penghambatan Renin-Angiotensin Pada Pasien Hipertensi Dengan Penyakit
Ginjal Kronis. Ginjal Int 72: 1543-1549.
Hartono. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta.
Koda-Kimble, Mary Anne., Lloyd yee young., and Brian K.A.. 2013. Applied
therapeutics. The Clinical Use Drugs 10th Ed. USA: Philadelphia
Mangku G, Senapathi TGA. 2010. Keseimbangan Cairan Elektrolit. Dalam Buku
Ajar Ilmu Anastesi Dan Reanisasi.Jakarta: Indeks.
Nanis, A.T.A., dan Bakhtiar, R. 2020. Dislipidemia dengan Riwayat Pengobatan
Tradisional: Studi Kasus dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga. Jurnal
Kedokteran Mulawarman. Vol 7(3): 34- 39.
PERKENI. 2019. Pedoman Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta :
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Purnamasari, L. 2017. Faktor Risiko, Klasifikasi dan Terapi Sindrom Dispepsia.
CDK-259/ vol. 44(12): 870-873.
Rajanandh, M.G., Singh A.P., dan Subramaniyan, K. 2013. Perbandingan Efek
Rasemat Amlodipin Dan Enansiomernya Dengan Atenolol Pada Pasien
Hipertensi: Sebuah studi kelompok acak, terbuka, paralel. J Exp Klinik Med
5: 217-221.
Robin G. D., Primayanti I. D. A.I. D., Dinata I. M. K. 2017. Prevalensi Hipertensi
Pada Mahasiswa Semester Vi Program Studi Pendidikan Dokter Di Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. E-Jurnal Medika, Vol. 6(2): 1-16.
RISKESDAS. 2018. Laporan nasional riset kesehatan dasar . Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Sica, D.A., 2003. Calcium Channel Blocker‐Related Peripheral Edema: Can It Be
Resolved?. The Journal Of Clinical Hypertension, 5(4), Pp.291-295
Sanghavi K, Someshwari M, Rajanandh MG, Seenivasan P. Amlodipin Induced
Severe Pedal Edema: A Case Report from Tertiary Care Hospital. Journal
of Pharmacovigilance. 2017; 5(5):243
Scott M,G. LeGrys, V.A and Klutts J. 2006. Electrochemestry and Chemical
Sensors and Electrolytes and Blood Gases.In : Tietz Text Book of Clinical
Chemestry and Molecular Diagnostics, 4th Ed Vol.1, Elsevier Saunders Inc.
Philadelphia, pp. 93-1014.
Stockley, I.H. 2008. Stockley’s Drug Interaction 8th Edition. Great Britain :
Pharmaceutical Press.
Sukandar EY, Retnosari A, Joseph IS, Ketut A, Adji PS, Kusnandar. 2008. Iso
Farmakoterapi, Buku I. Jakarta: ISFI Penerbitan.
Widodo, J., 2006, Demam Tifoid, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKIU, Jakarta
Wijayanti, A. & Saputro, Y.W. (2012). Pola peresepan obat dispepsia dan
kombinasi pada pasien dewasa Rawat Inap di RS Islam Yogyakarta
Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia Tahun 2012. Cerata Journal Of
Pharmacy Science.
Wilson L,M. 1995. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Serta Penilaiannya’
dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi ke-4
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. hh. 283-301.

Anda mungkin juga menyukai