Anda di halaman 1dari 22

Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1.

Maret 2017

PEMIKIRAN WUJUDIYAH HAMZAH FANSURI DAN


KRITIK NURUDIN AL-RANIRI
Ajat Sudarajat
Fakultas Ilmu Sosial UNY/ajat@uny.ac.id

ABSTRAK

Penelitian dengan judul “Pemikiran Wujudiyah Hamzah Fansuri dan Kritik


Nurudin Al-Raniri” bertujuan untuk mengetahui: (1) Corak pemikiran wujudiyah Hamzah
Fansuri;(2) Alasan mengapa Nuruddin al-Raniri mengkritik pemikiran Hamzah Fansuri,
dan (3) Bagaimana kritik Nuruddin al-Raniri terhadap pemikiran Hamzah Fansuri
dilakukan.
Corak pemikiran wujudiyah Hamzah Fansuri adalah sebagai berikut. Pertama,
pada hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan zat dan wujud alam. Kedua, tajalli
alam dari zat dan wujud Tuhan pada tataran awal adalah Nur Muhammad. Ketiga, Nur
Muhammad adalah sumber segala khalq Allah. Keempat, manusia sebagai mikrokosmos
harus berusaha mencapai kebersamaan dengan Tuhan. Kelima, manusia yang berhasil
mencapai kebersamaan dengan Tuhan adalah manusia yang telah mencapai kesempurnaan.
Alasan utama Nuruddin al-Raniri mengkritisi dan sekaligus menolak pemikiran
Hamzah Fansuri adalah didasarkan adanya kekhawatiran bahwa ajaran yang disebarkan
Hamzah Fansuri tersebut akan menyesatkan pemikiran orang-orang awam. Bagaimana
Nuruddin al-Raniri menghadapi ajaran Hamzah Fansuri adalah dengan menggunakan dua
pendekatan. Pendekatan pertama bercorak intelektual, yaitu dengan menulis berbagai kitab
dan tulisan yang menjelaskan kerancuan-kerancuan sejarah kaum wujudiyah dan
sekaligus bantahan terhadap faham wujudiyah. Selain itu, ia juga mengadakan debat
terbuka melawan pengikut wujudiyah. Pendekatan kedua bercorak kekuasaan, yaitu
meminta penguasa untuk melarang peredaran tulisan-tulisan yang memuat ajaran wahdah
al-wujud dan bahkan memusnahkan buku-buku tersebut.

Kata kunci: Wujudiyah, Hamzah Fansuri, Nurudin al-Raniri.

ABSTRACT

THOUGHT OF WUJUDIYAH HAMZAH FANSURI AND


CRITICISM OF NURUDIN AL-RANIRI

This study aims to find out: 1) the thought of Wujudiyah Hamzah Fansuri; 2) The
reason Nuruddin al-Raniri criticized Hamzah Fansuri's thought, and (3) the ways in which
Nuruddin al-Raniri faced Hamzah Fansuri's thoughts. The style of thinking of Wujudiyah
Hamzah Fansuri is as follows. First, the substance and form of God are essentially the
same as substances and forms of nature. Second, the nature of tajalli from the substance
and form of God at the initial level is Nur Muhammad. Third, Nur Muhammad is the
source of all the khalq of Allah. Fourth, humans as microcosmos must try to achieve
togetherness with God. Fifth, humans who succeed in achieving togetherness with God are
human beings who have achieved perfection. The main reason for Nuruddin al-Raniri
criticizing and rejecting Hamzah Fansuri's thinking was based on the concern that the
teachings spread by Hamzah Fansuri would mislead the minds of ordinary people. There
are two approaches used by Nuruddin al-Raniri in dealing with the teachings of Hamzah

55
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Fansuri: 1) intellectual approach, by writing various books that explain the historical
ambiguities of the Wujudiyah and at the same time denial of Wujudiyah ideology and
open debate against wujudiyah followers; 2) power approach, by asking the authorities to
ban the circulation of writings that contain the teachings of wahdah al-wujud and even
destroy the books.

Kata kunci: Wujudiyah, Hamzah Fansuri, Nurudin al-Raniri.

1. Latar Belakang Masalah H. Agus Salim, K.H.Ahmad Dahlan,


Ahmad Rifai Hasan (1990: 12) Syeikh Ahmad Surkati, A. Hassan, M.
menyatakan bahwa perkembangan Natsir, Hamka (Haji Abdul Malik Karim
tradisi pemikiran atau intelektual Islam Amrullah), Hasbi ash-Shiddiqi, dan
di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua Abdullah bin Nuh. Dalam
periode. Periode pertama adalah tradisi perkembangan selanjutnya, dapat dilihat
intelektual yang berkembang sebelum pemikiran Islam yang dikembangkan
bersentuhan dengan paham-paham oleh tokoh-tokoh seperti Nurcholish
pembaharuan seperti yang disampaikan Majid, Abdurrahman Wahid, A. Mukti
oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Ali, Harun Nasution, Kuntowijoyo, A.
Abduh, Rasyid Ridla, dan Muhammad Syafii Maarif, M. Dawam Raharjo, dan
Iqbal. Sedangkan periode kedua adalah Amin Rais.
pemikiran yang berkembang setelah Dokumentasi pemikiran atau
terkena sentuhan modernism tersebut. intelektual Islam di Nusantara seperti
Tradisi intelektual periode disebutkan di atas bisa dilacak dengan
pertama, misalnya, dikembangkan antara lebih baik sejak abad ke-17. Pada abad
lain oleh Hamzah al-Fansuri (w. 1607 ke-17 M ini, paham atau aliran
M), Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630 pemikiran Islam yang bercorak mistik
M), Nuruddin al-Raniri (w. 1658 M), atau tasawuf merupakan corak pemikiran
dan Abdurrauf al-Singkili (w. 1694 M), yang dominan di Nusantara. Meski
kesemuanya merupakan ulama dari penerapan ajaran Islam yang bercorak
Aceh. Di luar Aceh terdapat warisan syariah tetap dilakukan, ciri yang paling
intelektual seperti Syeikh Nawawi al- menonjol dari Islam Nusantara masa
Bantani, Kyai Haji Ahmad Rifai dari (awal) ini adalah bercorak tasawuf.
Kalisalak Pekalongan, Syeikh Abdul Menurut Azra (1994: 169), corak
Samad al-Palimbani, Mangkunegoro IV pemikiran yang dominan ketika itu
(penulis Serat Wedhatama), dan R. adalah paham wujudiyah. Paham
Rongowarsito (penulis Serat Hidayat wujudiyah ini tidak hanya berkembang
Jati). di Aceh, tetapi berkembang pula di
Sementara itu pada periode banyak wilayah di belahan lain
kedua, berkembang pemikiran yang Nusantara.
telah dipengaruhi oleh modernism Islam, Ada dua tokoh yang dikaitkan
seperti pemikiran H.O.S. Cokroaminoto, dengan perkembangan pemikiran Islam

56
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

yang bercorak tasawuf wujudiyah ini, melalui karya-karyanya. Seperti


yaitu Hamzah al-Fansuri dan dinyatakan oleh Steenbrink (1984: 91),
Syamsuddin al-Sumatrani. Dalam setidaknya ada dua cara yang dapat
kedudukannya sebagai Syeikh al-Islam dilakukan untuk menelusuri jejak
atau chiefe bishope (uskup kepala) kehidupan seorang tokoh. Pertama,
dalam istilah yang dipakai Sir James dengan meneliti karya-karya yang
Lancaster, keduanya menyebarkan ditulisnya, karena ada kemungkinan
ajarannya ke seluruh wilayah kerajaan. yang bersangkutan menyatakan identitas
Sumber lokal maupun asing sepakat dirinya, inilah yang disebut sebagai
bahwa kedua tokoh ini menguasai pendekatan internal. Kedua, yaitu
kehidupan religio-intelektual kaum mencari data dari cerita pihak lain
Muslimin ketika itu Azra: 1994: 169). mengenai kehidupan tokoh yang
Selain dua tokoh di atas, seperti bersangkutan, inilah yang disebut
sering disebutkan, ada seorang tokoh pendekatan eksternal.
yang memiliki pemikiran berseberangan Pendekatan pertama dapat
dengan paham wujudiyah tersebut, yaitu dicermati dari syair-syair yang dibuat
Nuruddin al-Raniri. Nuruddin al-Raniri oleh Hamzah Fansuri sendiri. Dalam
merupakan penentang dan penantang syair yang ditulisnya dinyatakan:
keras ajaran wujudiyah yang diajarkan
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Hamzah ini asalnya Fansuri,
Sumatrani. Ia mengatakan bahwa ajaran Mendapat wujud di tanah
wujudiyah merupakan ajaran sesat dan Syahrnawi,
bertentangan dengan ajaran Islam. Beroleh khilafat ilmu yang 'ali,
Daripada Abdulqadir Saiyid
Nuruddin al-Raniri, memang telah
Jailani.
mempelopori gerakan anti wujudiyah,
dan melancarkan berbagai usaha untuk
mengurangi atau bahkan melenyapkan Kota Fansur adalah sebuah kota
paham itu dari masyarakat. Salah satu kecil di pantai barat Sumatera, yang
yang dilakukan al-Raniri adalah terletak antara Sibolga dan Singkel.
memanfaatkan kedekatannya dengan Sebutan Fansur diberikan oleh para
Sultan Iskandar Tsani, karena posisinya pedagang Arab sebagai pengganti nama
sebagai Syeikhul Islam pada masa itu. Barus. Pada abad-abad yang lampau,
Barus atau Fansur pernah menjadi pusat
2. Riwayat Hidup Hamzah Fansuri perdagangan antarbangsa, sebelum
Para sarjana masih kesultanan Aceh muncul, di mana para
memperdebatkan tentang asal-usul pedagang Arab, Persia, India, dan Cina
Hamzah Fansuri, baik mengenai tempat melakukan transaksi. Namun setelah
kelahiran, masa hidup, maupun Barus menjadi bagian dari wilayah
meninggalnya. Hal ini dikarenakan tidak Aceh, pusat perdagangan berpindah ke
ada data yang konkrit yang menjelaskan Aceh.
hal tersebut. Sumber yang bisa dipakai Syair di atas tentu menimbulkan
untuk melacak keberadaannya hanyalah pertanyaan, karena di dalamnya ada

