Anda di halaman 1dari 15

TRANSMIGRASI DAN POLITIK EKOLOGI:

Kasus Studi komunitas Transmigrasi di Wanaraya1

Oleh:
Sofyan Sjaf2

Kurang lebih setengah abad kebijakan transmigrasi di Indonesia,


pembicaraan tentang topik transmigrasi oleh sebagian besar kaum intelektual
Indonesia dapat dipetakan ke dalam beberapa mainstream, pertama, intelektual
positivistik yang menitikberatkan transmigrasi sebagai solusi yang tepat untuk
menyeimbangi sebaran penduduk antar pulau di Indonesia. Tidak hanya sekedar
itu saja, kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar petani di Pulau Jawa akibat
dari ketimpangan kepemilikan lahan semakin memperkuat keyakinan intelektual
yang berpandangan ini bahwa transmigrasi adalah solusi yang tepat untuk
menyelesaikan krisis kepemilikan lahan yang dialami oleh petani Jawa.
Kedua, intelektual moderat yang cenderung menyoroti “kegagalan”
kebijakan transmigrasi akibat dari kesalahan dalam memahami pendekatan
transmigrasi yang dilakukan para ilmuwan positivistik. Tidak dimasukkannya
variabel sosio-kultural sebagai variabel yang melekat dalam kebijakan ini menjadi
sorotan tajam intelektual yang beraliran moderat ini. Meski variabel sosio-
ekologis sudah dimasukkan sebagai penyebab berbagai kegagalan pembangunan
(juga transmigrasi) di Indonesia, akan tetapi para ilmuwan yang beraliran ini tidak
kritis dalam menyikapi akibat yang ditimbulkan.3
Inilah yang kemudian melahirkan ilmuwan ber-mainstream ketiga, yakni
ilmuwan yang berpandangan dan menitikberatkan variabel sosio-ekologis dalam
kaitannya dengan ragam persoalan ketimpangan pembangunan yang terjadi di
dunia ketiga, termasuk persoalan yang diakibatkan dari dampak transmigrasi di
Indonesia. Mereka yang beraliran kritis ini, cenderung menekankan tematik
ketransmigrasian tidak hanya sebatas bentuk penyelesaian kepadatan penduduk di
pulau tertentu saja, akan tetapi lebih dari itu, persoalan transmigrasi pada
kenyataannya berdampak terhadap degradasi lingkungan yang mendorong
terjadinya hegemoni kapitalisme di daerah-daerah tujuan transmigrasi.
Tentang hal tersebut, Andre Gorz dalam Goldblat (1996) telah
mengingatkan bahwa adanya konsekuensi dari sosial-ekonomi dari kerusakan
lingkungan akibat salah tafsir kebijakan yang dilakukan oleh para pengambil

                                                                                                                       
1
Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Teori Sosial Hijau di bawah bimbingan Dr. Soeryo
Adiwibowo, Dr. Arya Darmawan, dan Dr. Arif Satria.
2
Mahasiswa Program Doktoral pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana
IPB; NRP: I363070031.
3
Sebagai catatan penting tentang gagasan ini dapat membaca karya yang ditulis oleh Michael
Dove, Cliford Gertz, Robert W. Hefner, dan lain-lain.

Halaman | 1
 
kebijakan. Dalam konteks ketransmigrasian, maka pendapat Gorz sangat relevan
karena disadari bahwa diterapkannya kebijakan transmigrasi dalam kenyataannya
telah mendorong dominasi kapitalisme di daerah-daerah transmigrasi.

Gambar 1. Posisi Wanaraya di Kalimantan Selatan Sebagai Lokasi Kajian.

 
Beranjak dari kasus komunitas transmigrasi di Wanaraya, Kalimantan
Selatan (Gambar 1), tulisan ini mencoba mengangkat bagaimana kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan akibat program transmigrasi sehingga mendorong
hegemoni kapitalisme dan mendominasinya kelas kapitalis pinggiran di daerah-
daerah tujuan transmigrasi dengan merujuk kasus komunitas transmigrasi di
Wanaraya.

Halaman | 2
 
Kondisi Transmigrasi di Indonesia:
Akibat yang Ditimbulkan dari Perubahan Ekologis

Cliford Geertz4 (1983) membagi Indonesia ke dalam dua sistem ekologi


dominan, yakni pertama, “Indonesia Dalam” yang diidentikkan dengan Pulau
Jawa dengan sistem ekologinya yang dikenal dengan ekologi padi-sawah; dan
kedua, “Indonesia Luar” yang diidentikkan selain Pulau Jawa dengan sistem
ekologinya bernama ekologi perladangan. Pembagian Gertz ini, kemudian
menarik untuk ditempatkan guna membedah sejauhmana kelemahan transmigrasi
sebagai kebijakan yang “sesat pikir”5 dan mendorong pembentukan formasi sosial
kapitalis di daerah tujuan.
Umumnya dikenal bahwa kebijakan transmigrasi diikuti dengan pembukaan
hutan secara besar-besaran untuk kepentingan pemukiman dan lahan persawahan
intensif bagi para transmigran. Kondisi ini, kemudian dalam kenyataannya
mendorong terjadinya kontradiksi permanen yang menciptakan jurang metabolik
(gap metabolic).6 Kontradiksi ini ditemukan antara lingkungan sosial eksternal
(kondisi alam) yang bersifat turun temurun dengan kekuatan produksi yang
tersedia.
Setidaknya, studi yang dilakukan Heeren7 membuktikan hal ini, dimana
kondisi lahan di luar Pulau Jawa yang memiliki tingkat kesuburan relatif kurang
menyebabkan pilihan penduduk Lampung Tengah untuk melakukan usahatani
perladangan berpindah. Masih dimungkinkannya perladangan berpindah oleh
penduduk Lampung Tengah karena kepadatan penduduk yang masih relatif
kurang dan kepemilikan tanah yang berbasis marga.
Demikianpun studi yang dilakukan Levang8 menunjukkan kondisi alam
yang ditandai dengan lahan yang sering digenangi air (ekologi lahan gambut
berawa) atau lahan bertekstur histosol9 memberikan pilihan atas alat produksi
(teknologi) yang digunakan orang Banjar dalam mengusahakan lahan gambut
                                                                                                                       
