Anda di halaman 1dari 7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Unsur Intrinsik Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar

1. Tema

Roman “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar ini mengangkat tema tentang adat dan kebiasaan di
masyarakat yang dapat membawa kesengsaraan dalam kehidupan. Adat dan kebiasaan yang
dijelaskan dalam novel tersebut adalah adat dan kebiasaan menjodohkan anak yang menyebabkan
kesengsaraan untuk dua anak manusia karena kasih tak sampai.

2. Amanat

Jangan sombong atau menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang percuma atau tidak
berguna. Lebih baik uang tersebut diberikan kepada yang memeng membutuhkan.

Agama adalah penopang hidup yang memberikan tenaga dan semangat untuk menjalani semua
derita dan kesukaan hidup ini. Sehingga jangan mudah terbawa oleh hasutan setan yang akan
menjerumuskan.

Padahal Tuhan menjadikan makhluk berpasang-pasangan agar mereka saling berkasih-kasihan bukan
mendatangkan azab dan kesengsaraan seperti perjodohan yang hanya ditentukan oleh orang tua dan
anak hanya tinggal mengikuti keninginana orang tua tersebut.

Adat dan kebiasaan yang kurang baik sebaiknya di hilangkan agar tidak menyengsarakan bagi orang
yang menjalankannya.

Jangan mengambil hak milik orang lain.

3. Penokohan

Mariamin : Baik, penurut, rajin, ramah, lemah lembut, penyayang, penyabar, dan pemaaf.

Aminu’ddin : Baik, rajin, tidak sombong, pemaaf, suka menolong, bijaksana, dan berbakti.

Sutan Baringin atau Ayah Mariamin : Pemarah, malas, tamak, pemboros, angkuh, dan bengis.

Nuria atau Ibu Mariamin : Penyabar, sederhana, setia, dan pengiba

Baginda Diatas atau Ayah Aminu’ddin : sombong.

Ibu Aminu’ddin : Baik, pengiba, dan setia.

Kasibun : Jahat, bengis, pandai dalam tipu daya, buas, dan ganas

Marah Sait : Jahat, dan suka menghasut


4. Latar (Setting)

a. Latar Tempat

di Kota Sipirok

“Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai
yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok”.

Di batu besar

“Sahut gadis itu seraya berdiri dari batu besar itu, yang biasa tempat dia duduk pada waktu petang”.

Di rumah Mariamin

“rumah kecil tempat kediaman ibu dan anaknya itu”.

Di sebelah rusuk rumah

“Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah beratap ijuk dekat sungai yang
mengalir di tengah-tengah kota Sipirok”.

Di kampung A

“Anak muda itu anak kepala kampung yang memerintahkan kampung A itu”.

Di sawah dala

“ Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi padinya”.

Di tepi sungai

“Tiada berapa lama sampailah mereka ke tepi sungai yang akan diseberangi mereka itu”.

Di stasiun Pulau Berayan

“Setelah habis mandi dan berpakaian, pergilah Aminuddin ke stasiun Pulau Berayan”.

Di Deli

“Setelah lengkaplah sekalian, Baginda di atas pun berangkatlah ke Deli mengantarkan menantunya”.

Di Medan

“Ia sudah mendengar kabar perkawinan Mariamin itu, itulah sebabnya ia datang ke Medan”.

b. Latar Waktu

Sore hari

“Dari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke
dalam peraduannya, kebalik gunung Gunung Sibualbuali, yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok
itu”

Malam hari
“Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu Angkang,”

Pagi hari

“Waktu pukul tujuh pagi Mariamin sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan Aminuddin”

Hari pertama

“Tepat hari pertama, setelah Mariamin sembuh, maka datanglah Baginda Diatas dengan istrinya
membawa nasi bungkus ke rumah ibu Mariamin”.

Hari Jumat

“Waktunya berangkat pumn sudah dekat, yakni besok hari Jumat”.

Tanggal enam belas

“Adapun orang itu tiadalah lain memang Aminuddin. Waktu itu tanggal enam belas waktu istirahat
bagi orang kebun”.

Pukul setengah dua belas

“Pukul setengah dua belas, pulanglah Aminuddin meninggalkan rumah itu”

Pagi hari

“Pada suatu pagi sedang jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai”.

c. Latar Suasana

Menyedihkan, senang, haru, tegang.

5. Sudut Pandang

a. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda.

b. Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak).

