Anda di halaman 1dari 9

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kata Perundang-undangan mengandung 2 arti yaitu:

1. Proses pembentukan peraturan negara tertulis yang bersumber pada kewenangan negara
dibidang legislatif,
2. Keseluruhan peraturan negara itu sendiri

Dalam proses pembentukan peraturan negara tersebut jernih dan baik sehingga peraturan
negara itu terbebas dari kesempurnaan. Dalam memilih dan menentukan kata dan susunan
kalimat yang mengasilkan ungkapan yang tepat sebagaimana dikehendaki oleh pembentukan
undang-undang.

Negara republic Indonesia adalah negara berdasar atas dasar yang modern. Apabila
berdasar atas hukum yang sama pembentukan undang-undang pada hakikatnya tidak ditugasi
untuk membentuk undang-undang melainkan hanya menemukan hukum saja. Dan karena itu
kodifikasi digalakkan, maka hukum modern pembentuk undang-undang tidak lagi primer
mengarah kepada kodifikasi melainkan modifikasi dengan demikian maka dalam negara berdasar
atas hukum republic Indonesia tujuan perundang-undangan tidak sama dengan tujuan ketika
jaman hindia-belanda yang menetapkan ketentraman dan keteraturan berdasarkan cita hukum
bangsa yang harus memenuhi tujuan baru.

Peraturan perundang-undangan mengandung norma hukum yang bersifat umum dan


abstrak, bersifat menetapkan suruhan, larangan, pembebasan, atau pengizinan. Perundang-
undangan dapat juga mengandung norma yang memberikan kuasa untuk menentukan norma
hukum yang abstrak dan umum. Dengan norma hukum itu peraturan perundang-undangan
bertujuan menata kehidupan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang telah disetujui bersama
oleh setiap anggota masyarakat.

Kalimat yang berpa ketentuan dala peraturan perundang-undangan yang berisi norma
hukum yang umum dan abstrak merupakan kalimat kalimat normative tidak deskriptif atau
deklaratif. Tetapi karena tidak semua perintah adalah norma yang berlaku, maka untuk
menunjukan bahwa kalimat itu mengandung norma akan disebut saja kalimat normative.
Menurut hans kelsen, norma ialah perintah yang tidak personal dan anonym.
PENYUSUNAN DAN PENAFSIRAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

Berbeda dengan norma moral dan norma norma lain dalam masyarakat, norma hukum
dapat berlaku dengan disertai sanksi pidana dan sanksi pemaksa bagi penegakkannya karena itu
terdapat 2 peristiwa penting yang perlu diperhitungkan sebelum suatu peraturan perundang-
undangan salah satunya dari padanya perlu dipikirkan dan dipertimbangkan baik-baik, yakni
pembentukan peraturan perundang-undangan melalui penyusunan; ialah penegakkannya melalui
penafsiran. Hal itu sangat bergantung pada apresiasi dan penafsiran bahasa tulisan didalamnya.

Penggunaan bahasa dalam peraturan perundang-undangan dan dituangkan gagasan nya


ke dalam kata-kata, kalimat dan ungkapan yang di lihat dari sudut pembacanya. Nasihat
montesquie dikutip oleh C.K.Allen ia mengatakan tentang peraturan perundang-undangan secara
singkat.

Pengalaman modern dalam menyusun peraturan perundang-undangan menambahkan


saran ‘Gangguan’ komunikasi antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat umum yang
membacanya. Namun demikian gangguan tersebut tidak seluruh nya dapat di hindarkan.

Segera setelah peraturan perundang-undangan yang berlaku maka dalam menegakkannya


orang tidak dapat menghindarkan diri dari penafsiran. dan dalam menafsirkan peraturan
perundang-undangan masyarakat yang telah berpengalaman dengan beberapa dasar penafsiran
yang digunakan masih tidak dapat dimengerti. Hukum englo-saksis lay yang di pengaruhi
mengenal apa yang di sebut penafsiran dengan “pendekatan tujuan” pendekatan ini
mengutamakan penafsiran yang di kehendaki dan di tuju oleh pembentuk peraturan,kehendak ini
tidak tampak dalam tulisan. “pendekatan harfiah” menentukan bahwa yang dominan ialah apa
yang tercantum dalam kata-kata dalam peraturan tersebut. Sedangkan “pendekatan ‘aturan emas”
menafsirkan peraturan dengan mendasarkan pada pemberian arti dan kata didalamnya kepada
makna yang biasa, kecuali terjadi ketiadaan konsistensi penafsiran.

