Anda di halaman 1dari 41

1

Kronologi Pemerintahan Raja-Raja Bali Abad XIII-XIV


Sejak Penaklukan Gajah Mada

Buku Bahan Ajar Ikhtisar Sejarah Indonesia


(Sejarah Kerajaan Bali)

Oleh : Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si

NIP.197410042002121001

Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra


Universitas Udayana
2013
2

Kata Pengantar

Berkat Rahmat TuhanYang Maha Esa dan dodorong oleh keinginan yang tinggi, maka

penulis dapat menyusun Buku ajar Ikhtisar Sejarah Indonesia khususnya yang berhubungan

dengan sejarah kerajaaan Bali, dengan judul “Kronologi Raja-Raja Bali Abad XIII-XIV, Sejak

Penaklukan Gajah Mada. Dikarenakan kepentingan publikasi dan pengembangan materi bahan

ajar mata kuliah Ikhtisar Sejarah Indonesia maka buku ajar dipublikasikan. Buku ajar ini tidaklah

sempurna, menyadari akan terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang ada pada diri penulis,

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun melengkapi tulisan

ini. Tanpa mengurangi jasa manapun yang telah rela dan ikhlas membantu penulis, melalui

tulisan ini mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya kepada pihak-pihak sebagai

berikut :

1. Bapak Prof Dr. I Wayan Cika, M.S., Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana

yang telah membantu menyediakan fasilitas pendidikan dan kesempatan

membuat tulisan ini.

2. Bapak Drs. I Wayan Srijaya, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Arkeologi fakultas

Sastra Universitas Udayana.

3. Kepada Panitia Seminar Nasional Seri Sastra, sosial, dan Budaya Fakultas Sastra

Universitas Udayana yang telah menyediakan fasilitas ruang seminar untuk

mempublikasikan hasil karya tulis ini.

4. Lembaga Penelitian Universitas Udayana yang memberikan fasilitas menyusun

laporan penelitian Hibah Bersaing Universitas Udayana.


3

5. Staf Dosen Jurusan Arkeologi yang banyak memberikan masukan dan kritisi

dalam penyusunan karya buku ajar ini. Kepada team teaching (pengajar) Ikhtisar

Sejarah Indonesia Ibu Zuraidah, S.S.M.Si mengucapkan terima kasih atas

bantuannya dalam, penyusunan buku bahan ajar.

6. Para ahli Arkeologi, Sejarah, dan ahli khususnya penyusun salinan prasasti dan

lontar-lontar maupun Babad-babad yang dapat dikaji dan dianalisis dalam

penelitian ini.

7. Buku ajar ini disusun berkenaan dengan kepentingan arsip yang diserahkan

kepada staf pegawai akademik untuk naik arsip naik pangkat Dosen di Fakultas

Sastra Universitas Udayana.

Mudah-mudahan atas semua jasanya yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan

Yang Maha Esa melimpahkan rahmat-Nya sesuai dengan amal perbuatannya.

Akhirnya semoga karya tulis yang sederhana ini dapat diambil manfaatnya oleh para

pembaca sebagai sumbangan kecil dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu

Arkeologi pada khususnya.

Penulis

Denpasar, 20 September 2013


4

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL PENELITIAN……………………………………………………………………………………………………………………1

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………….2

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………………..5

I.ALASAN PEMILIHAN JUDUL............................................................................................................ .5

I.2.PENELITIAN DI MASA LALU............................................................................................................6

1.3.TUJUAN PENELITIAN.....................................................................................................................9

1.4. METODE PENYUSUNAN ..............................................................................................................9

1.5.SUMBER PENYUSUNAN.................................................................................. ……………………………10

BAB II. PEMBAHASAN

2.1.KRONOLOGI RAJA-RAJA BALI ABAD XII-XIIV……………………………………………...................................11

2.2. EKSPEDISI GAJAH MADA KE BALI.................................................................................................24

2.3.KERAJAAN BALI BERBEDA DENGAN PUSAT MAJAPAHIT ..............................................................25

2.4. GAJAH MADA SEBAGAI DUTA KE BALI.........................................................................................26

2.5. KEBO IWA DIPERDAYA ................................................................................................................28

2.6. TAKTIK DAN STRATEGI……………………………………………………………………………………………………………….30

2.7. KERAJAAN BEDAHULU JATUH……………………………………………………………………………………………………33

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN…………………………………………………………………………………………………………………………………..35

3.1. SARAN-SARAN…………………………………………………………………………………………………………………………..36

3.2. ISTILAH SINGKATAN………………………………………………………………………………………………………………….37

- DAFTAR PUSTAKA
5

BAB I
PENDAHULUAN
Oleh : Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si

1.1.Alasan Pemilihan Judul


Adapun judul Penelitian ini yaitu “Kronologi Raja-raja Bali Abad XIV Sejak Penaklukan

Gajah Mada” yang maksudnya adalah keadaan kerajaan di pulau Bali yang meliputi kurun waktu

sejak ekspedisi panaklukan oleh Gajah Mada pada tahun 1343 sampai akhir abad XIV atau tahun

1398 Masehi.

Alasan memilih judul ini yalah pertama karena mengingat sampai penelitian ini

dilakukan disusun belum ada peneliti yang menguraikan kurun waktu itu secara keseluruhan.

Walaupun penelitian telah banyak dilakukan dan dibicarakan dalam beberapa buah artikel namun

sifatnya masih secara terpisah-pisah.

Sebagai alasan kedua diadakan penelitian terhadap masalah tersebut di atas adalah

berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian beberapa sumber menunjukan bahwa keadaan

pemerintahan di pulau Bali setelah berada di bawah kekuasaan Majapahit mengalami perubahan

baik dalam bidang pemerintahan maupun sosial budaya. Sehingga nantinya dapat dikemukakan

pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat baik mengenai struktur pemerintahan maupun

tentang struktur masyarakatnya. Faktor-faktor seperti di makalah yang merupakan diperlukannya

penelitian yang lebih spesifik dan mendalam.


6

1.2.Penelitian di masa lalu

Penelitian terhadap masalah yang telah disebutkan di atas sebenarnya telah dimulai sejak

masa lalu oleh beberapa orang sarjana baik sarjana luar negeri maupun dalam negeri. Pada tahun

1926 telah terbit hasil penelitian sarjana Belanda yang bernama Van Stein Callenfels dengan

judul “Epigraphia Balica I” yang memuat ada 24 sampai 28 transkripsi prasasti huruf Latin dan

salah satu diantaranya adalah prasasti nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. (Callenfels, 1926 : 13).

Tahun 1927-1928 Residen Caren menyuruh juru potret Cina untuk membuat foto-foto

prasasti Bali. Kemudian hasilnya dikumpulkan merupakan koleksi Caren yang selanjutnya diberi

kode CA. Dari Oudhedenkundige Dienst (Dinas Purbakala) juga membuat dikumentasi prasasti

di Bali lalu hasilnya diberi kode OD. Dari sekian banyak foto prasasti baik koleksi Caron

maupun koleksi Dinas Purbakala telah diteliti oleh Goris dan di antaranya terdapat dua buah

prasasti yang memuat tentang kerajaan Bali menjelang diserang oleh Majapahit yaitu prasasti

nomor 810 Gunung Panulisan E dan nomor 811 Langgahan. Kedua prasasti ini telah diteliti oleh

Stuterheim dan Damais. (Stutterheim, 1929 : 17,18 ; Damais, 1952 : 96-97 ; Goris, 1954 : 44).

Dalam prasasti disebutkan nama raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah penaklukan

Gajah Mada tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi sampai saat ini baru ditemukan dua

buah prasasti yaitu prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C dan nomor 902 di muka. Kedua

prasasti yang disebut belakangan ini menyebutkan nama raja Wijayarajasa dari Negara Wengker.

(Goris, 1965 : 47).

Tahun 1929 terbit hasil penelitian Berg dengan judul “Kidung Pamancangah”.

Pamancangah ini menyebutkan antara lain nama raja Cri Kresna Kepakisan yang berissthana di

Samprangan. (Berg, 1929 : 9).


7

Tahun 1931 hasil karya Krom diterbitkan kembali yang merupakan edisi kedua dengan

judul “Hindoe Javaansehe Geschiedenis”. Di dalamnya disebutkan bahwa setelah penaklukan

Gajah Mada dikirimlah Kresna Kepakisan menjadi raja di pulau Bali. Kemudian pada tahun

1384 raja Wijayarajasa dari Negara Wengker menetapkan prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang

C, sedangkan pada tahun 1398 Masehi dikatakan bahwa Wijayarajasa telah moksa di

Wisnubhawana. Wijayarajasa adalah paman raja Hayam Wuruk. (Krom, 1931 : 384-410).

Pada Tahun 1948 telah terbit hasil penelitian Goris dengan judul “Sejarah Bali Kuna”. Di

dalamnya antara lain disebutkan bahwa sebelum penaklukan Gajah Mada pada tahun 1343

Masehi yang menjadi raja di Bali adalah Cri Astasura Ratna Bumi Banten.(Goris, 1948 : 13).

