Anda di halaman 1dari 4

Azab dan Sengsara karya Merari Siregar Penerbit Balai Pustaka

1. Perjodohan, Materialisme, dan Perdukunan


Azab dan sengsara adalah novel yang bercerita tentang sepasang kasih tak sampai antara
Aminu’ddin dan Mariamin. Mereka adalah adalah dua pasang saudara sekaligus sahabat yang
berubah menjadi sepasang kekasih, namun apa daya, hidup mereka dikelilingi oleh adat dan
budaya tentang perjodohan, ditambah dengan sifat materialisme salah satu pihak orang tua, dan
semakin dibayangi dengan takhayul-takhayul oleh para pemilik mantra. Belum lagi kemiskinan yang
harus ditanggung oleh keluarga Mariamin yang berakhir pada kematian Sutan Baringin, ayahanda
Mariamin yang tamak. Disusul pula dengan kabar bahwa Aminu’ddin telah dijodohkan dengan
wanita lain tanpa sepengetahuannya setelah sekian lama Mariamin menunggunya pergi ke
perantauan, dan duka itu bertambah berat setelah Mariamin dijodohkan dengan Kasibun, seorang
yang bengis dan berpenyakit, suami yang hanya menyakiti Mariamin selama hidupnya. Dan cerita
berakhir dengan meninggalnya Mariamin. Duka lara itu dibawa mati, beban hidup yang ditahan
dengan sesak, penderitaan yang serasa tidak usai telah ia bawa pergi bersama dengan kenangan
manis semasa dengan Aminu’ddin.
2. Waktu Senja
Di waktu senja dikala matahari mulai terbenam, bersama itulah Aminu’ddin meninggalkan Mariamin
dengan untaian janji, menggoreskan luka pada hati Mariamin yang ditinggal pergi kekasihnya
bersamaan dengan kondisi ibunda Mariamin yang sedang sakit. Mariamin hanyut dalam bayangan
masa lalu dengan Aminu’ddin.
3. Tali Persahabatan & Perkauman
Bab Tali Persahabatan & Perkauman mengisahkan Aminu’ddin dan Mariamin sejak mereka masih
kecil. Aminu’ddin dan Mariamin adalah saudara sepupu yakni ibunda Aminu’ddin adalah adik
kandung dari ayah Mariamin. “Tali perkauman bertambah kuat,” kata orang di kampung, adalah
ungkapan yang disematkan kepada pernikahan antar saudara untuk merekatkan hubungan antar
keluarga apabila Aminu’ddin ditakdirkan menikah dengan Mariamin suatu saat nanti. Karena sifat
mirip antara keduanya dan hubungan persaudaraan, Aminu’ddin dan Mariamin sangat dekat sejak
mereka masih kecil. Meskipun dengan adat dan kepercayaan bahwa laki-laki lebih kuat dan memiliki
wewenang lebih tinggi dari perempuan, namun kemampuan antara Aminu’ddin dan Mariamin
seakan seimbang, mereka saling mengisi, saling memahami antara satu sama lain seiring dengan
bertambahnya umur masing-masing.
4. Banjir
Dalam bab ini diceritakan bahwa Mariamin merasa berhutang nyawa dengan Aminu’ddin karena
Mariamin yang telah diselamatkan oleh Aminu’ddin saat terjadi banjir. Dengan keberanian
Aminu’ddin dalam menolong Mariamin yang pada dasarnya malah akan membahayakan nyawanya
itulah yang dirasa Mariamin sebagai hutang nyawa, meskipun dengan kata lain perasaan
Aminu’ddin itu tulus terhadap Mariamin.
5. Laki istri dan Anak beranak
Pada bagian kali ini lebih banyak menceritakan tentang Sutan Baringin, ayahanda dari Mariamin
yang berwatak arogan itu. Watak serakah dan tak mau kalah yang terbentuk sejak Sutan Baringin
masih kecil akibat salah didik ibunya yang terlalu dimanjakan, sehingga seperti ungkapan yang
terdapat dalam cerita bahwasanya “kayu selagi muda mudah dibengkokkan, namun setelah dewasa
kayu itu semakin kaku, jika dipaksa untuk diluruskan patahlah dia”, layaknya watak Sutan Baringin
yang terlanjur keras, yang bahkan setelah ia berkeluarga dan memiliki dua anak, wataknya tak
berubah, malah semakin menjadi, sehingga berakibat pada penderitaan anak dan istri.
6. Jatuh Melarat
Bagian bab ini menceritakan tentang sifat dzalim Sutan Baringin yang menjadikannya miskin. Sifat
tamak dan rakus untuk membagikan warisan terhadap saudaranya sendiri yakni Baginda Mulia,
telah membuatnya kehilangan harta, bukan hanya untuk perkara pengadilan, namun juga untuk
membayari orang-orang yang sebenarnya justru menjerumuskannya. Bersama dengan sakit yang
diderita oleh Sutan Baringin, keadaannya semakin lama semakin memburuk saja, ditambahi dengan
rasa malu yang amat sangat terhadap penduduk setempat karena kekalahannya itu. Nuria, Istri
Tuan Baringin tetaplah sebagai istri setia dan sabar yang mendampingi Sutan Baringin meskipun
dalam keadaannya yang sangat buruk dikala itu. Berujung pada perpisahan oleh kematian adalah
kisah akhir Sutan Baringin dan Nuria, meskipun sempat menyesalkan perbuatannya kepada istrinya
selama di dunia, apalah artinya ketika semua sudah terjadi dan tak mungkin terulangi, hanya
maaflah yang bisa diucapkan oleh diri. Hikmah yang terdapat dalam bagian bab ini bahwasanya
suatu yang tidak baik pada akhirnya akan menuai hasilnya, bukan satu pihak saja yang
menanggung, melainkan bisa jadi kerabat lain ikut menanggung azab dan sengsara itu dalam
hidupnya.

