Anda di halaman 1dari 7

BALADA MARYAM:

BUDAK DI NEGERI SENDIRI

Rafli Rahmantio Guntoro


192010101087
Prodi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran
raflirahman24@gmail.com

Pengantar
Setiap tahunnya, ribuan sarjana diwisuda sebagai tanda selesainya
aktivitas perkuliahan mereka. Namun, lonjakan penyandang gelar sarjana
tersebut ternyata juga memicu lonjakan angka pengangguran. Hal tersebut
dapat terjadi karena angka lulusan sarjana tidak sebanding dengan lapangan
kerja yang tersedia. Tak jarang, para sarjana itu menekuni pekerjaan yang
melenceng jauh dari disiplin ilmu yang ia pelajari di kampus. Bagi yang
beruntung dan mau berusaha, maka mereka akan sangat mudah mendapat
pekerjaan dengan gaji yang cukup. Namun bagi mereka yang kurang
beruntung, mencari pekerjaan adalah hal yang sangat sulit. Bagai mencari
jarum ditumpukan jerami. Pergi ke sana kemari membawa amplop coklat dan
berpakaian rapi. Banyak dari mereka memilih menyerah dan pergi ke luar
negeri untuk menjadi TKI.
Jika seorang sarjana saja kesulitan dalam mencari pekerjaan, apalagi
untuk seorang gadis bernama Maryam yang hanya lulusan SMP. Maryam
terlahir di keluarga yang serba kekurangan. Ia berstatus yatim sejak usianya
menginjak sepuluh tahun. Sekarang, ia hanya tinggal dengan ibu dan dua
adiknya. Ibunya menderita sakit paru-paru yang membuat badannya kurus dan
lemah. Di keluarganya, Maryam adalah satu-satunya orang yang merasakan
belajar di sekolah. Adik Maryam tak bisa mengikuti jejak kakaknya karena
keterbatasan ekonomi. Namun, Maryam adalah kakak yang baik. Ia mengajari
adiknya untuk membaca, menulis, dan berhitung. Ia tak mau adiknya tumbuh
dalam kebodohan. Tidak hanya itu, Maryam adalah gadis yang nasionalis. Ia
menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan (Putri dkk., 2020). Sebagai implementasi sila pertama, ia selalu
beribadah tepat waktu. Ia juga selalu berlaku adil pada adiknya sebagi
implementasi sila kedua. Maryam selalu menggunakan Bahasa Indonesia saat
berkomunikasi sebagai implementasi sila ketiga. Saat dihadapkan pada
pilihan, Maryam selalu mengajak ibu dan adiknya untuk berunding sebagai
wujud pengimplementasian sila keempat. Contohnya, saat ia akan lulus dari
bangku SMP. Ia mengajak keluarganya untuk bermusyawarah untuk
mengambil langkah terbaik. Akhirnya, ia memilih untuk tidak melanjutkan ke

1
bangku SMA karena kondisi ekonomi yang semakin memburuk. Sebagai
implementasi sila kelima, Maryam tak ragu untuk berbagi rezeki dengan
orang sekitarnya yang lebih membutuhkan. Oleh karenanya, Maryam dinilai
sebagai gadis yang pekerja keras nan baik hati.
Terlahir di negeri yang berideologikan Pancasila adalah suatu
kebanggan tersendiri bagi Maryam. Semua perbedaan dapat disatukan dengan
lima sila yang sakral. Namun, semua berubah menjadi rasa miris ketika ia
melihat tingkah laku segelintir orang di Ibu kota. Ideologi yang harusnya
mereka pegang teguh sebagai pedoman hidup, malah diabaikan begitu saja.
Kerusakan moral, ketidak adilan, bahkan penindasan menjadi bayangan
paling menakutkan bagi Maryam. Meski banyak cobaan hidup yang dihadapi,
Maryam masih berpegang teguh pada Pancasila sebagai wujud rasa cintanya
pada NKRI (Dewantara, 2018).

