Anda di halaman 1dari 8

Catatan

Jurnal 1
- Perkembangan peradaban dan kebudayaan yang semakin intens pada masa Kediri ini
menunjukkan kepada kita betapa pentingnya memahami relasi historis yang berhubungan
dengan Raja Airlangga yang mana Raja Airlangga ini merupakan putra sulung dari Raja
Udayana dari Bali dan Ratu Mahendradatta yang menjadi raja di Jawa Timur. Adanya
hubungan darah merupakan modal dasar akan pentingnya pengakuan yang muncul
terhadap Aerlangga untuk menjadi raja di Jawa Timur. Tinggalan-tinggalan arkeologi,
sejarah dan sastra Jawa Kuna ini sebagaimana yang tampak di situs Kilisuci, Tegawangi,
Tondowongso, Tirto Kamandanu merupakan khazanah kekayaan budaya dan sastra yang
perlu dipahami dalam konteks relasi hubungan kebudayaan Jawa pada masa Jawa Kuna
yang berlangsung sekitar abad ke-10 dan ke-11 Masehi yang akhirnya berkembang di
Bali sampai saat ini. Potensi-potensi ini diharapkan dapat dikembangkan di masa kini dan
masa yang akan datang.

- Raja Aerlangga dipercaya oleh masyarakat Jawa dan Bali sebagai keturunan Raja
Udayana dari Bali dan Mahendradatta yang merupakan cicit Mpu Sindok di Jawa Timur.
Namun kisah cerita kerajaan Aerlangga ini lebih tampak berperan di kawasan Jawa
Timur, dibandingkan dengan di Bali sendiri. Akan tetapi, di kalangan masyarakat Bali
sendiri sangat sadar, bahwa perkembangan yang terjadi di Jawa Timur pada zaman Jawa
Hindu ini telah melahirkan peradaban besar dalam kaitannya dengan diciptakan berbagai
karya sastra yang bernilai filsafat tentang kehidupan yang bermakna tinggi. Karya-karya
sastra muncul itu, kemudian menyebar ke Bali yang hingga kini masih tetap hidup dalam
konteks kebudayaan dan peradaban Bali modern dan postmodern.

- bagaimana perkembangan karya-karya sastra yang masih menggunakan bahasa Jawa


Kuna yang di Bali sendiri disebutkan dengan Bahasa Kawi. Kata Kawi berarti kuna jadi
bahasa Kawi adalah Bahasa Jawa Kuna yang dipergunakan di dalam naskah-naskah
sastra di masa lalu, khususnya pada masa Kerajaan Kediri atau yang dikenal dengan
nama Kerajaan Panjalu, yang dalam proses penyebarannya, hingga saat ini masih
dipergunakan di Bali dalam aktifitas religi, ritual, dan konsep-konsep kekuasaan di masa
lalu. Sebutan Panjalu sama seperti Kediri, dipercaya bahwa saat terjadi peperangan antara
Jenggala dan Panjalu, bahwa terjadi peperangan hanya perebutan tahta di Daha.
Sementara ibu kota Daha telah berpindah ke daerah Kediri.

- Pentingnya nilai-nilai peradaban pada masa Kediri pada masa kekuasaan Raja Aerlangga,
bahkan, salah satu universitas terbesar di Jawa Timur ini bernama Universitas Aerlangga
yang terletak di Surabaya sebagai ibu kota propinsi Jawa Timur. Ini menandakan
bagaimana peran Aerlangga di masa lalu masih dikenang dalam dinamika sejarah di Jawa
Timur. Tentang nama besar Raja Airlangga di Jawa Timur (1019M-1037M) yang
diabadikan sebagai nama Universitas di Surabaya Jawa Timur ini
- Kerajaan Kediri di Jawa Timur ini memiliki dinamika sejarah yang cukup panjang.
Berita-berita dari kitab Chi-Fan-Chi dan Ling-wai-tai-ta menjelaskan tentang kehidupan
masyarakat Kediri bersumber pada pertanian, peternakan, dan perdagangan. Di sini
dikenal sebagai penghasil beras, kapas, dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari
aspek ekonomi, kerajaan Kediri tampak sejahtera.

