Anda di halaman 1dari 22

HUKUM ACARA PERDATA

NARASI DALAM PROSES BERPEKARA PERDATA

“Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah hukum acara perdata”

yang diampu oleh :

Dudung Hidayat S.H., M.H.

Di susun oleh :

Nama : Febri Dikko Dudikov

NPM : 118010103

Kelas : D semester 4

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

2020
PROSES BERACARA PERKARA PERDATA

TATA CARA PELAKSANAAN


PERMOHONAN PENDAFTARAN PERKARA PERDATA
PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT PERTAMA

1. Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri, di Meja 1 bagian Perdata, dengan
beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
a. Surat Permohonan / Gugatan ;
b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
2. Gugatan dan Surat Kuasa Asli harus mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri;
3. Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan /
SKUM di Kasir;
4. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 2 dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
5. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan dari Meja 2.
6. Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri yang disampaikan oleh Juru Sita
Pengganti.
7. Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan

PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT BANDING


1. Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Negeri di Meja 3 bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
a. Surat Permohonan Banding;
b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
c. Memori Banding
2. Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan/SKUM di Kasir;
3. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 3 dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan dari Meja 3.
5. Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan jangka
waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
6. Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan Kontra Memori
Banding.
7. Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampikan oleh Juru Sita
Pengganti.

PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT KASASI


1. Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Negeri di Meja 3 bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
a. Surat Permohonan Kasasi;
b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
c. Memori Kasasi
2. Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir;
3. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 3 dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan dari Meja 3.
5. Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan jangka
waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
6. Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra Memori
Kasasi.
7. Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan oleh Juru Sita
Pengganti.

PROSES BERACARA PERKARA PERDATA


 Permohonan
 Gugatan
 Penyitaan
 Perlawanan
 Eksekusi
 Lelang

PERKARA PERMOHONAN
Permohonan harus diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon
atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat tinggal
pemohon.
Permohonan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian didaftarkan dalam buku
Register dan diberi Nomor urut, setelah pemohon membayar persekot biaya perkara, yang
besarnya sudah ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
Bagi pemohon yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, hal mana harus
dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan, dapat mengajukan
permohonannya secara prodeo.
Pemohon yang tidak bisa menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan dihadapan
Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonan tersebut (pasal 120
HIR).
Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan
permohonan yang diajukan itu, Hakim akan memberi suatu penetapan.
Ada permohonan tertentu yang harus dijatuhkan berupa putusan oleh Pengadilan Negeri,
misalnya dalam hal diajukan permohonan pengangkatan anak oleh seorang Warga Negara
Asing (WNA) terhadap anak Warga Negara Indonesia (WNI), atau oleh seorang Warga
Negara Indonesia (WNI) terhadap anak Warga Negara Asing (WNA). (SEMA No. 6/1983).
Tidak semua permohonan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pengadilan
Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan, apabila hal itu
ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi.
Contoh permohonan yang dapat diajukan dan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri adalah:
 Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa.
 Permohonan pengangkatan pengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau
orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun.
 Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi
wanita yang belum mencapai umur 16 tahun, yang dapat diajukan kepada Pengadilan
Agama atau Pengadilan Negeri (pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974).
 Permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (pasal 6 ayat
(5) Undang-undang No. I tahun 1974).
 Permohonan pembatalan perkawinan (pasal 25, 26 dan 27 Undang-undang No.1 tahun
1974).
 Permohonan pengangkatan anak (diperhatikan SEMA No. 6/1983).
 Perwohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, misalnya apabila
nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut.
 Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit, oleh karena para pihak
tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit.
 Permohonan untuk pencatatan kelahiran, setelah lewat 1 (satu) tahun sejak tanggal
kelahiran.
Permohonan untuk menetapkan, bahwa sebidang tanah adalah milik pemohon tidak dapat
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri. Hak Milik atas sebidang tanah harus dibuktikan dengan
sertifikat tanah atau apabila dipermasalahkan dalam suatu gugatan, dibuktikan dengan alat
bukti lain dipersidangan.

GUGATAN
Gugatan harus diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh penggugat atau
kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian akan diberi nomor dan
didaftarkan dalam buku Register setelah penggugat membayar panjar biaya perkara, yang
besarnya ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
Bagi Penggugat yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, hal mana harus
dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang bersangkutan, dapat mengajukan
gugatannya secara prodeo.
Penggugat yang tidak bisa menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan
Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat gugatan tersebut (pasal 120 HIR).

KOMPETENSI RELATIF (pasal 118 (1) HIR)


Pengadilan Negeri berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya, meliputi:
Dimana tergugat bertempat tinggal.
Dimana tergugat sebenarnya berdiam (jikalau tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya).
Salah satu tergugat bertempat tinggal, jika ada banyak tergugat yang tempat tinggalnya tidak
dalam satu daerah hukum Pengadilan Negeri.
Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara tergugat-tergugat adalah sebagai
yang berhutang dan penjaminnya.
Penggugat atau salah satu dari penggugat bertempat tinggal dalam hal:
 tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui dimana ia berada.
 tergugat tidak dikenal.
 Dalam hal tersebut diatas dan yang menjadi objek gugatan adalah benda tidak bergerak
(tanah), maka ditempat benda yang tidak bergerak terletak.
 (Ketentuan HIR dalam hat ini berbeda dengan Rbg. Menurut pasal 142 RBg, apabila
objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat diajukan kepada Pengadilan
Negeri dimana tanah itu terletak).
Dalam hal ada pilihan domisili secara teI1!llis dalam akta, jika penggugat menghendaki,
ditempat domisili yang dipilih itu.
Apabila tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang
wewenang mengadili secara relatif ini, Pengadilan Negeri tidak boleh menyatakan dirinya
tidak berwenang.
(Hal ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 133 HIR, yang menyatakan, bahwa eksepsi
mengenai kewenangan relatip harus diajukan pada permulaan sidang, apabila diajukan
terlambat, Hakim dilarang untuk memperhatikan eksepsi tersebut).