Mengais Rupiah di Antara Tumpukan Sampah


Setelah dinyatakan lulus dari bangku SMP, Maryam memilih untuk
berunding dengan ibu dan adik-adiknya. Dalam hal ini, Maryam telah
mengimplementasikan sila keempat. Ia memilih musyawarah untuk mencari
jalan keluar bagi permasalahannya. Di lubuk hatinya yang terdalam, terbersit
keinginan untuk melanjutkan sekolah. Namun sayang, ekonomi keluarganya
sedang berada di titik terendah. Maryam pun memilih untuk berhenti sekolah
dan membantu ibunya memulung sampah. Tak jarang, Maryam harus
memulung sendirian karena kondisi ibunya yang tidak menentu. Ibunya
mengidap penyakit paru kronis. Semakin hari keadaannya semakin parah. Itu
terjadi karena mereka tak mampu menebus obat yang harganya setara dengan
setengah kwintal beras.
Maryam biasa pergi memulung selepas salat subuh. Sebagai anak yang
berbakti, ia selalu merebus singkong untuk ibu dan adik-adiknya sebelum
meninggalkan rumah. Hanya ini yang mereka punya. Tanaman singkong di
belakang rumah yang cukup untuk mengganjal perut. Jika singkong atau
berasnya habis, maka Maryam dan keluarganya hanya meminum air putih
untuk meredakan rasa lapar. Hasil dari memulung hanya cukup untuk
membeli sedikit beras dan beberapa obat untuk ibunya. Kondisi hidup yang
serba pas-pasan tidak lantas membuat semangat Maryam padam. Ia malah
semakin rajin mengais sampah yang laku dijual.
Beberapa kali, Maryam ditawari untuk bekerja di rumah karaoke dekat
terminal. Gajinya sangat besar. Bahkan dalam sebulan bisa menyamai gaji
para pegawai kantoran. Namun, ia menolak dengan tegas. Ia bukanlah gadis
yang bodoh. Ia mengerti betul manusia macam apa yang berdiam di tempat
itu. Botol-botol miras berjajar di balik tirai tipis yang menutup jendelanya.
Suara-suara tawa lepas dan musik kencang menyeruak dari lubang-lubang
udara. Hal-hal seperti itu sudah cukup membuat Maryam enggan untuk
menginjakkan kaki di sana, apalagi untuk bekerja.

2
Maryam pernah melamar pekerjaan di sebuah warung makan, tetapi ia
ditolak karena masih terlalu kecil. Begitu pula dengan beberapa kafe di
pinggir jalan besar. Mereka takut dihukum karena mempekerjakan anak
dibawah umur. Usaha itu ia lakukan untuk mencari penghasilan tambahan.
Namun sayang, tak ada satu pun kafe atau warung yang mau
mempekerjakannya. Hingga pada suatu hari, ia melihat seorang pembantu
yang sedang mengasuh anak majikannya. Maryam pun memberanikan diri
untuk bertanya pada pembantu itu. Ia ingin bertanya apakah rumah itu masih
membutuhkan seorang asisten rumah tangga. Jika ya, maka Maryam akan
segera mendaftar. Namun lagi-lagi, keberuntungan bukan berada di pihaknya.
Rumah itu sudah tidak menerima lowongan bagi asisten rumah tangga.
Mendengar informasi itu, Maryam lantas segera berpamitan untuk pulang.
Tak terlalu jauh ia berjalan, pembantu itu memanggil Maryam untuk kembali.
Pembantu itu memberikan secarik kertas yang berisikan alamat. Ia bilang, itu
adalah alamat seseorang yang telah menawarinya pekerjaan ini. Maryam
lantas segera pergi menuju alamat itu. Berharap ia akan mendapat pekerjaan
yang lebih layak.
Sesampainya di alamat itu, Maryam tertegun saat melihat rumah besar
dengan arsitektur minimalis. Tanpa pikir panjang, ia lantas mengetuk pintu
dan mengucapkan salam. Seorang lelaki berbadan tambun membukakan pintu
untuk Maryam. Maryam lantas mengutarakan keinginannya untuk bekerja
sebagai pembantu. Lelaki itu pun menanyai Maryam perihal identitas dan
beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai pembantu. Setelah
menimbang-nimbang, akhirnya lelaki itu mengiyakan kemauan Maryam
untuk bekerja sebagai pembantu. Namun, Maryam bukan bekerja untuknya
melainkan untuk rekannya. Ya, lelaki itu adalah seorang agen penyalur
pembantu rumah tangga.

