Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

OPINI BELA NEGARA

Di susun oleh:

Hesti widiya ningrum

X iis 1

Man parakan temanggung


OPINI BELA NEGARA
Ketika massa rakyat bergabung untuk mencapai tujuan bersama sebagai sebuah bangsa, karena
ikatan utama mereka yang tumbuh atas kesadaran berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah
air yang satu Indonesia,

Ketika massa rakyat bergabung untuk mencapai tujuan bersama sebagai sebuah bangsa, karena
ikatan utama mereka yang tumbuh atas kesadaran berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah
air yang satu Indonesia, maka sesungguhnya bela Negara telah menjadi keniscayaan.
Sejalan dengan perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang memang
memerlukan investasi mental demikian, sesungguhnya di lingkungan dunia internasionalpun,
suatu negara dalam mempertahankan eksistensi atau kelangsungan hidupnya memerlukan suatu
perjuangan seluruh anak bangsa untuk mencapai atau mempertahankan kelestarian teritorialitas
atau kedaulatan teritorialnya, baik melalui pembangunan internal, dengan menciptakan rasa
persatuan dan kesatuan, atau menciptakan generasi baru yang lebih unggul kualitasnya daripada
generasi sebelumnya, ataupun melalui perjuangan eksternal, antara lain untuk mendapatkan
pengakuan kedaulatan territorial negara dari negara-negara, atau bangsa-bangsa lain di
dunia,yang sangat diperlukan sebagai landasan dalam perumusan ketentuan bagi tata hubungan
dan kerjasama antar masyarakat bangsa-bangsa.[1]
Dengan bahasa yang sederhana, dapatlah diterjemahkan bahwa mempertahankan kelestarian
dan kedaulatan territorial dengan pembangunan internal menciptakan rasa persatuan dikalangan
anak bangsa, dan pembangunan eksternal mengokohkan pengakuan kedaulatan territorial
sejatinya adalah bela Negara. Dan Bela Negara, telah menjadi sebuah diskursus yang sempat
membelah opini berbagai kalangan dalam hal “perlu” disatu seberang dan “belum perlu”
diseberang lain.

Berdasarkan kondisi-kondisi yang dapat menjadi trigger suatu bangsa kehilangan kedaulatan,
dan oleh karenanya berdasarkan kondisi-kondisi tersebut yang memang secara klinis telah
merongrong kedaulatan, maka muncul aliran pemikiran bela Negara yang saat ini telah digelar
oleh Kementerian Pertahanan dalam bentuk pelatihan kader. Mengambil pemikiran
Morganthau, kedaulatan adalah kekuasaan hukum tertinggi dari bangsa yang membuat dan
melaksanakan hukum di dalam wilayah tertentu dan, sebagai akibatnya, bebas dari kekuasaan
bangsa lain dan persamaan hak dengan bangsa lainnya menurut hukum internasional. Maka dari
itu, suatu bangsa kehilangan kedaulatan apabila ditempatkan dibawah kekuasaan bangsa lain,
sehingga bangsa lain tersebut yang menjalankan kekuasaan tertinggi untuk membuat dan
melaksanakan hukum di dalam wilayah yang dikuasai.[2]
Penguasaan kedaulatan suatu bangsa atas bangsa lain bukan hanya terbatas pada hegemoni
militer dan pendudukan wilayah secara fisik. Pola-pola hegemoni yang demikian sebenarnya
telah mulai ditinggalkan, karena di akhir abad 20 berbagai aneka system kehidupan manusia
telah bermetamorfosa menjadi satu bentuk, tanpa sekat atau batas-batas Negara bangsa setelah
munculnya idea globalisme dalam perekonomian sejagat. Bila kita tidak waspada sejatinya
globalisme ekonomi merupakan sublimasi atau usaha pengalihan hasrat yang bersifat primitive
(hegemoni militer),ke model yang dapat diterima masyarakat yaitu globalisasi ekonomi. Titik
kewaspadaan kita dalam konteks globalisasi ini karena peran dan efektivitas Negara bangsa
mulai berkurang. Negara bangsa yang dicirikan adanya rakyat, territorial/wilayah, pemerintah,
dan pengakuan internasional perlahan mulai kehilangan fungsinya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, pertanyaan yang muncul adalah benarkah
globalisme telah mereduksi kedaulatan suatu Negara?

2.Bela Negara Respon Antitesa Hancurnya Negara Bangsa

Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang telah terreduksinya kedaulatan
atau bahkan hilangnya kedaulatan territorial akibat perkembangan globalisasi perekonomian
dunia tersebut menurut Kenichi Ohmae dalam The End of The Nation State (hancurnya Negara
bangsa) adalah dengan mengamati pengaruh dari apa yang disebut 4 “I” yang menentukan.

