NIP.197410042002121001
Kata Pengantar
Berkat Rahmat TuhanYang Maha Esa dan dodorong oleh keinginan yang tinggi, maka
penulis dapat menyusun Buku ajar Ikhtisar Sejarah Indonesia khususnya yang berhubungan
dengan sejarah kerajaaan Bali, dengan judul “Kronologi Raja-Raja Bali Abad XIII-XIV, Sejak
Penaklukan Gajah Mada. Dikarenakan kepentingan publikasi dan pengembangan materi bahan
ajar mata kuliah Ikhtisar Sejarah Indonesia maka buku ajar dipublikasikan. Buku ajar ini tidaklah
sempurna, menyadari akan terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang ada pada diri penulis,
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun melengkapi tulisan
ini. Tanpa mengurangi jasa manapun yang telah rela dan ikhlas membantu penulis, melalui
tulisan ini mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya kepada pihak-pihak sebagai
berikut :
1. Bapak Prof Dr. I Wayan Cika, M.S., Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana
2. Bapak Drs. I Wayan Srijaya, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Arkeologi fakultas
3. Kepada Panitia Seminar Nasional Seri Sastra, sosial, dan Budaya Fakultas Sastra
5. Staf Dosen Jurusan Arkeologi yang banyak memberikan masukan dan kritisi
dalam penyusunan karya buku ajar ini. Kepada team teaching (pengajar) Ikhtisar
6. Para ahli Arkeologi, Sejarah, dan ahli khususnya penyusun salinan prasasti dan
penelitian ini.
7. Buku ajar ini disusun berkenaan dengan kepentingan arsip yang diserahkan
kepada staf pegawai akademik untuk naik arsip naik pangkat Dosen di Fakultas
Mudah-mudahan atas semua jasanya yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan
Akhirnya semoga karya tulis yang sederhana ini dapat diambil manfaatnya oleh para
pembaca sebagai sumbangan kecil dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL PENELITIAN……………………………………………………………………………………………………………………1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………….2
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………………..5
1.3.TUJUAN PENELITIAN.....................................................................................................................9
KESIMPULAN…………………………………………………………………………………………………………………………………..35
3.1. SARAN-SARAN…………………………………………………………………………………………………………………………..36
- DAFTAR PUSTAKA
5
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh : Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si
Gajah Mada” yang maksudnya adalah keadaan kerajaan di pulau Bali yang meliputi kurun waktu
sejak ekspedisi panaklukan oleh Gajah Mada pada tahun 1343 sampai akhir abad XIV atau tahun
1398 Masehi.
Alasan memilih judul ini yalah pertama karena mengingat sampai penelitian ini
dilakukan disusun belum ada peneliti yang menguraikan kurun waktu itu secara keseluruhan.
Walaupun penelitian telah banyak dilakukan dan dibicarakan dalam beberapa buah artikel namun
Sebagai alasan kedua diadakan penelitian terhadap masalah tersebut di atas adalah
berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian beberapa sumber menunjukan bahwa keadaan
pemerintahan di pulau Bali setelah berada di bawah kekuasaan Majapahit mengalami perubahan
baik dalam bidang pemerintahan maupun sosial budaya. Sehingga nantinya dapat dikemukakan
Penelitian terhadap masalah yang telah disebutkan di atas sebenarnya telah dimulai sejak
masa lalu oleh beberapa orang sarjana baik sarjana luar negeri maupun dalam negeri. Pada tahun
1926 telah terbit hasil penelitian sarjana Belanda yang bernama Van Stein Callenfels dengan
judul “Epigraphia Balica I” yang memuat ada 24 sampai 28 transkripsi prasasti huruf Latin dan
salah satu diantaranya adalah prasasti nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. (Callenfels, 1926 : 13).
Tahun 1927-1928 Residen Caren menyuruh juru potret Cina untuk membuat foto-foto
prasasti Bali. Kemudian hasilnya dikumpulkan merupakan koleksi Caren yang selanjutnya diberi
kode CA. Dari Oudhedenkundige Dienst (Dinas Purbakala) juga membuat dikumentasi prasasti
di Bali lalu hasilnya diberi kode OD. Dari sekian banyak foto prasasti baik koleksi Caron
maupun koleksi Dinas Purbakala telah diteliti oleh Goris dan di antaranya terdapat dua buah
prasasti yang memuat tentang kerajaan Bali menjelang diserang oleh Majapahit yaitu prasasti
nomor 810 Gunung Panulisan E dan nomor 811 Langgahan. Kedua prasasti ini telah diteliti oleh
Stuterheim dan Damais. (Stutterheim, 1929 : 17,18 ; Damais, 1952 : 96-97 ; Goris, 1954 : 44).
Dalam prasasti disebutkan nama raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah penaklukan
Gajah Mada tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi sampai saat ini baru ditemukan dua
buah prasasti yaitu prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C dan nomor 902 di muka. Kedua
prasasti yang disebut belakangan ini menyebutkan nama raja Wijayarajasa dari Negara Wengker.
Tahun 1929 terbit hasil penelitian Berg dengan judul “Kidung Pamancangah”.
Pamancangah ini menyebutkan antara lain nama raja Cri Kresna Kepakisan yang berissthana di
Tahun 1931 hasil karya Krom diterbitkan kembali yang merupakan edisi kedua dengan
Gajah Mada dikirimlah Kresna Kepakisan menjadi raja di pulau Bali. Kemudian pada tahun
1384 raja Wijayarajasa dari Negara Wengker menetapkan prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang
C, sedangkan pada tahun 1398 Masehi dikatakan bahwa Wijayarajasa telah moksa di
Wisnubhawana. Wijayarajasa adalah paman raja Hayam Wuruk. (Krom, 1931 : 384-410).
Pada Tahun 1948 telah terbit hasil penelitian Goris dengan judul “Sejarah Bali Kuna”. Di
dalamnya antara lain disebutkan bahwa sebelum penaklukan Gajah Mada pada tahun 1343
Masehi yang menjadi raja di Bali adalah Cri Astasura Ratna Bumi Banten.(Goris, 1948 : 13).
Tahun 1952 terbit hasil karya Damais yang memuat daftar prasasti yang terpenting di
Indonesia yang memakai tanggal dan angka tahun. Dalam daftar tersebut Damais mendaftar
prasasti di Bali dengan kode D1 – D 67. Untuk prasasti nomor 810 dan 811 diberi kode D 67 dan
63. Sedangkan untuk prasasti nomor 901 dan 902 diberi kode D 65 dan D 66. (Goris, 1967 : 68).
Sampai tahun 1954 di Bali makin banyak ditemukan prasasti baru. Goris bertugas di Bali
sejak bulan September 1928 mendapat tugas rangkap yalah pertama menerbitkan piagam-piagam
di Bali dalam bahasa Jawa Kuna (OJ) dan kedua untuk mengadakan penyelidikan tentang agama
dan kepercayaan orang Bali. Namun mulai tahun 1932 tugas ini berubah yaitu dengan mendapat
ada di Bali. Maka mulai saat itu Goris menjelajah pelosok-pelosok desa di Bali ini, teristimewa
daerah-daerah di sekitar bukit Kintamani. Setelah bekerja keras dalam waktu lebih dari 22 tahun
barulah bisa diterbitkan hasil penelitiannya dengan judul “Prasasti Bali I da II” (1954). Buku ini
8
selain membuat ikhtisar tentang semua piagam-piagam yang ada di Bali (yang dibagi ke dalam
10 group) juga khusus membicarakan periode raja Anak Wungsu. (Puger, 1964 : 4-5).