Mengadu Nasib di Ibu Kota


Maryam pergi ke Jakarta seorang diri. Ia bertanya sana-sini untuk
menemukan rumah tuannya. Akhirnya, pencariannya berlabuh pada sebuah
rumah besar dengan pagar tinggi. Rumah itu terlihat sangat megah dibanding
gubuk reotnya di kampung. Matanya mulai mencocokkan nomor rumah itu
dengan secarik kertas dalam genggamannya. Setelah dirasa benar, ia menekan
tombol bertuliskan bel. Tak lama menunggu seorang perempuan berbadan
kurus dan berbaju lusuh membukakan pintu untuknya. Di pintu sudah berdiri
seorang lelaki dan perempuan berwajah bule. Mereka melempar senyum
ketika Maryam mulai memasuki rumah mereka. Ternyata, mereka adalah
pasangan suami istri. Mereka adalah warga negara asing yang pindah ke
Indonesia. Mereka terlihat sangat baik dan ramah. Mereka pun menjelaskan
aturan dan tugas yang harus dikerjakan soleh setiap PRT.
Di rumah itu, Maryam tidak sendirian. Perempuan kurus berbaju lusuh
yang membukakan gerbang untuknya waktu itu juga PRT di rumah ini.

3
Perempuan kurus itu bernama Inah. Ia pendiam dan terkesan tertutup. Sudah
beberapa hari Maryam bekerja bersamanya, tapi Inah jarang sekali membuka
pembicaraan. Maryam pernah melihat lengan Inah penuh lebam. Namun saat
ditanya, Inah malah meninggalkan Maryam tanpa mengucap sepatah kata pun.
Perasaan Maryam mulai tidak nyaman ketika ia memergoki tuannya
tengah memukul Inah dengan gagang sapu. Maryam yang melihat kejadian itu
tidak tinggal diam. Ia lantas menegur tuannya yang telah bersikap kasar pada
Inah. Bahkan, Maryam mengancam akan melaporkan tuannya pada pihak
berwajib. Keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran merupakan
impementasi dari sila kedua, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Saat ditanya, Inah mengaku bahwa ia dipukul karena masih ada kotoran yang
tersisa saat ia menyapu. Mulai dari situlah Maryam tahu bahwa tuannya
adalah orang yang kasar.
Hari demi hari, Maryam makin tak betah berada di rumah itu. Namun,
jika ia berhenti sebelum tanggal yang tertera di perjanjian, maka ia akan
dikenai denda sebesar Rp.50.000.000. Hal itulah yang menyurutkan niat
Maryam untuk berhenti bekerja. Meski demikian, Maryam masih bersyukur
tuannya mau menggaji dengan jumlah yang cukup besar. Ia bahkan selau
bertanggung jawab atas tugas-tugasnya. Sikap tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas yang dipegang teguh oleh Maryam merupakan cerminan
dari sila kelima, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
(Rachmah, 2013). Maryam juga biasa mengirimkan setengah gajinya untuk
biaya berobat Ibunya di kampung. Namun, ia tetap saja mengalami kesulitan
saat mengirim uang. Ia harus meminta tolong pada satpam komplek yang
berkeliling tiap pagi untuk mengirim uang. Hal itu terpaksa ia lakukan karena
majikannya melarang Maryam dan Inah untuk keluar rumah. Untungnya,
satpam komplek itu sangat amanah. Meski ia merasa tersiksa saat ini,
Maryam teteplah gadis yang pandai bersyukur. Ia sering menyisihkan sedikit
gajinya untuk diberikan pada kakek penjual pisang yang biasa lewat depan
rumah. Selain pandai bersyukur, ia tak pernah meninggalkan ibadahnya.
Sesibuk apapun, ia selalu berusaha untuk mengerjakan salat tepat pada
waktunya. Dalam hal ini, Maryam sudah mengimplementasikan sila pertama
yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, satu hal yang membuat Maryam
heran. Inah tak pernah ikut salat bersamanya. Inah hanya menunggu Maryam
di pintu kamar. Ternyata, Inah adalah seorang Nasrani. Selama kerja di sini, ia
tak pernah ke gereja karena majikan tak mengizinkannya. Jika Maryam
sedang salat, maka Inah-lah yang mengerjakan pekerjaan Maryam. Sikap Inah
ini merupakan implementasi dari sila ketiga, yakni “Persatuan Indonesia”.
Sudah enam bulan Maryam bekerja di sini. Semakin hari, kelakuan
majikannya semakin tidak manusiawi. Majikannya sering tidak memberi
mereka makan. Bahkan gaji mereka pun tidak dibayar penuh. Bahkan untuk
bulan ini, mereka hanya menerima sepertiganya saja. Mereka juga semakin