KUASA
Untuk bertindak sebagai Kuasa/Wakil dari penggugat/tergugat ataupun pemohon, seseorang
harus memenuhi syarat-syarat:
 Mempunyai surat kuasa khusus yang harus diserahkan dipersidangan. atau pemberian
kuasa disebutkan dalam surat gugatan/permohonan, atau kuasa/wakil ditunjuk oleh pihak
yang berperkara/pemohon didalam persidangan secara lisan.
 Memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan Menkeh No. 1/1985 jo Keputusan
Menkeh tanggal 7 Oktober 1965 No. J.P.14-2-11.
 Telah terdaftar sebagai Advokat/Pengacara praktek di kantor Pengadilan
Tinggi/Pengadilan Negeri setempat atau secara khusus telah diizinkan untuk bersidang
mewakili penggugat/ tergugat dalam perkara tertentu.
 Permohonan banding atau kasasi yang diajukan oleh Kuasa/Wakil dari pihak yang
bersangkutan barus dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan
tersebut atau surat kuasa yang dipergunakan di Pengadilan Negeri telah menyebutkan
pemberian kuasa pula untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi.Untuk menjadi
kuasa dari pihak tergugat juga berlaku hal-hal tersebut diatas.
 Kuasa/Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu perkara perdata berdasarkan Stbl. 1922 No.
522 dan pasal 123 ayat 2 HIR, adalah:
a. Pengacara Negara yang diangkat oleh Pemerintah.
b. Jaksa.
c. Orang tertentu atau Pejabat-pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh Instansi-instansi yang
bersangkutan.
Jaksa tidak perlu menyerahkan Surat Kuasa khusus. Pejabat atau orang yang
diangkat/ditunjuk oleh instansi yang bersangkutan, cukup hanya menyerahkan Salinan Surat
pengangkatan/penunjukan, yang tidak bermaterai.

PERKARA GUGUR
Apabila pada hari sidang pertama penggugat atau semua penggugat tidak datang, meskipun
telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan tergugat
atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan digugurkan dan penggugat dihukum untuk
membayar biaya perkara. Penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan
membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telab dilakukan sita jaminan, sita tersebut ikut
gugur.
Dalam hal-hal yang tertentu, misalnya apabila penggugat tempat tinggalnya jauh atau ia
benar mengirim kuasanya, namun surat kuasanya tidak memenuhi syarat, Hakim boleh
mengundurkan dan menyuruh memanggil penggugat sekali lagi. Kepada pihak yang datang
diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan.
Jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah dipanggil dengan
patut, tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari ketiga penggugat tidak hadir lagi,
perkaranya tidak bisa digugurkan (pasal 124 HIR).

PUTUSAN VERSTEK
Apabila pada hari sidang pertama dan pada hari sidang kedua tergugat atau semua tergugat
tidak datang padahal telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang
sah, sedangkan penggugat/para penggugat selalu datang, maka perkara akan diputus verstek.
Meskipun tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama atau tidak mengirim kuasanya yang
sah, tetapi'jlka ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan tentang tidak berwenang
mengadili, maka perkara tidak diputus dengan verstek.

TANGKISAN/EKSEPSI
Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh tergugat, diperiksa dan diputus bersama-sama
dengan pokok perkaranya, kecuali jika eksepsi itu mengenai tidak berwenangnya Pengadilan
Negeri untuk memeriksa perkara tersebut.
Apabila diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara, dalam pertimbangan hukum dan
dalam diktum putusan, tetap disebutkan:
Dalam eksepsi:.............. (pertimbangan lengkap).
Dalam pokok perkara..... (pertimbangan lengkap).

PENCABUTAN SURAT GUGATAN


Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa. Tetapi jika perkara sudah
diperiksa dan tergugat telah memberi jawabannya, maka pencabutan perkara harus mendapat
persetujuan dari tergugat (pasal 271, 272 RV).
PERUBAHAN/PENAMBAHAN GUGATAN
Pembahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan, asal diajukan pada hari sidang
pertama dimana para pihak hadir, tetapi hat tersebut harus ditanyakan pada pihak lawannya
guna pembelaan kepentingannya.
Penambahan dan/atau penambahan gugatan tidak boleh sedemikian rupa, sehingga dasar
pokok gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak
tersebut. Dalam hal demikian, maka surat gugat harus dicabut.

