Anda di halaman 1dari 110

BAB I

Konsep Keluarga dan Konsep Terkait

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan akan mampu menjelaskan
konsep keluarga dan konsep terkait
B. Uraian Materi
a. Konsep Keluarga
a. Definisi Keluarga
Definisi keluarga ada berbagai macam baik oleh disiplin ilimu, profesional dan
kelompok-kelompok yang berbeda pada keluarga. Definisi keluarga menurut beberapa
ahli yang disesuaikan dengan disiplin ilmu yang mereka miliki yaitu :
1) Ahli Biologi, mendefinisikan keluarga sebagai pemenuhan fungsi biologis untuk
pengabdian pada individu/species. Definisi ini menekankan bahwa anggota
keluarga dihubungkan dengan ikatan legal atau hubungan genetik dan tinggal atau
hidup dalam rumah tangga yang sama dengan peran-peran spesifik.
2) Ahli Psikologi, menekankan pada aspek-aspek interpersonal pada keluarga dan
bertanggung jawab terhadap perkembangan kepribadian. Definisi keluarga disini
diperluas untuk menggambarkan perubahan struktural maupun fungsional.
Friedman(1992) mendefinisikan keluarga sebagai “ Dua orang atau lebih yang
bergabung bersama-sama dengan ikatan-ikatan pembagian dan kedekatan
emosional dan yang mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai bagian dari
keluarga".
3) Ahli Ekonomi, mendefinisikan keluarga sebagai unit produktif yang memberikan
kebutuhan-kebutuhan material.
4) Ahli Sosiologi, mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial berinteraksi dengan
masyarakat yang lebih besar/luas.
5) Para ahli lainnya mendefinisikan keluarga dalam hubungannya dengan orang-
orang yang menyusun unit keluarga, tipe hubungan yang paling umum adalah
hubungan keluarga, hubungan perkawinan dan unit keluarga dimana orang
tersebut dilahirkan.
Keluarga merupakan suatu jumlah atau kumpulan yang tersusun atas
sekumpulan unit, individu-individu yang menunjukkan keseluruhan atau keluarga.
Menurut Stuart, 1991 konsep keluarga mempunyai atribut atau kedudukan kritis yaitu:
1) Keluarga merupakan suatu sistem atau unit
2) Anggota keluarga bisa berhubungan atau tidak berhubungan dan bisa tinggal
bersamaatau tidak tinggal bersama.
3) Unit bisa berisi anak-anak maupun tidak berisi anak-anak
4) Komitmen dan kedekatan tetap ada diantara anggota unit dan termasuk obligasi
(kewajiban) dimasa yang akan datang.
5) Fungsi-fungsi pemberian perawatan unit terdiri dari perlindungan, penyediaan
pangan dan sosialisasi anggota unit.
Beberapa definisi keluarga dibawah ini dapat dijadikan sebagai landasan asuhan
keperawatan keluarga :
1) Departemen kesehatan RI (1988)
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap
dalam keadaan saling ketergantungan.
2) Leininger
Keluarga adalah sistem sosial yang dipandang sebagai jaringan kerja dari individu
yang berinteraksi secara reguler dengan orang lain dan menunjukkan adanya saling
ketergantungan dan hubungan dalam mencapai tujuan utama keluarga secara bersama-
sama.
3) Salvacion G Bailon dan Aracelis Maglaya (1989)
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam
suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan didalam perannya masing-masing
menciptakan serta mempertahankan kebudayaan.
4) Torbett
Kelompok dari dua orang atau lebih yang disatukan oleh darah, perkawinan atau
pengangkatan, tinggal dalam rumah secara bersama-sama, yang menciptakan dan
memelihara budaya yang umum serta berinteraksi dengan yang lain melalui peran
keluarga.
5) Duvall
Sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran
yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota.
b. Bentuk Keluarga
Tipe atau bentuk keluarga terdiri dari keluarga tradisional dan non tradisional.
Yang termasuk kedalam keluarga tradisional yaitu keluarga inti dengan satu orangtua
yang bekerja, keluarga inti dengan dua orangtua yang bekerja, keluarga yang terdiri
dari dua orang atau nikah tapi belum mempunyai anak, keluarga orangtua tunggal,
orang dewasa yang tinggal sendiri, keluarga besar dengan tiga generasi, pasangan
tengah baya atau usialanjut dan jaringan kerabat besar seperti keluarga suku Padang.
Sedangkan yang termasukkeluarga non tradisional meliputi keluarga orangtua tidak
menikah dan mempunyai anak,pasangan tidak menikah dan mempunyai anak,
pasangan yang hidup bersama, keluargagay atau lesbian, keluarga yang memperbesar
atau menambah dan keluarga berkelompok seperti keluarga sirkus atau keluarga
ketoprak.
1) Keluarga Inti
Keluarga inti terdiri dari suami, istri dan anak-anak mereka (anak kandung atau
adopsi) yang hidup dalam rumah tangga. Ini merupakan unit reproduksi dalam ikatan
perkawinan yang merupakan kekuatran ikatan utama. Suatu keluarga inti yang
fungsional adalah prototif/bentuk dasar hubungan manusia dan unit dasar dari bentuk
keluarga yang lebih kompleks. Pada beberapa contoh, satu orang tambahan atau lebih
seperti sanak famili, teman, anak angkat yang mungkin tinggal dalam satu rumah
tangga yang sama.
Keluarga inti lebih karakteristik daripada keluarga urban. Keluarga ini sangat
dapat beradaptasi, dengan kemampuan untuk menyesuaikan dan membentuk kembali
strukturnya jika diperlukan. Keluarga inti bebas untuk pindah dimana terdapat
kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
Meskipun keluarga inti secara dominan berada pada institusi legal, terdapat
sejumlah keluarga dengan ikatan hanya afiliasi (tinggal bersama tanpa menikah).
Keluarga initerutama terdiri dari dua orang dewasa, "Pasangan rumah tangga/kumpul
kebo"(Macklin, 1980), tetapi bisa juga termasuk anak-anak, ibu dan ayah hidup
bersama,seringkali dengan anak-anak dari pasangan sebelumnya dan berbagi tanggung
jawab keluarga. Namun unit keluarga kurang stabil dan hubungan cenderung berubah.
Ketidakstabilan pada lingkungan sosial dirumah telah berkaitan dengan
kenakalananak-anak, yang tampak menjadi kaitan dengan sejumlah kumpulan
keluarga (perubahan-perubahan pada anggota dewasa dalam rumah tangga) yang
dialami selama masa kanak-kanak.
2) Keluarga Single-Parent
Keluarga dengan orangtua tunggal bukanlah suatu fenomena baru. Melalui
riwayatnya; kematian karena penyakit, lahir mati dan pergi telah menimbulkan banyak
keluarga dengan orangtua tunggal. Meskipun sering terjadi pernikahan kembali,
namun keluarga dengan orangtua tunggal pada zaman sekarang, telah timbul sebagian
sebagai konsekuensi gerakan khas wanita dimana banyak wanita (dan pria) yang telah
membentuk rumah tangga terpisah karena adanya perceraian, kematian, meninggalkan
keluarga dan perselingkuhan. Selain itu lebih banyak sikap liberal di pengadilan, baik
pria maupun wanita untuk mengadopsi anak, dimana prasyarat tersebut berlaku kaku
seharusnya ada pada ibu dan ayah dalam satu rumah. Suatu angka yang cukup berarti
mengenai keluarga single parent diakibatkan karena ibu tunggal yang ingin
mempunyai anak tetapi memilih untuk tidak mempunyai suami. Ibu-ibu yang tidak
menikah sering memilih untuk memelihara dan membesarkan anak-anak mereka
sendiri. Dengan peningkatan kemandirian psikologis wanita yang menyeluruh dan
peningkatan penerimaan pelanggaran dalam masyarakat, maka lebih banyak wanita
yang tidak menikah dengan sengaja memilih keluarga ibu-anak.
3) Keluarga Binuklear
Istilah keluarga binuklear digunakan untuk mengambarkan situasi yang
memungkinkan orangtua untuk melanjutkan peran orangtua sementara mengakhiri
sebagai unit suami istri (Ahran, 1979). Tingkat kerjasama antara rumah tangga dan
waktu yang anak lewatkan bervariasi. Dalam pemeliharaan gabungan pengadilan
menetapkan orangtua yang bercerai dengan hal-hal dan tanggung jawab yang sama
untuk anak-anaknya. Bentuk keluarga alternatif ini adalah usaha atas perhatian untuk
memandang perceraian sebagai proses pengorganisasian dan penentuan kembali suatu
keluarga daripada perselisihan keluarga.
4) Keluarga Rekonstitusi
Keluarga rekonstitusi, juga menunjukkan sebagai keluarga tiri, yaitu keluarga
dimana salah satu orang 'dewasa yang menikah atau keduanya mempunyai anak dari
perkawinan sebelumnya dan tinggal dalam satu rumah tangga. Istilah keluarga
gabungan atau keluarga campuran, lebih sering menunjukkan keluarga yang terdiri
dari orangtua dan anak-anak yang masing-masing membawa anak tersebut dari
perkawinan sebelumnya. Kebanyakan keluarga rekonstitusi meliputi seorang ibu,
anak-anaknya dan ayah tiri. Namun 50% wanita yang menikah untuk kedua kalinya
yang masih produktif setelah menikah kembali biasanya dalam 24 bulan (Wineberg,
1990).
5) Keluarga Besar
Keluarga besar/extended family adalah satu model gabungan keluarga inti dan
unit yang lebih besar melalui hubungan orangtua-anak. Keluarga ini terdiri dari
keluarga inti ditambah sanak saudara langsung dan sepupu/seketurunan. Yang lebih
sering terdiri dari dua unit tempat tinggal atau lebih yang terdiri dari tiga generasi atau
lebih yang meluas melalui hubungan orangtua-anak (misal : kakek-nenek, orangtua
dan cucu). Keluarga besar dapat digabungkan dengan baik hubungan monogami atau
poligami. Pandangan yang lebih luas menyangkut pertalian diantara sanak famili
seketurunan sebagai satu keluarga besar bukan dalam keluarga inti.
Struktur keluarga besar lebih berfungsi diarea-area dimana tanahnya subur. Sekarang
ini contoh-contoh keluarga besar dapat ditemukan diantara petani-petani yang
berhasil, Amerika asli dan daerah migran. Disini keluarga bertindak sebagai unit
sosial dasar pendidikan dan produktif, yang memberikan pelayanan dan berbagai
sumber. Keluarga besar bisa membentuk kondisi yang sangat miskin dan sangat kaya
supaya mengkondisikan sumber-sumbernya. Keluarga besar mengarahkan usaha
kooperatif untuk tujuan-tujuan umum, pembentukan individu disublimasikan untuk
kesejahteraan usaha dan kelangsungan hidup keluarga. Anak-anak sedari awal
mempelajari hidup untuk menghormati orang yang lebih tua dan nilai ini diperkuat
melalui observasi perilaku orangtua mereka terhadap anggota keluarga yang lebih tua.
6) Keluarga Poligami
Meskipun tidak dilegalkan di Amerika Serikat, kadang-kadang unit perkawinan
dapat diperluas dengan bertambahnya pasangan yang disebut dengan pasangan
poligami. Poligami menunjuk pada lebih dari satu istri (poligay), atau lebih dari satu
suami (poliandri) tetapi ini sangat jarang terjadi. Poligay bisa dibentuk sebagai
"sosoral" dimana istri-istrinya masih bersaudara, bisa juga yang "nonsosoral" yang
tidak mempunyai ikatan persaudaraan.
Bila terdapat keluarga poligami ini, biasanya diberikan status yang lebih tinggi
daripada monogami. Hal ini mungkin terbatas untuk mengatur keluarga atau untuk
orang-orang yang berstatus tinggi dan cenderung dipraktekkan oleh sebagian kecil
penduduk. Hal ini bisa terjadi dimungkinkan karena adanya faktor-faktor ekonomi
dan rasio ienis kelamin yang tidak sama dibeberapa tempat.
7) Keluarga Kommunal
Keluarga kommunal timbul, sebagaimana yang terdapat pada komunitas
sebelumnya, dari kekecewaan terhadap pilihan hidup pada masa sekarang. Meskipun
keluarga kommunal/unum mempunyai keyakinan, praktek dan organisasi yang
berbeda. Dorongan utama untuk pembentukannya telah menjadi ketidakpuasan pada
sistem sosial dan tujuan hidup pada komunitas yang lebih besar dan denga struktur
keluarga inti, terutama yang terdapat dari perspektif ideologi maupun praktis. Yang
relatif tidak umum sekarang, kelompok kommunal yang membagikan kepunyaan dan
barang-barang mereka dan jasa yang diberikan dan dipertukarkan secara kerjasama
tanpa
pertimbangan keuangan. Terdapat kepercayaan yang kuat pada anggota kelompok dan
saling ketergantungan materi. Keduanya memberikan keamanan kolektif untuk
anggota non produktif, memberikan fungsi rumah tangga dan pengasuhan anak, dan
membantu mengatasi masalah isolasi interpersonal atau kesepian.
Tidak seperti keluarga besar tradisional, unit inti pada keluarga kommunal bisa
datang dan pergi semaunya. Tidak ada tali/keturunan darah diantara unit.
Pertalian/ikatan ibu-anak kuat selama masa bayi dan masa kanak-kanak awal, tetapi
banyak orangtua yang bahagia untuk melepaskan anak-anaknya yang besar pada
perawatan orang lain. Meskipun orangtua mempertahankan tanggung jawab utama
untuk kesehatan darn kesejahteraan anak-anak, anak bebas untuk membentuk
hubungan yang dekat dengan orang dewasa dalam kommunal dan didorong untuk
melakukannya.
8) Keluarga Gay/Lesbian
Cara paling umum pada orang-oarang homoseksual mendapatkan anak-anak
adalah melalui legal. Laki-laki gay dan wanita lesbian menikahi pasangannya yang
berjenis kelamin berbeda untuk berbagai macam alasan, termasuk mencintai
pasangannya, menginginkan anak, tekanan keluarga dan teman sebaya, menginginkan
persahabatan dan takut kesepian (Bozett, 1988). Beberapa kaum homoseksual
mungkin tidak menyadari homoseksualitasnya pada saat menikah, sedangkan yang
lainnya mungkin menikah mengharapkan bahwa hubungan heteroseksual akan
meniadakan keinginan homoseksualiatasnya
Perkiraan jumlah anak-anak dari orangtua gay atau lesbian berkisar dari 6
sampai 14 juta (Patterson, 1992). Sementara kebanyakan anak-anak dalam rumah
tangga gay/lesbian adalah anak dari pertka winan legal sebelumnya, terdapat cara lain
dimana kawin homoseksual bisa mendapatkan anak, misalnya mereka mungkin
menjadi orangtua angkat (Rokets dan Actenberg, 1987). Ibu lesbian bisa mengandung
melalui fertilisasi bantuan yang menjadi semakin meningkat (Pies, 1987) atau
pasangan pria gay bisa menjadi orangtua melalui penggunaan ibu pengganti.
Penelitian mempelajari mengenai anak-anak yang diasuh pada rumah tangga ibu
lesbian belum menemukan orientasi seksual ibu menjadi mengganggu (Green dkk,
1986). Pada studi laporan tentang anak-anak dari ayah gay (Bozets, 1988) menemukan
jika anak-anak yang berkisar usianya dari 14 sampai 35 tahun, mempunyai saling
perhatian dan berperasan yang umum dengan ayah mercka mereka yakin
homoseksualitas ayahnya diluar kemauannya, kemudian anak-anak ini lebih menerima
ayahnya sebagai gay. Tetapi jika anak-anak lain yang sedikit mempunyai perkataan
dan perasaan dengan ayahnya, menganggap gay ayahnya sebagai faktor eksternal,
anak-anak ini akan berusaha lebih mengontrol dalam berhubungan dengan kapan,
dimana dan dengan siapa yang mereka lihat bersama dengan ayahnya. Anak-anak
yang lebih kecil yang tinggal dengan ayahnya juga lebih selektif dalam memilih siapa
yang mereka undang. Namun, tidak ada contoh pada anak-anak bagaimana mereka
mengekspresikan kesulitannya dengan ayahnya dalam peran sebagai orangtua,
meskipun beberapa dari anak-anak ini berfikir bahwa homoseksual adalah amoral,
beberapa diantara mereka menganggap ayah mereka sebagai teman, orang
kepercayaan dan penasehat (Bozet, 1988).
Pada perselisihan pemeliharaan anak pada saat homoseksualitas orangtuanya
menjadikan masalah, pengadilan telah menyatakan prihatian bahwa anak-anak
mungkin meniadi gay, bahwa mungkin mereka dianiaya oleh orangtuanya atau teman
orangtuanya, bahwa mereka akan menjadi kurang sehat secara psikologis daripada
anak-anak dari keluarga yang homoseksual dan bahwa mereka bisa mengalami
kesulitan dengan hubungan seksual (Patterson, 1992).
Penyikapan homoseksualitas orangtua pada anak-anak mungkin juga menjadi
prihatin. Telah ditemukan bahwa mereka umumnya yang terbaik untuk dikatakan pada
anak-anak penyingkapan tersebut lebih dipilih sebelum remaja (Patterson, 1992).
Namun terdapat sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum mengatakan
pada anak orangtua seharusnya merasa tenang sebelum menyikapkan gay" nya pada
anaknya, ini seharusnya didiskusikan dengan mereka sebelum mereka mengetahui
atau mencurigainya, penyingkapan seharusnya direncanakan dan seharusnya terjadi
dilingkungan yang tenang dimana tidak mungkin terjadi gangguan, anak-anak
seharusnya diyakinkan bahwa hubungan orangtua dengan mereka tidak akan berubah
dengan adanya penyingkapan ini (Bigner & Bozett, 1990).
Orangtua seharusnya juga siuap terhadap pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukarn oleh anak-anak mereka, "apa yang dimaksud dengan gay itu? "apa yang
membuat seseorang itu menjadi gay?" juga, anak-anak lebih dini diberi informasi,
mereka akan lebih mudah menghadapi informasi ini. Selanjutnya, setelah penyikapan
ini hubungan orangtua-anak mungkin menjadi lebih dekat (Schulenburg, 1985).
Namun meskipun kebanyakan anak-anak menerima, selama kesadaran seksualnya
sendiri pada masa remaja, mereka mungkin sulit menghadapi kenyataan
homoseksualitas orangtua mereka. Selain itu jika orangtua mengembangkan hubungan
pasangan dengan
pasangan yang hidup bersama-sama, anak-anak mungkin mengembangkan kebencian
terhadap pasangan atau mempunyai masalah lain yang seripa dengan keluarga
orangtua tirinya yang heteroseksual (Baptiste, 1987)
Karena untuk keluarga ini lebih umum daripada yang kebanyakan orang-orang
sadari, penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa keluarga homoseksual berbeda
dari keluarga heteroseksual. Lingkungan keluarga lesbian/gay dapat menjadi sesehat
keluarga lain. Perawat perlu mempelajari bagaimana menerima perbedaan-perbedaan
daripada memperlihatkan pasangan homophobia yang dapat mempunyai efek yang
mengganggu pada hubungan keluarga /perawat-anak. Oleh karena itu, lebi
pengetahuan tentang hubungan keluarga anak dan gaya hidup pada hidup perawat
miliki, lebih banyak manfaatnya pada orangtua gay atau lesbian dan anaknya.
c. Tahap dan Tugas Perkembangan Keluarga
Seperti individu-individu yang mempunyai tugas-tugas perkembangan yang
harus mereka capai agar mereka merasa puas selama suatu tahap perkembangan dan
agar mereka mampu beralih ketahap berikutnya dengan berhasil, setiap tahap
perkembangan keluargapun mempunyai tugas-tugas perkembangan yang spesifik.
Tugas-tugas perkembangan keluarga menyertakan tanggung jawab yang harus dicapai
oleh keluarga selama setiap tahap perkembangannya sehingga dapat memenuhi
(1).Kebutuhan biologis keluarga, (2).Imperatif budaya keluarga dan (3).Aspirasi dan
nilai-nilai keluarga (Duvall, 1977).
Bagaimana tugas-tugas perkembangan dalam keluarga berbeda dengan tugas-
tugas perkembangan individu anggota keluarga ? Meskipun dalam kenyataan banyak
tugas-tugas tersebut adalah gabungan, tugas-tugas perkembangan keluarga
dibangkitkan bila keluarga sebagai sebuah unit berupaya memenuhi tuntutan dan
kebutuhan anggota keluarga dan bersamaan dengan itu pula anggota keluarga
berupaya memenuhi tuntutan tuntutan perkembangan mereka secara individual.
Tugas-tugas perkembangan keluarga juga diciptakan oleh tekanan-tekanan komunitas
terhadap keluarga dan anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan
kelompok acuan keluarga dan masyarakat yang lebih luas.
Tantangan nyata bagi keluarga adalah memenuhi setiap kebutuhan anggota
keluarga, dan juga untuk memenuhi fungsi-fungsi keluarga secara umum. Pertautan
kebutuhan-kebutuhan perkembangan individu dan keluarga tidak selalu mungkin
dilakukan. Misalnya, tugas anak usia bermain yang meliputi mengekplorasi
lingkungan seringkali bertentangan dengan tugas seorang ibu memelihara rumah yang
teratur
1) Tahap I: Keluarga Pasangan Baru
Pasangan baru atau keluarga baru adalah suatu keluarga yang dimulai saat
masing-masing individu laki-laki (suami) dan perempuan (istri) membentuk keluarga
melalui perkawinan yang sah dan meninggalkan keluarga masing-masing. Tetapi yang
dimaksud meninggalkan keluarga disini bukanlah secara fisik namun secara
psikologis, karena masih banyak keluarga baru yang tinggal dengan orangtua.
Dua orang yang membentuk keluarga perlu mempersiapkan kehidupan yang
baru, karena keduanya membutuhkan penyesuaian peran dan fungsi sehari-hari.
Masing belajar hidup bersama serta beradaptasi dengan kebiasaan sendiri dan
pasangannya misalnya kebiasaan makan, tidur dan sebagainya.
Keluarga baru ini merupakan anggota dari tiga keluarga yaitu; keluarga suami,
istri serta keluarga sendiri. Masing-masing pasangan menghadapi perpisahan dengan
keluarga orangtuanya dan mulai membina hubungan baru dengan keluarga dan
kelompok sosial pasangan masing-masing. Hal lain yang perlu diputuskan pada tahap
ini adalah kapan waktu yang tepat untuk mendapatkan anak dan jumlah anak yang
diharapkan,
Masalah Kesehatan
Hal utama yang perlu untuk diperhatikan adalah masalah seksual dan perubahan
peran menjadi ibu, pendidikąn perencanaan keluarga dan konseling, pendidikan
prenatal dan konseling serta komunikasi. Ini merupakan bukti bahwa konseling
seharusnya dilakukan menjelang kehamilan. Kurangnya informasi sering
menimbulkan masalah dalam seksual dan emosional, cemas, rasa bersalah, kehamilan
tidak terencana dan penyakit kehamilan yang terjadi sebelum dan sesudah menikah,
Kondisi seperti ini dapat diatasi dengan pembentukan pondasi keluarga yang stabil.
Dan keluarga mengatasi masalah yang mungkin timbul dengan meminta bantuan dari
petugas kesehatan yang berwenang.
Perawat harus bekerjasama dengan keluarga dalam membuat perencanaan.
Kurangnya informasi dapat mengakibatkan perencanaan keluarga tidak efektif.
Banyak masalah kesehatan yang terjadi dalam keluarga yaitu kesakitan dan kematian
ibu-anak, anak terlantar, masalah kesehatan keluarga, masalah perkembangan keluarga
dan gangguan pada keluarga.
Ekonomi dan kebudayan yang melatarbelakangi keluarga juga akan berpengaruh
dalam meningkatkan kesehatan yang dibutuhkan. Adanya kehamilan diusia muda
merupakan problema yang utama karena mereka masih labil dan belum dewasa
Keschatan fisik ibu dan anak menjadi isu utama yang harus diperhatikan. Jarak
kelahiran dan usia merupakan faktor yang paling baik dalam mengurangi angka
kematian dan kesehatan ibu dan anak. Ukuran jarak dan waktu kelahiran yang optimal
dalam keluarga juga menurunkan angka kematian.
Langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah penggunaan
alat kontrasepsi yang telah diprogramkan oleh pemerintah. Namun demikian
penggunaan kontrasepsi ini dibatasi olch agama dan sosial politik dari masing-masing
Bagaimanapun pengontrolan kelahiran dalam suatu keluarga adalah hal yang tidak
etis, karena melanggar inisiatif, integritas dan hak azasi individu.
Tugas Perkembangan
a) Membina hubungan intim yang memuaskan
Terjadinya pergantian peran dasar pada awal pernikahan dari sepasang keluarga
baru,seperti perpindahan dari rumah orangtua ke rumah mereka yang baru.
Berssamaan dengan itu mereka masuk kedalam lingkungan keluarga yang baru
tersebut. Masing-masing keluarga memiliki perbedaan satu sama lain. Satu hal yang
penting dalam masa ini adalah bahwa hubungan harmonis yang terbentuk diharapkan
mampu menjaga keutuhan rumah tangga mereka sehingga tercipta sebuah pernikahan
yang sukses.
b) Membina hubungan dengan keluarga lain, teman dan kelompok social
Setelah selesai perkawinan pasangan baru menjadi tiga anggota keluarga. Tugas
pasangan baru untuk menempatkan diri mereka pada posisi yang sesuai diantara
orangtua, mertua, sepupu, ipar, adik, kakak, teman dan oranglain.
c) Mendiskusikan rencana mempunyai anak
Merencanakan kehamilan dan mempunyai anak pada pasangan baru merupakan
hal yang penting. Bentuk perawatan kehamilan selama periode prenatal berpengaruh
besar terhadap kemampuan keluarga untuk mengatasi secara efektif perubahan yang
menakutkan setelah kelahiran bayi.
2) Tahap II: Keluarga dengan Menanti Kelahiran (Child Bearing)
Tahap kedua dari tugas perkembangan keluarga dimulai dengan kelahiran anak
pertama hingga bayi berusia 30 bulan. Biasanya orangtua tergetar hatinya dengan
kelahiran anak pertamanya. Kekuatiran terhadap bayi biasanya berkurang setelah
beberapa hari, karena ibu dan bayi tersebut mulai saling mengenal. Akan tetapi
kegembiraan yang tidak dibuat-buat ini berakhir ketika seorang ibu baru tiba dirumah
dengan bayinya setelah dari rumah sakit. Ibu dan ayah tiba-tiba berselisih dengan
semua peran-peran mengasyikan yang telah dipercayakan kepada mereka. Peran
tersebut pada mulanya sulit karena perasaan ketidakadekuatan menjadi orangtua baru,
kurangnya bantuan dari keluarga dan teman-teman, nasihat yang menimbulkan konflik
dari keluarga, teman-teman dan para profesional perawat kesehatan yang bersifat
membantu, dan sering terbangun tengah malam oleh bayi-bayi yang berlangsung 3
hingga 4 minggu. Ibu juga letih secara psikologis dan fisiologis. la sering merasakan
beban tugas sebagai ibu rumah tangga dan barangkali juga bekerja, selain merawat
bayi. Khususnya terasa sulit jika ibu menderita sakit atau mengalami persalinan yang
lama dan sulit atau secsio sesaria.
Kedatangan bayi menciptakan perubahan-perubahan bagi setiap anggota
keluarga dan setiap kumpulan hubungan. Orang asing telah masuk kedalam ikatan
keluarga yang erat, dan tiba-tiba keseimbangan keluarga berubah setiap anggota
keluarga memangku peran dan hubungan yang baru. Selain seorang bayi yang baru
saja dilahirkan, seorang ibu, ayah, kakek, nenek juga mempunyai peran baru.
Meskipun kedudukan sebagai orangtua menggambarkan tujuan yang teramat
penting bagi semua pasangan, kebanyakan pasangan menemukannya sebagai
perubahan hidup yang sangat sulit. Penyesuaian diri terhadap perkawinan biasanya
tidak sesulit penyesuaian terhadap menjadi orangtua. Meskipun bagi kebanyakan
orangtua merupakan pengalaman penuh arti dan menyenangkan, kedatangan bayi
membutuhkan perubahan peran yang mendadak. Dua faktor penting yang menambah
kesukaran dalam menerima peran orangtua adalah bahwa kebanyakan orangtua
sekarang tidak disiapkan untuk menjadi orangtua dan banyak sekali mitos berbahaya
dan tidak realistis yang meromantiskan pengesuhan anak didalam masyarakat
(Fulcomer, 1977).
Perubahan-perubahan sosial yang dramatis dalam masyarakat Amerika juga
memiliki pengaruh yang kuat pada orangtua baru. Banyaknya wanita yang bekerja
diluar rumah dan memiliki karier, naiknya angka perceraian dan masalah perkawinan,
penggunaan alat kontrasepsi dan aborsi yang sudah lazim, dan semakin meningkatnya
biaya perawatan dan memiliki anak merupakan faktor-faktor yang menyulitkan tahap
awal siklus kehidupan pengasuhan anak (Bradt, 1988, Miller dan Myers-Walls, 1983).
Kelahiran anak pertama merupakan pengalaman keluarga yang sangat penting
dan sering merupakan krisis keluarga, sebagaimana yang digambarkan secara
konsisten pada penelitian keluarga selama tahap siklus kehidupan keluarga ini Clark,
1966). Untuk mengetahui bagaimana anak yang baru lahir mempengaruhi keluarga,
LeMaster (1957) dalam studi klasik tentang penyesuaian keluarga terhadap kelahiran
anak pertama, mewancarai 46 orangtua dari kalangan menengah dikota (berusia 25-35
tahun) dan memperkirakan sejauh mana mereka dalam keadaan krisis. Ia menemukan
bahwa 17% pasangan tidak mengalami masalah atau hanya masalah-masalah sedang,
tapi sisanya mengalami masalah berat. Masalah-masalah yang paling lazim dilaporkan
adalah :
a) Suami merasa diabaikan (ini paling sering disebutkan oleh suami)
b) Terdapat peningkatan perselisihan dan argumen antara suami dan istri.
c) Interupsi dalam jadwal yang kontinu (begitu lelah sepanjang waktu, merupakan
sebuah komentar khas).
d) Kehidupan seksual dan sosial terganggu.
Akan tetapi, studi-studi belakangan ini (Hobbs dan Cole, 1976) tidak
menemukan pasangan yang melaporkan krisis ekstensif sebanyak yang dilaporkan
oleh LeMaster. Studi-studi tentang 'keluarga dalam krisis' menyatakan bahwa
keluarga-keluarga mempunyai pemikiran yang salah dan idealis tentang menjadi
orangtua sebelum kelahiran anak pertama dan kepuasan perkawinan menurun secara
tajam dan lahirnya anak pertama (Miller dan Sollie, 1980).
Clark, 1966 melakukan sebuah studi tentang keluarga setelah kelahiran seorang
baru mengatakan kesulitan dalam penyesuaian diri menjadi orangtua dan kebutuhan
yang penting setelah kelahiran terhadap kesinambungan pelayanan keperawatan
dirumah dan diklinik.
Sebuah studi penting lain menyangkut transisi pasangan menjadi orangtua
dilakukan oleh Larossa (1981) para peneliti ini mengkonseptualisasikan proses transisi
seperti yang dijelaskan dengan baik oleh model konflik, dimana terbatasnya waktu
luang, konflik kepentingan diantara orangtua, legitimasi terhadap penentuan masalah-
masalah persalinan menyebabkan konflik antara kedua orangtua.
Masalah Kesehatan
Masalah-masalah utama keluarga dalam tahap ini adalah pendidikan maternitas
yang terpusat pada keluarga, perawatan bayi yang baik, pengenalan dan penanganan
masalah-masalah kesehatan fisik secara dini, imunisasi, konseling perkembangan
anak, keluarga berencana, interaksi keluarga dan bidang-bidang peningkatan
kesehatan umum (gaya hidup). Masalah-masalah kesehatan lain selama periode dari
kehidupan keluarga ini adalah inaksesibilitas dan ketidakadekuatan fasilitas-fasilitas
perawatan anak untuk ibu yangbekerja, hubungan anak-orangtua, masalah-masalah
mengasuh anak termasuk penyalahgunaan dan kelalaian terhadap anak dan masalah-
masalah transisi peran orangtua.
Tugas Perkembangan
a) Membentuk keluarga muda sebagai sebuah unit yang mantap.(mengintegrasikan
bayi baru kedalam keluarga).
b) Rekonsiliasi tugas-tugas perkembangan yang bertentangan dan kebutuhan anggota
keluarga.
c) Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan.
d) Memperluas persahabatan dengan keluarga besar dengan menambahkan peran-
peran orangtua dan kakek nenek.
Kelahiran seorang anak membuat perubahan-perubahan yang radikal dalam
organisasi keluarga. Fungsi-fungsi pasangan suami istri harus dibedakan untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan baru perawatan dan pengasuhan. Sementara pemenuhan
tanggung jawab ini bervariasi menurut posisi soaial budaya suami istri, sebuah pola
yang umum adalah untuk orang tua agar menerima peran-peran tradisional atau
pembagian tanggung jawab (La Rossa, 1981).
Peran paling penting bagi perawat keluarga bila bekerja dengan keluarga yang
mengasuh anak adalah mengkaji peran sebagai orangtua, bagaimana kedua orangtua
berinteraksi dengan bayi baru dan merawatnya, dan bagaimana respon bayi tersebut
Klaus dan Kendall (1976),Rubbin (1967) dan yang laimya menguji dampak penting
dari sentuhan dan kehangatan awal setelah melahirkan, hubungan positif antara
orangtua-anak pada hubungan dimasa datang. Sikap orangtua tentang mereka sendiri
sebgai orangtua, sikap mereka terhadap bayi mereka, karakteristik komunikasi
orangtua dan stimulasi bayi (Davis, 1978) adalah bidang-bidang terkait yang perlu
dikaji.
Ibu dan ayah menumbuhkan dan mengembangkan peran orangtua mereka dalam
berespon terhadap tuntutan-tuntutan yang berubah terus menerus dan tugas-tugas
perkembangan dari orang muda yang terus tumbuh, keluarga secara keseluruhan, dan
mereka sendiri. Menurut Friedman (1957), orangtua melewati lima tahap
perkembangan secara berturut-turut. Dua tahap pertama meliputi fase kehidupan
keluarga ini. Pertama, selama masa bayi, orangtua mempelajari arti dari isyarat-isyarat
yang diekspresikan oleh bayi untuk mengutarakan kebutuhan-kebutuhannya. Dengan
setiap anak lahir berturut-turut, orangtua akan mengalami tahap yang sama sehingga
mereka menyesuaikan dengan setiap isyarat-isyarat unik bayi.
Tahap kedua dari perkembangan orangtua adalah belajar untuk menerima
pertumbuhan dan perkembangan anak yang terjadi dalam masa usia bermain,
khususnya orangtua yang baru memiliki anak pertama, membutuhkan bimbingan dan
dukungan. Orangtua perlu memahami tugas-tugas yang harus dikuasai oleh anak dan
kebutuhan anak atas keselamatan, keterbatasan dan toilet training. Mereka perlu
memahami konsep kesiapan perkembangan, konsep tentang 'saat yang tepat untuk
mengajar’ Pada saat yang sama pula orangtua perlu bimbingan dalam memahami
tugas-tugas yang harus mereka kuasai selama tahap ini.
Pola-pola komunikasi perkawinan yang baru berkembang dengan lahimya anak
dimana pasanmgan berhubungan satu sama lain baik sebagai suami istri maupun
sebagai orangtua. Pola transaksi suami istri terbukti telah berubah secara drastis.
Pembentukan kembali pola-pola komunikasi yang memuaskan termasuk masalah dan
perasaan pribadi perkawinan dan orangtua adalah sangat penting. Pasangan harus
terus memenuhi setiap kebutuhan-kebutuhan psikologis dan seksual dan juga berbagi
dan berinteraksi satu sama lain dalam hal tanggung jawab sebagai orangtua.
Konseling keluarza berencana biasanya berlangsung sat pemerksaan setclah post
partum 6 minggu Orangtua kemudian harus didorong secara terbuka untuk
mendiskusikan jarak kelahiran dan pemecahan. Mengingat meningkatnya tuntutan
tuntutan keluarga dan pribadi yang dibawakan oleh bayi, orangtua perlu menyadari
bahwa kehamilan dengan jarak rapat dan sering dapat berbahaya bagi ibu, ayah,
saudara bayi dan unit keluarga.
Meskipun pentingnya memiliki jaringan sosial atau sistem pendukung sosial
untuk mencapai kepuasan dan perasaan positif tentang kehidupan keluarga, keluarga
muda perlu mengetahui kapan mereka butuh bantuan dan dari siapa mereka harus
menerima bantuan tersebut dan juga kapan mereka harus menggantungkan diri pada
sumber-sumber dan kekuatan mereka sendiri (Duvall, 1977).
Hubungan perkawinan yang kokoh dan bergairah sangat penting bagi stabilitas
dan moral keluarga. Hubungan suami istri yang memuaskan akan memberikan
pasangan dengan kekuatan dan tenaga bagi bayi dan satu sama lain. Tuntutan dan
tekanan yang bertentangan, seperti antara loyalitas ibu terhadap bayi dan terhadap
suami, merupakan persoalan dan dapat menyiksa. Tipe konflik semacam ini dapat
menjadi sumber sentral ketidakbahagiaan selama tahap silklus ini.
3) Tahap III : Keluarga dengan anak usia Prasekolah
Periode prasekolah (usia 2,5-5 tahun), pada fase ini pertumbuhan fisik berjalan
lambat namun daya kontrol tubuh meningkat pesat. Pada fase ini tingkat sosialisasi
anak tinggi, mereka mulai mengenal saudara, tetangga dan teman-teman mereka.
Tahap perkembangan yang terjadi pada anak usia prasekolah adalah
perkembangan fisik, kognitif, psikososial, moral, seksual dan spiritual. Untuk
mengoptimalkan perkembangan tersebut dibutuhkan nutrisi, tidur dan aktivitas yang
cukup serta pencegahan kecelakaan. Perkembangan anak usia prasekolah akan optimal
bila mendapatkan perawatan dan asuhan yang baik dari keluarga. Pada teori ini
perkembangan keluarga siklus tersebut masuk dalam tahap ketiga.
Tahap ketiga siklus kehidupan keluarga dimulai ketika anak pertama berusia 2,5
tahun dan berakhir ketika anak berusia 5 tahun. Sekarang keluarga bisa terdiri dari
tiga sampai lima orang, dengan posisi (peran) suami-ayah, istri-ibu, anak laki-laki-
saudara, anak perempuan-saudari. Keluarga ini menjadi lebih kompleks dan beda
(Duval & Miller, 1985).
Anak pra sekolah mempunyai banyak hal untuk belajar pada tahap ini, terutama
dalam hal kemandirian. Mereka harus cukup dalam mencapai otonomi dan mampu
memenuhi kebutuhan sendiri tanpa campur tangan orangtua dimanapun mereka
berada. Pengalaman dikelompok bermain, taman kanak-kanak, pusat perawatan
sehari, atau program-program serupa merupakan suatu cara yang baik untuk mendidik
terhadap perkembangan anak. Program-program pra sekolah yang terstruktur sangat
bermanfaat
dalam membantu orangtua dengan anak usia pra sekolah yang berasal dari dalam kota
dan berpendapatan rendah. Meskipun banyak penelitian telah menunjukkan manfaat
terhadap perawatan anak berkualitas dan program-program pra sekolah seperti head
start, namun bagi keluarga miskin sulit untuk memasuki program-program tersebut.
Memperoleh penyelenggaraan perawatan anak yang adekuat merupakan suatu
perhatian yang utama bagi para orangtua (Kelleher, 1996). Kehidupan keluarga pada
tahap ini penting dan banyak menuntut peran orangtua. Bagi kedua orangtua yang
bekerja, maka akan banyak menggunakan waktu mereka. Untuk itulah orangtua
diharapkan dapat merancang dan mengarahkan perkembangan keluarganya.
Bagi keluarga dengan orangtua tunggal (single parent), ketegangan yang timbul
dan peran mengasuh anak untuk anak usia pra sekolah, ditambah lagi dengan peran-
peran lain adalah besar pengaruhnya. Pusat-pusat perawatan sehari bagi anak usia pra
sekolah adalah hal yang selayaknya didapat dan kualitas yang baik akan sulit jika
tidak
dilokasikan dimasyarakat. Ibu-ibu yang berkarier dan ibu-ibu yang masih remaja
secara khusus memerlukan fasilitas-fasilitas dan program-program perawatan anak
yang lebilh baik (Adams & Adams, 1990).
Masalah Kesehatan
Kemungkinan masalah kesehatan pada anak usia pra sekolah berupa : Masalah
kesehatan fisik, penyakit-penyakit menular, jatuh, luka bakar, keracunan dan
kecelakaan-kecelakaan lainnya. Masalah kesehatan psikososial keluarga, hubungan
perkawinan sering mengalami guncangan karena ikatan perkawinan yang lemah atau
tidak memuaskan, persaingan antara kakak-adik (sibling rivalry), kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangan, masalah pengasuhan anak yang ihembatasi gerak
lingkungannya, penganiayaan dan penelantaran anak, keamanan dan masalah-masalah
komunikasi dalam keluarga.
Tugas Perkembangan
Tahap ketiga siklus kehidupan keluarga ini dengan dua orangtua, dan tugas-
tugas perkembangan keluarga yang menyertainya :
a) Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti rumah, ruang bermain, privasi dan
rasa aman
Usia pra sekolah masanya untuk mengeksplorasi dunia sekitarnya. Diharapkarn
orangtua mampu memenuhi privasi dan suasana ruang rumah yang adekuat. Pada
tahap ini kecelakaan menjadi penyebab utama kematian dan cacat. Usahakan
pertalatan dan fasilitas-fasilitas bersifat melindungi anak-anak. Mengkaji rumah dan
lingkungan merupakan hal yang penting dilakukan oleh perawat kesehatan keluarga,
serta penyuluhan kesehatan amat diperlukan sehingga orangtua dapat mengetahui
resiko yang terjadi dan cara-cara mencegah kecelakaan.
b) Membantu anak untuk bersosialisasi
Mensosialisasikan anak pra sekolah dalam mengembangkan sikap diri yang
kritis dan secara cepat belajar mengekspresikan dirinya sendiri.
c) Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan anak yang lain
juga terpenuhi.
Tugas yang lain selama periode ini adalah mengintegrasikan anggota keluarga
baru (lahirnya seorang bayi) yang dapat menjadi peristiwa traumatis. Persiapan
terhadap datangnya anggota baru dapat menimbulkan sibling rivalry. Usaha yang