Tahun 1952 terbit hasil karya Damais yang memuat daftar prasasti yang terpenting di

Indonesia yang memakai tanggal dan angka tahun. Dalam daftar tersebut Damais mendaftar

prasasti di Bali dengan kode D1 – D 67. Untuk prasasti nomor 810 dan 811 diberi kode D 67 dan

63. Sedangkan untuk prasasti nomor 901 dan 902 diberi kode D 65 dan D 66. (Goris, 1967 : 68).

Sampai tahun 1954 di Bali makin banyak ditemukan prasasti baru. Goris bertugas di Bali

sejak bulan September 1928 mendapat tugas rangkap yalah pertama menerbitkan piagam-piagam

di Bali dalam bahasa Jawa Kuna (OJ) dan kedua untuk mengadakan penyelidikan tentang agama

dan kepercayaan orang Bali. Namun mulai tahun 1932 tugas ini berubah yaitu dengan mendapat

kebebasan untuk mengadakan koleksi dan terjemahan-terjemahan terhadap piagam-piagam yang

ada di Bali. Maka mulai saat itu Goris menjelajah pelosok-pelosok desa di Bali ini, teristimewa

daerah-daerah di sekitar bukit Kintamani. Setelah bekerja keras dalam waktu lebih dari 22 tahun

barulah bisa diterbitkan hasil penelitiannya dengan judul “Prasasti Bali I da II” (1954). Buku ini
8

selain membuat ikhtisar tentang semua piagam-piagam yang ada di Bali (yang dibagi ke dalam

10 group) juga khusus membicarakan periode raja Anak Wungsu. (Puger, 1964 : 4-5).

Kemudian tahun 1965 Goris mengadakan revisi terhadap beberapa nomor prasasti di

antaranya beberapa prasasti yang berasal dari sebelum dan sesudah penaklukan Gajah Mada

sampai dengan akhir abad XIV.Disebutkan pula bahwa pada tahun 1384 Masehi raja

Wijayarajasa dari Negara Wengker mengeluarkan ketetapan-ketetapan antara desa Pemuteran

dengan desa Abang. Selanjutnya dikatakan dalam prasasti nomor 902 adalah untuk pertama

kalinya dikenal dengan istilah Arya. (Goris, 1967 : 49).

Tahun 1968 seorang putra Bali yang bernama Ginarsa telah mengadakan penelitian

terhadap lontar Rajapurana yang isinya menceritakan tentang keadaan di pulau sebelum diserang

oleh Gajah Mada sampai akhirnya Cri Kresna Kepakisan dikirim menjadi raja di Bali yang

istananya di Samprangan. (Ginarsa, 1968 : 1-47).

Tujuh tahun kemudian tepatnya tahun 1975 kembali Ginarsa mengadakan penelitian

terhadap lontar Bancangah Ksatria Pungakan Dalem di desa Pujangan yang isinya menceritakan

tentang kerajaan di Bali setelah pemerintahan Cri Kresna Kepakisan. Raja Kresna Kepakisan

digantikan pertama oleh I Dewa Agra Samprangan (Dalem IIe), kemudian digantikan oleh

adiknya yaitu I Dewa Ketut Ngulesir (Cri Asmara Kapakisan) yang memindahkan pusat kerajaan

Samprangan ke Gelgel pada tahun 1398 Masehi. (Salinan bancangah Ksatria Pangakan Dalem

Koleksi Ketut Ginarsa, hal 42, ; Salinan Babad Mengwi, 1974 : 5).

Tahun 1975 itu telah terbit hasil penelitian Noordaya tentang raja-raja Timur Majapahit

yang diberi catatan oleh Brian E Callese. Dikatakan bahwa Wijayarajasa adalah raja timur yang
9

diidentifikasikan sebagai putra mahkota yang negaranya di Wengker dan pemerintahannya

berada di bawah kekuasaan Majapahit. (Noordaya, 1975 : 479-789).

Khusus mengenai prasasti nomor 901 Batur, pura Abang C telah diteliti kembali oleh Budiastra

beserta rombongan pada tanggal 7 Januari 1980. Prasasti ini sekarang disimpan di pura Tuluk

Biyu di sebelah selatan pura Ulun Danu Batur.

1.3.Tujuan Penelitian

Seperti yang dikemukakan dalam kata pengantar bahwa tujuan penyusunan penelitian ini

adalah :

1. Untuk mengetahui kronologi pemerintahan raja-raja di Bali sejak penaklukan Gajah

Mada tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi. (Abad XIII-XIV).

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan kerajan Bali dengan kerajaan Majapahit dan

hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan Wengker sejak tahun 1343 sampai

dengan tahun 1398 Masehi.

1.4.Metode Penyusunan

Dalam menyusun kronologi kerajaan Bali abad XIV sejak penaklukan Gajah

Mada ini dipergunakan metode riset di perpustakaan (Library research) yaitu mencari dan

mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang ada kaitanya dengan masalah tersebut di atas.

Di Samping itu dalam tahap pengumpulan data juga diadakan riset lapangan yaitu

mengadakan peninjauan langsung ke obyek bersangkutan yaitu ke pura Gunung

Panulisan. Data trankripsi koleksi Ketut Ginarsa.


10

Untuk mendapatkan informasi-informasi seperlunya maka dalam kaitan ini

dipergunakan metode interviu. Dalam pengolahan data dipergunakan metode deskriptif

yaitu disalin sesuai dengan yang disebutkan dalam sumber-sumber dan setelah data

terkumpul kemudian dikomparasikan. Dari penggunaan metode Komparatif selanjutnya

data yag terlengkaplah yang dipakai yang dikaji dalam penelitian ini.

1.5.Sumber Penyusunan

Sumber yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini berupa empat buah prasasti

yaitu prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E, nomor 811 Langgahan, nomor 901 Batur,

Pura Abang C dan Nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. Prasasti nomor 810 telah direvisi

oleh Goris menjadi nomor 903b = D 67, sedangkan prasasti nomor 811 Langggahan

direvisi menjadi nomor 814 = D 63. Prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C direvisi

menjadi nomor 901a Abang, Pura Batur C = D 65 dan prasasti nomor 902 tetap tidak

mengalami perubahan yakni nomor 902 Gobleg, Pura Batur C = D 66. (Goris, 1967 : 68-

69). Sumber lain adalah berupa Pamancangah dan Babad-Babad.


11

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kronologi Raja-Raja Bali Abad XIII-XIV

A. Masa Pemerintahan raja-raja Bali abad XIII-XIV

Uraian ini akan dibagi dua bagian yaitu :

1. Kronologi raja-raja Bali atau urutan nama raja-raja Bali dari tahun 1300

sampai dengan tahun 1398 Masehi (Abad XIII-XIV).

2. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali

Mengenai bagian dua ini sebenarnya telah tercakup dalam bagian satu yaitu

dalam masa pemerintahan raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten. Namun kiranya

dirasakan perlu memisahkan bagian ini dengan tujuan untuk memberikian gambaran

secara singkat tentang kerajaan Bali sejak diserang oleh Majapahit. Disamping itu

untuk mengetahui bagaimana taktik dan strategi perjuangan Gajah Mada sampai

akhirnya kerajaan Bali dapat ditundukan pada tahun 1343 Masehi.

1. Kronologi raja-raja Bali abad XIII-XIV

a) Raja Patih Kebo Parud (Caka 1218-1222)

Berdasarkan prasasti nomor 801b Pangotan E (nomor lama 801) = D.59 bertahun

1218 Caka dan prasasti nomor 802a Sukawana D (nomor lama 802) bertahun 1222 Caka

dapatlah diketahui bahwa raja yang memerintah di pulau Bali saat itu adalah Ki Kebo

Parud. Baginda diberi gelar Raja Patih.


12

Dengan disebutkan nama baginda pada kedua prasasti di atas sangatlah kuat

kemungkinannya bahwa pemerintahan baginda di Bali sangat erat kaitannya dengan

penaklukan raja Kertanegara pada tahun 1206 Caka. Hal ini didasarkan atas pangkat-

pangkat atau jabatan-jabatan tinggi kerajaan yang tersebut dalam prasasti itu jelas

menunjukan corak Jawa. (Semadi Astra, 1977 : 28).

Pada masa pemerintahan Kebo Parud di Bali banyak lowongan jabatan yang

belum terisi misalnya seperti Senapati Dinganga, Senapati menyirikan dan Senapati

Baladyaksa. Demikian pula para pendeta Ciwa dan Budha, telah ditentukan, namun

mereka itu belum dilantik. Peraturan-peraturan dengan nama terdahulu. Saat itu yang

menjadi raja di Jawa adalah Kertarajasa Jayawardana atau Raden Wijaya. Hal ini terjadi

karena kerajaan Singosari dapat ditaklukan oleh Kadiri (Daha) tahun 1292 Masehi yang

mengakibatkan Bali kembali menjadi pengawasan Kediri. Pada tahun 1293 Masehi

Kediri ditaklukan oleh Majapahit sehingga pulau Bali secara Otomatis berada di bawah

kekuasaan Majapahit. (Ginarsa, 1968 : 5).

Hasil-hasil kesusastraan yang berhasil dibawa ke Bali waktu itu adalah Kakawin

Arjuna-wiwaha, Kresnayana, Sumanasantaka, Asmaradahana, Bharatayudha,

Wretasancaya, dan lain-lainnya.

b) Bhatara Cri Mahaguru, Caka 1246-1247

Pemerintahan Raja Patih Kebo Parud di pulau Bali hanya bersifat sementara.

Karena beberapa tahun kemudian pulau Bali ini keadaannya sudah pulih kembali maka

tepatnya pada tahun 1324 Masehi oleh Jayanegara (Raja Majapahit yang menggantikan

Raden Wijaya) pemerintahan di Bali dikembalikan ke tangan seorang keturunan


13

Warmadewa yaitu Cri Dharma Uttunggadewa-warmadewa yang kemudian bergelar Cri

Paduka Maharaja Bhatara Mahaguru Dahrmotungga Warmadewa. Berdasarkan prasasti

nomor 803 Hyang Putih = D. 60 baginda memerintah bersama-sama dengan cucunda

yang bernama Cri Trunajaya sampai tahun 1274 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels,

1926 : 50-52).