- Hal ini didasar atas kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para
pegawainya, meskipun hanya dibayar dengan hasil bumi. Panjalu dikenal sebagai
penghasil lada utama di Jawa Timur. Para pedagang asing, khususnya pedagang China
kerap datang ke wilayah ini untuk menyelundupkan mata uang. Mata uang tersebut pada
ditukarkan dengan lada. Hal inilah yang menyebabkan para pedagang China dilarang
untuk berdagang di daerah ini, akan tetapi larangan tersebut tidak dihiraukan oleh para
pedagang China.

- Pedagang-pedagang asing yang datang ke daerah Panjalu membawa berbagai barang


dagangan, seperti emas, perak, barang pecah-belah dari porselen, piring emas dan perak,
barang- 3 barang dari tembaga, kain sutera, dan kain damas. Selain itu, ada juga
komoditas lain yang diperdagangkan di Panjalu, yaitu gading, cula badak, mutiara, kapur
barus, tulang penyu, kayu cendana, rempah-rempah, sulfur, safron, dan bermacam-
macam burung. Penduduk Panjalu juga memelihara ulat sutera, menenun kain sutera
beraneka warna dan kain brokat. Hasil dari komoditas tersebut diperdagangkan ke
seluruh dunia, khususnya di Su-ki-tan yang merupakan kota pelabuhan terpenting di
muara Sungai Brantas (Lihat: Yuka, Tanaya, P., Ravando, Dieta Lebe S., dan Iqra R.,
2007).

- Hal ini menunjukkan bahwa daerah Su-ki-tan merupakan daerah pertama di Jawa Timur
yang dikenal oleh para pedagang asing. Kerajaan ini muncul setelah Erlangga membelah
kerajaannya menjadi dua, yaitu Jenggala dan Panjalu atau Kediri itu. Salah satu sumber
arkeologi yang berjudul, Prasasti Mahaksobya mengisahkan bagaimana terjadinya
pemisahan kedua kerajaan itu. Selain itu, karya Nagarakertagama menjelaskan tentang
terjadinya pemisahan kerajaannya disebabkan rasa sayangnya kepada kedua putranya itu.
Selain itu, Aerlangga memisahkan kerajaannya menjadi dua untuk kedua anakanya yang
sedang bermusuhan. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan Serat Calon Arang
dijelaskan, bahwa Erlangga memecah kerajaannya, karena ia ingin menobatkan salah satu
anaknya menjadi raja di Bali, namun gagal. Ini disebabkan, karena ada beberapa pihak
yang menurut kisah tradisi lisan setempat di Kediri, karena Senapati Kuturan yang tidak
menginginkannya.

- Slamet Muljana, dalam bukunya Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, (2006, 28-33).
Menguraikan tentang bagaimana terjadinya pemisahan kedua kerajaan Erlangga yang
diperkirakan berlangsung pada tahun 1042 Masehi. Disebutkan bahwa dua kerajaan yang
dipisahkan itu menjadi Kerajaan Jenggala dengan pusatnya di Kahuripan lokaisnya
diperkirakan 4 di lembah Gunung Penanggungan. Sementara Kerajaan Panjalu pusatnya
di Daha (yaitu di Kota Kediri sekarang ini). Adapun yang menjadi batas pemisah antara
kedua kerajaan itu adalah sungai. Akan tetapi, dalam menentukan batasan sungai
tampaknya masih dalam perdebatan. Meskipun demikian adapun sungai-sungai yang
dianggap sebagai batas pemisah kedua kerajaan itu adalah sungai Brantas, Lamong,
Porong, dan Widas.

- Senapati Kuturan dalam masa raja Aerlangga ini dapat dipahami. Karena Senapati
Kuturan yang berasal dari Kediri ini diusir oleh raja Aerlangga pada masa kekuasaannya,
yang dianggap tidak dapat mematuhi apa yang dikatakan oleh raja. Ini berarti, bahwa
antara raja Aerlangga yang memiliki penasehat Senapati Kuturan itu terjadi
kesalahanpahaman, sehingga nasehat Senapati Kuturan tidak diikuti oleh raja Aerlangga.

- Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tampaknya perseteruan antara Raja Aerlangga
yang tidak mengikuti nasehat Senapati Kuturan tampaknya berkelanjutan di kalangan
istana kerajaan. Ini dibuktikan dengan tetap terjadinya perselisihan yang mengakibatkan
kehidupan yang harmonis di antara kedua kerajaan yang dipisahkan itu. Ini terlihat dari
persaingan dan upaya perebutan kekuasaan antara kerajaan yang satu dengan kerajaan
yang lainnya yaitu antara Jenggala dan Panjalu. Perseteruan itu dapat diatasi ketika Raja
Panjalu Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya melakukan penyerangan terhadap kerajaan
Jenggala.

- Pada Prasati Ngantang, bertahun 1135 menunjukkan bagaimana sebuah era kemenangan
Panjalu atas Jenggala dengan dibuatnya stempel Prasati Ngantang. Prasasti ini berisi
ucapan panjalu jayati, yang berarti Panjalu menang. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pada tahun 1135 diperkirakan terjadinya peristiwa kekalahan Jenggala atas
Panjalu

- Dua saudara Aerlangga yaitu Marakata dan Anak Wungsu juga menjadi raja di Bali yang
dipercaya mengeluarkan beberapa prasasti yang berisi uraian-uraian yang merupakan
bagian pusaka saujana masyarakat Bali. Ini dapat dimengerti karena, dari prasasti yang
dikeluarkannya itu memuat berbagai masalah penting tentang keagaamaan masalah
ekonomi yang dapat dianggap mengangkat kesejahteraan masyarakat Bali pada saat itu.
Demikianlah peran dan status yang dimainkan oleh putra-putra Raja Udayana yang juga
menjadi raja di Bali. Namun demikian pula halnya dengan kedua putra raja Udayana itu,
yaitu Marakata dan Anak Wungsu, maka Aerlangga yang merupakan saudara tertua itu
memiliki berbagai kelebihan di samping yang dianggap kelemahannya itu.
Kelemahannya mungkin dapat dianggap 5 bagaimana kemudian di akhir masa jabatannya
itu terjadi perpecahan yang mengakibatkan dibaginya kedua kerajaannya itu yang dibantu
oleh Mpu Bharadah menjadi Janggala dan Kahuripan (Kediri sekarang)

- Menurut catatan sejarah, pada masa Kerajaan Kediri telah dikenal sistem kerajaan atau
sejenis pemerintahan desa. Adapun desa pada pada zaman Kediri dikenal dengan sebutan
wanua. Setiap wanua dipimpin oleh seorang kabayan (kepala desa).
- Menurut etimologi katanya kata kabayan bersal dari kata bhaya yang berarti orang yang
menjaga bahaya. Sementara untuk setiap wanua di zaman Kediri, ada keinginan untuk
tetap dapat diakui sebagai sebuah sima. Keberadaan Sima merupakan sebidang tanah
yang pajaknya lebih rendah dikenai oleh kerajaan kepada suatu desa. Tambahan pula,
Sima merupakan daerah tempat peribadatan agama Hindu

- Keberadaan Sima ini ditandai pula dengan didirikannya bangunan Candi sebagai tempat
untuk pelaksanaan ritual dalam religi tertentu. Bagi seorang kabayan yang Wanua-nya
diharapkan akan menjadi sima harus mempunyai beberapa persyaratan. Di antaranya
adalah, bahwa ia harus menghadap kepada watak dari watak yang kemudian watak inilah
akan menghadap kepada raja. Raja selanjutnya akan menentukan daerah itu cocok atau
tidaknya untuk dijadikan sima. Dapat dikatakan, bahwa keberhasilan menjadi sima itu
tergantung dari pertimbangan pendeta kerajaan yang disebut rajapurohitta

- Dalam catatan sejarah geografi Indonesia, sungai memiliki peranan penting. Keberadaan
sungai seringkali menjadi alasan mengapa di suatu tempat didirikan sebuah kerajaan.
Sungai menjadi sumber untuk melanjutkan kehidupan dan penghidupan manusia di masa
lalu. Bahkan dalam konteks sejarah tradisional Indonesia, gerak penduduk di suatu
tempat pada umumnya ditentukan oleh keberadaan sungai.