dapat dilakukan adalah orangtua dapat meluangkan waktu setiap hari untuk
berhubungan lebih erat dengan anak yang lebih tua agar meyakinkan bahwa ia masih
dicintai dan dikehendaki.
d) Mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga (hubungan perkawinan
dan hubungan orangtua-anak), serta hubungan diluar keluarga (keluarga besar dan
masyarakat).
Keterlibatan ayah dalam perawatan tahap ini sangat penting, karena dapat
mengidentifikasikan jenis kelaminnya. Hubungan dekat dengan ayah yang kuat dan
hangat sehingga identitas peran maskulin dapat ditegakkan.
e) Pembagian waktu untuk individu, pasangan dan anak.
Kehidupan keluarga pada tahap ini sangat sibuk, anak sangat tergantung pada
orangtua. Kedua orangtua harus mengatur waktu sedemikian rupa dan komunikasi
dalam keluarga selalu berkesinambungan sehingga kebutuhan anak, suami, istri
danpekerjaan dapat terpenuhi.
f) Pembagian tanggungjawab anggota keluarga.
Demonstrasikan negosiasi terhadap masalah-masalah dalam keluarga. Bersikap
saling menghormati dan menghargai dengan cara menguatkan hubungan kerjasama
antar anggota keluarga.
g) Kegiatan dan waktu untuk stimulasi tumbuh dan kembang anak.
Tahapan ini anak usia pra sekolah lebih matang mulai mengambil lebih banyak
tanggung jawab untuk perawatan dirinya sendiri. Bahkan sudah dapat membantu
orangtua dalam hal pekerjaan rumah, walaupun bukan produktivitasnya tetapi yang
penting adalah proses pembelajaran yang terjadi.
Tujuan utama perawat yang bekerja pada keluarga dengan usia pra sekolah
adalah membantu membentuk gaya hidup yang sehat dan memfasilitasi pertumbuhan
fisik, intelektual, emosional dan sosial yang optimal (Wilson, 1988). Promosi
kesehatan sangat diperlukan pada tahapan ini, karena dapat mempengaruhi perilaku
dan gaya hidup. Pendidikan kesehatan keluarga diarahkan pada pencegahan masalah-
masalah kesehatan umum seperti merokok, penyalahgunaan obat-obatan alkohol,
seksualitas, keselamatan, diet dan nutrisi, olahraga, penanganan stress, serta dukungan
sosial, Hal ini penting diberikan mengingat perkembangan dan kemajuan yang sudah
sangat mengglobal, sehingga dapat dengan mudah mempengaruhi perkembangan
anak.
4) Tahap IV: Keluarga dengan anak usia Sekolah
Kategori golongan anak usia sekolah ada perbedaan menurut beberapa ahli
diantaranya Sigmund Freud dengan teori psikoseksual menyatakan bahwa anak usia
sekolah dikatakan sebagai periode laten yaitu usia 6-12 tahun. Sedangkan menurut
teori psikososial dari Erik Erickson, usia sekolah yaitu 6-11 tahun yang disebut
sebagai periode industry vs inferiority. Menurut Smith dan Maurer, usia sekolah
adalah 5-12 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak usia sekolah (Stanhope, 1992) :
a) Peran dalam kelompok
Anak usia sekolah perannya sangat penting dalam kelompok dimana dapat
membuat anak mencoba ketrampilan-ketrampilan baru, mendapatkan pemikiran,
perasaan danyang baru serta mendapat dukungan dan penerimaan sebagai manusia
yang unik, sebaliknya kelompok dapat menjadikan atau memberikan tuntutan dan
tekanan sehingga anak merasa tidak nyaman bahkan menjadi harga diri rendah.
b) Peran dalam keluarga
Anak menganggap orangtua sebagai manusia yang mempunyai otoritas
sepenuhnya walaupun ada konflik dengan orangtua tetap butuh dukungan dan kasih
sayang orangtua. Bimbingan orangtua dan sharing dibutuhkan oleh anak.
c) Kondisi fisik yang sehat
Status kesehatan dan nutrisi mempengaruhi anak untuk tumbuh dan
berkembang. Kekurangan nutrisi dan masalah kesehatan lainnya dapat mempengaruhi
kesehatan anak serta persepsi anak terhadap dirinya sendiri. Fungsi-fungsi tubuh yang
terganggu menyebabkan anak sulit mencapai tugas perkembangan tertentu yang
komplek.
Keluarga dengan anak usia sekolah adalah dimulai sejak keluarga tersebut
memiliki anak pertama berusia enam tahun dan mulai masuk sekolah dasar dan
berakhir pada usia 13 tahun, yaitu awal masa remaja (Friedman, 1998). Para keluarga
biasanya mencapai jumlah maksimum anggota keluarga dan hubungan kekeluargaan
berakhir pada tahap ini (Duvall dan Miller, 1985). Masa ini merupakan tahun-tahun
yang penuh kesibukan. Anak-anak memiliki kegiatan dan minat sendiri, selain
kegiatan wajib dalam kehidupan dan sekolah mereka serta kegiatan orangtua sendiri.
Setiap orang mengerjakan tugas perkembangan sendiri, persis seperti keluarga
mencoba memenuhi tugas-tugasnya. Orangtua menghadapi perjuangan berat berupa
tuntutan kembar yaitu menemukan pemenuhan dalam membesarkan generasi
berikutnya (tugas pengembangan generativitas) dan menaruh perhatian pada
pertumbuhan mereka sendiri, sedangkan anak-anak usia sekolah menangani
pengembangan sifat rajin, kemampuan untuk menikmati pekerjaan dan berusaha
menghilangkan rasa rendah diri.
Masalah Kesehatan
Menurut Stanhope, penyebab angka kesakitan dan kematian anak usia sekolah
yaitu:
a) Kecelakaan dan injuri
Penyebab utama kecelakaan pada anak usia sekolah adalah kecelakaan
kendaraan bermotor, 'skate board' dan sepeda. Penyebab kecelakaan ini perlu
mendapat perhatian perawat komunitas melalui pendidikan/edukasi untuk pencegahan,
misalnya diskusi keselamatan bersepeda dengan anak usia sekolah, melibatkan
orangtua-keluarga, anak dan masyarakat.
b) Kanker
Anak usia 1-14 tahun sering terkena kanker terutama leukemia. Tindakan
keperawatan yang dilakukan adalah screening atau pemeriksaan diri melalui riwayat
kesehatan dan pemeriksaan fisik.
c) Bunuh diri
Anak yang bunuh diri biasanya pada lingkungan social yang buruk dan
mempunyai masalah di keluarga dan mempunyai masalah psikiatri. Di masyarakat
perlu dibentuk pusat penanggulangan krisis dan hotline yang memberi bantuan
konsultasi.
d) HIV-AIDS
Biasanya terjadi diatas usia 15 tahun keatas sekitar 70%. Hal ini disebabkan
anak memasuki awal måsa remaja dimana pergaulan sudah lebih terbuka dan bebas
dengan sebayanya.
Tugas Perkembangan
Menurut Spradley, tugas perkembangan keluarga dengan anak usia sekolah ada
lima meliputi, menyediakan aktivitas untuk anak, pembiayaan rumah tangga yang
meningkat, kerjasama untuk penyelesaian kerja, memperhatikan kepuasan anggota
keluarga dan pasangan, serta memperbaiki system komunikasi keluarga.
Sedangkan menurut Friedman, 1998 tugas perkembangan antara lain :
a) Mensosialisasikan anak termasuk meningkatkan prestasi sekolah dan memupuk
hubungan sebaya yang sehat pada anak-anak, dengan cara :
(1) Anak diberi motivasi untuk belajar agar memperoleh prestasi tinggi, jika
diperlukan berikan hadiah atau pujian terhadap hasil yang diperoleh anak.
(2) Memperhatikan kebutuhan social anak yang meningkat pada fase ini dengan
membiarkan anak berinteraksi lebih banyak dengan teman sebaya tanpa
melupakan pengawasan terhadap kebutuhan dan ancaman-ancaman yang
mungkin
b) Memelihara hubungan perkawinan yang memuaskan, dilakukan dengan cara :
(1) Meningkatkan komunikasi yang terbuka dan mendukung hubungan suami-
istri, antara suami dan istri saling membicarakan hal-hal yang dapat menjaga
hubungan perkawinan mereka sehingga tidak terjadi salah paham diantara
mereka.
(2) Rekreasi hanya berdua tanpa mengikutsertakan anak atau pergi kesuatu
tempat seperti makan malam hanya berdua.
c) Memenuhi kebutuhan kesehatan fisik anggota keluarga dengan:
(1) Mengajarkan dan membiasakan cara hidup sehat dengan memberikan
makanan bergizi dan kebutuhan olahraga.
(2) Memberikan tempat istirahat yang nyaman. Hal ini berhubungan dengan
kondisi rumah dan taman di sekitar rumah.
5) Tahap V: Keluarga dengan anak usia Remaja
Pada tahap ini tugas perkembangan keluarga adalah mengimbangi kebebasan
dengan tanggung jawab sejalan dengan maturitas remaja, memfokuskan kembali
hubungan perkawinan, mempertahankan komunikasi terbuka antara orantua dan anak
(Duvall dan Miller, 1985).Apabila keluarga tidak berhasil menjalankan tugas
perkembangan pada tahap ini, kemungkinan besar akan timbul masalah-masalah
kesehatan pada remaja seperti kecelakaan, penyelahgunaan obat, kehamilan diluar
perkawinan, aborsi, AIDS, dll. Masalah-masalah tersebut seringkali dialami oleh
remaja, yang sebenarnya dapat dicegah melalui intervensi dari keluarga sedini
mungkin. Pencegahan dapat dilakukan apabila keluarga memiliki pengetahuan dan
memahami faktor-faktor sbb, yaitu : karakteristik remaja, tugas-tugas pertumbuhan
dan perkembangan remaja, permasalahan yang mungkin timbul pada remaja, cara,
menanggulangi permasalah tersebut, serta bagaimana dan kemana merujuk remaja-
remaja yang bermasalah. Kehadiran perawat keluarga sangat dibutuhkan oleh keluarga
pada tahapan ini untuk membantu mengantisipasi timbulnya permasalahan pada
keluarga dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada pada remaja.
Tahapan keluarga dengan remaja diawali pada saat anak pertama berusia 13
tahun, tahapan ini akan berlangsung lebih kurang 6-7 tahun, sampai anak berusia 19-
20 tahun. Pada saat ini diharapkan keluarga dapat mencapai tujuan tumbuh kembang
keluarga yang diharapkan yaitu perlahan-lahan melepaskan ikatan (pengaruh)
keluarga terhadap anak dan memberikan tanggung jawab dan kebebasan yang lebih
besar kepada remaja untuk persiapan diri mereka menjadi manusia dewasa muda
(Duvall dan Miller, 1985).
Tahapan keluarga dengan remaja disebut sebagai tahapan yang paling sulit
dalam siklus pertumbuhan dan perkembangan keluarga, sehingga paling banyak
dibahas dan didiskusikan (Kidwell, et.al, 1983). Pada masa ini keluarga dihadapkan
pada tugas-tugas perkembangan keluarga yang berat, baik untuk orangtua maupun
untuk remaja itu sendiri sehingga sering timbul konflik-konflik yang tidak dapat
dihindari diantara orangtua dan remaja.
Tantangan utama yang dihadapi oleh keluarga adalah bagaimana menghargai
hak otonomi dan kebebasan yang dituntut oleh remaja (Goldenberg dan Goldenberg,
1996). Orangtua tidak dapat lagi mepertahankan kekuasaan dan pengaruh yang
kompleks terhadap remaja sehingga banyak peraturan yang harus dimodifikasi oleh
keluarga, dengan tanpa mengabaikan nilai dan norma yang ada dalam keluarga itu
sendiri maupun masyarakat.
Bagi seorang perawat keluarga, tantangan utama yang dihadapi pada saat
bekerja dengan keluarga dengan remaja adalah mengakui bahwa remaja itu telah
mengalami perubahan fisik dan psikis kearah yang lebih matang, perkembangan
kognitif, pembentukan identitas diri, tanpa meninggalkan asumsi bahwa perubahan-
perubahan diatas dapat mengakibatkan konflik dan krisis bagi remaja itu sendiri.
Sebagian orangtua beranggapan memahami remaja adalah suatu tugas yang sulit.
Padahal pada masa ini seharusnya orangtua dapat berperan sebagai fasilitator bagi
remaja pada saat mereka mengalami perubahan baik fisik maupun psikis.
Duvall, 1977 mengidentifikasi tugas perkembangan kritis pada periode ini yaitu
mengimbangi kebebasan dengan tanggung jawab sejalan dengan maturitas remaja.
Friedman, 1957 juga menyebutkan bahwa tugas orangtua pada tahap ini adalah belajar
untuk menerima penolakan remaja tanpa melabel (mencap) remaja itu sendiri sebagai
pembangkang atau anak bandel.
Pada saat orangtua menerima remaja apa adanya dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki, saat itu orangtua juga diharapkan dapat menerima perannya
dan berhubungan dengan tugas perkembangan remaja tanpa menimbulkan konfik.
Dengan demikian orangtua dapat membangun pola hubungan yang lebih "smooth"
dengan remaja. Tetapi hal diatas juga dipengaruhi oleh kesuksesan orangtua dalam
menuntaskan tugas perkembangannya sendiri. Dengan kata lain orangtua mampu
membina hubungan lebih baik dengan remaja, apabila orangtua itu sendiri telah
mampu mengontrol kehidupannya, telah mencapai kepuasan dalam kehidupannya
(karir, pekejan) selhingga fungsi keluarga dapat berjalan dengan baik.
Schultz, 1972 dan Elkind, 1994 menyebutkan bahwa semakin komplek
permasalahan kehidupan yang dihadapi orangtua seperti ancaman PIIK, meningkatnya
biaya hidup, dapat menyebabkan peranan orangtua menjadi tidak jelas karena
orangtua menjadı ikut berkompetisi dalam tantangan-tantangan sosial yang ada di
masyarakat. Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah adanya spesialisasi dalam
pekerjaan dan profesi sehingga perhatian orangtua lebih banyak tercurah kepada
pekerjaan dan karir daripada perhatian terhadap anak remaja.
Permasalahan lain yang dihadapi orangtua adalah kediaman yang berpindah atau
tempat tinggal orangtua dan remaja berbeda, misalnya karena berbagai penyebab
remaja tinggal dan bersekolah ditempat yang berbeda dengan orangtua, hal ini dapat
menyebabkan tidak adekuatnya komunikasi antara orangtua dan remaja apalagi jika
remaja tidak mempunyai orang lain yang dapat dipercaya untuk membicarakan
permasalahannya. Kesempatan bagi orangtua dan remaja untuk mendiskusikan
masalah-masalah pribadi,seksual, penyalahgunaan obat juga menjadi tidak adekuai
apabila orangtua tidak dapat bertindak adil atau sering menghakimi remaja pada saat
mendiskusikan masalah-masalah tersebut. Orangtua sebaliknya dapat menerima
perbedaan pendapat dengan remaja sehingga dapat mempersempit jarak (gap) antara
orangtua dan remaja.
Masalah Kesehatan
Pada tahap ini biasanya kondisi kesehatan anggota keluarga berada pada kondisi
yang optimal tetapi usaha-usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat
kesehatan harus tetap dilakukan. Faktor-faktor resiko yang mungkin terjadi
seharusnya diidentifikasi dan didiskusikan oleh keluarga misalnya untuk orangtua
kemungkinan sudah ada resiko timbulnya penyakit jantung koroner karena telah
mencapai usia 35-40 tahun. Bagi remaja sendiri masalah-masalah kesehatan yang
mungkin timbul adalah kecelakaan terutama kecelakan akibat berkendaran dijalan
raya, patah tulang yang mungkin disebabkan akibat kecelakaan saat berolahraga.
Penyalahgunaan obat, kehamilan yang tidak diharapkan, aborsi, AIDS adalah masalał-
masalah kesehatan yang juga sering timbul pada remaja.
Perawatan keluarga diharapkan dapat bekerja sama dengan keluarga, yaitu
mendiskusikan permasalahan-permasalahan diatas kepada keluarga. Kecenderungan
(trend) yang saat ini terjadi pada remaja adalah mengunjungi fasilitas pelayanan
kesehatan untuk mendapatkan pelayanan seperti tes kehamilan, akibat-akibat
penyalahgunaan obat, skrining AIDS, penggunaan kontrasepsi, aborsi, tetapi hal-hal
diatas dilakukan tanpa sepengetahuan dan izin (informed consent) dari orangtua.
Keterlibatan orangtua dapat dilakukan dengan cara melakukan wawancara terpisah
dengan orangtua dan remaja. Wawancara yang dilakukan oleh perawat keluarga
bertujuan untuk mengkaji keluarga secara komprehensif sehingga ditemukan masalah-
masalah yang ada pada keluarga yang akan menjiadi dasar bagi perawat untuk
membuat perencanaan tindakan dan tujuan keperawatan pada keluarga.
Pendidikan kesehatan terhadap remaja adalah salah satu tindakan keperawatan
yang tepat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada remaja. Sebagai
contoh kehamilan yang tidak diharapkan pada remaja yang akhir-akhir ini cenderung
meningkat seharusnya dapat dicegah bila remaja mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang pertumbuhan dan perkembangan remaja, kesehatan reproduksi, keluarga
berencana. Perawat keluarga juga diharapkan mampu merujuk kepada sarana
pelayanan kesehatan serta sumber-sumber yang ada dimasyarakat, seperti puskesmas,
rumah sakit, tokoh masyarakat, tokoh agama, karang taruna dalam menyelesaikan
permasalahan remaja. Support dan bantuan dari perawat juga dibutuhkan oleh
keluarga terutama orangtua dalam memperkuat hubungan perkawinan dan hubungan
remaja dengan orangtua. Dukungan langsung tersebut dapat berupa konseling
keluarga, kunjungan ke keluarga untuk pembinaan yang manfaatnya dapat dirasakan
langsung oleh keluarga.
Tugas Perkembangan
a) Mengimbangi kebebasan remaja dengan tanggung jawab sejalan dengan maturitas
remaja.
Merupakan tugas yang pertama dan utama dapat meningkatkan hak remaja
untuk mengatur dirinya sendiri. Orangtua harus secara progresif merubah hubungan
dengan anak remaja baik laki-laki maupun perempuan, dari hubungan yang bersifat
ketergantungan anak pada orangtua menjadi hubungan yang bersifat peningkatan
kemandirian pada remaja. Agar keluarga dapat beradaptasi dan melewati tahap ini
dengan sukses maka anggota keluarga khususnya orangtua harus membuat perubahan
sistem yang besar yang dapat menerapkan peran dan norma baru pada keluarga untuk
dapat melepaskan remaja untuk menjadi manusia dewasa muda.
Orangtua yang berprinsip bahwa remaja adalah anak yang selalu berada dalam
perlindungan dan pengawasan mereka, sering menemukan pertentangan dari remaja.
Sesuai dengan karakteristik remaja itu sendiri, yaitu selalu ingin mencoba hal yang
baru, ingin mendapat pengakuan dari kelompoknya serta mencari identitas diri.
Sebaliknya apabila kebebasan yang diberikan oleh orangtua tanpa pengendalian dan
pengawasan yang tepat dapat mengakibatkan kebebasan yang bersifat "prematur" pada
remaja, yaitu kebebasan tanpa diimbangi tanggung jawab. Dalam kasus-kasus
seperti ini biasanya remaja mengabaikan ketergantungan mereka kepada orangtua
(Wright dan Leahey, 1994).
b) Memfokuskan kembali hubungan perkawinan antara pasangan
Banyak pasangan suami istri telah menjadi begitu terikat dengan tanggung
jawab mereka sebagai orangtua sehingga perkawinan mereka tidak lagi dianggap
sesuatu hal yang penting dalam kehidupan. Suami biasanya menghabiskan banyak
waktunya dengan berada diluar rumah untuk bekerja dan membina karimya.
Sementara istri yang tidak bekerja sibuk mengurus rumah tangga sehari-hari. Bila istri
bekerja maka peran ganda akan diemban oleh istri baik sebagai wanita karir, maupun
sebagai ibu rumah tangga. Dibawah kondisi seperti ini maka energi yang tersisa
tinggal sedikit untuk tmembina hubungan perkawinan. Sementara itu pada sisi yang
lain, sebenarnya 'membina hubungan perkawinan. Sementara itu pada sisi yang lain,
sebenamya ini adalah saat yang tepat untuk menata kembali hubungan perkawinan dan
menyiapkan diri untuk memasuki tahap selanjutnya dari pertumbuhan dan
perkembangan keluarga, sebab pada masa ini anak-anak mulai dapat lebih
bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri, mengatur diri mereka sendiri
sehingga beban orangtuapun menjadi lebih ringan.
c) Melakukan komunikasi terbuka antara orangtua dan remaja
Seringkali terdapat jurang pemisah antar generasi yang sebenarnya dapat
dipersempit dengan adanya komunikasi terbuka dan efektif. Untuk dapat melakukan
komunikasi terbuka, orangtua dan remaja harus dapat menerima perbedaan-perbedaan
nilai, gaya hidup bahkan penolakan-penolakan yang mungkin terjadi. Diskusi terbuka
dapat dilakukan orangtua dengan meningggalkan sifat menggurui, menghakimi
remaja. Sikap menghargai serta mengarahkan pandangan-pandangan dan tingkah laku
mereka yang belum tepat sangat diharapkan dari orangtua. Sementara itu dari pihak
remaja, komunikasi terbuka dilakukan dengan jujur, menghargai dan tidak
beranggapan buruk, bahwa orangtua selalu ingin dianggap benar. Nilai-nilai,
pengalaman yang didapat dari orangtua menjadi dasar bagi remaja untuk mendapatkan
kebebasan yang bertanggung jawab.
d) Mempertahankan standar etik dan moral keluarga
Walaupun peraturan-peraturan yang ada pada keluarga mulai membutuhkan
perubahan, orangtua harus tetap mempertahankan standar etik dan moral keluarga.
Etik dan moral keluarga tentunya berhubungan erat dengan agama, adat istiadat,
budaya, norma dan nilai-nilai yang dianut oleh keluarga serta dimana keluarga saat
tinggal. Hal ini menjadi sangat penting untuk dibicarakan karena biasanya pada ini
remaja sedang mencari-cari nilai, norma dan kepercayaan yang mereka anggap cocok
untuk mereka sendiri sehingga bila tidak ada standar etik dan moral yang jelas dapat
membuat remaja "terjungkal" dan "terperangkap" dalam masalah-masalah yang tidak
diharapkan keluarga.
6) Tahap VI: Keluarga dengan pelepasan anak usia Dewasa Muda
Permulaan dari fase kehidupan keluarga ini ditandai oleh anak pertama
meninggalkan rumah orangtua dan berakhir dengan "rumah kosong', ketika anak
terakhir meninggalkan rumah. Tahap ini dapat singkat atau agak panjang, tergantung
pada berapa banyak anak yang ada dalam rumah atau berapa banyak anak yang belum
menikah yang masih tinggal dirumah setelah tamat dari SLTA dan perguruan tinggi.
Meskipun lama tahap ini biasanya 6 atau 7 tahun, dalam tahun-tahun belakangan ini,
tahap ini berlangsung lebih lama dalam keluarga dengan dua orangtua, mengingat
anak-anak yang lebih tua baru meninggalkan orangtua setelah selesai sekolah dan
mulai bekerja. Motifnya seringkali adalah ekonomi, tingginya biaya hidup bial hidup
sendiri. Akan tetapi, trend yang meluas dikalangan dewasa muda, yang umumnya
menunda perkawinan, hidup terpisah dan mandiri dalam tatanan hidup mereka sendiri.
Dari sebuah survai besar yang dilakukan terhadap orang Kanada ditemukan bahwa
anak-anak yang berkembang dalam keluarga dengan orangtua tiri dan keluarga dengan
orangtua tunggal meninggalkan rumah lebih dini daripada mereka yang dibesarkan
dalam keluarga dengan dua orangtua. Perbedaan ini tidak dipandang karena
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, melainkan karenaperbedaan orangtua dan
lingkungan keluarga (Mitchell et al, 1989).
Fase ini ditandai oleh tahun-tahun puncak persiapan dari dan oleh anak-anak
untuk kehidupan dewasa yang mandiri. Orangtua, karena mereka membiarkan anak
mereka pergi, melepaskan 20 tahun peran sebagai orangtua dan kembali pada
pasangan kawinan mereka yang asli. Tugas-tugas perkembangan menjadi penting
ketika keluarga tersebut berubah dari sebuah rumah tangga dengan anak-anak ke
sebuah rumah tangga yang hanya terdiri dari sepasang suami dan istri. Tujuan utama
keluarga adalah reorganisasi keluarga menjadi sebuah unit yang tetap berjalan
sementara melepaskan anak-anak yang dewasa ke dalam kehidupan mereka sendiri
(Duvall, 1977). Selama tahap ini pasangan tersebut mengambil peran sebagai kakek-
nenek, perubahan lainnya dalam maupun dalam citra diri mereka.
Usia pertengahan awal, yang merupakan usia rata-rata dimana para orangtua
melepaskan anak mereka yang tertua ditandai sebagai masa kehidupan yang
terperangkap", terperangkap antara tuntutan-tuntutan kaum muda dan harapan-harapan
dari mereka yang lebih tua dan terperangkap antara dunia kerja dan tuntutan yang
bersaing dan keterlibatan keluarga, dimana seringkali tampaknya tidak mungkin
memenuhi tuntutan-tuntutan dari kedua bidang tersebut. Akan tetapi studi-studi
membuktikan bahwa mereka yang berusia pertengahan mungkin merasa tertekan atau
terjepit diantara kutub orang muda dan tua, paling tidak bagi individu-individu
golongan kelas menengah dan kelas atas, mereka senantiasa dapat mengapresiasi
bagaimana mereka dan prestasi mereka, "Mereka senantiasa mengetahui bahwa
mereka adalah parapembuat keputusan negara; mereka yang menggambarkan kualitas
umum kehidupan dalam masyarakat ini". Masyarakat tergantung kepada
kepemimpinan dan produktivitas dari orang yang berasal dari golongan usia
pertengahan (Kerchoff, 1976).
Masalah kesehatan
Masalah utama kesehatan meliputi masalah komunikasi kaum dewasa muda
dengan orangtua mereka, masalah-masalah transisi peran bagi suami-istri, masalah
orang yang memberikan perawatan (bagi orangtua lanjut usia) dan munculnya kondisi
kesehatan kronis atau faktor-faktor yang berpengaruh seperti tingkat kolesterol tinggi,
obesitas dan tekanan darah tinggi. Keluarga berencana bagi remaja dan dewasa muda
tetap penting. Masalah-masalah menopause dikalangan wanita umum terjadi. Efek-
efek yang dikaitkarn dengan kebiasaan minum, merokok yang lama dan praktek diet
semakin lebih jelas. Terakhir, perlunya strategi promosi kesehatan dan "gaya hidup
yang sehat" menjadi lebih penting bagi anggota keluarga yang dewasa.
Tugas perkembangan
Sebagaimana keluarga membantu anak tertua dalam melepaskan diri, orangtua
juga membantu anak mereka yang lebih kecil agar mandiri. Dan ketika anak laki-laki
atau perempuan yang "dilepas" menikah, tugas keluarga adalah memperluas siklus
keluarga dengan memasukkan anggota keluarga baru lewat perkawinan dan menerima
nilai-nilai dan gaya hidup dari pasangan itu sendiri.
Dengan rumah yang telah kosong, orangtua memiliki waktu lebih banyak untuk
mencurahkan perhatian pada kegiatan-kegiatan dan hubungan-hubungan lain. Mereka
tidak tumbuh saling berjauhan dari satu sama lain dimana mereka tidak dapat
melembagakan atau membentuk kembali peran suami dan istri yang permah mereka
lakukan. LeShan (1973) memandang tahap ini sebagai tantangan bagi hubungan
perkawinan. Ketika anak-anak meninggalkan rumah, perkawinan menghadapi momen
kebenaran, apakah ada cukup kekuatan untuk mempertahankannya tanpa alasan
kedudukan sebagai orangtua?
Masa ini biasanya jauh lebih sulit bagi wanita daripada pria. Pada kebanyakan
keluarga, peran sentral dan abadi, abadi dalam arti bahwa peran tersebut telah
berlangsung selama 20 tahun, bagi wanita adalah peran sebagai seorang ibu. Meskipun
ini kurang lazim karena banyak wanita sekolah atau meniti karier, identitas dan
perasaan kompetensi wanita didasarkan pada menjadi sebagai seorang ibu yang baik.
pun tahun-tahun perpisahan dengan anak yang berlangsung perlahan-lahan
mendahului tahap ini, pelepasan anak secara psikologis seringkali terjadi secara
mendadak. Dengan perginya anak, ibu yang tidak lagi bekerja menemukan dirinya
sendiri dalam sebuah rumah yang bersih (tidak ada banyak pekerjaan lagi) dan tidak
lagi tempat untuk dituju atau tujuan terhadap eksistensinya. Suami-suami dari
golongan menengah keatas pada puncak kariernya menghabiskan banyak waktu diluar
rumah, masa-masa untuk meraih sukses dalam jabatan, finansial dan profesi, dan
mencoba memenuhi spirasi mereka sebelum terlalu terlambat, Banyak wanita yang
begitu asyik dengan anak-anaknya sehingga tidak mempersiapkan diri untuk tahap
kehidupan mereka ini dan tidak mempunyai komitmen-komitmen yang sama-sama
akan dipenuhi yang mana dalam komitmen-komitmen tersebut dalam rangka untuk
menginvestasikan tenaga dan talenta mereka. Krisis pada usia pertengahan lebih hebat
bagi wanita bukan hanya karena anak-anak meninggalkan rumah dan ketidakhadiran
suami mereka, melainkan juga karena perasaan kehilangan feminitas pada awal
menopause (biasanya antara 45 hingga 55 tahun) dan kehilangan kecantikan ketika
tanda-tanda ketuaan mulai tampak. Jika seorang wanita mempunyai komitmen diluar
rumah (misal; bekerja dan kegemaran), biasanya ia memiliki masalah yang jauh lebih
sedikit daripada ia tetap berada dirumah menjalankan fungsi peran tradisional sebagai
ibu rumah tangga dan seorang ibu secara penuh.
Pria dalam masa usia pertengahan juga menghadapi krisis perkembangan. Salah
satu bahwa mereka belum berhasil dan belum mencapai aspirasi mereka. Juga tanda-
tanda figur, rambut, tanda-tanda kulit menua dan cemas dalam hal keuangan, sen
merupakan stressor bagi pria dalam tahap siklus kehidupan keluarga ini. Frekuensi
affair diluar perkawinan, perceraian, sakit jiwa, alkoholisme dan bunuh diri meningkat
dikalangan kelompok umur ini, dan menekankan krisis perkembangan usia
pertengaharn yang terjadi.
Friedman (1957) mengulangi pernyataan pentingnya hubungan perkawinan
dengan menggolongkan tahap perkembangan orangtua pada titik ini dalam siklus
kehidupan keluarga sebagai pembentuk suatu kehidupan baru bersama-sama.
Tugas perkembangan penting lainnya dari keluarga dengan usia pertengahan
adalah membantu mertua dari suami dan istri yang lanjut usia dan sakit-sakitan.
Meskipun perawatan orangtua yang lanjut usia dan atau tidak mandiri bukanlah fungsi
yang diharapkan dari keluarga Amerika dengan pengecualian pada beberapa
kelompok etnis, suami dan istri diharapkan dapat membantu dan menyokong anggota
keluarga yang lebih tua semaksimal mungkin. Aktivitas tersebut dapat dilakukan
dalam berbagai bentuk,mulai dari menelepon secara rutin hingga bantuan finansial,
transportasi dan mengunjungi serta merawat orangtua mereka dirumah. Di Amerika,
keluarga hanya bertanggung jawab atas generasi berikutnya, keturunan dan hanya
untuk satu generasi sebelumnya, yaitu orangtua (Kalish, 1975).
Keluarga dengan tiga generasi, meskipun bukan pola yang biasa, namun hal ini
bukan tidak lazim, khusus pada keluarga-keluarga etnis Asia, Spanyol-Portugis,
Yunani, Italia dan keluarga Yahudi. Paling sering di Amerika Serikat, keluarga
dengan multi generasi tampaknya akan berkembang terutama bila keluarga inti
dipecah oleh kematian dan perceraian, tapi kelayakan keuangan atau kebutuhan
perawatan anak juga mendorong tatanan kehidupan semacam itu. Sebenarnya,
orangtua yang telah lanjut usia menghendaki hidup secara mandiri sehingga tidak
mempengaruhi kehidupan anak-anak mereka, yang lebih penting adalah untuk
mempertahankan perasaan kompoten, mandiri dan privasi (Bengtson et al, 1987; Troll,
1971). Orangtua juga harus menyingkirkan keputusan mereka untuk menempatkan
orangtua mereka dipanti perawatan atau fasilitas pensiunan atau board and care
selama tahun-tahun ini.
Secara singkat dapat dilihat bahwa anak-anak akan memisahkan diri, orangtua
perlu belajar lagi untuk mandiri. Dalam menyesuaikan diri kembali, perkawinan harus
terus berjalan jika kebutuhan-kebutuhan orangtua harus dipenuhi. Orangtua harus
mengatur kembali hubungan mereka, untuk berhubungan satu sama lain sebagai
pasangan menikalh daripada hanya sebagai orangtua. Agar tahap ini menjadi lengkap,
anak-anak harus mandiri sementara tetap menjaga ikatan dengan orangtua.
7) Tahap VII: Keluarga dengan orangtua usia pertengahan
Tahap ketujuh dari siklus kehidupan keluarga, dimulai ketika anak terakhir
meninggalkan rumah dan berakhir pada saat pensiun atau kematian salah satu
pasangan. Tahap ini biasanya dimulai ketika orangtua memasuki usia 45-55 tahun dan
berakhir pada saat seorang pasangan pensiun, biasanya 16-18 tahun kemudian.
Biasanya pasangan suami istri dalam usia pertengahannya merupakan sebuah keluarga
inti meskipun masih berinteraksi dengan orangtua mereka yang lanjut usia dan
anggota keluarga lain dari keluarga asal mereka dan juga anggota keluarga dari hasil
perkawinan keturunannya.
Pasangan postparental (pasangan yang anak-anaknya telah meninggalkan
biasanya tidak terisolasi lagi saat ini, semakin banyak pasangan usia pertengahan
hingga menghabiskan seluruh masa hidupnya dan menghabiskan sebagian masa
hidupnya dalam fase post parental, dengan hubungan ikatan keluarga hingga empat
generasi, yang merupakan hal yang biasa (Troll, 1971).
Tahun pertengahan meliputi perubahan-perubahan pada penyesuaian
perkawinan (seringkali lebih baik), pada distribusi kekuasaan antara suami dan istri
(lebih merata) dan pada peran (diferensiasi peran perkawinan meningkat) (Lesltie dan
Korman, 1989), Bagi banyak keluarga yang kepuasan maupun status ekonominya
meningkat (Rollins dan Feldman, 1970), tahun-tahun ini dipandang sebagai usia
kehidupan yang paling baik Misalnya Olson, Mc Cubbin, dkk (1983) dalam sebuah
survei besar, bersifat nasional dan representatif terhadap keluarga utuh kelas
menengah yang didominasi oleh kulit putih ditemukan bahwa kepuasaan perkawinan
dan keluarga serta kualitas hidup bertambah dan memuncak selama fase post parental.
Keluarga-keluarga usia pertengahan umumnya secara ekonomi lebih baik daripada
tahap-tahap siklus kehidupan lain (Mc Culough dan Rutenberg, 1988). Partisipasi
kekuatan buruh yang meningkat oleh wanita dan pendapatan yang lebih tinggi
daripada periode sebelumnya oleh pria bertanggung jawab untuk keamanan ekonomi
yang dialami oleh kebanyakan keluarga usia pertengahan. Kegiatan-kegiatan waktu
luang dan persahabatan yang dapat dinikmati satu sama lain disebut sebagai faktor
utama yang menimbulkan kebahagiaan. Kepuasan seksual juga memiliki korelasi yang
positif dengan komunikasi yang baik dan kepuasan perkawinan (Levin dan Levin,
1975), meskipun para suami dengan usia pertengahan mungkin mengalami penurunan
kemampuan seksual. Komunikasi suami istri yang intim sangat penting untuk
mempertrahankan pengertian dan keinginan satu sama lain dalam tahun-tahun ini.
Akan tetapi bagi sejumlah pasangan, tahun-tahun ini umumnya sulit dan berat,
karena masalah-masalah penuaan, hilangnya anak dan adanya suatu perasaan dalam
diri mereka bahwa mereka gagal menjadi membesarkan anak dan usaha kerja.
Selanjutnya tidak jelas apa yang terjadi dengan kepuasaan perkawinan dan keluarga
melewati siklus kehidupan berkeluarga. Beberapa studi tentang kepuasaan perkawinan
memperlihatkan bahwa kepuasaan perkawinan menurun tajam setelah perkawinan
berlangsung dan terus menurun hingga tahun pertengahan (Leslie dan Korman).
Masalah Kesehatan
Masalah kesehatan yang disebut dalam seluruh deskripsi tahap siklus kehidupan
ini meliputi :
a) Kebutuhan promosi kesehatan, istirahat yang cukup, kegiatan waktu luang dan
tidur, nutrisi yang baik, program olah raga yang teratur, pengurangan berat badan
hingga berat badan yang optimum, berhenti merokok, berhenti atau mengurangi
penggunaan alkohol, pemeriksaan skrining kesehatan preventif.
b) Masalah-masalah hubungan perkawinan
c) Komunikasi dan hubungan dengan anak-anak, ipar dan cucu, dan orangtua yang
berusia lanjut.
d) Masalah yang berhubungan dengan perawatan, membantu perawatan orangtua
yang lanjut usia atau tidak mampu merawat diri.
Tugas Perkembangan
Pada saat anak bungsu meninggalkan rumah, banyak wanita yang menyalurkan
kembali tenaga dan hidup mereka dalam persiapan untuk mengisi rumah yang telah
ditinggalkan anak-anak, Bagi sejumlah wanita, krisis usia pertengahan (telah
dibicarakan dalam tahap sebelumnya) dialami selama masa awal siklus kehidupan ini.
Wanita berupaya mendorong anak mereka yang sedang tumbuh agar mandiri dengan
menegaskan kembali hubungan mereka dengan anak-anak tersebut (tidak mengusik
kehidupan pribadi dan kehidupan berkeluarga mereka). Dalam upaya untuk
mempertahankan perasaan yang sehat dan sejahtera, lebih banyak wanita memulai
gaya hidup yang lebih sehat yaitu pengontrolan berat badan, diet seimbang, program
olahraga yang teratur dan istirahat yang cukup dan juga memperoleh dan menikmati
karier, pekerjaan, kecakapan yang kreatif.
Dalam hal kerja, pria mungkin mengalami frustasi dan kekecewaan yang sama
yang terdapat dalam tahap sebelumnya. Di satu pihak, pria mungkin berada pada
puncak kariernya dan tidak perlu bekerja sekeras sebelumnya, atau dilain pihak
mereka mungkin merasa pekerjaan mereka bersifat monoton setelah 20-30 tahun
menekuni pekerjaan yang sama. Banyak sekali pekerja kelas menengah menderita
karena 'fenomena plateau" dimana tidak ada lagi kenaikan gaji dan promosi,
menyebabkan mereka merasa bosan. Dalam kondisi ini, ketidakpuasan terhadap karier
dikatakan telah mencapai proporsi lampu kuning, membuat banyak orang pada usia
pertengahan ini pindah kerja karena ketidakpuasan, bosan dan stagnasi. Karena secara
tradisional bekerja merupakan peran sentral bagi pria dalam hidup, pengalaman
ketidakpuasan terhadap pekerjaan ini amat mempengaruhi tingkat stres dan status
kesehatan umum.
Pengupayaan aktivitas dan hobi di waktu luang sangat berarti selama
berlangsungnya tahap ini, karena lebih banyak waktu yang tersedia dan persiapan
pensiun harus berlangsung secara lebih terencana.
a) Tugas perkembangan yang penting pada tahap ini adalah penentuan
lingkungan yang sehat. Dalam masa inilah upaya untuk melaksanakan gaya hidup
sehat menjadi lebih menonjol bagi pasangan, meskipun kenyataannya bahwa mungkin
mereka telałh melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya merusak diri selama 45-
65 tahun. Meskipun dapat dianjurkan sekarang, karena "lebih baik sekarang daripada
tid pernah" adalah selalu benar, agaknya terlalu terlambat untuk mengembalikan
begitu banyak perubahan-perubahan fisiologis yang telah terjadi, seperti artritis akibat
inaktivitas, tekanan darah tinggi karena kurangnya olahraga, stres yang
berkepanjangan, menurunnya kapasitas vital paru akibat merokok.
Motivasi utama orang usia pertengahan untuk memperbaiki gaya hidup mereka
adalah karena adanya perasaan rentan terhadap penyakit yang dibangkitkan bila
seorang teman atau anggota, keluarga mengalami seranga jantung, stroke atau kanker.
Selain takut, keyakinan bahwa pemeriksaan yang teratur dan kebiasaan hidup yang
sehat merupakan cara-cara yang efektif untuk mengurangi kerentanan terhadap
berbagai penyakit juga merupakan kekuatan pendorong yang ampuh. Penyakit hati,
kanker dan stroke merupakan dua pertiga dari semua penyebab kematian antara usia
46 hingga 64 tahun dan sebagai penyebab kematian urutan keempat (Pusat Statistik
Kesehatan Nasional, 1989).
b) Tugas perkembangan yang kedua berkaitan dengan upaya melestarikan
hubungan yang penuh arti dan memuaskan antara orangtua yang lanjut usia dengan
anak-anak. Dengan menerima dan menyambut cucu-cucu mereka ke dalam keluarga
dan meningkatkan hubungan antar generasi, tugas perkembangan ini dapat
mendatangkan penghargaan yang tinggi (Duvall, 1977). Tugas perkembangan ini
memungkinkan pasangan usia pertengahan terus merasa seperti sebuah keluarga dan
mendatangkan kebahagian yang berasal dari posisi sebagai kakek-nenek tanpa
tanggungiawab sebagai orangtua selama 24 jam. Karena umur harapan hidup
meningkat, menjadi seorang kakek-nenek secara khusus terjadi pada tahap siklus
kehidupan ini (Sprey dan Mathews, 1982), Kakek-nenek memberikan dukungan besar
kepada anak dan cucu mereka pada saat-saat krisis dan membantu anak-anak mereka
melalui pemberian dorongan dan dukungan (Bengston dan Robertson, 1985).
Peran yang lebih problematik adalah yang berhubungan dengan dan membantu
orangtua lansia dan kadang-kadang anggota keluarga besar lain yang lebih tua.
Delapan puluh enam persen (86%) pasangan usia pertengahan menimal memiliki satu
orangtua yang masih hidup (Hagestad, 1988). Jadi tanggungjawab memberi perawatan
bagi orangtua lansia yang lemah dan sakit-sakitan merupakan pengalaman yang tidak
asing. Banyak wanita yang merasa berada dalam himpitan generasi" dalam upaya