PERDAMAIAN
Jika kedua beIah pihak hadir dipersidangan, Hakim harus berusaha mendamaikan mereka.
Usaha tersebut tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan
meskipun taraf pemeriksaan telah lanjut (pasal 130 HIR).
Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian, yang harus dibacakan
terlebih dahulu oleh Hakim dihadapan para pihak, sebelum Hakim menjatuhkan putusan yang
menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut.
Akta perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan Hakim yang berkuatan
hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Terhadap putusan perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal mana harus dicatat dalam berita acara persidangan,
maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan dalam bahasa yang
dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penerjemah (pasal 131 HIR).
Khusus untuk gugat cerai:
 Apabila dalam perkawinan tersebut ada anak, agar berusaha untuk mendamaikan kedua
belah pihak dan sedapat mungkin suami-isteri harus datang sendiri.
 Apabila usaha perdamaian berhasil, gugatan harus dicabut. Sehubungan dengan
perdamaian ini tidak bisa dibuat akta perdamaian.
 Apabila usaha perdamaian gagal, gugat cerai diperiksa dengan sidang tertutup.

PENGGUGAT/TERGUGAT MENINGGAL DUNIA


Jika Penggugat atau tergugat setelah mengajukan gugatan meninggal dunia, maka
ahliwarisnya dapat melanjutkan perkara.
BIAYA YANG DAPAT TIMBUL DALAM PERSIDANGAN
Jika selama pemeriksaan perkara atas permohonan salah satu pihak ada hal-hal/perbuatan
yang barus dilakukan, maka biaya dibebankan kepada pemohon dan dianggap sebagai
persekot biaya perkara, yang dikemudian hari akan diperhitungkan dengan biaya perkara
yang harus dibayar oleh pihak yang dengan putusan Hakim dihukum untuk membayar biaya
perkara, biasanya pihak yang dikalahkan.
Pihak lawan, apabila ia mau, dapat membayarnya Jika kedua belah pihak tidak mau
membayar biaya tersebut, maka hal/perbuatan yang barus dilakukan itu tidak jadi dilakukan,
kecuali jika hal/perbuatan itu menurut Hakim memang sangat diperlukan. Dalam hal itu,
biaya tersebut sementara akan diambil dari uang panjar biaya perkara yang telah dibayar oleh
Penggugat (pasal 160 HIR).

PENGGABUNGAN PERKARA
Beberapa gugatan dapat digabungkan menjadi satu, apabila antara gugatan-gugatan yang
digabungkan itu, terdapat hubungan erat atau ada koneksitas. Hubungan erat ini harus
dibuktikan berdasarkan faktanya.
Penggabungan gugatan diperkenankan apabila menguntungkan proses, yaitu apabila antara
gugatan yang gabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan memudahkan
pemeriksaan, serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling
bertentangan.

VOEGING, INTERVENSI DAN VRIJWARING


HIR/RBg tidak mengenal voeging, interventie, dan vrijwaring, tetapi apabila benar-benar
dibutuhkan dalam praktek sedangkan belum terdapat kaidah hukum yang mengaturnya,
ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman pada Rv. (pasal 279 Rv
dan seterusnya, dan pasal
70 Rv dan seterusnya), karena pada dasarnya Hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam
hukum materiil maupun hukum formil.
Putusan Hakim bertujuan untuk memberi penyelesaian terhadap perkara yang sedang
diadilinya sedemikian rupa, sehingga apabila perkara tersebut menyangkut pihak yang lain
daripada penggugat dan tergugat, maka Hakim atas permintaan, dapat mengabulkan
permintaan pihak ketiga untuk ikut serta dalam' proses, sehingga Hakim dapat memberi
putusan bagi semua orang yang berkepentingan.
Voeging terjadi, apabila dalam sidang datang pihak ketiga yang mengajukan permohonan
untuk bergabung pada penggugat atau tergugat. Voeging dikabulkan atau ditolak dengan
putusan sela.
Interventie (tussenkomst) terjadi:
 Apabila pihak ketiga merasa mempunyai kepentingan yang akan terganggu, jika ia tidak
ikut dalam proses perkara itu.
 Misalnya dalam interventie barang milik intervenient, yang diperebutkan oleh penggugat
dan tergugat. Untuk mendapatkan barang itu dan agar barang itu dinyatakan sebagai
miliknya, maka interventie diajukan. Interventie dikabulkan atau ditolak dengan putusan
sela.
 Sebenamya apabila pihak yang berkepentingan itu tidak mencampuri proses yang
bersangkutan, ia dapat mempertahankan haknya dalam suatu proses tersendiri, akan tetapi
perlindungan haknya itu akan lebih mudah ditempuh dengan cara interventie, yang hal
dapat pula mencegah putusan putusan yang saling bertentangan.
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab. Vrijwaring diajukan
dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan
atau tertulis. Misalnya: Tergugat digugat oleh penggugat, karena barang yang dibeli oleh
Penggugat mengandung cacat tersembunyi. Pada hal tergugat yang membeli barang itu dari
pihak ketiga. Maka tergugat menarik pihak ketiga ini, agar bertanggung jawab atas cacat itu.
Permohonan vrijwaring ditolak atau dikabulkan dengan putusan sela.

