Anda di halaman 1dari 11

FILSAFAT

AKAL PIKIRAN DAN BERPIKIR FILSAFAT

OLEH :

SITI AISYAH
M.201601061

PROGRAM PASCA SARJANA

STIKES MANDALA WALUYA

KENDARI

2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
              Filsafat atau philosophy dalam bahasa inggris, atau falsafah dalam bahasa arab
merupakan istilah yang diwariskan dari tradisi pemikiran Yunani Kuno. Filsafat secara
harfiah berarti “cinta kebijaksanaan”. Mendefinisikan filsafat tidaklah mudah, karena
pengertian filsafat yang ada adalah sejumlah pemikiran para filsosof yang memberikan
definisinya masing-masing, sehingga secara subjektif para filosof memiliki pengertiannya
masing-masing. Dengan demikian, definisi yang mereka buat saling melengkapi.
              Plato mengatakan : “filsafat memang tidak lain dari pada usaha mencari kejelasan
dan kecermatan secara gigih yang dilakukan secara terus menerus.” Aristoteles
mendefenisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung
di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Sedangkan menurut Descartes, filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan,
alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya (Konrad Kebung, 2005). Selain pendapat-
pendapat para filsuf tersebut, filsafat bisa diartikan sebagai penjelasan, yaitu menjelaskan
semua yang ada dan yang mungkin ada. Sehingga metode yang digunakan dalam berfilsafat
adalah metode terjemah dan menerjemahkan.
              Filsafat bukan merupakan sesuatu yang bersifat abstrak karena filsafat tidak hanya
berkutat dengan buku-buku sulit. Akan tetapi filsafat berangkat dari pergulatan hidup
manusia di dunia atau berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari. Dimulai dengan
pertanyaan yang mendasar tentang kehidupan lalu dilanjutkan dengan penggalian. Filsafat
dapat dicapai oleh makhluk hidup yang berakal (manusia) yang ingin memahami dirinya
sendiri dan dunianya. Kemudian hasil dari filsafat adalah cara berfikir yang mendalam dan
tepat tentang kehidupan.
              Sehingga secara singkat filsafat dapat dianggap sebagai berpikir atau pola pikir.
Berfikir yang dimaksud adalah berfikir yang bersifat menyeluruh, mendasar dan spekulatif.
Sehingga orang yang berfilsafat berarti orang tersebut berupaya melakukan pemikiran yang
mendalam dan sistematis tertang berbagai permasalahan yang berkembang agar memiliki
posisi dan pandangan yang jelas tentang suatu permasalahan tersebut. Akan tetapi sebenarnya
berfilsafat itu lebih dari sekedar pola pikir, karena berfilsafat juga merupakan pola rasa atau
pola hati dan pola krida.
              Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa berfikir secara filsafat berbeda dengan
berfikir biasa, yang membedakan adalah metode yang digunakannya. Berfikir biasa adalah
berfikirnya orang awam, yaitu berfikirnya masih tercampur, tidak berpola dan tidak
sistematis. Sedangkan berfikir secara filsafat adalah berfikir secara ilmiah, logis dan
diperkuat oleh efiden.
              Berfikir memang merupakan hal yang lazim dilakukan oleh semua orang, tidak
hanya dari kalangan tertentu saja, tapi semua kalangan masyarakat. Tetapi tidak semua dari
mereka yang berfikir filsafat dalam kehidupan sehari-harinya. Padahal berfikir filsafat
sangatlah penting untuk semua orang dalam rangka menjalani aktivitas sehari-hari, atau untuk
mencari solusi bagi sebuah permasalahan. Jika ditelaah secara mendalam, begitu banyak
manfaat, serta pertanyaan-pertanyaan yang mungkin orang lain tidak pernah memikirkan
jawabannya. Karena filsafat merupakan induk dari semua ilmu.
              Beberapa manfaat berfikir filsafat, yaitu mengajarkan cara berpikir kritis, sebagai
dasar dalammengambil keputusan, menggunakan akal secara proporsional, membuka
wawasan berpikir menuju kearah penghayatan, dan masih banyak lagi. Itulah sebabnya
mengapa setiap orang diharapkan untuk selalu berfikir filsafat kapanpun, dimanapun, dan
dalam situasi apapun ia berada.
              Namun kenyatannya, banyak orang yang masih bingung atau tidak tahu tentang
perbedaan cara berfikir secara filsafat dan berfikir biasa. Banyak orang yang salah
mengartikan, bahwa orang yang berfikir berarti berfilsafat. Padahal sebenarnya orang berfikir
belum tentu berfilsafat walaupun oarang yang berfilsafat berarti berfikir. Oleh karena itu,
dalam makalah ini akan dibahas tentang cara berfikir secara filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Ciri-ciri berfikir filsafat