mereka mengimbangi kebutuhan-kebutuhan orangtua mereka yang berusia lanjut,
anak-anak dan cucu-cucu mereka. Berbagai peran antar generasi kelihatannya lebih
bersifat eksklusif dikalangan minoritas seperti keluarga-keluarga Asia dan Amerika
Latin.
c) Tugas perkembangan ketiga yang hendak dibahas di sini adalah tugas
perkembangan untuk memperkokoh hubungan perkawinan. Sekarang pasangan
tersebut benar-benar sendirian setelah bertahun-tahun dikelilingi oleh anggota
keluarga dan hubungan hubungan. Meskipun muncul sebagai sambutan kelegahan,
bagi kebanyakan pasangan merupakan pengalaman yang menyulitkan untuk
berhubungan satu sama lain sebagai pasangan menikah daripada sebagai orangtua.
Wright dan Leahey (1984) melukiskan tugas perkembangan ini sebagai "reinvestasi
identitas pasangan dengan
perkembangan keinginan independen yang terjadi secara bersamaan. Keseimbangan
dependensi-independensi antara pasangan perlu di uji kembali, seperti keinginan
independen yang lebih besar dan juga perhatian satu sama lain yang penuh arti.
Bagi pasangan yang mengalami masalah, tekanan hidup yang menurun dalam
tahun-tahun postparental tidak mendatangkan kebahagiaan perkawinan, melainkan
menimbulkan "kebohongan". Menurut Kerckhoff (1976), para konselor perkawinan
telah lama mengamati bahwa ketika timbul perselisihan dalam perkawinan selama
tahun-tahun pertengahan, seringkali berkaitan dengan jemunya ikatan, bukan karena
kualitas tarumatiknya. Karakteristik umum dari masa ini, berkaitan dengan kepuasan
diri sendiri dan berada dalam kebahagiaan yang membosankan.
8) Tahap VIII : Keluarga dalam masa lanjut usia
Tahap terakhir siklus kehidupan keluarga dimulai dengan salah satu atau kedua
pasangan memasuki masa pensiun, terus berlangsung hingga salah satu pasangan
meninggal, dan berakhir dengan pasangan lain meninggal (Duvall dan Miller, 1985).
Jumlah lansia berusia 65 tahun atau lebih dinegara Amerika meningkat dengan pesat
dalam dua dekade terakhir ini, demikian juga di Indonesia dan negara-negara lainnya.
Pada tahun 1970, terdapat 19,9 Juta orang berusia 65 tahun, Jumlah ini merupakan
9,8% dari seluruh populasi. Menjelang tahun 1990, menurut angka-angka sensus,
populasi lansia berkembang hingga angka 31,7 juta (12,7% dari total populasi).
Menjelang tahun 2020, 17,3% penduduk negara ini berusia 65 tahun atau lebih.
Informasi tentang usia populasi menyatakan bahwa "penduduk yang lebih tua",
populasi usia 85 tahun keatas secara khusus tumbuh dengan cepat. Populasi berumur
diatas 85 tahun tumbuh hingga 2,2 juta jiwa pada tahun 1980. Diproyeksikan pada
tahun 2020 populasi ini akan berjumlah hingga 7,1 juta jiwa (2,7% dari seluruh
populasi). Akibat dari semakin majunya pencegahan penyakit dan perawatan
kesehatan, lebih banyak orang yang diharapkan dapat bertahan hidup hingga 10
dekade. Karena bertambahnya populasi lansia, maka semakin mungkin orang-orang
yang lebih tua akan memiliki minimal satu orangtua yang masih hidup (Biro sensus
Amerika Serikat, 1984).
Persepsi tahap siklus kehidupan ini sangat berbeda dikalangan keluarga lanjut
usia. Beberapa orang merasa menyedihkan, sementara yang lain merasa hal ini
merupakan tahun-tahun terbaik dalam hidup mereka. Banyak dari mereka tergantung
pada sumber-sumber finansial yang adekuat, kemampuan memelihara rumah yang
memuaskan danstatus kesehatan individu. Mereka yang tidak lagi mandiri karena
sakit, umumnyamemiliki moral yang rendah, dan kesehatan fisik yang buruk sering
merupakan antesedenpenyakit mental dikalangan lansia (Lowenthal, 1972).
Sebaliknya lansia yang menjagaesehatan mereka, tetap aktif dan memiliki sumber-
sumber ekonomi yang memadai menggambarkan proporsi orang-orang yang lebih tua
yang substansial dan senantiasa berfikir positif terhadap kehidupan ini.
Penuaan sering diartikan sebagai hilangnya rambut, teman-teman, aspirasi dan
kekuatan. Bagi komunitas dengan keluarga individu dan keluarga besar, menangani
lansia mempunyai konotasi negatif, seseorang dibebani dengan perasaan yang
menyusahkan dengan masalah-masalah yang menekan. Disamping itu, masyarakat
juga tidak membiarkan kebanyakan lansia tetap produktif. Oleh karena itu, penilaian
masyarakat yang negatif terhadap lansia mempengaruhi citra diri mereka.
Namun sekarang banyak asosiasi dan banyak literatur menyokong dan
melukiskan kekuatan, sumber-sumber dan aspek-aspek positif dari penuaan. Hal ini
mulai mengurangi pemikiran negativisme dan stereotipe tentang lansia dan membantu
kita mengenali aset lansia dan keanekaragaman gaya hidup yang menyolok dikalangan
kelompok lansia ini.
Karena proses menua berlangsung dan masa pensiun menjadi suatu kenyataan,
maka ada berbagai macam stressor atau kehilangan-kehilangan yang dialami oleh
mayoritas lansia dan pasangan-pasangan yang mengacaukan transisi peran mereka.
Hal ini meliputi :
a) Ekonomi, menyesuaikan terhadap pendapatan yang turun secara substansial,
mungkin kemudian menyesuaikan terhadap ketergantungan ekonomi
(ketergantungan pada keluarga atau subsidi pemerintah).
b) Perumahan, sering pindah ke tempat tinggal yang lebih kecil dan kemudian
dipaksa pindah ketatanan institusi.
c) Sosial, kehilangan (kematian) saudara, teman-teman dan pasangan.
d) Pekerjaan, keharusan pensiun dan hilangnya peran dalam pekarjaan dan perasaan
produktivitas.
e) Kesehatan, menurunnya fungsi fisik, mental dan kognitif, memberikan perawatan
bagi pasangan yang kurang sehat.
Dengan hilangnya peran sebagai orangtua dan kerja, maka perlu ada suatu
reorientasi dikalangan individu dan pasangan lansia. Pensiun membutuhkan
resosialisasi terhadap peran-peran baru dan gaya hidup baru. Akan tetapi, perubahan
macam apa yang dikehendaki, benar-benar tidak jelas, karena peran dan norma-norma
bagi lansia adalah ambigu. Wanita yang benar-benar terpikat dengan peran sebagai ibu
dan suami dan/atau istri yang terlibat penuh dalam pekerjaan mereka diprediksi
memiliki derajat kesulitan penyesuaian yang paling tinggi. Untuk mengisi pekerjaan
yang kosong, kini semakinbanyak pria yang mengambil bagian dalam pekerjaan-
pekerjaan rumah tangga, menerima peran-peran yang lebih ekspresif, suatu perubahan
yang menuntut pertukaran peran pada sisi wanita. Penyesuaian suami yang pensiun
terhadap tugas-tugas ibu rumah tangga yang dikerjakan sama-sama tergantung pada
sistem nila suami. Jika suami memandang jenispekerjaan tersebut sebagai "pekerjaan
wanita" dan menganggap pekerjaan-pekerjaan tersebut kurang memiliki arti baginya,
maka ia merasa harkatnya turun dalam pekerjaan semacam itu. Troll (1971)
menemukan sikap ini benar-benar terjadi pada pria darigolongan pekerja, yang lebih
menghargai peran tradisional sebagai pencari nafkah daripada pria kelas menengah.
Pensiun bagi kaum wanita cenderung tidak terlalu sulit untuk beradaptasi karena
mereka masih punya peran-peram domestik. Selanjutnya wanita kemungkinan besar
pensiun atas permintaan.
Dalam kasus apa saja, pensiun menuntut modifikasi peran dan merupakan saat
terjadinya penurunan harga diri, pendapatan, status dan kesehatan paling tidak untuk
sementara. Tapi meskipun timbul tuntutan-tuntutan dan kehilangan-kehilangan yang
baru ini, kebanyakan lansia melaporkan sikap positif terhadap pensiun (Kell dan
Patton, 1978).
Masalah Kesehatan
Faktor-faktor seperti menurunnya fungsi dan kekuatan fisik, sumber-sumber
finansial yang tidak memadai, isolasi sosial, kesepian dan banyak kehilangan lainnya
yang dialami oleh lansia menunjukkan adanya kerentanan psikofisiologi dari lansia
(Kelley et al, 1977). Oleh karena itu, terdapat masalah-masalah kesehatan yang
multipel. Pasangan atauindividu lansia dalam semua fase sakit kronis mulai dari fase
akut hingga fase rehabilitasi sangat membutuhkan bantuan. Baik fungsi-fungsi yang
terkait secara medis (pengkajian fisik, reaksi-reaksi yang buruk) dan fungsi-fungsi
keperawatan (mengkaji respons klien terhadap sakit dan pengobatan serta kemampuan
koping) adalah relevan disini. Promosi kesehatan tetap menjadi hal yang sangat
penting, khususnya dalam bidang nutrisi, latihan, pencegahan cedera, penggunaan
obat yang aman, pemakaian pelayanan preventif dan berhenti merokok.
Isolasi sosial, depresi, gangguan kognitif (yang mungkin berkaitan dengan
sejumlah keschatan yang serius, khususnya bila bersama-sama dengan sakit fisik.
Pengkajan dan penggunaan sistem dukungan sosial keluarga atau individu harus
menjadi bagian integral dari perawatan kesehatan keluarga.
Proses menua dan menurunnya kesehatan menyebabkan betapa pentingnya
pasangan menikah saling menolong satu sama lain. Karena wanita hidup lebih lama
daripada pria dan biasanya mereká merupakan orang yang membantu suami yang sakit
atau yang talk berdaya. Dalam kebanyakan kasus, penyakit bersifat kronis dan
berkembang menjadi tidak berdaya, sehingga perlu waktu untuk menyesuaikan
terhadap situasi terakhir. Suami menemukan tugas merawat istri sebagai suatu tugas
yang lebih sulit, karena peran merawat, memelihara dan menjadi ibu rumah tangga
semata-mata masih sebagai peran wanita. Defisiensi nutrisi dikalangan lansia terjadi
secara luas dan menimbulkan banyak masalah yang berkaitan dengan penuaan (lemah,
bingung, depresi, konstipasi dan ada beberapa lagi).
Masalah yang berkaiatan dengan perumahan, penghasilan yang cocok, rekreasi
dan fasilitas perawatan kesehatan yang adekuat secara merugikan mempengaruhi
status kesehatan lansia. Kejadian seperti jatuh dan kecelakaan lain di rumah sangat
banyak,sehingga alat-alat dalam lingkungan yang aman merupakan kebutuhan yang
penting. Program-program pemerintah tidak secara adekuat menyediakan pensiun
yang aman, seperti yang terlihat pada masalah-masalah yang menyangkut penggunaan
panti perawatan, fasilitas-fasilitas board-and-care jangka panjang dan rumah sakit jiwa
laksana gudang dibawah tanah.
Tugas Perkembangan
Memelihara pengaturan kehidupan yang memuaskan merupakan tugas paling ari
keluarga-keluarga lansia. Perumahan setelah pensiun seringkali menjadi masalah.
Dalam tahun-tahun segera setelah pensiun, pasangan tetap tinggal dirumah hingga
pajak harta benda, kondisi tetangga, ukuran dan kondisi rumah atau kesehatan
memaksa mereka mencari akomodasi yang lebih sederhana. Meskipun lansia memiliki
rumah sendiri, namun sebagian besar dari rumah-rumah tersebut telah tua dan rusak
dan banyak yang terletak didaerah-daerah dengan tingkat kejahatan yang tinggi
dimana lansia kemungkinan besar menjadi korban kejahatan. Seringkali,lansia tinggal
dirumah ini karena tidak ada pilihan yang cocok (Kalish, 1975). Namun demikian,
lansia yang tinggal dirumah mereka sendiri, umumnya menyesuaikan diri lebih baik
daripada yang tinggal di rumah anak-anak mereka. Orangtua biasanya pindah kesalah
satu anak mereka karena penurunan kesehatan atau status ekonomi, mereka tidak
punya pilihan lain, dan ini terbukti merupakan suatu pengaturan yang tidak
memuaskan bagi lansia (Lopata, 1973).
a) Pengaturan hidup seseorang merupakan suatu prediktor kesejahteraan yang
ampuh dikalangan lansia (Berresi et al, 1984). Relokasi merupakan pengalaman
traumatik bagi lansia,apakah itu perpindahan sukarela atau tidak. Itu berarti
meninggalkan pertalian tetangga dan persahabatan yang telah memberikan lansia rasa
aman dan stabilitas. Relokasi berarti berpisah dari warisan seseorang dan isyarat yang
mendukung kenangan lama (Lawton, 1980). Relokasi tidak mempengaruhi semua
lansia dengan cara yang sama. Dengan persiapan yang memadai dan perencanaan
perubahan yang hati-hati, lingkungan baru dapat berpengaruhi positif terhadap lansia.
Namun demikian, sejumlah temuan menyatakan bahwa ketika orang-orang lansia
pindah, sering mengakibatkan kemerosotan kesehatan (Lawton, 1985).
Hanya sekitar 5 persen lansia yang tinggal dalam institusi. Kelemahan memaksa
lansia masuk panti perawatan dan rumah pensiun karena kurangnya bantuan di rumah.
Penyediaan bantuah secara penuh di rumah atau, yang lebih mungkin, pelayanan
kesehatan paruh waktu dan pelayanan rumah tangga lewat lembaga kesehatan rumah
dan lembaga pelayanan rumah tangga, dirasa lebih manusiawi dan bersifat protektif
terhadap kebutuhan-kebutuhan lansia untuk tetap berada di rumah sendiri dan tetap
mempertahankan kemandiriannya selama mungkin, dan juga jauh lebih murah
daripada dimasukkan kedalam institusi. Meskipun sulit, seringkali salah satu pasangan
dan/atau anak-anak yang sudah dewasa dari pasangan tersebut (atau orangtua yang
masih hidup) harus memutuskan cara terbaik yang ditempuh pelayanan kesehatan di
rumah, panti pensiunan, panti perawatan, atau tinggal dengan anak-anak yang telah
dewasa.
b) Tugas perkembangan yang kedua bagi keluarga lansia adalah penyesuaian
terhadap pendapatan yang henurun. Ketika pensiun, terjadi penurunan pendapatan
secara tajam dan sering dengan berlalunya tahun, pendapatanpun semakin menurun
dan semakin tidak memadai karena terus naiknya biaya hidup dan terkurasnya
tabungan. Pada tahun 1989, seperlima dari populasi Amerika Serikat tergolong miskin
atau hampir miskin (AARP, 1990).
Secara substansial, lansia kurang memiliki pendapatan dalam bentuk uang
kontan dibandingkan dengan mereka yang berumur di bawah 65 tahun. Kaum lansia
amat sangat'bergantung pada keuntungan dan aset pendapatan Jaminan Sosial (Social
Security). Karena sering munculnya masalah-masalah kesehatan jangka panjang,
pengeluaran kesehatan merupakan masalah finansial yang utama. Kaum lansia lebih
banyak menghabiskan uang untuk perawatan kesehatan, baik dalam nilai riil dollar
maupunbentuk persentase total pengeluaran, bila dibandingkan dengan yang bukan
lansia. Medicare tentu saja mengurangi sebagian dari masalah ini, tapi masih
belumbisa diprediksi dan masih banyak pengeluaran dengan uang sendiri yang harus
dibayar.
Karena umur harapan hidup meningkat, lebih banyak lagi lansia yang hidup
bertahun-tahun dengan masalah kesehatan. Meskipun wanita hidup lebih lama
daripada pria kesenjangan umur harapan hidup antara pria dan wanita meningkat,
banyak pulapasangan menikah yang dapat bertahan hidup lebih lama. Masalah-
masalah perawatan bagi pasangan lansia lebih sulit daripada pensiunan janda. Sedikit
pertimbangan diberikan bagi unit keluarga dalam tahap siklus kewhidupan ini, selama
orang tersebut memiliki kemungkinan dalam kemiskinan sebagai akibat dari biaya
kesehatan yang meninggi dan masalah-masalah sosial.
c) Mempertahankan hubungan perkawinan yang merupakan tugas perkembangan
yang ketiga, menjadi penting dalam kebahagian memuaskan dalam tahun-tahun
berikutnya biasanya mempunyai sejarah positif yang panjang dan sebaliknya. Riset
membuktikan bahwa perkawinan mempunyai kontribusi yang besar bagi moral dan
aktivitas yang berlangsung dari kedua pasangar lansia (Lee, 1978).
Salah satu mitos tentang lansia adalah bahwa dorongan seks dan aktivitas
seksual mungkin tidak ada lagi (atau tidak boleh ada). Akan tetapi sebuah riset
memperlihatkan kebalikannya. Studi-studi semacam ini menemukan bahwa meskipun
terjadi penurunan kapasitas seksual secara perlahan-lahan, namun keinginan dalam
kegiatan seksual tèrus ada bahkan meningkat (Lobsenz, 1975). Sehat sakit kadang-
kadang menurunkan dorongan seksual, tapi biasanya, menurunnya aktivitas seksual
disebabkan oleh mäsalah-masalah sosio-emosional.
d) Penyesuaian diri terhadap kehilangan pasangan yang merupakan tugas
perkembangan yang keempat, secara umum merupakan tugas perkembangan yang
paling traumatis. Sebagaimana ditunjukkan pada data statistik dibawah ini, wanita
lansia lebilh menderita karena kematian pasangannya daripada pria. Menurut angka
statistik tahun 1986, tiga perempat dari seluruh lansia hidup bersama pasangan
mereka, sementara hanya 38% wanita lansia yang hidup dengan pasangan mereka,
51% adalah janda (US. Senate Special Committe on Aging, 1987-1988).
Dibandingkan dengan kelompok muda, lansia menyadari kematian sebagai
bagian dari proses kehidupan yang normal. Sebuah studi menyatakan bahwa hanya 3
dari 80 pasien lansia yang merasa sulit untuk membicarakan kematian (Duvall, 1977).
Akan tetapi kesadaran akan kematian tersebut tidak berarti bahwa pasangan yang
ditinggalkan akan menemukan penyesuaian terhadap kematian dengan mudah.
Kehilangan pasangan pasti membawa pengaruh, janda-janda yang ditinggal mati
suami lebih awal, dan yang masih hidup kemungkinan besar akan mengalami masalah
kesehatan yang serius (isolasi sosial, mau bunuh diri atau sakit jiwa) Selain itu
hilangnya seorang pasangan menuntut reorganisasi fungsi keluarga secara total. Ini
khususnya sulit dicapai secara memuaskan, karena kehilangan mengurangi sumber-
sumber emosional dan ekonomi yang diperlukan untuk menghadapi perubahan
tersebut. Bagi wanita ini berarti perubahan dari saling ketergantungan dan membagi
kegiatan-kegiatan kehidupan bersama-sama menjadi sendirian atau bergabung dengan
kelompok wanita lansia yang tidak punya ikatan. Bagi pria kehilangan pasangan hidup
berarti kehilangan teman-teman serta hubungan sanak famili, keluarga dan dunia
sosial secara umum. Duda lansia tidak punya minat yang sama atau tidak punya
kemampuan melaksanakan peran-peran ibu rumah tangga dan seringkali
membutuhkan bantuan dalam menyiapkan makanan, menjalankan tugas rumah tangga
dan perawatan umum .
Besarnya penyesuaian diri yang sulit dapat dilihat melalui meningkatnya kasus
bunuh diri dalam kelompok individu diatas 65 tahun. Meskipun terjadi peningkatan
kasus bunuh diri dikalangan wanita diatas 65 tahun, namun jumlah terbesar kasus
bunuh diri ditemukan dikalangan populasi pria lansia. Sebuah tinjauan beberapa studi
tentang kasus bunuh diri dikalangan kelompok ini menunjukkan bahwa usaha untuk
bunuh diri dan bunuh diri yang telah terjadi sering terjadi setelah kematian pasangan
hidup (Rushing, 1968).
Studi-studi tentang janda secara konsisten mempelajari kondisi-kondisi hidup
janda yang sulit dan kehidupan janda. Janda memiliki moral yang lebih rendah
danmemiliki peran-peran sosial yang lebih sedikit daripada wanita bersuami
dalamkelompok umur yang sama. Para janda memiliki uang sangat sedikit untuk
hidupmereka dan terbukti perawatan diri mereka sangat memprihatinkan dalam
kaitannyadengan diet, latihan, alkohol, konsumsi tembakau (Hutchison, 1975). Bild
danHaviggurst (1976), dalam sebuah studi besar tentang lansia di Chicago Amerika
Serikat, melaporkan bahwa kematian pasangan melunturkan dukungan paling kuat
dari lansia, meskipun anak-anak (jika ada) mengisi kekosongan tersebut. Banyak dari
mereka yang terisolasi adalah "mereka yang tidak pernah menikah" dan janda tanpa
anak
e) Tugas perkembangan yang kelima menyangkut pemeliharaan ikatan keluarga
antar generasi. Meskipun ada suatu kecenderungan bagi lansia untuk menjauhkan diri
dari interaksi-interaksi sosial lansia dan hubungan sosial, keluarga tetap menjadi fokus
interaksi-interaksi sosial lansia sumber utama dukungan sosial. Karena lansia menarik
diri dari aktivitas-aktivitas dunia sekitarnya, hubungan-hubungan dengan pasangan,
anak-anak dan cucu-cucu dan saudara-saudaranya menjadi lebih penting. Mayoritas
lansia di Amerika hidup dekat dengan anggota keluarga besar dan sering melakukan
kontak dengan mercka (Harris et a 1975; Shanas, 1968,1980). Oleh karena itu,
anggota keluarga merupakan 'sumber utama bantuan dan interaksi sosial. Keluarga
lansia biasanya saling memberikan bantuan satu sama lain sejauh mereka mampu.
f) Karena orang menjadi tua, mereka harus memahami keberadaan mereka.
Berbicara tentang kehidupan masa lalu seseorang, yang disebut penelaahan kehidupan
(life review) merupakan aktivitas yang vital dan umum, karena aktivita ini
menggambarkan suatu penelaahan terhadap arti sentral dari kehidupan. Aktivita ini
dipandang sebagai tugas perkembangan "tipe kognitif" yang keenam. Hal penting dari
aktivitas ini terletak pada fakta bahwa penelaahan kehidupan memudahkan
penyesuaian terhadap situasi-situasi yang sulit dan memberikan pandangan terhadap
kejadian-kejadian masa lalu. Lansia sangat peduli dengan kualitas hidup mereka dan
berharap agar dapat hidup terhormat dengan kemegahan dan penuh arti (Drvall,1977).
d. Fungsi Keluarga
Lima fungsi keluarga dalam menciptakan keluarga yang sehat dan sejahtera
(Friedman, 1986) meliputi :
1) Fungsi reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah
sumber daya manusia. Dengan adanya program keluarga berencana maka fungsi ini
sedikit terkontrol. Disisi lain banyak kelahiran yang tidak diharapkan atau diluar
ikatan perkawinan sehingga lahirlah keluarga baru dengan satu orangtua.
2) Fungsi ekonomi
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti makanan, pakaian dan rumah,
maka keluarga memerlukan sumber keuangan. Fungsi ini sukar dipenuhi oleh keluarga
dibawah garis kemiskinan. Perawat bertanggung jawab mencari sumber-sumber
dimasyarakat yang dapat digunakan keluarga meningkatkan status kesehatan.
3) Fungsi afekif
Terkait dengan fungsi pemberian kasih sayang dapat diuraikan hal-hal yang
seharusnya dilakukan keluarga yaitu mempertahankan saling mengasuh atau
memelihara, pengembangan hubungan yang dekat, keseimbangan saling menghargai,
bonding atau ikatan dan identifikasi, pemisahan dan penyatuan, pola respon kebutuhan
dan peran terapeutik.
Fungsi afektif berhubungan dengan fungsi internal keluarga yang merupakan
basis kekuatan dari keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan
psikososial. Keberhasilan fungsi afektif tampak melalui keluarga yang gembira dan
bahagia. Anggota keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif, perasaan
dimiliki, perasaan berarti dan merupakan sumber kasih sayang , "reinforcement"
dukungan yang semuanya dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi dan
hubungan dalam keluarga.
Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga untuk fungsi afektif adalah :
a) Saling mengasuh, cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling mendukung
antar anggota keluarga, setiap anggota yang mendapat kasih sayang dan dukungan
dari anggota yang lain maka kemampuannya untuk memberi akan meningkat
sehingga tercipta hubungan yang hangat dan saling mendukung (Friedman, 1986).
Hubungan intim didalam keluarga merupakan modal dasar dalam membina
hubungan dengan orang lain diluar keluarga.
b) Saling menghargai, dengan mempertahankan iklim yang positif dimana tiap
anggota diakui dan dihargai keberadaan dan haknya baik orangtua maupun anak
maka fungsi afektif akan dicapai.
c) Ikatan dan identifikasi, ikatan dimulai sejak pasangan sepakat memulai hidup
baru, kemudian dikembangkan dengan kesesuaian pada berbagai aspek
kehidupan, keinginan yang tidak dapat dicapai sendiri, misalnya mempunyai
anak. Hubungarn dikembangkan dengan hubungan orangtua dan anak, antar anak-
anak melalui proses identifikasi. Proses identifikasi adalah inti ikatan kasih
sayang. Oleh karena itu perlu diciptakan proses identifikasi yang positif dimana
anak meniru perilaku orangtua melalui hubuingan interaksi mereka.
Fungsi afektif merupakan sumber "energi" yang menentukan kebahagiaan
keluarga.Sering perceraian, kenakalan, kenakalan anak atau masalah keluarga timbul
karena fungsi afektif tidak terpenuhi.
4) Fungsi sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu
yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan sosial
(Gegas, 1979, dikutip oleh Friedman, 1986).
Sosialisasi dimulai sejak lahir dan berakhir setelah mati. Keluarga merupakan
tempat individu melakukan sosialisasi. Pada setiap tahap perkembangan keluarga dan
individu (anggota keluarga) dicapai melalui interaksi/hubungan yang
diwujudkandalam sosialisasi. Anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya,
perilaku melalui hubungan dan interaksi dalam keluarga sehingga individu mampu
berperan dimasyarakat.
5) Fungsi perawatan kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan keluarga dalam keterkaitannya dengan praktek-
praktek kesehatan keluarga meliputi praktek pola hidup, praktek diet atau makanan
keluarga, praktek tidur dan istirahat keluarga, olahraga dan rekreasi keluarga,
kebiasaan pemakaian obat, praktek perawatan diri, praktek higiene dan lingkungan,
praktek pencegahan berdasarkan pada medis dan praktek perawatan kesehatan gigi.
Keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan dan asuhan kesehatan.
Keluarga melakukan praktek asuhan kesehatan baik untuk mencegah terjadi gangguan
terhadap peristiwa-peristiwa ini. Keluarga menghadapi stressor (peristiwa-peristiwa
yang menyebabkan stress) termasuk yang dapat diperkirakan (misalnya masa menjadi
orangtua) dan yang tidak dapat diperkirakan (penyakit atau pengangguran). Stressor-
stressor ini adalah kumulatif termasuk tuntutan-tuntutan yang bersamaan dari
pekerjaan, keluarga dan kehidupan masyarakat.
Teori stress keluarga juga mencakup kemampuan-kemampuan tertentu yang
digunakan untuk mengelola krisis karena terlalu banyaknya stressor. Model tipologi
pengaturan dan adaptasi (Mc. Cubbin, 1989) yaitu suatu model stress keluarga yang
komprehensif, menyimpulkan komponen-komponen ini melalui 4 komponen yaitu :
a) Atribut dasar pada keluarga - tipe keluarga - yang menjelaskan bagaimana
keluarga secara khas terselenggara dan bertingkah laku.
b) Sumber-sumber pada anggota keluarga indivudual, unit keluarga dengan
komunitas, termasuk dukungan sosial dari keluarga besar, teman, tetangga dan
profesional kesehatan.
c) Persepsi keluarga mengenai bagaimana keluarga menentukan situasi,
pengaruhnya dan kemampuan mereka untuk mengelola.
d) Perilaku dan strategi koping, dimana anggota keluarga atau unit keluarga yang
dapat mereka gunakan untuk menjaga keluarga tetap berfungsi sebagai suatu unit,
menurunkan ketegangan, kecemasan dan tekanan pada anggota individu dan
meningkatkan pemahaman terhadap situasi atau masalah tertentu.
Model tipologi pengaturan dan adaptasi membantu menjelaskan mengapa
keluarga berbeda dalam respon mereka terhadap stressor misalnya, membawa anak
mereka dengan keputusan-keputusan khusus ke fasilitas tindakan untuk terapi bisa
dianggap suatu krisisoleh keluarga yang tidak mempunyai mobil atau uang untuk
membayar transportasi umum namun hanya ditentukan sebagai suatu kesulitan kecil
oleh keluarga lain yang mempunyai sumber-sumber yang adekuat dan tepat.
Penerapan model tipologi untuk hasil yang diharapkan padai adaptasi keluarga,
konsep sehat ditentukan pada dua tingkat; anggota keluarga/individu dalam keluarga
dan anggota keluarga dalam komunitas (Mc.Cobbin, Mc. Cubin, 1989). Adaptasi
terjadi setiap waktu dan tidak selalu dengan proses yang lunak. Hill, 1949 menyebut
sebagai proses "Peluncuran adaptasi keluarga".
Hal yang terpenting untuk dicermati bahwa dalam kaitannya dengan fungsi
perawatan kesehatan keluarga adalah sejauhmana keluarga secara mandiri mampu
melakukan tugaskesehatannya yang meliputi 5 tugas yang sangat terkait dengan
pedoman dalam pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga. Lima tugas tersebut yaitu:
a) Mengenal masalah kesehatan
Untuk mengetahui kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, kaji
sejauh mana keluarga mengenal fakta-fakta dari masalah kesehatan yang meliputi :
(1) Pengertian
(2) Tanda dan gejala
(3) Faktor penyebab dan yang mempengaruhinya
(4) Persepsi keluarga terhadap masalah
b) Mengambil keputusan untuk tindakan keperawatan
Untuk mengetahui kemampuan keluarga mengambil keputusan mengenai
tindakan keperawatan yang tepat, hal yang perlu dikaji adalah :
(1) Sejauh mana kemampuan keluarga menganai sifat dan luasnya masalah
(2) Apakah masalah kesehatan dirasakan oleh keluarga
(3) Apakah keluarga merasa menyerah terhadap masalah yang dialami
(4) Apakah keluarga merasa takut akan akibat dari penyakit
(5) Apakah keluarga mempunyai sikap negatif terhadap masalah kesehatan
(6) Apakah keluarga dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang ada
(7) Apakah keluarga kurang percaya terhadap tenaga kesehatan
(8) Apakah keluarga mendapat informasi yang salah terhadap tindakan dalam
mengatasi masalah.
c) Melakukan perawatan dirumah bagi anggota keluarga yang sakit
Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga merawat anggota keluarga
yang sakit, yang perlu dikaji adalah :
(1) Sejauh mana keluarga mengetahui keadaan penyakitnya (sifat, penyebaran,
komplikasi, prognosa dan cara perawatannya)
(2) Sejauh mana keluarga mengetahui tentang sifat dan perkembangan perawatan
yang dibutuhkan
(3) Sejauh mana keluarga mengetahui keberadaan fasilitas yang diperlukan untuk
perawatan
(4) Sejauh mana keluarga mengetahui sumber-sumber yang ada dalam keluarga
(anggota keluarga yang bertanggung jawab, sumber keuangan, fasilitas fisik,
psikososial)
(5) Bagaimana sikap keluarga terhadap yang sakit (khususnya sikap negatif)
d) Memodifikasi lingkungan rumah yang memenuhi syarat kesehatan
Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga memelihara/
memodifikasi lingkungan rumah yang sehat (dari segi fisik, psikis, sosial, ekonomis)
hal yang perlu dikaji adalah :
(1) Sejauh mana keluarga mengetahui sumber-sumber keluarga yang dimiliki
(2) Sejauh mana keluarga melihat keuntungan/manfaat pemeliharaan lingkungan
(3) Sejauh mana keluarga mengetahui pentingnya higiene dan sanitasi
(4) Sejauh mana keluarga mengetahui upaya pencegahan penyakit
(5) Sejauh mana sikap/pandangan keluarga terhadap higiene dan sanitasi
(6) Sejauh mana kekompakkan antar anggota keluarga
e) Menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan
Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga menggunakan fasilitas/
pelayanan kesehatan dimasyarakat, hal yang perlu dikaji adalah :
(1) Sejauh mana keluarga mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan
(2) Sejauh mana keluarga memahami keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh
dari fasilitas kesehatan
(3) Sejauh mana tingkat kepercayaan keluarga terhadap petugas dan fasilitas
kesehatan
(4) Apakah keluarga mempunyai pengalaman yang kurang baik terhadap petugas
kesehatan
(5) Apakah fasilitas kesehatah yang ada terjangkau oleh keluarga
e. Struktur Keluarga
Struktur keluarga menunjuk kepada keluarga bagaimana keluarga tersebut
diorganisasikan, dan cara di mana unit-unit tersebut ditata, serta bagaimana
komponen-komponen tersebut berhubungan satu sama lain. Ada empat dimensi
struktural dasar dari keluarga yaitu (1) Struktur peran, (2) Struktur kekuasaan, (3)
Proses-proses/pola-pola komunikasi, dan (4) Sistem nilai. Elemen-elemen ini
memiliki interelasi yang intim dan bergantung satu sama lain. Karena keluarga
merupakan sistem keluarga, terdapat interaksi dan feedcack (umpan balik) yang
berlangsung terus menerus antara lingkungan internal dan eksternal. Suatu perubahan
satu bagian sistem keluarga umumnya akan diikuti oleh suatu perubahan
kompensatoris dalam dimensi struktural internal lain. Oleh sebab itu, dimensi-dimensi
ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
1) Struktur Proses dan Pola Komunikasi
Struktur dan organisasi keluarga pada akhirnya akan di evaluasi oleh bagaimana
keluarga mampu memenuhi fungsi-fungsinya yang umum, yang merupakan tujuan-
tujuan penting bagi anggotanya dan masyarakat. Struktur keluarga khususnya struktur
komunikasinya berfungsi untuk memudahkan pencapaian fungsi-fungsi yang umum.
Misalnya, komunikasi keluarga yang adekuat memungkinkan keluarga
mensosialisasikan anak-anak.
Komunikasi keluarga dapat dipandang, baik sebagai dimensi struktural maupun
sebagai suatu proses sistem. Dengan kata lain, komunikasi dalam keluarga dapat
dianggap sebagai isi yang terpola dan digambarkan sebagai suatu komponen struktural
atau sebagai rentetan interaksi (seperti bentuk) dari waktu ke waktu dan di kaji
sebagai proses. Delapan bagian juga yang dimasukkan di sini adalah: elemen-elemen
komunikasi, prinsip-prinsip komunikasi, saluran-saluran komunikasi, komunikasi
fungsional, pola-pola fungsional komunikasi, pola-pola komunikasi disfungsional
(komunikasi yang tidak berfungsi), diagnosa-diagnosa keperawatan keluarga,
intervensi-intervensi perawatan keluarga.
a) Pengertian Komunikasi
Komunikasi menunjuk kepada proses tukar-menukar kebutuhan kebutuhan,
opini-opini (McCubbin dan Dahl, 1983), Galvin dan Brommel (1986) dalam sebuah
buku yang amat bagus dengan judul Komunikasi Keluarga : Kohesi dan Perubahan,
mendefinisikan komunikasi keluarga sebagai suatu proses simbolik, transaksional
untuk menciptakan dan mengungkapkan pengertian dalam keluarga. Persis seperti
setiap orang memiliki gaya komunikasinya sendiri, demikian pula setiap keluarga
mempunyai gaya dan pola komunikasi sendiri pula.
Salah satu tugas utama yang keluarga terima untuk mambantu anggota-
anggotanya dalam memelihara lingkungan yang sehat, yang di dalamnya anggota
keluarga dapat mengembangkan harga diri yang baik. Komunikasi yang jelas dan
fungsional di kalangan anggota keluarga merupakan sarana yang penting, yang mana
melalui saran ini perasaan penting menyangkut makna diri berkembang dan menjadi
terinternalisasi. Sebaliknya, komunikasi-komunikasi yang tidak jelas diyakini sebagai
sebuah penyebab utama berfungsinya keluarga yang sangat memprihatinkan
(Holfman, 1983, Satir,1983).
Masalah dari komunikasi yang cacat atau bermasalah dalam keluarga terdapat
dimana-mana. Watzlawick dkk. (1967), seorang peneliti komunikasi keluarga
memperkirakan bahwa 85% dari semua pesan yang dikirim dalam keluarga disalah
mengertikan. Dengan observasi ini, maka tidaklah mengejutkan bahwa dalam
sebuahsurvei dari para ahli terapi keluarga, 85% pasangan yang mencari terapi
keluargautama yang dilaporkan bahwa komunikasi yang mempıhatinkan merupakan
masalah utama yang mendorong mereka mencari terapi (Beck dan Jones, 1973).
b) Elemen-Elemen Dalam Komunikasi
Dalam bahasa pemrosesan informasi, komunikasi memberikan seorang pengirim
suatu pesan, suatu bentuk/saluran pesan, peorang penerima, dan sejumlah
interaksiantara pengirim dan penerima. Pengirim adalah orang yang mencoba
mentransmisikan suatu pesan kepada orang lain, penerima adalah sasaran dari pesan-
pesan pengirim bentuk-bentuk/saluran-saluran tersebut adalah rute dari pesan. Bentuk-
bentuk/saluran-saluran mulai dari kognisi (pikiran) pengirim, melalui ruang, hingga
kognisi dari penerima. Interaksi merupakan suatu istilah yang lebih luas, yang
merujuk pada pengirim dan penerimaan pesan, termasuk respons dari pesan yang
berakibat pada penerima dan pengirim. Interaksi meliputi proses perubahan proses
komunikasi yangdi berlangsung secara konstan antara manusia (Warslawick et al,
1967).
Pesan yang dimulai oleh pengirim selalu agak mengalami distorsi adalah cemas
dari yang berinteraksi, semakin tinggi tingkat cemas, semakin besar tingkat kesalah
pahaman. Satu penyebab distorsi pesan yang lain adalah adanya suatu perbedaan
dalam kerangka referensi mereka yang berinteraksi (interaktan), karena sosiokultural
maupun idiosinkratik. Dalam interakasi sehari-hari, anggota keluarga biasanya
mengasumsikan bahwa anggota keluarga yang lain memiliki kerangka referensi yang
sama; karena hal ini dalam kebanyakan kasus tidak benar, maka kesalahpahaman tidak
bisa dihindari.
c) Prinsip-Prinsip Komunikasi
Watzlawick dkk (1967) dalam teks seminarnya tentang komunikasi keluarga
(Pragmatics of Human Communication) beberapa prinsip komunikasi yang amat
mendasar bagi suatu pemahaman terhadap proses komunikasi keluarga. Pertama dan
yang paling penting adalah diktumnya bahwa" tidak mungkin tidak melakukan
komunikasi, karena semua perilaku adalah bentuk komunikasi". Dalam situasi apa
saja,dimana dua orang tua atau lebih hadir, kita boleh jadi tidak melakukan
komunikasi verbal, tapi kita tidak dapat menahan untuk tidak melakukan komunikasi
verbal "Semua komunikasi nonverbal sangat bermakna": (Wright dan Leahey, 1984,
hal. 18).
Prinsip komunikasi yang kedua adalah bahwa komunikasi tidak hanya
menghantar informasi atau isi, tetapi disertai juga dengan perintah (instruksi). Dari
sebab itu pe pesan tersebut mengandung dua tingkat komunikasi: isi dan instruksi. Isi
adalah definisi harafiah atau apa yang sesungguhnya sedang dikatakan (pesan verbal),
sementara isu atau metamessage menghantarkan maksud dari pesan. Isi dari suatu
pesan boleh jadi adalah suatu pernyataan sederhana, tetapi metamessage atau instruksi
tergantung kepada variabel seperti emosi, maksud, dan konteks, dan bisa diungkapkan
secara nonverbal, tingkat dan aliran wicara, gerak tubuh, posisi tubuh, dan nada suara
Jika "saya bosan", merupakan suatu pesan yang dikirim dengan cara empatik, yang
diungkapkan dalam suatu diskusi keluarga yang panjang, maka ini artinya boleh jadi
suatu ungkapan untuk menyatakan kemarahan, frustasi, dan tingginya emosionalitas.
Oleh sebab itu, emosi, maksud dan konteks, menghasilkan arti yang sangat berbeda.
Adanya perbedaan di antara dua tingkat komunikasi, penerima biasanya "tidak
menerima" tingkat komunikasi yang bersifat instruksional.
Prinsip komunikasi yang ketiga adalah yang disebut pungtuasi dalam urutan
komunikasi. Komunikasi meliputi suatu proses interaksi, dan dalam setiap tukar-
menukar respons, terdapat komunikasi yang mendahuluinya, di samping sejarah
hubungan yang mendahuluinya (Hartman dan Larid, 1983). Masing-masing akan
menerangkan kejadian-kejadian interaksional dan urut-urutannya dengan secara
berbeda-beda karena mereka memberikan pungtuasi mereka sendiri dalam
menerangkan situasi.
Komunikasi tampil sebagai suatu proses yang bersifat mengorganisasi,
bertujuan, dan mengatur diri, yang terjadi dalam keluarga. Proses mengatur diri dalam
suatu sistem tergantung kepada komunikasi dua arah, dengan istilah lingkaran umpan
balik. Menurut Von Bertalanffy (1966), lingkaran umpan balik adalah "rantai
melingkar sebab-akibat". Gambar 1. menyatakan bahwa lingkaran umpan balik
dalamkomunikasi mencetuskan perubahan-perubahan penting dalam sistem keuarga
yang mengatur keluarga agar tetap pada "alurnya". Suatu bagian dari suatu sistem
(misal,seorang anggota keluarga) dapat mengubah komunikasinya (keluaran)
berdasarkarnkomunikasi yang ia terima, mengingat efek-efek dari keluaran
sebelumnya pada bagian lain/anggota keluarga.

