Anda di halaman 1dari 20

STUDI KASUS FARMASI RUMAH SAKIT

DOSEN PENGAMPU :
apt. Yane Dila Keswara, M.Sc.

KELOMPOK B1 (3)
Fitria Anggraini 2120424730
Helena Maria Oematan 2120424735

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2020 dan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI) Tahun 2020, kanker payudara merupakan kanker yang paling
umum diderita oleh perempuan. Kanker payudara saat ini merupakan salah satu jenis kanker
yang paling banyak di derita oleh perempuan dengan prevalensi yang sangat tinggi di seluruh
negara di dunia (American Cancer Society, 2015).

Kejadian kanker meningkat dari tahun ke tahun dan terjadi hampir di seluruh dunia.
Kanker menduduki urutan ke dua penyakit terbesar di dunia. Data jumlah penderita kanker di
seluruh dunia mencapai 14 juta kasus dengan angka kematian 8,2 juta setiap tahunnya (WHO,
2018). Data Global Cancer Observatory menyebutkan bahwa terdapat 18,1 juta kasus baru
dengan angka kematian juga meningkat menjadi 9,6 juta setiap tahun. Dari data tersebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa kanker payudara adalah salah satu penyakit yang memiliki persentase
kematian yang cukup tinggi terutama pada wanita (Kemenkes RI, 2018). Tidak hanya terjadi di
negara maju, kejadian kanker payudara juga terjadi di negara berkembang, seperti Indonesia.
Kanker payudara menempati urutan ke 8 dari seluruh jenis kanker di Indonesia. Kanker payudara
juga merupakan masalah utama sebagai jenis kanker yang terbanyak diderita oleh perempuan
(Nordqvist & Chun, 2017). Prevalensi Kanker di Indonesia cukup tinggi dari data laporan Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 kanker payudara menduduki urutan ke 7 dari seluruh
penyakit kanker. Prevalensi penyakit kanker di Indonesia cukup tinggi. Data yang dipaparkan
oleh Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI (2020)
mengungkapkan bahwa angka kejadian tertinggi untuk perempuan adalah kanker payudara yaitu
1,4 per 1000 penduduk pada tahun 2013 meningkat menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun
2018 (Kemenkes RI, 2020). Terjadinya peningkatan kasus ini perlu adanya upaya peningkatan
kesadaran masyarakat tentang kanker payudara.

Deteksi dini merupakan langkah awal terdepan dan paling penting dalam pencegahan
kanker. Deteksi dini diharapkan dapat menekan angka mortalitas dan morbiditas, dan biaya
kesehatan akan lebih rendah. Deteksi dini dan skrining menjadi kunci tingkat bertahan hidup
yang tinggi pada penderita. Deteksi dini dapat menekan angka kematian. Selain itu, untuk 4
meningkatkan kesembuhan penderita kanker payudara, kuncinya adalah penemuan dini,
diagnosis dini, dan terapi dini. Untuk itu, diperlukan diseminasi pengetahuan tentang kanker
payudara, dan pendidikan wanita untuk melakukan SADARI (Kemenkes RI, 2018).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kanker payudara (KPD) merupakan keganasan pada jaringan payudara yang dapat berasal dari epitel
duktus maupun lobulusnya.Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker terbanyak di Indonesia
((Kemenkes, 2010). Kanker payudara adalah keganasan pada payudara yang berasal dari sel kelenjar, saluran
kelenjar, serta jaringan penunjang payudara, namun tidak termasuk kulit payudara (Depkes RI, 2014).

B. Etiologi dan faktor resiko

Penyebab spesifik kanker payudara masih belum diketahui, Adapun faktor risiko terjadinya kanker
payudara, yaitu usia > 50 tahun, adanya riwayat kanker payudara pada keluarga, obesitas, kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol, pemakaian alat kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu yang lama, paparan radiasi, tidak
pernah melahirkan atau melahirkan pertama kali pada usia lebih dari 35 tahun, serta tidak menyusui.
Menopause yang terlambat, yaitu pada usia > 50 tahun, dan menarche dini, yaitu usia pertama kali mengalami
menstruasi < 12 tahun juga merupakan faktor risiko dari kanker payudara. Dari faktor risiko tersebut, riwayat
keluarga serta usia menjadi faktor terpenting. Riwayat keluarga yang pernah mengalami kanker payudara
meningkatkan risiko berkembangnya penyakit ini. Data WHO menunjukan bahwa 78% kanker payudara terjadi
pada wanita usia 50 tahun ke atas. Sedangkan 6%-nya pada usia kurang dari 40 tahun. Namun banyak juga para
wanita yang berusia 30-an terkena kanker yang mematikan ini (DeSantis et al., 2014).