Kemudian tahun 1965 Goris mengadakan revisi terhadap beberapa nomor prasasti di
antaranya beberapa prasasti yang berasal dari sebelum dan sesudah penaklukan Gajah Mada
sampai dengan akhir abad XIV.Disebutkan pula bahwa pada tahun 1384 Masehi raja
dengan desa Abang. Selanjutnya dikatakan dalam prasasti nomor 902 adalah untuk pertama
Tahun 1968 seorang putra Bali yang bernama Ginarsa telah mengadakan penelitian
terhadap lontar Rajapurana yang isinya menceritakan tentang keadaan di pulau sebelum diserang
oleh Gajah Mada sampai akhirnya Cri Kresna Kepakisan dikirim menjadi raja di Bali yang
Tujuh tahun kemudian tepatnya tahun 1975 kembali Ginarsa mengadakan penelitian
terhadap lontar Bancangah Ksatria Pungakan Dalem di desa Pujangan yang isinya menceritakan
tentang kerajaan di Bali setelah pemerintahan Cri Kresna Kepakisan. Raja Kresna Kepakisan
digantikan pertama oleh I Dewa Agra Samprangan (Dalem IIe), kemudian digantikan oleh
adiknya yaitu I Dewa Ketut Ngulesir (Cri Asmara Kapakisan) yang memindahkan pusat kerajaan
Samprangan ke Gelgel pada tahun 1398 Masehi. (Salinan bancangah Ksatria Pangakan Dalem
Koleksi Ketut Ginarsa, hal 42, ; Salinan Babad Mengwi, 1974 : 5).
Tahun 1975 itu telah terbit hasil penelitian Noordaya tentang raja-raja Timur Majapahit
yang diberi catatan oleh Brian E Callese. Dikatakan bahwa Wijayarajasa adalah raja timur yang
9
Khusus mengenai prasasti nomor 901 Batur, pura Abang C telah diteliti kembali oleh Budiastra
beserta rombongan pada tanggal 7 Januari 1980. Prasasti ini sekarang disimpan di pura Tuluk
1.3.Tujuan Penelitian
Seperti yang dikemukakan dalam kata pengantar bahwa tujuan penyusunan penelitian ini
adalah :
Mada tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi. (Abad XIII-XIV).
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan kerajan Bali dengan kerajaan Majapahit dan
hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan Wengker sejak tahun 1343 sampai
1.4.Metode Penyusunan
Dalam menyusun kronologi kerajaan Bali abad XIV sejak penaklukan Gajah
Mada ini dipergunakan metode riset di perpustakaan (Library research) yaitu mencari dan
mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang ada kaitanya dengan masalah tersebut di atas.
Di Samping itu dalam tahap pengumpulan data juga diadakan riset lapangan yaitu
yaitu disalin sesuai dengan yang disebutkan dalam sumber-sumber dan setelah data
data yag terlengkaplah yang dipakai yang dikaji dalam penelitian ini.
1.5.Sumber Penyusunan
Sumber yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini berupa empat buah prasasti
yaitu prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E, nomor 811 Langgahan, nomor 901 Batur,
Pura Abang C dan Nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. Prasasti nomor 810 telah direvisi
oleh Goris menjadi nomor 903b = D 67, sedangkan prasasti nomor 811 Langggahan
direvisi menjadi nomor 814 = D 63. Prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C direvisi
menjadi nomor 901a Abang, Pura Batur C = D 65 dan prasasti nomor 902 tetap tidak
mengalami perubahan yakni nomor 902 Gobleg, Pura Batur C = D 66. (Goris, 1967 : 68-
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kronologi raja-raja Bali atau urutan nama raja-raja Bali dari tahun 1300
Mengenai bagian dua ini sebenarnya telah tercakup dalam bagian satu yaitu
dalam masa pemerintahan raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten. Namun kiranya
dirasakan perlu memisahkan bagian ini dengan tujuan untuk memberikian gambaran
secara singkat tentang kerajaan Bali sejak diserang oleh Majapahit. Disamping itu
untuk mengetahui bagaimana taktik dan strategi perjuangan Gajah Mada sampai
Berdasarkan prasasti nomor 801b Pangotan E (nomor lama 801) = D.59 bertahun
1218 Caka dan prasasti nomor 802a Sukawana D (nomor lama 802) bertahun 1222 Caka
dapatlah diketahui bahwa raja yang memerintah di pulau Bali saat itu adalah Ki Kebo
Dengan disebutkan nama baginda pada kedua prasasti di atas sangatlah kuat
penaklukan raja Kertanegara pada tahun 1206 Caka. Hal ini didasarkan atas pangkat-
pangkat atau jabatan-jabatan tinggi kerajaan yang tersebut dalam prasasti itu jelas
Pada masa pemerintahan Kebo Parud di Bali banyak lowongan jabatan yang
belum terisi misalnya seperti Senapati Dinganga, Senapati menyirikan dan Senapati
Baladyaksa. Demikian pula para pendeta Ciwa dan Budha, telah ditentukan, namun
mereka itu belum dilantik. Peraturan-peraturan dengan nama terdahulu. Saat itu yang
menjadi raja di Jawa adalah Kertarajasa Jayawardana atau Raden Wijaya. Hal ini terjadi
karena kerajaan Singosari dapat ditaklukan oleh Kadiri (Daha) tahun 1292 Masehi yang
mengakibatkan Bali kembali menjadi pengawasan Kediri. Pada tahun 1293 Masehi
Kediri ditaklukan oleh Majapahit sehingga pulau Bali secara Otomatis berada di bawah
Hasil-hasil kesusastraan yang berhasil dibawa ke Bali waktu itu adalah Kakawin
Pemerintahan Raja Patih Kebo Parud di pulau Bali hanya bersifat sementara.
Karena beberapa tahun kemudian pulau Bali ini keadaannya sudah pulih kembali maka
tepatnya pada tahun 1324 Masehi oleh Jayanegara (Raja Majapahit yang menggantikan
yang bernama Cri Trunajaya sampai tahun 1274 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels,
1926 : 50-52).
raja Cri Mahaguru (Caka 1250). Dalam prasasti nomor 807 Selumbang = D.62 yang
bertahun 1250 Caka terbaca nama raja yang memerintah di Pulau Bali adalah Walajaya
krttaningrat kalih ibunira sira paduka tara cri mahaguru…) ini berarti bahwa raja Cri
Mahaguru telah wafat sebelum tahun 1250 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels : 68-70).
Gelar raja ini terbaca dalam prasasti nomor 814 (nomor lama 811) Langgahan =
D. 63 yang bertahun 1259 Caka dan dalam prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E =
D.67. Pada jaman pemerintahan baginda juga dibuat undang-undang yang ditatah diatas
perunggu yang isinya disesuaikan dengan isi prasasti-prasasti yang telah ada. Semua
permusyawaratan biasanya dilakukan di balai pendapa yang ada di istana. Para pendeta
Ciwa, Budha dan Resi Mahabrahmana serta pemuka-pemuka yang ada di desa sangat
Astasura Ratna Bumi Banten sangat bijaksana dan sangat taat melakukan adat-adat
upacara di pura. Namun suatu keterangan yang sangat berbeda kita dapatkan di dalam
14
kitab Negarakertagama sargah 49.4 di mana antara lain disebutkan bahwa “ikang bali
nathanya duccila niccaha” artinya raja pulau Bali sangat jahat dan hina. (Pigeaud, 1960 :
36).