GUGATAN DALAM REKONPENSI (GUGAT BALIK ATAU GUGAT BALASAN)


Gugatan rekonpensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban selambat-lambatnya
sebelum pemeriksaan mengenai pembuktian, baik jawaban secara tertulis maupun lisan (pasal
132 b HIR/pasal 158 Rbg).
Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan dalam rekonpensi, maka
dalam pemeriksaan tingkat banding tidak diizinkan lagi untuk mengajukan gugatan balik.
Kedua gugatan (dalam konpensi dan dalam rekonpensi diperiksa bersama-sama dan diputus
dalam satu putusan.
Akan tetapi Hakim dapat memeriksa gugatan yang satu terlebih dahulu, yaitu jika gugatan
yang satu ini dapat diselesaikan terlebih dahulu dari yang lain, yang mungkin masih
menunggu saksi yang ada diluar negeri atau saksi yang sakit, kedua perkara itu tetap diadili
oleh majelis Hakim yang sama.
Antara gugatan dalam konpensi dan gugatan dalam rekonpensi tidak diharuskan ada
hubungan. Gugatan dalam rekonpensi dapat berdiri sendiri dan oleh tergugat sebenarnya
dapat diajukan tersendiri, menurut acara biasa kapan saja.
Apabila gugatan konpensi dicabut, maka gugatan rekonpensi tidak bisa dilanjutkan
PENYITAAN
SITA JAMINAN
Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis sebelum atau selama proses
pemeriksaan berlangsung. Hakim/Ketua Majelis membuat surat penetapan. Penyitaan
dilaksanakan oleh Juru Sita/Panitera Pengadilan Negeri dengan dua orang pegawai
pengadilan sebagai saksi.
Dalam hal dilakukan sita jaminan sebelum sidang dimulai, maka harus diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
Penyitaan hendaknya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita
revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di tangan tergugat
yang dimaksud dalam surat gugat) sekedar cukup untuk menjamin pelaksanaan putusan
dikemudian hari.
Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara
penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan yang terdapat dalam pasal 227 (3) jo pasal 198
dan pasal 199 HIR. Apabila penyitaan tersebut telah didaftarkan di Badan Pertanahan
Nasional atau Kelurahan, maka sejak didaftarkannya itu, tersita dilarang untuk menyewakan,
mengalihkan dengan cara apapun, atau membebankan/menjaminkan tanah tersebut. Tindakan
tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
Barang yang disita itu, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita
conservatoir, harus tetap dipegang/dikuasai oleh tersita. Adalah salah, untuk menitipkan
barang itu kepada Lurah atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk disimpan di
gedung Pengadilan Negeri.
Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita conservatoir (terhadap milik tergugat), dan sita
revindicatoir (terhadap milik penggugat) - (pasal 227, 226 HIR).

SITA CONSERVATOIR:
Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk
menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat.
Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik tergugat.
Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama, bahwa tanah tersebut
adalah milik tergugat dan luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas.
(Perhatikan SEMA No. 89/K11018/M/1962, tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari
salah sita, hendaknya Kepala Desa diajak serta untuk melihat keadaan tanah, bartas serta luas
tanah yang akan disita.
Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di desa, selain itu sita atas
tanah yang ada sertifikat harus pula didaftarkan, dan atas tanah yang belum sertifikat
diberitahukan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tentang penyitaan itu dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan Negeri yang
memuat catatan mengenai tanah-tanah yang disita, kapan disita dan perkembangannya. Buku
ini adalah terbuka untuk umum.
Sejak tanggal pendaftaran sita itu, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau
menjaminkan tanah yang disita itu. Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan
dengan larangan itu adalah batal demi hukum.
Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak
dialihkan kepada orang lain.
Penyitaan dilakukan terutama atas barang bergerak milik tergugat juga jangan berlebihan,
hanya cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan penggugat. Apabila barang bergerak
milik tergugat tidak cukup, barulah tanahl/tanah dan rumah milik tergugat yang disita.

Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam
amar putusannya. Apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus
diperintahkan untuk diangkat.
Apabila gugatan dikabulkan untuk sebagian dan selebihnya ditolak, sita jaminan untuk
sebagian dinyatakan sah dan berharga dan untuk bagian yang lain diperintah untuk diangkat.
Namun apabila yang disita itu adalah sebidang tanah dan rumah, seandainya gugatan
mengenai ganti rugi dikabulkan hanya untuk sebagian, tidaklah dapat diputuskan menyatakan
sah dan berharga sita jaminan (misalnya, atas 1/3 tanah dan rumah yang bersangkutan).
Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang, kecuali seizin
dari Mahkamah Agung, setelah mendengar Jaksa Agung (pasal 65 dan 66 ICW).

SITA REVINDICATOIR:
Yang disita adalah barang bergerak milik penggugat yang dikuasai/dipegang oleh tergugat.
Gugatan diajukan untuk memperoleh kembali hak atas barang tersebut. Kata revindicatoir
berasal dari kata revindiceer, yang berarti minta kembali miliknya.
Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat gugat secara jelas dan
terperinci, dengan menyebutkan ciri-cirinya.
Apabila gugatan dikabulkan untuk seluruhnya, sita revindicatoir dinyatakan sah dan berharga
dan tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada penggugat.
Dapat terjadi, bahwa gugatan dikabulkan hanya untuk sebagian dan untuk selebihnya ditolak.
Apabila hal itu terjadi, maka sita revindicatoir untuk barang-barang yang dikabulkan, dengan
putusan tersebut akan dinyatakan sah dan berharga, sedangkan untuk barang-barang lainnya,
diperintahkan untuk diangkat.
Dalam rangka eksekusi barang yang dikabulkan itu diserahkan kepada penggugat.
Untuk selanjutnya, segala sesuatu yang dikemukakan dalam membahas sita conservatoir
secara mutatis mutandis berlaku untuk sita revindicatoir.