4
sering disiksa. Kini, badan Maryam juga dipenuhi luka lebam. Badannya juga
semakin kurus dan terlihat sangat lelah.

Ketika Nyawa Tak Lagi Berharga


Semalam, majikannya menyiksa Inah di kamar mandi. Maryam yang
mencoba membela juga terkena imbasnya. Majikannya menampar Maryam
hingga tak sadarkan diri dengan luka di pangkal bibirnya. Sedari tadi,
Maryam membersihkan rumah sendirian. Kamar Inah masih tertutup rapat.
Segelas air putih yang Maryam letakkan di depan pintu juga tak berkurang
sedikitpun. Melihat hal itu, muncul pikiran-pikiran buruk di benak Maryam.
Tanpa pikir panjang, ia lantas mencari kunci cadangan dan segera membuka
pintu kamar Inah.
Benar saja, Maryam melihat Inah masih tidur di ranjang. Ia menggigil
dengan wajah pucat pasi dan bibir yang mulai membiru. Maryam segera
memberikan segelas air pada Inah. Hanya itu yang mereka punya. Di kulkas,
tak ada satupun makanan yang tersisa. Majikan mereka lebih memilih untuk
membuang sisa makanan daripada harus memberikan pada pembantu-
pembantunya. Melihat keadaan Inah yang semakin memburuk, Maryam
menjadi semakin panik. Beberapa gelas air hangat tak bisa membuat badan
Inah berhenti menggigil. Maryam mulai muak dengan semua ini. Ia
memutuskan untuk pergi ke dapur. Namun sama saja, tak ada sebutir nasi pun
yang tersisa. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang tertutup
rapat. Netranya menangkap sebuah linggis di samping kulkas. Maryam lantas
mengambilnya dan berniat untuk merusak pintu dengan benda itu. Tak ada
lagi yang bisa ia lakukan selain meminta pertolongan orang lain.
Beberapa kali Maryam mencongkel pintu besar itu dengan linggis, tapi
hasilnya nihil. Pintu kayu yang kuat itu masih tak bisa dirusak. Namun,
Maryam tak menyerah. Ia tetap berusaha hingga pintu itu terbuka. Nahasnya,
tepat saat Maryam membuka pintu, majikannya datang dengan wajah
kebingungan. Ia melihat pintu rumahnya sudah rusak karena ulah Maryam.
Melihat kejadian itu, majikannya langsung menyeret Maryam. Sambil diseret,
tubuh Maryam juga dipukul beberapa kali dengan linggis. Maryam menangis
dan mengaduh. Namun percuma, tak satupun orang yang bisa membantunya.
Di gudang, Maryam diikat pada kursi kayu. Pertanyaan demi
pertanyaan dari mulut majikannya diselingi dengan tamparan. Ia berkali-kali
pingsan, tapi kembali bangun karena disiram air oleh majikannya. Jelas,
perlakuan majikan Maryam ini sudah menyimpang dari sila kedua, yaitu
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Berkali-kali Maryam memohon
ampun agar tak lagi disiksa. Namun, majikannya terus menyiksanya. Hingga
majikannya memukul kepala Maryam dengan linggis. Darah segar mulai
keluar dari hidungnya. Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai hilang. Kedua
majikannya itu mulai panik. Denyut nadi Maryam mulai melemah. Sepasang
suami istri itu terlalu fokus pada Maryam hingga lupa pada Inah. Pintu yang