Pertama, pasar modal di sebagian besar negara maju adalah sama dengan kelebihan dana untuk
investasi. Masalahnya adalah bahwa kesempatan-kesempatan investasi yang menjanjikan dan
sangat sesuai seringkali tidak bisa ditemukan pada wilayah yang sama di mana uang ini ada.
Karena itulah, pasar-pasar modal dikembangkan sebagai sebuah varietas mekanisme yang luas
untuk memindahkan trilyunan dana simpanan itu melampaui batas-batas nasional. Oleh karena
itu, investasi “I” pertama tidak lagi dibatasi secara geografis. Kini, di mana pun kita tinggal di
dunia, kesempatan itu ada, sangat menarik, dan uang akan terus masuk.

“I” kedua, industri juga jauh lebih global dalam orientasi sekarang ketimbang orientasinya satu
dasawarsa yang lalu. pada masa lalu, kepentingan dari pemerintahan jelas menjadi persoalan.
Perusahaan harus melakukan banyak kesepakatan degan banyak pemerintah untuk memasarkan
berbagai sumber daya dan keterampilan untuk ditukarkan agar bisa memperoleh akses istimewa
kepasar-pasar lokal. Ini juga telah berubah. Strategi-strategi berbagai perusahaan multinasional
modern tidak lagi dibentuk dan dikondisikan oleh alasan-alasan bangsa, tetapi lebih oleh hasrat
dan kebutuhan untuk melayani pasar-pasar yang atraktif di manapun mereka berada dan untuk
menguras berbagai sumber daya di manapun adanya. Subsidi-subsidi yang dibiayai pemerintah
dan pajak gaya lama sudah hancur karena investasi di tempat ini tidak lagi relevan sebagai suatu
kriteria keputusan.

Gerakan investasi dan industri telah lama difasilitasi oleh“I” yang ketiga, teknologi informasi
hingga kini memungkinkan sebuah perusahaan untuk beroperasi di berbagai belahan dunia
tanpa harus membangun seluruh sistem bisnis di tiap-tiap negara di mana ia memiliki
perwakilan. Para insinyur di suatu Negara dapat dengan mudah mengontrol operasi-operasi
penanaman di bagian wilayah Negara lain. Para perancang produk di suatu negara bisa
mengontrol berbagai aktivitas sebuah jaringan perusahaan di Negara lain. Oleh karenanya,
kendala-kendala untuk partisipasi lintas batas dan aliansi strategis menjadi sangat menurun.
Para tenaga ahli tidak harus ditransfer, tenaga kerja tidak harus dilatih. Kapabilitas terdapat pada
jaringan itu dan bisa diperoleh kapanpun secara virtual di manapun sesuai dengan yang
dibutuhkan.

Akhirnya, para konsumen individual “I” keempat juga telah memiliki orientasi lebih global.
Dengan akses informasi yang lebih baik mengenai gaya hidup di seluruh belahan dunia,
keingian membeli mereka tidak lagi dikondisikan oleh larangan-larangan pemerintah untuk
membeli produk-produk Amerika atau Perancis atau Jepang misalnya hanya karena asosiasi-
asosiasi dagang nasional mereka supaya tidak tersaingi. Para konsumer semakin menginginkan
produk-roduk yang terbaik dan termurah, tidak masalah dari mana asalnya produk tersebut.
Secara bersamaan, mobilitas empat I ini, sangat memungkinkan unit-unit ekonomi di banyak
belahan dunia untuk mendapatkan apa pun yang dibutuhkan demi pembangunan. Mereka tidak
harus mencari bantuan hanya untuk menggali sumber daya yang dekat dengan mereka. Mereka
juga tidak harus mengandalkan upaya-upaya formal dari pemerintah untuk menarik berbagai
sumber daya dari mana saja dan menyalurkannya kepada para pengguna akhir. Hal ini membuat
fungsi kelompok “klas-menengah” tradisional dari banyak negara bangsa dan pemerintahan-
pemerintahan mereka menjadi semakin tidak penting. Oleh karena pasar global berlaku untuk
semuanya, maka keempat “I” itu bekerja sesuai dengan pasar mereka sendiri, negara bangsa
tidak lagi harus memainkan peran sebagai pembuat pasar (market making role).