Ginarsa meneliti lebih jauh siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Prapanca bahwa
pulau Bali rajanya jahat dan hina, yang memerintah tahun 1265 Caka. Dikatakan bahwa
yang dimaksud oleh Prapanca raja pulau Bali jahat dan hina tidak lain dari raja Cri
Astasura Ratna Bumi Banten sebagai raja Bedahulu. (Ginarsa, 1956 : 26-28).
Berg berpendapat bahwa pada jaman ini terjadi suatu peperangan yang terjadi
antara tahun 1331 dan tahun 1343 Masehi yaitu peperangan terhadap kerajaan di pulau
Bali yang dikenal dengan sebutan “Perang Sadeng”. Pendapat Berg ini ditanggapi oleh
Krom antara lain dikatakan bahwa perang Sadeng itu adalah pemberontakan yang terjadi
di timur pulau Jawa terhadap kerajaan Majapahit yang terjadi di timur pulau Jawa
terhadap kerajaan Majapahit yang terjadi tahun 1331 Masehi. Sedangkan perang terhadap
kerajaan di pulau Bali diselesaikan oleh kerajaan Majapahit pada tahun 1343 Masehi.
Kalau dibandingkan antara pendapat Berg dan Krom serta dikaitkan dengan
keterangan dalam prasasti Langgahan (tahun 1259 Caka) dan Rajapurana maka dapat
dikemukakan di sini bahwa raja Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang dapat ditaklukan
oleh Majapahit pada tahun 1265 Caka. (Semadi Astra, 1977 : 29). Karena Cri Astasura
Ratna Bumi Banten merupakan raja Bali yang terakhir maka Goris menduga bahwa raja
ini mungkin dapat disamakan dengan raja Bedaulu (Bedulu) yang bernama Mayadanawa
Sura Ratna Bumi Banten sama dengan Cri Tapolung atau lebih dikenal dengan raja
Bedahulu. Hal itu diketahui dari Rajapurana raja Bali sebelum diserang Gajah Mada
bernama Cri Tapolung. Dijelaskan dalam Rajapurana Pupuh I.8-17 disebutkan bahwa
yang menjadi raja di pulau Bali sebelum serangan Gajah Mada tahun 1343 Masehi
Ekspedisi Gajah Mada yang menjadi raja di pulau Bali bernama Cri Tapolung putra raja
Masula-Masuli. Mengenai nama Cri Tapolung ini dapat diuraikan yaitu Cri berarti
bahagia; keindahan; Tapolung terdiri dua kata yaitu tapa dan ulung; tapa (bahasa
Sanskerta) berarti „tapa, pertapa dan pendeta.( Pigeaud, 1960 : 419 ; Wojowasito, 1973 :
325). dan ulung (sakti) berarti sakti. Dengan demikian maka Cri Tapolung mengandung
pengertian yaitu gelar seorang raja pertapa yang sakti dan ada hubungannya dengan
pertapaan.
atas,dimana dalam prasasti Langgahan disebutkan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi
Banten menetapkan pertapaan Langgaran dengan segala peraturannya dan di dalam raja
purana disebutkan bahwa seorang raja yang ada hubungannya dengan pertapaan
(pertapa). Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten
Dalam Rajapurana juga disebutkan bahwa setelah raja pulau Bali berbeda dengan
pusat (Majapahit) raja bergelar Cri Beda Muka, Cri Beda Murdi atau Dalem Bedaulu.
Mengenai nama (gelar) raja ini dapat diuraikan yaitu Cri Beda Muka,Cri berarti bahagia,
keindahan, dan kebesaran, Beda berarti berbeda. Muka berarti muka, kepala,
16
(Wojowasito, 1973 : 226). Cri Beda Murdi, Cri dan Beda sama artinya seperti disebutkan
diatas, sedang murdi (berasal dari bahasa Sanskerta mardda) berarti kepala.
Dalem Bedahulu berasala dari dua kata yaitu Dalem berarti istana, gelar seorang
raja. (Pigeaud, 1969 : 58). Bedahulu berarti berbeda kepala. Dengan demikian ketiga
gelar raja yang disebutkan di muka yakni beda muka, beda murdi dan Bedahulu adalah
mengandung pengertian yang sama yakni seorang raja tau gelar seorang raja yang
berbeda kepala dengan pengertian bahwa raja berbeda dengan kepala (pusat) yaitu
(Majapahit). Dapat ditambahkan bahwa Raja Asta Sura Ratna Bumi Banten bergelar raja
Cri Beda Muka, Beda Murdi atau Dalem Bedahulu dan Cri Tapolung.
Setelah pulau Bali ditundukkan pada tahun 1265 Caka berselang beberapa tahun
kemudian yaitu kira-kira tahun 1272 Caka di Majapahit diadakan persidangan yang
dipimpin oleh Gajah Mada dengan dihadiri oleh para menteri dan arya. Tujuannya untuk
dimintakan pula pertimbangan kepada Ki Pasung Gerigis yang saat itu berada di
Majapahit yang desa-desa mana yang patut ditempati oleh para Arya dan pengiringnya.
menjadi kedudukan para Arya dan pengiringnya. Pemberian (hadiah) kedudukan kepada
para Arya itu adalah merupakan imbalan dari jasa-jasa mereka pada waktu peperangan
dahulu. Sedangkan yang ditunjuk oleh Gajah Mada menjadi raja di pulau Bali adalah Cri
Mengenai Arya Kapakisan ini muncul secara tiba-tiba seperti tersebut dalam
Rajapurana Pupuh VIII, 34a, 34b, 56-64, Arya Kapakisan bersama-sama dengan Arya
Patemon dan lain-lainnya yang akhirnya desa-desa itu dapat ditundukan. (Berg, 1929 : 9).
Karena pada waktu para Arya kembali ke Majapahit nama Arya Kapakisan tidak
ada disebutkan, kemungkinan Arya Kapakisan itu tetap tinggal di Pulau Bali.
Pembicaraan kita kembali pada raja di muka (Cri Kresna Kapakisan) dalam
Pamancangah antara lain disebutkan bahwa pada jaman Gajah Mada di Jawa tinggal
seorang suci dan sakti yang bernama Mpu Kapakisan dan berkat kesaktiannya telah
menciptakan seorang putra dari sebuah batu yang kemudian dikawinkan dengan bidadari.
Dari perkawinan ini lahir empat orang anak yaitu tiga laki-laki dan seorang putri. Waktu
itu Gajah Mada mengajukan permintaan kehadapan Mpu Kapakisan supaya anak-anak itu
diserahkan kepadanya, yang mana kemudian permintaan itu dikabulkan. Putra yang tertua
dijadikan raja di Belambangan, yang kedua dijadikan raja di Pasuruan, yang ketiga (putri)
dikawinkan dengan raja Sumbawa dan yang keempat dijadikan raja di Bali. Mungkin
yang dimaksud dalam Pamancangah dengan putra yang keempat adalah raja Cri Kresna
Kapakisan. Pada waktu baginda memerintah masih ada desa-desa Baliaga yang ingin
Kintamani, Pludu, kawan, Manikalyu (manikliu), di sebelah timur seperti desa Culik,
Dengan adanya desa-desa yang belum mau tunduk kehadapan Cri Baginda,
baginda merencanakan untuk pulang ke Jawa (Majapahit). Akhirnya kepada Cri Baginda
yang dikenakan pada waktu dahulu, agar baginda lebih mudah mencapai kemenangan.15.