                 Berfilsafat itu berpikir, tapi tidak semuanya itu berfikirdikatakan berfilsafat.
Berpikir nonfilsafati dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.    Berfikir tradisional
b.    Berfrikir ilmiah
                 Berfikir tradisional, yaitu berfikir tanpa mendasarkan pada aturan-aturan berfikir
ilmiah. Artinya berfikir yang hanya mendasarkan pada tradisi atau kebiasaan yang sudah
berlaku sejak nenek moyang, sehingga merupakan warisan lama.
                 Sedangkan yang dimaksud berfikir ilmiah, berfikir yang memakai dasar-dasar /
aturan-aturan pemikiran ilmiah, yang diantaranya:
a.       Metodis
b.      Sistematis
c.       Obyektif
d.      Umum
                 Berfilsafat termasuk dalam berfikir namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir.
Sehingga, tidak semua orang yang berfikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa
semua orang yang berfilsafat itu pasti berfikir. Misalnya, seorang siswa yang berfikir
bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir  Nasional (UAN), maka siswa ini tidaklah
sedang berfilsafat atau berfikir secara filsafat melainkan berfikir biasa yang jawabannya tidak
memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu ada beberapa ciri
berfikir secara filsafat, seperti yang diungkapkan dalam buku metodologi penelitian filsafat,
antara lain adalah:
1.      Metodis
Menggunakan metode, cara, jalan yang lazim digunakan oleh para filsuf dalam proses
berfikir filsafati.
2.      Sistematis
Dalam berfikir, masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam
suatu keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pemikiran yang filosofis.
3.      Koheren
Dalam berfikir unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan satu sama
lain namun juga memuat uraian yang logis.
4.      Rasional
Harus mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar (logis).
5.      Komprehensif
Berfikir secara menyeluruh, artinya melihat objek tidak hanya dari satu sisi / sudut pandang,
melainkan secara multidimensional.
Disinilah perlunya filsafat dan ilmu pengtahuan saling menyapa dan menjenguk.
6.      Radikal
Berfikir secara mendalam, sampai akar yang paling ujung, artinya sampai menyentuh akar
persoalannya, esensinya.
7.      Universal
Muatan kebenarannya sampai tingkat umum universal, mengarah pada pandangan dunia,
mengarah pada realitas hidup dan realitas kehidupan umat manusia secara keseluruhan.

2.2. Bagaimana karakteristik berfikir secara filsafati


     Dan menurut Drs.Suryadi MP pemikiran kefilsafatan memiliki karakter tersendiri, yaitu
menyeluruh, mendasaar, dan spekulatif.hal ini sama dengan pendapat Drs.Suprapto
Wirodiningrat yang menyebut juga pemikiran kefilsafatan mempunyai tiga ciri, yaitu
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Lain halnya Sunoto menyebutkan ciri-cirri berfilsafat,
yaitu deskriptif, kritik, atau analitik, evaluatik atau normatif, speklatif, dan sistematiS.
Menurut Alkhawaritzmi (2009), ada tiga macam karakteristik berfikir secara filsafat, antara
lain:
1.      Menyeluruh
                        Artinya pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya
ditinjau dari satu sudut pandang tertentu.. pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan-
hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, hubungan ilmu dengan moral,
seni dan tujuan hidup.
2.      Mendasar
                        Artinya pemikiran yang dalam sampai pada hasil yang fundamentalis atau
esensial objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai
dan keilmuan. Jadi tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi tembus sampai
ke kedalamannya.
3.      Spekulatif
                        Artinya hasil pemikiran yang dapat dijadikan dasar bagi pemikiran
selanjutnya. Hasil pemikiran selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayaha
pengetahuan nyang baru. Meskipun demikian tidak berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu
meragukan, karena tidak pernah mencapai keselesaian.