6. Alur

a. Pengenalan

Dijelaskan bahwa di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan
Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah.
Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin dan Anak kedua laki-laki yang
berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup
bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan
Barigin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu
apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu
akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan
barigin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan
orang lain. Dan Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang terkenal
kedermawanan dan kekayaannya, akan tetapi baginda Diatas memiliki sifat sombong.

b. Menuju konflik

Aminudin dan Mariamin memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga
dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat
untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji ingin mempersunting gadis
itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat
pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera
membawa Mariamin ke Medan.

Berita itu tentu saja amat menggembirakan hati Mariamin. Niat Aminuddin itu disampaikan pula
kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Namun, lain halnya
pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia
tidak setuju dengan rencana Aminudin, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat.
Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat..

c. Konflik memuncak

Karena baginda Diatas tidak ingin anaknya Aminudin menikah dengan Mariamin sehingga baginda
Diatas mengajak istri nya keseorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin
dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun
itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan
harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk
jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang
menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya. Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang
seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan
kekayaannya. Kemudian ayahnya mengabarkan kepada Aminudin bahwa ayahnya akan membawa
gadis yang dicintainya, yaitu Mariamin. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan
segera terobati. Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan
membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu,
sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat
berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan
keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada
Mariamin. Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah.
Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu.

d. Klimaks

Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun,
seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun
seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan
harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya
dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena
akan mengawini Mariamin. Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya,
penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang
dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu
menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi
pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan
Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun
menyiksanya dengan kejam. Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara
kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin
menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan
Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa
istrinya sejadi-jadinya.

e. Penyelesaian

Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan
tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar
denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.

Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian,
penderitaanya yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab
dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu.

7. Bahasa Figuratif

Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini yaitu:

a. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan
dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll. Simile adalah bahasa kiasan berupa
pernyataan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding. Secara
eksplisit jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat,
umpama, bak, laksana, serupa.

“bagai ombak yang berpalu-paluan di atas laut yang lebar”

“ sedang padi itu bagai air yang hijau rupanya”

“ bagai orang yang hanyut di lautan kesusahan”

“ karena nasib manusia itu bagai roda kadang-kadang di atas, kadang-kadang di bawah”

“ibarat bunga yang belum kembang”

“ “ bagai matahari yang menyinari perkawinan kita dengan cahaya kegirangan”

“ibarat gendang kalau dipalu keras suaranya, dibelah tak ada isinya”
“ sekarang tak tertahan lagi olehnya, sudah habis kekuatannya ibarat mata air yang ditutup”

“indah rupanya, bagai disepuh dengan emas juwita”

“angin yang keras itu makin kencang dan kilat pun berturut-turut diiringi halilintar yang gemuruh,
bagai gunung runtuh lakunya”

b. Metafora

Majas metafora membatu orang yang berbicara atau menulis untuk menggambarkan hal-hal dengan
jelas, dengan cara membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lain yang emiliki ciri-ciri dan sifat
yang sama.

“ Raja siang itu akan masuk kedalam keperaduannya”

“ masing-masing menyanyi memuja tuhan dan memberi hormat kepada raja siang”

“ ibu nya melihat awan yang menutup dahi anaknya itu”

“ mengusir kekuatan dewi malam yang memerintahkan”

c. Personifikasi

Personifikasi ialah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda yang tidak
bernyawa ataupun pada ide yang abstrak.

“ angin gunung yang lemah lembut itu berhembuslah”

“sehingga daun dan cabang-cabang kayu itu bergoyang-goyang secara perlahan-lahan”

“Batang padi yang tumbuh disawah luas itupun dibuai-buaikan angin”

d. Hiperbola

Hiperbola merupakan pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut


menjadi tidak masuk akal.

“ matanya yang berkilat-kilat serta terang itu”

“ dan air matanya bercucuran pada pipi yang halus itu”

“ cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si kecil”

e. Oksimoron

Oksimoron ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung pertentangan
dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama.

“ sungguh pun tak enak dirasa lidah ku nanti, akan tetapi lezat juga pada perasaan hati ku”
f. Paradoks

Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun
sebenarnya keduanya benar.

“ matanya saja yang menatap kesana, tetapi daun beringin yang bergoyang-goyang itu tak kan
nampak pada matanya”

“ tiadalah ia melihat nyala lampu itu, melainkan seolah-olah barang lain lah yang nampak olehnya”

Anda mungkin juga menyukai