SITA EKSEKUSI
Ada dua macam sita eksekusi:

- Yang langsung.
- Yang tidak langsung.

Sita eksekusi yang langsung


Sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik
debitur atau pihak yang kalah.
Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau pelaksanaan grosse akta hipotik
(berfungsi sebagai grosse akta hipotik adalah sertifikat hipotik yang dikeluarkan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Lihat pasal 7 Peraturan Menteri
Agraria No. 15 Tahun 1961 dan pasal 14 (3) Undangundang No. 16 Tahun 1985 jo PP No. 24
Tahun 1997.
Sita eksekusi lanjutan. Apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita
conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang,
hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan
Pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik
tergugat, untuk kemudian dilelang.
Sita eksekusi yang tidak langsung
Sita eksekusi yang tidak langsung adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang
telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita
eksekusi.
Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas yang benar-benar
dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (pasal 197 (8) HIR, 211 RBg). Perlu
diperhatikan, bahwa yang tidak dapat disita adalah hewan, yang benar-benar dibutuhkan
untuk mencari nafkah oleh tersita, jadi satu atau dua ekor sapi/kerbau yang benat-benar
dibutuhkan untuk mengerjakan sawah. Jadi bukan sapi-sapi dari sebuah perternakan, ini
selalu dapat disita. Binatang-binatang lain, yaitu, kuda, anjing, kucing, burung, yang kadang-
kadang sangat tinggi harga, dapat saja disita.

SITA PERSAMAAN
Istilah dalam bahasa Belanda adalah Vergelijkend beslag, terjemahan baku belum ada. Ada
yang memakai istilah sita perbandingan, ada pula yang menerjemahkan dalam sita
persamaan. Mahkamah Agung memakai istilah sita persamaan.
Sita tersebut antara lain diatur dalam pasal 463 R.V. yang berbunyi:
Apabila jurusita hendak melakukan penyitaan dan menemukan bahwa barang-barang yang
akan disita itu sebelumnya telah disita terlebih dahulu, maka jurusita tidak dapat melakukan
penyitaan sekali lagi, namun ia mempunyai kewenangan untuk mempersamakan barang-
barang yang disita itu dengan Berita Acara penyitaan, yang untuk itu oleh tersita harus
diperlihatkan kepadanya. Ia kemudian akan dapat menyita barang-barang yang tidak disebut
dalam Berita Acara itu memerintahkan kepada penyita pertama untuk menjual barang-barang
tersebut secara bersamaan dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam pasal 466 Rv. Berita
Acara sita persamaan ini berlaku sebagai sarana pencegahan hasil lelang kepada penyita
pertama. (diterjemahkan secara bebas oleh redaksi.)
Pasal 463 Rv termasuk dalam bab Eksekusi barang bergerak. Dengan demikian jelaslah,
bahwa pasal 463 Rv. berlaku untuk sita eksekusi terhadap barang bergerak. Jadi, apabila telah
dilakukan sita eksekusi, tidak dapat dilakukan sita eksekusi lagi terhadap barang bergerak
yang sama.
Ketentuan yang hampir serupa terdapat dalam pasal 11 (12) Undang-undang PUPN, Undang-
undang No. 49 tahun 1960, yang berbunyi sebagai berikut:
Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak dapat
dilakukan penyitaan. Jika jurusita mendapatkan barang yang demikian, ia dapat rnemberikan
salinan putusan Surat paksa sebelum tanggal penjualan tersebut kepada Hakim Pengadilan
Negeri, yang selanjutnya menentukan, bahwa penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan
juga dipergunakan sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut Surat Paksa.
Apabila setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelum dilakukan penjualan barang yang disita
diajukan permintaan untuk melaksanakan suatu putusan Hakim yang diajukan terhadap
penanggung hutang kepada Negara, maka penyitaan yang telah dilakukan itu dipergunakan
juga sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut putusan Hakim itu dan Hakim
Pengadilan Negeri jika perlu memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian
banyak barang yang belum disita terlebih dahulu, sehingga akan dapat mencukupi untuk
membayar jumlah uang menurut putusanputusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.
Dalam hal yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2)2, Hakim Pengadilan Negeri
menentukan cara pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang yang berpiutang,
setelah mengadakan pemeriksaan atau melakukan panggilan selayaknya terhadap
penanggung hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang berpiutang.
Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang menghadap atas panggilan termaksud dalam
ayat (3), dapat minta banding pada Pengadilan Tinggi atas penentuan pembagian tersebut.
Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat kekuatan pasti, maka Hakim
Pengadilan Negeri mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang atau orang yang
ditugaskan melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian uang
penjualan.
Oleh karena pasal tersebut berhubungan dengan penyitaan yang dilakukan oleh PUPN, maka
jelaslah pula, bahwa sita tersebut adalah sita eksekusi dan bukan sita jaminan. Obyek yang
disita bisa barang bergerak dan bisa barang tidak bergerak.

PERLAWANAN
PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Pasal 129 HIR/153 Rbg memberi kemungkinan bagi tergugat/para tergugat, yang dihukum
dengan verstek untuk mengajukan verzet atau perlawanan.
Kedua perkara tersebut dijadikan satu dan diberi satu nomor.
Sedapat mungkin perkara tersebut dipegang oleh Majelis Hakim yang sama. yaitu yang telah
menjatuhkan putusan verstek.
Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa
gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pembuktiannya agar
mengacu pada SEMA No.9 Tahun 1964.