Paduka Bhatara Cri Walajaya Krttaningrat bersama-sama dengan ibunda janda

raja Cri Mahaguru (Caka 1250). Dalam prasasti nomor 807 Selumbang = D.62 yang

bertahun 1250 Caka terbaca nama raja yang memerintah di Pulau Bali adalah Walajaya

Krttaningrat bersama-sama dengan ibunda janda Cri Mahaguru (…..cri walajaya

krttaningrat kalih ibunira sira paduka tara cri mahaguru…) ini berarti bahwa raja Cri

Mahaguru telah wafat sebelum tahun 1250 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels : 68-70).

c) Cri Astasura Ratna Bhumi Banten (Caka 1259)

Gelar raja ini terbaca dalam prasasti nomor 814 (nomor lama 811) Langgahan =

D. 63 yang bertahun 1259 Caka dan dalam prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E =

D.67. Pada jaman pemerintahan baginda juga dibuat undang-undang yang ditatah diatas

perunggu yang isinya disesuaikan dengan isi prasasti-prasasti yang telah ada. Semua

keputusan-keputusan biasanya diputuskan di dalam sidang yang didasarkan atas

permusyawaratan biasanya dilakukan di balai pendapa yang ada di istana. Para pendeta

Ciwa, Budha dan Resi Mahabrahmana serta pemuka-pemuka yang ada di desa sangat

dihargai oleh baginda di samping pejabat-pejabat resmi di pusat. Pemerintahan Cri

Astasura Ratna Bumi Banten sangat bijaksana dan sangat taat melakukan adat-adat

upacara di pura. Namun suatu keterangan yang sangat berbeda kita dapatkan di dalam
14

kitab Negarakertagama sargah 49.4 di mana antara lain disebutkan bahwa “ikang bali

nathanya duccila niccaha” artinya raja pulau Bali sangat jahat dan hina. (Pigeaud, 1960 :

36).

Ginarsa meneliti lebih jauh siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Prapanca bahwa

pulau Bali rajanya jahat dan hina, yang memerintah tahun 1265 Caka. Dikatakan bahwa

yang dimaksud oleh Prapanca raja pulau Bali jahat dan hina tidak lain dari raja Cri

Astasura Ratna Bumi Banten sebagai raja Bedahulu. (Ginarsa, 1956 : 26-28).

Berg berpendapat bahwa pada jaman ini terjadi suatu peperangan yang terjadi

antara tahun 1331 dan tahun 1343 Masehi yaitu peperangan terhadap kerajaan di pulau

Bali yang dikenal dengan sebutan “Perang Sadeng”. Pendapat Berg ini ditanggapi oleh

Krom antara lain dikatakan bahwa perang Sadeng itu adalah pemberontakan yang terjadi

di timur pulau Jawa terhadap kerajaan Majapahit yang terjadi di timur pulau Jawa

terhadap kerajaan Majapahit yang terjadi tahun 1331 Masehi. Sedangkan perang terhadap

kerajaan di pulau Bali diselesaikan oleh kerajaan Majapahit pada tahun 1343 Masehi.

(Utrecht, 1962 : 81-89).

Kalau dibandingkan antara pendapat Berg dan Krom serta dikaitkan dengan

keterangan dalam prasasti Langgahan (tahun 1259 Caka) dan Rajapurana maka dapat

dikemukakan di sini bahwa raja Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang dapat ditaklukan

oleh Majapahit pada tahun 1265 Caka. (Semadi Astra, 1977 : 29). Karena Cri Astasura

Ratna Bumi Banten merupakan raja Bali yang terakhir maka Goris menduga bahwa raja

ini mungkin dapat disamakan dengan raja Bedaulu (Bedulu) yang bernama Mayadanawa

seperti tersebut pada lontar Usana Bali.(Sartono, 1977 : 160).


15

Selain disamakan dengan Mayadenawa peneliti juga memperkirakan Raja Asta

Sura Ratna Bumi Banten sama dengan Cri Tapolung atau lebih dikenal dengan raja

Bedahulu. Hal itu diketahui dari Rajapurana raja Bali sebelum diserang Gajah Mada

bernama Cri Tapolung. Dijelaskan dalam Rajapurana Pupuh I.8-17 disebutkan bahwa

yang menjadi raja di pulau Bali sebelum serangan Gajah Mada tahun 1343 Masehi

bernama Cri Tapolung. Dalam Rajapurana disebutkan bahwa sebelum kedatangan

Ekspedisi Gajah Mada yang menjadi raja di pulau Bali bernama Cri Tapolung putra raja

Masula-Masuli. Mengenai nama Cri Tapolung ini dapat diuraikan yaitu Cri berarti

bahagia; keindahan; Tapolung terdiri dua kata yaitu tapa dan ulung; tapa (bahasa

Sanskerta) berarti „tapa, pertapa dan pendeta.( Pigeaud, 1960 : 419 ; Wojowasito, 1973 :

325). dan ulung (sakti) berarti sakti. Dengan demikian maka Cri Tapolung mengandung

pengertian yaitu gelar seorang raja pertapa yang sakti dan ada hubungannya dengan

pertapaan.

Kalau dikaitkan dengan sumber pasasti Langgahan dan Raja Purana di

atas,dimana dalam prasasti Langgahan disebutkan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi

Banten menetapkan pertapaan Langgaran dengan segala peraturannya dan di dalam raja

purana disebutkan bahwa seorang raja yang ada hubungannya dengan pertapaan

(pertapa). Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten

sama dengan Cri Tapolung.

Dalam Rajapurana juga disebutkan bahwa setelah raja pulau Bali berbeda dengan

pusat (Majapahit) raja bergelar Cri Beda Muka, Cri Beda Murdi atau Dalem Bedaulu.

Mengenai nama (gelar) raja ini dapat diuraikan yaitu Cri Beda Muka,Cri berarti bahagia,

keindahan, dan kebesaran, Beda berarti berbeda. Muka berarti muka, kepala,
16

(Wojowasito, 1973 : 226). Cri Beda Murdi, Cri dan Beda sama artinya seperti disebutkan

diatas, sedang murdi (berasal dari bahasa Sanskerta mardda) berarti kepala.

(Wojowasito, 1973 : 227).

Dalem Bedahulu berasala dari dua kata yaitu Dalem berarti istana, gelar seorang

raja. (Pigeaud, 1969 : 58). Bedahulu berarti berbeda kepala. Dengan demikian ketiga

gelar raja yang disebutkan di muka yakni beda muka, beda murdi dan Bedahulu adalah

mengandung pengertian yang sama yakni seorang raja tau gelar seorang raja yang

berbeda kepala dengan pengertian bahwa raja berbeda dengan kepala (pusat) yaitu

(Majapahit). Dapat ditambahkan bahwa Raja Asta Sura Ratna Bumi Banten bergelar raja

Cri Beda Muka, Beda Murdi atau Dalem Bedahulu dan Cri Tapolung.

d) Cri Kresna Kapakisan (Caka, 1272-1302)

Setelah pulau Bali ditundukkan pada tahun 1265 Caka berselang beberapa tahun

kemudian yaitu kira-kira tahun 1272 Caka di Majapahit diadakan persidangan yang

dipimpin oleh Gajah Mada dengan dihadiri oleh para menteri dan arya. Tujuannya untuk

membicarakan tentang kekosongan pemerintahan di pulau Bali. Dalam persidangan itu

dimintakan pula pertimbangan kepada Ki Pasung Gerigis yang saat itu berada di

Majapahit yang desa-desa mana yang patut ditempati oleh para Arya dan pengiringnya.

Berdasarkan musyawarah dalam persidangan itu ditetapkan desa-desa yang

menjadi kedudukan para Arya dan pengiringnya. Pemberian (hadiah) kedudukan kepada

para Arya itu adalah merupakan imbalan dari jasa-jasa mereka pada waktu peperangan

dahulu. Sedangkan yang ditunjuk oleh Gajah Mada menjadi raja di pulau Bali adalah Cri

Kresna Kapakisan dan setelah tiba di Bali berkedudukan di Samprangan sedangkan

Mapatihnya bernama Arya Kapakisan. (Sartono, 1977 : 160).


17

Mengenai Arya Kapakisan ini muncul secara tiba-tiba seperti tersebut dalam

Rajapurana Pupuh VIII, 34a, 34b, 56-64, Arya Kapakisan bersama-sama dengan Arya

Tumenggung mengadakan penyerangan di desa Celukanbawang, Banjar Aseman,

Patemon dan lain-lainnya yang akhirnya desa-desa itu dapat ditundukan. (Berg, 1929 : 9).

Karena pada waktu para Arya kembali ke Majapahit nama Arya Kapakisan tidak

ada disebutkan, kemungkinan Arya Kapakisan itu tetap tinggal di Pulau Bali.

Pembicaraan kita kembali pada raja di muka (Cri Kresna Kapakisan) dalam

Pamancangah antara lain disebutkan bahwa pada jaman Gajah Mada di Jawa tinggal

seorang suci dan sakti yang bernama Mpu Kapakisan dan berkat kesaktiannya telah

menciptakan seorang putra dari sebuah batu yang kemudian dikawinkan dengan bidadari.