Suatu hal yang sangat penting terjadi pada jaman ini seperti yang dituturkan oleh
“….kunang cri kapakisan, brahmangca mulanyang (ng) ani dadi ksatria dene
rakryan apatih…”
Artinya :
ketentraman dan perdamaian di pulau Bali kalau ditinjau dari sudut politik memang merupakan
suatu kebijaksanaan yang tepat untuk mengembalikan citra orang Bali agar berpacu pada Kediri.
Waktu itu yang menjadi raja di Majapahit adalah Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara.
Pada jaman ini yakni tahun 1357 Masehi Ki Pasung Gerigis diutus oleh Gajah Mada untuk
memerangi raja Sumbawa yang bernama Dedela Natu dan dikatakan keduanya gugur dalam
peperangan. 29. Pada tahun 1284 Caka (caka pat-ulo-ra-tunggal) yang berarti tahun 1362
Masehi di Majapahit diadakan upacara Cradha yaitu membuat upacara ibu Hayam Wuruk yakni
Raja Bali yang bernama Cri Kresna Kapakisan juga I Dewa Agra Samprangan (Caka
1302). Setelah raja Cri Kresna Kapakisan wafat maka pemerintahan di Bali digantikan oleh
putranya yang tertua yang bernama I Dewa Agra Samprangan atau Dalem IIa. Raja ini tidak
19
begitu memperhatikan keadaan pemerintahan karena suka berhias dan lamban di dalam
melakukan segala pekerjaan sehingga raja ini kurang mendapat dukungan rakyat.
Karena baginda kurang mendapat simpati rakyat lalu banyak menteri yang kecewa. Pada
suatu hari Bendesa Gelgel yang bernama Ngurah Abyan Tubuh (Kubon Kelapa) hendak
menghadap raja. Namun setelah ditunggu-tunggu raja belum juga keluar. Ketika itu raja tetap
asyik berhias dan memperbaiki pakaiannya di muka kaca. Sampai bosan ia menunggu lebih lama
lagi akhirnya kubon kelapa pergi meninggalkan keraton. Dengan demikian sia-sialah ia mau
menghadap raja. Sepeninggalan dari keratonnya dalam pikiran telah terlintas maksud untuk
menghubungi adik baginda yang bernama Ketut Ngulesir. (Berg, 1975 : 145-156).
Berselang beberapa lama mulailah Kubon Kelapa mencari baginda I Dewa Ketut
Ngulesir yang saat berada di desa Pandak. Kubon Kelapa datang menghormat dan
menyampaikan maksudnya yaitu mengangkat dan menobatkan baginda menjadi raja. Dia
sanggup menyediakan rumahnya di Gelgel dijadikan istana. Baginda lama pula berpikir, namun
karena permohonan Bendesa Gelgel amat kerasnya akhirnya baginda bersedia menjadi raja dan
Berselang beberapa lama mulailah Kubon Kelapa mencari baginda I Dewa Ketut
Ngulesir yang saat berada di desa Pandak. Kubon Kelapa datang menghormat dan
menyampaikan maksudnya yaitu mengangkat dan menobatkan baginda menjadi raja. Dia
sanggup menyediakan rumahnya di Gelgel dijadikan istana. Baginda lama pula berpikir, namun
karena permohonan Bendesa Gelgel amat kerasnya akhirnya baginda bersedia menjadi raja dan
Sebelum meninggalkan desa Pandak baginda berjanji seandainya nanti baginda menjadi
raja maka mereka (orang pandak) akan dijadikan juru kuwuk (tukang pelihara ayam aduan?) di
istana. Namun kenyataan setelah baginda menjadi raja, desa Ayunglah yang bertugas sebagai
tukang pelihara ayam aduan. Kemungkinan raja mangkir dengan janjinya dan apa sebabnya raja
tidak jadi memberikan kepada desa Pandak sebagai juru kuwuk, hal ini belum jelas selanjutnya
dengan mempergunakan rumahnya Kubon Kelapa maka berdirilah kerajaan Gelgel yang juga
bernama Linggarsapura atau Suweccapura. Setelah raja dinobatkan kemudian bergelar Cri
Berdasarkan uraian di muka kita bisa mengacu kepada suatu pertanyaan yaitu kapankan
kerajaan Gelgel itu berdiri? Untuk menjawab ini agak sukar bagi kita menentukan secara pasti,
karena sampai saat terakhir penelitian ini belum juga didapatkan angka yang pasti mengenai
Dalam Babad Mengwi (Salinan, Babad Dalem Samprangan, hal 1) kita temukan satu
berpindah ke Gelgel pada tahun 1320 Caka atau tahun 1398 Masehi, kiranya
satu pihak ada yang menyebutkan bahwa kerajaan Samprangan tidak lama bertahan
setelah wafatnya Cri Kresna Kapakisan kemudian digantikan oleh putranya yang
bernama I Dewa Agra Samprangan namun baginda kurang mendapat dukungan rakyat.
Ini berarti bahwa kerajaan Samprangan mengalami kepudaran (masa suram) pada tahun
1380 Masehi. Di lain pihak bila dikaitkan dengan keterangan dalam Babad Mengwi maka
akan berarti kerajaan Samprangan berpindah (beralih) ke kerajaan Gelgel tahun 1398
Masehi.
Berdasarkan uraian di atas maka lebih lanjut dapat dikatakan sebagai berikut.
Masehi dan pemerintahan masih bisa bertahan sampai tahun 1398 Masehi.
2. Kerajaan Gelgel berdiri kira-kira tahun 1302 Caka (1380 Masehi namun
Gelgel baru terjadi pad tahun 1398 Masehi dengan rajanya Cri Asmara
Kapakisan.
Baginda merupakan raja Gelgel yang pertama yang memerintah dari tahun 1380-
f.Cri Wijayarajasa
Pada masa pemerintahan Cri Asmara Kapakisan di pulau Bali ada seorang raja
Jawa dari Negara Wengker yang bernama Cri Wijayarajasa telah mengeluarkan dua buah
prasasti yaitu prasasti nomor 901 Abang, Pura Batur C dan nomor 902 Gobleg, Pura
Batur C.
22
Dalam prasasti Abang, Pura Batur C disebutkan bahwa raja Wijayarajasa telah
menyelesaikan sengketa diantara desa Pemuteran dan desa Abang dengan mengeluarkan
beberapa ketetapan yang isinya disesuaikan dengan isi prasasti yang terdahulu, dengan
mengirimkan seorang patih dari Kediri (Daha) yang bernama Cancu (Raden) Pikul. Dari
prasasti Gobleg kita dapat mengetahui bahwa raja Wijayarajasa telah wafat tahun 1398
Masehi.
Bagaimanakah halnya sampai bisa terjadi pada masa ini (waktu pemerintahan Cri
Asmara Kapakisan) seorang raja Jawa dari Negara Wengker mengeluarkan prasasti atas
namanya sendiri di pulau Bali? Selanjutnya bagaimana pula hubungan raja Wijayarajasa
dengan kerajaan Majapahit dan kerajaan Majapahit dengan kerajaan di pulau Bali? Untuk
menjawab pertanyaan ini baiklah akan ditinjau lebih dahulu yaitu pertanyaan yang
Majapahit.
dalam berita Cina dari dinasti Ming (Ming Shih buku 324) adalah tidak lain dari Bhre
Wengker. Bhre Wengker sebagai raja timur tahun 1377 Masehi dapat diidentifikasikan
sebagai orang yang bergelar Wengker yaitu Wijayarajasa paman dari Hayam Wuruk.