Dari pemikiran Ohmae diatas, terlihat bahwa kecenderungan menurunnya peran Negara sebagai
akibat proses globalisasi, Negara telah kehilangan ruh penentu kebijakan sentral bagi pelaku-
pelaku ekonominya, termasuk didalamnya kehilangan kemampuan untuk menjaga wilayah
teritorialnya dari serbuan produk-produk asing. Pesan moral yang paling penting dalam
merespon globalisme ini sebenarnya bukan pada tataran setuju atau tidak setuju, tetapi lebih
pada bagaimana mempersiapkan segenap warga Negara untuk menghadapi ujud globalisasi ini
tanpa harus menggadaikan kedaulatan ideology, politik, ekonomi, social budaya dan territorial
dalam konteks pertahanan keamanan. Kementerian Pertahanan (Kemhan) adalah instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang penyelenggaraan Pertahanan Negara. Oleh
karena itu Kemhan bertugas untuk menyiapkan rumusan Kebijakan Umum Pertahanan Negara
dan menetapkan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Salah satu tantangan yang
dihadapi oleh Kementerian Pertahanan saat ini dan beberapa tahun ke depan adalah perlunya
meningkatkan kesadaran bela negara bagi setiap warga negara, melalui pendidikan dan latihan
bela negara sambil secara pararel membahas dalam Program legislasi nasional DPR tahun 2015-
2019 utamanya mengenai rancangan undang-undang Tentang Pengelolaan Sumber Daya
Nasional Pertahanan.
Kita yakin disahkannya RUU tentang pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan menjadi
undang-undang hanyalah soal waktu, karena hal bela negara memang telah diamanatkan oleh
UUD 1945 pada pasal 27 ayat 3, bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara.

Hal tersebut mengandung pemahaman bahwa dalam penyelenggaraan pertahanan negara


Kementerian Pertahanan akan mengawal setiap warga negara dalam menggunakan hak dan
kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan Negara. Bentuknya adalah, melalui gelar
pendidikan dan pelatihan kader bela Negara secara nasional yang saat ini sudah sangat penting
pelaksanaanya, terlebih di era ekonomi global dimana kedaulatan ekonomi Negara semakin
kecil seiring melemahnya komitmen masyarakat terhadap Pancasila sebagai nilai-nilai dasar
yang telah lama menjadi prinsip dan bahkan sebagai pandangan hidup. Mengalir dari lemahnya
komitmen terhadap nilai-nilai dasar Pancasila adalah distorsi nasionalisme, dalam konteks ini
kita dapat melihat ada dua faktor penyebabnya, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal, berupa pengaruh globalisasi yang di semangati liberalisme mendorong lahirnya
sistem kapitalisme di bidang ekonomi dan demokrasi liberal di bidang politik. Faktor internal,
yaitu bersumber dari internal bangsa Indonesia sendiri.
Kenyataan seperti ini muncul dari kesalahan sebagian masyarakat dalam memahami Pancasila.
Banyak kalangan masyarakat memandang Pancasila tidak dapat mengatasi masalah krisis dan
menjadi benteng ketahanan ekonomi, terkait krisis ekonomi 1998.

Sudah menjadi fakta sejarah bahwa ketahanan sebuah negara akan menguat jika ia mempunyai
ketahanan ekonomi yang kokoh. Begitu pula sebaliknya, ketahanan sebuah negara akan rapuh
jika ekonomi di negara itu melemah. Banyak negara yang tercerai berai karena diawali dengan
ekonomi yang rapuh atau ketidakadilan dalam pembangunan. Dalam soal ekonomi, kini kita
harus menghadapi kenyataan baru, yaitu keterbukaan globalisasi ekonomi. Kalau dizaman
dahulu, ketika perekonomian suatu Negara mengalami kekurangan, ia bisa melakukan
penjajahan ke negara lain. Kini, sebaliknya, negara yang kesulitan sumber daya alam harus
mampu mendatangkan sumber daya ekonomi (investasi asing) ke negaranya. Pararel dengan
semangat kedaulatan ekonomi, dalam menghadapi keterbukaan ekonomi sejagat, maka menjadi
sebuah keniscayaan ketika ruh ekonomi Pancasila harus menjadi pedoman kebijakan ekonomi
nasional.

Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang berkemanusiaan, berkerakyatan, serta


mendukung perwujudan persatuan Indonesia. Sistem ekonomi yang berketuhanan adalah
ekonomi yang memperhatikan etika dan kepedulian sosiai sebagai bentuk pertanggungjawaban
terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Sistem ekonomi yang berkemanusiaan adalah sistem
ekonomi yang menjadikan manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek apalagi sebagai
komoditi, sebagaimana diamanatkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Sistem ekonomi yang
berkerakyatan adalah system ekonomi yang bertumpu pada kesejahteraan rakyat banyak
sebagaimana diamanatkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan.
Sistem ekonomi yang berkeadilan adalah sisten ekonomi yang mampu memaksimalkan
pemerataan.