4
Baca buku “Involusi Pertanian” yang diterbitkan oleh Bhratara Karya Aksara. Dalam
bukunya tersebut, Gertz menggunakan teori seorang antropologi bernama Steward yang dikenal
dengan teori ekologi kebudayaan.
5
Istilah kebijakan “sesat piker” merupakan istilah yang penulis gunakan dari serangkaian
analisis yang membedakan dua mode produksi yang berlangsung di Indonesia Dalam dan
Indonesia Luar. Untuk lebih lanjut dapat membaca tesis penulis yang berjudul “Pembentukan
Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan: Studi Kasus Komunitas Transmigran di Kecamatan
Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan”.
6
Jurang metabolik (gap metabolic) adalah kehancuran keadaan-keadaan kewujudan manusia
yang ditentukan oleh alam karena pemisahan keadaan abadi bagi interaksi antara manusia dengan
alam (Foster 2002).
7
H. J. Heeren: Transmigrasi di Indonesia, Jakarta 1979, hal. 87 – 91.
8
Patrice Levang: Ayo ke Tanah Sabrang, Jakarta 2003.
9
Menurut Harjowigeno (1993:251) bahwa jenis tanah histosol terbentuk bila produksi dan
penimbunan bahan organik lebih besar dari mineralisasinya. Keadaan demikian terdapat di
tempat-tempat yang selalu digenangi air sehingga sirkulasi oksigen sangat terhambat. Oleh karena
itu, dekomposisi bahan organik terhambat dan terjadilah akumulasi bahan organik. Selanjutnya,
Harjowigeno mengatakan bahwa jenis tanah histosol ini mudah terbakar ketika drainasenya
mengalami perbaikan.

Halaman | 3
 
berawa tersebut. Hal yang sama dibuktikan oleh Sjaf (2006) dimana pilihan
teknologi berpengaruh terhadap kondisi ekologis di daerah tujuan (transmigrasi).
Selanjutnya Sjaf (2006) memberikan contoh bahwa ekologi gambut berawa yang
dominan di Indonesia Luar cenderung menggunakan teknologi varietas padi yang
mempunyai siklus panjang (6–10 bulan) dengan 1 kali setiap tahunnya dan
teknologi pengelolaan lahan yang identik dengan sistem ekologisnya, seperti
tajak, taju, dan ani-ani.
Tabel 1. Perbedaan Sistem Produksi Perladangan dan Sistem Produksi Padi-
Sawah.
Sistem
Produksi Perladangan Padi-Sawah
Pembeda
Teknologi Input teknologi rendah Input teknologi tinggi
Tenaga Kerja Tenaga kerja upahan Tenaga kerja upahan
rendah tinggi
Lahan/tanah Luas lahan yang tersebar Kelangkaan lahan (luas
banyak lahan sangat sedikit)
Modal Peranan modal rendah Peranan modal tinggi
Produksi Produksi per unit tenaga Produksi per unit tanah
kerja tinggi, tapi (ha) tinggi, tapi produksi
produksi per unit tanah per unit tenaga kerja
sedikit rendah.
Sumber: Sjaf, 2006.

Sjaf (2006) kemudian mencatat bahwa perubahan terjadi ketika kebijakan


transmigrasi diberlakukan oleh pemerintah, dimana adanya perbedaan sistem
produksi dari perladangan ke padi-sawah yang diberlakukan di daerah-daerah
transmigrasi (lihat Tabel 1). Perbedaan inilah yang kemudian menurut Sjaf
(2007) menyebabkan adanya indikasi ketidakmampuan sebagian besar daerah
transmigrasi memenuhi kebutahan pangannya sendiri.
Apa yang telah yang dikemukakan di atas, setidaknya mempunyai tingkat
keakuratan atau hipotesis yang tidak diragukan lagi karena orientasi kebijakan
transmigrasi sepanjang 10 tahun terakhir dan tipologi daerah-daerah transmigrasi
berdasarkan kemampuannya memenuhi kebutuhan pangan cenderung tidak
terfokus pada upaya penciptaan kemandirian dan kedaulatan pangan komunitas
transmigran.
Kebijakan merupakan bentuk lain dari keputusan politik yang diambil oleh
suatu institusi pemerintahan. Berkaitan itu, kebijakan ke-transmigrasi-an,
sepanjang sepuluh tahun (satu dekade) terakhir, lebih berorientasi pada tiga hal
pokok, yakni (1) kebijakan transmigrasi yang mentikberatkan pola agromarin
(kombinasi antara pertanian dan perikanan); (2) kebijakan transmigrasi yang
menitikberatkan pada pertumbuhan pusat pemerintahan; dan (3) kebijakan
transmigrasi yang mendorong pertumbuhan pusat-pusat produksi, perluasan
lapangan kerja, dan penyediaan tenaga kerja terampil (lihat Tabel 2).