Identifikasi ini akan menjelaskan posisi khusus Wijayarajasa dalam pemerintahan Hayam
tetapi juga di luar daerah kecil itu, dapat dibaca pada kitab Negarakertagama (4-2-4)
tentang tanah-tanah petani dan (79-2-1) tentang daerah-daerah kerajaan dan (88-2-4)
bahwa minatnya ingin berkuasa meliputi selulur kerajaan Jawa. (Celless, 1974).
23
Prasasti-prasasti di Biluluk tahun 1366, 1393 dan 1395 Masehi, dan di Katiden
1395 Masehi yang kesemuanya atas nama putra mahkota Wengker adalah mungkin
Wengker begitu pentingnya sehingga dia bisa mengeluarkan piagam tidak atas nama raja.
Sebagai bukti wewenang putra mahkota Wengker sangat besar adalah terlihat dalam
piagamnya yang menyangkut pulau Bali pada tahun 1384 Masehi yang seolah-olah
sebagai wakil raja (Majapahit) di Bali, dimana secara jelas Wijayarajasa memakai gelar
Sri Maharaja raja Parameswara (Ib. 3-4). Terutama dalam bagian terakhir dari gelarnya
“Raja yang dipertuan besar” mungkin dapat membuktikan posisinya yang sangat tinggi.
Namun dia sebagai putra mahkota Wengker masih tetap mengakui sebagai bawahan
Negara Majapahit.
menunjukan kepada kita bahwa belas kasihan dari raja Hayam Wuruk adalah posisi yang
usah dijelaskan lagi karena sejak penaklukannya pada tahun 1343 Masehi pulau Bali
Dalam Rajapurana Pupuh I.8-17 disebutkan bahwa yang menjadi raja di pulau
Bali sebelum serangan Gajah Mada tahun 1343 Masehi bernama Cri Tapolung (Asta Sura
Ratna Bumi Banten, Raja Bedahulu). Baginda melantik seorang Amangkubumi bernama
bernama Ki Kebo Iwa (Kebo Taruna) yang bertempat tinggal di Blahbatuh. Dilantik pula
para tanda menteri seperti Girikamana di Utara Bukit (Bali Utara), Rakryan Ambyak
(Tambyak) di Jimbaran, Tunjung Tutur Tenganan, Kryan Bwan di Batur, Tunjung Biru di
Baginda sangat taat dan bakti kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) dan
pemujaan terhadap roh leluhur. Dengan demikian Negara baginda menjadi aman sentosa
dan ditakuti oleh musuh. Hal ini karena Patih Agung sangat arif dan bijaksana sejalan
berpedoman dan melaksanakan seperti apa yang termaktub dalam Widhi Sastra.
Pada suatu hari di Paseban baginda Cri Tapolung dihadap oleh para pendeta dan
para menteri serta utusan dari desa-desa, yang menjadi wilayah kekuasaan baginda.
Baginda mengenakan lancingan dari kain sutra gringsing, kain berwarna hijau serta
memakai destar dari kain sutra putih. Memakai gelang dan sasimping yang berbentuk
udang terbuat dari emas dan berlian. Di punggungnya terselip keris yang memakain
landeyan dan sesampirnya memakai bunga pucuk merah. Baginda duduk di sebuah
singgasana yang berwarna kuning keemasan. Dikawal oleh prajurit yang membawa
tameng dan paresi, berjampang (bercambang) dan bergenjot serta berkumis sehingga
Para pendeta dan menteri bersembah sujud menghormat yang dibalas dengan
anggukan oleh sang raja. Mereka duduk berderet-deret dan yang paling depan menghadap
25
persidangan adalah Ki Pasung Gerigis dan para pendeta duduk di sebelah raja. Di
hadapan raja duduklah para menteri yang semuanya berpakaian dinas, yang didampingi
Dalam persidangan itu diutarakan oleh para pendeta bahwa Negara dalam
keadaan aman sentosa, tidak ada percekcokan dan semua orang memuji kewibawaan
baginda memerintah Negara. Dikemukakan bahwa sudah sejak lama di Besakih tidak
diadakan upacara yadnya. Raja berkehendak melakukan upacara yadnya yang saat itu
sangat tepat waktunya yakni pada sasih kapat (bulanOktober). Selanjutnya para menteri
(Besakih). Kemudian sidang ditutup para menteri dan lurah desa pulang ke rumah
masing-masing.
Tidak berapa lama masa bahagia yang dialami oleh baginda raja Cri Tapolung
bersama rakyatnya, karena pada suatu hari pikiran raja kacau, timbul suatu keinginan
supaya kerajaan Bali lepas dari kekuasaan Majapahit yang saat itu diperintah oleh Ratu
Tribuana Utunggadewi. Alasan baginda ingin lepas dari kekuasaan Majaphit karena
mengingat sudah dari sejak dahulu kerajaan Bali berada di bawah kekuasaan (lindungan)
Keinginan raja itu dilaksanakan oleh Patih utamanya yaitu Ki Pasung Gerigis
yang kemudian diikuti oleh pernyataan sang raja seperti tersebut dalam Rajapurana
Pupuh I.6b.53-54 yang berbunyi sebagai berikut (Salinan Raja Purana, Hal. 6).
26
“……kamu patih wyajnana dah tan pracuranmu arih, panger ta mangko katekeng
kita wong Bali, wekasan dlaha katekeng wartamana juga, moga kamu wong Bali,
bina pahulunan…”
Artinya :
“…….Hai kamu patih wyajnana mulai saat sekarang, kamu bersama sekalian
orang Bali dan untuk selanjutnya maupun yang akan datang semoga kamu orang
Bali berbeda dengan pusat…”
Pernyataan di atas dimaksudkan adalah untuk menyatakan pulau Bali berbeda
dengan pusat (Majapahit) dan sejak itu raja bergelar Cri Beda-muka/Beda-murdi atau
Setelah kerajaan Bali menyatakan berbeda dengan pusat (Majapahit), Cri Beda-
muka terus membangkang tidak menghiraukan perintah-perintah dari Majapahit. Hal ini
menjadikan marah raja putri Tribuana bersama patihnya utamanya yang bernama Gajah
Mada. Karena itu pada suatu hari di Majapahit diadakan persidangan karena telah
didengar berita bahwa yang memerintah pulau Bali mempunyai hasrat lain didalam
mencapai tujuannya. Dengan adanya hal itu Gakah Mada bersedia sebagai utusan (duta)
datang ke Bali.
Tersebutlah Gajah Mada telah tiba di daratan Gumicik. Beliau menaiki kuda putih
dan di punggungnya terselip sebilah keris, berjalan menuju arah utara (arah ke gunung)
bersama rakyat sekitarnya. Tiada lama dating KI Pasung Gerigis menjemput setelah
mendapat berita dari rakyatnya. Kedua patih itu lalu saling menghormat dan
Dikatakan tujuannya dating ke Bali adalah diutus oleh Cri Maharajaputri untuk
menghadap raja. Mendengar itu Pasung Gerigis menjadi kaget dan cemas, jangan-jangan
Pasung Gerigis cepat punya akal untuk mengatur siasat. Akhirnya Gajah Mada
diajak singgah dulu ke rumahnya KI Karang Buncing Blahbatuh. Di sana beliau dijamu
dengan makanan yang lezat-lezat. Pasung Gerigis mengharap Gajah Mada supaya sudi
Bedaulu. Setelah tiba di istana Pasung Gerigis langsung menghadap raja melaporkan
bahwa ada utusan Majapahit bernama Gajah Mada hendak menghadap Paduka raja.