3.Dikotomi Bela Negara dan Bela Rakyat dalam Sintesa Geopolitik Wawasan
Nusantara

Pengalaman menghadapi krisis multidimensi pada 1998, telah menjadi pelajaran yang sangat
berharga. Bahwa, keutuhan dalam penghayatan ideology, kesantunan dalam berpolitik,
ketahanan dalam perekonomian, dan social budaya menjadi gagasan yang tidak pantas untuk
ditolak. Oleh karenanya berkaca dari pengalaman krisis, wacana bela Negara menjadi program
yang “tidak boleh tidak” dilaksanakan, tentu saja terkait distorsi nasionalisme dan melemahnya
komitmen kebangsaan. Mengalir dengan program bela Negara tersebut, saat ini telah muncul
dialektika menarik yang membelah dua kutub yang dioposisikan yaitu mendahulukan bela
Negara atau bela rakyat. Dari ruang pruralitas, pembelahan dua kutub persepsi adalah dinamika
yang wajar dalam demokrasi, justru sesungguhnya yang terpenting dari perbedaan tersebut
adalah mempersempit ruang perbedaan untuk dicari titik temu persamaan. Sebagai ilustrasi
bahasan, sebagaimana kita ketahui dalam kesepakatan global, sebuah Negara harus dicirikan
dengan adanya rakyat, wilayah/territorial, pemerintah, dan pengakuan internasional. Dari
pemahaman tersebut, nampak jelas bahwa pendekatan intepretatif mengutamakan gagasan bela
rakyat adalah kurang tepat, karena cenderung mengabaikan unsur-unsur lain dalam Negara yaitu
wilayah dan pemerintah. Sedangkan dalam gagasan bela Negara, sesungguhnya telah terkait
didalamnya pembelaan terhadap rakyat, wilayah, dan pemerintahan, artinya, ketika sintesa bela
Negara digelar dalam tahapan praktek pendidikan dan pelatihan kader oleh Kementerian
Pertahanan yang diharapkan dari kader adalah,
a) pemahaman dan kecintaan pada wilayah territorial NKRI/wawasan darat dengan segala
isinya, wawasan bahari, dan wawasan angkasa,
b) pemahaman dan kecintaan pada segenap rakyat Indonesia dengan keragaman suku, budaya
dan agama,
c) pemahaman terhadap pemerintah, dengan mendukung program-programnya. Dari ilustrasi
tersebut Nampak jelas bahwa secara komprehensif, pandangan terhadap bela Negara juga
pandangan terhadap paham geopolitik nasional yaitu wawasan nusantara.

Wawasan Nusantara merupakan wawasan nasional yang bersumber pada Pancasila dan
berdasarkan UUD 1945, yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan Wilayah
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang satu kesatuan
ideologi, satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan dalam
satu kesatuan ketahanan nasional. Dari pemikiran diawal tulisan telah disebutkan bahwa
melemahnya komitmen masyarakat terhadap nilai-nilai dasar ideology jelas akan
mengakibatkan distorsi nasionalisme. Sesuatu yang pararel ketika terjadi distorsi nasionalisme
adalah terganggunya ketahanan nasional.

Ketahanan nasional adalah kondisi dinamik suatu bangsa meliputi seluruh aspek kehidupan
nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan,
ancamam hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang
langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup
bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan nasionalnya. Dilihat dari sifat-sifat
dasarnya, maka Ketahanan Nasional adalah:
a. Integratif Di mana segenap aspek kehidupan kebangsaan dalam hubungannya dengan
lingkungannya dengan lingkungan alam dan suasananya ke dalam saling mengadakan
penyesuaian yang serasi dan selaras.
b. Mawas ke dalam Ketahanan Nasional terutama diarahkan kepada diri bangsa dan Negara itu
sendiri, untuk mewujudkan hakekat dan sifat nasionalnya. Pengaruh luarnya adalah hasil yang
wajar dari hubungan internasional dengan bangsa lain.
c. Menciptakan kewibawaan Ketahanan Nasional sebagai hasil pandangan yang bersifat
integrative mewujudkan kewibawaan nasional, serta mempunyai deterrent effect yang harus
diperhitungkan pihak lain.
d. Berubah menurut waktu
Tannas suatu bangsa tidak tetap. Ia dapat mengikat atau menurun tergantung pada situasi dan
kondisi bangsa itu sendiri.