Dari perkawinan ini lahir empat orang anak yaitu tiga laki-laki dan seorang putri. Waktu

itu Gajah Mada mengajukan permintaan kehadapan Mpu Kapakisan supaya anak-anak itu

diserahkan kepadanya, yang mana kemudian permintaan itu dikabulkan. Putra yang tertua

dijadikan raja di Belambangan, yang kedua dijadikan raja di Pasuruan, yang ketiga (putri)

dikawinkan dengan raja Sumbawa dan yang keempat dijadikan raja di Bali. Mungkin

yang dimaksud dalam Pamancangah dengan putra yang keempat adalah raja Cri Kresna

Kapakisan. Pada waktu baginda memerintah masih ada desa-desa Baliaga yang ingin

memberontak terhadap kekuasaan Baginda misalnya desa Campaga, Songan, Kedisan,

Abang, Pingan, Munti, Benoh, Tarebayan, Serahi (Serai), Sukawana, Panrajon,

Kintamani, Pludu, kawan, Manikalyu (manikliu), di sebelah timur seperti desa Culik,

Tista, Margatiga, Mantig, Got, Garbhawana, Lokasana, Juntal, Garinten, Sekulkuning,

Puhan, Wulakan, Simbatan, Asti, Watuwayang, Kadampal, Paselatan, Bantas,

Datah,Watudawa, dan katabayan. (Berg, 1929 : 10).


18

Dengan adanya desa-desa yang belum mau tunduk kehadapan Cri Baginda,

baginda merencanakan untuk pulang ke Jawa (Majapahit). Akhirnya kepada Cri Baginda

dihadiahkan sebilah pedang yang bernama Si Pancajanya beserta seperangkat pakaiannya

yang dikenakan pada waktu dahulu, agar baginda lebih mudah mencapai kemenangan.15.

Sejak saat itu kekuasaan baginda makin meningkat pertahanannya.

Suatu hal yang sangat penting terjadi pada jaman ini seperti yang dituturkan oleh

Pamancangah Pupuh I-27 (Berg, 1929 : 10) adalah :

“….kunang cri kapakisan, brahmangca mulanyang (ng) ani dadi ksatria dene
rakryan apatih…”
Artinya :

“…..Adapun Cri Kresna Kapakisan asalnya dari (kasta) Brahmana dahulu


dijadikan (kasta) Ksatria oleh Rakryan Patih (Gajah Mada)…”
Keputusan Gajah Mada mempercayakan Cri Kresna Kapakisan untuk memelihara

ketentraman dan perdamaian di pulau Bali kalau ditinjau dari sudut politik memang merupakan

suatu kebijaksanaan yang tepat untuk mengembalikan citra orang Bali agar berpacu pada Kediri.

Waktu itu yang menjadi raja di Majapahit adalah Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara.

Pada jaman ini yakni tahun 1357 Masehi Ki Pasung Gerigis diutus oleh Gajah Mada untuk

memerangi raja Sumbawa yang bernama Dedela Natu dan dikatakan keduanya gugur dalam

peperangan. 29. Pada tahun 1284 Caka (caka pat-ulo-ra-tunggal) yang berarti tahun 1362

Masehi di Majapahit diadakan upacara Cradha yaitu membuat upacara ibu Hayam Wuruk yakni

Rajapatni (Tribuana tunggadewi). (Berg, 1929 : 9).

Raja Bali yang bernama Cri Kresna Kapakisan juga I Dewa Agra Samprangan (Caka

1302). Setelah raja Cri Kresna Kapakisan wafat maka pemerintahan di Bali digantikan oleh

putranya yang tertua yang bernama I Dewa Agra Samprangan atau Dalem IIa. Raja ini tidak
19

begitu memperhatikan keadaan pemerintahan karena suka berhias dan lamban di dalam

melakukan segala pekerjaan sehingga raja ini kurang mendapat dukungan rakyat.

Karena baginda kurang mendapat simpati rakyat lalu banyak menteri yang kecewa. Pada

suatu hari Bendesa Gelgel yang bernama Ngurah Abyan Tubuh (Kubon Kelapa) hendak

menghadap raja. Namun setelah ditunggu-tunggu raja belum juga keluar. Ketika itu raja tetap

asyik berhias dan memperbaiki pakaiannya di muka kaca. Sampai bosan ia menunggu lebih lama

lagi akhirnya kubon kelapa pergi meninggalkan keraton. Dengan demikian sia-sialah ia mau

menghadap raja. Sepeninggalan dari keratonnya dalam pikiran telah terlintas maksud untuk

menghubungi adik baginda yang bernama Ketut Ngulesir. (Berg, 1975 : 145-156).

e).I Dewa Ketut Ngulesir (Caka 1302-1382)

Berselang beberapa lama mulailah Kubon Kelapa mencari baginda I Dewa Ketut

Ngulesir yang saat berada di desa Pandak. Kubon Kelapa datang menghormat dan

menyampaikan maksudnya yaitu mengangkat dan menobatkan baginda menjadi raja. Dia

sanggup menyediakan rumahnya di Gelgel dijadikan istana. Baginda lama pula berpikir, namun

karena permohonan Bendesa Gelgel amat kerasnya akhirnya baginda bersedia menjadi raja dan

berani menanggung segala akibatnya. (Berg, 1929 : 8).

Berselang beberapa lama mulailah Kubon Kelapa mencari baginda I Dewa Ketut

Ngulesir yang saat berada di desa Pandak. Kubon Kelapa datang menghormat dan

menyampaikan maksudnya yaitu mengangkat dan menobatkan baginda menjadi raja. Dia

sanggup menyediakan rumahnya di Gelgel dijadikan istana. Baginda lama pula berpikir, namun

karena permohonan Bendesa Gelgel amat kerasnya akhirnya baginda bersedia menjadi raja dan

berani menanggung segala akibatnya. (Pitono, 1965 : 53).


20

Sebelum meninggalkan desa Pandak baginda berjanji seandainya nanti baginda menjadi

raja maka mereka (orang pandak) akan dijadikan juru kuwuk (tukang pelihara ayam aduan?) di

istana. Namun kenyataan setelah baginda menjadi raja, desa Ayunglah yang bertugas sebagai

tukang pelihara ayam aduan. Kemungkinan raja mangkir dengan janjinya dan apa sebabnya raja

tidak jadi memberikan kepada desa Pandak sebagai juru kuwuk, hal ini belum jelas selanjutnya

dengan mempergunakan rumahnya Kubon Kelapa maka berdirilah kerajaan Gelgel yang juga

bernama Linggarsapura atau Suweccapura. Setelah raja dinobatkan kemudian bergelar Cri

Asmara (Semara) Kapakisan.

Berdasarkan uraian di muka kita bisa mengacu kepada suatu pertanyaan yaitu kapankan

kerajaan Gelgel itu berdiri? Untuk menjawab ini agak sukar bagi kita menentukan secara pasti,

karena sampai saat terakhir penelitian ini belum juga didapatkan angka yang pasti mengenai

kerajaan Gelgel tersebut.

Dalam Babad Mengwi (Salinan, Babad Dalem Samprangan, hal 1) kita temukan satu

keterangan angka tahun yang memakai candrasangkala yang berbunyi:

“…..Kunang ri kalaning angalih kadatwan ring sweccalinggarsapura, I saka


lwang ing mata agni tanggal….”
Artinya :

“…..Adapun pada waktu berpindah kerajaan di Suwecalinggarsapura (Gelgel)


pada tahun 1320 Caka….” .

Dengan adanya keterangan di atas yang menyebutkan kerajaan (Samprangan)

berpindah ke Gelgel pada tahun 1320 Caka atau tahun 1398 Masehi, kiranya

menimbulkan dua kemungkinan yang saling menunjang. Dikatakan demikian karena di


21

satu pihak ada yang menyebutkan bahwa kerajaan Samprangan tidak lama bertahan

setelah wafatnya Cri Kresna Kapakisan kemudian digantikan oleh putranya yang

bernama I Dewa Agra Samprangan namun baginda kurang mendapat dukungan rakyat.

Ini berarti bahwa kerajaan Samprangan mengalami kepudaran (masa suram) pada tahun

1380 Masehi. Di lain pihak bila dikaitkan dengan keterangan dalam Babad Mengwi maka

akan berarti kerajaan Samprangan berpindah (beralih) ke kerajaan Gelgel tahun 1398

Masehi.

Berdasarkan uraian di atas maka lebih lanjut dapat dikatakan sebagai berikut.

1. Kerajaan Samprangan mungkin mengalami kepudaran mulai tahun 1380

Masehi dan pemerintahan masih bisa bertahan sampai tahun 1398 Masehi.

2. Kerajaan Gelgel berdiri kira-kira tahun 1302 Caka (1380 Masehi namun

secara resmi seluruh pemerintahan di Bali berada di bawah kekuasaan raja

Gelgel baru terjadi pad tahun 1398 Masehi dengan rajanya Cri Asmara

Kapakisan.

Baginda merupakan raja Gelgel yang pertama yang memerintah dari tahun 1380-

1460 Masehi. (Berg, 1929 : 18-19).

f.Cri Wijayarajasa

Pada masa pemerintahan Cri Asmara Kapakisan di pulau Bali ada seorang raja

Jawa dari Negara Wengker yang bernama Cri Wijayarajasa telah mengeluarkan dua buah

prasasti yaitu prasasti nomor 901 Abang, Pura Batur C dan nomor 902 Gobleg, Pura

Batur C.
22

Dalam prasasti Abang, Pura Batur C disebutkan bahwa raja Wijayarajasa telah

menyelesaikan sengketa diantara desa Pemuteran dan desa Abang dengan mengeluarkan

beberapa ketetapan yang isinya disesuaikan dengan isi prasasti yang terdahulu, dengan

mengirimkan seorang patih dari Kediri (Daha) yang bernama Cancu (Raden) Pikul. Dari

prasasti Gobleg kita dapat mengetahui bahwa raja Wijayarajasa telah wafat tahun 1398

Masehi.