PERLAWANAN TEREKSEKUSI TERHADAP SITA EKSEKUSI


Perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi barang bergerak dan barang yang tidak
bererak, diatur dalam pasal 207 HIR atau pasal 225 RBg.
Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 ayat (3) HIR atau 227
RBg). Namun, eksekusi harus ditangguhkan, apabila segera nampak, bahwa perlawanan
tersebut benar dan beralasan, paling tidak sampai dijatuhkannya putusan oleh Pengadilan
Negeri.
Terhadap putusan dalam perkara ini, permohonan banding diperkenankan.
PERLAWANAN PIHAK KETIGA TERHADAP SITA CONSERVATOIR, SITA
REVINDICATOIR, DAN SITA EKSEKUSI
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita conservatoir, sita revindicatoir, dan sita eksekusi,
hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, jadi hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang
yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang secara nyata menyita (pasal 195 (6) HIR,
pasal 206 (6) RBg).
Jelaslah bahwa penyewa, pemegang hipotik atau credietverband, pemegang hak pakai atas
tanah, tidak dibenarkan untuk mengajukan perlawanan semacam ini.
Pemegang hipotik atau credietverband, apabila tanah/tanah dan rumah yang dijaminkan
kepadanya itu disita, berdasarkan klausula yang selalu terdapat dalam perjanjian yang dibuat
dengan debiturya langsung dapat minta eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri atau
Kepala PUPN.
Pemegang gadai tanah, yang kedudukannya sama dengan pemilik tanah, sebelum adanya
Perpu No. 56 Tabun 1960, dapat mengajukan perlawanan pihak ketiga. Sekarang, karena
gadai tanah terbatas sampai paling lama 7 (tujuh) tahun, pemegang gadai tanah tidak
dibenarkan untuk mengajukan perlawanan pihak ketiga lagi.
Agar pelawan berhasil, maka ia harus membuktikan, bahwa barang yang disita itu adalah
miliknya. Apabila ia berhasil, maka ia akan dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita
akan diperintahkan untuk diangkat.
Apabila pelawan tidak dapat membuktikan, bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita
itu, pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan yang tidak
jujur, dan sita akan dipertahankan.
Dalam praktek banyak sekali diajukan perlawanan pihak ketiga oleh isteri atau suami dari
tersita.Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh isteri atau suami, dalam hal harta bersama
yang disita, sudah barang tentu tidak dapat dibenarkan oleh karena harta bersama selalu
merupakan jaminan untuk pembayaran hutang isteri atau suami yang terjadi dalam
perkawinan, yang memang harus ditanggung bersama.
Apabila yang disita adalah harta bawaan atau harta asal suami atau isteri, maka isteri atau
suami bisa mengajukan perlawanan pihak ketiga dengan sukses, artinya ia dapat dinyatakan
sebagai pelawan yang benar, kecuali:
Mereka yang menikah berdasarkan BW dengan persatuan harta atau membuat perjanjian
perkawinan berupa persatuan hasil dan pendapatan.
Suami atau isteri tersebut telah ikut menandatangani surat perjanjian hutang, sehingga ia ikut
bertanggungjawab.
Perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum luar biasa dan oleh karenanya pada azasnya
tidak menangguhkan eksekusi.
Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi
yang bersangkutan, apabila perlawanan tersebut segera nampak, bahwa benar-benar
beralasan, misalnya, apabila sertifikat tanah yang akan dilelang sejak semula jelas tercatat
atas nama orang lain, atau dari BPKB yang diajukan, jelas terbukti, bahwa mobil yang akan
dilelang itu, sejak lama adalah milik pelawan. Apabila tanah atau mobil tersebut baru saja
tercatat atas nama pelawan, harap hati-hati, karena mungkin saja tanah atau mobil itu
diperoleh, oleh pelawan, setelah tanah atau mobil itu disita, sehingga perolehan itu tidak
syah.
Sehubungan dengan diajukannya perlawanan pihak ketiga ini, Ketua Majelis yang memeriksa
perkara tersebut, selalu harus melaporkan perkembangan perkara itu kepada Ketua
Pengadilan Negeri.
Laporan tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk menentukan kebijaksanaan
mengenal diteruskannya atau ditangguhkannya eksekusi yang dipimpin olehnya.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita conservatoir dan sita revindicatoir,
tidak diatur baik dalam HIR, RBg atau R V, namun dalam praktek menurut yurisprudensi,
perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima,
juga dalam hal sita conservatoir ini belum disyahkan. (putusan Mahkamah Agung tanggal 31-
10-1962, No. 306K/Sip/1962. Rangkuman Yurisprudensi II halaman 270).