Halaman | 4
 
Tabel 2. Kebijakan Pemerintah Indonesia 10 Tahun Terakhir di Indonesia.
Periode (Tahun) Uraian Kebijakan
Pola agromarin, suatu pola pembangunan kawasan
trnasmigrasi yg kegiatan utamanya bertumpu pada
pendayagunaan laut (penangkapan ikan, budidaya laut-tambak,
Orde Baru (1995)
pembenihan, pariwisata) secara optimal termasuk industri
pengolahannya dan dikombinasikan dengan kegiatan pertanian
berdasarkan prinsip sumberdaya alam dan lingkungan.
Pembangunan 2.744 UPT yang mendorong perkembangan
daerah menjadi pusat pemerintahan, berupa 235 Kecamatan
Orde Transisi (1999
dan 66 Kabupaten yang terus berkembang dengan berbagai
s/d 2004)
infrastruktur dan dinamikanya masing-masing
(www.nakertrans.go.id)
1). Kebijakan diarahkan mendukung pembangunan daerah
melalui pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan
lapangan kerja, penyediaan tenaga kerja terampil baik dengan
peranan pemerintah maupun swadaya melalui kebijakan
langsung maupun tidak langsung.
♦ Kebijakan diarahkan pada hal: (1) Penanggulangan
kemiskinan yang disebabkan ketidakberdayaan penduduk
untuk memperoleh tempat tinggal yang layak, (2) Memberi
peluang berusaha dan kesempatan kerja, dan (3)
Memfasilitasi pemerintah daerah dan masyarakat untuk
melaksanakan perpindahan penduduk.
♦ Kebijakan transmigrasi untuk wilayah KTI, meliputi: (1)
Mendukung pembangunan wilayah yang masih tertinggal,
(2) mendukung pembangunan wilayah perbatasan, dan (3)
Pemerintahan SBY mengembangkan pemukiman transmigrasi yang telah ada,
(2005 – 2009) pembangunan pemukiman baru yang selektif, dan
pengembangan desa-desa pemukiman transmigrasi
potensial (www.nakertrans.go.id)
2). Dibangun Kota Terpadu Mandiri (KTM), suatu kawasan
transmigrasi yang pembangunan dan pengembangannya
dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi
perkotaan melalui pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan. Sasaran pembentukannya adalah peningkatan
investasi dan industri pertanian, jasa dan perdagangan;
peningkatan produktivitas transmigran dan penduduk sekitar
dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD); dan
peningkatan efektivitas pemanfaatan ruang yang berwawasan
lingkungan, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan
jaringan infrastruktur (Nurhayadi, 2007)
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber (2007).

Meski ketiga kebijakan tersebut dirasakan kehadirannya, akan tetapi yang


menjadi keironian adalah masih banyaknya kehadiran Unit Pelaksana

Halaman | 5
 
Transmigran (UPT) yang teridentifikasi rawan dalam hal pangan. Dalam kondisi
seperti ini, maka dapat dipastikan kebijakan yang didorong oleh pemerintah pusat
maupun daerah ternyata menunjukkan ketidakmampuannya menyelesaikan
problem utama yang dihadapi oleh warga transmigrasi, yakni kerawan pangan.
Situasi seperti ini, berakibat terjadinya “kerentanan” di daerah transmigrasi
yang dapat dilihat dari hadirnya beragam persoalan, seperti: penyakit kurang gizi,
penyakit sosial (pencurian, premanisme), dan lain-lain.Hal tersebut sebagaimana
ditunjukkan dari studi yang dilakukan Kolopaking dan Sjaf (2007) bahwa
sebanyak 25,06% (104 UPT) yang mampu mandiri pangan, 19,76% (82 UPT)
yang termasuk tipe peralihan 1, sebanyak 26 UPT (6,27%) bertipe peralihan 2,
dan sebanyak 48,92% (203 UPT) termasuk UPT yang rawan pangan yang tersebar
di seluruh Indonesia (lihat Gambar 2).10
Jika perbedaan sistem produksi, kehadiran kebijakan dan dampak yang
ditimbulkannya dianalisis lebih jauh, maka terkesan bahwa pertimbangan ekologis
yang seharusnya menjadi dasar dalam penyelenggaraan transmigrasi di Indonesia
dimana adanya perbedaan alam (ekologi lahan) antara Pulau Jawa dan di luar
Pulau Jawa dalam kenyataannya “tersisihkan” begitu saja.
Dalam kasus transmigrasi di Wanaraya membuktikan bahwa pembukaan
lahan dengan penebangan hutan secara besar-besaran untuk hamparan pemukiman
dan lahan pertanian para transmigran di luar Pulau Jawa –khususnya Kalimantan–
menyebabkan kehancuran keberadaan manusia yang ditentukan oleh interaksinya
dengan alam. Sistem produksi behuma (bercocok tanam dengan berpindah-
pindah) sebagaimana yang pernah dilakukan oleh komunitas lokal di Wanaraya
merupakan perwujudan interaksi antara manusia dengan alam. Sistem produksi
behuma sebagai pemasok utama kebutuhan subsisten komunitas lokal sangat
tergantung dengan kesuburan lahan yang ditentukan ketersediaan humus yang
berasal dari berbagai jenis binatang dan tumbuhan yang hidup, kemudian mati dan
membusuk di atas tanah hutan.

                                                                                                                       
10
Pentipologian UPT-UPT ke dalam 4 kategori yang dilakukan oleh Kolopaking dan Sjaf
(2007) didasarkan atas ragam variabel dan indikator dengan merujuk data ketransmigrasian tahun
2006. Adapun 4 tipologi yang dimaksud, adalah (1) UPT yang berpotensi kemandirian pangan,
yakni UPT yang mempunyai kondisi infrastruktur, pelayanan umum, kesehatan, pendidikan dan
jenis komoditi pertanian tinggi dan kondisi lembaga ekonomi warga, kerjasama dengan industri
dan penguasaan lahan secara pribadi juga tinggi; (2) UPT “peralihan 1”, yakni UPT yang kondisi
infrastruktur, pelayanan umum, kesehatan, pendidikan dan jenis komoditi pertanian rendah, akan
tetpai mempunyai lembaga ekonomi warga, kerjasama dengan industri dan penguasaan lahan
secara pribadi tinggi; (3) UPT “peralihan 2”, yakni UPT yang mempunyai kondisi berkebalikan
dengan tipe sebelumnya dimana infrastruktur, pelayanan umum, kesehatan, pendidikan dan jenis
komoditi pertanian tinggi, akan tetpai kondisi lembaga ekonomi warga, kerjasama dengan industri
dan penguasaan lahan secara pribadi rendah; dan (4) UPT rawan pangan, yakni UPT yang
mempunyai kondisi infrastruktur, pelayanan umum, kesehatan, pendidikan dan jenis komoditi
pertanian rendah dan kondisi lembaga ekonomi warga, kerjasama dengan industri dan penguasaan
lahan secara pribadi juga rendah.