- Kediri merupakan salah satu Kabupaten yaitu Kabupaten Kediri di Propinsi Jawa Timur.
Daerahnya merupakan dataran rendah dengan dikitari oleh dua gunung yaitu Gunung
Kelud, Gunung Wilis dan Gunung Arjuna. Adanya permukaan tanah yang datar di Kediri
tampak tidak menunjukkan adanya relief yang tajam. Sungai besar Brantas yang
memisahkan wilayah ini membuat akses jalan bagi penduduk yang ingin melintasi
kawasan ini. Demikian juga dengan keberadaan gunung ini memberikan karakteristik
tersendiri bagi Kediri, terutama Gunung Kelud yang meletus dalam jangka waktu tertentu
dan mengeluarkan abu vulkanis, sehingga memberikan kesuburan tersendiri bagi wilayah
ini

Jurnal 2
- . Kebijakan dalam Bidang Politik Pada tahun 1248M Ranggawuni dinobatkan menjadi
raja dengan bergelar Sri Jayawisnuwardhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala
Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana (menurut prasasti Maribong 1248). Dalam
menjalankan pemerintahannya dia dibantu oleh Mahisa Campaka. Hal ini merupakan
penerapan dari adanya struktur birokrasi pemerintahan yang mana para kerabat kerajaan
memegang jabatan tinggi pemerintahan baik dipusat maupun di daerah. Raja
Wisnuwardhana mengangkat Mahisa Campaka sebagai Ratu Angabhaya dengan gelar
Narasinghamurti. Pengadaan jabatan Ratu Angabhaya sengaja dilakukan oleh raja
Wisnuwardhana. Fungsi dari Ratu Angabhaya, ialah sebagai peniadaan bahaya. Hal ini
didasari dari adanya keinginan raja Wisnuwardhana untuk mempersatukan kerajaan
Kediri dan Tumapel. Dalam proses pemersatuan kedua kerajaan yang terpisah ini, maka
dilakukan beberapa upaya. Adapun upaya yang dilakukan tidak hanya dibidang politik,
namun juga di bidang religi keagamaan. Pada bidang politik dengan mengadakan jabatan
Ratu Angabhaya beserta pengurus-pengurus pemerintahan kerajaan. Salah satu cara yang
ditempuh oleh kedua pemimpin yang diprakarsai oleh Ken Dedes yaitu menyatukan
kedua keturunan dari satu ibu yang berbeda ayah. Bisa dikatakan dengan pernikahan
politik, yakni dengan menikahkan dua cucu keturunannya. Adapun cucu dari Ken Dedes
adalah Ranggawuni (putra dari Anusapati) dan Waning Hyun (putri dari Mahisa Wonga
Teleng). Pada tahun 1254 Wisnuwardhana meresmikan Singasari sebagai ibukota
kerajaan Tumapel, yang sebelumnya nama ibukotanya adalah Kutaraja. Namun seiring
berjalannya waktu nama kerajaan Singasari lebih terkenal dibandingkan dengan nama
kerajaan Tumapel. Pada tahun yang sama Raja Wisnuwardhana menobatkan puteranya
Sri Kertanegara sebagai Yuwaraja.
- Pada masa akhir kerajaan Kediri 1144 Saka atau 1222 Masehi, merupakan awal dari
berdirinya kerajaan Tumapel. Sebelum Kediri runtuh, Tumapel merupakan daerah
bawahan kerajaan Kediri yang dipimpin oleh seorang akuwu bernama Tunggul Ametung.
Tumapel merupakan wilayah kekuasaan raja Kertajaya. Namun kedudukan Tunggul
Ametung sebagai Akuwu Tumapel berakhir setelah dia dibunuh oleh Ken Arok dan istri
Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes dinikahinya. Kemudian Ken Arok
menggantikan untuk menjadi Akuwu Tumapel. Kemunculan tokoh Ken Arok inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal munculnya suatu wangsa baru yaitu wangsa Rajasa
(Rajasawangsa) atau wangsa Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok memerintah pada
1222-1227M, kemudian dia berhasil digulingkan oleh Anusapati yang merupakan putra
tirinya yakni dari Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Tampuk pemerintahan berikutnya
