Pengantar
Setiap tahunnya, ribuan sarjana diwisuda sebagai tanda selesainya
aktivitas perkuliahan mereka. Namun, lonjakan penyandang gelar sarjana
tersebut ternyata juga memicu lonjakan angka pengangguran. Hal tersebut
dapat terjadi karena angka lulusan sarjana tidak sebanding dengan lapangan
kerja yang tersedia. Tak jarang, para sarjana itu menekuni pekerjaan yang
melenceng jauh dari disiplin ilmu yang ia pelajari di kampus. Bagi yang
beruntung dan mau berusaha, maka mereka akan sangat mudah mendapat
pekerjaan dengan gaji yang cukup. Namun bagi mereka yang kurang
beruntung, mencari pekerjaan adalah hal yang sangat sulit. Bagai mencari
jarum ditumpukan jerami. Pergi ke sana kemari membawa amplop coklat dan
berpakaian rapi. Banyak dari mereka memilih menyerah dan pergi ke luar
negeri untuk menjadi TKI.
Jika seorang sarjana saja kesulitan dalam mencari pekerjaan, apalagi
untuk seorang gadis bernama Maryam yang hanya lulusan SMP. Maryam
terlahir di keluarga yang serba kekurangan. Ia berstatus yatim sejak usianya
menginjak sepuluh tahun. Sekarang, ia hanya tinggal dengan ibu dan dua
adiknya. Ibunya menderita sakit paru-paru yang membuat badannya kurus dan
lemah. Di keluarganya, Maryam adalah satu-satunya orang yang merasakan
belajar di sekolah. Adik Maryam tak bisa mengikuti jejak kakaknya karena
keterbatasan ekonomi. Namun, Maryam adalah kakak yang baik. Ia mengajari
adiknya untuk membaca, menulis, dan berhitung. Ia tak mau adiknya tumbuh
dalam kebodohan. Tidak hanya itu, Maryam adalah gadis yang nasionalis. Ia
menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan (Putri dkk., 2020). Sebagai implementasi sila pertama, ia selalu
beribadah tepat waktu. Ia juga selalu berlaku adil pada adiknya sebagi
implementasi sila kedua. Maryam selalu menggunakan Bahasa Indonesia saat
berkomunikasi sebagai implementasi sila ketiga. Saat dihadapkan pada
pilihan, Maryam selalu mengajak ibu dan adiknya untuk berunding sebagai
wujud pengimplementasian sila keempat. Contohnya, saat ia akan lulus dari
bangku SMP. Ia mengajak keluarganya untuk bermusyawarah untuk
mengambil langkah terbaik. Akhirnya, ia memilih untuk tidak melanjutkan ke
1
bangku SMA karena kondisi ekonomi yang semakin memburuk. Sebagai
implementasi sila kelima, Maryam tak ragu untuk berbagi rezeki dengan
orang sekitarnya yang lebih membutuhkan. Oleh karenanya, Maryam dinilai
sebagai gadis yang pekerja keras nan baik hati.
Terlahir di negeri yang berideologikan Pancasila adalah suatu
kebanggan tersendiri bagi Maryam. Semua perbedaan dapat disatukan dengan
lima sila yang sakral. Namun, semua berubah menjadi rasa miris ketika ia
melihat tingkah laku segelintir orang di Ibu kota. Ideologi yang harusnya
mereka pegang teguh sebagai pedoman hidup, malah diabaikan begitu saja.
Kerusakan moral, ketidak adilan, bahkan penindasan menjadi bayangan
paling menakutkan bagi Maryam. Meski banyak cobaan hidup yang dihadapi,
Maryam masih berpegang teguh pada Pancasila sebagai wujud rasa cintanya
pada NKRI (Dewantara, 2018).
2
Maryam pernah melamar pekerjaan di sebuah warung makan, tetapi ia
ditolak karena masih terlalu kecil. Begitu pula dengan beberapa kafe di
pinggir jalan besar. Mereka takut dihukum karena mempekerjakan anak
dibawah umur. Usaha itu ia lakukan untuk mencari penghasilan tambahan.