Halaman | 6
 
Se b a ra n T ip o lo g i Ke c a ma ta n y a ng Me mp uny a i U PT d i Ind o ne s ia

16

14
Ju ml a h Ke c. ya n g

12
Te rd a p a t U PT

10

0
Mandiri Pangan Peralihan 1 Peralihan 2 Rawan Pangan
Ti p o l o g i

Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau


Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung
Bangka Belitung Kepulauan Riau Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara
Papua Irian Jaya Barat

Gambar 2. Sebaran Tipologi Kecamatan yang Mempunyai UPT di Indonesia.

Keberadaan hutan yang masih tersedia dengan berbagai jenis pohon yang
tumbuh (seperti mahang, terantang, dan lain sebagainya) sebenarnya berfungsi
untuk menjaga kelembaban yang tinggi sehingga mendorong percepatan
terjadinya laju pembusukan (dekomposisi) berbagai jenis bahan organik. Dengan
kata lain sistem produksi behuma oleh komunitas lokal, sangat ditentukan oleh
hutan yang memberikan jaminan atas ketersediaan sumber-sumber humus untuk
kesuburan lahan. Akan tetapi, kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya
sebagai implementasi kebijakan transmigrasi Pemerintahan Orde Baru mendorong
resiliesi/daya lenting ekologi gambut terputus akibat pergeseran pola pengusahaan
dari ekstensif (sistem produksi behuma) ke intensif atau menetap (sistem produksi
padi-sawah pasang surut).
Pergeseran ekologis tersebut ternyata kontradiktif dengan prinsip
keberlanjutan produksi di Wanaraya. Ini ditandai oleh kerusakan lahan/tanah
bertekstur histosol dan peristiwa kebakaran lahan yang menguras potensi
kesuburan lahan. Fakta ini semakin mempertegas gejala jurang metabolik,
dimana sesat pikir dalam tata interaksi antara manusia dengan alam membawa
kehancuran yang tidak hanya menyingkirkan keberadaan komunitas lokal, akan
tetapi juga menghadapkan komunitas transmigran Wanaraya pada masa depan
hampir yang marginal di sektor pertanian.

Halaman | 7
 
Komunitas Transmigran di Wanaraya:
Hadirnya Watak Kapitalisme dan Dominasi Kelas Kapitalis Pinggiran

Sebelumnya telah dipaparkan bagaimana hubungan antara transmigrasi


dengan degradasi lingkungan yang disebabkannya. Dalam hal ini, pendapat Andre
Gorz sangat relefan untuk ditempatkan dalam analisis penedekatan transmigrasi
untuk menyelesaikan problem kemiskinan yang diderita oleh para petani gurem
dan tunakisma di Pulau Jawa yang dipindahkan ke Luar Pulau Jawa.
Sebelum lebih jauh menjelaskan isi pada bagian ini, perlu terlebih dahulu
diungkapkan pertanyaan kritis sehubungan dengan transmigrasi, yakni apakah
suatu keharusan penduduk di Pulau Jawa yang dianggap mempunyai kelebihan
penduduk dipindahkan ke luar Pulau Jawa? Jika pun harus dipindahkan apakah
perlu dilakukan perubahan secara fundamental di daerah tujuan transmigrasi
berkaitan dengan penetrasi sistem produksi yang berbeda dari tipe ekologinya?
Menjawab pertanyaan pertama, Levang (2003: 71) dengan studi yang telah
dilakukannya dengan jelas mengatakan bahwa kepulauan Jawa tidak kelebihan
penduduk. Walaupun demikian, Levang menganggap program transmigrasi tetap
penting karena dapat memberikan lahan kepada mereka –petani– yang berlatar
belakang sebagai petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan (tunakisma). Ia
kembali menambahkan bahwa pemberian lahan kepada petani gurem, buruh tani,
dan petani tanpa lahan merupakan motif dasar dari para transmigran untuk
menjamin hidupnya, dimana keterbatasan lahan karena kepadatan penduduk yang
terus meningkat di Pulau Jawa menyebabkan mereka -petani marjinal (petani
gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan)– tidak memungkinkan untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup sehingga transmigrasi dianggap sebagai solusi
yang tepat, meskipun perlu pembenahan di sana-sini.
Tabel 3. Persentasi Penduduk Menurut Golongan Rumah Tangga.11
Jumlah Penduduk
No. Golongan Rumah Tangga
1975 1993
1. Buruh Tani 11,7 10,0
2. Petani Gurem (< 0,5 ha) 22,2 27,3
3. Pengusaha Pertanian (0,5-1 ha) 12,0 6,2
4. Pengusaha Pertanian (> 1 ha) 13,7 6,4
5. Bukan Pertanian Golongan Rendah di Desa 14,7 8,9
6. Bukan Angkatan Kerja di Desa 3,0 1,6
7. Bukan Pertanian Golongan Atas di Desa 6,0 13,0
Sumber: Biro Pusat Statistik: Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 1993. Jakarta: Biro Pusat
Statistik, 1996:108.