berada pada tangan Anusapati, dia memerintah pada 1227-1248M. Pemerintahan
Anusapati ini pada awalnya berjalan lancar, namun pada akhir pemerintahannya dia
digulingkan oleh Tohjaya putra Ken Arok dari selirnya yaitu Ken Umang dan Anusapati
dimuliakan dicandi Kidal. Tohjaya bertahta di Kediri menggantikan Guning Bhaya.
Sehingga setelah Anusapati meninggal, digantikan dengan Ranggawuni. Pada saat itu
kerajaan masih terbagi menjadi dua. Pranaraja dari Kediri tidak setuju akan kenaikan
tahta Tohjaya. Para pranaraja menganggap, bahwa Tohjaya bukan keturunan yang sah.
Sehingga, Pranaraja berusaha menggulingkan tahta Tohjaya dengan hasutan. Setelah
meninggalnya Tohjaya, tampuk pemerintahan berada pada tangan Ranggawuni yang
bergelar Sri Jayawisnuwardhana, dia memerintah pada 1248-1268M. Dalam menjalankan
pemerintahan, Wisnuwardhana menjalankan bersama dengan sepupunya yaitu Mahisa
Cempaka, yang kemudian diangkat sebagai Ratu Angabhaya dan bergelar
Narasinghamurti. Pada pemerintahan raja Wisnuwardhana inilah kondisi sosial
masyarakat sudah mulai stabil dan teratur. Pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana
dan Narasinghamurti ini memiliki tujuan yang sama, yakni mempersatukan
kerajaan,yakni Kediri dan Tumapel. Dalam proses pemersatuan wilayah kerajaan ini
tidaklah berjalan mulus, melainkan banyak terjadi peristiwa. Kerajaan Singasari masih
terpengaruh oleh adanya kekuatan magis dari Mpu Baradah yaitu seorang pendeta yang
sakti dan 13 C.C.Berg.Op cit.hlm.41 sekaligus sebagai guru spiritual Airlangga. Dengan
kekuatan magis, Mpu Baradah mampu membelah wilayah kerajaan menjadi dua hanya
dengan cucuran air saja disertai ucapan kutukan bagi yang berani melanggar ucapannya
tersebut. Dikarenakan hal ini berhubungan dengan magis maka raja Wisnuwardhana
mengatasinya tidak hanya dengan jalan politik, namun dengan kekuatan spiritual
keagamaan. Sehingga hal ini membuat Raja Wisnuwardhana lebih mengutamakan
kegiatan keagamaannya demi menetralisir adanya kutukan Mpu Baradah, dengan begitu
keberadaan Ratu Angabhaya sangatlah penting pada masa itu sebagai pengganti raja.
Segala cara yang dilakukan raja Wisnuwardhana dalam menetralisir kutukan Mpu
Baradah ternyata membuahkan hasil yang maksimal. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
keberhasilan yang diperoleh, yakni bersatunya kembali kedua wilayah yang telah
terpecah menjadi dalam satu kesatuan yaitu kerajaan Singasari. Dari peristiwa
pemersatuan yang dilakukan oleh pemerintahan bersama Wisnuwardhana dan
Narasinghamurti dapat diambil kesimpulan, bahwasannya dengan bersatunya dua kubu
persaudaraan yang berbeda ayah tersebut maka berakhirlah sengketa perang persaudaraan
atas kekuasaan, dengan begitu dapat diketahui pada masa pemerintahan raja
Wisnuwardhana konflik telah berakhir dan terselesaikan. Dengan berakhirnya konflik
dapat dipastikan kehidupan sosial masyarakat, politik, dan keagamaan sudah mulai
membaik dan teratur. Raja Wisnuwardhana juga meninggal bukan karena terbunuh,
karena sudah tidak lagi terpengaruh oleh kutukan Mpu Baradah. Wisnuwardhana
meninggal dan didharmakan di dua candi yakni candi Waleri sebagai Siwa dan candi
Jago sebagai Budha Amoghapasa yang terletak di Tumpang, Malang. Patung
Amogaphasa ini dibuat pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Pembuatan patung
tersebut dimaksudkan untuk menetralisir kekuatankekuatan magis yang dapat memecah