Namun sayang, tak ada satu pun kafe atau warung yang mau
mempekerjakannya. Hingga pada suatu hari, ia melihat seorang pembantu
yang sedang mengasuh anak majikannya. Maryam pun memberanikan diri
untuk bertanya pada pembantu itu. Ia ingin bertanya apakah rumah itu masih
membutuhkan seorang asisten rumah tangga. Jika ya, maka Maryam akan
segera mendaftar. Namun lagi-lagi, keberuntungan bukan berada di pihaknya.
Rumah itu sudah tidak menerima lowongan bagi asisten rumah tangga.
Mendengar informasi itu, Maryam lantas segera berpamitan untuk pulang.
Tak terlalu jauh ia berjalan, pembantu itu memanggil Maryam untuk kembali.
Pembantu itu memberikan secarik kertas yang berisikan alamat. Ia bilang, itu
adalah alamat seseorang yang telah menawarinya pekerjaan ini. Maryam
lantas segera pergi menuju alamat itu. Berharap ia akan mendapat pekerjaan
yang lebih layak.
Sesampainya di alamat itu, Maryam tertegun saat melihat rumah besar
dengan arsitektur minimalis. Tanpa pikir panjang, ia lantas mengetuk pintu
dan mengucapkan salam. Seorang lelaki berbadan tambun membukakan pintu
untuk Maryam. Maryam lantas mengutarakan keinginannya untuk bekerja
sebagai pembantu. Lelaki itu pun menanyai Maryam perihal identitas dan
beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai pembantu. Setelah
menimbang-nimbang, akhirnya lelaki itu mengiyakan kemauan Maryam
untuk bekerja sebagai pembantu. Namun, Maryam bukan bekerja untuknya
melainkan untuk rekannya. Ya, lelaki itu adalah seorang agen penyalur
pembantu rumah tangga.
3
Perempuan kurus itu bernama Inah. Ia pendiam dan terkesan tertutup. Sudah
beberapa hari Maryam bekerja bersamanya, tapi Inah jarang sekali membuka
pembicaraan. Maryam pernah melihat lengan Inah penuh lebam. Namun saat
ditanya, Inah malah meninggalkan Maryam tanpa mengucap sepatah kata pun.
Perasaan Maryam mulai tidak nyaman ketika ia memergoki tuannya
tengah memukul Inah dengan gagang sapu. Maryam yang melihat kejadian itu
tidak tinggal diam. Ia lantas menegur tuannya yang telah bersikap kasar pada
Inah. Bahkan, Maryam mengancam akan melaporkan tuannya pada pihak
berwajib. Keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran merupakan
impementasi dari sila kedua, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Saat ditanya, Inah mengaku bahwa ia dipukul karena masih ada kotoran yang
tersisa saat ia menyapu. Mulai dari situlah Maryam tahu bahwa tuannya
adalah orang yang kasar.
Hari demi hari, Maryam makin tak betah berada di rumah itu. Namun,
jika ia berhenti sebelum tanggal yang tertera di perjanjian, maka ia akan
dikenai denda sebesar Rp.50.000.000. Hal itulah yang menyurutkan niat
Maryam untuk berhenti bekerja. Meski demikian, Maryam masih bersyukur
tuannya mau menggaji dengan jumlah yang cukup besar. Ia bahkan selau
bertanggung jawab atas tugas-tugasnya. Sikap tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas yang dipegang teguh oleh Maryam merupakan cerminan
dari sila kelima, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
(Rachmah, 2013). Maryam juga biasa mengirimkan setengah gajinya untuk
biaya berobat Ibunya di kampung. Namun, ia tetap saja mengalami kesulitan
saat mengirim uang. Ia harus meminta tolong pada satpam komplek yang
berkeliling tiap pagi untuk mengirim uang. Hal itu terpaksa ia lakukan karena
majikannya melarang Maryam dan Inah untuk keluar rumah. Untungnya,
satpam komplek itu sangat amanah. Meski ia merasa tersiksa saat ini,
Maryam teteplah gadis yang pandai bersyukur. Ia sering menyisihkan sedikit
gajinya untuk diberikan pada kakek penjual pisang yang biasa lewat depan
rumah. Selain pandai bersyukur, ia tak pernah meninggalkan ibadahnya.
Sesibuk apapun, ia selalu berusaha untuk mengerjakan salat tepat pada
waktunya. Dalam hal ini, Maryam sudah mengimplementasikan sila pertama
yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, satu hal yang membuat Maryam
heran. Inah tak pernah ikut salat bersamanya. Inah hanya menunggu Maryam
di pintu kamar. Ternyata, Inah adalah seorang Nasrani. Selama kerja di sini, ia
tak pernah ke gereja karena majikan tak mengizinkannya. Jika Maryam
sedang salat, maka Inah-lah yang mengerjakan pekerjaan Maryam. Sikap Inah
ini merupakan implementasi dari sila ketiga, yakni “Persatuan Indonesia”.
Sudah enam bulan Maryam bekerja di sini. Semakin hari, kelakuan
majikannya semakin tidak manusiawi. Majikannya sering tidak memberi
mereka makan. Bahkan gaji mereka pun tidak dibayar penuh. Bahkan untuk
bulan ini, mereka hanya menerima sepertiganya saja. Mereka juga semakin
4
sering disiksa. Kini, badan Maryam juga dipenuhi luka lebam. Badannya juga
semakin kurus dan terlihat sangat lelah.
5
tak dikunci membuat Inah keluar dengan mudah. Saat itu, Inah sudah berada
di pintu gerbang. Inah berlarian kesana kemari dengan tubuh yang masih
lemah. Beberapa kali Inah jatuh karena tak kuat menahan pusing yang
menyerang kepalanya. Tujuannya hanya satu, pos satpam di ujung jalan. Inah
mencoba bangkit dengan air mata yang masih menganak sungai. Ia tak tahu
apa yang terjadi pada Maryam. Bukannya ia tega meninggalkan Maryam yang
sedang disiksa, tetapi ia harus segera meminta pertolongan agar majikannya
dihukum atas perbuatannya.
Seorang satpam tiba-tiba keluar dari posnya. Ia adalah satpam yang
biasa dimintai tolong oleh Maryam untuk mengirim uang. Satpam itu melihat
Inah yang berjalan dengan terseok-seok. Satpam itu dan seorang temannya
lantas membantu Inah. Lalu, Inah menceritakan semuanya pada satpam itu.
Tanpa pikir panjang, mereka langsung menelepon polisi. Saat polisi tiba,
mereka langsung menggerebek rumah majikan Maryam dan Inah. Betapa
terkejutnya mereka ketika suami-istri itu tengah menggantung mayat Maryam
di kamar. Mungkin, mereka berniat untuk menghilangkan jejak. Namun,
polisi datang di waktu yang tepat. Akhirnya, kedua majikan itu dibawa dan
akan segera diadili.
Penutup
Kesimpulan dari cerita di atas adalah Maryam yang hidup dalam
kekurangan harus berjuang untuk bertahan hidup. Meski ia merupakan siswa
yang pandai, tapi ia memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya.
Awalnya, ia mengais rezeki dengan menjadi pemulung. Ia berangkat selepas
salat subuh dan pulang saat hari mulai gelap. Kebutuhan hidup yang semakin
banyak membuatnya berkeinginan untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.
Akhirnya, ia mendaftarkan diri ke agen penyalur pembantu rumah tangga. Ia
pun diterima menjadi pembantu di salah satu perumahan elit di Ibu kota.
Bayangan tentang kehidupan yang lebih baik perlahan sirna. Bukannya
mendapat kebahagiaan, Maryam malah disiksa oleh majikannya. Bahkan,
majikannya tega menghabisi nyawanya. Maryam dikenal sebagai gadis yang
baik dan selalu menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya. Semua
itu ia lakukan sebagai wujud kecintaannya pada NKRI. Namun nahas,
keteguhannya dalam mengimplementasikan Pancasila malah dibalas dengan
pelanggaran HAM oleh majikannya.
Saran yang bisa penulis sampaikan adalah seberat apapun cobaan
dalam hidup, hendaknya selalu bersyukur dan semangat dalam menjalaninya.
Selain itu, sebagai warga negara Indonesia yang baik hendaknya selalu
memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pancasila menjadi alat untuk mempersatukan
perbedaan yang ada. Karenanya, hidup menjadi lebih tentram dan tenang
dalam balutan persatuan.
6
Senarai Pustaka