5
tak dikunci membuat Inah keluar dengan mudah. Saat itu, Inah sudah berada
di pintu gerbang. Inah berlarian kesana kemari dengan tubuh yang masih
lemah. Beberapa kali Inah jatuh karena tak kuat menahan pusing yang
menyerang kepalanya. Tujuannya hanya satu, pos satpam di ujung jalan. Inah
mencoba bangkit dengan air mata yang masih menganak sungai. Ia tak tahu
apa yang terjadi pada Maryam. Bukannya ia tega meninggalkan Maryam yang
sedang disiksa, tetapi ia harus segera meminta pertolongan agar majikannya
dihukum atas perbuatannya.
Seorang satpam tiba-tiba keluar dari posnya. Ia adalah satpam yang
biasa dimintai tolong oleh Maryam untuk mengirim uang. Satpam itu melihat
Inah yang berjalan dengan terseok-seok. Satpam itu dan seorang temannya
lantas membantu Inah. Lalu, Inah menceritakan semuanya pada satpam itu.
Tanpa pikir panjang, mereka langsung menelepon polisi. Saat polisi tiba,
mereka langsung menggerebek rumah majikan Maryam dan Inah. Betapa
terkejutnya mereka ketika suami-istri itu tengah menggantung mayat Maryam
di kamar. Mungkin, mereka berniat untuk menghilangkan jejak. Namun,
polisi datang di waktu yang tepat. Akhirnya, kedua majikan itu dibawa dan
akan segera diadili.

Penutup
Kesimpulan dari cerita di atas adalah Maryam yang hidup dalam
kekurangan harus berjuang untuk bertahan hidup. Meski ia merupakan siswa
yang pandai, tapi ia memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya.
Awalnya, ia mengais rezeki dengan menjadi pemulung. Ia berangkat selepas
salat subuh dan pulang saat hari mulai gelap. Kebutuhan hidup yang semakin
banyak membuatnya berkeinginan untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.
Akhirnya, ia mendaftarkan diri ke agen penyalur pembantu rumah tangga. Ia
pun diterima menjadi pembantu di salah satu perumahan elit di Ibu kota.
Bayangan tentang kehidupan yang lebih baik perlahan sirna. Bukannya
mendapat kebahagiaan, Maryam malah disiksa oleh majikannya. Bahkan,
majikannya tega menghabisi nyawanya. Maryam dikenal sebagai gadis yang
baik dan selalu menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya. Semua
itu ia lakukan sebagai wujud kecintaannya pada NKRI. Namun nahas,
keteguhannya dalam mengimplementasikan Pancasila malah dibalas dengan
pelanggaran HAM oleh majikannya.
Saran yang bisa penulis sampaikan adalah seberat apapun cobaan
dalam hidup, hendaknya selalu bersyukur dan semangat dalam menjalaninya.
Selain itu, sebagai warga negara Indonesia yang baik hendaknya selalu
memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pancasila menjadi alat untuk mempersatukan
perbedaan yang ada. Karenanya, hidup menjadi lebih tentram dan tenang
dalam balutan persatuan.

6
Senarai Pustaka

Dewantara, A. 2018. Pancasila Sebagai Pondasi Pendidikan Agama Di


Indonesia. V(1):640–653

Putri, A. L., F. Dwika, F. Charista, S. Lestari, A. Trisiana, U. Slamet, R.


Surakarta, dan S. D. Manusia. 2020. Implementasi Pancasila dalam
Pembangunan Dibidang Pendidikan. 7(1):12–21

Rachmah, H. 2013. Nilai-Nilai Dalam Pendidikan Karakter Bangsa Yang


Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945. E-Jurnal Widya Non-
Eksakta. Volume. 1. Nomor. 1 Tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai