Identitas buku
1. Judul buku : Azab dan Sengsara
Sinopsis
Karena pergaulan mereka sejak kecil dan hubungan saudara sepupu, antara
Mariamin dan Aminuddin terjadilah jalinan cinta. Ibu Mariamin, Nuria menyetujui
hubungan itu karena Aminuddin adalah seorang anak yang baik budinya lagipula ia
ingin putrinya dapat hidup berbahagia tidak selalu menderita oleh kemiskinan
mereka.
Ayahnya bernama Baginda Diatas dan sifatnya menurun pada anaknya. Sedangkan
keluarga Mariamin adalah keluarga miskin disebabkan oleh tingkah laku ayahnya
almarhum yang suka berjudi, pemarah, mau menang sendiri,dan suka berbicara
kasar. Akibatnya keluarganya jauh miskin hingga akhir hayatnya, Tohir ( Sultan
Baringin ) mengalami nasib sengsara.
Hubungan mereka ternyata tidak mendapat restu dari Baginda Diatas karena
keluarga Mariamim adalah keluarga miskin bukan dari golongan bangsawan. Suatu
ketika Aminuddin memutuskan untuk pergi meninggalkan Sipirok pergi ke Deli
(Medan) untuk bekerja dan berjanji pada kekasihnya untuk menikah jika saatnya
dia telah mampu menghidupinya.
Beberapa bulan kemudian Mariamin dinikahkan oleh seorang kerani yang belum
dikenalnya,bernama Kasibun. Yang ternyata Tanpa sepengetahuan Aminuddin,
Baginda Diatas membawa calon menantunya hendak dijodohkan dengan
Aminuddin di Medan. Ternyata Aminuddin kecewa mendapat bukan pilihannya,
akan tetapi ia tidak dapat menolak keinginan ayahnya serta adat istiadat yang kuat.
Kemudian diberitahukan Mariamin bahwa pernikahannya tidak berdasarkan cinta
dan ia minta maaf serta bersabar menerima cobaan ini.
Mariamin jatuh sakit karena cintanya yang terhalang. Suatu hari Baginda Diatas
datang hendak minta diketahui ia baru menceraikan istrinya di Medan untuk
mengawini Mariamin. Suatu ketika Aminuddin mengunjungi Mariamin di
rumahnya, namun menimbulkan kecurigaan dan rasa cemburu dalam diri Kasibun.
Kemudian Kasibun menyiksa Mariamin dan merasa tidak tahan hidup bersama
suaminya,ia kemudian melapor pada polisi dan suaminya kalah perkara dengan
membayar denda. Kasibun harus mengaku bersalah dan merelakan bercerai
darinya. Mariamin merasa bersedih dan ia pulang ke Sipirok rumah ibunya.
Badannya kurus dan sakit-sakitan, hingga akhirnya meninggal dunia dengan amat
sengsara.
a.Tema
c. Latar
Waktu : Senja, malam hari, pagi hari, siang hari, dalam perjalanan pulang dari
sawah, hari Jum’at
Tempat : Di atas batu besar di sebelah rusuk rumah dekat sungai sipirok, di
dalam rumah Mariamin, rumah Aminu’ddin di kampung A, di sawah, di pondok,
di jalan, di stasiun, di rumah kerabat Aminu’ddin di Medan, di perahu, di rumah
Kasibun di Medan, dikantor polisi, dan tempat peristirahatan terakhir Mariamin
selama-lamanya (di kuburan).
d. Amanat
Janganlah menjadi orang yang serakah
Adat dan kebiasaan yang kurang baik sebaiknya di hilangkan agar tidak
menyengsarakan bagi orang yang menjalankannya.
e. Alur Campuran
f. Sudut Pandang
g. Gaya Penulisan
Gaya Penulisan dalam Novel Azab dan Sengsara mempergunakan bahasa melayu
dan juga banyak sekali mempergunakan majas khususnya majas metafora dan
personifikasi yang memberikan kesan lebih indah didalam melukiskan suasana
dalam novel tersebut.
Unsur Ekstrinsik
1.Latar belakang pengarang
Merari Siregar (1896-1940), dilahirkan di Sipirok, Sumatera Utara, adalah
seorang sastrawan Indonesia yang berasal dari Angkatan Balai Pustaka. Setelah
meraih ijazah Handelscorrespondent Bond A di Jakarta, ia bekerja sebagai guru
bantu di Medan, kemudian bekerja di Rumah Sakit Umum Jakarta, dan terakhir di
Opium & Zoutregie Kalianget, Madura. Selain Azab dan Sengasara, yang
merupakan tonggak kesusastraan Indonesia, ia juga menulis cerita si Jamin dan si
Johan yang merupakan saduran karya Jus vVan Maurik (1918).
Roman Azab dan sengsara disusun pada tahun 1920 dan cetakan pertama pada
tahun 1927, dimana pada waktu itu bangsa Indonesia tengah berjuang untuk
merebut kemerdekaannya dari tangan penjajahan Bangsa Jepang. Meskipun begitu,
jalan cerita di dalamnya tidak menyinggung masalah peperangan yang terjadi pada
waktu roman ini dibuat.
Akan tetapi, isinya lebih banyak membahas tentenag adat istiadat yang
dimiliki oleh masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara pada masa itu.