57
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

sebutan dua tempat yang berbeda, yaitu Menurut al-Attas, ada makna lain
Fansur dan Syahrnawi. Pada bait yang dari kata tempat dan asal. Asal bukan
lain, kadang-kadang ia menyebut dirinya berarti bahwa Hamzah lahir di Fansur,
dengan Hamzah saja, atau Hamzah melainkan bisa berarti keluarga, sanak
Fansuri, dan kadang Hamzah famili, dan nenek moyang yang berasal
Syahrnawi. Pada bagian akhir kitab dari sana, bahkan bisa jadi Hamzah
Syarab al-Asyiqin, Hamzah menyebut sendiri tidak lahir di sana. Namun
dirinya dengan al-Faqir Hamzah al- pendapat al-Attas ini disangkal olaeh
Mudunayn, yang disimpulkan oleh al- Drewes, karena penyebutan nama-nama
Attas menunjuk pada kota Barus dan kota lain seperti Kudus, Mekkah,
Syahrnawi (Afif Anshori, 2004:62). Baghdad, dan Syahrnawi dalam syair-
Di kalangan para ulama, syair Hamzah, merupakan bagian dari
penyebutan nama kota kelahiran di kesan pengalaman keagamaannya.
belakang nama, tampaknya merupakan Dengan demikian, menurut Drewes,
sesuatu yang lazim. Penyebutan tersebut Barus atau Fansur adalah kota tempat
untuk menunjukkan identitas diri, kelahiran Hamzah (Afif Anshori, 2004:
misalnya al-Bantani, al-Makassari, al- 63).
Jawi, al-Singkili, al-Palimbani, al- Jika dipahami lebih jauh, pangkal
Baghdadi, al-Misri, al-Ghazali, dan tolak perbedaan pendapat mengenai
seterusnya. Namun, yang mana dari dua tempat kelahiran Hamzah ini terkait
nama tersebut di atas yang dengan kata ‘wujud’ dalam bait yang
sesungguhnya merupakan tempat berbunyi “mendapat wujud di tanah
kelahiran Hamzah. Syahrnawi”. Menurut al-Attas, wujud
Jika disimak dari seluruh syair- diartikan dengan eksistensi, sehingga
syairnya, nama Barus-lah yang paling dikatakan bahwa Hamzah asal-usulnya
banyak disebutkan Hamzah. Dari sini dari Fansur dan bereksistensi Syahrnawi.
dapat dipahami dan disimpulkan bahwa Oleh karena itu dapat disimpulkan
Hamzah berada di tanah Melayu, di bahwa Hamzah Fansuri lahir di Fansur
sebuah daerah penghasil kapur yang atau Barus, sedang di Syahrnawi, ia
berasal dari getah tanaman. Secara tegas pertama kali menemukan atau
berarti menunjuk pada kota Barus di memperoleh pengalaman rohani.
pantai barat Sumatera bagian utara. "Kapur" dalam syair ini sama dengan
Namun demikian belum dapat "barus", menunjukkan tempat asal
disimpulkan bahwa tempat kelahiran Hamzah. Agaknya ia sengaja memakai
Hamzah adalah kota Barus atau Fansur. kata-kata "kapur" itu setelah baris yang
Pada bait yang lain disebutkan: menyebutkan namanya sendiri (Hamzah
Fansuri), lalu ia membuat ungkapan
Hamzah nin asalnya Fansuri yang menunjuk pada makrifat
Mendapatkan wujud di tanah (uniomystika) : tempatnya kapur di
Syaharnawi dalam kayu. Di dalam syairnya yang lain
ia menyatakan:

58
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Hamzah Fansuri di Negeri memadai, selain yang terdapat pada


Melayu karya-karyanya, juga dari karya
Tempatnya kapur di dalam kayu
Syamsuddin Sumatrani (w. 1630), yang
Hamzah Shahrnawi terlalu hapus melakukan syarahan atas syarir-syair dan
Seperti kayu sekalian hangus prosa Hamzah Fansuri. Drewes, yang
Asalnya Laut tiada berharus mengutip pendapat Snouck Hurgronye,
Menjadi kapur di dalam Barus menyatakan bahwa Hamzah Fansuri
yang merupakan guru dari Syamsuddin
Syair di atas memberitahukan Sumaatrani, diperkirakan berusia lebih
bahwa ia seakan-akan berasal dari tua, dan oleh karena itu Hamzah hidup
Shahrnawi, Siam, namun dibesarkan dan pada akhir abad ke-16. Kreamer malah
mempelajari tasawuf sampai makrifat di memperkirakan bahwa Hamzah hidup
tanah Barus. Kata-kata "kayu sekalian setelag tahun 1636 dan bukan sebagai
hangus" menunjukkan bahwa ia pendahulu, melainkan sezaman dengan
mencapai makrifat. Seseorang yang Syamsuddin. Begitu juga dengan
mencapai makrikat atau fana (hapus) pendapat Winstead, yang menyatakan
dengan Tuhannya, sering dilambangkan bahwa Hamzah wafat kira-kira pada
sebagai sesuatu yang kembali ke asalnya tahun 1630 (Afif Anshori, 2004: 67).
"laut tak berarus", suatu ungkapan yang Pendapat-pendapat di atas
sering digunakan juga oleh Ibn Arabi didasarkan pada salah satu ungkapan
dan Jalaluddin Rumi. Laut di sini adalah pada syairnya, yang menyebutkan kata
lambang dzat yang maha luas. Sedang ‘Marhum Mahkuta Alam’.
baris "menjadi kapur di dalam Barus"
menjelaskan bahwa ia mencapai tingkat Berkatalah faqir dhaif jang
boediman
kesufian di tanah Barus.
Amat adjaib maqam di loear
Penelitian yang lain menyatakan poen: ada ia chabar di Tanah
bahwa tempat lahir Hamzah Fansuri Djawa, dari Atjeh Marhoem
bukan di Barus, melainkan di kampung Mahkota Alam
Fansur, dekat dengan Singkel, yaitu Dihimpoenkan sekalian sjarat
sekampung dengan Abdur Rauf. dinazarkan
Kepada rasanya jang ni’mat
Dinyatakan lagi bahwa Hamzah Fansuri
ditoeroenkan
meninggal dan dimakamkan di
daerahnya sendiri, yaitu di Kecamatan
Marhum Mahkota Alam adalah
Simpang Kiri (Singkel). Ali Hasymi
gelar yang dipergunakan oleh Sultan
menyatakan bahwa ia sudah dua kali
Iskandar Muda, yang memerintah Aceh
berziarah ke makam Hamzah Fansuri, di
tahun 1606-1636. Dari sini diperkirakan
tempat tersebut sampai sekarang masih
bahwa Hamzah Fansuri hidup semasa
sangat dihormati oleh penduduk (Afif
pemerintahan Sultan Iskandar Muda,
Anshori, 2004: 66).
atau sezaman dengan Syamsuddin
Mengenai masa hidup Hamzah
Sumatrani. Akan tetapi pendapat di atas
Fansuri juga diliputi perbedaan
ditolak oleh al-Attas, dengan alasan syair
pendapat. Informasi yang dipandang

