Anda di halaman 1dari 5

BANGKU KULIAH

Selama Amran di kota, Minah dan Indri tinggal di desa bersama kedua orang
tuanya. Pak Broto dan Bu Broto.

Minah adalah anak Tunggal. Hubungan cintanya dengan Amran harus melalui
liku-liku dan cobaan. Mereka adalah sahabat sejak SMA. Amran beruntung
dengan segala keterbatasan finansial masih dapat melanjutkan ke bangku
kuliah, sementara Minah tidak. Minah harus puas bekerja sebagai buruh di
perusahaan pembuat boneka.

Minah memang kurang cemerlang otaknya, namun hatinya bersih. Orangnya


jujur dan tidak neko-neko. Oh ya, satu lagi. Minah tergolong cantik dan taat
dalam menjalankan perintah agama.

Amran mulai menaruh hati sejak pertama mereka kelas satu SMA. Berasal dari
desa yang berbeda, mereka dipertemukan dalam sebuah kepanitiaan kegiatan
SMA. Sama-sama menjadi anggota seksi perijinan, kebersamaan pun terjalin.
Bukan sekedar dalam upaya menyusun dan mengurus berkas-berkas perijinan.
Namun kesibukan mengendalikan getaran rasa yang mulai malu-malu mengintip
dari balik hati mereka.

Hanya mengintip, tanpa mampu terucap. Saling mengharap tanpa pernah


berani dinyatakan. Itulah Amran dan Minah kala itu.

Baru pertama kali Amran merasakan getaran rasa yang entah bagaimana cara
menjelaskannya. Tiada berbeda dengan Minah. Ada rasa nyaman setiap harus
bersama dengan Amran.

Namun tak lebih dari itu. Amran dan Minah menyadari, bahwa getaran rasa yang
ada tidaklah lantas pantas untuk diperturutkan. Tidak menyebabkan mereka
terpelosok terbelenggu oleh nafsu asmara.

"Minah, kayaknya kita harus ngajak mas Rahman kalo sedang mengurus berkas
perijinan ini", Amran berujar pelan kepada Minah.

"Mungkin seharusnya begitu Amran. Jujur aku merasakan ada yang aneh jika
berdua bersamamu"

"Aneh gimana ya?"


"Ya gitu deh, ngerti kan yang aku maksud?"

Amran mengangguk pelan sambil tersenyum. Menyadari keberduaan yang


mereka lakoni sangat mudah disusupi sosok ketiga.

Namun, senyuman Amran justru menambah rasa itu makin nyata bagi Minah.

***

Pengumuman kelulusan SMA. Amran sebagaimana diprediksi rekan seangkatan


akan menjadi siswa dengan nilai terbaik. Juara sekolah!

Sementara Minah, nilainya hanya cukup. Cukup membuat lega karena masih
lebih tinggi sedikit dari nilai rata-rata.

Pembahasan tentang akan melanjutkan kuliah di mana menjadi topik hangat


berbagai kumpulan para pemuda tanggung yang baru menikmati kebahagiaan
lulusannya.

Tentu tidak semua. Banyak juga yang tidak perduli, karena kuliah bukan orientasi
kelanjutan perjalanan hidup mereka.

Di antaranya obrolan yang terjadi di sebuah warung bakso di seberang sekolah.


Amran, Doni, Minah, dan Rini berbincang tentang rencana mereka ke depan.

Mereka tergolong anak baik-baik yang kurang mujur. Amran yang telah ditinggal
kedua orang tuanya sejak SMP tidak berharap banyak untuk melanjutkan kuliah.
Tergantung Yanto kakaknya.

Sementara Doni dan Rini, bersepakat unt menikah muda saja dan menggarap
sawah milik orang tua mereka. Sebuah rencana yang sebenarnya juga diinginkan
Minah. Tapi ia mengerti kondisi Amran. Kondisi yang menyebabkan ia rela
memendam asa.

Memang aneh hubungan antara Amran dan Minah. Selama tiga tahun
berinteraksi tidak ada pernah terjadi pembicaraan tentang perasaan mereka.
Sebagaimana teman-temannya yang lain yang semakin mengabaikan tata
krama. Tanpa ada ikatan mereka dengan mudah berboncengan ke sana ke mari.
Entah apakah orang tua mereka melarang atau membiarkan perilaku
anak-anaknya itu.

"Gimana Amran. Kamu mau lanjut ke mana?", Minah melontar tanya.


"Sebenarnya aku sangat ingin masuk IPB. Aku sangat tertarik pada teknologi
pangan. Tapi entahlah, tahu sendiri kan. Aku saat ini hanya dapat
menggantungkan pada mas Yanto"

"Aku perhatikan mas Yanto sangat kepengen kamu serius sekolah Ran", Minah
mencoba memberi semangat.

Amran menarik nafas, lalu menghembuskan keras. Tidak lantas menjawab. Doni
dan Rini berusaha menghibur dan turut memberi ssmangat pada Amran.

"Serahkan semua ke Yang Di Atas, Ran. Kalo kamu emang nasibnya bagus, pasti
kuliah lagi lah. Kan kuliah juga nggak harus pake biaya sendiri kan. Lewat PMDK
juga bisa kan?" ujar Doni.

"Nggak bisa Don, sudah terlambat. Satu-satunya cara ya lewat UMPTN dan
berusaha mendapatkan beasiswa", jawab Amran.

"Ya udah semangat dong Ran. Kamu itu cerdas. Masa depanmu cerah. Beda ama
kami. Nggak begitu pintar. Nikah aja lah". Rini ikut menyemangati.