Pesan

Pengirim Penerima

Informasi

Gambar 1 Lingkaran umpan balik negatif (Diambil dari Von Bertalanffy, 1968)

Melalui suatu mekanisme umpan balik, suatu porsi keluaran dari sistem
dimasukkan kembali ke dalam sistem tersebut sebagai informasi masukan tentang asal
mula keluaran (Goldenberg dan Goldenberg, 1985). Suatu komunikasi yang berjalan
secara terus menerus terjadi dalam keluarga, termasuk mengintroduksi informasi baru
memperbaiki informasi yang salah, memecahkan masalah-masalah, memecahkan
kesalahpahaman, dan konflik-konflik, dll. Lingkaran umpan balik yang diperlukan
dalam transisi dapat negatif atau positif. Umpan balik negatif merupakan jenis umpan
balik yang paling produktif karena umpan balik ini bersifat korektif. Sebaliknya
umpan balik positif meningkatkan kelabilan dan penyimpangan dari suatu keadaan
yang homeostatis. Umpan balik terjadi dalam keluarga agar bisaberkembang dan
berubah.
Prinsip komunikasi keempat yang dilukiskan Watzlawick dkk (1976) adalah
terdapat dua jenis komunikasi: digital dan analogis. Komunikasi digital sebenarnya
adalah komunikasi verbal yang menggunakan kata-kata yang umumnya dimengerti
artinya. Komunikasi, yang kedua adalah komunikasi analogis dimana ide atau hal
yang dikomunikasikan, ditransmisikan secara non verbal dengan suatu cara
representational (Hartman dan Laird, 1983, hal 102). Komunikasi analogis dikenal
dengan sebutan bahasa tubuh, ekspresi wajah, ritme dan irama kata-kata yang
diucapkan, atau bentuk manifestasi non verbal lainnya, yang dengannya orang dapat
berkomunikasi (Watzlawick et al, 1976, hal. 62). Komunikasi analogis yang
menghantarkan meta komunikasi, meskipun bermakna ganda dan tidak tepat,
cenderung menjadi cara yang lebih kuat untuk mengkomunikasikan hubungan
(Hartman dan Laird, 1983).
Prinsip komunikasi kelima yang digambarkan oleh kelompok ahli teori
komunikasi yang sama (Jackson dan Haley. Bateson, dan Watzlawick) dinamakan
Prinsip Redundasi. Telah diobservasi secara konsisten bahwa sebuah keluarga
berinteraksi dalam suatu rentang berurutan perilaku yang terbatas. Oleh karena itu jika
seorang pengamat keluarga lupa contoh urutan perilaku atau pola, maka menurut
prinsip redundansi, maka urutan ini akan segera memanifestasikan dirinya lagi.
Watzlawick dkk. (1967) menunjukkan bahwa urutan perilaku berulang
merupakan pola-pola perilaku komunikasi sirkular. Ada pola-pola komunikasi sirkular
yang terjadi dalam setiap keluarga. Semua contoh dari pola komunikasi berulang
adalah sebagai berikut: dalam keluarga Jones, jika anak bungsunya marah dan gusar,
ibu akan segera bergegas membujuknya. Lalu anak itu memberian respons dengan
menuntutkeinginannya dan ibunya mengalah. Wright dan Leahey (1984)
menganjurkan agar dilakukan program-program komunikasi sirkular, karena diagram-
diagram tersebut cenderung " mengkongkretkan dan menyederhanakan urutan
berulang yang tercatat dalam hubungan". Elemen-elemen dasar dan diagram pola-pola
sirkular ditunjukkan dalam gambar 2 dan gambar 3.
Prinsip komunikasi keenam yang digambarkan oleh Bateson (1963) adalah
bahwa semua interaksi komunikasi bersiat simetris dan pelengkap. Dalam komunikasi
simetris, perilaku dari interaksi mencerminkan perilaku dari interaktan yang lain
(misal, dua orang teman sama-sama membuat keputusan tentang ke mana mereka
harus pergi untuk berlibur). Dalam komunikasi pelengkap perilaku dari interaktan
yang satu melengkapi yang lain (misal, suami mengatakan bahwa ia telah memilih
sebuah tempat khusus untuk liburan dan istri mengangguk bahwa ia telah
mendengarkannya). Apabila salah satu dari dua komunikasi ini digunakan secara
konsisten dalam hubungan-hubungan keluarga, maka tipe komunikasi tersebut
menggambarkan nilai-nilai peran keluarga dan pengaturan kekuasaan.

Perilaku

Inferensi (Kognisi atau Inferensi (Kognisi atau


afek keduanya) afek keduanya)

Perilaku
Gambar 2 Diagram Pola Sirkular

d) Saluran-Saluran Komunikasi
Saluran-saluran aliran informasi adalah rute yang informasi gunakan untuk
mencapai penerima. Dalam keluarga, saluran-saluran ini meliputi aliran informasi
antara berbagai macam set hubungan. Keuarga memiliki saluran umum aliran
informasi, yang mengungkapkan struktur keluarga, rapatnya hubungan-hubungan,
peran-peran keluarga dan popularitas individu dalam keluarga. Popularitas atau
sentralitas anggota keluarga, dinyatakan oleh suatu konvergensi saluran-saluran
informasi terhadap saatu orang. Orang ini tampil sebagai perantara "penengah" dalam
keluarga. Sebaliknya relatif tidak adanya saluran-saluran bagi seorang anggota
keluarga dapat mengungkapkan ketidakpopularitasan, takut, dan penolakan.
e) Komunikasi Fungsional Dalam Keluarga
Komunikasi fungsional dipandang sebagai kunci bagi sebuah keluarga yang
berhasil dan sehat dan didefinisikan sedemikian terang, transisi langsung, dan
penyambutan terhadap pesan, baik pada tingkat instruksi maupun isi (Sell, 1973), dan
juga kesesuaian antara tingkat perintah/instruksi dan isi (Sattir, 1983). Dengan kata
lain komunikasi fungsional dalam lingkungan keluarga menuntut bahwa maksud dan
arti dari pengirim yang dikirim lewat saluran-saluran yang relatif jelas dan bahwa
penerima pesan mempunyai suatu pemahaman terhadap arti dari pesan itu yang mirip
dengan pengirim (Sell, 1973).
Komunikasi yang efektif adalah mencocokan arti, mencapai konsistensi, dan
mencapai kesesuaian antara pesan yang diterima dan diharapkan. Dengan demikian
komunikas yang efektif dalam keluarga merupakan suatu proses definisi konstan dan
redefinisi yang akan mencapai suatu kecocokan dari pesan tingkat instruksi dan isi.
Baik pengirim maupun penerima harus terlibat secara aktif dan mampu saling tukar
menukar posisi dengan menjadi pengirim maupun penerima selama prosesnya
berlangsung. Pola-pola komunikasi dalam sistem keluarga mempunyai suatu pengaruh
besar terhadap anggota individu. Individualisasi, belajar tentang orang lain,
perkembangan dan mempertahankan harga diri, dan mampu membuat semuanya
tergantung kepada informasi yang masuk melewati para anggota keluarga.