EKSEKUSI GROSSE AKTA


Menurut pasal 1224 HIR/pasal 258 R.Bg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan
eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik.
Yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan pertama ini
diberikan kepada kreditur.
Oleh karena salinan pertama dari akta pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris
mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini sengaja diberi kepala/irah-irah yang
berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Salinan lainnya yang
diberikan kepada debitur tidak memakai kepala/irah-irah.
Aslinya, yang disebut minit, yang akan disimpan oleh Notaris dalam arsip, juga tidak
memakai kepala/irah-irah.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, oleh Notaris diserahkan kepada kreditur, untuk, apabila dikemudian hari
diperlukan, langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Orang yang mengaku berhutang, yaitu debitur, diberi juga salinan dari akta pengakuan hutang
itu, tetapi salinan yang diserahkan kepada debitur tidak memakai kepala “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Grosse Akta Pengakuan Hutang dapat digunakan khusus untuk kredit Bank berupa Fixed
Loan. Jadi untuk Fixed Loan, Notaris dapat membuat akta pengakuan hutang dan melalui
grossenya yang berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
dipegang oleh kreditur, yaitu bank. Bank dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Eksekusi berdasarkan Grosse akta pengakuan hutang mengenai Fixed Loan ini, hanya bisa
dilaksanakan, apabila debitur sewaktu ditegur, membenarkan jumlah hutangnya itu.
Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut, dan besarnya hutang menjadi tidak fixed,
maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan dan kreditur, yaitu bank harus mengajukan tagihannya
melalui suatu gugatan. Dalam hal ini, apabila syarat-syarat terpenuhi, putusan dapat
dijatuhkan dengan serta merta.
Menurut pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang, (geldschieters ordonantie, S.1938-523),
Notaris dilarang untuk membuat akta pengakuan hutang dan mengeluarkan grosse aktanya
untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang. Pasal 224 HIR, pasal 258
RBg, tidak berlaku untuk grosse akta semacam ini.
Yang dimaksud dengan grosse akta pengakuan hutang yang diatur dalam pasal 224 HIR,
pasal 258 RBG, sebenarnya adalah sebuah akta yang dibuat oleh notaris antara orang
biasa/Badan Hukum yang dengan kata-kata sederhana yang bersangkutan mengaku berhutang
uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu,
misalnya dalam waktu 6 (enam) bulan. Bisa ditambahkan, dengan disertai bunga sebesar 2 %
sebulan.
Jadi yang dimaksud jumlahnya sudah pasti dalam akta pengakuan hutang itu, bentuknya
sangat sederhana dan tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan lain, apalagi yang
berbentuk perjanjian.
Dalam praktek banyak terjadi penyalahgunaan Perjanjian kredit bank rekening koran dengan
plafond kredit, perjanjian jual-beli dengan hak membeli kembali, yang dituangkan dalam akta
pengakuan hutang, sudah tentu tidak bisa dieksekusi langsung.
Grosse akta pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” yang dipegang oleh kreditur, dalam hal debitur melakukan ingkar janji, dapat
langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Ketua Pengadilan akan segera memerintahkan Jurusita untuk memanggil debitur untuk
ditegur.
Eksekusi selanjutnya akan dilaksanakan seperti eksekusi atas putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.

EKSEKUSI JAMINAN HIPOTIK


Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 menyatakan:
Salinan dari Akta yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 (yang dimaksud adalah akta
pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT) yang dibuat oleh Kepala Kantor Pendaftaran
Tanah, dijahit menjadi satu oleh pejabat tersebut dengan sertifikat hipotik, crediet verband
yang bersangkutan dan diberikan kepada kreditur yang berhak.
Sertifikat hipotik dan crediet verband, yang disertai salinan akta yang dimaksud dalam ayat 1
pasal ini, mempunyai fungsi sebagai grosse akta hipotik dan credietverband, serta
mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 224 HIR/258 RBg
serta pasal 18 dan 19 Peraturan tentang credietverband (S. 1908-542).
Pasal 14 (3) Undang-undang Rumah Susun, yaitu Undang-undang No. 16 Tahun 1985,
menyebutkan:
Sebagai tanda bukti adanya hipotik, diterbitkan sertifikat hipotik yang terdiri dari salinan
buku tanah hipotik dan salinan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 14 (5) menegaskan: Sertifikat hipotik sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3)
mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan seperti Putusan Pengadilan Negeri.
Sertifikat hipotik merupakan tanda bukti adanya hipotik dan dibagian depannya, yaitu diatas
sampulnya, memakai irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kadang-kadang irah-irah itu juga tercantum diatas akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh
PPAT. lni adalah salah dan berkelebihan, karena akta pernbebanan itu saja, tidak cukup untuk
minta eksekusi.
Akta pembebanan hipotik yang dibuat oleh PPAT, seringkali dibuat berdasarkan surat kuasa
(untuk mernasang hipotik). Surat kuasa ini harus otentik (pasal 1171 BW), dan pada
umumnya dibuat oleh Notaris.
Dengan demikian akta pernbebanan hipotik yang dibuat oleh seorang kuasa, harus dilakukan
berdasarkan surat kuasa yang otentik. Apabila dibuat oleh seorang kuasa berdasarkan surat
kuasa yang dituangkan dalam akta dibawah tangan sebagai tidak rnemenuhi syarat subyektif,
dan hipotiknya dapat dimohonkan pembatalannya berdasarkan pasal 1154 BW.
Eksekusi hipotik dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukurn
yang tetap.
Eksekusi dilakukan berdasarkan sertifikat hipotik.
Perjanjian hutang-piutang yang menyebabkan adanya hipotik bisa dituangkan dalam akta
dibawah tangan, tertera diatas kwitansi, bahkan bisa terjadi secara lisan. Jadi tidak usah ada
grosse aktanya. Eksekusi cukup dilakukan berdasarkan sertifikat hipotik. (perhatikan pasal 7
Peraturan Menteri Agraria No. 15 tabuh 1961), Eksekusi selain dapat dilakukan sendiri juga
dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri
Eksekusi atas perintah dan di bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dari wilayah hukum,
dimana tanah yang dihipotikkan itu terletak.
Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani
dengan hipotik.
Pasal 200 (6) HIR menyatakan: Penjualan (lelang) benda tetap dilakukan setelah penjualan
(lelang) diumumkan menurut kebiasaan setempat. Penjualan (lelang) tidak boleh dilakukan
sebelum hari kedelapan setelah barang-barang itu disita.
Dengan telah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dihipotikkan dan diserahkan uang
hasil lelang kepada kreditur, selesailah sudah tagihan kreditur dan hipotik-hipotik yang
membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan
bebas dari semua beban, kepada pembeli lelang.
Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang
terdapat dalam pasal 200 (11) HIR.
Hal ini adalah berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan
sendiri berdasarkan pasal 1178 (2) BW, dan pasal 6 UU No.4/1997 yang juga dilakukan
melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hipotik pertama.
Janji ini hanya berlaku untuk pemegang hipotik pertama saja. Apabila pemegang hipotik
pertama telah pula membuat janji untuk tidak dibersihkan, (pasal 1210 BW dan pasal 11 (2)
UU Hak Tanggungan), maka apabila ada hipotik-hipotik lain-lainnya dan hasil lelang tidak
cukup untuk membayar semua hipotik yang membebani tanah yang bersangkutan, maka
hipotik-hipotik yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan,
meskipun sudah dibeli oleh pembeli dari pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang
memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hipotik yang belum terbayar. Terlelang tetap
harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan
dikeluarkan dengan paksa.
Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang, juga berdasarkan pasal 1178 BW
(kecuali penjualan lelang ini dilaksanakan berdasarkan pasal 6 Undang Undang Hak
Tanggungan) selalu baru dapat dilaksanakan setelah ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut
hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan
dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain. Sebab lelang yang diperintahkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri, dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negeri, adalah dalam rangka
eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara.
Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di
harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang
(pasal 200 (7) HIR, pasal 217 Rbg).

EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE ATAU PERWASITAN


Ketentuan yang mengatur Arbritrase atau Perwasitan adalah pasal 615 s/d pasal 651 R.V.
Putusan Arbitrase domestik, yang terdiri dari putusan Arbitrase ad hoc dan putusan Arbitrase
Institusional (seperti putusan Arbitrase dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia-BANI) yang
berkekuatan hukum tetap dan tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat dimohonkan eksekusi
kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana putusan Arbitrase itu telah dijatuhkan (pasal 637
RV).
Perhatikan juga ketentuan yang terdapat dalam pasal 634 RV dan seterusnya.
Putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap, apabila tidak dilaksanakan secara
sukarela, dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun
1990, tertanggal l Maret 1990.
EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang diterima baik
oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang
terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan Tinggi yang diterima
baik oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi, dan putusan Mahkamah Agung
dalam hal kasasi.

Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu:


putusan declaratoir
putusan constitutief
putusan condemnatoir.

Putusan declaratoir, yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja,
tidak perlu dieksekusi, demikian juga putusan constitutief, yang menciptakan atau
menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan.
Yang perlu dilaksanakan adalah putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi
penghukuman. Pihak yang kalah dihukum
untuk melakukan sesuatu.
Putusan untuk melakukan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus
dinilai dalam sejumlah uang (pasal 225 HIR, pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan
dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, akan
dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya
harus disita (pasal 200 HIR, pasal 214 s/d pasal 224 RBg).
Putusan mana dengan tergugat dihukum untuk menyerahkan sesuatu barang, misalnya
sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, dengan disaksikan oleh pejabat setempat, apabila
perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara.
Eksekusi hendaknya dilaksanakan dengan tuntas. Apabila setelah dilaksanakan, dan barang
yang dieksekusi telah diterima oleh pemohon eksekusi, kemudian diambil kembali oleh
tereksekusi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua kalinya.
Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan tentang hal tersebut
diatas itu, kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) atau mengajukan gugatan untuk
memperoleh kembali barang (tanah/ tanah dan rumah tersebut).
Putusan Pengadilan Negeri atas gugatan penyerobotan, apabila diminta dalam petitum, bisa
diberikan dengan serta-merta, atas dasar hak milik yang diserobot.
PENANGGUHAN EKSEKUSI
Eksekusi hanya bisa ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang memimpin eksekusi.
Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Negeri berhalangan, Wakil Ketua
Pengadilan Negeri dapat memerintahkan, agar eksekusi ditunda.
Dalam rangka pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, Ketua Pengadilan Tinggi
selaku voorpost dari Mahkamah Agung, dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda atau
diteruskan. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Tinggi berhalangan, Wakil
Ketua Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda.
Wewenang untuk menangguhkan eksekusi atau agar eksekusi diteruskan, pada puncak
tertinggi, ada pada Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal Ketua Mahkamah Agung
berhalangan, wewenang yang sama ada pada Wakil Ketua Mahkamah Agung.
Kepercayaan masyarakat dan wibawa Pengadilan bertambah, apabila eksekusi berjalan
mulus, tanpa rintangan.
Agar eksekusi berjalan mulus dan lancar, kerjasarna yang baik antar instansi terkait didaerah,
perlu terus menerus dibina dan ditingkatkan.

Anda mungkin juga menyukai