                                                                                                                       
11
Dikutip dari tulisan Dr. Sajogyo berjudul “Petani dan Kemiskinan” dalam buku
“Pemberdayaan Perekonomian Rakyat Dalam Kancah Globalisasi” yang diterbitkan oleh Yayasan
Sajogyo Inti Utama (sa!ns) tahun 2005. Pengutipan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan
terjadinya peningkatan buruh tani yang diiringi dengan peningkatan pengusaha pertanian di desa.

Halaman | 8
 
Sebenarnya kepadatan penduduk yang terus meningkat dan hubungannya
dengan terjadinya peningkatan petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan
tersebut (lihat Tabel 3) yang terbiasa dengan sistem produksi persawahan bukan
berarti harus dipindahkan ke luar Pulau Jawa, sehingga golongan petani yang
dimaksud mempunyai luasan lahan yang memadai untuk berusaha tani. Akan
tetapi, perlu dilihat faktor utama penyebab terjadinya peningkatan petani gurem,
buruh tani, dan petani tanpa lahan tersebut.
Dalam hal ini, Wiradi (1984) berpendapat bahwa faktor utama penyebab
terjadinya peningkatan petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan
(tunakisma) di pedesaan Jawa adalah terdapatnya ketimpangan penguasaan atas
lahan/tanah, dimana terdapat sebagian atau sekelompok orang saja yang
menguasai tanah. Untuk itu, menurut Wiradi langkah atau jalan yang tepat untuk
mencegah terjadinya ketimpangan penguasaan tanah adalah melakukan
perombakan susunan penguasaan tanah, atau land reform. Meskipun agenda land
reform ini sangat dimungkinkan di Indonesia, namun menurut Wiradi bahwa
semuanya sangat ditentukan oleh kemauan politik pemerintah yang berkuasa.12
Jika demikian halnya, maka penduduk yang berlebih di Pulau Jawa tidak
perlu dipindahkan ke luar Pulau Jawa, melainkan diperlukan kebijakan
industrialisasi perdesaan yang telebih dahulu dimulai dengan land reform
sehingga petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan yang terus meningkat
tiap tahunnya dapat berkurang dengan sendirinya dan dapat ikut serta dalam
program industrialisasi perdesaan tersebut. Sebagaimana yang telah dilakukan
Pemerintahan Jepang13 yang kepadatan penduduknya terus meningkat namun
terhindar dari kemandegan pertanian (involusi pertanian dalam istilah Geertz).
Terhidarnya Jepang dari kemandegan pertanian tersebut disebabkan
keberhasilannya menuntaskan terlebih dahulu land reform sebelum melakukan
industrialisasi pedesaan (Wertheim, 1997). Wertheim menambahkan dengan
merujuk pendapat Ritjof Tichelman14 bahwa keberhasilan Jepang tersebut sangat
ditentukan oleh cara menanggulangi faktor-faktor penghambat yang terkandung
dalam latar belakang agrikultural dan politisnya.
                                                                                                                       
12
Gunawan Wiradi (1984) dalam tulisannya yang berjudul “Pola Penguasaan Tanah dan
Reforma Agraria” pada buku “Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di
Jawa dari Masa ke Masa” disunting oleh Sediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi.
Diterbitkan PT. Gramedia, Jakarta (1984).
13
Pelaksanaan reforma agrarian (land reform) sangat ditentukan oleh kekuatan atau penguasa
yang memberi dukungan terhadap kebijakan ini. Untuk itu, keberhasilan agenda land reform
pemerintahan Jepang sangat terkait erat dengan tipe kombinasi antara pemerintah negara setempat
dengan tentara pendudukan. Dengan bantuan dan tekanan dari pemerintah AS, maka penguasa
setempat melaksanakan reforma agraria dengan drastis. Tanah-tanah kelebihan dibagikan kepada
buruh tani atau penyakap dengan pembayaran ganti rugi kepada pemilik semula (Wiradi 1984:
319).
14
Menurut Tichelman sebagaimana dirujuk oleh Wertheim (1997) bahwa kemandegan
pertanian (involusi pertanian) di Asia Tenggara hingga kini disebabkan oleh berlangsungnya moda
produksi asiatik, dimana tanah/lahan sebagai alat produksi utama dalam usaha pro-duksi pertanian
dikuasai/dimiliki oleh seseorang.