2.3. Beberapa Metode Berfikir Filsafat


Para filsuf dikenal telah banyak menyumbangkan metode berfikir filsafati, dalam
proses mencari kebenaran. Mereka mampu menyumbangkan konsepsi pemikiran unntuk
menngungkap misteri kehidupan manusia. Bahkan tidak  hanya manusia yang menjadi objek
pemikiran, tetapi meliputi segala yang ada dan mungkin ada. (tuhan,  alam  semesta,
manusia). Pola pemikiran dalam metode berfikir (berfilsafat) berawal dari titik pangkal dan
dasar kepastian, seperti logika konsepsional dan intuisi, seperti penalaran (induktif) dan
penalaran (deduktif).
Beberpa metode berfikir (berfilsafat) yang telah dirumuskan oleh Dr. Anton
Bakker dalam buku yang berjudul metode-metode filsafat antara lain dijelaskan sebagai
berikut:
1.    Metode Intuitif (Plotinus dan  Henri Bergson)
2.    Metode Skolastik (Thomas Aquinas 1225-1247)
3.    Metode Geometris (Rene Descartes 1596-1650)
4.    Metode Eksperimental (David Hume)
5.    Metode Kritis-Transendental (Immanuel Kant 1724-1804)
6.    Metode Dialektis (G.W.F. Hegel 1770-1831)
7.    Metode Fenomenologis (Edmund Husserl 1859-1938)
     Manusia diciptakan oleh Allah dengan kemampuan yang lebih di banding dengan
makhluk ciptaan Allah yang lain. Misalnya perbedaan manusia dengan hewan, manusia
diberi anugerah berupa akal pikiran yang bisa digunakan untuk bernalar, sedangkan hewan
tidak dianugerahi akal pikiran. Hal itulah yang mengakibatkan derajat manusia lebih tinggi
dibanding dengan makhluk yang lain.
     Kemampuan bernalar pada manusia menyebabkan manusia mampu mengembangakan
ilmu pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-Nya. Sedangkan karena binatang tidak
memiliki nalar, maka binatang tidak bisa mengembangkan pengetahuannya, hanya untuk
kelangsungan hidupnya (survival). Karena setiap orang diberi anugerah berupa kemampuan
untuk bernalar, maka sebenarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk berfikir secara
filsafati. Hanya saja yang membedakan orang yang satu dengan yang lain adalah apakah
orang itu berusaha melakukan kegaiatan berfikir dengan mengunakan penalaran atau tidak.
Misalnya saja orang gila, maka dia tidak bisa menggunakan akalnya untuk berfikir secara
nalar.
                 Contoh lain yang sangat sederhana, misalnya kita menemukan bunga mawar merah
muda di sebuah taman diantara bunga-bunga melati. Jika kita hanya melihat sekilas bunga
mawar tersebut, mungkin hal itu akan menjadi sangat sederhana. Akan tetapi, akan sangat
berbeda jika kita benar-benar mau memikirkannya. Semuanya tak akan tampak mudah dan
sederhana karena akan muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kita yaitu siapa yang
menanam bunga itu dan untuk apa bunga itu ditanam? Padahal diantaranya sudah banyak
sekali bunga melati. Yang kedua, misalnya setelah bunga mawar tersebut dicermati ternyata
warnanya sangat unik, dan bentuknya pun sangat berbeda dengan bunga mawar yang
biasanya. Hal tersebut akan menjadi karakteristik tersendiri bagi bunga mawar tersebut dan
hanya akan bisa dijelaskan oleh ahli botani/tanaman. Ketika kita mengamati dan timbul
pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita, maka berarti kita telah menggunakan penalaran kita.
                 Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik
tertentu dalam menemukan kebenaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik
suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Adapun ciri-ciri penalaran :
a.         Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Maksudnya
penalaran merupakan suatu proses berpikir logis dalam artian kegiatan berpikir menurut suatu
pola tertentu, atau logika tertentu.
b.         Bersifat analitik dari proses berpikirnya. Artinya penalaran merupakan suatu kegiatan
analisis yang mempergunakan logika ilmiah.
                 Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka dapat kita katakan bahwa tidak semua kegiatan
berpikir bersifat logis dan analitik. Atau dapat disimpulkan cara berpikir yang tidak termasuk
penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik.
                 Aristoteles menegaskan bahwa “setiap orang menurut kodratnya memiliki hasrat
ingin tahu” (Melia, 2010). Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar
kebenaran, maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Cara itu
disebut logika. Oleh karena itu berfikir filsafati dapat dialakukan oleh manusia dengan cara
menggunakan logika. Menurut saya, logika adalah jalan pikiran yang masuk akal. Logika
digunakan untuk menarik suatu kesimpulan dari suatu analisis dengan benar. Logika juga
menjadi sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan karena itu
berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak
boleh lebih besar daripada satu.
                 Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang
meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling
kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta.
                 Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas
utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
                 Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut
logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah
arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.
                 Dalam logika Thales (Haris, 2012), air adalah arkhe alam semesta, yang menurut
Aristoteles disimpulkan dari:
-       Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
-       Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
-       Air jugalah uap
-       Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.
                 Sejak saat Thales mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan.
Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran
dalam bidang ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica, yang secara
khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan
dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih
diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme. Selanjutnya muncul
tokoh-tokoh logika modern, kemudian logika berkembang terus menerus hingga sekarang.
                 Metode yang ditempuh agar bisa berfikir secara logis atau berfikir dengan
menggunakan logika adalah dengan dengan cara melakukan anlisa dan sintesa. Analisa
merupakan kegiatan untuk merinci atau memeriksa sesuatu. Dalam kegiatan analisa ini ada
dua hal yang bisa ditmpuh, yaitu: (1) menguji istilah dari segi penggunaannya, bisa
denganmelakukan pengamatan terhadap contoh-contoh penerapan istilah yang dimaksud.
Dalam hal ini seseorang memahami suatu kata atau istilah secara ekstensif. Misalnya
seseorang ingin memahami kata atau istilah “keberanian”. Dari segi ekstensi, dia
mengungkapkan makna kata ini berdasarkan bagaimana kata ini digunakan, sejauh mana kata
“keberanian” menggambarkan realitas tertentu, bagaimana “keberanian” dikomparasikan
dengan sifat atau trait lainnya dari “yang ada”, dan sebagainya. Untuk menjelaskan makna
suatu kata atau istilah, orang tersebut  juga bisa melakukannya dengan mendefinisikan kata
atau istilah itu secara langsung. (2) menyingkapkan makna kata dengan menganalisa sifat-
sifat kata atau istilah tersebut.
                 Sedangkan sintesa merupakan lawan dari analisa. Sintesa ialah mengumpulkan
semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan baru. Dengan
metode sintesa ini akan memungkinkan seorang untuk mengumpulkan semua pengetahuan
yang dapat diperoleh sehingga dapat menyusun suatu pandangan baru terhadap hal-hal yang
diamati.