Mendengar laporan itu Pasung Gerigis disuruh mengantarkan utusan itu kehadapan Cri
Baginda. Tidak disebutkan dalam perjalanan dikatakan Gajah Mada telah menghadapraja
Bedaulu yang juda diiringi oleh Kebo Iwa. Raja menyakan maksud kedatangannya di
Bali dan dikatakan bahwa Gajah Mada diutus oleh raja Majapahit menghaturkan sepucuk
surat. Surat tersebut diserahkan kehadapan Cri Baginda. Baginda raja menitahkan Pasung
Gerigis untuk membacanya. Isi surat itu pada intinya memohon kehadapan Cri Baginda
agar Ki Kebo Iwa dikirim sendirian ke Jawa akan dijodohkan dengan seorang putri yang
sangat cantik. Di samping itu isi surat tersebut berisi ajakan untuk menjalin hubungan
kedua Negara. Setelah isi surat itu dipahami, hati baginda gembira dan mengatakan setuju
akan minat paduka raja Majapahit. Raja bersedia mengirim Kebo Iwa ke Majapahit demi
melanjutkan persahabatan kedua Negara yang telah dijalin sejak dahulu. Raja kemudian
memberitahu Kebo Iwa supaya mengikuti kehendak baginda yaitu ikut ke Jawa bersama
28
patih Gajah Mada, dengan pesan kalau semuanya telah selesai di sana agar segera
kembali ke Bali.
Gajah Mada bersama Kebo Iwa mohon pamit kehadapan raja Bedaulu. Berjalan
menuju arah selatan dan sesampainya di pesisir lalu menaiki sampan. Dalam pelayaran
mulailah timbul akal licik Gajah Mada untuk mencelakakan Kebo Iwa, berusaha
menenggelamkan Ki Kebo Iwa. Namun berkat kesaktiannya Kebo Iwa dapat selamat dan
dapat mengejar perahu yang dilarikan Gajah Mada. Kebi Iwa diam saja dan tidak
terjadi adalah takdir Tuhan. Berselang berapa lama sampailah mereka di Banyuwangi dan
yang menjadi akuwu di sana bernama Raden Arya. Setelah menyantap hidangan Gajah
Mada memberitahu Kebo Iwa supaya menunggu sebentar di Banyuwangi karena Gajah
Mada berangkat duluan ke Majapahit. Ki Kebo Iwa setuju dan Gajah Madapun berangkat
Kedatangan Gajah Mada di Majapahit disambut oleh menteri dan istrinya yang
tercinta. Besok paginya Gajah Mada baru menghadap raja. Melaporkan bahwa dia telah
berhasil membawa Kebo Iwa ke Jawa dengan berbagai tipu daya. Kebo Iwa sungguh
manusia sakti terbukti beberapa kali ditenggelamkan dalam laut, namun selalu dapat
selamat dan mengejar perahunya Gajah Mada. Di katakana oleh Gajah Mada Kebo Iwa
untuk dapat membunuh Kebo Iwa. Gajah Mada punya rencana menyiapkan seorang gadis
cantik untuk menggodanya. Raja setuju dan didukung pula oleh para menteri yang ada di
29
Banyuwangi.
berani dan jujur tidak tahu akan dirinya diperdaya. Dengan tergesa-gesa dating seorang
patih menghampirinya seraya mengatakan bahwa gadis yang cantik itu adalah istrinya. Ki
Kebo Iwa terpikat hatinya. Perkenalan dan jalinanpun terjadi dengan kata sepakat
sehidup semati. Sebelum upacara pernikahan sang gadis minta dibuatkan sebuah kolam
permandian yang konon terletak di gunung Wiwara. Sedang giatnya Kebo Iwa bekerja
lalu di lempari batu karang oleh prajurit Majaphit. Namun Kebo Iwa tidak mengadakan
perlawanan karena selalu berpedoman bahwa kejadian yang menimpa dirinya adalah
takdir Tuhan. Setelah lama dilempari belum juga mati maka Kebo Iwa memberitahukan
rahasia kematiannya yaitu dengan ditaburi abu batu karang (kapur). Akhirnya prajurit
Jawa dengan semangat menaburkan abu batu karang ke badan Kebo Iwa secara bertubi-
tubi dan tertimbunlah Kebo Iwa serta menghembuskan nafasnya yang terakhir di sana.
Rakyat Jawa bersorak gembira lebih-lebih Gajah Mada sangat girang hatinya karena
tujuannya tercapai.
Dengan berhasilnya Kebo Iwa dibunuh berarti Gajah Mada sudah dapat
melumpuhkan titik pertahanan pulau Bali di mana Kebo Iwa merupakan benteng
siapa-siapa yang patut berangkat ke Bali. Mereka yang berangkat adalah beliau para arya
sebanyak 15 orang dengan diiringi oleh tiga orang Wesya serta para lurah yang bertugas
Mereka dipimpin oleh Adityawarman (Arya Damar) dan Gajah Mada sebagai
strategi penyerangan. Dari timur serangan dilakukan oleh Kiyayi Pamacekan, Gajah Para,
Gatas dan Katawaringin menuju desa-desa Baliaga seperti Tianyar dan Bondalem. Kiyayi
Rajatama.
Arya Santeng, Belog dan Wangbang dari Seseh. Pasukan Arya Damar supaya turun di
barat desa Gangga. Kiyayi Dalancang dan Kenceng supaya turun di Kertalangu. Dari
barat pasukannya Tan Mundur, Tan Kober, Tan Kawur dan Arya Nggaik. Sedangkan
pasukan Gajah Mada dan pangalasan dengan bala kira-kir delapan ratus orang turun di
Pasukan Gajah Mada terus menuju ke Timur desa Pegametan dan Pulki telah
dilewati dan sampailah di desa Wongaya. Di sana bertemu dengan seorang Penyarikan
(juru tulis desa atau wakil kepala kampung) dan menanyakan dimanakah banyak terdapat
binatang buruan, dan Penyarika itu mengatakan bahwa di Gunung Tamblinga, Bayan dan
Bali Barat dengan melalui gunung Batukaru, Penebel dan sampai di desa Soka. Dari Soka
terus menuju Gesing dengan melalui Yeh Seng dan desa lainnya maka sampailah di desa
31
Tamblingan. Di sini pasukan istirahat dan Gajah Mada naik ke atas bukit untuk
mengawasi pasukan yang dipimpin oleh Arya Damar. Terlihatlah perahunya Arya Damar
di tengah lautan. Gajah Mada melanjutkan perjalanannya ke Timur melalui desa Salia,
pelosok desa. Karena banyaknya pasukan Majapahit yang menyebar di sana-sini rakyat
Bali mulai curiga dan akhirnya dilaporkan kehadapan Cri Madatamandan juga kehadapan
raja Bedaulu. Ki Pasung Gerigis cemas hatinya baru mendengar berita itu dan mengutus
penyerangan terhadap mereka. Sedang mereka berkumpul dating utusan dari Kuta yang
mengatakan bahwa di desanya telah banyak turun orang-orang dari Majapahit. Para
menteri semua sepakat untuk tidak gentar terhadap mereka. Pasukan dipecah keempat
penjuru desa utara, timur, selatan dan barat yang dpimpin oleh Tambyak, Madatana,
Walungsingkal dan Si Gudug Basur. Tidak ketinggalan pula Tunjung Tutur, Kopang dan
Pertempuran segera terjadi kedua belah pihak saling tidak mau mundur
dipimpin oleh Arya Kenceng dan kawan-kawan. Dengan munculnya Ki Pasung Gerigis
dan Girikamana pasukan Jawa (Majapahit) jadi kewalahan menghadapinya, sisanya lari
dan melapor pada Gajah Mada. Pasukan Krian Pamacekan, Gajah Para, Getas dan
Kutawaringin telah menguasai desa Tianyar dan Bondalem. Kemudian pasukan ini
32
diserang oleh Tunjung Tutur, Tanjung Biru danSi Kopang. Tanjung Biru dibunuh oleh
Pada malam harinya Gajah Mada minta informasi kepada para Arya yaitu
mengenai medan peperangan dan desa-desa yang telah dikuasainya. Disebutkan desa-
desa Tejakula, Sembiran, Tajun dan lain-lainnya telah dapat dikuasai (desa-desa yang
termasuk Bali Timur). Dilaporkan pula bahwa pasukan Arya Kapakisan dan Kria
Kedonganan dan lain-lain. Pendek kata hamper seluruh pulau Bali dapat dikuasai oleh
Majapahit kecuali daerah-daerah pegunungan seperti desa Abang, Songan dan lain-
lainnya masih mengadakan perang gerilya. Para pemimpin dari kedua belah pihak yang
gugur dalam peperangan yaitu Arya Nggaik dari pihak Majapahit, sedangkan dari pihak
Bedaulu (Bali) yang gugur adalah Tanjung Biru, Si Kopang, Kalambang, Walungsingkal
dan lainnya.