Bagaimanakah halnya sampai bisa terjadi pada masa ini (waktu pemerintahan Cri

Asmara Kapakisan) seorang raja Jawa dari Negara Wengker mengeluarkan prasasti atas

namanya sendiri di pulau Bali? Selanjutnya bagaimana pula hubungan raja Wijayarajasa

dengan kerajaan Majapahit dan kerajaan Majapahit dengan kerajaan di pulau Bali? Untuk

menjawab pertanyaan ini baiklah akan ditinjau lebih dahulu yaitu pertanyaan yang

disebutkan belakangan yakni tentang hubungan antara Wijayarajasa dengan kerajaan

Majapahit.

Celless berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Wa-yuan-lan-wang-chieh

dalam berita Cina dari dinasti Ming (Ming Shih buku 324) adalah tidak lain dari Bhre

Wengker. Bhre Wengker sebagai raja timur tahun 1377 Masehi dapat diidentifikasikan

sebagai orang yang bergelar Wengker yaitu Wijayarajasa paman dari Hayam Wuruk.

Identifikasi ini akan menjelaskan posisi khusus Wijayarajasa dalam pemerintahan Hayam

Wuruk. Sebagai bukti menunjukan bahwa pemerintahannya tidak hanya di Wengker,

tetapi juga di luar daerah kecil itu, dapat dibaca pada kitab Negarakertagama (4-2-4)

tentang tanah-tanah petani dan (79-2-1) tentang daerah-daerah kerajaan dan (88-2-4)

bahwa minatnya ingin berkuasa meliputi selulur kerajaan Jawa. (Celless, 1974).
23

Prasasti-prasasti di Biluluk tahun 1366, 1393 dan 1395 Masehi, dan di Katiden

1395 Masehi yang kesemuanya atas nama putra mahkota Wengker adalah mungkin

sebagai partisipasinya dalam pemerintahan pusat. Pigeaud mengatakan bahwa posisi

Wengker begitu pentingnya sehingga dia bisa mengeluarkan piagam tidak atas nama raja.

Sebagai bukti wewenang putra mahkota Wengker sangat besar adalah terlihat dalam

piagamnya yang menyangkut pulau Bali pada tahun 1384 Masehi yang seolah-olah

sebagai wakil raja (Majapahit) di Bali, dimana secara jelas Wijayarajasa memakai gelar

Sri Maharaja raja Parameswara (Ib. 3-4). Terutama dalam bagian terakhir dari gelarnya

“Raja yang dipertuan besar” mungkin dapat membuktikan posisinya yang sangat tinggi.

Namun dia sebagai putra mahkota Wengker masih tetap mengakui sebagai bawahan

Negara Majapahit.

Dengan diberikannnya kekuasaan yang penuh terhadap raja Wijayarajasa ini

menunjukan kepada kita bahwa belas kasihan dari raja Hayam Wuruk adalah posisi yang

sama dengan raja. (Noordaya, 1975 : 479-489).

Mengenai hubungan keraj.aan Majapahit dengan kerajaan di Bali kiranya tidak

usah dijelaskan lagi karena sejak penaklukannya pada tahun 1343 Masehi pulau Bali

berada di bawah lindungan kerajaan Majapahit.

2.2.Ekspedisi Gajah Mada ke Bali

Dalam Rajapurana Pupuh I.8-17 disebutkan bahwa yang menjadi raja di pulau

Bali sebelum serangan Gajah Mada tahun 1343 Masehi bernama Cri Tapolung (Asta Sura

Ratna Bumi Banten, Raja Bedahulu). Baginda melantik seorang Amangkubumi bernama

Ki Pasung Gerigis berkedudukan di desa Tengkulak. Beliau mempunyai seorang wakil


24

bernama Ki Kebo Iwa (Kebo Taruna) yang bertempat tinggal di Blahbatuh. Dilantik pula

para tanda menteri seperti Girikamana di Utara Bukit (Bali Utara), Rakryan Ambyak

(Tambyak) di Jimbaran, Tunjung Tutur Tenganan, Kryan Bwan di Batur, Tunjung Biru di

Tianyar, Kryan Kopang di Seraya, Si Walungsingkal di Taro, Kiyayi Gudug Basur

sebagai demang dan si Kalambang sebagai demung.

Baginda sangat taat dan bakti kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) dan

pemujaan terhadap roh leluhur. Dengan demikian Negara baginda menjadi aman sentosa

dan ditakuti oleh musuh. Hal ini karena Patih Agung sangat arif dan bijaksana sejalan

dengan ajaran Nawanatya dan Saradeti.

Dalam usaha baginda mencapai keselamatan dan kemakmuran Negara selalu

berpedoman dan melaksanakan seperti apa yang termaktub dalam Widhi Sastra.

Pada suatu hari di Paseban baginda Cri Tapolung dihadap oleh para pendeta dan

para menteri serta utusan dari desa-desa, yang menjadi wilayah kekuasaan baginda.

Baginda mengenakan lancingan dari kain sutra gringsing, kain berwarna hijau serta

memakai destar dari kain sutra putih. Memakai gelang dan sasimping yang berbentuk

udang terbuat dari emas dan berlian. Di punggungnya terselip keris yang memakain

landeyan dan sesampirnya memakai bunga pucuk merah. Baginda duduk di sebuah

singgasana yang berwarna kuning keemasan. Dikawal oleh prajurit yang membawa

tameng dan paresi, berjampang (bercambang) dan bergenjot serta berkumis sehingga

dapat menambah keangkerannya.

Para pendeta dan menteri bersembah sujud menghormat yang dibalas dengan

anggukan oleh sang raja. Mereka duduk berderet-deret dan yang paling depan menghadap
25

persidangan adalah Ki Pasung Gerigis dan para pendeta duduk di sebelah raja. Di

hadapan raja duduklah para menteri yang semuanya berpakaian dinas, yang didampingi

utusan dari desa-desa.

Dalam persidangan itu diutarakan oleh para pendeta bahwa Negara dalam

keadaan aman sentosa, tidak ada percekcokan dan semua orang memuji kewibawaan

baginda memerintah Negara. Dikemukakan bahwa sudah sejak lama di Besakih tidak

diadakan upacara yadnya. Raja berkehendak melakukan upacara yadnya yang saat itu

sangat tepat waktunya yakni pada sasih kapat (bulanOktober). Selanjutnya para menteri

memerintahkan para lurah desa untuk bersiap-siap memperbaiki bangunan suci

(Besakih). Kemudian sidang ditutup para menteri dan lurah desa pulang ke rumah

masing-masing.

2.3).Kerajaan Bali berbeda dengan pusat (Majapahit)

Tidak berapa lama masa bahagia yang dialami oleh baginda raja Cri Tapolung

bersama rakyatnya, karena pada suatu hari pikiran raja kacau, timbul suatu keinginan

supaya kerajaan Bali lepas dari kekuasaan Majapahit yang saat itu diperintah oleh Ratu

Tribuana Utunggadewi. Alasan baginda ingin lepas dari kekuasaan Majaphit karena

mengingat sudah dari sejak dahulu kerajaan Bali berada di bawah kekuasaan (lindungan)

kerajaan Kediri (Daha).

Keinginan raja itu dilaksanakan oleh Patih utamanya yaitu Ki Pasung Gerigis

yang kemudian diikuti oleh pernyataan sang raja seperti tersebut dalam Rajapurana

Pupuh I.6b.53-54 yang berbunyi sebagai berikut (Salinan Raja Purana, Hal. 6).
26

“……kamu patih wyajnana dah tan pracuranmu arih, panger ta mangko katekeng
kita wong Bali, wekasan dlaha katekeng wartamana juga, moga kamu wong Bali,
bina pahulunan…”
Artinya :

“…….Hai kamu patih wyajnana mulai saat sekarang, kamu bersama sekalian
orang Bali dan untuk selanjutnya maupun yang akan datang semoga kamu orang
Bali berbeda dengan pusat…”
Pernyataan di atas dimaksudkan adalah untuk menyatakan pulau Bali berbeda

dengan pusat (Majapahit) dan sejak itu raja bergelar Cri Beda-muka/Beda-murdi atau

Dalem Bedahulu. Kerajaannyapun juga bernama kerajaan Bedahulu.

2.4) Gajah Mada sebagai duta ke Bali

Setelah kerajaan Bali menyatakan berbeda dengan pusat (Majapahit), Cri Beda-

muka terus membangkang tidak menghiraukan perintah-perintah dari Majapahit. Hal ini

menjadikan marah raja putri Tribuana bersama patihnya utamanya yang bernama Gajah

Mada. Karena itu pada suatu hari di Majapahit diadakan persidangan karena telah

didengar berita bahwa yang memerintah pulau Bali mempunyai hasrat lain didalam

mencapai tujuannya. Dengan adanya hal itu Gakah Mada bersedia sebagai utusan (duta)

datang ke Bali.

Tersebutlah Gajah Mada telah tiba di daratan Gumicik. Beliau menaiki kuda putih

dan di punggungnya terselip sebilah keris, berjalan menuju arah utara (arah ke gunung)

sampailah di Sukawati. Di sana beliau duduk-duk pada balai-balai yang memanjang

bersama rakyat sekitarnya. Tiada lama dating KI Pasung Gerigis menjemput setelah

mendapat berita dari rakyatnya. Kedua patih itu lalu saling menghormat dan

memperkenalkan diri menurut adatnya masing-masing.


27

Ki Pasung Gerigis menanyakan tentang tujuan Gajah Mada datang ke Bali.

