Maret 2017
ABSTRAK
ABSTRACT
This study aims to find out: 1) the thought of Wujudiyah Hamzah Fansuri; 2) The
reason Nuruddin al-Raniri criticized Hamzah Fansuri's thought, and (3) the ways in which
Nuruddin al-Raniri faced Hamzah Fansuri's thoughts. The style of thinking of Wujudiyah
Hamzah Fansuri is as follows. First, the substance and form of God are essentially the
same as substances and forms of nature. Second, the nature of tajalli from the substance
and form of God at the initial level is Nur Muhammad. Third, Nur Muhammad is the
source of all the khalq of Allah. Fourth, humans as microcosmos must try to achieve
togetherness with God. Fifth, humans who succeed in achieving togetherness with God are
human beings who have achieved perfection. The main reason for Nuruddin al-Raniri
criticizing and rejecting Hamzah Fansuri's thinking was based on the concern that the
teachings spread by Hamzah Fansuri would mislead the minds of ordinary people. There
are two approaches used by Nuruddin al-Raniri in dealing with the teachings of Hamzah
55
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
Fansuri: 1) intellectual approach, by writing various books that explain the historical
ambiguities of the Wujudiyah and at the same time denial of Wujudiyah ideology and
open debate against wujudiyah followers; 2) power approach, by asking the authorities to
ban the circulation of writings that contain the teachings of wahdah al-wujud and even
destroy the books.
56
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
57
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
sebutan dua tempat yang berbeda, yaitu Menurut al-Attas, ada makna lain
Fansur dan Syahrnawi. Pada bait yang dari kata tempat dan asal. Asal bukan
lain, kadang-kadang ia menyebut dirinya berarti bahwa Hamzah lahir di Fansur,
dengan Hamzah saja, atau Hamzah melainkan bisa berarti keluarga, sanak
Fansuri, dan kadang Hamzah famili, dan nenek moyang yang berasal
Syahrnawi. Pada bagian akhir kitab dari sana, bahkan bisa jadi Hamzah
Syarab al-Asyiqin, Hamzah menyebut sendiri tidak lahir di sana. Namun
dirinya dengan al-Faqir Hamzah al- pendapat al-Attas ini disangkal olaeh
Mudunayn, yang disimpulkan oleh al- Drewes, karena penyebutan nama-nama
Attas menunjuk pada kota Barus dan kota lain seperti Kudus, Mekkah,
Syahrnawi (Afif Anshori, 2004:62). Baghdad, dan Syahrnawi dalam syair-
Di kalangan para ulama, syair Hamzah, merupakan bagian dari
penyebutan nama kota kelahiran di kesan pengalaman keagamaannya.
belakang nama, tampaknya merupakan Dengan demikian, menurut Drewes,
sesuatu yang lazim. Penyebutan tersebut Barus atau Fansur adalah kota tempat
untuk menunjukkan identitas diri, kelahiran Hamzah (Afif Anshori, 2004:
misalnya al-Bantani, al-Makassari, al- 63).
Jawi, al-Singkili, al-Palimbani, al- Jika dipahami lebih jauh, pangkal
Baghdadi, al-Misri, al-Ghazali, dan tolak perbedaan pendapat mengenai
seterusnya. Namun, yang mana dari dua tempat kelahiran Hamzah ini terkait
nama tersebut di atas yang dengan kata ‘wujud’ dalam bait yang
sesungguhnya merupakan tempat berbunyi “mendapat wujud di tanah
kelahiran Hamzah. Syahrnawi”. Menurut al-Attas, wujud
Jika disimak dari seluruh syair- diartikan dengan eksistensi, sehingga
syairnya, nama Barus-lah yang paling dikatakan bahwa Hamzah asal-usulnya
banyak disebutkan Hamzah. Dari sini dari Fansur dan bereksistensi Syahrnawi.
dapat dipahami dan disimpulkan bahwa Oleh karena itu dapat disimpulkan
Hamzah berada di tanah Melayu, di bahwa Hamzah Fansuri lahir di Fansur
sebuah daerah penghasil kapur yang atau Barus, sedang di Syahrnawi, ia
berasal dari getah tanaman. Secara tegas pertama kali menemukan atau
berarti menunjuk pada kota Barus di memperoleh pengalaman rohani.