kerajaan. Bahkan pada masa Kertanegara patung Amogaphasa digunakan sebagai
kepentingan politik, yakni mengikat hubungan antara Singasari dan Melayu.
- Pemerintahan raja terakhir dari Kerajaan Kediri yaitu Raja Kertajaya (Prabu Dandang
Gendis) yang mulai memerintah sejak tahun 1185. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Kediri mengalami ketidakstabilan. Pada masa pemerintahannya, Kertajaya ingin
disembah oleh para pendeta Hindu dan Buddha (kaum brahmana). Keinginan itu ditolak,
meskipun Kertajaya pamer kesaktian dengan duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.
Kertajaya murka. Merasa terancam, para pendeta itu mencari perlindungan kepada Ken
Arok, akuwu (setara bupati) Tumapel sekaligus bawahan Kediri. ... dengan dukungan
para brahmana, Ken Arok menyatakan Tumapel (bagian dari Kediri) sebagai kerajaan
merdeka dengan dirinya sebagai raja. Kertajaya pun memaklumatkan perang. Dalam
perang antara Tumapel dan Kediri di dekat Desa Ganter tahun 1222, Kediri kalah.
Kertajaya sendiri diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa
kiasan untuk menunjukkan ia tewas. Sejak tahun 1222, Kediri menjadi daerah bawahan
Tumapel. Menurut Nagarakertagama, putra Kertajaya bernama Jayasabha diangkat Ken
Arok sebagai bupati Kediri (Hapsari dan Adil, 2016, hlm. 138). Kutipan teks di atas
mengajarkan kepada kita bahwa seorang pemimpin tidak boleh sombong, tidak boleh
“gila hormat”, dan harus menghargai pemimpin agama. Pemimpin tidak hanya menjalin
hubungan dengan rakyatnya, tetapi seorang pemimpin juga harus menjalin hubungan
yang baik dengan tokoh-tokoh agama. Seperti yang dikemukakan oleh Wahab (2011,
hlm. 90), “seorang pemimpin harus memperhatikan batas-batas tertentu”. Memang
pemimpin mempunyai kekuasaan yang besar atas wilayah yang dipimpinnya. Tetapi
dalam bidang agama, tokoh-tokoh agama mempunyai peran yang lebih besar. Maka
sebagai seorang pemimpin, harus menghormati tokoh agama, bukan hanya minta
dihormati bahkan “disembah oleh para pendeta” seperti kutipan dari buku teks di atas.
Secara tersirat, kutipan dari buku teks di atas juga mau mengajarkan bahwa pemimpin
yang baik adalah pemimpin yang bisa membedakan antara urusan pribadi dan demi
kepentingan organisasi atau kerajaan yang dipimpinnya. Setelah Ken Arok mengalahkan
Kertajaya, Ken Arok tetap mengangkat “putra Kertajaya bernama Jayasabha diangkat
Ken Arok sebagai bupati Kediri”. Secara tersirat ini menunjukkan bahwa Ken Arok
sebagai pemimpin tidak menaruh dendam kepada keluarga atau keturunan dari
musuhnya. Mungkin Ken Arok melihat bahwa Jayasabha mempunyai potensi untuk
memimpin Kediri sebagai bawahan Singasari (Tumapel). Demikian juga Jayasabha
sebagai pemimpin Kediri mengakui Ken Arok sebagai pemimpin yang lebih tinggi.
- Sistem Pertanian dan Irigasi Beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur
berkembang pada kondisi geografis yang didukung sungai Brantas tersebut yang juga
didukung oleh peranan aktivitas Gunung Penanggungan. Sistem ekonomi
kerajaankerajaan seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit yang mencakup perdagangan
pun lebih diuntungkan dengan akses penghubung yang lebih cepat dan aman antara
daerah pedalaman dengan pesisir. Dengan perkembangan tersebut, maka beralihlah
sistem agraris ke maritim. Namun, kerajaan Majapahit mampu memadukan keunggulan
agrarisnya dan memperluas kekuatan maritimnya dengan memanfaatkan sungai Brantas
sebagai penghubung ke laut lepas. Dengan adanya jalur tersebut, penerapan bea cukai dan