Halaman | 9
 
Sebaliknya dengan Indonesia, untuk mencegah terjadinya kemandegan
pertanian (involusi pertanian) di Pulau Jawa, Pemerintah memberlakukan
kebijakan transmigrasi sebagai “wajah baru” pelaksanaan land reform agar
kepadatan penduduk di Pulau Jawa berkurang dan sekaligus memberikan akses
terhadap lahan yang masih luas di luar Pulau Jawa kepada golongan petani Jawa
yang marjinal dalam penguasaan lahan, namun mayoritas dalam jumlah.
Berkaitan dengan itu, studi Sjaf (2006) pada komunitas transmigran di Wanaraya
menunjukkan bahwa disatu sisi transmigrasi merupakan alat efektif untuk
merombak struktur penguasaan tanah yang dimonopoli atau didominasi pembekal
desa di luar Pulau Jawa sebagaimana ciri dari moda produksi asiatik yang
berlangsung di negara-negara Asia Tenggara. Namun pada sisi lain, keberhasilan
melakukan perombakan struktur penguasaan tanah tersebut, ternyata bukanlah
pokok persoalan melainkan terletak pada kondisi lahan –ekologi lahan gambut
berawa– marjinal yang jauh berbeda dengan daerah asal. Faktor inilah yang
kemudian menghadirkan empat watak kapitalisme pada komunitas tersebut.
Adapun keempat watak yang dimaksud, adalah: (1) mewujudkan “jurang
yang tidak dapat dipulihkan kembali” berupa gejala “behuma hilang, sawah
terancam” dan mengancam keberadaan komunitas lokal dan transmigran; (2)
sebagai konsekuensi pertama dan yang utama dari jurang tersebut, kedua
komunitas dihadapkan pada dilema ekonomi kapitalisme dimana intensifikasi
merupakan pilihan tunggal dalam mempertahankan produksi yang keberlanjutan
terancam. Intensifikasi merupakan saluran yang terus membesar bagi penetrasi
kekuatan modal (kapitalis) ke dalam sistem produksi padi-sawah pasang surut; (3)
petani menjadi sekedar operator yang memperoleh manfaat tidak sebanding
dengan rantai kapitalis. Manfaat produksi lebih banyak diten-tukan dan diserap
industri pupuk dan industri kapur berskala besar, yang bertidak sebagai pemasok
faktor produksi utama petani di lahan gambut berawa; dan (4) konsolidasi
kapitalis, dimana kerjasama antara kapitalisme sentral (central capitalism) yang
diwakili oleh industri pupuk dan kapur yang berskala sedang sampai besar dengan
kapitalisme ping-giran (periferi capitalism) yang diwakili oleh petani pemilik
modal semakin meluas dan menguat.
Keempat watak kapitalisme tersebut, selanjutnya mendapat tanggapan
emansipasitoris dari kalangan petani, dengan mengembangkan alternatif usaha
produksi yang tidak berbasis input teknologi tinggi dan bermodal besar, seperti
usaha produksi umbi-umbian, disamping tetap mempertahankan sistem produksi
sawah pasang surut untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga.
Apa yang hendak dijelaskan dari uraian tersebut bahwa kebijakan
pemerintah membagikan lahan kepada para transmigran ternyata tidak serta merta
memperbaiki struktur ekonomi dan kesejahteraan komunitas transmigran.
Sebaliknya, yang terjadi adalah penguatan struktur sosial yang eksploitatif
terhadap petani pemilik-penggarap di dua komunitas, melalui peran petani pemilik
modal. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, kehadiran modal dalam usaha

Halaman | 10
 
produksi komunitas transmigran adalah sebagai ciri pokok dominasinya kelas
kapitalis pinggiran.
Dalam konteks kajian studi, yakni komunitas transmigran di Wanaraya,
dikenal tiga periode kesejarahan komunitas transmigran berkaitan dengan
pembentukan struktur kelas sosial. Adapun ketiga periode tersebut, adalah
periode behuma (sebelum tahun 1978), periode “pasang” (1978 – 1983), dan
periode “surut” (1984 – 2005). Masing-masing periode ini, mempunyai
perbedaan dalam kekuatan dan hubungan produksinya. Hal yang menarik dari
kesejarahan tersebut adalah perubahan moda produksi yang awalnya terkesan
tidak eksploitatif (resiprositas) menjadi eksploitatif.
Faktor penting untuk menjadi catatan dari perubahan moda produksi adalah
tergesernya sistem produksi behuma (lokal) oleh sistem produksi padi-sawah
pasang surut yang mengakibatkan terjadinya penurunan produksi dalam waktu
singkat atau hanya mampu bertahan selama kurang lebih lima tahun.15 Penyebab
terjadinya penurunan produksi padi-sawah ini adalah menghilangnya dengan
cepat unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran saat pembukaan hutan di lahan
Kalimantan dan drainasi yang terlalu dangkal sehingga tidak mampu untuk
melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah terjadinya
salinasi sawah. Kondisi seperti ini, sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya diartikulasikan sebagai “kegagalan” mengarahkan transformasi
sistem produski dari produksi behuma eksentif ke produksi persawahan intensif.
Penyebab utama “kegagalan” mengarahkan transformasi sistem produksi
tersebut adalah “kesesatan berfikir” yang menempatkan alat produksi
(lahan/tanah) sebagai satu-satunya yang dapat menyelesaikan persoalan semakin
meningkatnya jumlah petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan di Pulau
Jawa. Untuk mengurangi kepadatan penduduk yang tinggi tersebut, selama ini
dikembangkan asumsi penyelesaiannya dengan cara memindahkan dan
mendistribusikan lahan kepada golongan petani tersebut ke Pulau luar Jawa yang
dianggap masih mempunyai lahan luas dan belum tergarap dengan optimal.
Sementara itu, determinasi ekologi lahan gambut berawa –khususnya Pulau
Kalimantan– yang pernah menyatu dengan sistem produksi komunitas lokal tidak
dijadikan sebagai landasan mendasar untuk mengarahkan transformasi sistem
produksi di daerah transmigran, khususnya di Wanaraya.
Alhasil, kondisi yang terjadi di atas memberikan kontribusi terciptanya
jurang metabolik di daerah tujuan, dimana kapital (modal) memainkan peranan
penting untuk mempertahankan keberlangsungan sistem produksi sawah pasang
surut sebagai satu-satunya usaha yang mampu memenuhi kebutuhan subsisten
keluarga komunitas transmigran dan berprosesnya usaha produksi komersiil dan
kapitalis lainnya. Persoalan krisis lahan marjinal dan kelangkaan kapital yang

                                                                                                                       
15
Penurunan produksi ini dialami oleh komunitas transmigran secara terus menerus hingga
mencapai rata-rata 10–50 kaleng per hektar.