pantai barat Sumatera bagian utara. "Kapur" dalam syair ini sama dengan
Namun demikian belum dapat "barus", menunjukkan tempat asal
disimpulkan bahwa tempat kelahiran Hamzah. Agaknya ia sengaja memakai
Hamzah adalah kota Barus atau Fansur. kata-kata "kapur" itu setelah baris yang
Pada bait yang lain disebutkan: menyebutkan namanya sendiri (Hamzah
Fansuri), lalu ia membuat ungkapan
Hamzah nin asalnya Fansuri yang menunjuk pada makrifat
Mendapatkan wujud di tanah (uniomystika) : tempatnya kapur di
Syaharnawi dalam kayu. Di dalam syairnya yang lain
ia menyatakan:
58
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
59
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
60
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
picik, bebal, da’if, dan sebagainya. Ia bukan tidak mungkin di kota ini pernah
mengaku berasal dari masyarakat biasa berkembang sebuah dialek Melayu yang
atau orang awam, tetapi memiliki unggul, disamping dialek Malaka dan
semangat yang kuat untuk mencari Pasai. Bahasa Melayu yang dipakai
bekal, baik berupa ilmu maupun harta. Hamzah dalam karya-karyanya
Kondisi sosial yang demikian itu kemungkinan merupakan contoh terbaik
akhirnya memberikan semangat bagi dari ragam bahasa Melayu Barus.
Hamzah untuk menempuh hidup Selain untuk berdagang,
berkelana sebagai pedagang di berbagai pengembaraannya itu dimanfaatkan pula
negeri (Afif Anshori, 2004: 67). untuk menimba ilmu dari berbagai
ulama tasawuf terkemuka. Hamzah
Ya Ilahi ya wujudi bi al-dawam diriwayatkan melakukan perjalanan ke
Ukhngkan Hamzah daripada Timur Tengah dan mengunjungi
pangkat awam
beberapa pusat pengetahuan Islam,
Peliharakan ia daripada kerja
yang haram seperti Makkah, Madinah, Jerusalem,
Supaya dapat ke dar al-Salam dan Bagdad. Di tempat yang disebut
terakhir, Hamzah berkenalan dengan
Hamzah Fansuri terlalu bebal tarekat Qadiriyah (Abdul Hadi W.M.
Disangka dunya nin manisnya dan L.K. Ara, 1984: 6).
kekal
Terlalu ghafil mencari bekal Hamzah ini asalnya Fansuri,
Tiada syak esok akan menyesal Mendapat wujud di tanah
(Afif Anshori, 2004: 71). Syahrnawi,
Beroleh khilafat ilmu yang 'ali,
Diperkirakan Hamzah Fansuri Daripada Abdulqadir Saiyid
mulai belajar agama di kota Jailani
kelahirannya, Barus, sebuah kota yang
ramai dengan para pedagang Muslim Syair yang lain menyatakan:
Hamzah Fansuri sedia zahir
dari Arab, Persia, dan India. Ada
Tersuci pulang pada Sayyid ‘Abd
kemungkinan di kota ini telah pula al-Qadir
berdiri lembaga pendidikan agama. Di Dari sana ke sini ter-ta’ir-ta’ir
kota ini, orang-orang dapat mempelajari Akhir mendapat pada diri zahir
berbagai bahasa asing, khususnya bahasa (Amirul Hadi, 2010: 72).
Arab dan Persia. Itulah barangkali yang
menyebabkan Hamzah Fansuri Tarikat Qadiriyah merupakan
menguasai kedua bahasa tersebut. nama tarikat yang dinisbatkan atau
Barus, selain merupakan kota dihubungkan dengan pendirinya, yaitu
perdagangan, tempat pertemuan para Syaikh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M).
pedagang dari Arab, Persi, dan India, Hamzah menerima tarikat ini ketika
pada saat yang bersamaan juga sedang menuntut ilmu di Baghdad, yang
merupakan pusat perkembangan ajaran merupakan pusat penyebaran Tarikat
tasawuf dengan aliran tarekatnya dan Qadiriyah. Di kota inilah ia menerima
juga kesusasteraan. Oleh karena itu, baiat dan ijazah dari tokoh Qadiriyah
61
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
62
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
sehingga berpengaruh pula dalam pada bab 7 diuraikan mengenai ‘isyq dan
konsep-konsep tasawuf serta penuturan sukr (kemabukan mistis).