7. Makin Jauh
Pada bab ini menceritakan tentang kasih tak sampai antara Aminu’ddin dan Mariamin. Penantian
Mariamin yang lama terhadap Aminu’ddin hanyalah berakhir dengan kekecewaan akibat
Perjodohan. Meskipun ibunda kedua belah pihak antara Aminu’ddin dan Mariamin sudah merestui,
namun dilain pihak ayahanda Aminu’ddin justru menolak rencana putranya untuk menikah dengan
Mariamin, tak lain karena alasan tahta dan harta. Ayahanda Aminu’ddin memilihkan wanita lain dari
marga Siregar yang terpandang tanpa meminta persetujuan dari Aminu’ddin terlebih dulu. Kecewa
adalah kata yang tepat ketika Aminu’ddin melihat wanita yang dibawa keluarganya bukanlah kekasih
pilihannya. Namun apa boleh buat, adat di daerah tersebut yang mengajarkan bahwasanya ayah
memiliki otoritas yang paling tinggi dalam menentukan pendamping bagi putra-putrinya dalam
kebiasaan pernikahan. Bukan karena tak setia namun karena keharusan taat pada orang tua,
Aminu’ddin akhirnya menyetujui perjodohan itu, sembari mengutarakan maaf yang paling tulus
terhadap Mariamin karena telah ingkar dengan janji awalnya. Dalam hal ini nyatalah adat dan
kepercayaan kepada takhayul itulah yang mengorbankan cinta kedua makhluk Allah itu.
Dalam bagian ini terdapat hikmah, bahwasanya taat terhadap kebaikan itu perlu, namun menghargai
orang itu harus, bukankah Allah selalu memiliki skenario yang indah dibalik setiap ujian-Nya,
bahwasanya bersama kesulitan pasti akan ada kemudahan, itulah yang harus diyakini sebagai
hamba Allah.
8. Dalam Rumah Bambu Mariamin
Bab ini menceritakan keadaan Mariamin setelah pernikahan Aminu’ddin yang semakin menderita di
rumah bambu tua, ditambah dengan kemiskinan yang ditanggung oleh ibu dan adiknya yang
semakin hari semakin menyayat hati saja. Ketika orang tua Aminu’ddin mengunjungi Mariamin,
sempat terjadi penyesalan karena telah menggagalkan pernikahan putranya dengan Mariamin,
wanita yang berakhlak baik dan tetap santun meskipun telah diperlakukan tidak berkenan, namun
bagaimana lagi semuanya sudah terjadi, Aminu’ddin telah dijodohkan dengan wanita lain. Tak lama
setelah itu, Mariamin juga dijodohkan oleh ibunya dengan lelaki asal Padangsidempuan yang
bernama Kasibun. Tanpa mengenal sebelumnya dan tanpa rasa cinta akhirnya menikahlah
Mariamin dengan Kasibun dengan harapan bahwa dengan menikah nasibnya akan menjadi lebih
baik, meskipun dalam hati Mariamin mengatakan bahwa penderitaan akan semakin nyata
kepadanya.