59
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

tersebut tidak dapat dijadikan acuan Hamzah sendiri mempersembahkanya


dengan memperhatikan interpolasi kepada Sultan. Adapun ‘Raja yang wali’
kalimatnya. Menurutnya, interpolasi yang dimaksud adalah Sultan al-Din
dalam karya Melayu yang bermakna Ri’ayat Syah, yang dikenal sebagai Syah
historis dan kultural bukanlah sesuatu Alam, dan bergelar Sayyid al-
yang luar biasa. Oleh karena itu, jika Mukammil. Hal ini tampak pada
interpolasi tadi dipindahkan, susunan rangkaian syair selanjutnya:
syair itu dirangkai kembali dengan
sempurna, maka ada hubungan yang Syah Alam Radja jang adil
relevan antar baris: Radja Qoetoeb jang sampoerna
kami
Wali Allah sampoerna wasil
Berkatalah faqir dhaif yang
Radja arif lagi mukammil
budiman
Amat ‘ajaib maqam di luar puan
Bertambah daulat Sjah Alam
Sekalian syarat dinazarkan
Makota pada sekalian alam
Kepada rasanya yang nikmat
Karoenia ilahi Rabb al-‘alamina
diturunkan
Mendjadi Radja kedoea alam

Pada syair di atas terlihat bahwa


Hamzah al-Fansuri diperkirakan
ternyata bukan hanya bentuk, namun
hidup dan berjaya pada masa sebelum
terdapat keserasian antara semangat dan
dan sesudah masa pemerintahan Sultan
nada seluruh syair. Dari analisa ini dapat
Alauddin Ri’ayat Syah (berkuasa 1589-
diartikan, jika memang itu benar, berarti
1602 M) dan diperkirakan meninggal
Hamzah Fansuri tidak sezaman dengan
meninggal tahun 1607 M. Hamzah
pemerintahan Sultan Iskandar Muda,
adalah seorang Melayu dari Fansur,
melainkan pada sultan sebelumnya.
pusat pengetahuan Islam di Aceh Barat
Sebelumnya sudah disinggung,
Daya (Azra, 1994: 167).
bahwa Aceh sebelum diperintah oleh
Riwayat hidup yang menjelaskan
Sultan Iskandar Muda, berada di bawah
perjalanan intelektual Hamzah tidak
kekuasaan Sultan Ala al-Din Ri’ayat
ditemukan data yang jelas. Informasi
Syah al-Mukammil (1571-1607), yang
yang ada hanya menyebutkan, bahwa
memerintah tahun 1588-1604. Kepastian
Hamzah pada usia mudanya banyak
Hamzah hidup pada masa al-Mukammil
merantau dan mengunjungi berbagai
ini terlihat pada syair berikut.
negeri. Menurut Abdul Hadi WM, karya
Hamzah yang tersirat dalam ‘Syair
Hamba mengikat sjair ini
Di bawah hadhrat radja yang Dagang’ merupakan bagian dari
wali otobiografinya. Dalam syair tersebut
Karunia Allah akan toehan dinyatakan bahwa Hamzah telah menjadi
kami… perantau sejak kecil.
Orang tuanya meninggalkan
Menurut al-Attas, syair ini Hamzah dalam keadaan menderita. Ia
merupakan pesanan Sultan, paling tidak, mengaku sebagai orang miskin, hina,

60
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

picik, bebal, da’if, dan sebagainya. Ia bukan tidak mungkin di kota ini pernah
mengaku berasal dari masyarakat biasa berkembang sebuah dialek Melayu yang
atau orang awam, tetapi memiliki unggul, disamping dialek Malaka dan
semangat yang kuat untuk mencari Pasai. Bahasa Melayu yang dipakai
bekal, baik berupa ilmu maupun harta. Hamzah dalam karya-karyanya
Kondisi sosial yang demikian itu kemungkinan merupakan contoh terbaik
akhirnya memberikan semangat bagi dari ragam bahasa Melayu Barus.
Hamzah untuk menempuh hidup Selain untuk berdagang,
berkelana sebagai pedagang di berbagai pengembaraannya itu dimanfaatkan pula
negeri (Afif Anshori, 2004: 67). untuk menimba ilmu dari berbagai
ulama tasawuf terkemuka. Hamzah
Ya Ilahi ya wujudi bi al-dawam diriwayatkan melakukan perjalanan ke
Ukhngkan Hamzah daripada Timur Tengah dan mengunjungi
pangkat awam
beberapa pusat pengetahuan Islam,
Peliharakan ia daripada kerja
yang haram seperti Makkah, Madinah, Jerusalem,
Supaya dapat ke dar al-Salam dan Bagdad. Di tempat yang disebut
terakhir, Hamzah berkenalan dengan
Hamzah Fansuri terlalu bebal tarekat Qadiriyah (Abdul Hadi W.M.
Disangka dunya nin manisnya dan L.K. Ara, 1984: 6).
kekal
Terlalu ghafil mencari bekal Hamzah ini asalnya Fansuri,
Tiada syak esok akan menyesal Mendapat wujud di tanah
(Afif Anshori, 2004: 71). Syahrnawi,
Beroleh khilafat ilmu yang 'ali,
Diperkirakan Hamzah Fansuri Daripada Abdulqadir Saiyid
mulai belajar agama di kota Jailani
kelahirannya, Barus, sebuah kota yang
ramai dengan para pedagang Muslim Syair yang lain menyatakan:
Hamzah Fansuri sedia zahir
dari Arab, Persia, dan India. Ada
Tersuci pulang pada Sayyid ‘Abd
kemungkinan di kota ini telah pula al-Qadir
berdiri lembaga pendidikan agama. Di Dari sana ke sini ter-ta’ir-ta’ir
kota ini, orang-orang dapat mempelajari Akhir mendapat pada diri zahir
berbagai bahasa asing, khususnya bahasa (Amirul Hadi, 2010: 72).
Arab dan Persia. Itulah barangkali yang
menyebabkan Hamzah Fansuri Tarikat Qadiriyah merupakan
menguasai kedua bahasa tersebut. nama tarikat yang dinisbatkan atau
Barus, selain merupakan kota dihubungkan dengan pendirinya, yaitu
perdagangan, tempat pertemuan para Syaikh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M).
pedagang dari Arab, Persi, dan India, Hamzah menerima tarikat ini ketika
pada saat yang bersamaan juga sedang menuntut ilmu di Baghdad, yang
merupakan pusat perkembangan ajaran merupakan pusat penyebaran Tarikat
tasawuf dengan aliran tarekatnya dan Qadiriyah. Di kota inilah ia menerima
juga kesusasteraan. Oleh karena itu, baiat dan ijazah dari tokoh Qadiriyah

61
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

untuk mengajarkan Tarikat Qadariyah, Hamzah Fansuri tidak pernah berkata


bahkan pernah diangkat menjadi bahwa dirinya pernah menempuh
mursyid dalam tarikat ini. Oleh karena perjalanan dari Barus ke Kudus, Jawa
itu, Hamzah Fansuri dapat dipandang Tengah.
sebagai orang Indonesia pertama yang Sementara itu, Abdul Hadi
diketahui secara pasti seagai pengikut W.M., mengartikan ungkapan ‘terlalu
Tarikat Qadiriyah. payah’ berkenaan dengan mujahadah,
Hamzah dilaporkan juga dan ungkapan ‘di Barus ke Kudus’
melakukan perjalanan ke Pahang, mengisyaratkan kepada perjalanan
Kedah, dan Jawa, dan di tempat-tempat mi’rajnya Nabi Muhammad saw ke
itulah dia menyebarkan ajaran- langit. Kudus yang dinyatakan pada
ajarannya. Hamzah menguasai bahasa syair di atas bukanlah Kudus Jawa
Arab, Persia, dan kemungkinan juga Tengah, melainkan al-Quds atau
bahasa Urdu. Hamzah termasuk penulis Jerussalem yang merupakan tempat
yang produktif, yang tidak hanya bertolaknya Nabi saw menuju Allah swt.
menghasilkan risalah-risalah keagamaan, Pada peristiwa mi’raj inilah Nabi
tetapi juga karya-karya prosa yang sarat Muhammad saw mendapatkan perintah
dengan gagasan yang bercorak tasawuf. shalat, dan selanjutnya ibadah ini pula
Karena karya dan gagasannya itulah, yang dipandang sebagai sarana
Hamzah dikenal sebagai tokoh sufi awal mi’rajnya kaum Muslimin. Di dalam
paling penting di wilayah Melayu- shalat ini pula setiap Muslim melakukan
Nusantara (Azra, 1994: 167). persaksian (musyahadah) dan
Mengenai perjalanan Hamzah perjumpaan (liqa) dengan Allah swt.
sampai ke kota Kudus di Jawa juga Membaca karya-karya Hamzah
menuai perbedaan pendapat. Syair yang Fansuri, akan terasa sekali
ditulisnya menyatakan: penguasaannya terhadap bahasa asing,
terutama bahasa Arab dan Persia, serta
Hamzah Fansuri di dalam beberapa bahasa daerah lain yang ada di
Mekkah Indonesia. Akan tetapi dalam penuturan
Mencari Tuhan di bait Ka’bah pesan-pesan ajarannya, Hamzah lebih
Di Barus ke Kudus terlalu payah banyak menggunakan bahasa Melayu
Akhirnya dapat di dalam rumah
(Jawi), sebagaimana diakuinya sendiri,
“Ketahuilah bahwa faqir dhaif Hamzah
Drewes membantah pendapat
Fansuri hendak menyatakan jalan kepada
yang menyatakan bahwa Hamzah
Allah subhanahu wa ta’ala dengan
Fansuri melakukan pengembaraan
bahasa jawi dalam kitab ini, insya Allah.
sampai ke Kudus, sebuah kota di pantai
Supaya segala hamba Allah yang tiada
utara Jawa Tengah. Awalan ‘di’ dalam
tahu akan bahasa Arab dan bahasa Parsi
ungkapan ‘di Barus’, dalam bahasa Aceh
supaya dapat membicarakan dia” (Afif
sama artinya dengan kata ‘dari’. Kata
Anshori, 2004: 67).
‘terlalu payah’ berarti ‘terlalu sukar’ dan
Hal di atas menunjukkan luasnya
‘tidak usah dikerjakan’. Oleh karena itu,
pergaulan dan pengembaraan Hamzah,