C. TATALAKSANA

Terapi pada kanker payudara harus didahului dengan diagnosa yang lengkap dan akurat ( termasuk
penetapan stadium ). Diagnosa dan terapi pada kanker payudara haruslah dilakukan dengan pendekatan humanis
dan komprehensif. Terapi pada kanker payudara sangat ditentukan luasnya penyakit atau stadium dan ekspresi
dari agen biomolekuler atau biomolekuler-signaling. Terapi pada kanker payudara selain mempunyai efek terapi
yang diharapkan, juga mempunyai beberapa efek yang tak diinginkan (adverse effect), sehingga sebelum
memberikan terapi haruslah dipertimbangkan untung ruginya dan harus dikomunikasikan dengan pasien dan
keluarga. Selain itu juga harus dipertimbangkan mengenai faktor usia, comorbid, evidence-based, cost effective,
dan kapan menghentikan seri pengobatan sistemik termasuk end of life isssues.
a. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling awal dikenal untuk pengobatan kanker payudara. Terapi
pembedahan dikenal sebagai berikut :
 Terapi atas masalah lokal dan regional : Mastektomi, breast conserving surgery, diseksi aksila dan terapi
terhadap rekurensi lokal/regional.
 Terapi pembedahan dengan tujuan terapi hormonal : ovariektomi, adrenalektomi, dsb.
 Terapi terhadap tumor residif dan metastase.
 Terapi rekonstruksi, terapi memperbaiki kosmetik atas terapi lokal/regional, dapat dilakukan pada
saat bersamaan (immediate) atau setelah beberapa waktu (delay).

Jenis pembedahan pada kanker payudara:

 Mastektomi
 Mastektomi Radikal Modifikasi (MRM)  adalah tindakan pengangkatan tumor payudara dan seluruh
payudara termasuk kompleks puting-areola, disertai diseksi kelenjar getah bening aksilaris level I
sampai II secara en bloc. Indikasi: Kanker payudara stadium I, II, IIIA dan IIIB. Bila diperlukan pada
stadium IIIb, dapat dilakukan setelah terapi neoajuvan untuk pengecilan tumor.
 Mastektomi Radikal Klasik (Classic Radical Mastectomy) Mastektomi radikal adalah tindakan
pengangkatan payudara, kompleks puting-areola, otot pektoralis mayor dan minor, serta kelenjar getah
bening aksilaris level I, II, III secara en bloc. Jenis tindakan ini merupakan tindakan operasi yang
pertama kali dikenal oleh Halsted untuk kanker payudara, namun dengan makin meningkatnya
pengetahuan biologis dan makin kecilnya tumor yang ditemukan maka makin berkembang operasi
operasi yang lebih minimal
Indikasi:
- Kanker payudara stadium IIIb yang masih operable
- Tumor dengan infiltrasi ke muskulus pectoralis major
 Mastektomi dengan teknik onkoplasti Rekonstruksi bedah dapat dipertimbangkan pada institusi yang
mampu ataupun ahli bedah yang kompeten dalam hal rekonstruksi payudara tanpa meninggalkan prinsip
bedah onkologi. Rekonstruksi dapat dilakukan dengan menggunakan jaringan autolog seperti latissimus
dorsi (LD) flap atau transverse rectus abdominis myocutaneous (TRAM) flap; atau dengan prosthesis
seperti silikon. Rekonstruksi dapat dikerjakan satu tahap ataupun dua tahap, misal dengan menggunakan
tissue expander sebelumnya.
 Mastektomi Simpel Mastektomi simpel adalah pengangkatan seluruh payudara beserta kompleks puting-
areolar,tanpa diseksi kelenjar getah bening aksila.
Indikasi:
- Tumor phyllodes besar
- Keganasan payudara stadium lanjut dengan tujuan paliatif menghilangkan tumor.
- Penyakit Paget tanpa massa tumor
- DCIS
 Mastektomi Subkutan (Nipple-skin-sparing mastectomy) Mastektomi subkutan adalah pengangkatan
seluruh jaringan payudara, dengan preservasi kulit dan kompleks puting-areola, dengan atau tanpa
diseksi kelenjar getah bening aksila
Indikasi:
- Mastektomi profilaktik
- Prosedur onkoplasti
 Breast Conserving Therapy (BCT)
BCT merupakan salah satu pilihan terapi lokal kanker payudara stadium awal. Beberapa penelitian RCT
menunjukkan DFS dan OS yang sama antara BCT dan mastektomi. Namun pada follow up 20 tahun
rekurensi lokal pada BCT lebih tinggi dibandingkan mastektomi tanpa ada perbedaan dalam OS.
Sehingga pilihan BCT harus didiskusikan terutama pada pasien kanker payudara usia muda. Secara
umum, BCT merupakan pilihan pembedahan yang aman pada pasien kanker payudara stadium awal
dengan syarat tertentu. Tambahan radioterapi pada BCS dikatakan memberikan hasil yang lebih baik .
Indikasi :
- Kanker payudara stadium I dan II.
- Kanker payudara stadium III dengan respon parsial setelah terapi neoajuvan.
 Salfingo ovariektomi bilateral  adalah pengangkatan kedua ovarium dengan/ tanpa pengangkatan tuba
Falopii baik dilakukan secara terbuka ataupun perlaparaskopi.Tindakan ini boleh dilakukan olehspesialis
bedah umum atau Spesiali Konsultan Bedah Onkologi, dengan ketentuan tak ada lesi primer di organ
kandungan.
Indikasi :
- Karsinoma payudara stadium IV premenopausal dengan reseptor hormonal positif.
 Metastasektomi  adalah pengangkatan tumor metastasis pada kanker payudara. Tindakan ini memang
masih terjadi kontroversi diantara para ahli, namun dikatakan metastasektomi mempunyai angka
harapan hidup yang lebih panjang bila memenuhi indikasi dan syarat tertentu.Tindakan ini dilakukan
pada kanker payudara dengan metastasis kulit, paru, hati, dan payudara kontralateral. Pada metastasis
otak, metastatektomi memiliki manfaat klinis yang masih kontroversi.
indikasi:
-Tumor metastasis tunggal pada satu organ
-Terdapat gejala dan tanda akibat desakan terhadap organ sekitar
b. Terapi Sistemik (Kemoterapi)
Kemoterapi yang diberikan dapat berupa obat tunggal atau berupa gabungan beberapa kombinasi obat
kemoterapi. Kemoterapi diberikan secara bertahap, biasanya sebanyak 6 – 8 siklus agar mendapatkan efek yang
diharapkan dengan efek samping yang masih dapat diterima Hasil pemeriksaan imunohistokimia memberikan
beberapa pertimbangan penentuan regimen kemoterapi yang akan diberikan.
c. Terapi Hormonal
Pemeriksaan imunohistokimia memegang peranan penting dalam menentukan pilihan kemo atau
hormonal sehingga diperlukan validasi pemeriksaan tersebut dengan baik. Terapi hormonal diberikan pada
kasus-kasus dengan hormonal positif. Terapi hormonal bisa diberikan pada stadium I sampai IV. Pada kasus
kanker dengan luminal A (ER+,PR+,Her2-) pilihan terapi ajuvan utamanya adalah hormonal bukan kemoterapi.
Kemoterapi tidak lebih baik dari hormonal terapi. Pilihan terapi tamoxifen sebaiknya didahulukan dibandingkan
pemberian aromatase inhibitor apalagi pada pasien yang sudah menopause dan Her2-. Lama pemberian ajuvan
hormonal selama 5-10 tahun
d. Terapi Target
Pemberian terapi anti target hanya diberikan di rumah sakit tipe A/B. Pemberian anti-Her2 hanya pada
kasus-kasus dengan pemeriksaan IHK yang Her2 positif. Pilihan utama anti-Her2 adalah herceptin, lebih
diutamakan pada kasus-kasus yang stadium dini dan yang mempunyai prognosis baik (selama satu tahun: tiap 3
minggu). Penggunaan anti VEGF atau m-tor inhibitor belum direkomendasikan.
e. Radioterapi

Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tatalaksana kanker payudara. Radioterapi
dalam tatalaksana kanker payudara dapat diberikan sebagai terapi kuratif ajuvan dan paliatif.

f. Radioterapi pasca BCS (radioterapi seluruh payudara)

Radioterapi seluruh payudara pada pasca BCS diberikan pada semua kasus kanker payudara (ESMO Level 1,
grade A). Hal ini disebabkan radioterapi pada BCS meningkatkan kontrol lokal dan mengurangi angka kematian
karena kanker payudara dan memiliki kesintasan yang sama dengan pasien kanker payudara stadium dini yang
ditatalaksana dengan MRM. Radioterapi seluruh payudara dapat diabaikan pada pasien kanker payudara pasca
BCS berusia > 70 tahun dengan syarat: (ESMO Level 2, grade B, NCCN kategori 1).  Reseptor estrogen +

 Klinis N0

 T1 yang mendapat terapi hormonal

g. Raduoterapi pasca mastektomi (Radioterapi Dinding Dada)

1. Tumor T3-4 (ESMO Level 2, grade B).

2. KGB aksilla yang diangkat >/=4 yang mengandung sel tumor dari sediaan diseksi aksilla yang adekuat
(ESMO Level 2, grade B).
3. Batas sayatan positif atau dekat dengan tumor.

4. KGB aksilla yang diangkat 1-3 yang mengandung sel tumor dari sediaan diseksi aksilla yang adekuat dengan
faktor resiko kekambuhan, antara lain derajat tinggi (diferensiasi jelek) atau invasi limfo vaskuler.
BAB III

KASUS

Pasien bernama Ny. M dengan umur 65 tahun, tinggi badan 155 cm, berat badan 47 kg menderita kanker
payudara. Oleh dokter Sp.PD-KHOM diberikan kemoterapi paclitaxel-carboplatin rencana 6 siklus interval 21
hari. Nilai SCr 0,7
Pertanyaan:
a. Hitunglah regimen dosis sitostatika tersebut!
b. Hitunglah konsentrasi obat sitostatika dalam pelarut!
c. Bagaimana cara preparasi regimen ini?
d. Hitunglah kecepatan infus obat tersebut!
e. Efek samping apa yang mungkin terjadi?
Jawab

a. Regimen Dosis
(tinggi badan x berat badan)
Luas Permukaan Tubuh (LPT) =
√ 3600

155 cm x 47 kg
=
√ 3600

= 1,422 m2 = 1,42 m2

A. Paclitaxel

(Referensi: Dipiro edisi 11, 2020)

Dosis paclitaxel : 175 mg/m2 = Dosis referensi x LPT


= 175 mg x 1,42 m2
= 248,5 mg
B. Carboplatin

(Referensi: Dipiro edisi 11, 2020)

Dosis carboplantin: AUC 6 IV mg/mL/min

Perhitungan dosis dengan Calvert


Carboplatin Dose (mg) = Target area under the curve (AUC mg/mL/min) (GFR + 25)
Perhitungan dengan Cockcroft-Gault
( 140−Umur ) x BB(kg)
CrCl (male) =
72 x Serum creatinine( mg/dL)
( 140−65 ) x 47 kg 3525
CrCl (male) =
72 x 0,7 mg /dL
= 50,4
= 70 ml/menit
Crcl (female) = 0,85 x CrCl (male)
= 0,85 x 70 ml/menit = 59,5 ml/menit
Dosis maksimum carboplatin (mg) = 6 mg/ml/menit x (59,5 ml/menit + 25)
= 507 mg
b. Perhitungan konsentrasi obat sitostatika dalam pelarut
A. Paclitaxel