Penafsiran perundang-undangan dengan “pendekatn tunggal” dianggap lebih modern


sebagai satu-satunya pendekatan yang benar berpendapat, prinsip pendekatan ini mengajarkan
bahwa kata dalam peraturan hendaknya ditafsirkan dalam makna yang biasa .
BAHASA INDONESIA SEBAGAIMANA TERTUANG DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DEWASA INI

Untuk mengetahui beberapa penuangan bahasa Indonesia dalam peraturan perundang-


undangan kiranya perlu disimak beberapa produk hukum tersebut dari waktu ke waktu. Selain itu
meskipun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan ialah Undang-Undang dan
yang lebih rendah dari padanya, mengingat kuatnya ‘pengaruh’ yang diberikan oleh berbagai
UUD, dewasa ini berlaku maupun yang pernah berlaku

a. Kalimat normative

Peraturan perundang-undangan berisi norma-norma hukum yang umum dan abstrak, meski
demikian dalam peraturan perundang-undangan dapat ‘diselipkan’ norma umum yang tidak
abstrak(kongkrit), tidak umum tapi abstrak(individual), atau keduanya (kongkrit dan individual).

Beberapa contoh kalimat normative :

Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun,orang asing yang sudah
dikeluarkan dari Indonesia berada di Indonesia secara tidak syah

(UU Darurat No.8 Th 1955 pasal 3)

Kalimatnormatif denga adresat yang umum dan halyang diaturnya abstrak dapat dilihat juga
dalam contoh dibawah ini:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

(UU No.1 Th 1974 pasal 7 ayat 12)

Tata cara perkawinan diatur dalamperaturan perundang-undangan itu sendiri

(UU No. 1 Th 1974 pasal 12)

b. Kata yang ‘berubah’ arti

Apabila UUD 1945 terdapat kata-kata yang ‘aneh’,mungkin hal itu dapat dimnegerti
menggunakan bahasa Indonesia untuk penulisan nroma-norma hukum pada tahun 1940-an masih
belum terbiasa, diantara nya pada pasal 19,20,21 dan 23.
Dewasa ini harusmemberi persetujuannya kepada tiap-tiap rancangan undang-
undang dari pemerintah

Apabila kalimat itu diartikan secara harfiah dari bunyinya, maka tidak mungkin DPR harus
selalu memberi persetujuan tanpa hak untuk menolak RUU yang datang dari pemerintah. Yang
haruskan dalam menghadapi RUU dari pemerintah, DPR harus mengadakan kesepakatan untuk
menyetujui ataupun menolak RUU tersebut. DPR tidak dibolehkan bersikap ‘masa bodoh’ dalam
menanggapi RUU tanpa keputusan

c. “Jika” dan “apabila”

Kalimat normative yang menyatakan hubungan syarat sebaiknya menggunakan


subordinator”jika”, sedangkan yang menunjukan uraian atau penegasan waktu terjadinya sesuatu
sebaiknya menggunakan subordinator”apabila” dalam kenyataan nya masih sering ditemukan
beberapa peraturan yag ‘rancu” dalam penggunaan subordinator :

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaan itu

(UU No. 1 Th 1974 Pasal 2 ayat 1)

Subordinator diatas sangat tidak tepat. Yang tepat ialah “jika” karena peraturan tersebut tidak
mengacu kepada atau bertalian dengan waktu melainkan syarat murni.

Penggunaan subordinator “apabila” dalam contoh dibawah ini dapat dibenarkan, yakni:

Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan


apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri
suamu dan istri.

(UU No.1 Th 1974 pasal 27 ayat 2)

d. “Dan sebagainya” dan “dan lain-lainnya”

Perlunya penggunaan “dan sebagainya” dan “dan lain-lainnya” mengingat penafsiran akibat
penggunaan yang satu dalam peraturan perundang-undangan akan berbeda dari penggunaan yang
lainnya.
Dalam pasal 1 angka 5 UU No.11 Th 1974 disebutkan:

…, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung didalamnya,…

Penjelasan ketentuan tersebut menyebutkan:

Kekayaan alam bukan hewani yang dimaksud disini ialah misalnua pasir,kerikil,
batu dan sebagainya yang terdapat didalam…

Rumusan tersebut berlebihan disatu pihak karena kata “misalkan” namun dilain pihak
penggunaannya tepat karena ada kata “dan sebagainya”.

e. “Dan/atau”

Kata dan/atau banyak dijumpai dalam rumusan sanksi pidana. Dalam prakteknya seringkali
orang memisahkan menjadi “atau” saja, itupun dipilih yang meringankan sanksi semata.

Barang siapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana


dimaksud dalam pasal 2 huruf a dan huruf b melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat(1) dan pasal 7 ayat(1) dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya 10(sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya
Rp.100.000.000,-(serratus juta rupiah).

(pasal 24 UU No.9 Th 1985)

Dalam praktek hampir selalu berupa “denda” dapat dikatakan ringan, karena apa yang ditentukan
ialah”sebanyak-banyaknya”.

f. Tanda koma(,) serta konjungsi “dan” dan konjungsi “atau”

Menurut kaidah yang berlaku perincian beberapa kata atau anak kalimat bagi penambahan
dilakukan dengan penempatan tanda koma(,) serta kata “dan” sesudah kata atau anak kalimat
sebelum berakhir. Demikian dengan perincian pemilihan, apabila hal itu tidak dilakukan dengan
cermat, maka dapat timbul beberapa penafsiran mengenai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Contoh :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah


perkawinan antara dua orang yang di Indonesia unduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kearganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.