Baginda raja Bedaulu menjadi sedih hatinya dan lama-kelamaan menjadi sakit dan terus
wafat. Setelah raja Bedaulu wafat maka tapuk pemerintahan dipegang oleh Ki Pasung
pegunungan seperti desa Abang, Songan dan lain-lainnya. Karena Pasung Gerigis
terhindarkan korban kedua belah pihak saling berjatuhan. Pasukan kerajaan Bedaulu
banyak yang tewas, akhirnya kerajaan Bedaulu kalah dan seluruh istana dapat dikuasai
oleh Majapahit. Di istana pasukan Majapahit mengadakan pesta pora untuk merayakan
Pasung Gerigis dan Girikamana sibuk mencari akal bagaimana mengadakan serangan.
Hal ini ditanyakan kepada Ki Panji Singaraja dan dia akan bersedia memasang ilmu
sesirep. Ternyata usaha Ki Pasung Singaraja itu berhasil. Banyak prajurit Majapahit
yang dapat terbunuh, namun hal ini segera diketahui oleh Krian Kapakisan. Dengan
terjaga semuanya. Pertempuran terjadi lagi dan korban saling berjatuhan. Melihat
pertahanan Bali makin lemah dan menyadari bahwa hal ini merupakan takdir Tuhan
akhirnya Ki Pasung Gerigis menyatakan kalah seperti yang disebutkan dalam Babad
kembali) telah mengaku kalah kepada kerajaan Jawa (Majaphit) adalah semata-mata
merupakan pancingan yang tujuannya agar Gajah Mada mau meredakan pertempuranya.
Karena disadari bahwa patih dari Majaphit ternyata lebih unggul di dalam mengadakan
perlawanan kalau dibandingkan dengan patih prajurit Bali. Ki Pasung Gerigis kalah dan
Akhirnya dengan tipu daya yang sangat licik serta kepandaian Gajah Mada
berdiplomasi maka berhasilah Ki Pasung Gerigis diajak ke Jawa untuk menghadap raja
putri Tribuana di Majapahit. Dengan kejadian ini berarti kerajaan Bedaulu telah jatuh
Bab III.
3.1.Kesimpulan
Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten bertahta dari tahun 1337-1343 Masehi
dengan kesimpulan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang ditaklukan oleh
Gajah Mada tahun 1343 Masehi. Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten nama
Tujuh tahun kemudian Cri Kresna Kapakisan dinobatkan menjadi raja di Bali dan
tahun 1380 Masehi raja Cri Kresna Kapakisan wafat, lalu digantikan oleh adiknya yang
bernama I Dewa Ketut Ngulesir dan berkedudukan di Gelgel yang memerintah dari tahun
(Samprangan?) secara resmi ke Gelgel tahun 1398 Masehi. Pada waktu pemerintahan
baginda tahun 1384 Masehi raja Wengker yang bernama Cri Wijayarajasa dapat
ketetapannya.
Selanjutnya Gajah Mada datang ke Bali sebagai duta dan melakukan hubungan
kerjasama agar kerajaan Bali bersatu dan bekerjasama dengan kerajaan Majapahit. Tetapi
siasat taktik Gajah Mada ini ternyata berlainan dengan janji persatuan dan kerjasama
dengan kerajaan Bali namun ingin menundukan kerajaan Bali dengan memperdaya wakil
kerajaan Bali yaitu Kebo Iwa yang dibunuh di daerah Jawa dengan tipu muslihatnya Ki
Kebo Iwa disuruh untuk membuat kolam pemandian tetapi setelah membuat kolam dan
36
langsung ditimbun batu sehingga meninggal. Inilah taktik untuk melemahkan kerajaan
Bali dengan melenyapkan orang sakti Ki Kebo Iwa, dan raja Asta Sura menjadi sedih dan
sakit-sakitan dan meninggal. Setelah itu yang menjadi raja adalah KI Pasung Gerigis
yang juga mengalami kekalahan dan kerajaan Bedaulu telah jatuh yang selanjutnya tidak
diketahui.
Analisis penempatan raja yang bukan dari dinasti/Icana di suatu wilayah kerajaan
tentunya menjadi kajian pemikiran terdapatnya suatu penekanan ataupun peperangan dari
pihak Majapahit yang dipimpin oleh patih Gajah Mada untuk menaklukan kerajaan Bali
dan terdapatnya raja-raja Jawa (Majapahit) setelahnya kekalahan raja Asta Sura Ratna
Bumi Banten.
3.2.Saran-saran
pengamatann yang cukup kompleks. Hasil penelitian ini tidaklah secara lengkap namun
secara ikhtisar dapat mengungkap keberadaan kronologi kerajaan Bali sejak ditaklukan
oleh Gajah Mada dengan mengkaji data-data prasasti sekitar abad XIII-XIV. Penelitian
ini dirasa perlu mengingat bagaimana hubungan struktur birokrasi pasca penaklukan dan
raja di luar dinasti suatu kerajaan untuk dilakukan penelitian, guna mengetahui hubungan
kerjasama antar raja-raja yang seperti pembahasan penelitian ini, terjadiannya penaklukan
dangan siasat perang, selain itu juga diperlukannya penelitian untuk mengungkap latar
Istilah Singkatan
Hal 22 (Nawanatya (kata majemuk) terdiri dua kata nawa dan natya. Nawa
berarti “Sembilan” dan natya berarti cahaya, tubuh (badan), roman, rupa” (Pigeaud, JHN,
hal. 308), Sedangkan natya (bahasa Sanskerta) berarti “tari, pertunjukan” (Prof. Drs.