(Referensi : Buku Pedoman Obat Suntik dan Penanganan Sediaan Sitostatika)


1) Sediaan Paclitaxel : Injeksi 30mg/5 mL, Injeksi 100mg/16,7 mL, Injeksi 300mg/50 mL
2) Pelarut yang digunakan : NaCl 0,9% 500mL
248 ,5 mg
3) Volume obat yang diambil : x 16,7 mL=41 mL
100 mg
4) Jumlah vial yang digunakan : Injeksi 100mg/16,7 mL = (248,5 mg)/(100mg/vial) = 2,4 vial = 3 vial
5) Maka volume total pencampuran = 541 mL

Konsentrasi obat dalam pelarut dihitung dengan rumus :


V1N1 = V2N2
Keterangan :
V1 = Volume pelarut = 500mL
N1 = kons. Obat pada etiket = 100mg/16,7mL
V2 = Total volume = 541mL
N2 = kons. obat dalam pelarut =x

Sehingga : V1 x N1 = V2 x N2
500 mL x (100mg/16,7mL) = 541 mL x N2
500 mL x(100 mg/16,7 mL)
N2 = = 5,5 mg/mL
541 mL
Jadi konsentrasi paclitaxel dalam pelarut yaitu sebesar 5,5 mg/mL

(Referensi: BC Cancer Drug Paclitaxel)


- Konsentrasi paclitaxel dalam pelarut masih masuk dalam rentang.
B. Carboplatin

(Referensi : Buku Pedoman Obat Suntik dan Penanganan Sediaan Sitostatika)


1) Sediaan Carboplastin : Injeksi 450mg/45 mL, Injeksi 150mg/15 mL
2) Pelarut yang digunakan : Dextrosa 5% 500 mL
507 mg
3) Volume obat yang diambil : x 15 mL=50,7 mL
150 mg
4) Jumlah vial yang digunakan : Injeksi 150mg/15 mL = (507mg)/(150mg/vial) = 3,38 vial
= 4 vial
5) Maka volume total pencampuran = 550,7 mL

Konsentrasi obat dalam pelarut dihitung dengan rumus :


V1N1 = V2N2
Keterangan :
V1 = Volume pelarut = 500 mL
N1 = kons. Obat pada etiket = 150mg/15mL
V2 = Total volume = 550,7 mL
N2 = kons. obat dalam pelarut =x

Sehingga : V1 x N1 = V2 x N2
500 ml x (150mg/15ml) = 550,7 mL x N2
500 ml x(150 mg/15 mL)
N2 = =9 mg/mL
550,7 ml
Jadi konsentrasi carboplatin dalam pelarut yaitu sebesar 9 mg/ ml
(Referensi: BC Cancer Drug Carboplatin)
- Konsentrasi Carboplatin dalam pelarut masih dalam rentang

c. Cara preparasi
Penyiapan
1. Memeriksa kelengkapan dokumen (formulir) permintaan dengan prinsip 5 BENAR (benar pasien, obat,
dosis, rute dan waktu pemberian)
2. Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima (nama obat, jumlah, nomer batch, tgl kadaluarsa), serta
melengkapi form permintaan.
3. Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang tidak jelas/tidak lengkap.
4. Menghitung kesesuaian dosis
5. Memilih jenis pelarut yang sesuai.
6. Menghitung volume pelarut yang digunakan.
7. Membuat label obat berdasarkan: nama pasien, nomer rekam medis, ruang perawatan, dosis, cara
pemberian, kondisi penyimpanan, tanggal pembuatan, dan tanggal kadaluarsa campuran
8. Membuat label pengiriman terdiri dari : nama pasien, nomer rekam medis, ruang perawatan, jumlah
paket.
9. Melengkapi dokumen pencampuran Memasukkan alat kesehatan, label, dan obat-obatan yang akan
dilakukan pencampuran kedalam ruang steril melalui pass box.