Dikatakan tujuannya dating ke Bali adalah diutus oleh Cri Maharajaputri untuk

menghadap raja. Mendengar itu Pasung Gerigis menjadi kaget dan cemas, jangan-jangan

ada sesuatu yang penting dibicarakan nanti.

Pasung Gerigis cepat punya akal untuk mengatur siasat. Akhirnya Gajah Mada

diajak singgah dulu ke rumahnya KI Karang Buncing Blahbatuh. Di sana beliau dijamu

dengan makanan yang lezat-lezat. Pasung Gerigis mengharap Gajah Mada supaya sudi

menunggu sejenak karena hendak menyampaikan kedatangannya kehadapan raja

Bedaulu. Setelah tiba di istana Pasung Gerigis langsung menghadap raja melaporkan

bahwa ada utusan Majapahit bernama Gajah Mada hendak menghadap Paduka raja.

Mendengar laporan itu Pasung Gerigis disuruh mengantarkan utusan itu kehadapan Cri

Baginda. Tidak disebutkan dalam perjalanan dikatakan Gajah Mada telah menghadapraja

Bedaulu yang juda diiringi oleh Kebo Iwa. Raja menyakan maksud kedatangannya di

Bali dan dikatakan bahwa Gajah Mada diutus oleh raja Majapahit menghaturkan sepucuk

surat. Surat tersebut diserahkan kehadapan Cri Baginda. Baginda raja menitahkan Pasung

Gerigis untuk membacanya. Isi surat itu pada intinya memohon kehadapan Cri Baginda

agar Ki Kebo Iwa dikirim sendirian ke Jawa akan dijodohkan dengan seorang putri yang

sangat cantik. Di samping itu isi surat tersebut berisi ajakan untuk menjalin hubungan

kedua Negara. Setelah isi surat itu dipahami, hati baginda gembira dan mengatakan setuju

akan minat paduka raja Majapahit. Raja bersedia mengirim Kebo Iwa ke Majapahit demi

melanjutkan persahabatan kedua Negara yang telah dijalin sejak dahulu. Raja kemudian

memberitahu Kebo Iwa supaya mengikuti kehendak baginda yaitu ikut ke Jawa bersama
28

patih Gajah Mada, dengan pesan kalau semuanya telah selesai di sana agar segera

kembali ke Bali.

2.5.). Ki Kebo Iwa diperdaya

Gajah Mada bersama Kebo Iwa mohon pamit kehadapan raja Bedaulu. Berjalan

menuju arah selatan dan sesampainya di pesisir lalu menaiki sampan. Dalam pelayaran

mulailah timbul akal licik Gajah Mada untuk mencelakakan Kebo Iwa, berusaha

menenggelamkan Ki Kebo Iwa. Namun berkat kesaktiannya Kebo Iwa dapat selamat dan

dapat mengejar perahu yang dilarikan Gajah Mada. Kebi Iwa diam saja dan tidak

mengadakan perlawanan sedikitpun karena menganggap bahwa semuanya yang telah

terjadi adalah takdir Tuhan. Berselang berapa lama sampailah mereka di Banyuwangi dan

yang menjadi akuwu di sana bernama Raden Arya. Setelah menyantap hidangan Gajah

Mada memberitahu Kebo Iwa supaya menunggu sebentar di Banyuwangi karena Gajah

Mada berangkat duluan ke Majapahit. Ki Kebo Iwa setuju dan Gajah Madapun berangkat

dengan senang hati karena tujuannya berhasil.

Kedatangan Gajah Mada di Majapahit disambut oleh menteri dan istrinya yang

tercinta. Besok paginya Gajah Mada baru menghadap raja. Melaporkan bahwa dia telah

berhasil membawa Kebo Iwa ke Jawa dengan berbagai tipu daya. Kebo Iwa sungguh

manusia sakti terbukti beberapa kali ditenggelamkan dalam laut, namun selalu dapat

selamat dan mengejar perahunya Gajah Mada. Di katakana oleh Gajah Mada Kebo Iwa

berada di Banyuwangi. Raja dimintakan pertimbangan bagaimana membuat suatu akal

untuk dapat membunuh Kebo Iwa. Gajah Mada punya rencana menyiapkan seorang gadis

cantik untuk menggodanya. Raja setuju dan didukung pula oleh para menteri yang ada di
29

sana. Selanjutnya dikirimlah seorang utusan untuk menjemput Ki Kebo Iwa di

Banyuwangi.

Tersebutlah Ki Kebo Iwa telah sampai di Majapahit, dan berteduh di bawah

pohon beringin da keheran-heranan menyaksikan keindahan kotaraja. Kebo Iwa sangat

berani dan jujur tidak tahu akan dirinya diperdaya. Dengan tergesa-gesa dating seorang

patih menghampirinya seraya mengatakan bahwa gadis yang cantik itu adalah istrinya. Ki

Kebo Iwa terpikat hatinya. Perkenalan dan jalinanpun terjadi dengan kata sepakat

sehidup semati. Sebelum upacara pernikahan sang gadis minta dibuatkan sebuah kolam

permandian yang konon terletak di gunung Wiwara. Sedang giatnya Kebo Iwa bekerja

lalu di lempari batu karang oleh prajurit Majaphit. Namun Kebo Iwa tidak mengadakan

perlawanan karena selalu berpedoman bahwa kejadian yang menimpa dirinya adalah

takdir Tuhan. Setelah lama dilempari belum juga mati maka Kebo Iwa memberitahukan

rahasia kematiannya yaitu dengan ditaburi abu batu karang (kapur). Akhirnya prajurit

Jawa dengan semangat menaburkan abu batu karang ke badan Kebo Iwa secara bertubi-

tubi dan tertimbunlah Kebo Iwa serta menghembuskan nafasnya yang terakhir di sana.

Rakyat Jawa bersorak gembira lebih-lebih Gajah Mada sangat girang hatinya karena

tujuannya tercapai.

2.6.) Taktik dan Strategi Perjuangan Gajah Mada

Dengan berhasilnya Kebo Iwa dibunuh berarti Gajah Mada sudah dapat

melumpuhkan titik pertahanan pulau Bali di mana Kebo Iwa merupakan benteng

kekuatan. Keesokan harinya di Majapahit diadakan persidangan untuk membicarakan


30

siapa-siapa yang patut berangkat ke Bali. Mereka yang berangkat adalah beliau para arya

sebanyak 15 orang dengan diiringi oleh tiga orang Wesya serta para lurah yang bertugas

untuk membawa perbekelan dan pasukan dadap.

Mereka dipimpin oleh Adityawarman (Arya Damar) dan Gajah Mada sebagai

panglima perang. Sampai di ubat mereka mengadakan musyawarah untuk mengatur

strategi penyerangan. Dari timur serangan dilakukan oleh Kiyayi Pamacekan, Gajah Para,

Gatas dan Katawaringin menuju desa-desa Baliaga seperti Tianyar dan Bondalem. Kiyayi

Tumenggung, Arya Patandakan dan Kiyayi Kanuruhan memusatkan pasukannya di

Rajatama.

Arya Santeng, Belog dan Wangbang dari Seseh. Pasukan Arya Damar supaya turun di

barat desa Gangga. Kiyayi Dalancang dan Kenceng supaya turun di Kertalangu. Dari

barat pasukannya Tan Mundur, Tan Kober, Tan Kawur dan Arya Nggaik. Sedangkan

pasukan Gajah Mada dan pangalasan dengan bala kira-kir delapan ratus orang turun di

Jembrana terus masuk-masuk hutan dan menyamamar sebagai pemburu.

Pasukan Gajah Mada terus menuju ke Timur desa Pegametan dan Pulki telah

dilewati dan sampailah di desa Wongaya. Di sana bertemu dengan seorang Penyarikan

(juru tulis desa atau wakil kepala kampung) dan menanyakan dimanakah banyak terdapat

binatang buruan, dan Penyarika itu mengatakan bahwa di Gunung Tamblinga, Bayan dan

disekitar gunung Beratan banyak terdapat binatang buruan.

Mendengar penjelasan itu lalu Pasukan Gajah Mada menyusuri daerah-daerah

Bali Barat dengan melalui gunung Batukaru, Penebel dan sampai di desa Soka. Dari Soka

terus menuju Gesing dengan melalui Yeh Seng dan desa lainnya maka sampailah di desa
31

Tamblingan. Di sini pasukan istirahat dan Gajah Mada naik ke atas bukit untuk

mengawasi pasukan yang dipimpin oleh Arya Damar. Terlihatlah perahunya Arya Damar

di tengah lautan. Gajah Mada melanjutkan perjalanannya ke Timur melalui desa Salia,

Bukit Tulukbiu terus turun desa Tembakung.

Pasukan Adityawarman telah merapat ke pesisir dan menyebar ke pelosok-

pelosok desa. Karena banyaknya pasukan Majapahit yang menyebar di sana-sini rakyat

Bali mulai curiga dan akhirnya dilaporkan kehadapan Cri Madatamandan juga kehadapan

raja Bedaulu. Ki Pasung Gerigis cemas hatinya baru mendengar berita itu dan mengutus

putranya untuk mengecek kebenarannya dan ternyata berita itu benar.

Para patih kumpul semua, bermusyawarah bersiap-siap untuk melakukan

penyerangan terhadap mereka. Sedang mereka berkumpul dating utusan dari Kuta yang

mengatakan bahwa di desanya telah banyak turun orang-orang dari Majapahit. Para

menteri semua sepakat untuk tidak gentar terhadap mereka. Pasukan dipecah keempat

penjuru desa utara, timur, selatan dan barat yang dpimpin oleh Tambyak, Madatana,

Walungsingkal dan Si Gudug Basur. Tidak ketinggalan pula Tunjung Tutur, Kopang dan

Tunjung Biru. Pasung Gerigis bersama-sama dengan Si Bwan dan Girikamana.