Anak laki-laki yang marah

Menuntut untuk pergi Apa yang terjadi


Anak Ibu
ke taman (sangat prihatin)

Ibu menenangkan anak laki-lakinya dan


mengizinkan anaknya pergi ke taman

Gambar 3 Contoh Diagram Pola Sirkular

f) Karakteristik Interaksional Dari Keluarga Fungsional


Keluarga-keluarga fungsional dalam mempunyai karakteristik tertentu yang
terungkap dalam komunikasi yang mereka gunakan. Sebuah keluarga fungsional
menggunakan komunikasi untuk menciptakan suatu hubungan timbal balik yang
bermanfaat. Interaksinya menyatakan adanya suatu toleransi dan memahami
ketidaksempurnaan dan individualitas anggota. Perbedaan (Satir, 1967), pengakuan
terhadap individualitas dan keunikan dari setiap anggota didorong hingga tingkat yang
mendatangkan keuntungan satu sama lain, baik bagi sistem keluarga maupun setiap
individu. Dengan adanya, suatu keterbukaan dan kejujuran yang cukup jelas, anggota
keluarga mampu mengakui kebutuhan dan emosi satu sama lain.
Pola-pola komunikasi dalam sebuah keluarga fungsional menunjukkan adanya
penyambutan terhadap perbedaan, dan juga penilaian minimum dan kritik tidak
realitas yang dilontarkan satu sama lain. Penilaian terhadap perilaku individu
diharuskan oleh tekanan tuntutan sosial eksternal atau perlunya sistem keluarga atau
perkembangan pribadi, melahirkan penilaian yang sehat dalam keluarga secara
keseluruhan; satu orang tidak bisa diharapkan dapat melakukan semua perubahan
yang diperlukan bagi keluarga agar dapat bertahan dengan cara stabil, dan perlu
adanya fleksibilitas dan kepaduan yang memadai agar keluarga dapat berdaptasi
secara efektif.
Komunikasi dalam keluarga yang sehat merupakan proses dua arah yan dinamis.
Pesan semata-mata hanya dikirim dan dan diterima oleh seorang penerima dan
pengirim. Misalnya, karena pengirimlah yang memulai suatu pesan, penerima
menunjukkan suatu ekspresi wajah yang akan mengubah pesan pengirim balik
"negatif" sebelum ia mengakhiri pembicaraan. Sebagai akibatnya, mungkin mengubah
susunan kata-kata sebuah pesan sementara melakukan pengirimarn sehingga penerima
mempunyai satu kerangka referensi yang sama. Akan tetapi, sifat dinamis dari
komunikasi ini menciptakan interaksi fungsional yang kompleks dan tidak bisa
diprediksi. Bahkan dalam keluarga yang paling sehat sekalipun, komunikasi banyak
sekali menjadi renggang dan problematis. Dalam keluarga fungsional, telah dicatat
bahwa pesanan dari para anggota keluarga merupakan ekspresi yang diperbolehkan.
Satir (1983), seorang spesialis terapi keluarga percaya bahwa pengakuan terhadap
perasaan merupakan sesuatu hal yang vital lewat umparn Dalam dua bagian berikut
ini, deskripsi tentang perilaku spesifik yang digunakan oleh pengirim fungsional dan
penerima fungsional ketika berkomunikasi juga diwawancara.
(1) Pengirim Fungsional
Satir (1967) menyatakan bahwa pengirin yang berkomunikasi dalam suatu cara
fungsional dapat:
(a) Secara tegas menyatakan masalah/kasusnya.
(b) Pada saat yang sama ia menjelaskan dan mengubah apa yang ia katakan
(c) dan meminta umpan balik
(d) Bersikap menerima umpan balik ketika ia mendapatkannya
Karena setiap elemen dari keempat elemen ini sangat penting bagi pemahaman
terhadap komunikasi yang sehat, setiap elemen tersebut dibahas secara singkat.
(a) Menyatakan Kasus secara Tegas
1) Tingkat Kongruen
Salah satu dasar untuk menyatakan kasus seseorang secara tegas adalah dengan
menggunakan komunikasi yang kongruen antara tingkat isi dan instruksi. Satir (1975)
menamakan orang yang menggunakan gaya komunikasi semacam ini sebagai seorang
komunikator yang kongruen.
2) Intensitas dan Keeksplisitan
Ketika seorang bekomunikasi, pengirim meminta sesuatu dari penerima.
Permintaan semacam itu meliputi bermacam-macam tingkatan intensitas dan
keeksplisitan, yang mana keduanya meliputi betapa teguhnya pengirim menyatakan
masalahnya. Intensitas merujuk pada kemampuan pengirim mengkomunikasikan
persepsi internal dari perasaan, hasrat, dan kebutuhan- kebutuhannya secara efektif
pada intensitas yang sama ketika ia mengalami persepsi yang sama secara internal.
Untuk menjadi eksplisit, pengirim fungsional memberikan informasi bagi penerima
betapa seriusnya informasi, dengan menyatakan bagaimana penerima harus
memberikan respons terhadap pesan.
(b) Menjelaskan dan Mengubah Pernyataan
Dimensi kedua yang diidentifikasi oleh Satir sebagai karakterstik yang esensial
dari pengirim fungsional adalah dengan pemakaian pernyataan yang bersifat
menjelaskan dan mengubah dalam komunikasinya. Pemakaian pernyataan-pernyataan
tersebut membuat pengirim lebih spesifik dan mengeluarkan persepsi realitanya
terhadap realita orang lain.
1) Pernyataan "Saya Ingin".
2) Pernyataan "Saya Rasa"
3) Pernyataan "Saya Bermaksud"
4) Pernyataan "Saya Suka" dan Saya Tidak Suka.
5) Pernyataan Membuka diri.
6) Pernyataaa Langsung
7) Pertanyaan terbuka.
8) Mendapatkan Umpan Balik.
(2) Penerima Fungsional
(a) Mendengar
1) Berdiam
2) Mengharapkan
3) Menanti suatu respons
4) Praktik menahan diri
(b) Umpan Balik
1) Meminta pengirim menjelaskan dan mengubah
2) Mengasosiasi
3) Menyatakan kembali dan memeriksa pesepsi
(c) Validasi
1) Validasi pikiran
2) Validasi perasaan
3) Validasi plus pernyataan dan pandangan pribadi
g) Pola-pola fungsional dari komunikasi
Pola-pola komunikasi keluarga adalah karakteristik pola-pola interaksi sirkular
dari keluarga, yang disamping mempengaruhi dan mengorganisir anggota keluarga,
pola pola ini juga menghasilkan arti dari transaksi di antara para anggota keluarga.
Yang penting, melalui interaksilah kebutuhan-kebutuhan afektif dipenuhi.
Kebanyakan komunikasi keluarga berlangsung dalam subsistem-subsistem (subsistem
orangtua-anak, pasangan orangtua, subsistem saudara kandung), membuat analisa
komunikasi subsistem dalam keluarga menjadi pusat perhatian. Interaksi dalam
keluarga dipengaruhi peran dan tugas para anggota keluarga sebagaimana
digambarkan oleh kebudayaan.
Curan (1983) adalah orang yang mempelajari secara ekstensif dan
menggambarkan keluarga sehat, ia menulis bahwa ciri pertama dari keluarga sehat
adalah komunikasi yang jelas dan kemampuan mendengar satu sama lain. Komunikasi
sangat penting bagi kedekatan hubungan agar berkembang dan terpelihara.
Kemampuan anggota keluarga untuk mengenal dan memberi respons terhadap peran-
peran nonverbal, diidentifikasikan sebagai suatu atribut penting keluarga sehat.
Komunikasi Emosional
Komunikasi emosional berkenaan dengan ekpresi berbagai emosi atau perasaan
mulai ungkapan kemarahan, sakit hati, sedih dan cemburu, hingga bahagia, kasih
sayang, kelembutan hati (Wright dan Leahey, 1984). Lewis dkk. (1976) dalam studi
tentang perbedaan antara keluarga fungsional dan disfungsional yang dilakukan secara
seksama, ia menemukan bahwa keluarga sehat menampakkan suatu spektrum perasaan
secara penuh, sedangkan keluarga yang tidak berfungsi (disfungsional) secara
emosional, dikatakan sempit dan kaku dalam mengungkapkan perasaan. Misalnya,
dalam keluarga yang tidak berfungsi (disfungsional) marah dari orang tua kepada anak
diperbolehkan, tapi sebaliknya tidak boleh atau menunjukkan kasih sayang secara
jelas.
Komunikasi efektif pesan-pesan verbal dari perhatian dan nonverbal, gaya tubuh
secara fisik dari sentuhan, belaian, pelukan, dan pandangan yang secara khusus
penting. Sebagaimana Bowlby (1966) membolehkan bahwa ekspresi menyangkut
afeksi dalam masa kanak-kanak awal sangat penting bagi perkembangan respons
afeksional normal. Kemudian hari, pola-pola komunikasi afeksional akan menjadi
dominan dalam menyampaikan pesan-pesan afeksional. Akan tetapi, perlu dicatat
disini bahwa latar belakang membuat perbedaan besar dalam hal banyaknya
komunikasi emosional yang terjadi.
Area-area Terbuka dari Komunikasi dan Membuka Diri
Keluarga-keluarga fungsional adalah kelurga-keluarga dengan pola-pola
komunikasi fungsional, keterbukaan nilai, saling hormat menghormati perasaan,
pikiran danperhatian, spontanitas, autensitas, dan membuka diri. Keluarga-keluarga
dapat mengikuti pembicaraan tentang hampir semua bidang kehidupan-baik isu-isu
dan persoalan peribadi maupun sosial. Bidang ini menunjukkan kepada "area-area
terbuka dalam komunikasi". Dalam hubungan dengan "membuka diri" menyatakan
secara tegas bahwa anggota keluarga yang berbicara secara terbuka satu sama lain
adalah orang cukup percaya diri untuk mempertaruhkan interaksi yang penuh arti.
Orang yang memiliki harga diri yang baik, cenderung menjadi orang yang suka
berbicara terbuka, yang percaya akan sikap membuka diri-suatu ekpresi terhadap
pikiran dan perasaan yang mendalam.
Hirarki Kekuasaan dan Aturan-Aturan Keluarga
Sistem keluarga didasarkan pada hirarki kekuasaan atau "urutan kekuasaan" dim
komunikasi mengandung "perintah" dan "kewajiban" yang umumnya datang dari atas.
Interaksi fungsional dalam hirarki kekuasaan terjadi ketika kekuasaan didistribusikan
menurut kemampuan dan sumber-sumber dari anggota keluarga dan sesuai dengan
ketentuan budaya kekuasaan hubungan keluarga.
Konflik Keluarga dan Resolusi Konflik Keluarga
Interaksi manusia adalah konflik, yang menjadi suatu bentuk vital dari interaksi
sosial. Konflik sosial terdapat di mana-mana dan sangat penting bagi perkembangan
kelompok dan pemeliharaannya (Coser, 1956). Konflik berfungsi untuk memelihara
komunikasi interaksi keluarga dalam beberapa cara yang penting.
Konflik verbal merupakan suatu interaksi normal dalam keluarga yang bersifat
Literatur tentang konflik keluarga menyatakan bahwa keluarga yang sehat nampaknya
mampu "menahan keseimbangan yang rumit antara konflik yang cukup untuk
mendatangkan keuntungan-keuntungan yang positif, tapi bukan konflik yang
berlebihan yang mendatangkan keuntungan-keuntungan kehancuran hubungan
keluarga (Vuchinich, 1987, hal. 591).
Penyelesaian konflik merupakan tugas vital dari interaksi dalam keluarga.
Suami/istri perlu belajar memiliki konflik-konflik konstruktif. Meskipun cara
bagaimana pasangan menyelesaikan konflik itu berbeda-beda, penyelesaian fungsional
dapat dilakukan apabila konflik tersebut dibahas secara terbuka, dan memakai strategi
strategi penyelesaian, atau jika orang tua menggunakan otoritas secara memadai untuk
menghentikan konflik tersebut. Orang perlu bertindak sebagai model peran bagi anak-
anak mèreka dalam hubungan dengan mengungkapkan konflik/perbedaan dan
penyelesaian konflik ini.
h) Komunikasi Disfungsional dalam keluarga
Berlawanan dengan definisi komunikasi fungsional, komunikasi disfungsional
didefinisikan sebagai pengiriman (transmisi) dan penerimaan isi dan
instruksi/perintahdari pesan yang tidak jelas/tidak langsung dan/atau
ketidaksepadanan antara tingkat isi dan perintah dari pesan. Aspek tidak langsung dari
komunikasi disfun kepada pesan-pesan menuju sasaran yang tepat (langsung) atau
dibelokkan dan menuju orang lain dalam keluarga (tidak langsung).
Karakteristik dan Nilai-Nilai
Salah satu faktor utama yang melahirkan pola-pola komunikasi yang tidak
berfungsi (disfungsional) adanya harga diri yang rendah dari keluarga maupun
anggota, khususnya orangtua (Anderson, 1972: Satir, 1983). Tiga nilai terkait yang
terus menerus menghidupkan harga diri rendah adalah pemusatan pada diri sendiri,
perlunya persetujuan total, dan kurangnya empati.
Pemusatan pada diri sendiri dicirikan oleh memfokuskan pada kebutuhan
sendiri. Seseorang untuk mengesampingkan kebutuhan, perasaan, dan perspektif orang
lain. Dengan kata lain, individu-individu yang mementingkan diri sendiri berupaya
memperoleh suatu dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Jika individu-individu ini harus memberi, mereka akan melakukannya dengan
enggan dan dengan cara bermusuhan, defensif, dan mengorbankan diri. Dengan
demikian tawar-menawar atau negoisasi secara efektif merupakan hal yang sulit,
karena orang-orang yang memusatkan pada diri sendiri percaya bahwa mereka tidak
bisa kehilangan sekecil apaun yang mereka harus berikan (Satir, 1983)
Nilai dari Persetujuan Total
Nilai yang dimiliki keluarga menyangkut upaya memelihara persetujuan total
dan menghindari tercetusnya konflik.
Kurangnya Empati
Anggota keluarga yang berpusat pada diri sendiri dan tidak dapat mentoleransi
perbedaan juga tidak dapat mengenal efek dari pikiran perasaan dan perilaku mereka
sendiri terhadap anggota keluarga yang lain. Juga, mereka tidak dapat memahami
pikiran, perasaan, dan perilaku dari menghabiskan waktu hanya untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri sehinggs mereka tidak punya kemampuan untuk menjadi
empatis.
Pengirim Disfungsional
Perilaku verbal spesifik yang menyatakan seorang pengirim disfungsional dan
seorang penerima tidak berfungsi juga dikemukakan di sini, sehingga ketika perilaku
ini diobservasi, terdapat pemahaman yang lebih besar terhadap dinamika dan
konsekuensi-konsekuensinya. Komunikasi dari seorang pengirim yang disfungsional
seringkali tidak efektif terhadap satu atau lebih dari keempat dasar karakteristik
sesorang pengirim fungsional; dalam mengatakan kasus, dalam menjelaskan dan
mengubah, dalam menggali dan/menjadi reseptif terhadap umpan balik. Penerima
sering tetap bingung dan harus menerka apa yang dipikirkan dan dirasakan pengirim.
Komunikasi dari pengirim yang disfungsional bersifat defensif secara pasif maupun
aktif dan seringkali menghapuskan kemungkinan untuk mencari umpan balik yang
jelas dari penerima. Komunikasi "yang tidak sehat" pada pengirim dibahas dalam lima
kategori.
(1) Asumsi-asumsi
(a) Berbicara untuk orang lain
(b) Apa yang dirasakan atau dievaluasi tak dapat diubah.
(c) Pesan yang tidak komplit
(d) Beramsumsi orang lain mengungkapkan persepsi, pikiran dan perasaan yang
sama
(e) Generalisasi
(f) Satu contoh mewakili semua.
(2) Ekspresi Perasaan Tak Jelas
(a) Sarkasme
(b) Kelayakan-super
(c) Kemarahan terpendam
(d) Ungkapan sakit hati sebagai marah
(3) Ekspresi Menghakimi
(a) Pernyataan/pertanyaan meremehkan atau menyalahkan
(b) Pernyataan "Anda Harus"
(4) Ketidakmampuan mengunkapkan kebutuhan.
(a) Kebutuhan terpendam terhadap pemeliharaan.
(b) Permintaan tertutup
(c) Keluhan-keluhan
(5) Komunikasi Yang Tak Kongruen
(a) Tidak kongruenan verbal-verbal
(b) Tidak kongruenan verbal-non verbal
Penerima Disfungsional
Jika penerimanya tidak berfungsi atau disfungsional, maka akan terjadi
kegagalan komunikasi karena pesan tidak diterima sebagaimana diharapkan.
1) Gagal mendengar
Dalam kasus gagal mendengar, pesan tetap dikirim, namun penerima tidak
mendengar pesan tersebut. Mungkin ada banyak penyebab terjadinya kegagalan untuk
mendengar, mulai dari dengan sengaja tidak memperhatikan hingga ketidakmampuan
mendengar. Hal ini disebabkan oleh gangguan yang terus ménerus, seperti keributan,
waktu yang tidak tepat dan cemas yang tinggi (Sells,1973).
2) Diskualifikasi
Suatu disfikualifikasi adalah merupakan suatu respons tidak langsung yang
membolehkan penerima tidak setuju dengan suatu pesan, tanpa harus benar-benar
tidak setuju.
a) "Ya-Tetapi
b) Penolakan.
c) Tangensialisasi dan distraksi.
d) Penyerangan dan negativitas
e) Menyerang dengan issu yang berbeda.
f) Menyakitkan.
g) Penampikan.
3) Kurang Eksplorasi
Untuk menjelaskan maksud dan makna dari suatu pesan, responder yang
fungsional mencari penjelasan yang lebih jauh. Sebaliknya, penerima yang fungsional
meinggunakan respon-respon yang mengabaikan eksplorasi seperti membuat asumsi-
asumsi (sebagaimana didiskusikan sebelumnya) , memberikan nasehat yang bersifat
prematur atau memotong komunikasi.
a) Nasehat dini
b) Memotong komunikasi
4) Kurang Validasi
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, penerima dalam suatu interaksi
mempunyai tugas yang sulit dalam upaya menginterprestasi secara tepat, baik isi
maupun maksud dari pesan. Validasi sebagaimana didefinisikan sebelumnya merujuk
pada penyampaian penerima tentang penerimaan. Dari sebab itu, kurangnya validasi
memberi arti bahwa penerima memberikan respon-respon secara alamiah
(menunjukkan baik penerimaan atau penolakan) atau menyimpang atau salah
menginterprestasikan pesan.
i) Pola-pola Komunikasi Disfungsional
Dalam interaksi terpola ini, dua anggota keluarga atau lebih membentuk
jaringan kerja repetitif dan strategi-strategi komunikasi disfungsional, yang berupaya
menjaga homeostatis dan integrasi unit keluarga. Proses yang distungsional biasanya
tidak jelas, dan maksud dari komunikasi pun tidak jelas atau tersembunyi. Begitu pula
pengkajian yang tepat dari tepi pola-pola disfungsional yang tidak sehat ini menjadi
lebih sulit. Dalam bagian ini, proses komunikasi interaksional yang disfungsional
sedikit sulit untuk dikaji telah diseleksi.
Sindrom Mengabadikan diri
Setiap individu dalam interaksi secara konstan menyatakan kembali isu-isunya
sendiri tanpa benar-benar mendengarkan pandangan orang lain atau mengakui orang
lain.
Ketidakmampuan Berfokus Pada Satu Isu
Setiap individu dalam berinteraksi mulai membahas dari satu isu ke isu yang
lain daripada hanya memecahkan masalah yang didiskusikan atau memperoleh
kedekatan.
Area Komunikasi Tertutup
Sementara lebih banyak keluarga yang fungsional memiliki lebih banyak area
komunikasi terbuka, keluarga-keluarga kurang fungsional, yang menunjukkan pola
interaksi disfungsional akan menunjukkan area-area yang lebih tertutup dari
komunikasi. Keluarga memiliki aturan tidak tertulis tentang subjek-subjek disepakati
atau tidak disepakati untuk dibicarakan dalam diskusi. Aturan-aturan tidak tertulis ini
paling jelas kelihatan ketika anggota keluarga melanggar aturan tersebut dengan
mengangkat subjek yang tidak disetujui atau mengungkapkan perasaan yang terlarang.
Aturan-aturan keluarga yang tidak tertulis tentang komunikasi apa yang terbuka
tertutup, mengungkap banyak sekali aspek dari sebuah struktur keluarga (Nilai-
nilainya, norma-normanya, kekuasaan dan peran dalam keluarga). Pembatasan-
pembatasan komunikasi boleh jadi terbatas pada subsistem-subsistem tertentu dalam
keluarga misalnya: diskusi tentang kebiasaan seksual di depan anak-anak, atau
alkoholisme orang tua. Masalah masalah finansial hanya dibicarakan olch suami dan
istri tetapi bukan dengan anak. Malahan, sebuah area boleh jadi tertutup dalam
hubungannya dengan ungkapan pikiran.
Norma-norma budaya tentang sopan santun, privasi dan peran seksual boleh jadi
memainkan sebagian besar dalam mempengaruhi area-area di mana ada komunikasi
terbuka dan tertutup. Dengan demikian pola-pola komunikasi harus dievaluasi dalam
konteks budaya mereka.
j) Komunikasi Keluarga menerapkan Proses Keperawatan Keluarga.
Pertanyaan-pertanyaan Pengkajian
(1) Dalam mengamati keluarga secara keseluruhan dan/atau rangkaian hubungarn
keluarga, bagaimana komunikasi disfungsional dan fungsional digunakan secara
efektif? Berikan contoh-contoh pola yang terjadi berulang-ulang.
(a) Bagaimana anggota mengutarakan kebutuhan-kebutuhan dan perasaan mereka
secara jelas dan tegas?
(b) Sejauh mana anggota keluarga menggunakan klarifikasi dan pengubahan serta
interaksi?
(c) Apakah anggota keluarga menggali dan memberika respons terhadap umpan
balik secara menguntungkan atau apakah mereka umumnya melemahkan
umpan balik dan eksplorasi suatu isu?
(d) Bagaimana anggota keluarga mendengar dan ikut dengan baik ketika
berkomunikasi?
(e) Apakah anggota keluarga mencari validasi satu sama lain?
(f) Hingga tingkat apa anggota keluarga menggunakan asumsi-asumsi dan
pernyataan-pernyataan bersifat menilai dalam interaksi?
(g) Apakah anggota keluarga berinteraksi terhadap pesan-pesan dengan cara yang
menolak?
(h) Berapa kali diskualifikasi digunakan?
(2) Bagaimana cara pesan-pesan emosional dikemulakan dalam keluarga dan dalam
subsistem-subsistem keluarga?
(a) Seberapa sering pesan-pesan emosional dikemukakan?
(b) Tipe emosi apa yang di transmisikan dalam subsistem-subsistem keluarga?
(c) Apakah tipe emosi negatif atau positif atau keduanya ditransmisikan?
(3) Apa frekuensi dan kualitas komunikasi dalam jaringan kerja komunikasi dan
beberapa rangkaian hubungan keluarga?
(a) Siapa yang berbicara kepada siapa dan dengan cara apa?
(b) Apa pola yang lazim digunakan untuk mentransmisikan pesan-pesan penting?
(c) Apakah ada perantara ?
(d) Apakah pesan-pesan cocok dengan usia perkembangan keluarga?
(4) Apakah mayoritas dari pesan anggota keluarga kongruen dalam isi dan instruksi
(termasuk observasi pesan-pesan nonverbal)? Jika tidak, siapa yang
memanifestasikan ketidakkongruenan?
(5) Tipe proses disfungsional apa yang terlihat jelas dalam pola-pola komunikasi?
(6) Isu-isu pribadi atau keluarrga apa yang terbuka dan tertutup terhadap
pembahasan?
(7) Pengaruh-pengaruh internal (menyangkut keluarga: nilai-nilai, peran, peran,
kekuasaan, pola-pola sosialisasi afektif dan koping; dan pribadi, harga diri orang
tua) dan eksternal (lingkungan, sosio-ekonomi, dan kultur) apa yang
mempengaruhi pola-pola komunikasi keluarga?
Diagnosa Keperawatan
Meskipun masalah-masalah komunikasi keluarga merupakan diagnosa
perawatan keluarga yang lazim dan penting, North American Nursing Diagnosis
Association (NANDA) belum mengidentifikasi diagnosa yang berdasarkan
komunikasi keluarga. Satu diagnosa perawatan yang didaftar oleh NANDA adalah
"komunikasi verbal yang rusak", yang berfokus pada klien individu yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal (McFarland dan McFarland, 1989),
Diagnosa keperawatan keluarga luas dapat digunakan, seperti komunikasi
keluarga disfungsional (apabila masalah-masalahnya terpusat pada subsistem.
Diagnosa keperawatan keluarga lainnya yang umum dalam bidang ini adalah
komunikasi keluarga yang rusak dan masalah-masalah komunikasi keluarga jika
diagnosa-diagnosa luas digunakan, lalu mendefinisikan kerekteristik-karakteristik dan
faktor-faktor terkait lainnya harus mendampingi diagnosa, maka ikutilah pola
mendampingi diagnosa, maka ikutilah pola NANDA. Beberapa perawat keluarga
dapat mengidentifikasi suatu masalah komunikasi keluarga yang lebih spesifik sebagai
diagnosa, seperti komunikasi perkawinan yang emosional atau afektif yang minimal
pola-pola komunikasi yang tidak kongruen dari orang tua.
Intervensi keperawatan Keluarga
Intervensi-intervensi keperawatan keluarga dalam bidang komunikasi
difokuskan pada tiga tingkat prevensi: prevensi primer, sekunder, dan tersier. Strategi-
strategi meliputi penyuluhan dan konseling, dan kolaborasi sekunder, perjanjian, dan
rujukan terhadap kelompok bantuan diri, organisasi-organisasi komunitas, dan klinik-
klinik terapi keluarga atau kantor-kantor.
a) Intervensi Keperawatan Keluarga Umum
Para konselor keluarga sering mengatakan bahwa peran-peran yang mereka
laksanakan dalam bekerja dengan keluarga adalah mengajarkan keluarga dinamika
bagaimana berkomunikasi dalam cara yang lebih fungsional satu sama lain.
Kebanyakan penyuluhan yang berlangsung sekarang sifatnya informal yaitu yan
berlangsung dalam interaksi spontan klien perawat. Menjadi model merupakan jenis
penyuluhan yang penting. Hal ini dilakukan lewat observasi dari anggota keluarga
profesional di bidang kesehatan, mereka belajar meniru perilaku komunikasi yang
sehat. Perawat dalam model peran komunikasi yang fungsional harus mendengar
dengan serius, sadar, dan secara empatik, menindaklanjuti dengan mengklarifikasi
pertanyaan-pertanyaan dan memberikan dorongan untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan. Model peran men jadi sebuah metode pembelajaran yang khusus berpotensi,
apabila anggota keluarga secara pos mengidentifikasi dengan perawat keluarga.
Konseling dalam area komunikasi keluarga meliputi memberikan dorongan dan
dukungan bagi keluarga-keluarga dalam upaya mereka memperbaiki komunikasi
antara mereka sendiri. Dalam konseling, perawat keluarga tampil sebagai fasilitator
kelompok proses dan scorang narasumber. Kehadirannya memberikan izin kepada
mereka untulk mencoba cara-cara' baru berkomunikasi dan keamanan adanya "orang
ketiga" bila mereka sebelumnya menggunakan komunikasi tertutup untuk
mendiskusikan atau melanggar aturan komunikasi tertulis lain, seperti tak setuju atau
mpandangan mereka.
b) Intervensi Keperawatan Keluarga Khusus
Strategi intervensi yang lebih spesifik dalam area komunikasi keluarga,
menggambarkan apa yang kita tahu tentang komunikasi fungsional mengingatkan
komunikasi keluarga yang fungsional menjadi tujuan belaka. Klarifikasi dari Wright
dan Leahey (1984) tentang tiga-tipe intervensi langsung keluarga (yaitu yang berfokus
pada tingkat fungsi kognitif, afektif dan perilaku) membantu dalam mengorganisir
strategi-strategi komunikasi yang spesifik, yang dapat diterapkan. Strategi-strategi
intervensi pada masing-masing dari ketiga domain meliputi penyuluhan dan
konseling.
(1) Fokus Tingkat – Kognitif
Intervensi keluarga dalarn bidang ini memberikan informasi baru atau ide
tentang komunikasi. Informasi ini bersifat mendidik dan. sepenuhnya membantu
pemecahan masalah keluarga. Apakah anggota keluarga mengubah perilaku
komunikasi mereka, pertama-tama sangat tergantung pada bagaimana mereka merasa
dan melihat masalah tersebut. Wright dan Leahey (19834) menegaskan adanya peran
penting dari persepsi yang menyatakan, "perawat harus membantu keluarga
memperoleh pandangan yang berbeda terhadap masalah mereka. Dari sebab itu, tujuan
disini adalah untuk mengubah persepsi dan keyakinan anggota keluarga tentang
masalah komunikasi yang spesifik.
Membantu anggota keluarga untuk membentuk kerangka pesan-pesan sehingga
mereka dapat memiliki pandangan yang lebih positif terhadap situasi tertentu bersifat
sangat membantu. Misalnya, membantu anggota bahwa ketika seorang dalam keluarga
sangat marah, yang umumnya bahwa ia merasa tersinggung, sakit, dan mungkin saja
merasa ditolak. Tersinggung emosi yang jauh lebih "dapat diterima" dan merupakan
emosi positif bagi anggota keluarga untuk memberikan respon, daripada marah dan
permusuhan.
Satu "pelajaran" penting lain untuk dipelajari angota keluarga adalah bałhwa
tidak satu hal realita. Realita-realita atau persepsi-persepsi multipel hadir dalam
situasi tertentu. Setiap anggota keluarga memiliki perspektif persepsi sendiri tentang
suatu kejadian atau situasi tertentu. Untuk menghadapi konflik atau menuntut
pengambilan keputusan, persepsi (dan perasaan) anggota keluarga tentang situasi
harus dipahami dan dipertimbangkan.
(2) Fokus Tingkat – Afektif
Intervensi dalam bidang ini diarahkan untuk mengubah ekspresi emosi dari
anggota baik dengan meningkatkan maupun mengurangi tingkat komunikasi
emosional atau memodifikasi kualitas komunikasi emosional. Tujuan-tujuan
perawatan yang spesifik di sini adalah untuk membantu anggota keluarga
mengungkapkan dan membagi perasaan satu sama lain sehingga (a) Kebutuhan-
kebutuhan emosional mereka dapat disampaikan dan direspons lebih baik, (b)
Komunikasi 'keluarga yang jelas dan kongruen dapat terjadi; dan (c) upaya-upaya
pemecahan masalah keluarga dapat dipermudah.
Intervensi langsung yang ditunjukkan kepada tingkat afektif fungsi keluarga
meliputi desakan pada orang tua untuk mengungkapkan perasaan baik yang positif
maupun negatif dengan anak-anak mereka. Dan begitu pula, mendukung upaya-upaya
orangtua untuk mendorong anak-anak mereka untuk melakukan pengungkapan
perasaan mereka sepenuhnya dengan orang mereka, sehingga anak-anak dapat
menjadi komunikator yang lebih baik. (anak-anak dapat mengungkapkan sendiri
karena mereka melihat orangtua mereka mengungkapkan sendiri). Selain itu perawat
keluarga menunjukkan perawat keluarga menungukkan kkat komunikasi dari anggota
keluarga dan mendorong mereka agar lebih kongruen dalam hal isi pesan maupun
metamessage (metamessage atau instruksi terdiri dari bagaimana isi pesan
disampaikan, termasuk perasaan yang dengannya kata-kata tersebut disampaikan).
(3) Fokus Tingkat – Perilaku
Memahami atau memiliki persepsi-persepsi positif tentang sebuah masalah
komunikasi keluarga tidak cukup untuk terjadinya perubahan. Harus ada perubahan
perilaku (Wright dan Leahey, 1984). Daripada mencari tahu penyebab-penyebalb
tersembunyi dan "mengapa" terhadap masalah, Wright dan Leahey menganjurkarn
perawat keluarga menanyakan "apa" terhadap masalah tersebut. misalnya, jika seorang
ayah memutuskan sendiri film apa efeknya terhadap anggota keluarga, jauh lebih
menolong dari menanyakan mengapa ia membuat keputusan itu sendiri.
Perubahan perilaku merangsang perubahan dalam "realita" persepsi seorang
anggota keluarga, dan persepsi merangsang perubahan dalam perilaku (terdapat proses
sirkular dan berulang-ulang yang terlibat). Oleh sebab itu ketika perawat keluarga
membantu anggota keluarga belajar cara-cara berkomunikasi yang lebih sehat dan
baru, ia juga membantu mengubah persepsi anggota keluarga atau mengubah
konstruksi realita mereka tentang situasi.
2) Struktur Kekuatan Keluarga
Di dalam membahas struktur kekuatan keluarga akan disinggung tentang
kekuasaan keluarga, wewenang pengambilan keputusan dalam keluarga.
(a) Kekuasaan Keluarga
Kekuasaan keluarga adalah kemampuan baik kemampuan potensial
maupunaktual dari seorang individu untuk mengontrol, mempengaruhi dan mengubah
tingkah laku seseorang. Secara alamiah kekuasaan bersifat multidimensional yang
meliputi kekuasaan sosial budaya, interaksi, dan komponen hasilnya (Donald, 1980)
Kekuasaan keluarga sebagai sebuah karakteristik dari sistem keluarga adalah
kemampuan baik potensial maupun aktual dari seorang anggota individu untuk
mengubah tingkah laku anggota keluarga (Olson dan Cromwell, 1975). Komponen
komponen utama dari kekuasaan keluarga adalah pengaruh dan keputusan. Pembuatan
keputusan adalah merujuk pada proses pencapaian persetujuan dan komitmen anggota
keluarga untuk melakukan serangkaian tindakan atau menjaga status quo. Dengan kata
lain, pembuatan keputusan merupakarn menyelesaikan segala sesuatu" (Scanzoni dan
Szimovacs, 1980).
Otoritas atau wewenang adalah istilah yang punya kaitan erat, yang
menyebabkan keyakinan-keyakinan yang dianut bersama oleh anggota keluarga, yang
didasarkan secara kultur dan normatif dan menyebabkan seorang anggota keluarga
sebagai orang berhak mengambil keputusan dan menerima posisi kepemimpnan.
Kekuasaan merupakan sebuah dimensi dari suatu sistem atau subsistem keluarga, dan
di dalamnya bukan suatu karakteristik dari anggota keluargalah terpisah dari suatu
sistem sosial. Kekuasaan-kekuasaan ini adalah kekuasaan perkawinan, orang tua,
turunan, saudara sekandung dan hubungan keluarga. Akan tetapi hasil riset
menuliskan kekuasaan keluarga berfokus pada kekuasaan perkawinan.
(b) Mengukur Kekuasaan Keluarga
Bagaimana seseorang mengukur atau mengkaji kekuasan dalam keluarga? Ini
merupakan pertanyaan kunci dan merupakan satu pertanyaan yang belum ada
konsensus dalam hal metodologi dan fokus.
(1) Hubungan alokasi tugas dengan kekuasaan keluarga
Yang cukup menarik Johnson menemukan bahwa hanya ketika menanyakan
bidang-bidang spesifik yang sering mengacaukan sumber dari seluruh kekuasaan,
karena dikatakan bahwa seorang pasangan dapat mendelegasikan tanggung jawab tapi
kekuasaan tertinggi mungkin terletak pada pasangan suami istri. Ketika istri tersebut
ditanya tentang tanggung jawab spesifik dan alokasi tugas, nampaknya mereka lebih
berpengaruh daripada suami mereka.
(2) Berfokus pada hasil pembuatan keputusan
Kekuasaan keluarga secara khusus telah diteliti dengan memusatkan perhatian
pada pengambilan keputusan. Namun, apakah kekuasaan ini diidentifikasikan dengan
menentukan hasil dari suatu keputusan (misal, apa keputusannya, dan siapa yang
memutuskannya), atau dengan proses pengambilan keputusan itu sendiri? Pemikiran
saat ini masih tetap berlaku pada pihak proses (Scanzoni dan Szinoves, 1980;
Szinovacs, 1987).
(3) Bidang-bidang pengkajian umum
Suatu pengkajian yang komprehensif tentang kekuasaan keluarga disediakan
Cromwell dan Olson (1975) yaitu :
a) Dasar Kekuasaan
Deskripsi singkat tentang tipe-tipe kekuasaan tersebut sebagai berikut :
1) Kekuasaan atau wewenang yang sah
Kekuasaan yang sah kadang-kadang disebut juga wewenang primer, yang
merujuk pada kepercayaan bersama dan persepsi dari anggota keluarga bahwa satu
orang mempunyai hak untuk mengontrol tingkah laku dari satu anggota keluarga lain
dengan bantuan peran dan posisi yang ditempati seseorang, hak-hak tertentu dan hak-
hak istimewa yang diwariskan secara budaya ada, yaitu yang berhubungan dengan
peran-peran posisi ini.
2) Kekuasaan yang tidak berdaya atau putus asa
Tipe kekuasaan ini merupakan suatu bentuk penting dari kekuasan sah yang
didasarkan pada hak yang diterima secara umum dari mereka yang membutuhkan atau
dari mereka yang tidak berdaya, yang mengharapkan bantuan dari mereka yang
memiliki posisi untuk memberikan bantuan tersebut. Kekuasaan yang tidak berdaya
mungkin sangat efektif dalam keluarga dimana salah satu anggotanya sakit kronis,
cacat, atau lansia. Seorang suami/istri atau anggota keluarga yang cacat dapat
mengontrol anggota keluarga atas dasar ketidakberdayaan atau kelemahannya.
3) Kekuasaan Referen
Sebuah sumber ketiga dari kekuasaan yang diistilahkan dengan kekuasaan
referen yang mempunyai arti; semacam kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang
tertentu terhadap orang lain karena identifikasi positif terhadap mereka, seperti
identifkasi positf dari seorang anak dengan orang tua. Anak-anak meniru tingkah laku
anggota keluarga, biasanya orang tua merupakan orang yang menjadi model peran.
4) Kekuasan Ahli dan Sumber
Adalah tipe dasar kekuasaan yang datangnya dari sumber-sumber berharga
dalam jumlah yang lebih banyak dalam suatu hubungan. Jika kekuasaan didefinisikan
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi atau menekan, sumber- sumber seperti
atribut-atribut tertentu, suasana atau pemilikan dipandang sebagai determinan utama
kemampuan ini (Osmond, 1978). Misalnya, suami dominan karena ia mengontrol
uang belanja, atau istri dominan karena ia lebih praktis dan lebih terarah pada tujuan
daripada suami.
5) Kekuasaan Penghargaan
Kekuasaan pengargaan berasal dari adanya harapan bahwa orang yang
berpengaruh, dan dominan akan melakukan sesuatu yang positif terhadap ketaatan
seseorang. Menurut Szinovacs (1987), anak-anak memiliki suatu sumber yang penting
dalam kepatuhan mereka. Tingkah laku anak yang baik merupakan suatu sumber
kesenangan dan kebanggaan orang tua, dengan demikian merupakan suatu dasar bagi
kekuasaan (misalnya, anak sering menggunakan tingkah laku yang baik untuk
memperoleh keuntungan yang diinginkan).
6) Kekuasaan Dominasi atau Paksa
Penggunaan yang efektif dari sumber kekuasaan ini berdasarkan persepsi dan
kepercayaan bahwa orang yang memiliki kekuasaan mungkin akan menghukum
dengan ancaman, paksaan, atau kekerasan dari individu-individu lain jika mereka
tidak taat. Kekuasaan yang bersifat memaksa digunakan dengan pengambilan
keputusan paksa pula.
7) Kekuasaan Informasional
Dasar kekuasaan ini berasal dari pesan persuasif. Seorang anak individu
diyakinkan oleh kebenaran dari pengirim pesan karena penjelasannya tentang
pentingnya perubahan yang dilakukan secara gemilang dan hati-hati (Raven et al,
1975). Tipe kekuasaan ini sama dengan kekusan ahli tapi ruang lingkupnya lebih
sempit.
8) Kekuasaan Manajemen Ketegangan
Tipe dasar kekuasan ini diturunkan dari kontrol dimana dicapai oleh pasang
dengan mengatasi ketegangan dan konfliks yang ada dalam keluarga. Dengan
manggunakan perdebatan penuh air mata, mencabik, dan ketidaksepakatan dalam
memasukkan anggota keluarga untuk "mengalał" adalah contoh kekuasan manajemen
ketegangan.
b) Hasil Kekuasaan
Bagian kedua dari pengkajian relatif terhadap kekuasan keluarga adalah bidang
dari hasil kekuasaan. Hal ini harus diingat, meskipun demikian bahwa bidang khusus
dari tanggung jawab dan pembuatan keputusan mungkin tidak serupa dengan pola
kekuasaan yang lebih umum dan dominan dalam keluarga. Meskipun demikian ada
tugas-tugas hanya dapat dipindahkan pada suaminya, dan bila tindakannya
menimbulkan ketidaknyamanan pada suami kekuasannya ditolak.
c) Proses Pembuatan Keputusan Atau Kekuasaan
Terdapat tiga tipe proses pembuatan keputusan yang didiskusikan dalam
bahasan ini :
(1) Pembuatan Keputusan dengan konsensus
Disini urutan tindakan tertentu secara bersama disetujui oleh semua yang telibat.
Terdapat tanggung jawab seimbang pada keputusan, serta kepuasan oleh anggota
keluarga atau rekanan. Keputusan konsensus disetujui sepanjang keputusan dan
negoisasi.
(2) Pembuatan Keputusan dengan Akomodasi
Di sini perasaan awal anggota keluarga tentang isu-isu ditentang. Satu atau
lebih anggota keluarga membuat kelonggaran, baik diinginkan atau tidak diinginkan.
Beberapa anggota menyetujui agar memungkinkan keputusan dicapai. Secara pribadi
atau publik anggota yang mengakui tidak akan diyakini, namun bahwa keputusan
dalam pernyataan adalah terbaik (Turner, 1970).
(3) Pembuatan keputusan De-Facto
Pengambilan keputusan mungkin dibiarkan terjadi tanpa perencanaan.
Keputusan dipaksakan oleh kejadian-kejadian pada tidak adanya pembuatan
keputusan yang aktif, volunter, atau efektif. Keputusan de-facto dapat juga dibuat bila
terjadi perdebatan di mana tidak terdapat resolusi atau bila isu-isu tidak dibawa dan
didiskusikan.
d) Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Kekuasaan Keluarga
Terdapat beberapa veriabel- variabel penting yang bertindak sebagai kelompok
variabel-variabel yaitu:
(1) Hirarkhi Kekuasaan Keluarga
Pada keluarga inti tradisional dan pada kebanyakan keluarga inti saat ini,
struktur kekuasaan adalah hirarkhi yang jelas, berarti bahwa struktur kekuasaan diurut
dan "kemasan pesan terjadi kearah bawah". Minuchin (1974) dan Haley (1979-1980)
menempatkan kepentingan yang besar pada garis-garis otoritas atau secara hirarki
mengatur struktur kekuasaan dalam keluarga. Dalam keluarga besar, keluarga orang
tua tunggal atau keluarga di mana kedua orang tua bekerja, beberapa alokasi
kekuasaan orang tua biasanya diberikan pada anak yang lebih besar.
(2) Pembentukan koalisi keluarga
Koalisi dalam keluarga paling sehat bila hal ini ada dalam tingkat
kekuasaanyang tepat (Gorman, 975). Ini telah ditunjuk oleh terapis keluarga Lidz,
1963; Minuchin, 1974: Satir, 1972) bahwa mempertahankan koalisi orangtua adalah
sehat dan fenomena yang sangat perlu untuk anak orang tua secata efektif Sebaliknya
koalisi anak-orang tua jangka panjang tak sehat, kolalisi ibu-anak khususnya umum
pada keluarga patriatik.
(3) Jaringan Komunikasi keluarga
Komunikasi adalah intensitas seimbang yang jarang dalam setiap pasangan yang
berhubungan dalam keluarga. Suami dan istri dapat berkomunikasi dengan sering,
dengan sangat, dan melewati topik area yang luas, sementara ayah dan laki-laki yang
paling muda dapat mengalami komunikasi satu sama lain yang sangat sedikit. Jaringan
komunikasi yang disebutkan di sini karena hubungannya dengan struktur kekuasaan,
makin besar sentralisasi anggota keluarga tersebut makin dominan dia.
(4) Perbedaan Kelas Sosial dalam Kekuasaan Keluarga
Keluarga-keluarga kelas bawah. Bermes (1967) menyimpulkan karakteristik
kekuasaan yang paling sering ditemukan dikalangan keluarga miskin. Suami
nampaknya lebih mungkin menyatakan kekuasaannya semata-mata karena ia seorang
pria.
Keluarga kelas menengah. Menurut Kanter (1978), perkawinan berdasarkan
persahabatan adalah perkawinan yang paling adil yang ditemukan pada kalangan kelas
bawah, mungkin disebabkan oleh suami memiliki waktu luang banyak untuk ambil
bagian dalam pekerjaan rumah tangga dan bertindak sebagai sahabat seorang istri.
(5) Tahap Perkembangan Keluarga
Keputusan yang dibuat oleh sebuah keluarga mempunyai hubungan yang
sangaterat dengan siklus kehidupan keluarga, seperti distribusi kekuasaan
anggotakeluarga. Keluarga cenderung berkembang mulai dari dimana konsentrasi
utamakekuasan berada di tangan kaum dewasa. Corales (1975) menerangkan bahwa
seorang istri mempunyai bayi maka kekuasaan perempuan semakin menurun, sama
halnya juga seorang suami istri hampir membahas semua bidang, kini semakin
berkurang seiring dengan jalannya waktu.
(6) Kelompok situasional
Perubahan situasional dapat pula menjadi tanda-tanda perubahan dari struktur
kekuasaan keluarga misalnya seorang suami menganggur dalam jangka waktu
tertentu, biasanya ia akan kehilangan kekuasaan dalam keluarga, jika kekuasaan
merupakan basis bagi kekuasaannya (Elder, 1974; McCubbin dan Dahl, 1985).
(7) Pengaruh Kebudayaan
Perbedaan budaya dan agama dalam keluarga juga menentukan pengaturan
kekuasaan dalam rumah tangga misalnya dominasi pria biasanya ditemukan dalam
keluarga Eropa, Asia dan Amerika Latin.
(8) Interdependensi dan tanggung jawab pasangan terhadap perkawinan
Peneliti belakangan ini (Godwim dan Scanzomi, 1989) telah menunjukkan
bahwa ketergantungan emosional (cinta dan perhatian dari pasangan) dan tingkat
tanggung jawab terhadap hubungan perkawinan belakangan ini, mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang digunakan dalam keluarga. Studi tersebut semakin istri
mencintai suaminya, semakin sedikit taktik keras yang digunakan, semakin mungkin
pengambilan keputusan dilakukan melalui konsensus. Dan semakin suami
menjalankan perkawinan, istri semakin memiliki kontrol.
e) Kekuasaan keluarga keseluruhan
Lewis dkk, (1976) mengembangkan model yang komprehensif untuk meringkas
struktur kekuaşaan sebuah keluarga yang meliputi keluarga yang tidak terpimpin atau
kacau balau (kaotis), yang tidak diidentifíkasikan dalam model-model sebelumnya.
Gambar di bawah menjelaskan dengan menyatukan berbagai tipe kekuasaan yang
lazim diobservasi dalam keluarga. Kontinum ini dianjurkan untuk digunakan dalam
mengkaji seluruh dimensi kekuasaan keluarga.