Konsepsi Ketahanan Nasional dapat dipandang sebagai suatu pilihan (alternatif) dan konsepsi
tentang kekuatan nasional (national power) yang biasanya dianut oleh negara-negara besar di
dunia. Konsepsi tentang kekuatan nasional bertumpu pada kekuatan, terutama kekuatan fisik
militer dengan politik kekuasaan, sedangkan Ketahanan Nasional tidak semata-mata
mengutamakan kekuatan fisik, melainkan memanfaatkan daya dan kekuatan lainnya yang ada
pada suatu bangsa. Ketahanan Nasional pada hakekatnya merupakan suatu konsepsi dalam
pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan kemakmuran serta pertahanan dan
keamanan di dalam kehidupan nasional. Untuk dapat mencapai tujuan nasional suatu bangsa
harus mempunyai kekuatan, kemampuan, daya tahan dan keuletan. Inilah yang dinamakan
Ketahanan Nasional.
Dengan demikian jelaslah bahwa Ketahanan Nasional harus diwujudkan dengan
mempergunakan baik pendekatan kesejahteraan maupun pendekatan keamanan. Kehidupan
nasional tersebut dapat dibagi di dalam beberapa aspek sebagai berikut:
a. Aspek alamiah, yang meliputi; 1. letak geografls negara; 2. keadaan dan kekayaan alam; 3.
keadaan dan kemampuan pendudu
b. Aspek kemasyarakatan yang meliputi; 1.ideologi; 2.potitik; 3. ekonomi; 4. sosial budaya dan
hankam; 5. pertahanan dan keamanan (militer)
Aspek alamiah, karena tiga jumlahnya disebut Tri Gatra, sedang aspek kemasyarakat dinamakan
Panca Gatra karena berjumlah lima. Keseluruhan sistematik yang membagi kehidupan nasional
dalam delapan aspek ini disebut Asta Gatra. Konsepsi Ketahanan Nasional tidak memandang
aspek-aspek alamiah dan kemasyarakatan secara terpisah-pisah, melainkan meninjaunya secara
korelatif, di mana aspek yang satu erat hubungannya dan besar pengaruhnya dengan aspek-
aspek lain, sedangkan keseluruhannya merupakan suatu konfigurasi yang menimbulkan daya
tahan nasional.[6]

4.Bela Negara Sebagai Instrumen Revolusi Mental Mengokohkan Identitas


Nasional

Identitas Nasional dalam konteks bangsa (masyarakat Indonesia) cenderung mengacu pada
kebudayaan atau kharakter khas. Sedangkan identitas nasional dalam konteks negara tercermin
dalam sombol-simbol kenegaraan. Kedua unsur identitas ini secara nyata terangkum dalam
Pancasila. Pancasila dengan demikian merupakan identitas nasional kita dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Permasalahan sekarang adalah terletak pada lemahnya komitmen pada
nilai-nilai dasar, yang berujung pada tiga masalah pokok bangsa, 1, merosotnya wibawa Negara,
2, melemahnya segi perekonomian Negara, 3, intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Dalam
pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip liberalisme yang
jelas-jelas tidak sesuai dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia, dan hal tersebut
juga menjadi pintu masuk kesalahan. Oleh karenanya, sudah saatnya kita melakukan koreksi,
tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan
revolusi mental untuk menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building
baru yang lebih manusiawi. Dalam pokok bahasan bela Negara dan identitas nasional adalah
melalui revolusi mental.

Penggunaan istilah revolusi oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, tidak berlebihan
sebab Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya untuk memberantas setuntas-tuntasnya
segala praktik buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan.
Dalam melaksanakan revolusi mental, Presiden menggunakan konsep Trisakti yang pernah
diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963: Indonesia yang berdaulat secara politik,
Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian secara kebudayaan.
Revolusi mental bung Karno dinarasikan : “Revolusi Mental merupakan satu gerakan untuk
menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan
baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala” yang kemudian diadopsi
dalam program Revolusi Mental Presiden Joko Widodo yaitu, untuk lebih memperkokoh
kedaulatan, meningkatkan daya saing dan mempererat persatuan bangsa, penjabaran program
ini adalah melalui 9 (Sembilan) agenda prioritas Nawa Cita yang berupa:
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman
pada seluruh warga negara
2. Membuat Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola Pemerintahan yang bersih,
efektif, demokratis, dan terpercaya
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah – daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang
bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
5.Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia
6.Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor sektor strategis ekonomi
domestik
8.Melakukan revolusi karakter bangsa
9. Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia

Revolusi mental berbeda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah.
Namun usaha ini tetap memerlukan dukungan moral spiritual serta komitmen seorang
pemimpin, dan selayaknya setiap revolusi diperlukan pengorbanan masyarakat. Dalam
melaksanakan revolusi mental, kita menggunakan konsep tri sakti Bung Karno yaitu, Indonesia
yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia yang
berkepribadian secara budaya.