9. Di Tanah Asing
Bab ini menceritakan tentang kehidupan Mariamin setelah menikah dengan Kasibun. Setelah
menikah, Kasibun membawa Mariamin ke Medan. Hari demi hari dilalui sebagai pasangan suami
istri, namun tak juga tumbuh rasa kasih sayang diantara keduanya. Tabiat Kasibun yang dulunya
sama sekali tidak dikenal Mariamin lambat laun mulai terlihat. Semakin hari suaminya semakin
menunjukkan watak bengisnya, penderitaannya semakin bertambah ketika mengetahui ternyata
suaminya memiliki penyakit kelamin menular akibat pergaulan suami Mariamin yang bebas tanpa
mengingat larangan agama. Hingga suatu hari Aminu’ddin mengunjungi rumah Mariamin di Medan
untuk sekedar silaturrahmi dan meminta maaf, seperti luka lama yang digores kembali, adalah
ungkapan yang tepat ketika Mariamin melihat Aminu’ddin. Disisi yang lain, Kasibun merasa cemburu
dengan kedatangan Aminu’ddin dan semakin berprasangka buruk terhadap Mariamin. Setelah hari
itu, perlakuan Kasibun terhadap Mariamin sangatlah kasar, menampar, menyiksa, bahkan mengusir
Mariamin pun pernah dilakukannya. Namun, Mariamin tetap sabar dan disisi lain dia tak punya
pilihan lain untuk pergi sehingga ia tetap betahan dengan perilaku kejam suaminya. Hingga suatu
hari, Mariamin berani untuk melaporkan Kasibun ke polisi, sehingga Kasibun dihukum dan
berakhirlah ikatan suami istri itu. Mariamin menjadi janda dan pulang ke Sipirok, tempat tinggalnya
yang lalu dengan membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan
sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu.
10. Penutup Kalam
Cerita ini berakhir dengan meninggalnya Mariamin. Ia meninggal dengan penderitaan, dengan
beban yang masih ditahan, dengan air mata yang masih dirasakan, mungkin disisi-Nya lah air mata
Mariamin akan mengering berganti dengan bahagia yang selama ini ia damba di dunia, namun
nyatanya sirna sampai Allah menjemputnya. Azab dan sengsara cukuplah di dunia saja, di
akhiratlah ia akan mendapat balasan atas kesabaran dan imannya.
Hikmah yang dapat dipelajari dari cerita tersebut bahwasanya sesuatu yang dipaksakan sedikit
banyak akan memberikan akibat yang tidak baik. Apalagi dalam hal pernikahan, pernikahan adalah
hal yang suci, berkaitan dengan ikrar sehidup semati, maka janganlah sembarangan dalam
mengawali. Jodoh itu tidak dapat dipaksakan, kepada siapa nama itu telah dituliskan oleh Allah Ar-
Rahman. Mencari pasangan bukan seberapa cepat tapi seberapa seseorang itu tepat, tepat sebagai
pendamping di dunia dan akhirat, tidak hanya perkara sehidup semati namun juga sehidup sesurga
nanti. InsyaAllah.

Anda mungkin juga menyukai