1 2 3 4 5

Kaotis Egalitarian Dominasi Dominasi Dominasi


Ringan Sedang Sangat
Jelas

Gambar 4 Kontinum Kekuasaan Keluarga

(1) Kepuasan perkawinan dan tipe kekuasaan keluarga


Secara konsisten menunjukkan bahwa kekuasaan dalam keluarga juga bertalian
erat dengan kepuasan dalam perkawinan. Tingkat kebehagiaan yang paling tinggi
sering ditemukan pada pasangan yang mengakui persamaan hak (egalitarian) dari
pasangan yang suaminya dominan bila dibandingkan dengan pasangan yang istrinya
dominan.
(2) Peran-peran artau kekuasaan wanita
Kranich Field (1978) menunjukkan bahwa dalam domain keluarga, wanita
sesungguhnya memiliki kekuasaan yang terabaikan. Kekuasaan mereka limpah
apabila kekuasan mereka didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengasuh,
mendidik, menentukan kepribadian, nilai dan keyakinan dari setiap umat manusia
dalam masyarakat.
f) Kecenderungan Kontemporer dalam Kekuatan Keluarga
Telah terjadi suatu perubahan yang berlangsung secara perlahan-lahan keluarga
tradisional, patriatik menuju struktur keluarga demokratis, egalitarian Karena
egalitarianisme dalam keluarga menjadi lebih menonjol, perubahan dalam dasar
kekuasaan bagi wanita juga sedang berlangsung meskipun lamban. Laki-laki sering
menggunakan kekuasaan keahlian formal untuk dasar pengaruh dalar keluarga
sedangkan wanita menggunakan kekuasaan referen, kekuasaan tanpa daya, kekuasaan
informasi tak langsung.
g) Atribut Kekuasaan Keluarga sehat dan Disfungsional
Dalam keluarga yang sehat, orang tua tampil sebagai sebuah koalisi, tidak
melaksanakan kekuasaan dengan cara otoriter dan kaku, melainkan dengan gaya
kepemimpinannya, dengan memberikan kesempatan dan negoisasi dan membua
pilihan, namun demikian kekuasaan dan batasnya jelas, tidak ada kebingunga
yang menyangkut posisi dan kekuasaan anggota keluarganya. Umumnya ayah
memegang kekuasaan paling besar, sedangkan ibu agak lebih sedikit dan jelasnya
anak memegang kekuasaan paling sedikit (Lewis et al, 1976).
3) Struktur Peran Keluarga
a) Pengertian Peran
Menurut Nye (1976), dibagi dua yaitu :
(1) Orientasi strukturalis yang menekankan pengaruh normatif (kultural), yaitu
pengaruh yang berkaitan dengan status-status tertentu dan peran-peran
terkaitnya (Liton, 1945).
(2) Orientasi interaksi dari Turner (1970) yang menekankan timbulnya kualitas
peran yang lahir dari interaksi sosial.
Posisi atau status, Posisi atau status didefinisaikan sebagai tempat seseorang dalam
suatu sistem sosial.
Okupan peran, Seseorang yang memegang suatu posisi dalam struktur sosial
Stress atau tekanan peran
Perasaan subjektif dari misalnya keluarga menciptakan tuntutan yang sangat
sulit dan tidak mungkin atau tuntutan-tuntutan yang menimbulkan konfik bagi mereka
yang menempati posisi dalam struktur sosial masyarakat (Hardy dan Hardy, 1988).
Konflik peran
Konfik yang terjadi ketika cakupan dari suatu posisi merasa bahwa ia berkonfik
dengan harapan yang tidak sesuai (Hardy dan Hardy, 1988).
Tipe-tipe konflik
(1) Konflik antar peran
Adalah konflik yang terjadi jika pola-pola perilaku atau norma-norma dari satu
peran tidak kongruen dengan peran yang lain yang dimainkan secara bersamaan oleh
individu disebabkan ketidakseimbangan perilaku-perilaku yang berkaitan dengan
berbagai peran atau besarnya tenaga berlebihan yang dibutuhkan oleh peran-peran ini.
Contoh sebagai siswa, penjaga rumah, memasak, perawatan anak dilakukan sekaligus.
(2) Intersender role conflict (konflik peran antar pengirim)
Adalah dua orang atau lebih memegang harapan yang berkonflik, menyangkut
peranan suatu peran.
(3) Personal role conflict
Adalah suatu konflik antara nilai-nilai internal individu dan nilai-nilai eksternal
yang dikomunikasikan kepada pelaku oleh orang lain dani melemparkan pelaku ke
dalam situasi yang penuh dengan stres peran. Contoh: remaja yang memiliki
pemikiran internal menyangkut perannya sebagai seorang remaja dan sebayanya
mienetítukam suatu peran yang berbeda.
Dimensi-dimensi normatif peran
Definisi : Budaya dimana seseorang berpartisipasi dan atau di mana individu
mengidentifikasi ketentuan-ketentuan dan larangan-larangan perilaku okupan-okupan
dari berbagai posisi. Tidak semua keluarga bersifat normatif secara merata (Nye,
1976, hal 15). Kekuatan suatu peran merupakan suatu norma yang kuat dan tidak
dilihat dari sanksi yang berlaku jika peran tersebut tidak dilakukan.
Kebersamaan peran
Adalah keikutsertaan dari dua orang atau lebih dalam peran-peran yang sama,
meskipun mereka memegang peran yang sama. Contoh: kasus sosialisasi anak di mana
ayah danibu secara bersama-sama berpartisipasi, selain guru-guru sekolah, para
pemimpin pemuda, pendeta, dan lain-lain.
Peran Resiprokal/Komplementer
Menurut Parson dkk, (1953). Prinsip komplementaris adalah adekuasi
fungsional dari peran dalam situasi sosial yang didasarkan atas perbandingan antara
penampilan dan harapan-harapan dari suatu hubungan.
Peran-peran formal keluarga
Peran-peran formal
Yang standar dalam keluarga; pencari nafkah, ibu rumah tangga, tukang
perbaiki rumah, pengasuh anak, supir, manager keuangan, dan tukang masak.
Peran parental dan perkawinan
Nye dan Gecas (1976), mengidentifikasi delapan peran dasar yang membentuk
posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu.
(1) Peran sebagai provider (penyedia)
(2) Operan sebagai pengatur rumah tangga
(3) Peran perawatan anak
(4) Peran sosialisasi anak
(5) Peran rekreasi
(6) Peran persaudaraan (kinship) memelihara hubungan parental keluarga parental
dan maternal
(7) Peran therapeutik (memenuhi kebutuhan afektif dari pasangan)
(8) Peran seksual
Peran pria dalam keluarga menurut Kennedy (1989)
(1) Pengamat moral
(2) Pencari nafkah
(3) Model peran seks
Peran kakek-nenek menurut Bengtso (1983) fungsi-fungsi simbolis kakek nenek :
(1) Semata-mata hadir dalam keluarga
(2) Bertindak sebagai pengawal nasional
(3) Menjadi hakim (negosiator antara anak dan orang tua)
(4) Menjadi partisipan aktif dalam konstruksi sejarah sosial dari keluarga.
Peran informal keluarga
Peran informal ini tidak menghasilkan stabilitas keluarga ada beberapa yang
bersifat adaptif dan ada yang merusak kesejahteraan keluarga.
(1) Pendorong ; Pendorong memuji, setuju dengan dan menerima kontribusi dari
orang lain.
(2) Pengharmonis ; Pengharmonis menengahi perbedaan yang terdapat di antara
para anggota menghibur menyatukan kembali perbedaan pendapat.
(3) Inisitor-Kontributor ; Mengemukakan dan mengajukan ide-ide baru atau cara-cara
mengingat masalah atau tujuan kelompok.
(4) Pendamai ; Pendamai (kompromiser) merupakan salah satu bagian dari konflik
dan ketidaksepakatan.
(5) Penghalang ; Penghalang cenderung negatif terhadap semua ide yang ditolak
tanpa alasan.
(6) Dominator ; Cenderung memaksakan kekuasaan atas superioritas dengan
memanipulasi anggota kelompok tertentu dan membanggakan kekuasaannya dan
bertindak seakan-akan mengetahui segala-galanya dan tampil sempurna.
(7) Penyalah ; Peran ini sama seperti dominator.
(8) Pengikut ; Seorang penngikut terus mengikuti gerakan dari kelompok,
menerima ide-ide dari orang lain kurang lebih secara palasif, tampil sebagai
pendengar dalam diskusi kelompok dan keputusan kelompok.
(9) Pencari pengakuan ; Pencari pengakuan berupaya mencari apa saja yang tepat
untuk mencari perhatian kepada dirinya sendiri, perbuatannya, prestasi dan masalah-
masalahnya.
(10) Martir ; Martir tidak menginginkan apa saja untuk dirinya ia hanya berkorban
untuk anggota keluarga.
(11) Keras hati ; Orang yang memainkan peran ini mengumbar secara terus
menerus dan aktif tentang semua yang "benar" tidak ada bedanya dengan sebuah
komputer.
(12) Sahabat ; Sahabat seorang teman bermain keluaga yang mengikuti kehendak
pribadi dan memaafkan perilaku keluarga tingkah lakunya sendiri tanpa melihat
kosekuensinya.
(13) Kambing hitam keluarga ; Kambing hitam keluarga adalah masalah anggota
keluarga yang telah diidentifikasi dalam keluarga.
(14) Penghibur ; Senantiasa mengagumkan dan menyenangkan, tidah pernah tidak
setuju.
(15) Perawat keluarga ; Perawat keluarga adalah orang yang terpanggila untuk
merawat dan mengasuh anggota keluarga lain yang membutuhkannya.
(16) Pioner keluarga ; Membawa keluarga pindah ke suatu wilayah asing dalam
pengamalan baru.
(17) Distraktor dan orang yang tidak relevan ; Distraktor bersifat tidak relevan,
dengan mengajukan perilaku yang menarik perhatian, ia membantu keluarga
menghindari atau melupakan persoalan-persoalan yang menyedihkan dan sulit.
(18) Koordinator keluarga ; Koordinator keluarga mengorganisasi dan merencanakan
kegiatan-kegiatan keluarga, yang berfungsi mengangkat katerikatan atau keakraban
memerangi kepedihan.
(19) Penghubung keluarga ; Perantara keluarga adalah penghubung, ia biasanya ibu
mengirim dan memonitor komunikasi dalam keluarga.
(20) Saksi ; Peran dari saksi sama dengan penghubung dengan "pengikut"kecuali
dalam beberapa hal, saksi lebih pasif. Saksi hanya mengamati, tidak melibatkan
dirinya.
b) Proses Keperawatan Keluarga
(1) Pengkajian
Struktur peran formal
Setiap posisi peran-peran anggota keluarga dan digambarkan dengan
mengemukakan pertanyaan-pertanyaan berikut :
(a) Posisi-posisi dan peran-peran formal apa yang setiap anggota keluarga penuhi?
Gambarkan bagaimana setiap anggota keluarga melaksanakan peran-peran
formalnya.
(b) Apakah peran-peran ini dapat diterima dan konsisten dengan harapan-harapan
anggota keluarga dan keluarga? Dengan kata lain, apakah ada konflik?
(c) Bagaimana para anggota keluarga melaksanakan peran mereka-masing-masing?
(d) Apakah ada fleksibilitas dalam peran jika dibutuhkan?
Struktur peran informal
Pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan bidang ini adalah:
a) Peran-peran informal dan peran-peran tersamar apa yang terdapat dalam
keluarga, siapa yang memerankan, dan bagaimana peran-peran tersebut dilaksanakan
secara konsisten dan secara acapkali. Apakah anggota memainkan peran-peran
tersebut secara tersamąr-samar, berbeda dengan mereka yang memiliki posisi dalam
keluarga menuntut yang mereka perankan?
b) Apakah maksud dan tujuan dari peran-peran tersamar atau informal?
c) Jika peran-peran informal dalam keluarga bersifat disfungsional, siapa pelaksana
peran-peran ini dalam generasi sebelumnya?
d) Apa pengaruhnya terhadap individu yang memainkan peran-peran keluarga yang
disfungsional ini?
Model-model peran
a) Siapa saja yang menjadi model yang mempengaruhi anggota keluarga dalam
kehidupan awal mereka, siapa yang memberikan sikap/perasaan dan nilai-nilai
misalnya tentang perkembangan, pengalaman-pengalaman baru dan teknik-teknik
komunikasi?
b) Secara spesifik, siapa yang bertindak sebagai model peran (role model) bagi
pasangan-pasangan perkawinan, dan seperti apakah mereka itu? Dari informasi ini
seorang anggota keluarga dapat dibantu untuk melihat bagaimana model-model yang
lalu mempengaruhi harapan-harapan dan tingkah lakunya (Satir, 1983).
c) Apa pengaruhnya terhadap individu yang memainkan peran-peran ini? (Hartman
dan Laird, 1983)
Variabel-veariabel yang mempengaruhi struktur peran
a) Pengaruh kelas sosial. Bagaimana latar belakang kelas sosial mempengaruhi
struktur peran informal dan formal dalam keluarga.
b) Pengaruh kebudayaan. Bagaimana struktur peran dari keluarga dipengaruhi oleh
latar belakang budaya dan religi keluarga?
c) Pengaruh perkembangan dan siklus kehidupan. Apakah perilaku peran anggota
keluarga secara perkembangan dianggap cocok?
d) Kejadian situasional, termasuk perubahan-perubahan sehat dan sakit.
(2) Diagnosa Keperawatan Keluarga
Tabel 1 Diagnosa Keperawatan Keluarga berkaitan Struktur Peran
Diagnosa Keperawatan NANDA Masalah-masalah peran

Berduka yang diantisipasi Yang berhubungan dengan kehilangan


peran
Berduka yang disfungsional Yang berhubungan dengan ketegangan
peran
Isolasi sosial Yang berhubungan dengan perubahan
peran
Perubahan dalam proses keluarga Yang berhubungan dengan konflik
peran
Potensial perubahan dalam parenting Yang berhubungan dengan perubahan
peran
Perubahan kinerja peran Yang berhubungan dengan kehilangan
dan ketegangan peran
Kerusakan penatalaksanaan pemeliharaan Yang berhubungan dengan kegagalan
rumah peran atau kesenjangan peran
Gangguan citra tubuh Yang berhubungan dengan kehilangan
peran
Diagnosa koping keluarga Yang berhubungan dengan insufiensi
peran dan abiguitas peran