Soewojo Wojowasito, “Kamus Kawi (Jawa Kuna) – Indonesia”, Malang, IKIP, 1973
(selanjutnya disebut Wojowasito, KKI) hal. 157. Dalam naskah nawanatya Ia-8
bait 5a-2 disebutkan Nawanatya terdiri dari kata nawa berarti “sembilan” dan natya
berarti “smita atau senyum”. Dalam nawanatya smita berisikan sembilan hal yaitu raja.
Wana ratu, mantra guru, dwija, cabha, sadya, kaka, hari, pandita, dan haddi (Pigeaud,
JFCI hal. 81-82). Mungkin yang dimaksud sembilan hal di atas adalah sembilan hal yang
harus diketahui oleh seorang pemimpin yang merupakan sinar atau cermin dalam berbuat
: Sedang yang dimaksud nawanatya smita maksudnya adalah Sembilan hal yang harus
Saredreti (Saredreti berasal dari kata sara+u+dreti. Sara berarti “mata air”, kelam
danau, terus-menerus. Sedang Sara (Bahasa Sanskerta) berarti “kuat”, unggul, sempurna”
(Wojowasito, KKI, hal. 297). U berarti “huruf hidup yang ketiga, kata sara yang
menyatakan perintah atau marah” (Ibid, hal. 43) : Dreti berasal dari bahasa Sanskerta
38
drsti yang mata, pemandangan, penglihatan” (Tuuk, KBNI III,hal. 73 of. Wojowasito,
KKI, hal. 150). Jadi yang dimaksud Saradreti atau Saradresti adalah semacam buku
Widi Sastra terdiri dari kata widhi dan sastra. Widhi berarti “aturan, hukum,
Tuhan” (Wojowasito, KKI. hal. 270) : dan Sastra berarti “tulisan atau huruf” (Pigeaud,
JHN, hal.513). Jadi yang dimaksud dengan Widhi Sastra adalah suatu ajaran tentang
Paseban berasal dari kata seba mendapat awalan pa dan akhiran an. Seba
misalnya berseba berarti menghaap raja, muncul (Pigeaud, JHN, hal. 515). Paseban juga
KUBI), hal. 880) Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud paseban adalah
merupakan suatu yang tinggi yang dipakai berkumpul raja dan pejabat-pejabat kerajaan ?
Lancingan berarti celana (Wojowasito, KKI, hal. 248). Dalam bahasa Bali
disebut kancut.
Destar berarti kain kepala atau ikat kepala, serban (Poerwadarminta, KUBI, hal
247).
Sasimping berasal dari kata simping berarti indung mutiara, gowang. Simping
juga disebut sumping berarti perhiasan telinga. (Pigeaud, HJN, hal. 529-539).
Landeyan berarti pegangan keris, hulu keris (Panitya Penyusun KBI, hal 330).
39
Sesampir berasal dari kata sampir. Kata sampiran berarti sampaian, tali
pengencan, baha, pundak (Pigeaud, JHN, hal 508). Jadi yang dimaksud sesampir adalah
kain yang terbalut pada bagian sarung keris sebelah tas termasuk pegangan yang biasanya
Paresi atau perisai dalam bahasa Jawa disebut tameng (Poerwadarminta, KUBI,
hal. 740).
Hal 26. Akuwu berarti nama semacam pejabat daerah yang diberikan hak kekuasaan
memerintah daerah tertentu. Di daerah Periangan Timur dikenal dengan sebutan kuwu
Hal. 28. Perbekalan dikonotasikan dengan kata perbekel yang kini sebagai kepala desa
atau Bendesa adalah berasal dari para lurah yang bertugas bisanya untuk membawa
perbekalan. Karena hakekatnya seorang Kepala Desa juga bertugas mengusahakan dana
Dadap berati sebuah perisai dari kulit atau retan yang bentuknya bulat (Porwadarminta,
DAFTAR PUSTAKA
________. 1975. “Penulisan Sejarah Jawa”, Jakarta : Bhratara, (Seri Terjemahan). Judul
asli Javaansch Geschiedschrijving dalam Geschiedenis van Nederlands Indie, dibawah
redaksi Dr. F.W. Stapel, Jilid II, Amsterdam, Joe van Vendel, 1938.
Budiastra, Putu, “Prasasti Pura Tuluk Biyu”, Denpasar, (Museum Bali, belum terbit).
Ginarsa, Ketut, 1979. “Bhuwana Tatwa Maha Rsi Markandeya”, Singaraja, Balai
Penelitian Bahasa.
___________, “Bundel Prasasti Nomor 901 – 902”.
___________, 1968. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, Denpasar Walmiki.
___________, 1956. Raja Siapakah yang dimaksud Prapanca, ikang Bali nathanya
duccila nica” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, Tahun IV, No. 5, Juni 1956, Jakarta,
Lembaga Bahasa da Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Goris, R, 1954. Prasasti Bali I & II”, Sumur Bandung.
______ , 1967. “Ancient History of Bali”, Denpasar, Faculty of Letters.
______, 1958. “Raja-raja Bali sejak Kerajaan Anak Wungsu sampai Kemenangan Gajah
Mada” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, No. 4, Th. VI, Jakarta.
______, 1948. “Sejarah Bali Kuna” Singaraja.
Hardowardojo, R.Pitono, 1965. “Pararaton”, Jakarta, Bharata.
Kaler, Ketut, 1980. “Arombat-asuun” dalam Bali Pest No. 231 Tahun ke XXXI.
Kern, 1913. “The Brhat-Samhita or Complete system of natural astrology of
Varahamihira dalam Verspreide Geschriften, Jilid I, Gravenhage, Martinus Nijhoff.
1913.
Krom, 1931. “Hindoe-Javaansch Geschiedenis”, Gravenhage, Martinus Nijheff, pp. 384-
410.
41
Needaya, J, 1975. “The king in Majapahit with an appendix by Brian E. Celless” dalam
Bijdragen tet de Taal Land en Velkenkunde, Deell 31, 4e aflevering, Gravenhage,
Martinus Nijheff, pp. 479-489.
Pigeaud, Th. G.Th. “Java in the Fourteenth-century”. The Hague, Martinus Nijheff, pp.
82-83.
Sapta Jaya, Ida Bagus, 2008. Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali Serta
Hubungannya Dengan Jawa Timur. Dalam Buku Pusaka Budaya Dan Nilai-nilai
Religiusitas, Editor : I Ketut Setiawan, Seri Penerbitan Ilmiah Jurusan Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Udayana Denpasar, Hal 138-161.
Stein Callenfels, van, 1926. “Epigraphia Balicia I”, dalam Verhandelingen van het
Koninklik Bataviasch Geneetschan van kunsten en Wetenschappen, Deel LVI, Derde
atuk, Batavia.
Salinan Lontar
Salinan, “Babab Arya Gajah Para” Koleksi Ketut Ginarsa.
______, “Babad Arya Tabanan”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung,
1974 (Gedong Kirtya No. Val 792/13).
______, Babad Catur Brahmana”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung,
1974 (Gedong Kirta, No. Va. 273/4).
______, “Babad Dalem Turun ke Bali”, Gedong Kirtya, N0. Va/732/4).
______, “Babad Dalem Samprangan”, Gedong Kirtya, Va. 1045/8.
______, “Babad Gajah Mada”, Koleksi Ketut Ginarsa.
______, Babad Mengwi”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung, 1974
(Gedong Kirtya, No. Va.1340/12).
______, Babad Triwangsa”, Koleksi Ketut Ginarsa.
______, “Rajapurana”, No. 827 Gedong Kirtya 56, Koleksi Ketut Ginarsa.