Pertempuran segera terjadi kedua belah pihak saling tidak mau mundur

setapakpun jua. Madatana, Kalangbang dan Si Ambyak menghadang pasukan yang

dipimpin oleh Arya Kenceng dan kawan-kawan. Dengan munculnya Ki Pasung Gerigis

dan Girikamana pasukan Jawa (Majapahit) jadi kewalahan menghadapinya, sisanya lari

dan melapor pada Gajah Mada. Pasukan Krian Pamacekan, Gajah Para, Getas dan

Kutawaringin telah menguasai desa Tianyar dan Bondalem. Kemudian pasukan ini
32

diserang oleh Tunjung Tutur, Tanjung Biru danSi Kopang. Tanjung Biru dibunuh oleh

Kutawaringin, datang Si Kopang membela. Si Kopang lalu diserang oleh Krian

Pamacekan danjuga Kutawaringin. Puncak peperangan di utara terjadi di Bondalem.

Pada malam harinya Gajah Mada minta informasi kepada para Arya yaitu

mengenai medan peperangan dan desa-desa yang telah dikuasainya. Disebutkan desa-

desa Tejakula, Sembiran, Tajun dan lain-lainnya telah dapat dikuasai (desa-desa yang

termasuk Bali Timur). Dilaporkan pula bahwa pasukan Arya Kapakisan dan Kria

Tumenggung telah menguasai Celukanbawang, Banjar Aseman, Uma Anyar, Kalopaksa,

Petemon (desa-desa yang termasuk Bali Barat). Adityawarman dan kawan-kawannya

telah menguasai desa-desa Jembrana, Pegametan dan lain-lainnya. Pasukan Arya

Kenceng, Senteng, dan kawan-kawan telah mengusai desa Seseh, Padangsambian,

Kedonganan dan lain-lain. Pendek kata hamper seluruh pulau Bali dapat dikuasai oleh

Majapahit kecuali daerah-daerah pegunungan seperti desa Abang, Songan dan lain-

lainnya masih mengadakan perang gerilya. Para pemimpin dari kedua belah pihak yang

gugur dalam peperangan yaitu Arya Nggaik dari pihak Majapahit, sedangkan dari pihak

Bedaulu (Bali) yang gugur adalah Tanjung Biru, Si Kopang, Kalambang, Walungsingkal

dan lainnya.

2.7. Kerajaan Bedaulu Jatuh


Mendengar bahwa banyak pemimpin dan prajurit Bali yang gugur maka Cri

Baginda raja Bedaulu menjadi sedih hatinya dan lama-kelamaan menjadi sakit dan terus

wafat. Setelah raja Bedaulu wafat maka tapuk pemerintahan dipegang oleh Ki Pasung

Gerigis. Perlawanan rakyat Bali di sana-sini masih berlangsung, terutama daerah


33

pegunungan seperti desa Abang, Songan dan lain-lainnya. Karena Pasung Gerigis

memegang tapuk pemerintahan maka pimpinan perang diserahkan kepada Girikamana.

Serangan Majapahit mulai tertuju pada istana Bedaulu. Peperangan tak

terhindarkan korban kedua belah pihak saling berjatuhan. Pasukan kerajaan Bedaulu

banyak yang tewas, akhirnya kerajaan Bedaulu kalah dan seluruh istana dapat dikuasai

oleh Majapahit. Di istana pasukan Majapahit mengadakan pesta pora untuk merayakan

kemenangannya. Setelah berpesta pora mulai mengadakan persidangan membicarakan

bagaimana rencana selanjutnya. Ketika persidangan sedang berlangsung di luar istana Ki

Pasung Gerigis dan Girikamana sibuk mencari akal bagaimana mengadakan serangan.

Hal ini ditanyakan kepada Ki Panji Singaraja dan dia akan bersedia memasang ilmu

sesirep. Ternyata usaha Ki Pasung Singaraja itu berhasil. Banyak prajurit Majapahit

yang dapat terbunuh, namun hal ini segera diketahui oleh Krian Kapakisan. Dengan

mengucapkan mantera-mantera akhirnya prajurit Majapahit yang tertidur lelap menjadi

terjaga semuanya. Pertempuran terjadi lagi dan korban saling berjatuhan. Melihat

pertahanan Bali makin lemah dan menyadari bahwa hal ini merupakan takdir Tuhan

akhirnya Ki Pasung Gerigis menyatakan kalah seperti yang disebutkan dalam Babad

Arya Tabanan, 7a, berbunyi (Salinan Babad Arya Tabanan, 1977 : 9) :

“wekasan sumahur ta sira manohara yan angaturakan jiwa raga mwah


sapunpananing Bali pulina, amaka prasida kalahaning bumi bangsul dening
jawaraja….”
Artinya “
“…..Akhirnya berkatalah ia membujuk jikalau (mau) menghaturkan jiwa raga dan
seluruh pulau Bali mengaku kalah di Bali dari kerajaan Jawa…”
34

Pernyataan Ki Pasung Gerigis di atas yang menyatakan bahwa bumi bangsul

(bangsul diinterpretasikan sama dengan Bali karena kata wangsul/bangsul artinya

kembali) telah mengaku kalah kepada kerajaan Jawa (Majaphit) adalah semata-mata

merupakan pancingan yang tujuannya agar Gajah Mada mau meredakan pertempuranya.

Karena disadari bahwa patih dari Majaphit ternyata lebih unggul di dalam mengadakan

perlawanan kalau dibandingkan dengan patih prajurit Bali. Ki Pasung Gerigis kalah dan

dipenjarakan di rumahnya sendiri di desa Tengkulak.

Akhirnya dengan tipu daya yang sangat licik serta kepandaian Gajah Mada

berdiplomasi maka berhasilah Ki Pasung Gerigis diajak ke Jawa untuk menghadap raja

putri Tribuana di Majapahit. Dengan kejadian ini berarti kerajaan Bedaulu telah jatuh

yang untuk selanjutnya tidaklah diketahui.


35

Bab III.

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1.Kesimpulan

Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten bertahta dari tahun 1337-1343 Masehi

dengan kesimpulan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang ditaklukan oleh

Gajah Mada tahun 1343 Masehi. Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten nama

Abhisekanya adalah Cri Beda Muka/Cri Beda Murdi/Cri Topolung.

Tujuh tahun kemudian Cri Kresna Kapakisan dinobatkan menjadi raja di Bali dan

berkedudukan di Samprangan yang memerintah dari tahun 1350-1380 Masehi. Pada

tahun 1380 Masehi raja Cri Kresna Kapakisan wafat, lalu digantikan oleh adiknya yang

bernama I Dewa Ketut Ngulesir dan berkedudukan di Gelgel yang memerintah dari tahun

1380-1460 Masehi. Raja I Dewa Ketut Ngulesirlah yang memindahkan kerajaan

(Samprangan?) secara resmi ke Gelgel tahun 1398 Masehi. Pada waktu pemerintahan

baginda tahun 1384 Masehi raja Wengker yang bernama Cri Wijayarajasa dapat

menyelesaikan persengketaan desa Pemuteran dengan desa Abang dengan segala

ketetapannya.

Selanjutnya Gajah Mada datang ke Bali sebagai duta dan melakukan hubungan

kerjasama agar kerajaan Bali bersatu dan bekerjasama dengan kerajaan Majapahit. Tetapi

siasat taktik Gajah Mada ini ternyata berlainan dengan janji persatuan dan kerjasama

dengan kerajaan Bali namun ingin menundukan kerajaan Bali dengan memperdaya wakil

kerajaan Bali yaitu Kebo Iwa yang dibunuh di daerah Jawa dengan tipu muslihatnya Ki

Kebo Iwa disuruh untuk membuat kolam pemandian tetapi setelah membuat kolam dan
36

langsung ditimbun batu sehingga meninggal. Inilah taktik untuk melemahkan kerajaan

Bali dengan melenyapkan orang sakti Ki Kebo Iwa, dan raja Asta Sura menjadi sedih dan

sakit-sakitan dan meninggal. Setelah itu yang menjadi raja adalah KI Pasung Gerigis

yang juga mengalami kekalahan dan kerajaan Bedaulu telah jatuh yang selanjutnya tidak

diketahui.

Analisis penempatan raja yang bukan dari dinasti/Icana di suatu wilayah kerajaan

tentunya menjadi kajian pemikiran terdapatnya suatu penekanan ataupun peperangan dari

pihak Majapahit yang dipimpin oleh patih Gajah Mada untuk menaklukan kerajaan Bali

dan terdapatnya raja-raja Jawa (Majapahit) setelahnya kekalahan raja Asta Sura Ratna

Bumi Banten.

3.2.Saran-saran

Penelitian mengenai kronologi kerajaan-kerajaan Bali diperlukaan kajian

pengamatann yang cukup kompleks. Hasil penelitian ini tidaklah secara lengkap namun

secara ikhtisar dapat mengungkap keberadaan kronologi kerajaan Bali sejak ditaklukan

oleh Gajah Mada dengan mengkaji data-data prasasti sekitar abad XIII-XIV. Penelitian

ini dirasa perlu mengingat bagaimana hubungan struktur birokrasi pasca penaklukan dan

siapakah raja berikutnya. Diperlukannya penelitian berikutnya mengenai hubungan raja-

raja di luar dinasti suatu kerajaan untuk dilakukan penelitian, guna mengetahui hubungan

kerjasama antar raja-raja yang seperti pembahasan penelitian ini, terjadiannya penaklukan

dangan siasat perang, selain itu juga diperlukannya penelitian untuk mengungkap latar

belakang dari penaklukan kerajaan-kerajaan kuna lainnya di Indonesia.