Transisi peran
a) Perubahan kemampuan dalam menjalankan peran
b) Perubahan dalam persepsi dan harapan orang lain terhadap peran
c) Perubahan dalam pola umum tanggung jawab
d) Perasaan marah dan depresi
e) Ketidakmampuan mencapai peran yang dikeehendaki
f) Penolakan terhadap partisipasi dalam peran
Role distance
a) Ketidakpastian syarat-syarat peran
b) Kurangnya pengetahuan tentang peran
c) Persepsi-persepsi tentang peran yang berbeda-beda
Konflik peran
a) Frustasi dalam peran atau konflik peran, konflik antar peran atau interperan
b) Ambivalensi peran
c) Harapan-harapan peran yang tidak sesuai atau tidak kongruen
d) Kusut pikir
e) Kurang memadainya ketrampilan untuk memecahkan masalah
Kegagalan peran
a) Kehilangan ketrampilan peran
b) Kesulitan mempelajari peran-peran baru
c) Manarik diri
d) Ketidakmampuan mencapai peran yang diinginkan
e) Menolak berpartisipasi dalam peran
(3) Intervensi Keperawatan Keluarga
a) Membantu anggota keluarga mengidentifikasi isyarat-isyarat dari anggota
keluarga yang lain (misalnya mengajarkan orang tua bagaimana membedakan tangisan
karena lapar dan tangisan minta perhatian dari bayi baru lahir).
b) Menjelaskan harapan-harapan dari peran-peran yang dibutuhkan (anggota
keluarga mengidentifikasi harapan-harapan mereka terhadap peran-peran baru).
c) Memperkuat kemampuan anggota keluarga untuk memerankan sebuah pekan
baru, strategi-strategi baru digunakan di sini.
d) Memberikan penghargaan untuk perilaku peran baru
e) Membantu anggota keluarga memodifikasi peran baru dengan membantunya
melihat bagaimana peran tersebut selaras dengan kompleks perannya.
f) Memberikan penguatan terhadap umpan balik dari "orang-orang lain yang
relevan".
Strategi-strategi suplementasi peran untuk transaksi peran
Suplementasi peran terdiri dari komponen-komponen, strategi-strategi, dan
proses. Kedua komponen tersebut :
a) Klarifikasi peran, memahami informasi spesifik dan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan untuk memerankan peran.
b) Pemeranan, kemampuan untuk membayangkan diri anda dalam suatu peran
tertentu dan mengasumsikan perspektif orang lain. Peran-peran sifatnya berpasangan
dan dipelajari secara berpasangan.
Intervensi-intervensi tekanan peran
a) Mendefinisikan kembali peran yang berkaitan dengan perilaku apa yang
dianggap sebagai penampilan peran yang adekuat.
b) Menguji kompleks peran seorang individu (berbagai peran yang dimainkan oleh
seorang okupan peran) dan prioritas setting di dalam sebuah peran atau dalam
berbagai peran.
c) Tawar-menawar peran atau negoisasi peran dengan pasangan peran sehingga
okupan peran mencapai sejumlah posisi tertentu yang secara kolektif relatif adil dan
menguntungkan. Negoisasi peran termasuk mempengaruhi anggota peran keluarga
tertentu sehingga mereka setuju dengan perubahan-perubahan dalam peran alokasi
sumber-sumber
d) Berkurang interaksi dengan pasangan peran. Jika partner peran memiliki
interdependensi yang tinggi satu sama lain, maka cara ini biasanya menimbulkan
kegagalan dalam tawar-menawar peran dan role distance. Penarikan diri secara partial
dari interaksi tidak dapat menyembuhkan stres peran (Hardy dan Hardy, 1988).
Intervensi untuk kesenjangan peran dan insufisiensi peran
a) Mendorong para ayah untuk mengunjungi klinik bersama anak-anak mereka
dan bersama para istri, mereka dianjurkan untuk mengunjungi klinik pranatal dan
keluarga berencana.
b) Mendorong para ayah untuk bergabung dengan kelompok-kelompok (men's
support groups) dan pust-pusat sumber jika mereka merasa membutuhkan dukungan
untuk memerankan peran-peran ayah baru
c) Mendorong partisipasi ayah dalam latihan-latihan parenting dan merawat
kelahiran
d) Mendorong pasangan-pasangan menegosiasi peran-peran perawatan bayi dan
anak Kebersamaan peran dan negosiasi peran berfungsi untuk mengurangi stres peran.
Negosiasi peran meliputi suatu persetujuan di kalangan individu yang terlibat
mengingat perilaku-perilaku yang diharapkan dalam peran terkait.
e) Memberikan dukungan kepada keterlibatan aktif dari para ayah dalam kerja,
mengantar dan perawatan bayi baru lahir di rumah sakit.
Intervensi untuk konflik peran
a) Sebelum mulai mengintervensi, rencanakan strategi-strategi untuk mengurangi
atau memecahkan konflik peran. Untuk melakukan ini, temukan sumber-sumber stres
dan jenis konflik peran.
b) Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan frustrasi terhadap konflik
peran
c) Memberikan dorongan kepada anggota keluarga untuk mendiskusikan peran dan
pesepsi mereka tentang peran-peran yang masih dalam pertanyaan
d) Memberikan dorongan kepada anggota keluarga untuk mendiskusikan perasaan
dan persepsi mereka secara bersama-sama dan pemecahan masalah atas nama mereka
sendiri
e) Membantu keluarga menyusun prioritas-prioritas
f) Ketimpangan peran-peran membutuhkan anggota keluarga bertemu. Perawat yang
bertindak sebagai fasilitator, memberikan dorongan kepada anggota keluarga untuk
mengeksplorasi ketimpangan-ketimpangan peran dan mengajukan suatu alokasi peran
yang berbeda atau mungkin pula harapan-harapan peran yang berbeda.
4) Struktur Nilai-Nilai Keluarga
a) Definisi
Sistem nilai keluarga dianggap sangat mempengaruhi nilai-nilai pokok dari
masyarakat dan juga di pengaruhi nilai-nilai subkultur keluarga serta kelompok-
kelompok referensi lain. Karena keluarga memiliki fungsi-fungsinya sendiri dalam
konteks kemasyarakatan yang lebih besar, maka keluargapun memiliki nilai-nilai yang
membimbing kehidupan keluarga. Apa yang keluarga yakini dan hargai
mempengaruhi perilaku keluarga, bahkan ketika nilai-nilai dan keyakinan keluarga
teridentifikasi alangkah baiknya kalau kita memahami dinamika dan perilaku
keluarga.
"Nilai merupakan suatu keyakinan abadi yang merupakan bentuk perilaku
spesifik keberadaan tahap akhir (seperti kebebasan) adalah lebih baik terhadap lawan
atau bentuk daripada cara yang berlawanan dari peilaku atau keadaan akhir dari
eksistensi" nilai merupakan ciri sentral dari kepercayaan individu karena kualitas
keabadian mereka, nilai-nilai bukanlah sikap-sikap hidupnya yang berumur pendek.
Nilai-nilai verfungsi sebagai pedoman bagi tindakan (Rockeah, 1973).
Nilai-nilai keluarga didefinisikan sebagai suatu sistem ide, sikap, dan
kepercayaan tentang nilai suatu keseluruhan atau konsep yang secara sadar maupun
tidak sadar mengikat secara bersama-dama seluruh anggota keluarga dalam suatu
budaya yang lazim (Parad dan Caplan, 1965).
Nilai berfungsi sebagai suatu pedoman umum bagi perilaku dan dalam keluarga
nilai-nilai tersebut membimbing perkembangan aturan dan nilai-nilai dari keluarga,
misalnya jika seseorang menilai kesehatan dan merasakan dalam suatu keadaan yang
menyenangkan, maka besar kemungkinan dia ikut dalam upaya perawatan kesehatan
dan kebiasaan-kebiasaan sehat. Sementara itu ada keputusan moral yang berupa
norma-norma atau aturan atau kaidah yang menentang kebiasan-kebiasaan buruk yang
bertentangan dengan kesehatan.
Nilai tidak bersifat statis artinya potensi atau keunggulan dari nilai-nilai
keluarga dari waktu ke waktu, misalnya situasi-situasi tertentu yang menuntut suatu
perubahan prioritas yang dilakukan oleh keluarga, biasanya keluarga dan individu
jarang berperilaku atas dasar pola-pola nilai yang konsisten, karena nilai-nilai tertentu
yang dianut bersaing dengan nilai-nilai lain yang secara bersamaan, contohnya
mengutamakan kepentingan keluarga di atas kepentingan individu di dalam keluarga
tersebut. Nilai-nilai hirarkis artinya nilai-nilai tertentu memiliki suatu prioritas
daripada nilai-nilai lain.
Norma adalah pola perilaku yang dianggap menjadi hak dari masyarakat tertentu
dan pola-pola perilaku semacam itu di dasarkan pada nilai-nilai keluarga dan itu
merupakan modal perilaku. Selanjutnya terdapat aturan keluarga di mana refleksi
nilai-nilai keluarga yang lebih khusus dari norma-norma keluarga dan diatur oleh
nilai-nilai yang lebih khusus dari norma-norma keluarga diatur oleh nilai-nilai yang
lebih abstrak, memberikan sifat yang umum. Aturan-aturan tersebut juga membentuk
kebudayaan keluarga misalnya menghormati orang yang lebih tua usianya khususnya
ayah yang dimiliki oleh keluarga.
b) Perbedaan dalam sistem-sistem nilai antara klien (keluarga) dan perawat
profesional.
Salah satunya adalah kesenjangan sosial yang tercipta oleh kelas sosial dan atau
perbedaan-perbedaan nilai. Bila antara perawat dan keluarga tidak memiliki keyakinan
dan nilai-nilai dasar yang sama maka akan menghasilkan tujuan-tujuan yang berbeda,
komunikasi yang tidak jelas dan masalah interaksi. Hal ini dikarenakan adanya
berbagai perbedaan latar belakang kehidupan klien dengan pekerjan di bidang
kesehatan. Dan akibatnya mungkin adanya konflik nilai (Lauver, 1980).
Sebagai perawat keluarga harus memiliki informasi dasar tentang kelas sosial
dan pebedaan kebudayáan tidak hanya kelompok melainkan secara individualistik.
Oleh karena itu mengingat sikap-sikap yang dan ciri-ciri klien yang terlibat akan
memiliki signifikansi praktis, perawat harus mempengaruhi dan menerima keunikan
dari induvidu atau keularga yang spesifik untuk memperoleh suatu pemahaman yang
realistis.
c) Perubahan-perubahan nilai yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat.
Perubahan nilai ini terjadi karena adanya pergolakan dalam masyarakat dan
keluarga, meluasnya stratifikasi sosial dan meningkatnya kemiskinan serta
perkembangan dalam konsumerisme dan materialisme (Samuelson, 1986) Pada
dasarnya mansyarakat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu mereka yang mendalami
nilai-nilai tradisional seperti mempertahankan masa lalu yang baik, kewajiban tugas
dan kerja keras, mereka yang tergolong dalam kelompok "new wave" (gelombang
baru) dan kelompok progresi yaitu yang memandang nilai-nilai kemandirian (self
fullfiment) kebebasan (freedom) dan individualisme.
d) Orientasi nilai-nilai utama.
(1) Prestasi individu dan produktivitas.
Prestasi dan produktivitas individu telah diidentifikasi secara konsisten sebagai
nilai-nilai kunci tradisional dalam masyarakat (D'antonio, 1986; McKinley. 1964;
Williams, 1960). Di kalangan kelas menengah prestasi pribadi sangat ditekankan,
khususnya prestasi yang menyangkut pencapaian pekerjaan. Setiap orang dewasa
khususnya pria pada dasarnya harus membuktikan bahwa dirinya mendapat
persetujuan yang berharga dan bertindak terhadap tujuan yang lebih tinggi dengan
cara produktif dalam hubungannya dengan pekerjaan.
Agar sebuah nilai dapat membentuk tujuan-tujuan prilaku seseorang maka suatu
sistem yang kuat menyangkut sangsi-sangsi sosial dan penghargaan harus ada.
Misalnya respon-respon gosip, pentertawa, pengejekan terhadap ostrakisme, isolasi
atau penolakan.
(2) Individualisme
Menurut Lesthaeghe (1983) kebebasam memilih dari individu merupakan
pergeseran budaya yang berpusat pada anak menjadi berpusat pada diri sendiri.
Transformasi ini menunjukkan bahwa manusia semakin kurang berpegang teguh pada
institusi-institusi tradisional dalam keluarga, komunitas, gereja dan lebih berkomitmen
pada pencapaian tujuan individu bebas dari kewajiban-kewajiban tradisional (Rossi,
1986).
Individualisme meliputi nilai-nilai terkait dari rasa percaya diri dan tanggung
jawab diri. Keyakinan umum yang masih ada adalah bahwa orang-orang kuat
mengontrol hidup mereka sendiri dan kurangnya kontrol semacam itu dianggap
sebagai kelemahan mereka. Kemandirian juga merupakan sebuah nilai yang sangat
bertalian dengan individualisme.
(3) Materialisme/etika konsumsi
Pemilihan uang dan barang tidak hanya menjadi sebuah penilaian essensial
sebagai seorang yang produktif, melainkan juga merupakan, sebuah nilai sentral
dalam dan dari masyarakat itu sendiri. Nilai ini merujuk pada materialisme. Uang dan
kemakmuran merupakan dasar bagi kekuasaan dan prestise serta simbol primer
tentang keberhasilan dan prestasi.
(4) Etika Kerja
Aturan "yang tidak bejerja tidak boleh makan", mengungkapkan usaha mati-
matian dari penduduk pertama dan hari-hari pertama, ini menerangkan pentingnya
etika ini karena kondisi-kondisi objektif dari apa yang ada secara historis.
(5) Pendidikan
Pendidikan dipandang oleh kalangan kelas menengah sebagai alat untuk
mencapai produktivitas, dan dari sebab itu nilai yang diberikan pada pendidikan
sangat berhubungan erat dengan etika kerja, materialisme, individualisme dan
kemajuan. Meskipun pendidikan jauh lebih ditekankan di kalangan menengah dan
kelas atas, namun nilainya sudah mulai menonjol dikalangan kelas pekerja (Inkeheles,
1977).
(6) Persamaan Hak
Smelze dan Halpern (1978), pertentangan antara individualisme/prestasi
individu dan persamaan (Equality). Jika prioritas dalam masyarakat berada pada
prestasi individu, maka hal ini akan menghasilkan ketidakadilan dan menuntut
persamaan melahirkan suatu perlawanan (counteraction) juga. Meskipun
konservativisme, individualisme dan nilai-nilai prestasi bangkit lagi, namun
persamaan masih tetap diakui sebagai sebuah nilai kultur sentral. Pentingnya
persamaan sangat berhubungan dengan meningkatnya toleransi terhadap perbedaaan
dan meningkatnya kecenderungan untuk mengejar tujuan-tujuan pribadi
individualistis, dimana kebebasan, kemandirian dan otonomi dan juga ekspresi
perasaan yang lebih besar dalam hal yang penting.
Meningkatnya egalitarianisme merupakan suatu perubahan penting dalam
kehidupan keluarga. Toynbee (1955), menerangkan revolusi dalam masa kita adalah
emansipasi wanita, karena pada akhirrya emansipasi ini akan mempengaruhi
kehidupan semua orang "terutama sekali, akan tuntutan terhadap suatu penyesuaian
psikologis yang bersifat mengganggu pihak pria, karena hal ini berarti adanya suatu
perubahan revolusi kedua jenis kelamin tersebut.
(7) Kemajuan dan penguasaan lingkungan seseorang.
Kluchholm (1976) menyatakan, orientasi nilai tergantung dalam "isu-isu
hubungan sifat manusia". Apakah manusia dipandanga tunduk pada alam, bagian dari
alam, atau penguasaan. Misalnya pernyataan seperti "Jika Tuhan menghendaki saya
mati maka saya akan mati" (tunduk pada alam). Contoh lain seperti membangun
jembatan, meledakkan gunung, menciptakan danau-danau dan mengeksploitasi
sumber-sumber alam (penguasaan).
(8) Orientasi masa depan
Masyarakat dihadapkan dalam tiga dimensi waktu yaitu masa lalu, masa
sekarang dan masa depan. Semua kebudayaan memiliki konsepsi masa lalu, memiliki
dimensi masa sekarang, semua memberikan perhatian kepada dimensi masa depan.
Contoh pada orang Jepang dan Cina lebih menekankan masa lalu pada penyembahan
nenek moyang dan tradisi-tradisi. Sedangkan orang Amerika memberi penekanan pada
masa depan, mereka memandang masa lalu sebagai "ketinggalan" dan mereka jarang
puas dengan masa sekarang.
(9) Efisiensi dan kepraktisan
Pada masyarakat terdepan, bersikap praktis, belajar berimprofisasi dan
menggunakan sumber-sumber yang dimiliki seseorang sebaik mungkin, sangat terikat
dengan kelangsungan hidup. Sains dipandang sebagai suatu bidang yang efisien,
praktis dan kemajuan dicapai. Contohnya cara mengolah dan mengkonsumsi makanan
dengan menggunakan microwave, pembelian fast food terus berkembang.
(10) Rasionalitas
Agar lebih efisien, teratur, progresif, produktif dan praktis, orang harus rasional
dan harus bereaksi dengan memecahkan masalah dan berpikir secara logis lewat
situasi dan tujuan yang dimiliki seseorang, dengan melihat masa dep yang cermat,
alokasi sumber-sumber yang efisien dan gratifikasi jangka panjang adalah sangat
penting. Sains adalah hasil perkembangan alamiah dari filasafat rasional, sarena sain
tergantung dari pendekatan kognitif logis yang sama terhadap dunia dengan masalah-
masalah.
(11) Kualitas hidup dan pemeliharaan kesehatan
Orang sekarang semakin tertarik dengan membuat perubahan-perubahan
kualitatif dalam kehidupan mereka. Perubahan-perubahan perbaikan gava hidup,
seperti berhenti merokok, membuat perubahan-perubahan diit, ikut serta mengurangi
stress atau usaha sendiri dan ikut dalam program-program kesehatan mental lainnya.
(12) Melakukan Orientasi
Ciri yang paling menonjol adalah tuntutannya bagi suatu tindakan dalam
hubungannya dengan penyelesaian sesuai dengan standar-standar (kemasyarakatan)
eksternal.
(13) Klarifikasi nilai
Klarifikasi nilai merupakan sebuah teknik atau proses yang digunakan untuk
meningkatkan kesadaran suatu keluarga akan prioritas-prioritas dan tingkat
kongruensi antara nilai-nilai, sikap, dan perilaku anggotą keluarga sehingga keluarga
menjadi lebih otonom dan bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka Wilberding,
1985).
Kischenbaum (1977) menerangkan bahwa klarifikasi nilai adalah pendekataan
yang menggunakan pertanyaan-petanyaan dan aktivitas-aktivitas yang ng untuk
mengajarkan proses menilai. Latihan ini membantu orang untuk menerapkan proses
menilai pada bidang-bidang yang kaya dengan nilai kehidupan mereka.
Pander (1987) mengemukakan bahwa klarifikasi nilai harus digunakan hati-hati
dengan individu-individu yang memiliki masalah-masalah emosional atau dengan
keluarga-keluarga yang secara jelas tidak berfungsi.
e) Variabel utama yang mempengaruhi sistem nilai keluarga
(1) Status sosial ekonomi keluarga
Karena status ekonomi keluarga membentuk pola hidup keluarga sangat
mempengaruhi nilai keluarga. Pada keluarga miskin orientasi dimensinya saat ini
dibandingkan dengan kelas menengah yang orientasi waktunya lebih dominan kemasa
yang akan datang (Gigeer dan David Hizar 1995).
(2) Etnik keluarga dan tingkat akulturasi
Latar belakang budaya membuat perbedaan penting dalam membentuk nilai
keluarga. Misalnya setiap keluarga Irlandia memberikan nilai tinggi pada
kemandirian.
(3) Lokasi Geografi (urban, sub urban, rural)
Kelurga yang bernukim disebuah komunitas pedesaan, kota atau pinggiran kota
sangat berperan signifikan dalam membentuk nilai-nilai sebuah keluarga. Orang desa
cenderung lebih tradisional dan konservatif daripada rekan-rekannya di kota ataupun
pinggiran kota.
(4) Perbedaan generasi
Suatu variabel yang mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma dari sebuah
keluarga adalah siklus kehidupan keluarga dan usia anggota-anggotanya. Slatter
(1970) menggambarkan perbedaan-perbedaan drastis dalam nilai-nilai, apabila dia
membandingkan nilai dari "generasi muda" dengan nilai-nilai lama dari kultur yang
dominan (dewasa).
f) Konflik-konflik nilai
Konflik-konflik nilai dapat diakibatkan oleh beberapa sumber, antara lain :
(1) Bermacam-macam nilai sosial
Konflik pada nilai sosial dapat terjadi karena begitu banyak faktor yang
berfungsi mengubah nilai-nilai dan norma-norma keluarga dan individu. Konflik tidak
dapat dipecahkan karena seperangkat norma tradisional dan norma baru muncul secara
bersamaan di dalam keluarga. Dalam kelompok komunitas tertentu ada yang
berpegang teguh pada norma tradisional dan ada yang berpegang teguh pada norma
yang baru, dan hal ini akan menimbulkan konflik. Misalnya, pada kelompok
yangmenganut horma tradisional menganggap pernikahan suci dan mengikat
kehidupan. Sedangkan pada kelompok yang menganut norma baru menganggap
perkawinan sebagai ketentuan/perjanjian yang dapat dibatalkan apabila kedua
pasangan memiliki keluhan-keluhan yang sama.
(2) Perselisihan nilai-nilai kultur antar kultur dominan dan sub kultur
Ketika kita menganggap keluarga sebagai pelaku pengantara antara kebudayaan
atau kultur (masyarakat lebih luas) dan individual maka, keluarga mengikuti bahwa
suatu ketimpangan' dasar dalam nilai-nilai antara kelompok referensi dari keluarga
dan masyarakat yang lebih luas sehingga melahirkan konflik-konflik nilai, hal ini
meningkatkan stréss dalam keluarga sebagai suatu sistem yang secara negatif
mempengaruhi keluarga.
(3) Perseteruan nilai-nilai antara generasi
Ada tiga sumber yang dapat menimbulkan konflik nilai dalam keluarga. Di
mana keluarga terdiri dari beberapa generasi individu, yang masing-masing membawa
nilai-nilai ke kelompok keluarganya atau generrasinya. Misalnya pada saat seorang
kakek memegang nilai tradisi, orang tua memiliki nilai kombinasi yaitu nilai
tradisional dan nilai yang sudah maju dan anak dengan nilai-nilai maju. Konflik ini
dapat terjadi terutama pada keluarga besar (ekstended family) atau keluarga dengan
adolescent.
g) Nilai-nilai keluarga: Aplikasi proses keperawatan keluarga
Pengkajian
Pengkajian terhadap nilai-nilai dari sebuah keluarga sangat menolong dalam
memotivasi sebuah keluarga untuk melakukan tindakan kesehatan yang bersifat
preventif dan restoratif atau membuat keputusan yang menyangkut kesehatan. Elkins
(1984), menerangkan bahwa dasar bagi motivasi berasal dari sistem nilai yang
dimiliki dari sebuah keluarga; apa yang penting dan tidak penting baginya dan
seberapa pentingnya nilai-nilai yang berbeda itu.
Beberapa proses untuk mengidentifikasi nilai-nilai, prioritas-prioritas, nilai yang
kongruen dengan kelompok referensi dan atau komunitas yang lebih luas antara lain
dengan cara :
(1) Identifikasi nilai-nilai dan keyakinan keluarga dan anggota individual keluarga.
(2) Memperkirakan betapa pentingnya sebuah nilai tertentu bagi keluarga dan
individu dalam keluarga.
(3) Memperkirakan sejauh mana pemenuhan dan penghargaan yang diterim keluarga
dari kelompok referensinya dan masyarakatnya pada umumnya. (kurang
penerimaan dan penghargaan akan hadir jika terdapat perbedaan nilai dan
stigmatisası keluarga oleh komunitas)
Diagnosa keperawatan keluarga
Diagnosa keperawatan keluarga dalam sistem nilai-nilai tidak begitu sering
ditemukan. Satu diagnosa keperawatan yang telah diidentifikasi adalah"konflik-
konflik nilai".
Intervensi keperawatan keluarga
Pengetahuan tentang nilai-nilai keluarga merupakan data penting untuk perawat
miliki agar dapat membuat tujuan-tujuan yang realistis dan strategi-strategi dengan
keluarga Elkins, 1984), selain itu juga memahami hubungan nilai-nilai keluarga dan
nilai-nilai lembaga komunitas akan membantu perawat mengemukakan sumber-
sumber nilai komunitas yang cocok dalam membuat rujukan.
b. Konsep Kesehatan Keluarga
a. Definisi Keperawatan Kesehatan Keluarga
Keperawatan kesehatan keluarga adalah tingkat perawatan kesehatan masyarakat
yang ditujukan pada keluarga sebagai unit atau kesatuan yang dirawat dengan sehat
sebagai tujuan melalui perawatan sebagai sarana. (Efendi, Ferry & Makhfudli,
2009)
b. Tujuan Keperawatan Kesehatan Keluarga
1) Tujuan Umum
Meningkatkan kesadaran, keinginan, kemampuan keluarga dalam
meningkatkan, mencegah, memelihara kesehatan mereka sampai tahap yang
optimal dan mampu melaksanakan tugas-tugas mereka secara produktif.
2) Tujuan Khusus
Tujuan khususnya adalah meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan
kemampuan keluarga dalam hal :
a) Mengidentifikasi masalah kesehatan yang mereka hadapi
b) Mengambil keputusan tentang siapa/kemana dan bagaimana pemecahan
masalah tersebut, misalnya dipecahkan sendiri dan pergi ke rumah sakit,
ke puskesmas, praktik keperawatan/kedokteran.
c) Meningkatkan mutu kesehatan keluarga (promosi kesehatan)
d) Mencegah terjadinya penyakit/timbulnya masalah kesehatan pada
keluarga.
e) Melaksanakan usaha penyembuhan/pemecahan masalah keluarga melalui
asuhan keperawatan di rumah
f) Membantu tenaga profesional kesehatan/keperawatan dalam
penanggulangan penyakit/masalah kesehatan mereka di rumah, rujukan
kesehatan dan rujukan medik. (Zaidin, 2010).
c. Keluarga Sebagai Klien
Keluarga menjadi klien atau fokus atau fokus utama pengkajian keperawatan,
keluarga di pandang sebagai sistem yang berinteraksi dengan fokusnya adalah
dinamika hubungan internal keluarga, struktur dan fungsi keluarga, serta saling
ketergantungan sub sistem keluarga dengan kesehatan dan keluarga dengan
lingkungan luarnya. Hubungan antara penyakit dan individu dalam keluarga
dianalisis dan dimasukkan dalam rencana asuhan keperawatan (Zaidin, 2010).
Dalam melihat keluarga sebagai klien ada beberapa karakteristik yang perlu
diperhatian oleh perawat yaitu : Setiap keluarga mempunyai cara yang unik dalam
menghadapi masalah kesehatan pada anggotanya, Memperhatikan perbedaan pada
tiap-tiap anggota dari berbagai segi yaitu : pola komunikasi, pengambilan
keputusan, sikap dan nilai-nilai dalam keluarga, kebudayaan serta gaya hidup,
Keluarga perkotaan berbeda dengan keluarga pedesaan, Kemandirian dari tiap-tiap
keluarga (Harnilawati, 2013 ).
d. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Menurut Suprajitno (2012), sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga
mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan:
1) Mengenal masalah kesehatan keluarga. Kesehatan merupakan kebutuhan
keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu
tidak akan berarti. Perubahan apapun yang dialami anggota keluarga secara
tidak langsung menjadi perhatian seluruh keluarga. Sehingga perlu dicatat
kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan beberapa besar
perubahannya.
2) Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini
merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat
sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga
yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan
keluarga.
3) Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan. Jika keluarga telah
mengambil keputusan yang tepat dan benar namun anggota keluarga yang
mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan maka
perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau dirumah
apabila keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk
pertolongan pertama.
4) Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga.
5) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitarnya bagi keluarga.
e. Peran perawat dalam keperawatan kesehatan keluarga
Peran perawat dalam melakukan perawatan kesehatan keluarga adalah sebagai
berikut (Muhlisin, 2012):
1) Pendidik. Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga
agar keluarga dapat melakukan program asuhan kesehatan keluarga secara
mandiri dan bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan keluarga
2) Koordinator. Diperlukan pada perawatan berkelanjutan agar pelayanan yang
komprehensif dapat tercapai. Koordinasi juga sangat diperlukan untuk
mengatur program kegiatan atau terapi dari berbagai disiplin ilmu agar tidak
terjadi tumpang tindih dan pengulangan.
3) Pelaksana. Perawat yang bekerja dengan klien dan keluarga bertanggung jawab
dalam memberikan perawatan secara langsung.. Perawat dapat
mendemonstrasikan kepada keluarga asuhan keperawatan yang diberikan
dengan harapan keluarga dapat melakukan asuhan langsung kepada anggota
keluarga yang sakit.
4) Pengawas kesehatan. Sebagai pengawas kesehatan, perawat harus melakukan
home visite atau kunjungan rumah yang teratur untuk mengidentifikasi atau
melakukan pengkajian tentang kesehatan keluarga.
5) Konsultan. Perawat sebagai narasumber bagi keluarga dalam mengatasi
masalah kesehatan. Agar keluarga mau meminta nasehat kepada perawat, maka
hubungan perawat-keluarga harus dibina dengan baik dan bersikap terbuka
agar dapat dipercaya.
6) Kolaborasi. Perawat keluarga atau komunitas harus bekerja sama dengan
pelayanan rumah sakit atau anggota tim kesehatan yang lain untuk mencapai
derajat kesehatan keluarga yang optimal.
7) Fasilitator. Perawat bertugas membantu keluarga dalam meningkatkan derajat
kesehatannya. Perawat keluarga dan komunitas harus mengetahui sistem
pelayanan kesehatan seperti: sistem rujukan, dana sehat, dll.
8) Penemu kasus. Yaitu mengidentifikasi masalah kesehatan secara dini, sehingga
tidak terjadi ledakan atau wabah.
9) Modifikasi lingkungan. Perawat keluarga atau komunitas juga harus dapat
memodifikasi lingkungan agar tercipta lingkungan yang sehat baik di rumah
maupun di masyarakat.
f. Hambatan dalam keperawatan keluarga
Hambatan yang paling besar diahadapi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan keluarga adalah :
1) Hambatan dari keluarga :
a) Pendidikan keluarga rendah, sehingga terkadang sulit menerima masukan
baru dan sering memepertahankan kebiasaan dari nenek moyang mereka
yang tidak sehat
b) Keterbatasan sumber daya keluarga (keuangan, sarana dan prasarana)
c) Kebiasaan budaya yang melekat misalnya sewaktu hamil ibu harus tarak
(pantangan yang terlalu banyak terhadap berbagai macam makanan yang
sebenarnya sangat di butuhkan anak dalam kandungan)
d) Sosial budaya tidak menunjang
2) Hambatan dari perawat :
a) Sarana dan prasarana yang tidak menunjang
b) Kondisi alam (geografi yang sulit) terutama di daerah luar Jawa yang sulit
terjangkau oleh pesawat
c) Kesulitan komunikasi (bahasa)
d) Keterbatasan pengetahuan tentang kultur keluarga (Harnilawati, 2013)