62
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

sehingga berpengaruh pula dalam pada bab 7 diuraikan mengenai ‘isyq dan
konsep-konsep tasawuf serta penuturan sukr (kemabukan mistis).
bahasanya. Konsep-konsep tasawuf yang Kitab Asrar al-Arifin. Kitab ini
dimaksud datang dari Ibn ‘Arabi -- dinyatakan oleh Afif Anshori (2004: 75)
bahkan dianggap sebagai gurunya sebagai karya prosa yang cukup
sendiri--, al-Jili, Abu Yazid al-Bistami, menarik, karena di dalam kitab ini,
Junaid al-Baghdadi, Abu Mansur al- diberikan suatu contoh bagaimana
Hallaj, al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, dan Hamzah Fansuri sendiri memakai syair
seterusnya. sebagai media dakwah. Karya ini
dimulai dengan syair yang terdiri atas 15
3. Beberapa Karya Hamzah bait. Kemudian, syair tersebut dijelaskan
baris perbaris. Penjelasan itu memang
Fansuri
sangat diperlukan, karena syair-syair
Karya Hamzah Fansuri dapat yang ditulis Hamzah banyak
dikelompokkan menjadi dua, pertama menggunakan istilah-istilah asing, yang
yang berbentuk prosa, yaitu Zinat al- kandungannya sukar untuk dipahami
Muwahhidin atau disebut juga Syarab oleh orang awam.
al-Asyiqin, Asrar al-Arifin, dan Muntahi. Kitab Muntahi. Kitab Muntahi
Kedua, karya yang berbentuk syair, ini merupakan sebuah karya yang isinya
seperti Syair Perahu, Syair Dagang, dan berupa rantai kutipan dari Alquran,
Syair Burung Pingai. hadis, dan kata-kata mutiara para ahli
Kitab Zinat al-Muwahhidin atau tasawuf. Kutipan-kutipan tersebut
Syarab al-Asyiqin. Kitab ini selanjutnya diberi catatan atau komentar
diperkirakan ditulis pada akhir abad ke- oleh Hamzah Fansuri. Kitab ini berisi
16, ketika di Aceh sedang terjadi uraian tentang ajaran wujudiyah, dengan
perbincangan mengenai filsafat banyak mengutip ajaran atau pendapat
wujudiyah yang melibatkan para ahli Ibn Arabi. Contoh dari Kitab Muntahi:
tasawuf. Menurut Abdul Hadi WM,
sudah dapat dipastikan bahwa Hambah Ketahui olehmu, hai Talib,
Fansuri dan beberapa pengikutnya, bahwa sabda Rasulu’Llah
kemungkinan juga di dalamnya (salla’Llahu ‘alayihi wa sallam!):
Man nazara ila shay’in wa lam
Syamsuddin al-Sumatrani, terlibat dalam
yara’Llahu fihi fa huwa batilun
perdebatan yang berlangsung pada saat Yakni: Barang siapa menilik
itu (Afif Anshori, 2004: 75). sesuatu, jika tiada dilihatnya
Bab 1, 2, 3, dan 4 menguraikan Allah dalamnya, maka ia itu sia-
tahap-tahap ilmu suluk yang terdiri atas sia.
syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat.
Sabda Nabi (salla’Llahu ‘alayihi
Selanjutnya, pada bab 5 diuraikan
wa sallam!):
mengenai tajalli Tuhan. Pada bagian ini Man ‘arafa nafsahu fa qad’arafa
diuraikan mengenai apa itu wujudiyah. rabbahu
Kemudian, pada bab 6 diuraikan
mengenai sifat-sifat Allah swt. Terakhir,

63
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Yakni: Barang siapa mengenal akhirat. Contoh bagian dari Syair


dirinya maka sanya mengenal Perahu:
Tuhannya

Arti mengenal Tuhannya dan


mengenal dirinya ya’ni: Diri Syair Perahu
kuntu kanzan makhfiyyan (itu)
dirinya, dan seme[s]ta sekalian Inilah gerangan suatu madah,
dalam ‘Ilmu Allah. Seperti sebiji Mengarangkan syair terlalu
dan puhun; puhunnya dalam indah,
sebiji itu, sungguh pun tiada Membetuli jalan tempat
kelihatan, tetapi hukumnya ada berpindah,
dalam biji itu Disanalah i’tikat diperbetul
sudah.
Syair Burung Pingai. Syair yang
Wahai muda, kenali dirimu,
disusun oleh Hamzah Fansuri ini,
Ialah perahu tamsil tubuhmu,
menurut Steenbrink, terinspirasi karya Tiadalah berapa lama hidupmu,
Fariduddin Ibn Attar, dengan karyanya Ke akhirat jua kekal diammu.
Mantiq al-Thair. Dalam karyanya
tersebut Fariduddin menggambarkan Hai muda arif-budiman,
jiwa manusia yang dikiaskan dengan Hasilkan kemudi dengan
pedoman,
seekor burung. Isinya merupakan ajaran
Alat perahumu jua kerjakan,
tasawuf, yaitu mengenai paham kesatuan Itulah jalan membetuli insane.
mistis (unio-mistyco) antara manusia
dengan Tuhan. Persatuan ini terjadi Perteguh jua alat perahumu,
setelah melalui proses baqa dan fana, Hasilkan bekal air dan kayu,
serta tahapan-tahapan lain yang harus Dayung pengayuh taruh di situ,
Supaya laju perahumu itu.
dicapai. Padaa karya tersebut juga
digambarkan mengenai asal mula alam Wujud Allah nama perahunya,
semesta, ‘ketika’ belum ada sesuatu Ilmu Allah akan…(tidak
selain Allah swt. terbaca),
Syair Perahu. Syair Perahu ini Iman Allah nama kemudinya,
memuat tentang dasar-dasar ajaran ‘yakin akan Allah’ nama
tasawuf. Hamzah Fansuri menggunakan pawangnya.
Perahu sebagai symbol, untuk
Taharat dan istinja nama
menggambarkan perjalanan hidup lantainya,
manusia di dunia yang penuh dengan Kufur dan maksiat air ruangnya,
godaan, tantangan, dan rintangan. Tawakkul akan Allah
Ketenangan dan ketegaran hanya akan jurubatunya,
diperoleh jika seseorang memiliki iman Tauhid itu akan sauhnya.
yang kokoh, sehingga perjalanan hidup
ini akan selamat sampai memperoleh LIIA (dibaca ‘la laaha
kebahagiaan yang sejati dan abadi di illa’llahu’) akan talinya
Kamal Allah akan tiangnya,