bahasanya. Konsep-konsep tasawuf yang Kitab Asrar al-Arifin. Kitab ini
dimaksud datang dari Ibn ‘Arabi -- dinyatakan oleh Afif Anshori (2004: 75)
bahkan dianggap sebagai gurunya sebagai karya prosa yang cukup
sendiri--, al-Jili, Abu Yazid al-Bistami, menarik, karena di dalam kitab ini,
Junaid al-Baghdadi, Abu Mansur al- diberikan suatu contoh bagaimana
Hallaj, al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, dan Hamzah Fansuri sendiri memakai syair
seterusnya. sebagai media dakwah. Karya ini
dimulai dengan syair yang terdiri atas 15
3. Beberapa Karya Hamzah bait. Kemudian, syair tersebut dijelaskan
baris perbaris. Penjelasan itu memang
Fansuri
sangat diperlukan, karena syair-syair
Karya Hamzah Fansuri dapat yang ditulis Hamzah banyak
dikelompokkan menjadi dua, pertama menggunakan istilah-istilah asing, yang
yang berbentuk prosa, yaitu Zinat al- kandungannya sukar untuk dipahami
Muwahhidin atau disebut juga Syarab oleh orang awam.
al-Asyiqin, Asrar al-Arifin, dan Muntahi. Kitab Muntahi. Kitab Muntahi
Kedua, karya yang berbentuk syair, ini merupakan sebuah karya yang isinya
seperti Syair Perahu, Syair Dagang, dan berupa rantai kutipan dari Alquran,
Syair Burung Pingai. hadis, dan kata-kata mutiara para ahli
Kitab Zinat al-Muwahhidin atau tasawuf. Kutipan-kutipan tersebut
Syarab al-Asyiqin. Kitab ini selanjutnya diberi catatan atau komentar
diperkirakan ditulis pada akhir abad ke- oleh Hamzah Fansuri. Kitab ini berisi
16, ketika di Aceh sedang terjadi uraian tentang ajaran wujudiyah, dengan
perbincangan mengenai filsafat banyak mengutip ajaran atau pendapat
wujudiyah yang melibatkan para ahli Ibn Arabi. Contoh dari Kitab Muntahi:
tasawuf. Menurut Abdul Hadi WM,
sudah dapat dipastikan bahwa Hambah Ketahui olehmu, hai Talib,
Fansuri dan beberapa pengikutnya, bahwa sabda Rasulu’Llah
kemungkinan juga di dalamnya (salla’Llahu ‘alayihi wa sallam!):
Man nazara ila shay’in wa lam
Syamsuddin al-Sumatrani, terlibat dalam
yara’Llahu fihi fa huwa batilun
perdebatan yang berlangsung pada saat Yakni: Barang siapa menilik
itu (Afif Anshori, 2004: 75). sesuatu, jika tiada dilihatnya
Bab 1, 2, 3, dan 4 menguraikan Allah dalamnya, maka ia itu sia-
tahap-tahap ilmu suluk yang terdiri atas sia.
syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat.
Sabda Nabi (salla’Llahu ‘alayihi
Selanjutnya, pada bab 5 diuraikan
wa sallam!):
mengenai tajalli Tuhan. Pada bagian ini Man ‘arafa nafsahu fa qad’arafa
diuraikan mengenai apa itu wujudiyah. rabbahu
Kemudian, pada bab 6 diuraikan
mengenai sifat-sifat Allah swt. Terakhir,
63
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
64
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
65
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
Alquran surat Fushshilat (42) ayat ke-39, seisinya yang telah diciptakan-Nya.
yang artinya: Wujud Allah itu esa dan merupakan
hakikat dari wujud-wujud (makhuk).
“Dan di antara tanda-tanda-Nya Semua makhluk sampai sebiji atom pun
(ialah) bahwa kau lihat bumi tidak terlepas dari Wujud yang mutlak.
kering dan gersang, Maka Sesungguhnya Wujud Allah dilihat dari
apabila kami turunkan air di segi Kunhi-Nya tidak dapat
atasnya, niscaya ia bergerak dan
diungkapkan oleh siapa pun dan tidak
subur. Sesungguhnya Tuhan
yang menghidupkannya, pastilah dapat dijangkau oleh akal, angan-angan,
dapat menghidupkan yang mati. dan perasaan.
Sesungguhnya dia Maha Kuasa Selain itu, Wujud Allah tidak
atas segala sesuatu” (QS dapat dianalogikan dengan apa pun,
Fushshilat (41): 39). karena akal, angan-angan, dan perasaan
merupakan ciptaan baru (muchdats).