c. Konsep Keluarga Sejahtera


Definisi Kesejahteraan dan Keluarga Sejahtera
Terdapat beragam pengertian mengenai kesejahteraan, karena lebih bersifat
subyektif dimana setiap orang dengan pedoman, tujuan dan cara hidupnya yang
berbeda-beda akan memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang kesejahteraan dan
faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan (Sukirno, 1985 dalam Sianipar,
1997). Kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil
mengkonsumsi pendapatan yang diterima. Namun demikian tingkatan dari
kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari
besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut
(Sawidak, 1985). Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial,
material, maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman
lahir batin yang memungkinkan setiap warganegara untuk mengadakan usaha-usaha
pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik- baiknya bagi diri, rumah
tangga serta masyarakat (Rambe, 2001). Menurut Bubolz dan Sontag (1993),
kesejahteraan merupakan terminologi lain dari kualitas hidup manusia (quality of human
life), yaitu suatu keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasikannya
nilai-nilai hidup.
Persepsi masyarakat mengenai kesejahteraan juga berbeda-beda. Olehkarenanya
membutuhkan penjabaran yang detail dan hati-hati dengan memperhatikan keragaman
dan kondisi sosial budaya masyarakat (Soembodo, 2004). Demikian halnya perbedaan
status sosial budaya dan spesialisas kerja akan menghasilkan persepsi kesejahteraan
yang berbeda pula (Sumarti, 1999). Terdapat kelompok masyarakat (elite desa) yang
menggunakan ukuran kesejahteraannya bersumber pada simbol kekuasaan budaya-
politik, sementara monetisasi ekonomi menghantarkan kalangan masyarakat pada
umumnya untuk lebih menggunakan ukuran modern kesejahteraan lahiriah dibandinglan
ukuran kesejahteraan tradisional.
Konsep Keluarga Sejahtera menurut UU No 10 tahun 1992 adalah keluarga yang
dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil
yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan
seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
Sedangkan BKKBN merumuskan pengertian keluarga sejahtera sebagai keluarga yang
dapat memenuhi kebutuhan anggotanya baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan,
sosial dan agama; keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga
dengan jumlah anggota keluarga; Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan
anggota keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk
disamping terpenuhinya kebutuhan pokok.
Ruang Lingkup Kesejahteraan
Dalam pandangan sistem, kesejahteraan dapat diposisikan sebagai output/hasil dari
sebuah proses pengelolaan input (sumberdaya) yang tersedia, dimana kesejahteraan
sebagai output pada suatu titik dapat menjadi sumberdaya atau input untuk diproses
menghasilkan tingkat kesejahteraan keluarga pada tahap berikutnya. Kesejahteraan
keluarga pada hakikatnya mempunyai dua dimensi yaitu dimensi material dan spiritual.
Kesejahteraan keluarga juga dapat dibedakan menjadi kesejahteraan ekonomi (family
well- being) yang diukur dari pemenuhan input keluarga (misalnya diukur dari
pendapatan, upah, asset, dan pengeluaran keluarga) dan kesejahteraan material (family
material well-being) yang diukur dari berbagai bentuk barang dan jasa yang diakses oleh
keluarga. Pengukuran kesejahteraan material relatif lebih mudah dan akan menyangkut
pemenuhan kebutuhan keluarga yang berkaitan dengan materi, baik sandang, pangan,
dan papan, serta kebutuhan keluarga yang dapat diukur dengan materi. Secara umum,
pengukuran kesejahteraan material ini dapat dilakukan dengan mengukur tingkat
pendapatan. Menurut santamarina, et al., (2006) terdapat enam kategori kesejahteraan
(quality of life atau individual well-being) yaitu: 1) fisik, 2) psikologis, 3) tingkat
kemandirian, 4) sosial, 5) lingkungan, dan 6) spiritual.
Kesejahteraan Ekonomi. Kesejahteraan ekonomi sebagai tingkat terpenuhinya input
secara finansial oleh keluarga. Input yang dimaksud baik berupa pendapatan, nilai aset
keluarga, maupun pengeluaran, sementara indikator output memberikan gambaran
manfaat langsung dari investasi tersebut pada tingkat individu, keluarga dan penduduk
(Ferguson, Horwood, dan Beutrais, 1981). Kesejahteraan ekonomi dari suatu keluarga
biasanya didefinisikan sebagai tingkat kepuasan atau tingkat pemenuhan kebutuhan yang
diperoleh oleh rumah tangga (Park, 2000). Sementara itu Lerman (2002) menyoroti
keterkaitan status perkawinan dengan kesejahteraan ekonomi (economic well-being).
Dalam pembahasan perilaku ekonomi RT, tujuan dari pengelolaan ekonomi RT
adalah kepuasan dan kemanfaatan atau kegunaan ‖utility’. Kepuasan dan manfaat
merupakan istilah lain dari kesejahteraan (well-being) yang sering digunakan sosiologi
dan home-ekonomist namun mengacu kepada hal yang sama. Analisis perilaku ekonomi
membahas bagaimana pengelolaan sumber daya rumah tangga, materi dan waktu,
pengeluaran untuk berbagai kepentingan (konsumsi pangan, kesehatan, pendidikan,
liburan) untuk senantiasa menjaga keseimbangan (equlibrum) rumah tangga. Selain itu
juga membahas dampak harga dan perubahannya, bahkan dampak harapan pendapatan
masa yang akan datang terhadap pengeluaran masa kini. Pembahasan ini juga meliputi
pandangan keluarga (rumah tangga) terhadap kerja dan liburan, konsep tabungan, human
capital sebagai tabungan, nilai ekonomi fertilitas, nilai ekonomi perkawinan dan
perceraian (Bryant, 1990).
Kesejahteraan Sosial. Beberapa komponen dari kesejahteraan sosial diantaranya adalah
penghargaan (self esteem) dan dukungan sosial. Menurut Chess & Thomas, (1987)
seperti dikutip Saxton (1990), penghargaan merupakan pusat pengembangan manusia
agar berfungsi secara optimal, kreatif, produktif, terampil, dan optimis. Sedangkan
dukungan sosial secara luas diketahui sebagai faktor penting bagi kesejahteraan wanita
menikah (Greene & Feld, 1989), termasuk didalamnya kesejahteraan ibu hamil. Model
Ketahanan Keluarga Yang Diajukan Schumm (Krysan, Kristine, & Zill, 1990) meliputi
orientasi agama, apresiasi (penghargaan, kasih sayang), waktu kebersamaan, komunikasi
dua arah, resolusi penanganan krisis, komitmen terhadap anggota keluarga.
Kesejahteraan psikologi. Kesejahteraan psikologi merupakan fenomena multidimensi
yang terdiri dari fungsi emosi dan fungsi kepuasan hidup (Gauvin & Spence, 1996).
Terdapat tiga dimensi kesejahteraan psikologi dalam kaitannya dengan peran orangtua
yaitu; 1) suasana hati, 2) tingkat kepuasan, dan 3) arti hidup (Umberson & Gove 1989).
Komponen kesejahteraan psikologi yang paling sering diteliti dalam kaitannya dengan
aspek lain adalah suasana hati, kecemasan, depresi, harga diri, dan konsep diri (Gauvin
& Spence, 1996). Irwanto, dkk (1997) meneliti kesejahteraan psikologi wanita akseptor
KB, dengan menggunakan beberapa komponen kesejahteraan psikologi diantaranya
adalah :
a) Stress pribadi meliputi : konflik, perasaan bersalah, ketidakberdayaan menghadapi
masalah pribadi, marah terhadap diri sendiri, marah terhadap orang lain, kebutuhan
dukungan atau pertolongan, tidak ada yang menolong, dan ketidakpastian terhadap
masa depan.
b) Kepuasaan dalam berhubungan meliputi : hubungan dengan keluarga luas, dengan
anak, dengan suami, dengan teman dan tetangga, hubungan seksual, dan hubungan
dengan yang maha kuasa.
c) Kepuasaan terhadap kesejahteraan keluarga meliputi : pendapatan keluarga,
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, kepuasaan terhadap
hidup keseluruhan, kemampuan untuk mengelola keluarga.
d) Tekanan peran meliputi : peran dan tanggungjawab sebagai ibu, sebagai istri, serta
kekecewaan dengan kehidupan keluarga.
e) Perawatan anak dan tanggung jawab rumah tangga meliputi : masalah perkawinan
sehubungan dengan perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga, suami tidak
mengerti masalah istri, tidak dapat mengunjungi sanak keluarga sehubungan dengan
perawatan anak, beban tanggung jawab rumah tangga, serta kesulitan dalam
perawatan anak.
Berkaitan dengan kesejahteraan psikologis, Family social health merupakan
dimensi kesejahteraan keluarga yang mendapat perhatian dalam kajian-kajian dan
penelitian seperti yang dilakukan Zeitlin, et al., 1995. Faktor Kesejahteraan keluarga
dipengaruhi oleh faktor ekonomi, budaya, teknologi, keamanan, kehidupan agama dam
kepastian hukum (Syarief dan Hartoyo, 1993).
Pengukuran Kesejahteraan
Pengukuran kesejahteraan sering menggunakan pembagian kesejahteraan ke dalam
dua bagian yaitu kesejahteraan subjektif dan objektif. Kesejahteraan secara objektif dan
subjektif dapat dialamatkan bagi tingkat individu, keluarga, dan masyarakat. Pada
tingkat individu, perasaan bahagia atau sedih, kedamaian atau kecemasan jiwa, dan
kepuasan atau ketidakpuasan merupakan indikator subjektif dari kualitas hidup. Pada
tingkat keluarga, kecukupan kondisi perumahan (dibandingkan standar), seperti ada
tidaknya air bersih, merupakan contoh indikator objektif. Demikian halnya dengan
kepuasan anggota keluarga mengenai kondisi rumah merupakan indikator subjektif.
Pada tingkat masyarakat, beberapa contoh dari indikator objektif diantaranya adalah
angka kematian bayi (infant mortality rate, IMR), angka pengangguran dan tuna wisma
(Campbell, 1981). World bank (2004) mengukur kesejahteraan dengan pendekatan
pengeluaran.
Pengukuran kesejahteraan lainnya adalah seperti yang diajukan Sajogyo (1996)
yang menggunakan konsep kebutuhan minimum (kalori) berdasarkan konversi beras
yang dikonsumsi keluarga. Mengacu UU NO 10 tahun 1992 yang memuat didalamnya
konsep kesejahteraan keluarga, BKKBN (1998) mengembangkan indikator Keluarga
Sejahtera yang memuat 23 indikator turunan. Sedangkan BPS mengukur kesejahteraan
melalui konsep kebutuhan minimum (KFM) sehingga besarannya berubah setiap saat
mengikuti tingkat inflasi atau perubahan harga barang kebutuhan dasar.
Kajian organisasi ekonomi dalam keluarga menggunakan demand terhadap barang
strategis sebagai indikator kesejahteraan. Ukuran lainnya yang digunakan dalam
mengukur kesejahteraan adalah proporsi pengeluaran untuk pangan (kurva engel)
(Bryant, 1990). Organisasi ekonomi rumah tangga adalah analisis perilaku ekonomi RT
(orang yang bertempat tinggal dalam atap yang sama dari pengelolaan keuangan yang
sama, dan di dalamnya adalah terdiri keluarga‖. Dalam kajian ekonomi kesejahteraan
yang bertujuan untuk menolong masyarakat membuat pilihan yang lebih baik,
kesejahteraan seseorang dilihat dari saat individu atau masyarakat berperan sebagai
konsumen (just, Hueth, & Schmitz, 1982).
Pengukuran kesejahteraan bersifat subjektif manakala berkaitan dengan aspek
psikologis yaitu diukur dari kebahagiaan dan kepuasan. Mengukur kesejahteraan secara
objektif menggunakan patokan tertentu yang relatif baku, seperti menggunakan
pendapatan per kapita (yang akan diperbandingkan dengan nilai kecukupan atau
kebutuhan fisik minimum), dengan mengasumsikan terdapat tingkat kebutuhan fisik
untuk semua orang hidup layak. Ukuran yang sering digunakan adalah kepemilikan
uang, tanah, atau aset.
Pada prinsipnya aspek yang dapat diamati dalam menganalisis kesejahteraan hampir
sama, yaitu mencakup dimensi: pendapatan, pengeluaran untuk konsumsi, status
pekerjaan, kondisi kesehatan, serta kemampuan untuk mengakses dan memanfaatkan
kebutuhan dasar (seperti air, sanitasi, perawatan kesehatan dan pendidikan). Determinan
utama dari tingkat kesejahteraan ekonomi adalah daya beli, apabila daya beli menurun
maka berdampak pada menurunnya kemampuan untuk memenuhi pelbagai kebutuhan
hidup sehingga tingkat kesejahteraan menurun. Tingkat kesejahteraan dikatakan
meningkat apabila terjadi peningkatan riil dari pengeluaran per kapita yaitu peningkatan
nominal pengeluaran lebih tinggi dari tingkat inflasi pada periode yang sama (Skoufias,
2000 diacu Mardiharini, 2002).
Biro Pusat Statistik mengukur taraf kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan
garis kemiskinan dan menghitung jumlah penduduk miskin. Garis kemiskinan
menggunakan data konsumsi dan data pengeluaran untuk komoditas pangan dan non
pangan. Batas kecukupan pangan dihitung dengan menetapkan sebanyak 52 komoditi
pangan, yang selayaknya dikonsumsi seseorang agar dapat hidup sehat, yang kandungan
kalorinya 2100 kkal per hari. Batas kecukupan non pangan dihitung dari nilai 46
komoditi yang ditetapkan sebagai komoditi non pangan (Raharto, 2002). Sedangkan
aspek spesifik yang dapat dijadikan indikator untuk mengamati kesejahteraan rakyat
yaitu (BPS, 2001) :
a) Kependudukan, meliputi jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, sebaran dan
kepadatan penduduk, fertilitas dan migrasi
b) Kesehatan, meliputi derajat kesehatan masyarakat (angka kematian bayi, angka
harapan hidup, dan angka kesakitan), ketersediaan fasilitas kesehatan, serta status
kesehatan ibu dan balita.
c) Pendidikan, meliputi kemapuan baca tulis, tingkat partisipasi sekolah, dan fasilitas
pendidikan.
d) Ketenagakerjaan, meliputi tingkat partisipasi angkatan kerja dan kesempatan kerja,
lapangan pekerjaan dan status pekerjaan, jam kerja serta pekerjaan anak.
e) Taraf dan pola konsumsi, meliputi distribusi pendapatan dan pengeluaran rumah
tangga (makanan dan non makanan).
f) Perumahan dan Lingkungan, meliputi kualitas rumah tinggal, fasilitas lingkungan
perumahan dan kebersihan lingkungan.
g) Sosial budaya, meliputi akses pada informasi dan hiburan serta kegiatan sosial
budaya.
Terminologi yang sering digunakan dalam penelitian yang membahas kesejahteraan
adalah living standar, well-being, welfare, quality of life‖ (Martin, 2006). Negara-negara
maju menggunakan beragam indikator kualitas hidup (quality of life) untuk
disepadankan dengan pengukuran kesejahterannya. Contohnya adalah Canada yang
menggunakan 19 indikator kualitas hidup masyarakat yang tersebar dalam empat
subsistem yaitu (Sharpe, 2004 dalam Suandi, 2005) :
a) Indikator ekonomi meliputi : 1) GDP per kapita, 2) pendapatan per kapita, 3)
inovasi, 4) lapangan kerja, 5) melek hurup, dan 6) tingkat pendidikan.
b) Indikator kesehatan meliputi ; 7) usia harapan hidup, 8) status kesehatan, 9) tingkat
kematian bayi (IMR), 10) aktivitas fisik.
c) Indikator lingkungan meliputi ; 11) kualitas udara, 12) kualitas air, 13) biodiversity,
14) lingkungan yang sehat
d) Indikator keamanan dan keselamatan masyarakat meliputi ; 15) kesukarelaan, 16)
kergaman, diversity, 17) partisipasi dalam aktivitas budaya, 18) partisipasi dalam
kegiatan politik, 19) keamanan dan keselamatan.

d. Kebijakan PIS-PK
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia (RI) pada tahun 2017
mengeluarkan sebuah gerakan bernama Germas alias Gerakan Masyarakat Hidup Sehat.
Dalam gerakan ini, terdapat 12 indikator keluarga sehat yang diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2016. Indikator keluarga sehat ini sendiri terbagi
menjadi 5 kategori yang meliputi program seputar gizi serta kesehatan ibu dan anak,
pengendalian dua jenis penyakit yakni yang menular dan tidak menular, perilaku sehat
masyarakat, rumah dan lingkungan yang sehat, serta kesehatan jiwa.
Program Indonesia sehat diselenggarakan untuk mencapai program NAWACITA
ke-5 yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia. Kementerian Kesehatan
telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Pendekatan keluarga merupakan salah satu cara Puskesmas untuk
meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan
kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Kenapa keluarga?? Karena
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang menjadi inti Pembangunan
Kesehatan sesuai UU 36 tahun 2009. Dalam rangka pelaksanaaan Program Indonesia
Sehat telah disepakati adanya dua belas indikator utama untuk penanda status kesehatan
sebuah keluarga. Kedua belas indikator utama tersebut adalah sebagai berikut :
Keluarga mengikuti Keluarga Berencana, Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan,
Bayi diimunisasi lengkap, Pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan, Pemantauan
pertumbuhan balita secara rutin, Penderita TB diobati secara teratur, Penderita
hipertensi diobati secara teratur, Penderita gangguan jiwa tidak dilakukan pemasungan,
Tidak merokok, Menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional, Keluarga menggunakan
sarana air bersih, dan Tidak ada yang buang air besar sembarangan. Syarat 12 indikator
tersebut dianggap berhasil yaitu :
a) Keluarga Berpartisipasi Aktif dalam Program Keluarga Berencana atau KB.
Anda pasti sudah sering mendengar mengenai Keluarga Berencana (KB), bukan?
Program yang dicanangkan pemerintah ini bertujuan untuk membatasi 2 anak setiap
keluarga dengan alasan kesejahteraan. Indikator ini dianggap sudah terpenuhi jika
sebuah keluarga mendapatkan pelayanan KB di tingkat desa atau kelurahan. Selain itu,
keluarga juga mendapatkan penyuluhan KB oleh tenaga kesehatan dan promosi KB
yang dilakukan pemuka agama setempat. Keluarga juga dianggap lolos indikator
pertama ini jika mendapatkan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi selama
sekolah maupun menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
b) Ibu Melakukan Persalinan di Fasilitas Kesehatan Resmi
Indikator keluarga sehat yang berikutnya dianggap tercapai apabila dalam sebuah
keluarga sang ibu melakukan persalinan di fasilitas kesehatan resmi seperti puskesmas
atau rumah sakit. Faktor pendukungnya adalah adanya pelayanan kesehatan ibu dan
anak yang berkualitas di skala puskesmas, kemudian terdapat ruang tunggu kelahiran
dan alat transportasi yang memadai untuk membawa ibu yang akan melahirkan. Selain
itu, ada juga tempat pelayanan kebugaran ibu hamil misalnya senam hamil, dan ibu
mendapatkan penyuluhan dari tenaga kesehatan mengenai pentingnya melakukan
persalinan dengan tenaga yang ahli dan terpercaya.
c) Bayi Memperoleh Imunisasi Dasar Lengkap
Indikator keluarga sehat yang ketiga adalah jika dalam sebuah keluarga terdapat
anak berusia antara 1 sampai dengan 2 tahun, maka ia seharusnya sudah memperoleh
imunisasi dasar lengkap. Imunisasi dasar ini meliputi vaksin Hepatitis B, BCG, DPT,
Polio, dan Campak. Faktor pendukung dari indikator ini adalah adanya pelayanan
imunisasi dasar di puskesmas maupun fasilitas kesehatan lain yang terdekat dengan
keluarga. Kemudian ibu dan ayah seharusnya juga mendapatkan pengenalan imunisasi
dasar dan mengetahui pentingnya imunisasi dasar yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan. Keluarga juga harusnya mendapatkan imbauan untuk melakukan imunisasi
dasar kepada anak oleh para pemuka agama dan kader PKK. Yang terakhir, keluarga
seharusnya memperoleh informasi secara nasional baik melalui televisi atau media
lainnya mengenai imunisasi.
d) Bayi Mendapatkan ASI Ekskusif
Masih berhubungan dengan bayi, indikator keluarga sehat yang keempat berkaitan
dengan ASI. Bayi dalam sebuah keluarga seharusnya mendapatkan ASI eksklusif
selama minimal 6 bulan. Jika ada ibu yang kesulitan memberikan ASI, seharusnya bisa
dengan mudah mendapatkan pelayanan konsultasi di puskesmas atau fasilitas kesehatan
lainnya. Ibu harus juga mendapatkan promosi berkenaan pentingnya ASI eksklusif yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan terkait.
e) Tumbuh Kembang Bayi dan Balita Selalu Dimonitor Setiap Bulannya
Indikator keluarga sehat yang berikutnya masih berhubungan dengan bayi dan
balita. Mereka seharusnya mendapatkan pelayanan kesehatan setiap bulannya, minimal
dengan menimbang berat badan. Pelayanan kesehatan ini minimal dilakukan satu kali
setiap bulan dan dibimbing secara langsung oleh Puskesmas namun pelaksanaannya
bisa dilakukan oleh ibu-ibu di lingkungan tersebut. Untuk anak yang sudah menginjak
masa sekolah seperti TK dan playgroup juga mendapatkan pemantauan pertumbuhan di
sekolah masing-masing.
f) Penderita TB Berobat Sesuai dengan Ketentuan
Indikator kesehatan keenam berkaitan dengan pengendalian penyakit menular dan
tidak menular. Dalam hal ini, jika di dalam suatu keluarga terdapat seseorang yang
menderita penyakit batuk lebih dari 2 minggu atau memang sudah diketahui mengalami
tuberkolosis, maka wajib berobat sesuai dengan ketentuan. Faktor pendukung dari
indikator ini adalah adanya pelayanan kesehatan untuk penderita tuberkolosi dan
penyakit paru di puskesmas atau rumah sakit. Dalam sebuah keluarga, juga harus ada
pengawas menelan obat atau PMO yang berfungsi mengingatkan penderita tuberkolosis
dan paru agak selalu minum obat secara teratur.
g) Yang Mengalami Tekanan Darah Tinggi Berobat Secara Teratur
Apabila di dalam sebuah keluarga juga terdapat anggota yang menderita tekanan
darah tinggi, maka harus berobat dengan rutin karena penyakit ini bisa menjadi
komplikasi dan memicu penyakit mematikan lainnya. Keluarga seharusnya bisa
mendapatkan akses kesehatan di faskes terdekat. kemudian penderita hipertensi juga
harus bisa mendapatkan pengawasan menelan obat sesuai kebutuhan dan bisa
melakukan konsultasi untuk berhenti merokok. Dalam lingkungan setempat juga harus
digalakkan aktivitas fisik bersama seperti senam secara berkala. Keluarga juga perlu
mendapat wawasan mengenai makanan dan minuman yang seharusnya tidak
dikonsumsi oleh yang mengalami hipertensi.
h) Seluruh Anggota Keluarga Bebas Rokok
Indikator kesehatan keluarga yang kedelapan berkaitan dengan perilaku sehat.
Dalam hal ini, seluruh anggota keluarga diharapkan bebas rokok alias tidak merokok
sama sekali. Keluarga harus mendapatkan pelayanan untuk berhenti merokok di
puskesmas atau faskes lain yang terdekat. Harusnya ada pula larangan untuk merokok di
tempat umum seperti sekolah, tempat ibadah, dan perkantoran. Usia pembeli rokok di
warung atau minimarket juga perlu dibatasi sehingga tidak ada kesempatan untuk anak
di bawah umur merokok.
i) Seluruh Keluarga yang Tercantum dalam KK menjadi Anggota JKN
Apabila Anda sekeluarga sudah terdaftar menjadi anggota BPJS atau Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dan memiliki kartu kesehatan, maka dianggap lolos
indikator ini. BPJS memberikan pelayanan kesehatan secara gratis untuk mempermudah
Anda mendapatkan obat dan pelayanan kesehatan yang tepat. BPJS ini memiliki 3 jenis
iuran yang bisa dipilih sesuai dengan kemampuan dan perlu dibayarkan setiap bulan
secara rutin. Keluarga yang belum mengurus BPJS diharapkan segera menjadi anggota
karena ada banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh.
j) Memiliki Akses terhadap Air Bersih dan Layak Minum
Indikator kesehatan berikutnya berkenaan dengan rumah dan lingkungan yang
sehat. Dalam hal ini, keluarga harusnya memiliki akses air bersih baik dalam bentuk
PDAM maupun sumur. Secara luas, keluarga juga harus bisa mendapatkan air bersih di
tempat-tempat umum seperti sekolah atau perkantoran. Perlu juga diadakan penyuluhan
air bersih dari tenaga kesehatan terkait.
k) Keluarga merupakan Pengguna Jamban Sehat
Indikator ini dianggap berhasil jika keluarga sudah memiliki akses terhadap jamban
sehat, yakni jamban berbentuk leher angsa dan bukan hanya sekadar lubang di tanah.
Keluarga juga perlu memperoleh penyuluhan terkait pentingnya menggunakan jamban
sehat.
l) Keluarga dengan Gangguan Jiwa Tidak Ditelantarkan
Indikator kesehatan keluarga yang terakhir mengenai kesehatan jiwa. Apabila ada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, maka harus diajak berobat dan tidak
ditelantarkan. Sebab penderita gangguan jiwa justru perlu diberi dukungan sehingga
bisa segera sembuh.
Berdasarkan indikator tersebut, dilakukan penghitungan Indeks Keluarga Sehat
(IKS) dari setiap keluarga. Hasil perhitungan IKS tersebut, selanjutnya dapat ditentukan
kategori kesehatan masing-masing keluarga yaitu dengan mengacu pada ketentuan
berikut :
a) Nilai indeks > 0,800 : keluarga sehat
b) Nilai indeks 0,500 – 0,800 : pra-sehat
c) Nilai indeks < 0,500 : tidak sehat
Dari IKS setiap keluarga tersebut, akan muncul IKS tingkat RT, RW dan Desa.
Lalu hasil tersebut disosialisasikan ke masyarakat setempat.

e. Konsep Keluarga Mandiri


Menurut Anwar (2015:63), mengartikan kemandirian merupakan suatu keadaan
dimana seseorang yang memiliki kemauan dan kemampuan berupaya untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan hidupnya secara sah, wajar dan bertanggung jawab terhadap segala
hal yang dilakukan, namun demikian tidak berarti bahwa orang yang mandiri bebas
lepas tidak memiliki kaitan dengan orang lain. Menurut Makhfudli (2009:188), ada
beberapa kriteria kemandirian keluarga berdasarkan tingkat kemandirian , diantaranya :
1) menerima petugas kesehatan, 2) menerima pelayanan kesehatan sesuai rencana
keperawatan keluarga , 3) keluarga tahu dan dapat mengungkapan masalah
kesehatannya dengan benar, 4) kemampuan keluarga dalam memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan sesuai anjuran , 5) melakukan tindakan keperawatan sederhana
sesuai anjuran ,6) melakukan tindakan pencegahan secara aktif , dan 7) keluarga mampu
melakukan tindakan promotif secara aktif.
Friedman (1998) dalam Zulfitri (2012) menyatakan bahwa apabila 5 tugas
kesehatan keluarga terpenuhi, maka keluarga tersebut sudah menunjukan kemandirian
keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan pada anggota keluarganya, meliputi:
pertama, keluarga diharapkan mampu mengenal berbagai masalah kesehatan yang
dialami oleh seluruh anggota keluarga. Kedua, keluarga mampu memutuskan tindakan
keperawatan yang tepat dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh
seluruh anggota keluarga. Ketiga, keluarga mampu melakukan perawatan yang tepat
sehari- hari dirumah. Keempat, keluarga dapat menciptakan dan memodifikasi
lingkungan rumah yang dapat mendukung dan meningkatkan kesehatan seluruh anggota
keluarganya. Kelima , adalah keluarga diharapkan mampu memanfaatkan pelayanan
kesehatan untuk mengontrol kesehatan dan mengobati masalah kesehatan yang tidak
dapat diselesaikan sendiri oleh keluarga. Adapun begitu, terhadap faktor- faktor yang
mempengaruhi kemandirian keluarga dalam kehidupan sehari-hari dalam mengambil
keputusan terhadap perkembangan keluarga maupun mengambil keputusan terhadap
upaya pemeliharaan kesehatan, berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
kemandirian keluarga.
Kemandirian Dipengaruhi Oleh Nilai-Nilai Yang ada dalam keluarga.
Ada beberapa variable atau faktor penting yang sangat mempengaruhi nilai-nilai
dalam keluarga. Nilai dan sistem keyakinan keluarga membentuk pola perilaku terhadap
masalah kesehatan yang mereka hadapi. Maka dari itu nilai-nilai yang ada dalam
keluarga sangat mempengaruhi kemandirian keluarga. Berikut variabel tersebut menurut
Friedman (1998);
a. Sosial Ekonomi. Karena status sosial ekonomi keluarga membentuk gaya hidup
keluarga status ini juga merupakan faktor yang sangat kuat didalam nilai keluarga, nilai
ini dominan dari masyarakat berbeda-beda. Terkait dengan dimensi waktu, keluarga
miskin lebih berorientasi pada masa kini daripada kelas menengah. Diantara beberapa
keluarga miskin misalnya waktu dan perjanjian dipersiapkan sebagai sesuatu yang
fleksibel artinya kegiatan dimulai jika semua orang yang terlibat sudah sampai
sebaliknya keluarga kelas memengah, menganut nilai waktu yang dominan dan
mengharapkan ketepatan waktu serta ketrampilan manajemen waktu yang baik
(Friedman, 1998:186).
b. Etnis. Latar belakang etnik memberikan perbedaan yang besar dalam memandang
pentingnya suatu nilai dalam keluarga. Contohnya: keluarga irlandiaamerika
menempatkan nilai yang tinggi pada kemandirian. Kebudayaan irlandia penuh dengan
ungkapan yang menggambarkan pentingnya tersebut anda sudah merapikan tempat
tidur, yang mengungkapkan arti bahwa anggota keluarga yang sudah menikah tidak
boleh membawa masalah rumah tangga mereka kepada orang tua. Sebaliknya, keluarga
Italia-Amerika akan sulit mebayangkan ungkapan tersebut (Friedman, 1998:338).
c. Letak Geografis. Dalam hal tempat tinggal penduduk desa versus kota, penduduk
desa cenderung lebih tradisional dan konservatif daripada penduduk urban dan
suburban. Masyarakat suburban sebagian menengah, dan biasanya lebih mendukung
nilai kebudayaan kelas menengah penduduk urban. Sebaliknya , masyarakat urban,
teridiri dari beragam macam populasi, pada umumnya terdiri dari keluarga yang berasal
dari beragam kelas social , dan dari bermacam etnik serta kelompok rasial, jadi keluarga
urban biasanya menunjukkan perbedaan nilai yang besar, meskipun secara umum
cenderung memilih pandangan social dan politik yang lebih liberal (Friedman,
1998:340).
d. Perbedaan generasi. Variable lain yang mempengaruhi nilai dan norma keluarga
adalah pada generasi manakah anggota tersebut hidup. Contohnya di amerika serikat
ada system nilai generasi . kebanyakan nilai inti juga dapat berubah karena pergeseran
nilai yang berlaku dalam masyarakat (Fridman, 1998:340).
Kemandirian Dipengaruhi oleh Perkembangan Perilaku Perawatan Diri Keluarga
Gray (1996) dalam Friedman (1998:42-43) menulis bahwa perilaku perawatan diri
keluarga dapat berkembang lewat perpaduan pengalaman social dan kognitif yang telah
dipelajari melalui hubungan interpersonal, komunikasi dan budaya yang unik pada
setiap keluarga.
a. Interpersonal. Anggota keluarga, baik secara individu atau kelompok, dapat
melakukan atau menjalankan keharusan perawatan diri yang meliputi sikap mengenai
kesehatan mereka dan kemampuan mereka untuk melaksanakan perilaku perawatan diri
terhadap anggota keluarganya yang memiliki masalah kesehatan. Keluarga
mempengaruhi pengenalan dan interpretasi gejala penyakit anggota keluarganya.
Sebagai sebuah unit dasar di dalam masyarakat, keluarga membentuk dan dibentuk oleh
kekuatan dari luar yang ada disekitarnya. Keluarga telah menunjukkan ketahanan dan
adaptasi yang luar biasa terhadap anggota keluarganya yang mengalami masalah
kesehatan, oleh karena itu faktor yang sangat mempengaruhi individu dapat mencapai
adaptasi dalam perubahan status kesehatannya sangat dipengaruhi oleh dari luar dirinya
yaitu keluarga dan masyarakat sekelilingnya.
b. Komunikasi. Komunikasi keluarga dikonsepsualisasikan sebagai salah satu dari
empat dimensi struktur dari system keluarga, beserta kekuasaan , peran dan
pengambilan keputusan serta dimensi struktur nilai. Struktur keluarga dan proses
komunikasi terkait memfasilitasi pencapaian fungksi keluarga, selain itu pola
komunikasi didalam system keluarga mencerminkan peran dan hubungan anggota
keluarga. Komunikasi memerlukan pengirim, saluran dan penerima pesan serta interaksi
antara pengirim dan penerima. Pengirim dan penerima. Pengirim adalah seseorang yang
mencoba untuk memindahkan suatu pesan kepada orang lain, penerima adalah sasaran
dari pesan yang dikirmkan saluran merupakan rute/perjalanan pesan. Karakteristik kunci
keluarga yang sehat adalah komunikasi yang jelas dan kemampuan untuk saling
mendengarkan. Komunikasi yang baik diperlukan untuk membina dan memelihara
hubungan penuh rasa cinta.
c. Budaya. Orientasi atau latar belakang kebudayaan keluarga dapat menjadi variable
yang paling berhubungan dengan memahami prilaku keluarga. System nilai dan fungsi
keluarga. Karena kebudayaan menembus dan mengitari tindakan individu. Keluarga dan
social, konsekuensinya pervasive dan implikasi pada praktik menjadi luas. Professional
kesehatan harus menyadari keunikan kualitas yang khusus, bermacam gaya hidup ,
struktur dalam kebudayaan keluarga, karena itu posisi budaya sangat penting dan
merupakan karakter yang unik.
Penilaian Kemandirian Keluarga.
Menurut Makhfudli (2009:188), kemandirian keluarga dalam program Perawatan
Kesehatan dibagi menjadi empat tingkat dari keluarga mandiri tingkat satu (paling
rendah) sampai keluarga mandiri tingkat empat (paling tinggi).
a. Keluarga Mandiri Tingkat I dengan syarat : menerima petugas perawatan kesehatan
komunitas, menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana
keperawatan.
b. Keluarga Mandiri Tingkat II dengan syarat : menerima petugas perawatan kesehatan
komunitas, menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana
keperawatan, tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar,
memanfaatkan pelayanan kesehatan secara aktif, melakukan perawatan sederhana sesuai
yang dianjurkan.
c. Keluarga Mandiri Tingkat III dengan syarat : menerima petugas perawatan kesehatan
komunitas, menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana
keperawatan, tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar,
memanfaatkan pelayanan kesehatan secara aktif, melakukan perawatan sederhana sesuai
yang dianjurkan, melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif.
d. Keluarga Mandiri Tingkat IV dengan syarat : menerima petugas perawatan kesehatan
komunitas, menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana
keperawatan, tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara benar,
memanfaatkan fasilitas kesehatan secara aktif, melakukan perawatan sederhana sesuai
yang dianjurkan (psikoterapi individual), melaksanakan tindakan pencegahan secara
aktif (rehabilitasi psikiatri), melaksanakan tindakan promotif secara aktif (latihan
keterampilan social).

C. Rangkuman
Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan,
adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang
umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap
anggota.
Struktur keluarga menunjuk kepada keluarga bagaimana keluarga tersebut
diorganisasikan, dan cara di mana unit-unit tersebut ditata, serta bagaimana
komponen-komponen tersebut berhubungan satu sama lain. Ada empat dimensi
struktural dasar dari keluarga yaitu (1) Struktur peran, (2) Struktur kekuasaan, (3)
Proses-proses/pola-pola komunikasi, dan (4) Sistem nilai. Elemen-elemen ini
memiliki interelasi yang intim dan bergantung satu sama lain. Karena keluarga
merupakan sistem keluarga, terdapat interaksi dan feedcack (umpan balik) yang
berlangsung terus menerus antara lingkungan internal dan eksternal. Suatu perubahan
satu bagian sistem keluarga umumnya akan diikuti oleh suatu perubahan
kompensatoris dalam dimensi struktural internal lain. Oleh sebab itu, dimensi-dimensi
ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

D. Tugas/Latihan
Pilihlah jawaban yang paling tepat !
Kasus 1 (Vignete)
Bp. SJ (40 th) mempunyai seorang istri Ibu S (38 th) dan 2 orang anak berumur laki dan
perempuan berumur 14 th dan 8 th. Keluarga ini tinggal serumah dengan orang tua Bp.
SJ. Bp.SJ seorang yang temperamental, sering marah dengan anak dan istrinya karena
alasan yang tidak jelas serta kurang memperhatikan keluarga.
1. Berdasarkan kasus 1 tersebut, apakah bentuk atau tipe keluarga Bp. SJ yang paling
tepat…
A. Keluarga Inti
B. Keluarga Single Parent
C. Keluarga Besar
D. Keluarga Komunal
E. Keluarga Binuklear
2. Berdasarkan kasus 1 tersebut, apakah tahap perkembangan keluarga Bp. SJ yang
paling tepat …
A. Keluarga dengan menanti kelahiran
B. Keluarga dengan anak usia pra sekolah
C. Keluarga dengan anak usia sekolah
D. Keluarga dengan anak remaja
E. Keluarga dengan usia dewasa muda
3. Berdasarkan kasus 1 tersebut, apakah tugas perkembangan keluarga Bp. SJ yang
belum terpenuhi ….
A. Memfokuskan kembali hubungan perkawinan antara pasangan
B. Melakukan komunikasi terbuka antara orangtua dan remaja
C. Mempertahankan standar etik dan moral keluarga
D. Memenuhi kebutuhan kesehatan fisik anggota keluarga
E. Mensosialisasikan anak termasuk meningkatkan prestasi sekolah
4. Berdasarkan kasus 1 tersebut, apakah fungsi keluarga yang belum terpenuhi pada
keluarga Bp. SJ ….
A. Fungsi Afektif
B. Fungsi Ekonomi
C. Fungsi Reproduksi
D. Fungsi Sosialisasi
E. Fungsi Pemeliharaan Kesehatan
E. Daftar Pustaka
Andarmoyo, S, 2012, Keperawatan Keluarga Konsep Teori, Proses dan Praktik
Keperawatan, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Bailon, S.G. & Maglaya, A.S, 1987, Family health nursing: The process, Philippiness:
UP. College of Nursing Diliman, Quezon City.

Depkes RI, 2006, Tingkat Kemandirian Keluarga,


http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/2890/isi1000
1.PDF?sequence=2, diakses tanggal 9 Februari 2021.

Doane, G.W. & Varcoe, C, 2005, Family nursing as relational inquiry : Developing
health promotion practice, Philadelphia : Lippincott.

Effendy N, 1998, Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Jakarta : EGC.

Friedman, MM, Bowden, O & Jones, M, 2010, Buku Ajar Keperawaan Keluarga : riset,
teori, & praktik, alih bahasa, Achir Yani S, Hamid, et al, editor edisi bahasa
Indonesia, Estu Tiar, Ed.5, Jakarta : EGC.

Friedman,M.M, Bowden, V.R. & Jones, E.G, 2003, Family nursing : Research, Theory
& Practice, (5th ed.), New Jersey : Prentice Hall.

Friedman, M.M, 1998, Family nursing : Research, Theory & Practice, (4th ed.),
California : Appleton and Lange.

Fakultas Ilmu Keperawatan UI, 2000, Kumpulan makalah pelatihan asuhan


keperawatan keluarga.

Hanson, S.M.H., & Boyd, S.T, 1996, Family Health care nursing : Theory, Practice
and research, Philadelphia : F.A. Davis Company.

Maglaya, 2009, Family Health Nursing: The Proses, Philipina: Argonauta Corpotaion:
Nangka Marikina.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman


Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga

Stanhope,M. & Lancaster.J, 1997, Community health nursing. Process and practice for
promoting health, Mosby Company, USA.

Sunarti, E, 2006, Indikator Keluarga Sejahtera; Sejarah Pengembangan, Evaluasi dan


Keberlanjutannya, Fakultas Ekologi Manusia, IPB

Anda mungkin juga menyukai