64
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Assalamu’alaikum akan tali ‘Arabi juga menyatakan bahwa wajah


lenggangnya sebenarnya hanya satu, tetapi kalau
Taat dan ibadat anak dayungnya. cermin diperbanyak wajah akan
kelihatan banyak juga (Harun Nasution,
4. Ajaran Wujudiyah Hamzah 1990: 88).
Fansuri Dalam paham wahdah al-wujud
ditegaskan bahwa tiap-tiap yang ada
Seperti disebutkan di atas, paham
mempunyai dua aspek. Aspek luar, yang
wahdah al-wujud disampaikan oleh
merupakan ‘ard dan khalq, yang
Muhyiddin Ibn al-‘Arabi, yang
mempunyai sifat kemakhlukan; dan
kemudian popular dengan sebutan Ibn
aspek dalam yang merupakan jawhar
‘Arabi (1165-1240 M). Bukunya yang
dan haq, yang mempunyai sifat
paling terkenal dalam bidang tasawuf
ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-
adalah yang berjudul al-Futuhat al-
tiap yang berwujud itu terdapat sifat
Makkiah (12 Jilid) dan Fusus al-Hikam.
ketuhanan atau haq dan sifat
Menurut Ibn ‘Arabi dalam paham
kemakhlukan atau khalq. Dari kedua
wahdah al-wujud yang
aspek di atas, aspek yang terpenting
dikembangkannya dinyatakan bahwa
adalah aspek haq yang merupakan batin
Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar
jawhar atau substance dan essence atas
diri-Nya, maka dijadika-Nyalah alam.
hakekat dari tiap-tiap yang berwujud.
Alam oleh karena itu merupakan cermin
Aspek khalq hanya merupakan ‘ard atau
dari Tuhan. Pada benda-benda yang ada
accident, sesuatu yang datang kemudian
di alam, karena esensinya adalah sifat
(Harun Nasution, 1990: 92-93).
ketuhanan, dengan demikian Tuhan
Perbincangan mengenai
dapat melihat diriNya. Dari sini
Martabat Lima dari Hamzah Fansuri
timbullah paham kesatuan wujud. Apa
dan pengembangannya ke Martabat
yang banyak (plural) dalam alam ini
Tujuh oleh Syamsuddin al-Sumatrani,
dipanadang sebagai berasal dari yang
pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari
satu (singular).
ajaran tasawuf yang disampaikan oleh
Pandangan wahdah al-wujud
Fadhlullah al-Burhanpuri, seorang ahli
menegaskan bahwa segala sesuatu yang
tasawuf dari India yang wafat pada tahun
ada di alam ini atau yang banyak ini
1620 M. Ajaran tasawufnya
hanya dalam penglihatannya saja
mengembangkan faham Martabat
dinyatakan banyak, tetapi pada
Empat dan telah dibukukan dalam suatu
hakekatnya itu semua adalah satu.
kitab yang berjudul at-Tuhfat al-
Keadaan ini tidak ubahnya seperti orang
Mursalah ila Ruhin-nabi shalla allahu
yang melihat dirinya dalam beberapa
alaihi wa sallam yang berarti ‘Untaian
cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
(hadiah) yang terkirim kepada Jiwa Nabi
Di dalam setiap cermin ia melihat
Muhammad saw’ (Sangidu, 2008: 55).
dirinya. Dalam cermin-cermin itu
Sebelum menjelaskan konsep
dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya
Martabat Empat, Fadhlullah mengutip
hanya satu. Dalam Fusus al-Hikam, Ibn

65
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Alquran surat Fushshilat (42) ayat ke-39, seisinya yang telah diciptakan-Nya.
yang artinya: Wujud Allah itu esa dan merupakan
hakikat dari wujud-wujud (makhuk).
“Dan di antara tanda-tanda-Nya Semua makhluk sampai sebiji atom pun
(ialah) bahwa kau lihat bumi tidak terlepas dari Wujud yang mutlak.
kering dan gersang, Maka Sesungguhnya Wujud Allah dilihat dari
apabila kami turunkan air di segi Kunhi-Nya tidak dapat
atasnya, niscaya ia bergerak dan
diungkapkan oleh siapa pun dan tidak
subur. Sesungguhnya Tuhan
yang menghidupkannya, pastilah dapat dijangkau oleh akal, angan-angan,
dapat menghidupkan yang mati. dan perasaan.
Sesungguhnya dia Maha Kuasa Selain itu, Wujud Allah tidak
atas segala sesuatu” (QS dapat dianalogikan dengan apa pun,
Fushshilat (41): 39). karena akal, angan-angan, dan perasaan
merupakan ciptaan baru (muchdats).
Ayat di atas menerangkan bahwa Dengan demikian, siapa pun yang
di antara tanda-tanda kekuasaan Allah berusaha sekuat tenaga untuk
swt adalah membangkitkan manusia di mengetahui wujud dan wajah Allah swt,
hari kiamat nanti; bumi yang tandus dan hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia
mati yang tidak ditumbuhi tumbuh- belaka. Sesungguhnya, seperti
tumbuhan sedikitpun, tetapi apabila dinyatakan dalam kitab Tuchfah (t.t.:2),
Allah menyiram tanah itu dengan air mempelajari dan memahami Wujud
hujan dan dengan mengalirnya air hujan Allah itu bertingkat-tingkat
kepadanya, maka bumi itu berubah (mutadarrijan). Tingkatan-tingkatan
menjadi hijau karena tanahnya menjadi atau martabat yang dimaksud terdiri atas
subur dan dapat ditumbuhi tanaman. empat martabah, yaitu, pertama,
Selain itu, Allah telah menghidupkan martabat la ta’ayyun (tidak nyata);
bumi yang mati dengan menyiramkan kedua, martabat ta’ayyun awwal; ketiga,
air, menghidupkan tumbuh-tumbuhan martabat ta’ayyun tsani; dan keempat,
sehingga bumi itu menghijau. Allah martabat a’yan kharijiyyah (Sangidu,
berkuasa juga menghidupkan manusia 2008: 56).
yang telah mati dan berkuasa Pertama, martabat la ta’ayyun
membangkitkannya dari kubur. (tidak nyata) adalah Dzat dan Wujud
Semuanya itu tidak ada yang sukar bagi Allah yang suci dari segala sesuatu.
Allah dan semuanya mudah bagi Allah Dzat dan Wujud Allah ini meliputi dan
karena Dia Maha Kuasa atas segala menguasai seluruh alam semesta
sesuatu seisinya, termasuk manusia. Dia adalah
Sesungguhnya Allah swt itu ada. Penguasa dan Penanggung jawab
Keberadaan-Nya itu tanpa bentuk, tanpa terhadap kebutuhan-kebutuhan seluruh
ukuran, dan tanpa batas. Walaupun makhluk-Nya atas segala maujudat-Nya.
demikian, Allah swt tetap dapat Kekuasaan terhadap alam semesta dan
dipahami, dimengerti, dan dilihat dalam seisinya adalah mutlak dan kekal. Dzat
bentuk dan ukuran melalui alam semesta dan Wujud Allah merupakan alam

66
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Wujud atau alam lahut (alam seperti alam keperkasaan (‘alam


ketuhanan). Sementara itu, alam semesta jabarut), Hakikat Muhammad (al-
seisinya merupakan alam maujud atau haqiqatul muhammadiyyah), Buku
alam nasut (alam manusia). Alam Tertulis (al-kitabul mastur), Tirai
semesta seisinya merupakan pertunjukan Kemuliaan (hijabul ‘izzah), cinta hakiki
dan yang dipertunjukkan adalah Wujud (isyqul haqqi), dan ‘atau lebih dekat’ (au
(Allah swt). adna).
Kedua, martabat ta’ayyun awwal Au adna menyiratkan kesatuan
(kenyataan pertama) adalah martabat dan fana’un fillah. Keadaan ini
yang masih berada dalam ruh Allah dan merupakan tahap terakhir menuju Allah,
disebut juga asy-syu’un (keadaan), Nur setelah seorang hamba berusaha sekuat
Muhammad atau pun bachrul-hayat tenaga hanya untuk mencari kemurahan
(laut kehidupan). Allah. Kedudukan au adna dapat dicapai
Ketiga, martabat ta’ayyun tsani setelah sang hamba merealisasikan
(kenyataan kedua) adalah martabat dalam dirinya sendiri tiga macam
tempat Tuhan akan memberikan kesatuan, yaitu kesatuan tempat
bentuk pada benda-benda yang berbeda- (wahdatul makaniyah), kesatuan waktu
beda. Bentuk benda yang berbeda-beda (wahdatuz zamaniyah), dan kesatuan
itu masih menunggu waktu atau saat esensi (wahdatudz dzatiyah). Kedudukan
Tuhan menyatakan kehendak-Nya. ini hanya dapat dicapai oleh Nabi
Kehendak Tuhan yang akan keluar ke Muhammad saw.
alam fenomena dinyatakan dengan Ta’ayyun awwal (kenyataan yang
kalimat ‘kun fayakun’(Jadilah!, maka pertama) ada empat macam, yaitu Ilmu
menjadilah). Karena itu, martabat ini (Pengetahuan), Wujud (Ada), Syuhud
disebut juga dengan nana a’yan tsabitah (Melihat, Menyaksikan), dan Nur
(kenyataan yang tetap) yang bersiap-siap (Cahaya). Dengan adanya Ilmu
(isti’dad) akan keluar ke alam fenomena. (Pengetahuan), dengan sendiri-Nya
Keempat, martabat a’yan Tuhan ‘Alim (Yang Mengetahui, Yang
kharijiyah (kenyataan yang ada di luar Mahatahu) dan Ma’lum (Yang
atau kenyataan yang ada di alam Diketahui) menjadi nyata. Dengan
semesta) adalah martabat yang adanya Wujud (Ada), dengan sendiri-
merupakan bayang-bayang dari a’yan Nya Dia itu adalah Yang Mengada,
tsabitah dan a’yan tsabitah sendiri juga Yang Mengadakan, atau Yang Ada dan
merupakan bayang-bayang dari Wujud Yang Diadakan menjadi nyata. Dengan
Yang Mutlak. adanya Syuhud (Melihat, Yang
Selanjutnya mengenai ajaran Menyaksikan), dengan sendiri-Nya Dia
Martabat Lima Hamzah Fansuri adalah itu adalah Syahid (Yang Melihat, Yang
sebagai berikut. Pertama, ta’ayyun Menyaksikan) dan Masyhud (Yang
awwal (kenyataan yang pertama). Dilihat, Yang Disaksikan) menjadi
Ta’ayyun awwal merupakan kedirian nyata. Dengan adanya Nur, dengan
pertama atau turunan pertama. Ta’ayyun sendiri-Nya Dia itu Yang Menerangi
awwal disebut dengan berbagai istilah, (dengan Cahaya-Nya) dan Yang