Pencampuran
a. Proses pencampuran sediaan sitostatika
1. Memakai APD sesuai PROSEDUR TETAP
2. Mencuci tangan sesuai PROSEDUR TETAP
3. Menghidupkan biological safety cabinet (BSC) 5 menit sebelum digunakan.
4. Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi BSC sesuai PROSEDUR TETAP
5. Menyiapkan meja BSC dengan memberi alas sediaan sitostatika (Paclitaxel-Carboplatin).
6. Menyiapkan tempat buangan sampah khusus bekas sediaan sitostatika.
7. Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan menyemprot alkohol 70%.
8. Mengambil alat kesehatan dan bahan obat dari pass box.
9. Meletakkan alat kesehatan dan bahan obat yang akan dilarutkan di atas meja BSC.
10. Melakukan pencampuran sediaan sitostatika secara aseptis.
11. Memberi label yang sesuai pada setiap infus dan spuit yang sudah berisi sediaan sitostatika.
12. Membungkus dengan kantong hitam atau aluminium foil untuk obat-obat yang harus terlindung cahaya.
13. Membuang semua bekas pencampuran obat kedalam wadah pembuangan khusus.
14. Memasukan infus untuk spuit yang telah berisi sediaan sitostatika ke dalam wadah untuk pengiriman.
15. Mengeluarkan wadah untuk pengiriman yang telah berisi sediaan jadi melalui pass box.
16. Menanggalkan APD sesuai prosedur tetap
b. Teknik memindahkan sediaan obat dari vial
1. Membuka vial larutan obat paclitaxel dan carboplatin:
1.1 Buka penutup vial
1.2 Seka bagian karet vial dengan alkohol 70%, biarkan mengering
1.3 Berdirikan vial
1.4 Bungkus penutup vial dengan kassa dan buang ke dalam kantong buangan tertutup
2. Pegang vial dengan posisi 45°, masukkan spuit ke dalam vial.
3. Masukan pelarut yang sesuai ke dalam vial (paclitaxel:NaCl 0,9%, Carboplatin:Dextrosa 5%), gerakan
perlahan-lahan memutar untuk melarutkan obat.
4. Ganti needle dengan needle yang baru
5. Beri tekanan negatif dengan cara menarik udara ke dalam spuit kosong sesuai volume yang diinginkan.
6. Pegang vial dengan posisi 45°, tarik larutan ke dalam spuit tersebut.
7. Untuk infus intravena (iv), suntikkan larutan obat ke dalam botol infus dengan posisi 45° perlahan-halan
melalui dinding agar tidak berbuih dan tercampur sempurna.
8. Bila spuit dikirim tanpa needle, pegang spuit dengan posisi jarum ke atas angkat jarum dan buang ke
kantong buangan tertutup.
9. Pegang spuit dengan bagian terbuka ke atas, tutup dengan “luer lock cap”
10. Seka cap dan syringe dengan alkohol.
11. Setelah selesai, buang seluruh bahan yang telah terkontaminasi ke dalam kantong buangan tertutup.
(Referensi : Buku Pedoman Obat Suntik dan Penanganan Sediaan Sitostatika)
d. Perhitungan kecepatan infus

A. Paclitixel

jumlah kebutuhan cairan x faktor tetes 541ml x 20 tetes/ml


Jumlah TPM = = = 60,11 tetes/ menit
waktu ( jam ) x 60 menit 3 x 60 menit
B. Carboplatin
kebutuhan cairan x faktor tetes 550,7 ml x 20 tetes /ml
Jumlah TPM = = = 183,5 tetes/ menit
waktu ( jam ) x 60 menit 1 x 60 menit
e. Efek samping yang mungkin terjadi
- Referensi : BC Cancer Drug Paclitaxel
- Carboplatin
(Referensi: BC Cancer Drug Carboplatin)
DAFTAR PUSTAKA

Bare & Smeltzer.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8
vol.3. Jakarta : EGC.

Benson. 2009. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi, Jakarta : EGC.

DepKes RI. 2009. Pedoman Pencampuran Obat Suntik Dan Penanganan Sediaan Sitostatika. Jakarta: Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan.

DiPiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. 2020. Pharmacotherapy Handbook 11 Edition. United
States: The McGraw-Hill Companies Inc.

Kemenkes RI. 2013. Panduan Penatalaksanaan Kanker Payudara. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: Komite
Penanggulangan Kanker Nasional.

Anda mungkin juga menyukai