upeti pun marak dilakukan ketika masa kerajaan Kediri hingga Majapahit. Dari beberapa
perkembangan tersebut mengakibatkan munculnya kejayaan kerajaan Majapahit yang
bertumpu pada sungai Brantas.
- Jenis-jenis tanaman yang dapat dibudidayakan di lahan kering berupa ladang (tegalan)
jumlahnya lebih bervariasi. Tanaman di tegalan dapat menghasilkan tanpa adanya sistem
pemberian air, irigasi atau pengairan, umumnya meliputi jenis umbi-umbian dan biji-
bijian, termasuk jenis tanaman padi gaga (padi kering). Salah satu prasasti yang pertama
kali menyebut adanya tanaman padi kering ini adalah Prasasti Watukura I 902 M. Jenis
pertanian lahan kering lainnya adalah pertanian di kebun.Jenis pertanian di kebun ini
dibedakan dari tegalan karena perbedaan letak.
- Berangkat dari pemahaman tersebut, masyarakat Desa Siman Kecamatan Kepung
Kabupaten Kediri memiliki tradisi mengelola pertanian yang subur. Masyarakat Siman
memiliki tanggung jawab yang maksimal untuk meneruskan tradisi tersebut untuk
generasi yang akan datang. Keberhasilan pertanian masyarakat Siman dimulai sejak
jaman kerajaan Kadiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya Prasasti Harinjing. Gb. 2.5
Prasasti Harinjing B Menurut narasumber, sebuah penelitian dulu pernah dilakukan oleh
para ahli lembaga Javanologi seperti Bapak MM. Sukarton Kartoatmojo. Ada penyebutan
nama Kadiri ada pada tiga prasasti Harinjing yang berada di Desa Siman, Kecamatan
Kepung, Kabupaten Kediri. Prasasti tersebut terdiri atas tiga buah piagam yang ditulis
dengan aksara dan bahasa Jawa kuno pada kedua sisinya. Bagian depan disebut Prasasti
Harinjing A. Prasasti Harinjing A menyebutkan bahwa pada 11 Suklapaksa bulan Caitra
tahun 726 Saka (25 Maret 804 Masehi) para pendeta di daerah Culanggi memperoleh hak
sima (tanah yang dilindungi dari pajak) atas daerah mereka karena telah berjasa membuat
sebuah saluran sungai Harinjing. Bagian belakang disebut prasasti Harinjing B. Pada
baris 1 sampai dengan 23 Prasasti Harinjing B menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rake
Layang Dyah Tulodong pada 15 Suklapaksa bulan Asuji tahun 843 Saka(19 September
921 Masehi) mengakui hak-hak para pendeta di Culanggi karena mereka masih tetap
harus memelihara saluran Harinjing.
- Mulai baris selanjutnya, baris 24 hingga terakhir, pada bagian belakang disebut Prasasti
Harinjing C. Prasasti ini menyebutkan bahwa hak serupa diakui pula pada 1 Suklapaksa
bulan Caitra tahun 849 Saka (7 Juni 1015 Masehi).Isi dari ketiga prasasti Harinjing
adalah tokoh dari desa Culanggi bernamakan Bhagawanta Bari yang memperoleh
anugerah tanah perdikan dari Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tulodong.Kiprah
Bagawanta Bhari ketika itu, yaitu upaya untuk menyelamatkan lingkungan dari amukan
banjir tahunan yang mengancam daerahnya tersebut.
- Prasasti Harinjing A adalah prasasti yang ditemukan paling tertua yang menyebut nama
Kediri pada Maret 804 Masehi. Saat tersebut Kediri mulai disebut-sebut sebagai sebuah
negara atau kerajaan karena merupakan daerah yang mandiri.Dalam prasasti Harinjing
juga disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan tanggul) yang
disebut dawuhan pada anak sungai Kali Konto, yakni Kali Harinjing. Kesuburan tanah
sekitar sungai Brantas disebabkan adanya endapan material vulkanik dari beberapa
gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung
Semeru.
-

Anda mungkin juga menyukai