67
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Diterangi (oleh Cahaya-Nya) menjadi Contoh syair Hamzah Fansuri


nyata. yang menggambarkan paham wujudiyah
Kedua, ta’ayyun tsani adalah pada sayair berikut.
(kenyataan yang kedua). Ta’ayyun tsani
adalah Ma’lum (Yang diketahui, Yang Syair Ruh Idafi
Dikenal), Maujud (Yang Diadakan,
Yang Ada), Masyhud (Yang Dilihat, Ta’ayyun awwal wujud yang jami’i
Yang Disaksikan), dan Yang Diterangi,
Pertama disana nyata Ruh Idafi
masih dalam kandungan ilmu dan
maktifat Allah dan disebut a’yan Semesta ‘alam sana lagi ijmali
tsabitah (kenyataan yang tetap), yakni Itulah bernama Haqiqat Muhammad
esensi segala sesuatu. A’yan tsabitah al-Nabi.
atau ta’ayyun tsani disebut juga
shuwarul ilmiyyah (bentuk yang
dikenal), haqiqatul asy-ya (hakekat Ta’ayyun thani wujud yang tamyizi
segala sesuatu di alam semesta), dan ruh Disana terperi sekaliaan ruhi
idhafi (ruh yang terpaut).
Semesta ‘alam sana tafsil yang
Ketiga, ta’ayyun tsalis
(kenyataan yang ketiga). Ta’ayyun tsalis mujmali
berupa ruhul insani (ruh manusia), ruhul Itulah bernama haqiqat insani.
hayawan (ruh hewan) dan ruhun nabati
(ruh tumbuh-tumbuhan).
Keempat, ta’ayyun rabi’ dan Ta’ayyun thalith wujud yang
khamis (kenyataan keempat dan kelima) mufassil
berupa penciptaan jasmani alam semesta Ia itulah anugerah daripada karunia
seisinya, termasuk manusia. Penciptaan
Ilahi
tiada berkesudahan (ila ma la nihayatun
lahu), karena apabila tidak melakukan Semesta ‘alam sana tafsil fi’li
penciptaan, Tuhan tidak dapat dikenal Itulah bernama a’yan khariji.
sebagai Pencipta. Dengan demikian,
terdapat lima tataran tajalli Tuhan, yaitu
la ta’ayyun (tidak nyata), ta’ayyun Rahasia ini yogya diketahui
awwal (kenyataan pertama), ta’ayyun Pada kita sekalian yang menuntuti
tsani (kenyataan yang kedua), ta’ayyun Demikianlah kelakuannya tanazzul
tsalis (kenyataan yang ketiga), dan
dan taraqqi
ta’ayyun rabi’ dan khamis ila ma
nihayatun lahu (kenyataan yang keempat Dari sanalah kita sekalian menjadi.
dan kelima sampaai ta’ayyun yang tidak
ada batasnya. Oleh karena itu, ajaran ini
Pada kunhinya itu belum
dapat dikatakan sebagai ajaran
Martabat Lima. berketahuan

68
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Demikianlah martabat asal Wahdat itulah bernama bayang-


permulaan bayang
Bernama wahdat tatkala zaman Disana nyata Wayang dan
Itulah ‘Ashiq sifat menyatakan. Dalang
MuhitNya lengkap pada sekalian
Wahdat itulah bernama Kamal Dhati padang
Menyatakan sana Ruh Muhammad Mushahadat disana jangan
al-Nabi kepalang.
Tatkala itu bernama Ruh Idafi
Itulah mahkota Qurayshi dan ‘Arabi. Wahdat itulah yang pertama
tanazzul
Wahdat itulah sifat yang Keesaan Ijmal dan tafsil sana maqbul
Memberikan wujud pada sekalian MuhitNya lengkap pada sekalian
insan maf’ul
MuhitNya lengkap pada sekalian Itulah Haqiqat Junjungan
zaman Rasul.
Olehnya itulah tiada Ia bermakan.
Wahdat itulah yang pertama
Wahdat itulah yang pertama nyata tajalli
didalamNya mawjud sekalin rata Tiada bercherai dengan Wujud
MuhitNya lengkap pada sekalian Mutlaqi
anggota Ijmal dan tafsil didalam ‘ilmi
Demikianlah umpama chahaya dan Itulah martabat kejadian Ruh
permata. Idafi.

Wahdat itulah bernama Kunhi Sifat Wahdat itulah yang pertama


Tiada bercherai dengan itlaq taqayyid
Ahadiyyat Disana idafat lam yulad dan lam
Tanzih dan tasbih disana ma’iyyat yalid
Demikianlah sekaranag zahir pada Pada sekalian ta’ayyun jangan
ta’ayyunat. kau taqlid
Mangkanya sampai bernama
tajrid.

69
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

dan melancarkan berbagai usaha untuk


Wahdat itulah sifat yang talahuq mengurangi atau bahkan melenyapkan
paham itu dari masyarakat. Salah satu
Tanzih dan tasbih sana cluk
yang dilakukan al-Raniri adalah
MuhitNya nyata tatkala masuk memanfaatkan kedekatannya dengan
Itulah pertemuan Khaliq dan Sultan Iskandar Tsani, karena posisinya
Makhluq. sebagai Syaikhul Islam pada masa itu.
Dalam usahanya melancarkan
‘pemurnian Islam’ tersebut, al-Raniri
Wahdat itulah sifat yang menggunakan pendekatan intelektual
talazaum dan kekuasaan. Pendekatan pertama
dilakukan dengan menulis berbagai kitab
Tanzih dan tasbih sana malzum
dan tulisan yang menjelaskan kerancuan-
MuhitNya lengkap pada sekalian kerancuan sejarah kaum wujudiyah dan
ma’lum sekaligus bantahan terhadap faham
wujudiyah. Buku-bukunya juga memuat
Itulah pertemuan Qasim dan
penjelasan aqaid yang benar yang mesti
Maqsiim. menjadi pedoman kaum muslimin.
Pendekatan kedua dilakukan
Wahdat itulah sifat taqarun dengan mengadakan debat terbuka
melawan pengikut wujudiyah. Debat
Tanzih dan tasbih sana maqrun
dilaksanakan oleh al-Raniri untuk
MuhitNya lengkap pada sekalian menyampaikan berbagai kesesatan dan
mudabbirun kekeliruan ajaran wujudiyah yang
berkembang dalam masyarakat Aceh
Itulah murad: wa fi anfusikum a
saai itu. Ringkasnya ada lima hal yang
fa la tubsirun menjadi pokok kritik al-Raniri terhadap
(Abdul Hadi dan LK Ara,1984: pemikiran wujudiyah Hamzah Fansuri
61-65). dan Syamsuddin al-Sumatrani.

a. Nur Muhammad
5. Kritik Nuriddin al-Raniri Hamzah Fansuri menekankan
Terhadap Ajaran Wujudiyah bahwa Tuhan berada dalam kandungan
Nuruddin al-Raniri menentang (imanen) alam ini, yang berarti Tuhan
keras ajaran wujudiyah yang diajarkan menjadi hakikat fenomena alam empiris.
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Ajaran ini menurut al-Raniri sama saja
Sumatrani. Ia mengatakan bahwa ajaran dengan gagasan para filosof, kaum
wujudiyah merupakan ajaran sesat dan Zoroaster (Majusi), dan Brahmanisme.
bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan, al-
Nuruddin al-Raniri, memang telah Raniri menyatakan:
mempelopori gerakan anti wujudiyah,

70
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Ketiga taifah daripada Majusi itu Dalam paragraph di atas, al-


bernamaa Sumaniyah. Adalah Raniri, menyamakan ajaran Nur
Muhammad yang dibawa oleh Hamzah
mereka itu menyembah tiap-tiap
Fansuri dengan berbagai keyakinan sesat
cahaya daripada matahari dan bulan dalam sejarah keyakinan manusia.
dan bintang dan api dan barang- Kaum-kaum terdahulu yang ingkar
barang sebagainya. Seperti katanya kepada Allah menyembah cahaya
dengan keyakinan bahwa cahaya
adalah sekalian cahaya itu daripada tersebut pada hakekatnya satu jua yakni
satu cahaya jua dahulu daripada berasal dari cahaya Tuhan. Oleh sebab
dijadikan Allah segala makhluk itu, tidak ada bedanya antara cahaya
yang disembah dengan cahaya hakikat
(yaitu: ‘Arasy, dan lawh, dan tujuh
Tuhan. Keyakinan ini pula yang menurut
petala langit). Maka tatkala dijaikan al-Raniri dianut oleh Hamzah Fansuri
Allah Ta’ala segala perkara itu, jadi dan pengikutnya. Karena itu mereka
semua adalah sesat dan keluar dari
bercerailah segala cahaya itu: iaitu
ajaran Islam.
pada penglihat mata jua, tetapi pada
hakikatnya sekalian cahaya itu satu b. Wahdatul Wujud
jua: ia itulah Nur Allah. Demikian
i’tikad Hamzah Fansuri. Katanya Kritik utama dan paling banyak
diberikan al-Raniri kepada Hamzah
dalam kitab Asrar al-‘Arifin bahwa
Fansuri adalah pemikiran wujudiyah
cahaya yang pertama-tama cerai Hamzah Fansuri. Menurut al-Raniri,
daripada zat Allah itu Nur Hamzah Fansuri telah menyamakan
Muhammad. Maka daripada Tuhan dengan alam dalam konsepsi
ketuhanannya. Hamzah Fansuri
perkataan ini cenderung kepada
meyakini imanensi Tuhan dengan alam,
mazhab Tanasukiyah, dan serupa yakni Tuhan hadir dalam setiap sesuatu,
dengan kata falasifah bahwa adalah padahal dalam pandangan al-Raniri,
Tuhan adalah transenden, yang tidak
Haq Ta’ala itu suatu Jauhar yang
mungkin dapat ber-maqam dalam diri
basit. Dan demikian lagi i’tiqad makhluk, sehingga Ia (Tuhan) sama
wathaniyah yang daripada qaum sekali berbeda dengan makhluk.
Barahimah dan Samiyyah yang Menyatakan imanensi Tuhan sama saja
dengan menyamakan Tuhan dengan
mendiami negeri Tubbat. Dan seperti alam atau makhluk dan ini adalah sesat.
i’tiqad kaum Hululiyah yang Al-Raniri menuduh Hamzah Fansuri
mendiami negeri Halwaniyah dan telah melakukan hal ini, menyatakan:

benua Hindustan. Demikian i’tiqad “Katanya bahwa segala arwah


mereka. dan segala sesuatu itu daripada

71
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

suku-suku Allah dari karena Ia semesta sekalian alam dalam


berbuat dan menjadikan segala Allah.
sesuatu. Maka perbuatannya dan Tamsil seperti biji dan pohon:
yang demikiannya itu jadi pohonnya dalam biji itu lengkap
daripada-Nya dan kembali pula serat dalam biji itu. Maka
pada-Nya jua. Maka segala nyatalah dari perkataan
makhluqat itu suku-suku wujudiyah itu bahwa seru
daripada Allah. Inilah mazhab semesta alam sekaliannya ada
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin lengkap berwujud dalam Haq
as-Sumatrani yang dalalat Ta’ala. Maka keluarlah alam
keduanya. Dan lagi kata setengah daripada-Nya seperti pohon
dari pada kaum Tanasukhiyah keluar kayu, keluar daripada biji.
bahwa takwin dan mukawwin dan Maka i’tiqad yang demikian itu
fa’il dan maf’ul suatu jua. Dan kufur.
demikianlah mazhab Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin as-
Sumatrani. Tidak hanya dari karya-karya
Hamzah Fansuri, penyamaan Allah
dengan makhluk juga dikemukakan oleh
Dari kutipan di atas jelaslah
pengikut Hamzah dan muridnya, yakni
bahwa dalam pandangan al-Raniri,
Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam
Hamzah Fansuri berkeyakinan kalau
perdebatan-perdebatan dengan al-Raniri,
Allah dan alam pada hakikatnya adalah
para pengikut Hamzah Fansuri yang
sama. Hamzah telah menempatkan alam
dinamakan kaum wujudiyah
dan Tuhan memiliki hakikat yang sama
menyatakan: “…i’tiqad kami
dan tidak ada bedanya. Hal ini lebih jelas
bahwasanya Allah Ta’ala itu diri kami
dengan perumpamaan Hamzah dengan
dan wujud kami, dan kami dari-Nya dan
‘sebiji pohon kayu’. Al-Raniri
wujud-Nya. Dan lagi pula kata mereka
menyatakan:
itu bahwa alam itu adalah Allah dan
Allah itu alam”.
“Maka sekarang kunyatakan pula Hal yang demikian itu
kepadamu setengah daripada
dikemukakan oleh para pengikut
i’tiqad kaum wujudiyah yang
dibawa angin, yaitu Hamzah Hamzah Fansuri saat mereka melakukan
Fansuri dan Syamsuddin as- debat mengenai i’tiqad wujudiyah dalam
Sumatrani dan segala yang forum yang diadakan atas prakarsa al-
mengikut keduanya. Kata Raniri sebagai Syeikh al-Islam dalam
Hamzah Fansuri dalam kitabnya kerajaan. Untuk menguatkan tuduhannya
yang bernama Muntahi pada atas kesesatan I’tiqad Hamzah dan
merencanakan sabda Nabi man
pengikutnya, al-Raniri juga mengutip
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa
rabbahu (barang siapa mengenal pendapat Syamsuddin as-Sumatrani.
dirinya bahwasanya ia mengenal
Tuhannya); arti mengenai Dan lagi pula kitabnya yang
Tuhannya dan mengenai dirinya, bernama Khirqah dengan
yakni Diri (kuntu kanzan sumpahnya dalam kitabnya itu
makhfiyan) itu dirinya, dan bunyinya: wallah, billah,

72
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

wakalamullah, insan itu-lah langit dan bumi’ (Djamaris dan


Allah dengan tiada syak Saksono, : 22-25).
dalamnya dari karena insan itulah
libas (pakaian) yang kesudahan.
Maka libas dengan empunya Oleh karena itu tentu sangat
libas sewujud dan bersuara jua. keliru menyamakan Allah dengan alam.
Dan barang siapa mengenal Allah adalah zat yang berdiri sendiri,
dengan makrifat ini, maka yang tidak ada sesuatu yang serupa
sampailah ia kepada makrifat dengan-Nya. Jika manusia sama dengan
kunhi zat Allah dan wujud-Nya,
Tuhan, maka manusia juga akan
seperti firman Allah: “wa fi
anfusikum afala tubsirun”, yakni mempunyai sifat-sifat Tuhan. Manusia
bahwasanya wujud insan itulah akan mengetahui segala sesuatu baik
wujud Allah dan wujud Allah yang di langit maupun di bumi, manusia
itulah wujud insan. akan kuasa menciptakan sesuatu dari
tiada menjadi ada. Semua ini adalah
Penyamaan Allah dan insan serta sesuatu yang mustahil dan jauh dari
alam menurut al-Raniri sungguh tidak rasionalitas. Manusia mempunyai
dapat dibenarkan dan jauh dari keterbatasan dan Tuhan tidak. Dalam
pemikiran rasional. Sebab andaikan pandangan al-Raniri, seandainya
benar adanya Allah adalah insan dan manusia disamakan dengan Tuhan, maka
insan adalah Allah, maka: ada empat kemungkinan:
a. Intiqal, artinya wujud Allah
“Hayawanat dan nabatat dan berpindah kepada insan atau
jamadat dan najasat sekaliannya makhluk, seperti berpindahnya
itu Allah…dan lagi jikalau benar seseorang dari satu tempat ke
seperti kata mulhid itu, niscaya tempat lain.
adalah segala yang kita makan b. Ittihad, artinya dua wujud menjadi
dan barang yang kita minum dan satu, seperti bersatunya emas
barang yang kita tuju ke dalam
dengan tembaga.
api sekaliannya itu Allah. Dan
jika kita sumpah akan seseorang c. Hulul, artinya wujud Allah masuk
niscaya gugurlah sumpah itu ke dalam makhluk, seperti air
akan Allah. Dan jikalau kita masuk ke dalam kendi.
bunuh dan kita cincang akan d. Ittisal, artinya wujud Allah
seseorang manusia atau lainnya, berhubungan dengan makhluk
niscaya yang kita bunuh dan
seperti manusia dengan
yang kita cincang itu akan Allah
jua…”. anggotanya.