(UUNo.1 Th 1974 pasal 57)

Menghadapi keadaan diatas maka menjadi semakin penting apa yang dinasehatkan oleh para ahli
tentang perlunya kecermatan dalam menyusun kalimat. Kecermatan penyusunan akan
menghasilkan kejernihan penafsiran.

RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN


MENURUT UNDANG-UNDANG NO.12 TH 2011 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata bahasa
Indonesia, namun demikian bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai corak tersendiri
yang memiliki ciri kejernihanpengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas
sesuai dengan kebutuhan hukum.

Contoh :

Pasal 34

(1) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati serta dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Rumusan yang lebih baik

(1) Suami istri wajib saling mencintai, menghormati danmemberi bantuan lahir batin.
 Dalam merumuskan ketenuan peraturan perundang-undangan digunakan kalimat yang
tegas, jelas,singkat dan mudah dimengerti.

Contoh:

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud


dalam pasal 4 ayat(1) Undang-undang ini, harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

Rumusan yang lebih baik:

(1) Permohonan istri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat(1)
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
 Hindari kata yang artinya kurang menentu dalam kalimat kurang jelas
 Dalam merumuskan peraturang perundang-undangan gunakan kaidah tata bahasa
Indonesia yang baku
 Untuk memberikan perluasan pengertian kata yang sudah dketahui umum tanpa membuat
definisi baru,gunakan kata meliputi.
 Untuk mempersempit pengertian kata yang sudah dketahui umum tanpa membuat
definisi baru,gunakan kata meliputi.
 Hindari pemberian arti kapada kata yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang
biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari
 Dalam peraturan perundang-undangan hindari penggunaan istilah yang berbeda untuk
menyatakan satu dan istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda
 Hindari penggunaan frase tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi atau tanpa
menyimpang dari.
 kata atau frase sebaiknya didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah,
pengertian atau singkatan dan akronim
 jika peraturang menggunakan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam
peratruan perundang-undangan yag dilaksanakan, hendaknya rumusan definisi tersebut
terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
 Uuntuk menghindari nama departemen, penyebuta materi sebaiknya menggunakan
penyebutan yang didasari pada tugas dan tanggung jawab pada bidangnya.
 Penyerapan kata sebaiknya dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan Bahasa
Indonesia dapat digunakan,
 Penggunaan kata asing sebaiknya hanya digunakan dalam penjelasan peraturan
perundang-undangan yang didaului bahasa Indonesia.
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
 Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman
pidana atau batasan waktu yang digunakan kata paling
 Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan :
a. Waktu
b. Jumlah uang
c. Jumlah non-uang
 Untuk menyatakan tidak termasuk, gunakan kata kecuali.
 Kata kecuali ditempatkan langsung dibelakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya
kata yang bersangkutan.
 Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
 untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan gunakan kata jika.
 Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi
dimasa depan
 Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan
 Untuk menyatakan fisat alternative, gunakan kata atau
 untuk menyatakan kedua hal tersebut gunakan kata dan/atau
 untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak
 untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata
berwenang
 untuk menyatakan sifat dikresioner dari suatu kewenangan yang diberika kepada
seseorang atau lembaha gunakan kata dapat
 untuk menyatakan adanya suatu kewajiban gunakan kata wajib
 untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau penyertaan tertentu, gunakan kata
harus
 untuk menyatakan adanya larangan gunakan kata dilarang
C. TEKNIK PENGACUAN

Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal
atau ayat lain. Teknik pengacuan dilakukan untuk menunjuk pasal atau ayat
denganmenggunakan sebagaimana dimaksud dalam pasal… atau sebagaimana dimaksud
pada ayat…

Pengacuan lebih dari 2 pasal atau ayat yang tidak berurutan pelu menyebutkan pasal demi pasal
maupun ayat cukup dengan menggunakan frase sampai dengan, sedangkan yang berurutan
dikecualikan, pasal atau ayat yang tdiak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali, kata pasal
ini tidak perlu digunakan jika ayat yang di acu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang
bersangkutan, jika dua atau lebih pengacuannya dan berurutan maka pasal yang bersangkuta
harus dimulai dari pasal atau ayat yang paling kecil.

Pengacuan mungkin dilakukan dengan mencatumkan pula secara singkat materi pokok
yang diacu, dan juga pengacuan hanya dapat dilakukan ke peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat yang
bersangkutan. Pengacuan juga dapat dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor seri
pasal yang diacu dan hindari penggunaan frase pasal yang terdahulu atau pasal tersebut
diatas.

Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundang-


undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frase sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Untuk menyatakan bahwa peraturan pelaksana dari peraturan
perundang-undangan masih diberlakukan atau dinyatakan berlaku sebelum pengganti dengan
peraturan yang baru, jika peraturan perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku
hanya sebagian dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, gunakan frase tetap
berlaku, keculai….

Anda mungkin juga menyukai