Jawaban Rini sontak membuat Amran mengalihkan pandangan ke Minah. Dan


yang dipandang bereaksi dengan hanya dapat menunduk. Minah hanya
membayangkan bagaimana Amran berani melamarnya. Namun buru-buru ia
mengubur bayangan tersebut. Takut keterusan.

***

Pak Broto bukan tidak tahu bahwa buah hatinya memiliki perhatian kepada
Amran. Sebenarnya pak Broto memiliki respek kepada Amran. Anaknya baik,
pintar, cerdas, berprestasi, dan sopan. Tapi sayang dari keluarga yang
kekurangan. Belum lagi ia pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan
dengan Yanto, kakak Amran.

Minah tahu diri. Ia mengerti Bapaknya kurang setuju ia menjalin hubungan lebih
serius dengan Amran. Minah memasrahkan pada Tuhannya. Jika memang
berjodoh, pasti akan ada jalan yang mempertemukannya.

Namun harapan itu seakan sirna. Kala pak Broto menerima lamaran Hendra,
pemuda desa seberang anak pengusaha kelontong. Minah hanya pasrah, diam
tak menjawab. Diam artinya mau. Begitulah.
Prosesi lamaran pun terselenggara. Meriah namun tetap sederhana. Tampak
tamu dan tuan rumah kompak menampakkan wajah ceria. Kecuali Minah.

Minah tidak banyak berbicara. Berdiam di kamar yang pintunya terbuka,


terhubung langsung ke ruang tengah tempat berlangsungnya acara. Dalam
diam, ia mengikuti rangkaian acara demi acara. Hatinya sendu. Hasratnya
menjadi pendamping hidup Amran nampak sirna. Ia harus rela menyandang
gelar calon istri Hendra.

Nun jauh di desa yang lainnya. Sebuah cangkir kopi yang menyisakan isinya
tinggal setengah. Setia menemani sosok pemuda tanggung yang sedang duduk
di lantai bersandarkan tiang rumah. Tatapannya menerawang entah ke mana.
Hatinya seakan menyuarakan nada yang sama. Mengiringi diamnya tambatan
hati yang sedang sepi di tengah keramaian hajatan lamarannya.

Tidak dapat melanjutkan kuliah sudah membuatnya serasa hampa, ditambah lah
pula dengan separuh napasnya yang akan direnggut oleh pemuda lain. Sudah
jatuh tertimpa tangga.

***

Adzan subuh menyelinap di gelapnya malam. Menyusup masuk ke telinga insan


yang sebagian besar masih tenggelam dalam lelap tidurnya. Untungnya Amran
mampu terjaga dari tidurnya. Bangkit menuju ke surau yang ada di rumah Haji
Wahid.

Sudah seminggu sejak hajatan lamaran Minah. Tidak ada kabar lagi yang sampai
ke telinganya. Apa kabar Minah, apa yang terjadi di sana.

"Assalaamualaikum warohmatullah …"

"Assalaamualaikum warohmatullah …"

Imam sholat mengakhiri jamaah sholat subuh. Amran pun mengikuti salam
dengan setengah kaget. Aduh, kok tiba-tiba sudah salam. Demikian batinnya
menyesali lamunan di tengah sholatnya. Beristighfar dalam rangkaian wirid dan
doa bada sholat. Setelah itu bergegas ia pulang ke rumah.

Di depan rumah sudah menunggu Yanto dengan dua cangkir kopi yang masih
nampak panas. Yanto sangat menyayangi adiknya. Dia tidak berhasil lulus SMA.
Kelas dua sudah harus berhenti. Kematian orang tua mereka dalam sebuah
perjalanan ke kota menyebabkan Yanto harus bekerja. Demi memenuhi
kebutuhan hidupnya, dan tentu saja kebutuhan sekolah adiknya.

"Duduk sini, Ran"

"Iya mas"

Amran segera beranjak duduk di samping kakaknya. Kopi dari cangkir yang
belum diminum segera diambilnya. Dihirup sejenak aroma yang dikeluarkan
untuk selanjutnya diseruput pelan-pelan.

"Ran, kamu harus terus sekolah. Mas yang akan berjuang memikirkan biayanya.
Kamu harus jadi orang. Kamu harapan Mas satu-satunya. Jangan sampai hanya
tuntas SMA"

"Tapi Mas, biaya hid…"

"Sudah". Yanto memotong ucapan Amran. "Kamu nggak usah mikir


macam-macam. Fokus-mu itu satu. Siapin segala hal untuk UMPTN-mu. Jangan
sampai gagal".

"Baik Mas", jawab Amran singkat.

Amran tahu betul kakaknya sangat keras kepala. Kalau sudah kemauannya, maka
jangan harap bisa menang. Namun ada rasa gembira di hatinya. Wajahnya
nampak berseri. Membayangkan akan segera kuliah di kampus yang
diinginkannya. IPB.

Tak seberapa lama, Yanto berdiri. Sambil mewanti-wanti kembali adiknya untuk
Fokus. Tinggallah Amran sendiri ditemani cangkir kopi yang masih dipegangnya.
Belum habis isinya. Masih dapat menemani Amran melanglang buana ke alam
pikiran yang tiada ujungnya.

Tiba-tiba terlintas wajah Minah. Gadis ayu desa sebelah. Yang sedang menunggu
waktu. Untuk secara resmi segera menjadi Nyonya Hendra.

Anda mungkin juga menyukai