‘Jika benar Tuhan dan makhluk Dari empat kemungkinan di atas,


itu hakikatnya satu, maka maka tidak ada satu pun yang dapat
manusia memiliki sifat-sifat diterima akal. Al-Raniri menganggap
Allah, dengan demikian, manusia
semua kemungkinan di atas sebagai
akan mengetahui dan dapat
berbuat segala apa yang ada di sesuatu yang mustahil bagi Allah dan
mustahil pula dari sisi rasionalitas. Oleh

73
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

sebab itu, penyamaan Allah dengan alm Menurut al-Raniri apa yang
dan manusia merupakan sesuatu yang dipaparkan Hamzah di atas secara akal
mustahil secara akal, dan tidak logis, sehingga ia menyerukan
membenarkannya bertentangan dengan kaum beriman untuk tidak percaya
ajaran agama. Karenanya, setiap orang padanya. Ombak dalam pandangan al-
yang mengikuti ajaran wujudiyah, yaitu Raniri hanyalah disebabkan karena
menyamakan Tuhan dengan manusia adanya angin yang meniupkannya. Pada
maka mereka dianggap sesat dan keluar hakikatnya ombak dan laut adalah suatu
dari ajaran Islam. kesatuan adanya. Dengan demikian tidak
mungkin sesuatu yang satu dapat
c. Penyatuan Nyawa dengan Tuhan berpisah atau kembali seperti yang
diibaratkan Hamzah. Al-Raniri
mengatakan:
Al-Raniri juga mengkritik masalah
penyatuan nyawa dengan Tuhan yang
diungkapkan oleh Hamzah Fansuri. Ombak dengan laut yang ditamsilkan
arif itu tiga perkara: pertama air,
Dalam pandangan Hamzah Fansuri,
kedua laut, ketiga ombak. Maka
yang meyakini bahwa Tuhan memiliki tidak ada di dalam tiga itu melainkan
aspek imanen serta transenden, nyawa esa juga, yaitu air yang mutlak. Dan
manusia yang mati akan kembali kepada laut itu nama suatu kelakuan air
Tuhan laksana ombak bersatu dengan apabila ia meluaskan dirinya, maka
laut. Dalam Muntahi, Hamzah dinamai akan dia laut, maka nyatalah
tiada wujud pada laut itu hanya nama
menjelaskan:
i’tibari jua. Demikian lagi ombak itu
pun nama sesuatu kelakuan air jua,
“Ya ayyatuhal nafsu al apabila ia menimbulkan dirinya
muthmainnah, irji’i ila rabbiki degan merendah tinggi sebab ditiup
radhiyatan mardhiyyah, fadkhuli angin, maka dinamai dia akan
fi ‘ibadi wadkhuli jannati”. Hal ombak. Dan apabila teduhlah ombak,
segala kamu bernyawa maka tiadalah dinamai akan ombak,
muthmainnah! Pulanglah kamu maka nyatalah namanya itupun
kepada Tuhan kamu radhi akan i’tibari jua, sekali-kali tiada baginya
Dia dari radhi Ia akan kamu. wujud. Maka betapa ia kembali
Maka masuklah surga-Ku, hal kepada air dari karena adalah ia
hamba-hamba-Ku!. ‘adam.

Artinya datangnyapun dari laut,


pulangnyapun kepada laut SIMPULAN
jua...karena pada orang berahi Corak pemikiran wujudiyah
yang wasal, jannah itulah yang Hamzah Fansuri dapat diringkaskan
dikatakan dalam ayat: fadkhuli sebagai berikut. Pertama, pada
fi’ibadi wadkhlui jannati. hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama
Pulanglah ia kepada tempat
dengan zat dan wujud alam. Kedua,
khanzan makhfiyyan.
tajalli (pengejawantahan) alam dari zat
dan wujud Tuhan pada tataran awal

74
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

adalah Nur Muhammad yang pada sejarah kaum wujudiyah dan sekaligus
hakekatnya adalah Nur Tuhan. Ketiga, bantahan terhaap faham wujudiyah.
Nur Muhammad adalah sumber segala Selain itu, ia juga mengadakan debat
khalq Allah, yang pada hakekatnya terbuka melawan pengikut wujudiyah.
khalq Allah atau ciptaan Tuhan itu juga Debat dilaksanakan oleh al-Raniri untuk
zat dan wujud Allah. Keempat, manusia menyampaikan berbagai kesesatan dan
sebagai mikrokosmos harus berusaha kekeliruan ajaran wujudiyah yang
mencapai kebersamaan dengan Tuhan berkembang dalam masyarakat Aceh
dengan jalan tark al-dunya -- saat itu. Pendekatan kedua bercorak
menghilangkan keterikatannya dengan kekuasaan, yaitu meminta penguasa
dunia dan meningkatkan kerinduan untuk melarang peredaran tulisan-tulisan
kepada mati. Kelima, usaha manusia yang memuat ajaran wahdah al-wujud
tersebut harus dipimpin oleh guru yang dan bahkan memusnahkan buku-buku
berilmu sempurna. Keenam, manusia tersebut
yang berhasil mencapai kebersamaan
dengan Tuhan adalah manusia yang
telah mencapai ma’rifat yang sebesar- Daftar Pustaka
besarnya, yang telah berhasil mencapai
taraf ketiadaan diri (fana fi Allah). Abdul Hadi W.M. dan L.K. Ara (peny.).
Alasan utama Nuruddin al-Raniri (1984). Hamzah Fansuri
mengkritisi dan sekaligus menolak Penyair Sufi Aceh. Jakarta:
pemikiran Hamzah Fansuri adalah Lotkala.
didasarkan adanya kekhawatiran bahwa Ahmad Daudi. (2001). Allah dan
ajaran yang disebarkan Hamzah Fansuri Manusia dalam Konsepsi Syekh
tersebut akan menyesatkan pemikiran Nuruddin Ar-Raniri. Jakarta:
orang-orang awam. Kekhawatiaran itu Buland Bintang.
terutama karena ketakutan akibat ajaran Amirul Hadi. (2010). Aceh: Sejarah,
tersebut akan menyebabkan kekafiran Budaya, dan Tradisi. Jakarta:
pada kaum Muslimin. Kritik Nuruddin Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
al-Raniri terhadap ajaran Hamzah al- Afif Anshori. (2004). Tasawuf Falsafi
Fansuri, selain masalah wujudiyah Syekh Hamzah Fansuri.
adalah mengenai ajarannya tentang: (1) Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Nur Muhammad, (2) Kemakhlukan A. Rifai Hasan (Peny.). (1990). Warisan
Alquran, (3) Kekadiman Alam, dan (4) Intelektual Islam Indonesia:
Penyatuan Nyawa dengan Tuhan Telaah atas Karya-Karya Klasik.
Bagaimana Nuruddin al-Raniri Bandung: Mizan.
menghadapi ajaran Hamzah Fansuri Azyumardi Azra. (1994). Jaringan
adalah dengan menggunakan dua Ulama Timur Tengah dan
pendekatan. Pendekatan pertama Kepulauan Nusantara Abad XVII
bercorak intelektual, yaitu dengan dan XVIII. Bandung: Mizan.
menulis berbagai kitab dan tulisan yang
menjelaskan kerancuan-kerancuan

75
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017

Harun Nasution. (1979). Islam Ditinjau Steenbrink, Karel A. (1984). Beberapa


Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Aspek Tentang Islam di
Jakarta: UI Press. Indonesia Abad Ke-19. Bandung:
-------. (1990). Falsafat dan Mistisisme Bilan Bintang.
dalam Islam. Bandung: Bulan
Bintang. Biodata Penulis: Ajat Sudrajat,
MitahArifin. (2015). Wujudiyah di Prof.Dr., M.Ag., adalah staf pengajar
Nusantara: Kontinunitas dan
pada Pusat MKU untuk mata kuliah PAI
Perubahan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. dan Sejarah Asia Barat, Filsafat Sejarah,
Nor Huda. (2007). Islam Nusantara: Logika, dan Sejarah Pemikiran pada
Sejarah Sosial Intelektual Islam Jurusan Pendidikan Sejarah FIS
di Indonesia. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media. Universitas Negeri Yogyakarta.
Sangidu. (2008). Wachdatul Wujud:
Polemik Pemikiran Sufistik
antara Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin as-Samatrani
dengan Nuruddin ar-Raniri.
Yogyakarta: Gama Media.

76

Anda mungkin juga menyukai