Halaman | 11
 
dialami oleh komunitas transmigran di Wanaraya menyebabkan penyedian kapital
untuk menjaga keberlangsungan usaha produksi sawah pasang surut hanya dapat
diperoleh dengan cara keluar wilayah Wanaraya sebagai tenaga kerja membatang
dan buruh pabrik atau bangunan.
Walau demikian, dalam kenyataanya tidak semua komunitas transmigran
dapat melakukan hal yang sama karena dihadapkan dengan berbagai keterbatasan,
diantaranya kondisi fisik dan ketersedian uang tunai (modal) yang tidak memadai
untuk transportasi dan kebutuhan hidup ditempat kerja. Perbedaan kemampuan
mencari sumber kapital tersebut, kemudian menyebabkan berkembangannya
struktur kelas sosial, dimana pada awalnya hanya terdapat satu kelas sosial (petani
pemilik-penggarap) menjadi petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap.
Perbedaan struktur kelas ini, kemudian mempengaruhi perbedaan
kemampuan melakukan usaha produksi untuk memperoleh surplus ekonomi,
dimana petani pemilik modal sebagai kelas kapitalis pinggiran (periferi capitalism
class) cenderung memproduksi komoditas yang berorientasi komersil, seperti
usahatani sayuran, kacang tanah, padi unggul, ternak sapi dan usaha produksi
selain pertanian (transportasi klotok dan bengkel elektronik/sepeda motor),
sedangkan petani pemilik-penggarap hanya mampu memproduksi padi-sawah
pasang surut varietas lokal dan umbi-umbian (ubi jalar dan ubi kayu). Singkatnya
perbedaan tersebut, terletak pada kemampuan penguasaan modal sebagai faktor
produksi utama dalam tiap usaha produksi (lihat Tabel 4).
Tidak sekedar itu, surplus ekonomi kelas petani pemilik modal (periferi
capitalism class) tak hanya diperoleh dari usaha produksi komersil melainkan
melalui ekstrak produksi dalam bentuk keuntungan peminjaman pupuk dan kapur
kepada petani pemilik-penggarap dan tenaga kerja disetiap usaha produksi. Untuk
itu, petani pemilik modal sebagai pelaku usaha produksi komersil menentukan
pembentukan formasi sosial kapitalis di Wanaraya. Umumnya, pelaku usaha
produksi komersil (kelas kapitalis penggiran) pada komunitas transmigran adalah
anggota keluarga. Pemenuhan pangan harian mereka praktis bersumber dari hasil
produksi padi-sawah pasang surut, bukan dari hasil penjualan barang atau jasa
yang diproduksi dan ditawarkannya. Kebutuhan pangan (beras) harian tidak
pernah diperhitungkan sebagai komponen biaya produksi dan diperhitungkan
dalam penentuan harga jual barang, sehingga tidak jarang harga barang atau jasa
dari usaha produksi tersebut lebih murah dari semestinya. Biaya reproduksi
pelaku usaha produksi komersil tersebut, tidak ditanggung oleh perusahaan
keluarga tersebut melainkan dari usaha produksi padi sawah pasang surut.
Demikian pun dengan usaha produksi kapitalis, dimana keterbatasan lahan
ber-tekstur histosol (ekologi lahan gambut berawa) menyebabkan ketergantungan
lahan terhadap teknologi pupuk dan kapur sebagai prasyarat utama melakukan
usahatani sawah pasang surut. Berkaitan dengan struktur sosial komunitas
transmigran Wanaraya, terbentuknya dua kelas sosial berpengaruh terhadap
kemampuan penyediaan dan pemenuhan teknologi pupuk dan kapur.

Halaman | 12
 
Tabel 4. Karakteristik Pengusahaan Produksi Komunitas Transmigran di
Wanaraya.
Karakteristik

Deskripsi Modal Struktur Kelas

Usaha Produksi

Ubi kayu Tidak diperlukan modal untuk Dominan diproduksi oleh kelas
membeli pupuk dan kapur. petani pemilik-penggarap.

Ubi jalar Tidak diperlukan modal untuk Dominan diproduksi oleh kelas
membeli pupuk dan kapur. petani pemilik-penggarap.

Padi unggul Dibutuhkan modal Rp. 400.000 s/d Diproduksi oleh kelas petani
Rp. 500.000 untuk membeli urea pemilik modal.
100 kg/ha (2X), SP36 50 kg/ha
(1X), dan kapur.

Padi lokal Dibutuhkan modal Rp. 400.000 s/d Diproduksi oleh petani pemilik
Rp. 500.000 untuk membeli urea modal dan petani pemilik-
Pertanian 100 kg/ha (2X), SP36 50 kg/ha penggarap.
(1X), dan kapur.

Kacang tanah Dibutuhkan modal Rp. 450.000 s/d Diproduksi oleh kelas petani
Rp. 500.000 untuk membeli urea pemilik modal
100 kg/ha (2X), SP36 50 kg/ha
(1X), dan KCl 25 kg/ha.

Sayuran Dibutuhkan modal Rp. 400.000 Diproduksi oleh kelas petani


untuk membeli pupuk urea dan pemilik modal
pupuk kandang.

Ternak Sapi Dibutuhkan modal untuk membeli Dominan diproduksi oleh kelas
ternak dan sarana produksi. petani pemilik-penggarap.

Membatang Dibutuhkan modal untuk upah Dominan diusahakan oleh kelas


tenaga kerja (buruh batang). petani pemilik-penggarap.

Transportasi klotok. Dibutuhkan modal upah TK dan Dominan diusahakan oleh kelas
membeli bahan-bahan yang petani pemilik-penggarap.
berkaitan dengan klotok, seperti:
Selain Pertanian
mesin klotok dan kayu sebagai
bahan dasar pembuatan klotok.

Elektronik dan Dibutuhkan modal untuk mengupah Dominan diusahakan oleh kelas
bengkel sepeda jasa petani pemilik-penggarap.
motor
Sumber: Sjaf, 2006.