Indonesia yang berdaulat secara politik adalah kedaulatan rakyat sesuai amanat sila keempat
Pancasila.
Pemerintahan yang terpilih oleh rakyat melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar
bekerja untuk rakyat dan bukan untuk segelintir golongan kecil.
Harus diciptakan system politik yang transparan, akuntabel, serta bersih dari praktek korupsi
dan intimidasi. Untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, Indonesia harus berusaha
melepaskan diri dari ketergantungan pada investasi/modal/bantuan luar negeri serta import
pangan dan bahan pokok lainnya. Kebijakan ekonomi liberal yang sekedar mengedepankan
kekuatan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga begitu tergantung pada modal
asing, sementara sumber daya alam kita dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para
komprador Indonesianya. Sedangkan Indonesia yang berkepribadian secara budaya adalah
dengan membangun kepribadian social dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin
pudar ditengah derasnya arus globalisasi dan revolusi teknologi komunikasi. Indonesia tidak
boleh membiarkan dirinya larut dalam arus budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur
bangsa kita.Suatu kenyataan bahwa di era globalisasi ini tidak mungkin sebuah negara
mengisolasi dirinya dari Negara lain. Setiap negara saling berhubungan dan tergantung dengan
negara lain.
Globalisasi mau tidak mau hanya bisa diterima. Namun demikian, sikap kritis terhadap dampak-
dampak negatif yang ditimbulkan globalisasi perlu dilakukan. Sebagai contoh masuknya
investor dan perusahaan asing ke Indonesia, di satu sisi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
perekonomian negara. Namun demikian, bila perusahaan asing tersebut sewenang-wenang atau
merusak lingkungan, seluruh bangga Indonesia wajib mengkritisi atau melawannya. Sikap kritis
juga berlaku terhadap pengaruh nilai-nilai budaya luar. Di satu sisi, budaya luar dapat
memperkaya budaya Indonesia. Tetapi di sisi lain, harus diakui bahwa tidak semua nilai-nilai
tersebut sesuai dengan budaya orang Indonesia. Kita dapat bersikap kritis terhadap pengaruh
globalisasi dan menyaring nilai-nilai yang masuk dari luar, bila kita mampu memperkuat nilai-
nilai kepribadian bangsa Nilai-nilai tersebut meliputi nilai-nilai adat, nilai-nilai moral, dan
agama yang diwariskan nenek moyang.

Bila nilai-nilai tersebut tertanam kuat, maka bangsa Indonesia tidak perlu khawatir dengan
globalisasi.
Dengan demikian, bangsa Indonesia siap menerima perubahan. Sikap yang tepat adalah bukan
menjadi korban globalisasi, tetapi menjadi pelaku globalisasi.
Nilai-nilai yang baik perlu diadopsi dan diadaptasikan dengan nilai-nilai adat, moral, dan agama
bangsa Indonesia. Berhadapan dengan globalisasi, Thomas L. Friedman mengusulkan agar
setiap negara, mengenakan baju yang cocok yang disebutnya dengan the golden straitjacket.
Untuk itu setiap negara perlu menerap kan prinsip-prinsip ekonomi berikut ini:
1)Menempatkan sektor swasta sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
2)Mempertahankan angka inflasi pada tingkat yang rendah.
3)Mempertahankan stabilitas harga barang dan jasa.
4)Mengurangiperan birokrasi.
5)Mempertahankan anggaran yang berimbang atau surplus.
6)Menghapus atau menurunkan segala tarif impor.
7)Menghapus segala hambatan investasi luar negeri.
8)Membebaskan segala bentuk kuota dan monopoli.
9)Meningkatkan ekspor.
10)Memprivatisasi usaha industri barang dan jasa.
11)Deregulasi ekonomi untuk memberi peluang pada tumbuhnya kompetisi.
12)Pemberantasan korupsi di lingkungan birokrasi.Dari berbagai komponen diatas dapat terlihat
bahwa, globalisasi dan identitas nasional suatu bangsa dapat berbanding lurus maupun
berbanding terbalik tergantung bagaimana kesiapan bangsa untuk menghadapi. Ketika jati diri
suatu bangsa telah kuat tertanam pada segenap komponen anak bangsa, maka globalisasi akan
menjadi keniscayaan yang dapat mengantar pada kejayaan bangsa. Fenomena inilah yang
memperkuat asumsi tentang pentingnya gelar program bela Negara Pemerintah melalui
Kementerian pertahanan Republik Indonesia. Bela Negara berisi semangat yang terpadu dari
warga Negara dalam menghadapi ancaman kedaulatan ideology, politik, ekonomi, dan social
budaya.

5.Kesimpulan

Penguasaan kedaulatan suatu bangsa atas bangsa lain bukan hanya terbatas pada hegemoni
militer dan pendudukan wilayah secara fisik. Pola-pola hegemoni yang demikian sebenarnya
telah mulai ditinggalkan, karena di akhir abad 20 berbagai aneka system kehidupan manusia
telah bermetamorfosa menjadi satu bentuk, tanpa sekat atau batas-batas Negara bangsa setelah
munculnya idea globalisme dalam perekonomian sejagat. Bila kita tidak waspada sejatinya
globalisme ekonomi merupakan sublimasi atau usaha pengalihan hasrat yang bersifat primitive
(hegemoni militer),ke model yang dapat diterima masyarakat yaitu globalisasi ekonomi.
Titik kewaspadaan kita dalam konteks globalisasi ini karena peran dan efektivitas Negara
bangsa mulai berkurang.