Ayat di atas menerangkan bahwa Dengan demikian, siapa pun yang
di antara tanda-tanda kekuasaan Allah berusaha sekuat tenaga untuk
swt adalah membangkitkan manusia di mengetahui wujud dan wajah Allah swt,
hari kiamat nanti; bumi yang tandus dan hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia
mati yang tidak ditumbuhi tumbuh- belaka. Sesungguhnya, seperti
tumbuhan sedikitpun, tetapi apabila dinyatakan dalam kitab Tuchfah (t.t.:2),
Allah menyiram tanah itu dengan air mempelajari dan memahami Wujud
hujan dan dengan mengalirnya air hujan Allah itu bertingkat-tingkat
kepadanya, maka bumi itu berubah (mutadarrijan). Tingkatan-tingkatan
menjadi hijau karena tanahnya menjadi atau martabat yang dimaksud terdiri atas
subur dan dapat ditumbuhi tanaman. empat martabah, yaitu, pertama,
Selain itu, Allah telah menghidupkan martabat la ta’ayyun (tidak nyata);
bumi yang mati dengan menyiramkan kedua, martabat ta’ayyun awwal; ketiga,
air, menghidupkan tumbuh-tumbuhan martabat ta’ayyun tsani; dan keempat,
sehingga bumi itu menghijau. Allah martabat a’yan kharijiyyah (Sangidu,
berkuasa juga menghidupkan manusia 2008: 56).
yang telah mati dan berkuasa Pertama, martabat la ta’ayyun
membangkitkannya dari kubur. (tidak nyata) adalah Dzat dan Wujud
Semuanya itu tidak ada yang sukar bagi Allah yang suci dari segala sesuatu.
Allah dan semuanya mudah bagi Allah Dzat dan Wujud Allah ini meliputi dan
karena Dia Maha Kuasa atas segala menguasai seluruh alam semesta
sesuatu seisinya, termasuk manusia. Dia adalah
Sesungguhnya Allah swt itu ada. Penguasa dan Penanggung jawab
Keberadaan-Nya itu tanpa bentuk, tanpa terhadap kebutuhan-kebutuhan seluruh
ukuran, dan tanpa batas. Walaupun makhluk-Nya atas segala maujudat-Nya.
demikian, Allah swt tetap dapat Kekuasaan terhadap alam semesta dan
dipahami, dimengerti, dan dilihat dalam seisinya adalah mutlak dan kekal. Dzat
bentuk dan ukuran melalui alam semesta dan Wujud Allah merupakan alam
66
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
67
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
68
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
69
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
a. Nur Muhammad
5. Kritik Nuriddin al-Raniri Hamzah Fansuri menekankan
Terhadap Ajaran Wujudiyah bahwa Tuhan berada dalam kandungan
Nuruddin al-Raniri menentang (imanen) alam ini, yang berarti Tuhan
keras ajaran wujudiyah yang diajarkan menjadi hakikat fenomena alam empiris.
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Ajaran ini menurut al-Raniri sama saja
Sumatrani. Ia mengatakan bahwa ajaran dengan gagasan para filosof, kaum
wujudiyah merupakan ajaran sesat dan Zoroaster (Majusi), dan Brahmanisme.
bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan, al-
Nuruddin al-Raniri, memang telah Raniri menyatakan:
mempelopori gerakan anti wujudiyah,
70
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
71
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
72
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
73
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
sebab itu, penyamaan Allah dengan alm Menurut al-Raniri apa yang
dan manusia merupakan sesuatu yang dipaparkan Hamzah di atas secara akal
mustahil secara akal, dan tidak logis, sehingga ia menyerukan
membenarkannya bertentangan dengan kaum beriman untuk tidak percaya
ajaran agama. Karenanya, setiap orang padanya. Ombak dalam pandangan al-
yang mengikuti ajaran wujudiyah, yaitu Raniri hanyalah disebabkan karena
menyamakan Tuhan dengan manusia adanya angin yang meniupkannya. Pada
maka mereka dianggap sesat dan keluar hakikatnya ombak dan laut adalah suatu
dari ajaran Islam. kesatuan adanya. Dengan demikian tidak
mungkin sesuatu yang satu dapat
c. Penyatuan Nyawa dengan Tuhan berpisah atau kembali seperti yang
diibaratkan Hamzah. Al-Raniri
mengatakan:
Al-Raniri juga mengkritik masalah
penyatuan nyawa dengan Tuhan yang
diungkapkan oleh Hamzah Fansuri. Ombak dengan laut yang ditamsilkan
arif itu tiga perkara: pertama air,
Dalam pandangan Hamzah Fansuri,
kedua laut, ketiga ombak. Maka
yang meyakini bahwa Tuhan memiliki tidak ada di dalam tiga itu melainkan
aspek imanen serta transenden, nyawa esa juga, yaitu air yang mutlak. Dan
manusia yang mati akan kembali kepada laut itu nama suatu kelakuan air
Tuhan laksana ombak bersatu dengan apabila ia meluaskan dirinya, maka
laut. Dalam Muntahi, Hamzah dinamai akan dia laut, maka nyatalah
tiada wujud pada laut itu hanya nama
menjelaskan:
i’tibari jua. Demikian lagi ombak itu
pun nama sesuatu kelakuan air jua,
“Ya ayyatuhal nafsu al apabila ia menimbulkan dirinya
muthmainnah, irji’i ila rabbiki degan merendah tinggi sebab ditiup
radhiyatan mardhiyyah, fadkhuli angin, maka dinamai dia akan
fi ‘ibadi wadkhuli jannati”. Hal ombak. Dan apabila teduhlah ombak,
segala kamu bernyawa maka tiadalah dinamai akan ombak,
muthmainnah! Pulanglah kamu maka nyatalah namanya itupun
kepada Tuhan kamu radhi akan i’tibari jua, sekali-kali tiada baginya
Dia dari radhi Ia akan kamu. wujud. Maka betapa ia kembali
Maka masuklah surga-Ku, hal kepada air dari karena adalah ia
hamba-hamba-Ku!. ‘adam.