Bagi petani pemilik modal (kelas kapitalis pinggiran), pupuk dan kapur
dengan mudah diperoleh karena selain memiliki kapital, juga bertindak sebagai
pengusaha distribusi pupuk dan kapur yang tidak lain merupakan peranjangan
tangan kelas kapitalis sentral. Produksi yang dihasilkan dari padi-sawah pasang

Halaman | 13
 
surut, kemudian lebih diorientasikan untuk dijual dan sebagian kecil dikonsumsi
sesuai dengan kebutuhan keluarga. Dengan demikian, pola ganda usaha produksi
yang dilakukan kelas kapitalis pinggiran di Wanaraya semakin memperkokoh
perannya dibandingkan kelas petani pemilik-penggarap.
Sementara itu, petani pemilik-penggarap sebagai kelas pekerja dalam sistem
produksi padi-sawah pasang surut hanya dapat memenuhi atau menyediakan
teknologi dengan cara mengutang kepada petani pemilik modal dan dikembalikan
setelah panen. Oleh karena itu, hasil produksi padi-sawah pasang surut yang
diperoleh petani pemilik-penggarap sepenuhnya diperuntukkan membayar utang
(10–15 kaleng per panen) dan kebutuhan pangan keluarga (sebanyak 35 kaleng
per panen). Meskipun pembagian telah dilakukan petani pemilik-penggarap, akan
tetapi hasil produksi padi-sawah pasang surut setiap tahunnya untuk kebutuhan
pangan keluarga sebenarnya tidaklah mencukupi karena rata-rata setiap keluarga
yang terdiri 4–5 orang membutuhkan beras 70 kaleng per tahunnya.
Untuk menutupi kekurangan kebutuhan pangan keluarga petani pemilik-
penggarap –sebanyak 35 kaleng per tahun– dan kebutuhan lainnya sepenuhnya
dengan cara menggarap lahan kelas kapitalis pinggiran dan sebagai buruh
membatang. Adapun upah yang diperoleh petani pemilik-penggarap dari petani
pemilik modal sebanyak Rp. 12.000 - Rp. 15.000 per hari. Upah yang diberikan
tersebut, tidak termasuk perhitungan biaya yang dikeluarkan kelas pekerja (petani
pemilik-penggarap) untuk sarapan pagi, makan siang, dan makan malam karena
telah disediakan oleh petani pemilik-penggarap. Sehingga beras untuk kebutuhan
pangan bersumber dari usahatani sawah pasang surut dan upah yang didapatkan
dari petani pemilik modal.
Seperti halnya menggarap lahan milik petani pemilik modal, membatang
oleh sebagian besar petani pemilik-penggarap diorientasikan untuk mensubsidi
usahatani sawah pasang surut, membayar utang, dan mencukupi kebutuhan
keluarga lainnya. Meskipun hasil yang diperoleh cukup besar (total keseluruhan
yang didapatkan berkisar dari Rp. 3.000.000 - Rp. 4.000.000), namun pemenuhan
pangan selama membatang tetap bersumber dari hasil produksi padi sawah pasang
surut. Gambaran ini menunjukkan membatang oleh sebagian besar laki-laki dalam
keluarga petani pemilik-penggarap disubsidi oleh kebutuhan subsisten dari
usahatani sawah pasang surut.
Uraian di atas, ingin menegaskan bahwa kelas kapitalis pinggiran semakin
mempertegas perannya. Adapun peran kelas kapitalis pinggiran tersebut dapat
diidentifikasi ke dalam 3 bagian: (1) akumulasi kapital melalui penguasaan
terhadap usaha produksi yang berlangsung di Wanaraya, (2) dengan akumulasi
kapital sebagai alat produksi utama disetiap usaha produksi menyebabkan
kemampuan kelas kapitalis pinggiran untuk mengestrak surplus produksi dalam
bentuk tenaga kerja dan keuntungan yang diperoleh dari pinjaman teknologi
kepada kelas petani pemilik-penggarap yang mayoritas, dan (3) mendorong
terjadinya suksesi kapitalisme ke arah yang lebih lanjut di di Wanaraya.

Halaman | 14
 
Referensi

Ahmad, R. & Soegiharto, S. (Editor Tjondronegoro, S.M.P.). 2003.


Transmigrasi di Usia Kelima Puluh. Jakarta:
Foster, John Bellamy. 2002. Ekologi Marx dalam Perspektif Bersejarah. Jurnal
International Socialism, Jilid 96 [diterjemahkan oleh Muhammad
Salleh].
Geertz, Cliford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia
(diterjemahkan oleh S. Supomo). Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Girsang, Wardis. 1996. Dinamika Penguasaan Lahan dan Strategi Rumah
Tangga di Desa Transmigran: Kasus di Desa Transmigran Waihatu,
Kecamatan Kairatu, Seram Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi
Maluku [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB, Institut Pertanian
Bogor.
Goldblat, D. 1996. Social Theory and The Enviroment. Cambridge” Polity Press.
Heeren, H. J. 1979. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Levang, Patrice. 2003. Ayo ke tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
MacAndrew, C. dan Rahardjo. 1979. Pemukiman di Asia Tenggara, Transmigrasi
di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Otten, M. 1986. Transmigrasi: Indonesian Resettlment Policy, 1965–1985.
Copenhagen: International Work Group for Indigenous Affairs All Right
Reserved.
Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Sjaf, S. 2006. Transmigrasi sebagai Pembentukan Formasi Sosial Kapitalis di
Daerah Tujuan: Studi Kasus Komunitas Transmigrasi di Kecamatan
Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Utomo, Kampto. 1975. Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah Wai
Sekampung (Lampung). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Watson, T. 1997. Sociology, Work and Industry. London. Routledge and
Vengan Paul.
Wertheim, Wim F. 1997. Third World Whence and Wither? Ira Iramanto,
Penerjemah; Het Spinhuis.

Halaman | 15
 

Anda mungkin juga menyukai