Pesan moral yang paling penting dalam merespon globalisme ini sebenarnya bukan pada tataran
setuju atau tidak setuju, tetapi lebih pada bagaimana mempersiapkan segenap warga Negara
untuk menghadapi wujud globalisasi ini tanpa harus menggadaikan kedaulatan ideology, politik,
ekonomi, social budaya dan territorial dalam konteks pertahanan keamanan. Kementerian
Pertahanan (Kemhan) adalah instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
penyelenggaraan Pertahanan Negara. Oleh karena itu Kemhan bertugas untuk menyiapkan
rumusan Kebijakan Umum Pertahanan Negara dan menetapkan Kebijakan Penyelenggaraan
Pertahanan Negara. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Kementerian Pertahanan saat ini
dan beberapa tahun ke depan adalah perlunya meningkatkan kesadaran bela negara bagi setiap
warga Negara.

ka sesungguhnya bela Negara telah menjadi keniscayaan.


Sejalan dengan perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang memang
memerlukan investasi mental demikian, sesungguhnya di lingkungan dunia internasionalpun,
suatu negara dalam mempertahankan eksistensi atau kelangsungan hidupnya memerlukan suatu
perjuangan seluruh anak bangsa untuk mencapai atau mempertahankan kelestarian teritorialitas
atau kedaulatan teritorialnya, baik melalui pembangunan internal, dengan menciptakan rasa
persatuan dan kesatuan, atau menciptakan generasi baru yang lebih unggul kualitasnya daripada
generasi sebelumnya, ataupun melalui perjuangan eksternal, antara lain untuk mendapatkan
pengakuan kedaulatan territorial negara dari negara-negara, atau bangsa-bangsa lain di
dunia,yang sangat diperlukan sebagai landasan dalam perumusan ketentuan bagi tata hubungan
dan kerjasama antar masyarakat bangsa-bangsa.[1]
Dengan bahasa yang sederhana, dapatlah diterjemahkan bahwa mempertahankan kelestarian dan
kedaulatan territorial dengan pembangunan internal menciptakan rasa persatuan dikalangan anak
bangsa, dan pembangunan eksternal mengokohkan pengakuan kedaulatan territorial sejatinya
adalah bela Negara. Dan Bela Negara, telah menjadi sebuah diskursus yang sempat membelah
opini berbagai kalangan dalam hal “perlu” disatu seberang dan “belum perlu” diseberang lain.

Berdasarkan kondisi-kondisi yang dapat menjadi trigger suatu bangsa kehilangan kedaulatan,
dan oleh karenanya berdasarkan kondisi-kondisi tersebut yang memang secara klinis telah
merongrong kedaulatan, maka muncul aliran pemikiran bela Negara yang saat ini telah digelar
oleh Kementerian Pertahanan dalam bentuk pelatihan kader. Mengambil pemikiran Morganthau,
kedaulatan adalah kekuasaan hukum tertinggi dari bangsa yang membuat dan melaksanakan
hukum di dalam wilayah tertentu dan, sebagai akibatnya, bebas dari kekuasaan bangsa lain dan
persamaan hak dengan bangsa lainnya menurut hukum internasional. Maka dari itu, suatu bangsa
kehilangan kedaulatan apabila ditempatkan dibawah kekuasaan bangsa lain, sehingga bangsa lain
tersebut yang menjalankan kekuasaan tertinggi untuk membuat dan melaksanakan hukum di
dalam wilayah yang dikuasai.[2]
Penguasaan kedaulatan suatu bangsa atas bangsa lain bukan hanya terbatas pada hegemoni
militer dan pendudukan wilayah secara fisik. Pola-pola hegemoni yang demikian sebenarnya
telah mulai ditinggalkan, karena di akhir abad 20 berbagai aneka system kehidupan manusia
telah bermetamorfosa menjadi satu bentuk, tanpa sekat atau batas-batas Negara bangsa setelah
munculnya idea globalisme dalam perekonomian sejagat. Bila kita tidak waspada sejatinya
globalisme ekonomi merupakan sublimasi atau usaha pengalihan hasrat yang bersifat primitive
(hegemoni militer),ke model yang dapat diterima masyarakat yaitu globalisasi ekonomi. Titik
kewaspadaan kita dalam konteks globalisasi ini karena peran dan efektivitas Negara bangsa
mulai berkurang. Negara bangsa yang dicirikan adanya rakyat, territorial/wilayah, pemerintah,
dan pengakuan internasional perlahan mulai kehilangan fungsinya.
Silisilah nabi Ibrahim