37

Istilah Singkatan

Kronologi Raja-Raja Bali Abad XIII-XIV

Sejak Penakulukan Gajah Mada

Hal 22 (Nawanatya (kata majemuk) terdiri dua kata nawa dan natya. Nawa

berarti “Sembilan” dan natya berarti cahaya, tubuh (badan), roman, rupa” (Pigeaud, JHN,

hal. 308), Sedangkan natya (bahasa Sanskerta) berarti “tari, pertunjukan” (Prof. Drs.

Soewojo Wojowasito, “Kamus Kawi (Jawa Kuna) – Indonesia”, Malang, IKIP, 1973

(selanjutnya disebut Wojowasito, KKI) hal. 157. Dalam naskah nawanatya Ia-8

disebutkan Nawanatya sebagai matahari menyinari dalam berbuat”. Selanjutnya dalam

bait 5a-2 disebutkan Nawanatya terdiri dari kata nawa berarti “sembilan” dan natya

berarti “smita atau senyum”. Dalam nawanatya smita berisikan sembilan hal yaitu raja.

Wana ratu, mantra guru, dwija, cabha, sadya, kaka, hari, pandita, dan haddi (Pigeaud,

JFCI hal. 81-82). Mungkin yang dimaksud sembilan hal di atas adalah sembilan hal yang

harus diketahui oleh seorang pemimpin yang merupakan sinar atau cermin dalam berbuat

: Sedang yang dimaksud nawanatya smita maksudnya adalah Sembilan hal yang harus

diketahui oleh seorang pemimpin untuk mendapatkan kebahagiaan (kesuksesan). Dalam

nawanatya disebutkan persyaratan dan tugas-tugas dari pemimpin misalnya

Amangkubumi, Rakryan Patih, Demang, Demung, Adhikara, dan sebagainya.

Saredreti (Saredreti berasal dari kata sara+u+dreti. Sara berarti “mata air”, kelam

danau, terus-menerus. Sedang Sara (Bahasa Sanskerta) berarti “kuat”, unggul, sempurna”

(Wojowasito, KKI, hal. 297). U berarti “huruf hidup yang ketiga, kata sara yang

menyatakan perintah atau marah” (Ibid, hal. 43) : Dreti berasal dari bahasa Sanskerta
38

drsti yang mata, pemandangan, penglihatan” (Tuuk, KBNI III,hal. 73 of. Wojowasito,

KKI, hal. 150). Jadi yang dimaksud Saradreti atau Saradresti adalah semacam buku

pelajaran yang berisi tentang ajaran kesempurnaan ?

Widi Sastra terdiri dari kata widhi dan sastra. Widhi berarti “aturan, hukum,

Tuhan” (Wojowasito, KKI. hal. 270) : dan Sastra berarti “tulisan atau huruf” (Pigeaud,

JHN, hal.513). Jadi yang dimaksud dengan Widhi Sastra adalah suatu ajaran tentang

Ketuhanan (Ida Sanghyang Widhi).

Paseban berasal dari kata seba mendapat awalan pa dan akhiran an. Seba

misalnya berseba berarti menghaap raja, muncul (Pigeaud, JHN, hal. 515). Paseban juga

berarti “tempat berkumpul atau berhimpun” (W.J.S. Poerwadarminta, “Kamus Umum

Bahasa Indonesia”. Jakarta , Balai Pustaka, 1976 (selanjutnya disebut Poerwadarminta,

KUBI), hal. 880) Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud paseban adalah

merupakan suatu yang tinggi yang dipakai berkumpul raja dan pejabat-pejabat kerajaan ?

Lancingan berarti celana (Wojowasito, KKI, hal. 248). Dalam bahasa Bali

disebut kancut.

Destar berarti kain kepala atau ikat kepala, serban (Poerwadarminta, KUBI, hal

247).

Sasimping berasal dari kata simping berarti indung mutiara, gowang. Simping

juga disebut sumping berarti perhiasan telinga. (Pigeaud, HJN, hal. 529-539).

Landeyan berarti pegangan keris, hulu keris (Panitya Penyusun KBI, hal 330).
39

Sesampir berasal dari kata sampir. Kata sampiran berarti sampaian, tali

pengencan, baha, pundak (Pigeaud, JHN, hal 508). Jadi yang dimaksud sesampir adalah

kain yang terbalut pada bagian sarung keris sebelah tas termasuk pegangan yang biasanya

terbuat dari kayu komoning atau bisa dari gading.

Paresi atau perisai dalam bahasa Jawa disebut tameng (Poerwadarminta, KUBI,

hal. 740).

Hal 26. Akuwu berarti nama semacam pejabat daerah yang diberikan hak kekuasaan

memerintah daerah tertentu. Di daerah Periangan Timur dikenal dengan sebutan kuwu

berarti kepala Desa (Pitono Hardjowardojo, Par, hal.60).

Hal. 28. Perbekalan dikonotasikan dengan kata perbekel yang kini sebagai kepala desa

atau Bendesa adalah berasal dari para lurah yang bertugas bisanya untuk membawa

perbekalan. Karena hakekatnya seorang Kepala Desa juga bertugas mengusahakan dana

untuk kemakmuran rakyatnya.

Dadap berati sebuah perisai dari kulit atau retan yang bentuknya bulat (Porwadarminta,

KUBI, hal. 219).


40

DAFTAR PUSTAKA

Berg, C.C. 1929. “Kidung Pamancangah”, Santpoort.

________. 1975. “Penulisan Sejarah Jawa”, Jakarta : Bhratara, (Seri Terjemahan). Judul
asli Javaansch Geschiedschrijving dalam Geschiedenis van Nederlands Indie, dibawah
redaksi Dr. F.W. Stapel, Jilid II, Amsterdam, Joe van Vendel, 1938.

terjemahan S. Gunawan, Jakarta, Bharata.

Budiastra, Putu, “Prasasti Pura Tuluk Biyu”, Denpasar, (Museum Bali, belum terbit).

Ginarsa, Ketut, 1979. “Bhuwana Tatwa Maha Rsi Markandeya”, Singaraja, Balai
Penelitian Bahasa.
___________, “Bundel Prasasti Nomor 901 – 902”.
___________, 1968. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, Denpasar Walmiki.
___________, 1956. Raja Siapakah yang dimaksud Prapanca, ikang Bali nathanya
duccila nica” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, Tahun IV, No. 5, Juni 1956, Jakarta,
Lembaga Bahasa da Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Goris, R, 1954. Prasasti Bali I & II”, Sumur Bandung.
______ , 1967. “Ancient History of Bali”, Denpasar, Faculty of Letters.
______, 1958. “Raja-raja Bali sejak Kerajaan Anak Wungsu sampai Kemenangan Gajah
Mada” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, No. 4, Th. VI, Jakarta.
______, 1948. “Sejarah Bali Kuna” Singaraja.
Hardowardojo, R.Pitono, 1965. “Pararaton”, Jakarta, Bharata.
Kaler, Ketut, 1980. “Arombat-asuun” dalam Bali Pest No. 231 Tahun ke XXXI.
Kern, 1913. “The Brhat-Samhita or Complete system of natural astrology of
Varahamihira dalam Verspreide Geschriften, Jilid I, Gravenhage, Martinus Nijhoff.
1913.
Krom, 1931. “Hindoe-Javaansch Geschiedenis”, Gravenhage, Martinus Nijheff, pp. 384-
410.
41

Needaya, J, 1975. “The king in Majapahit with an appendix by Brian E. Celless” dalam
Bijdragen tet de Taal Land en Velkenkunde, Deell 31, 4e aflevering, Gravenhage,
Martinus Nijheff, pp. 479-489.
Pigeaud, Th. G.Th. “Java in the Fourteenth-century”. The Hague, Martinus Nijheff, pp.
82-83.

Sapta Jaya, Ida Bagus, 2008. Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali Serta
Hubungannya Dengan Jawa Timur. Dalam Buku Pusaka Budaya Dan Nilai-nilai
Religiusitas, Editor : I Ketut Setiawan, Seri Penerbitan Ilmiah Jurusan Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Udayana Denpasar, Hal 138-161.

Stein Callenfels, van, 1926. “Epigraphia Balicia I”, dalam Verhandelingen van het
Koninklik Bataviasch Geneetschan van kunsten en Wetenschappen, Deel LVI, Derde
atuk, Batavia.
Salinan Lontar
Salinan, “Babab Arya Gajah Para” Koleksi Ketut Ginarsa.
______, “Babad Arya Tabanan”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung,
1974 (Gedong Kirtya No. Val 792/13).
______, Babad Catur Brahmana”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung,
1974 (Gedong Kirta, No. Va. 273/4).
______, “Babad Dalem Turun ke Bali”, Gedong Kirtya, N0. Va/732/4).
______, “Babad Dalem Samprangan”, Gedong Kirtya, Va. 1045/8.
______, “Babad Gajah Mada”, Koleksi Ketut Ginarsa.
______, Babad Mengwi”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung, 1974
(Gedong Kirtya, No. Va.1340/12).
______, Babad Triwangsa”, Koleksi Ketut Ginarsa.
______, “Rajapurana”, No. 827 Gedong Kirtya 56, Koleksi Ketut Ginarsa.

Anda mungkin juga menyukai