74
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
adalah Nur Muhammad yang pada sejarah kaum wujudiyah dan sekaligus
hakekatnya adalah Nur Tuhan. Ketiga, bantahan terhaap faham wujudiyah.
Nur Muhammad adalah sumber segala Selain itu, ia juga mengadakan debat
khalq Allah, yang pada hakekatnya terbuka melawan pengikut wujudiyah.
khalq Allah atau ciptaan Tuhan itu juga Debat dilaksanakan oleh al-Raniri untuk
zat dan wujud Allah. Keempat, manusia menyampaikan berbagai kesesatan dan
sebagai mikrokosmos harus berusaha kekeliruan ajaran wujudiyah yang
mencapai kebersamaan dengan Tuhan berkembang dalam masyarakat Aceh
dengan jalan tark al-dunya -- saat itu. Pendekatan kedua bercorak
menghilangkan keterikatannya dengan kekuasaan, yaitu meminta penguasa
dunia dan meningkatkan kerinduan untuk melarang peredaran tulisan-tulisan
kepada mati. Kelima, usaha manusia yang memuat ajaran wahdah al-wujud
tersebut harus dipimpin oleh guru yang dan bahkan memusnahkan buku-buku
berilmu sempurna. Keenam, manusia tersebut
yang berhasil mencapai kebersamaan
dengan Tuhan adalah manusia yang
telah mencapai ma’rifat yang sebesar- Daftar Pustaka
besarnya, yang telah berhasil mencapai
taraf ketiadaan diri (fana fi Allah). Abdul Hadi W.M. dan L.K. Ara (peny.).
Alasan utama Nuruddin al-Raniri (1984). Hamzah Fansuri
mengkritisi dan sekaligus menolak Penyair Sufi Aceh. Jakarta:
pemikiran Hamzah Fansuri adalah Lotkala.
didasarkan adanya kekhawatiran bahwa Ahmad Daudi. (2001). Allah dan
ajaran yang disebarkan Hamzah Fansuri Manusia dalam Konsepsi Syekh
tersebut akan menyesatkan pemikiran Nuruddin Ar-Raniri. Jakarta:
orang-orang awam. Kekhawatiaran itu Buland Bintang.
terutama karena ketakutan akibat ajaran Amirul Hadi. (2010). Aceh: Sejarah,
tersebut akan menyebabkan kekafiran Budaya, dan Tradisi. Jakarta:
pada kaum Muslimin. Kritik Nuruddin Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
al-Raniri terhadap ajaran Hamzah al- Afif Anshori. (2004). Tasawuf Falsafi
Fansuri, selain masalah wujudiyah Syekh Hamzah Fansuri.
adalah mengenai ajarannya tentang: (1) Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Nur Muhammad, (2) Kemakhlukan A. Rifai Hasan (Peny.). (1990). Warisan
Alquran, (3) Kekadiman Alam, dan (4) Intelektual Islam Indonesia:
Penyatuan Nyawa dengan Tuhan Telaah atas Karya-Karya Klasik.
Bagaimana Nuruddin al-Raniri Bandung: Mizan.
menghadapi ajaran Hamzah Fansuri Azyumardi Azra. (1994). Jaringan
adalah dengan menggunakan dua Ulama Timur Tengah dan
pendekatan. Pendekatan pertama Kepulauan Nusantara Abad XVII
bercorak intelektual, yaitu dengan dan XVIII. Bandung: Mizan.
menulis berbagai kitab dan tulisan yang
menjelaskan kerancuan-kerancuan
75
Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 1. Maret 2017
76