aka – Syu’aib AS ke-12


Nabi - Jamal ‘Abdullah (menjadi orang ini Nabi Yusuf
Ibrahim - Sahail – NABI mertua terbentukl AS
AS - Binta MUHAM Nabi Musa ah 12 mempuny
mempuny - Salaman MAD SAW AS suku Bani ai tiga
ai 3 orang - Hamyasa Israil. orang
putera, - ‘Adad Nabi Isha- GENERASI Yang anak.
yaitu : - ‘Addi q AS KEDUA disebutka Ketiga
- Adnan mempuny SESUDAH n di sini anaknya
- Nabi - Ma’ad ai 2 orang NABI hanya 4 tidak ada
Isma’il AS – Nizar putera IBRA-HIM orang di yang
beribukan – Mudhar yaitu Isu AS antaranya menjadi
Hajar – Ilyas (bukan saja yang nabi. Lawi
- Nabi – nabi) dan Isu menjadi (Wardun)
Isha-q AS Mudrikah Nabi menurunk nabi dan menurunk
beribukan – Ya’quwb an: mempuny an:
Sarah Khuzaima AS, ai
- Madyan h kemudian - Anwas keturunan - Kahis
beribukan – Kinanah bernama – Nabi nabi: – Yashar
Katurah. – Nadhar Israil, Ayyuwb – Imran
– Malik sehingga AS 1. Nabi
GENERASI – Fihir keturunan – Nabi Yuwsuf AS Adapun
PERTAMA – Ghalib nya Dzu lKifli 2. Lawi Imran
SESUDAH – Luaiy dinamaka AS (Wardun) mempuny
NABI – Ka’ab n Bani - Nabi 3. Yahuza ai 2 orang
IBRAHIM – Murrah Israil. Ya’quwb (Ra’sun) anak
AS – Kilab AS 4. semuanya
– Qushay Madyan - Israil Bunyamin menjadi
Nabi – menurunk nabi, yaitu
Ismaill AS ‘Abd.Man an: Israil GENERASI :
menurunk af mempuny KETIGA
an: – Hasyim - Nabit ai 12 SESUDAH - Nabi
– - Iya orang NABI Musa AS
- ‘Abd.Mut - Syafun putera, IBRAHIM (keturuna
PamekasJ hthalib - Nabi dan dari AS nnya tidak
ada yang - Ababa – Ahrif dz mempera
nabi) Umainiza mempera – Hizkil – Sam nakkan
- Nabi b nakkan – Misyam – Nabi Arfakhsya
Harun AS. - Sahfasat – Amur Nuh AS dz juga
Yawksawn dan - Sahim – Lamik mempera
Adapun - Salmun Radim. – ‘Imra-n – nakkan
Nabi - Yu’ar – – Maryam Matusalkh antara lain
Harun AS - Ufiz Sahfasat – Nabi’Isa – Iram, Amu
menurunk - Isya menurunk AS Mahanauk dan
an: - Nabi Da- an: h Kursyun.
wud AS Selanjutn - Yarid Iram
- Izhar - Nabi - Salum ya akan – Mahkail menurunk
- Fanhas Sulayman - Nakhur disajikan – Qinan an:
AS - silsilah – Anwas
Adapun - Shadiqah asal-usul – Syits - ‘Aush
Fanhas ini Bunyamin – Muslim Nabi – Nabi – Ad
berputra 2 – Ibrahim Adam AS. – Khulud
orang Sedangka Sulaiman AS. – Riba
yaitu : n Bun- – Daud Berapa –
- Yasin yamin – Yaksan Silsilah ini jumlah ‘Abdullah
dan menurunk - Shaduk menanjak generasi – Nabi
Ukhtub. an: - Muslim ke atas selanjutny Hud AS
– Adam hingga a hanya – Haran
Yasin - - Yahya Nabi Allah SWT – Nabi
mempera Abumatta - Nabi Adam AS. Yang Luth AS
nakkan - Matta Zakariya Maha
Nabi Ilyas - Nabi AS - Nabi Tahu. Amu
AS, Yunus AS – Nabi Ibrahim menurunk
sedangkan Yahya AS AS Sebagai an :
Yasin Silsilah – Tarikh tambahan
mempera selanjutny Radim (Thara) , dari Yarid - Tsamud
nakkan a dimulai menurunk – Nakhur hingga – Hadzir
Nabi dari Nabi an: – Sarugh sejumlah – ‘Ubayd
Ilyasa- Sulayman – Urghu beberapa – Masih
’AS.Yahuz AS yaitu: - (Ragau) generasi – Asif
a (Ra’sun) Yahusafat – Falikh ke bawah – Ubaid
menurunk - Raji’un – Barid – Abir – Yardukil – Nabi
an: (Roboam) – Nausa – Syalikh – Nabi Shalih AS.
- Ababa – Nawas (Sala) Idriys AS.
- Baras (Abia) – Amsaya – Finan Kursyun
- Hasrun – Izazaya – Adapun menurunk
- Raum Adapun – Au’am Arfakhsya Sam selain an:
- San’ar
– Kana’an
– Raja
Namrud

Namrud
yaitu raja
yang
membaka
r Nabi
Ibrahim
AS dan
seterusny
a.

Wallohua'l
am
Bisshowab

Anda mungkin juga menyukai