2.4 AKAL

Pengertian akal menurut para ahli secara lengkap– Akal adalah suatu alat spiritual atau
rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan antara benar dan salah dan kemampuan
untuk menganalisis sesuatu pengalaman yang luas sangat tergantung dan tingkat pendidikan,
formal atau informal, pemilik manusia. Jadi, alasan dapat didefinisikan sebagai peralatan
spiritual manusia yang berfungsi untuk mengingat, menganalisis, menyimpulkan dan menilai
apakah itu benar atau salah.

Tetapi, karena kemampuan manusia untuk menyerap pengalaman dan pendidikan tidak sama.
Maka tidak ada kemampuan di antara orang-orang yang benar-benar sama.

Akal atau dari abhasa Arab “Aql” yang secara harfiah berarti mengikat dan memahami hal-
hal. Alasan lain adalah pemahaman tentang kekuatan pikiran (untuk memahami sesuatu),
kemampuan untuk melihat bagaimana memahami lingkungan, atau dengan kata lain dari
pikiran dan kenangan. Dengan arti, bisa melihat diri mereka dalam kaitannya dengan
lingkungan sekitarnya, juga dapat mengembangkan konsep alam dan keadaan diri kita
sendiri, dan mengambil tindakan untuk menjaga terhadap rasa ketidakpastian yang hidup
adalah penting.

Akal juga bisa berarti cara atau cara melakukan sesuatu, usaha, dan usaha. Akal juga
memiliki konotasi negatif sebagai alat untuk penipuan, penipuan, licik, kelicikan.

Pikiran yang wajar tidak hanya digunakan untuk hanya makan, tidur, dan mereproduksi,
tetapi juga masuk akal untuk mengajukan beberapa pertanyaan dasar tentang asal-usul, sifat
dan masa depan. Kemampuan berpikir mengarah ke kesadaran tentang bagaimana kekal dan
bagaimana kehidupan ini.
BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan

1.      Ciri-ciri berfikir secara filsafat ada delapan, yaitu:

a.       Berfikir secara radikal


b.      Berfikir secara universal
c.       Berfikir secara konseptual
d.      Berfikir secara koheren dan konsisten
e.       Berfikir secara sistematik
f.       Berfikir secara komprehensif
g.      Berfikir secara bebas
h.      Berfikir secara bertanggung jawab

2.      Karakteristik berfikir secara filsafat ada tiga, yaitu:

a.       Menyeluruh
b.      Mendasar
c.       Spekulatif

3. Cara berfikir filsafati adalah dengan menggunakan logika, karena logika dapat menjadi
sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan
menggunkan logika kita juga bisa menarik kesimpulan  dari suatu analisis dengan benar.
4. Akal dapat didefinisikan sebagai peralatan spiritual manusia yang berfungsi untuk mengingat,
menganalisis, menyimpulkan dan menilai apakah itu benar atau salah.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Sudarto, Metodologi penelitian filsafat –Ed. 1-cet 1-(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), hal. 52.

Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia: suatu pengantar/ Surajio; editor, Tarmizi.—
ed. 1, Cet. 1. –Jakarta: Bumi Askara, 2007.

Alkhawaritzmi.(2009). Karakter berpikir filsafat. Artikel Online.


Melalui:http://alkhawaritzmi.wordpress.com/2009/09/13/karakter-berpikir-filsafat/.

Anda mungkin juga menyukai